Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan

(1)

TANPA PENGARUH PREDASI DARI IKAN

DESNITA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Desnita. C24070028. Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Majariana Krisanti.

Larva chironomida merupakan serangga air yang paling banyak ditemukan pada ekosistem perairan tawar. Chironomida seperti layaknya anggota diptera memiliki empat fase hidup: telur, larva, pupa, dan dewasa (Bay 2003). Larva adalah fase hidup yang paling lama, diperkirakan mencapai satu bulan untuk daerah tropis dan satu tahun untuk daerahbermusim empat. Keberadaan larva chironomida sangat bergantung terhadap kondisi perairan dan substrat sebagai habitatnya. Kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi parameter kualitas air lainnya. Terjadinya perbedaan kedalaman memberikan pengaruh berbeda pula terhadap parameter kualitas air yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penyebaran dan proses kolonisasi larva chironomida pada suatu habitat perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan dan perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda tanpa pengaruh predasi dari ikan pada daerah KJA dan non-KJA.

Penelitian ini dilakukan setiap hari selama satu bulan. Analisis data yang digunakan meliputi kelimpahan dan kepadatan larva chironomida serta tahap perkembangan larva chironomida. Kondisi perairan yang diamati terdiri dari parameter fisika dan kimia yaitu suhu, TSS, pH dan oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan. Selain itu digunakan pula uji statistik yaitu uji-t 2 contoh bebas untuk membandingkan kelimpahan larva chironomida antar kedalaman dan stasiun.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa substrat buatan yang diletakkan di kedua stasiun dapat mendukung terbentuknya kolonisasi larva chironomida. Larva yang ditemukan terdiri dari sub famili Chironominae (8 genus), Tanypodinae (3 genus) dan sub famili Orthocladiinae (4 genus). Berdasarkan data kepadatan jenis larva chironomid yang paling mendominasi adalah larva Polypedilum, maka pengolahan hasil dikhususkan pada larva Polypedilum. Dilihat dari kepadatan larva Polypedilum, kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun KJA baik di kedalaman 1 m maupun 2 m. Keempat instar larva Polypedilum dapat ditemukan pada substrat buatan. Berdasarkan uji t-dua contoh berdasarkan lebar kapsul kepala antar kedalaman pada kedua stasiun tidak berbeda sedangkan pada dua stasiun yang berbeda antara stasiun KJA dan non-KJA terdapat perbedaan baik pada kedalaman 1 m maupun kedalaman 2 m. Perubahan-perubahan terhadap respon yang diamati ini pada akhirnya akan menunjukkan adanya perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda pada setiap waktu pengamatan.


(3)

i

TANPA PENGARUH PREDASI DARI IKAN

DESNITA C24070028

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Desnita C24070028


(5)

ii

Judul Skripsi : Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan

Nama Mahasiswa : Desnita

NIM : C24070028

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si NIP. 19660728 199103 1 002 NIP. 19691031 199512 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002


(6)

iii

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku dosen pembimbing pertama dan Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang terkait.

Bogor, Oktober 2011

Penulis


(7)

iv

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, motivasi, dan nasehat selama perkuliahan.

3. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Keluarga tercinta Papa (Ajisman), Mama (Ermawati), kakakku (Mit dan eva), dan adikku (Joni H) serta Indra Yanto atas do’a, kasih sayang dan motivasinya. 5. Bapak Ir. MHD. Shadiq Pasadiqoe, S.H sebagai Bupati Batusangkar, Sumatera

Barat yang telah memberi bantuan dana pendidikan untuk penulis.

6. Seluruh staf dan karyawan Departemen Sumberdaya Perairan serta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.

7. Lido Team (Mas Hendry, Dewil dan Dita) atas suka duka, perjuangan, kekompakan, kerjasama dan semangatnya selama melaksanakan penelitian. 8. Arif, Iboth, Eki, Zulmi, Nto, Lutfi, Amanah, Mega, Dedek, Ayu dan

Sahabat-sahabatku di MSP khususnya angkatan 44, 43, 45 dan 46, serta pada semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

v

Penulis dilahirkan di Sungayang, 09 April 1988 dari pasangan Bapak Ajisman dan Ibu Ermawati. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDN 11 Taratak Indah, Kec. Sungayang (1995-2001). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan formal di MTsN Sungayang (2001-2004) dan MAN 1 Batusangkar (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Planktonologi (2010/2011). Selain itu penulis juga aktif pada kelembagaan kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai anggota divisi kewirausahaan dan aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan”.


(9)

vi

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... ... 3

1.4. Manfaat ... ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido ... 4

2.2. Komunitas Chironomida ... 4

2.3. Substrat Buatan ... 5

2.4. Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 6

2.4.1. Kedalaman ... 6

2.4.2. Suhu ... 7

2.4.3. TSS atau padatan tersuspensi ... 7

2.4.4. pH ... 8

2.4.5. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) .... ... 8

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 10

3.2. Tahapan Penelitian ... 11

3.2.1. Persiapan ... 11

3.2.2. Pelaksanaan ... 12

3.2.3. Pengambilan contoh ... 13

3.2.4. Analisis di laboratorium ... 14

3.3. Pengolahan Data ... 15

3.3.1. Penentuan instar larva chironomida berdasarkan hubungan panjang dan lebar kapsul kepala ... 15

3.3.2. Uji-t dua contoh bebas ... 16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... ... 17

4.1.1. Larva chironomida ... 17

4.1.2. Kepadatan larva chironomida ... 18

4.1.3. Karakteristik fisika kimia perairan ... 20

4.1.4. Pengelompokkan larva chironomida genus Polypedilum berdasarkan instar ... 22


(10)

vii 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 31

5.2. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32


(11)

viii

Halaman 1. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter

fisika-kimia perairan ... 14 2. Fungsi diskriminan instar Polypedilum hasil pengamatan

di Danau Lido ... 15 3. Genus larva chironomida yang ditemukan tiap stasiun ... 17


(12)

ix

Halaman 1. Perumusan masalah mengenai perkembangan larva chironomida

pada substrat buatan tanpa pengaruh predasi dari ikan ... 3 2. Peta lokasi stasiun pengambilan contoh di Danau Lido,

Kabupaten Bogor ... 10 3. Substrat buatan dan cara penempatannya pada lokasi penelitian ... 12 4. Larva Chironomida genus Polypedilum yang merupakan sub

famili Chironominae ... 18 5. Kepadatan larva chironomida pada tiap waktu pengamatan di stasiun

KJA ((a) kedalaman 1 m dan (b) kedalaman 2 m) dan di stasiun

Non-KJA ((c) kedalaman 1 m dan (d) kedalaman 2 m) ... 19 6. Kualitas air Danau Lido (a) suhu KJA; (b) suhu non-KJA;

(c) TSS KJA; (d) TSS non-KJA; (e) pH KJA; (f) pH non-KJA

(g) DO KJA; (h) DO non-KJA ... 21 7. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar

kapsul kepala Polypedilum stasiun KJA pada kedalaman

1 m (a) dan 2 m (b) ... 24 8. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar

kapsul kepala Polypedilum stasiun non-KJA pada kedalaman


(13)

x

Halaman

1. Foto lokasi peletakan substrat buatan ... 36

2. Posisi peletakan rangkaian substrat buatan di Danau Lido ... 37

3. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis chironomida ... 38

4. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis kualitas air ... 39

5. Nilai parameter fisika dan kimia perairan ... 40

6. Kepadatan chironomida genus Polypedilum pada stasiun KJA dan non-KJA (individu/m2) ... 41


(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Chironomida adalah serangga air yang merupakan famili dari Chironomidae dan merupakan hewan yang tersebar hampir di seluruh dunia dengan menempati habitat yang berbeda pada setiap ekosistem perairan (Frouz et al. 2003). Larva chironomida biasanya ditemukan paling banyak pada perairan tawar. Larva chironomida membutuhkan lingkungan perairan yang tepat agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa jenis mempunyai kemampuan toleransi terhadap penurunan kandungan oksigen (Pinder 1986) dan peningkatan kandungan bahan organik (Arimoro et al. 2007, Gillis & Wood 2008, Groenendijk et al. 1998). Perubahan-perubahan pada parameter kualitas air dan substrat sebagai habitat larva chironomida sangat mempengaruhi komposisi dan kelimpahan dari organisme ini. Perubahan-perubahan pada kondisi lingkungan ini dapat berpengaruh terhadap pola penyebaran komunitas larva chironomida (Arimoro et al. 2007, Pinder 1986).

Faktor yang berperan dalam perkembangan populasi larva chironomida adalah substrat tempat menempelnya. Berbagai jenis benda yang tenggelam di dalam air dapat menjadi substrat dari larva Chironomidae, diantaranya batu, sedimen halus, kayu tenggelam, dan tumbuhan air, bahkan ada yang epizoik atau menempel pada hewan lain (Pinder 1986). Kebanyakan larva chironomida hidup membentuk tabung pada substrat (McCafferty 1983, Pinder 1986). Substrat bagi larva Chironomidae berperan sebagai rumah dan tempat berlindung dari kondisi lingkungan yang tidak nyaman. Tipe dan posisi kedalaman substrat mempengaruhi kepadatan populasi dan perkembangan larva Chironomidae. Keragaman kondisi perairan di setiap kedalaman juga mempengaruhi distribusi larva chironomida pada setiap kedalaman (Ward 1992).

Larva chironomida hidup dengan memanfaatkan bahan organik terlarut (Pinder 1986), algae perifitik, bahkan organisme lain yang lebih kecil ukurannya (Takowska-Kukuryk & Mieczan 2008) sebagai bahan makanannya. Tipe dan cara makan larva chironomida ada yang bersifat detrivor yaitu memakan organisme atau algae yang sudah mati, grazer yaitu memakan algae dan fitoplankton, dan beberapa ada yang bersifat predator atau memangsa avertebrata lain yang lebih kecil (Pinder


(15)

1986). Hewan ini berperan penting terhadap rantai makanan pada ekosistem perairan sebagai makanan utama ikan dan organisme avertebrata lain. Oleh karena itu, untuk mengurangi jumlah predator seperti ikan dan mengetahui struktur komunitas larva chironomida, diperlukan pengkajian mengenai perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda tanpa pengaruh predasi dari ikan.

1.2. Perumusan Masalah

Keberadaan larva chironomida pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan organisme ini adalah kedalaman perairan dan beban masukan yang berasal dari kegiatan antropogenik dan kegiatan perikanan berupa keramba jaring apung yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi kualitas perairan pada setiap kedalaman. Perbedaan kualitas perairan pada setiap kedalaman ini akan berpengaruh terhadap kolonisasi komunitas larva chironomida pada substrat buatan di setiap kedalaman. Substrat merupakan hal yang sangat penting sebagai habitat bagi larva chironomida. Penggunaan substrat buatan dengan tambahan pelindung diharapkan mampu menjadi habitat yang baik bagi pertumbuhan dan melindungi larva chironomida dari predator seperti ikan, sehingga terbentuk kolonisasi larva chironomida yang menyusun struktur populasi larva pada substrat buatan dalam jaring pelindung. Terjadinya proses kolonisasi memungkinkan untuk dapat memberikan penjelasan mengenai kelimpahan komunitas dan perkembangan larva chironomida tanpa adanya gangguan predasi oleh ikan.


(16)

Gambar 1. Perumusan masalah mengenai perkembangan larva chironomida pada substrat buatan tanpa pengaruh predasi dari ikan

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan dan perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda tanpa pengaruh predasi dari ikan pada daerah KJA dan non-KJA.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem perairan.

Perkembangan larva chironomida di setiap kedalaman pada daerah KJA dan non-KJA

-Faktor antropogenik -KJA

-Non-KJA

Larva chironomida

Kedalaman perairan

Pencegahan pemangsaan oleh ikan

Substrat buatan

Perubahan ukuran larva chironomida

? Kolonisasi


(17)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Danau Lido

Danau Lido memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis danau antara lain sebagai resapan air, sumber air bagi kehidupan, dan pengendali banjir. Danau Lido yang biasanya dikenal dengan istilah Situ Lido oleh masyarakat sekitar memiliki bentuk tidak beraturan, banyak dijumpai teluk sempit dengan tepi danau yang curam, ditumbuhi oleh belukar dan pohon karet. Danau Lido merupakan danau yang relatif kecil dengan luas 21 hektar dan termasuk kategori danau buatan yang dibuat pada abad ke-18 yaitu ketika dibendungnya Sungai Ciletuh untuk pembangunan jalan raya Bogor-Sukabumi (Nancy 2007). Danau Lido mempunyai satu inlet dan dua outlet. Sumber utama air Danau Lido berasal dari aliran Sungai Ciletuh dan sumber air lainnya berasal dari air permukaan dan air aliran tanah (ground water).

Danau Lido pada awalnya dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan. Namun saat ini Danau Lido sebagai objek wisata, kepentingan rumah tangga, dan kegiatan perikanan dengan sistem KJA.

2.2. Komunitas Chironomida

Larva serangga air merupakan organisme yang sangat banyak ditemukan pada perairan. Beberapa larva serangga air termasuk chironomida hidup meliang pada sedimen. Chironomida yang paling mendominasi komponen makroavertebrata sebagai benthos adalah dari ordo Diptera. Larva chironomida yang melimpah pada perairan tergenang biasanya tidak terlalu terpengaruh terhadap perubahan suhu yang kecil, namun kondisi oksigen yang sedikit sangat berpengaruh terhadap larva chironomida, karena dapat mengganggu proses osmoregulasi organisme tersebut.

Chironomida atau biasa disebut sebagai midge adalah serangga air yang merupakan famili dari Chironomidae dan merupakan hewan yang tersebar hampir di seluruh dunia dengan menempati habitat yang berbeda pada setiap ekosistem perairan (Frouz et al. 2003). Larva chironomida biasanya ditemukan paling banyak pada perairan tawar. Hewan ini berperan penting pada ekosistem perairan karena termasuk dalam salah satu rantai makanan pada suatu ekosistem. Biasanya hewan ini


(18)

merupakan makanan bagi makroavertebrata yang lebih besar dan ikan (Frouz et al. 2003; Zilli et al. 2008). Biasanya setelah proses kawin organisme betina meletakkan telur di permukaan air yang kemudian tenggelam ke dasar perairan, selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva (Ciborowski 2002). Larva dari salah satu jenis chironomida sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan dan bentuk polusi, sementara chironomida jenis lainnya merupakan jenis yang toleran terhadap kondisi perairan. Larva chironomida pada masing-masing habitat memiliki pola adaptasi yang berbeda pula khususnya terhadap suhu dan oksigen (Frouz 2003).

Chironomida, seperti layaknya anggota diptera memiliki empat fase hidup: telur, larva, pupa, dan dewasa. Siklus hidup dari telur hingga dewasa berkisar dalam rentang waktu satu minggu hingga lebih dari satu tahun bergantung pada spesiesnya (Bay 2003). Larva adalah fase hidup yang paling lama, diperkirakan mencapai satu bulan untuk daerah tropis dan satu tahun untuk daerah bermusim empat. Larva chironomida ini memiliki tipe dan cara makan yang bervariasi, ada yang bersifat detrivor yakni memakan organisme yang sudah mati, grazer yaitu memakan algae dan fitoplankton, dan ada pula yang bersifat predator atau memangsa avertebrata lain yang lebih kecil.

2.3. Substrat Buatan

Substrat buatan merupakan alat yang dibuat dari material alami maupun buatan dari berbagai komposisi dan konfigurasi yang ditempatkan dalam air pada kedalaman tertentu selama periode pemaparan untuk kolonisasi komunitas makroavertebrata (APHA 1995). Substrat buatan merupakan manipulasi atau imitasi dari karakteristik substrat alami (Allan 1995 in Saliu & Ovuorie 2006). Seperti halnya substrat alami yang tenggelam (misalnya ranting kayu), pada substrat buatan, kolonisasi utama dilakukan oleh larva serangga air, crustacea, coelenterata, bryozoan, cacing, gastropoda, dan moluska (APHA 1995).

Kegunaan substrat buatan adalah untuk mendapatkan sampel populasi hewan bentik avertebrata mengingat bahwa habitat organisme tidak memungkinkan untuk suatu alat sampling kuantitatif seperti grabs, dredges, nets, dan alat sejenisnya yang digunakan pada habitat tersebut (Rosenberg & Resh 1982 in Saliu & Ovuorie 2006). Substrat buatan untuk pengambilan sampel makroavertebrata juga diyakini


(19)

memberikan nilai keragaman yang lebih rendah dikarenakan substrat buatan ini memiliki bentuk habitat yang seragam untuk proses kolonisasi.

Keuntungan utama dalam penggunaan substrat buatan untuk mendapatkan data makroavertebrata adalah untuk meminimalisasi bentuk variasi fisik seperti jenis substrat, kedalaman, dan penetrasi cahaya. Alat ini juga digunakan karena tidak mengganggu keberadaan organisme asli di kawasan tersebut. Substrat buatan baik digunakan untuk mendapatkan data mengenai populasi makroavertebrata ketika alat konvensional tidak efisien dan tidak efektif untuk digunakan khususnya pada perairan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Sifat badan air memiliki kedalaman yang besar dan keruh 2. Sifat substrat yang tidak stabil berupa pasir dan lumpur 3. Sifat dasar perairan berupa bebatuan besar dan keras

Melalui substrat buatan, habitat yang tidak cocok untuk organisme bentik dapat diatasi dengan menyeragamkan bentuk dasar dari habitat yang dapat diletakkan pada area manapun sesuai kondisi yang diinginkan. Kemampuan organisme invertebrata untuk berkoloni pada substrat buatan sangat dipengaruhi oleh lingkungan alami dan stabilitas serta ketetapan substrat (Saliu & Ovuorie 2007).

2.4. Parameter Fisika dan Kimia Perairan 2.4.1. Kedalaman

Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika, dimana semakin dalam perairan maka intensitas cahaya matahari yang masuk semakin berkurang. Semakin besar kedalaman, tekanan air akan semakin besar. Tekanan pada air berpengaruh terhadap proses osmosis dalam tubuh organisme sehingga organisme akan berusaha agar tekanan osmosis lingkungan sesuai dengan keadaan tubuh dan proses osmoregulasi dalam tubuh organisme. Hal ini berpengaruh terhadap pola penyebaran organisme khususnya larva chironomida pada kolom perairan dengan kedalaman berbeda (Welch 1952). Suhu juga mengalami stratifikasi pada kedalaman yang berbeda berkenaan dengan panas yang diterima pada setiap kolom perairan. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya gaya yang bekerja pada lapisan yang lebih dalam. Kedalaman merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang berhubungan


(20)

dengan banyaknya air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan dan berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan (Welch 1952).

2.4.2. Suhu

Suhu suatu perairan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang jatuh ke permukaan perairan, sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian masuk ke perairan yang disimpan dalam bentuk energi (Welch 1952). Suhu suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, biologi badan air. Suhu menjadi parameter penting dalam perairan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di perairan. Suhu disebutkan memberikan pengaruh bagi proses kimia maupun biologi di perairan. Secara umum, tingkat reaksi kimia dan biologi meningkat menjadi dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 0C. Hal ini menunjukkan bahwa organisme akuatik menggunakan oksigen terlarut dua kali lebih banyak untuk suhu 30 0C dibandingkan suhu 20 0C, dan reaksi kimia menunjukkan kemajuan dua kali lebih cepat pada suhu 30 0C dibandingkan suhu 20 0C (Boyd 1998).

2.4.3. TSS atau padatan tersuspensi

Padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik. Padatan tersuspensi memiliki sisi positif dan negatif di perairan. Sisi positif dari ketersediaan padatan tersuspensi ini adalah meningkatkan produktivitas primer karena biasanya terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik yang apabila mengalami proses dekomposisi akan menambah ketersediaan unsur hara di suatu perairan. Selain itu, padatan tersuspensi juga berperan sebagai shading agar intensitas cahaya yang masuk ke perairan tidak terlalu besar sehingga proses fotosintesis bisa berlangsung dengan optimal. Padatan tersuspensi juga memiliki dampak negatif bagi biota akuatik, yakni menghambat proses transport oksigen untuk respirasi, proses filter feeding, dan ketersediaan habitat (Kodds 2002).


(21)

2.4.4. pH

Konsentrasi ion hidrogen adalah salah satu parameter kualitas air yang sangat penting baik untuk perairan alami maupun air limbah. Definisi yang biasanya digunakan untuk menyatakan konsentrasi hidrogen adalah pH, yang didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Kisaran konsentrasi pH bagi keberadaan hampir semua kehidupan biologi biasanya sangat sempit dan kritis (6-9). Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5, sedangkan pH air yang digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan adalah 6,9 (PPRI No. 82 tahun 2001). Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan mebahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus 2002).

Air yang basa dapat mendorong proses perombakan bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan. Nilai pH sering juga dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya keadaan air sebagai lingkungan hidup, walaupun baik buruknya suatu perairan itu tergantung pula dari faktor lain (Welch 1952).

2.4.5. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO)

Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut merupakan parameter penting karena dapat digunakan untuk mengetahui gerakan masa air yang merupakan indikator penting bagi proses kimia dan biologi. Oksigen di perairan berasal dari difusi udara maupun dari proses fotosintesis oleh organisme nabati seperti fitoplankton dan tumbuhan air. Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant) atau pergolakan massa air akibat adanya arus (Wetzel 2001).

Konsumsi oksigen digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh larva chironomida. Proses metabolisme dan konsumsi oksigen pada setiap jenis larva chironomida berbeda-beda berkaitan dengan kemampuan adaptasi fisiologis tiap jenis larva pada kondisi lingkungan perairan. Lencioni et al. (2008) mengatakan bahwa ada hubungan antara masa tubuh dengan laju konsumsi oksigen pada larva chironomida. Oksigen terlarut adalah faktor pembatas yang sangat penting di habitat danau. Nilai dari oksigen terlarut ini berkaitan langsung dengan suhu karena tingkat atau persentase saturasi dari oksigen dipengaruhi oleh suhu perairan. ketersediaan


(22)

oksigen adalah salah satu variabel yang memiliki pengaruh langsung bagi distribusi larva chironomida (e.g. Jo ´nasson, 1972, 1984; Heinis & Davids, 1993; Hamburger 1998 in Brodersen 2007).


(23)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Maret – 26 April 2011 yang berlokasi di Danau Lido. Penelitian dilakukan di kawasan perairan Danau Lido dengan membagi dua kawasan pengamatan. Stasiun pengamatan pertama berada pada koordinat 106048’ 42” BT dan 06044’ 29” LS, dan stasiun pengamatan kedua berada pada koordinat 106048’ 30” BT dan 060 44’ 47” LS dengan ketinggian 502,2 m dpl. Peletakan substrat buatan didasarkan pada kondisi lingkungan yang terdapat dan tidak terdapat karamba jaring apung (KJA). Stasiun satu adalah kawasan yang terdapat karamba jaring apung (KJA) yang terletak dekat outlet dari Danau Lido dan stasiun dua merupakan kawasan yang tidak terdapat karamba jaring apung (non-KJA) yang terletak dekat inlet dari Danau Lido.


(24)

Peletakkan substrat buatan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas, keamanan dan kedalaman yang ditentukan. Substrat buatan diletakkan pada dua kedalaman yaitu kedalaman 1 m dan 2 m. Posisi kedalaman substrat buatan diharapkan mampu memberikan respon yang berbeda berkenaan dengan kondisi kualitas perairan pada dua kedalaman tersebut.

3.2. Tahapan Penelitian 3.2.1. Persiapan

Pada tahap ini dipersiapkan substrat buatan yang terbuat dari kawat nyamuk yang berbahan nilon, kawat besi, bambu sebagai frame, botol plastik dengan ukuran 1,5 liter yang digunakan sebagai pelampung, batu bata sebagai pemberat dan tali tambang yang digunakan untuk merangkai antar frame. Pertama, kawat besi dibentuk persegi dengan ukuran 15x15 cm. Kemudian kawat besi yang sudah dibingkai ditutupi kawat nyamuk dengan ukuran mata jaring 2 mm dan dijahit pada setiap sisinya. Kawat besi yang sudah dilapisi dengan kawat nyamuk ini tampak seperti saringan berbentuk persegi.

Langkah berikutnya, bambu dibuat seperti persegi panjang dengan ukuran 45 x30 cm mengikuti panjang sisi kawat besi yang telah dirangkai. Kawat besi yang sudah dirangkai dengan kawat nyamuk sejumlah tiga buah diletakkan selang seling pada bambu yang sudah dibuat seperti persegi panjang. Kemudian antar bambu dirangkai menggunakan tali tambang. Tambang bagian atas diikatkan dengan botol plastik sebagai pelampung dan bagian bawahnya diikatkan dengan batu bata sebagai pemberat seperti yang terlihat pada Gambar 3. Setelah itu, seluruh rangkaian substrat buatan dilindungi dengan menggunakan jaring, mulai dari bawah sampai ke permukaan atau sejajar dengan pelampung.

Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis di laboratorium untuk larva chironomida dan air sampel adalah alat-alat yang digunakan pada pengambilan contoh dan analisis larva chironomida serta kualitas air di laboratorium.


(25)

Gambar 3. Substrat buatan dan cara penempatannya pada lokasi penelitian

3.2.2. Pelaksanaan

Pengambilan sampel dilakukan satu hari setelah substrat diletakkan. Sampel diambil setiap hari selama satu bulan. Pengambilan sampel kualitas perairan baik itu parameter fisika dan kimia dilakukan sebanyak satu kali dalam satu minggu yang kemudian dilakukan analisis secara insitu dan exsitu. Analisis laboratorium untuk sampel air secara exsitu dilakukan di laboratorium Fisika-Kimia Perairan bagian

( i )

1 m 1 m udara air 45 cm 30 cm

g h

d b c a 1 m 1 m 45 cm 30 cm

g h

45 cm

30 cm

g h

Keterangan :

a : Permukaan air danau b : Pelampung

c : Tali tambang

d : Bingkai substrat buatan (z=1m) e : Bingkai substrat buatan (z=2m) f : Pemberat pada dasar perarian

g : Substrat buatan dari kasa nyamuk (15 x 15) cm2, mesh size 2 mm

h : Tanpa substrat buatan (celah)

i : Jaring sebagai pelindung dengan ukuran mata jaring 0.5 inc

f e


(26)

Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis untuk sampel larva chironomida dilakukan di Laboratorium Biomikro I bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2.3. Pengambilan contoh

Metode pengambilan contoh yang digunakan pada peletakan substrat buatan adalah metode purposive sampling yaitu suatu metode penarikan contoh dimana unsur-unsur penarikan contoh sudah ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada (Mantra & Kasto 2006). Sistem pengambilan contoh secara purposive sampling ini diterapkan pada peletakan substrat buatan dalam ekosistem perairan Danau Lido ini yang didasarkan pada suatu kerangka berpikir, dimana terdapat ordinasi atau tujuan dalam pengamatan mengenai proses kolonisasi larva chironomida pada substrat buatan yang dicirikan dengan adanya perbedaan pada ekosistem tersebut dalam hal ini adalah lokasi titik sampling.

Substrat buatan diletakkan pada dua titik stasiun, stasiun pertama merupakan kawasan yang terdapat KJA dan stasiun kedua tidak terdapat KJA. Setelah peletakan substrat buatan, keesokan harinya dilakukan pengangkatan pada substrat buatan dan net yang berukuran 15x15 cm. Net tersebut selanjutnya dikerik dengan menggunakan kuas, kemudian hasil kerikan dimasukkan kedalam botol sampel yang telah diberi alkohol dengan konsentrasi 70%. Tahap berikutnya sampel dianalisis di laboratorium. Pengambilan sampel kualitas air (parameter fisika-kimia) dilakukan secara in-situ dan ex-situ seperti tercantum pada Tabel 1. Pengambilan sampel air dilakukan dengan waktu, lokasi, dan kedalaman yang sama dengan pengambilan sampel larva chironomida. Sampel air yang diambil selanjutnya dianalisis di laboratorium.


(27)

Tabel 1. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia perairan

Parameter Unit Alat /Metode Pustaka Acuan

FISIKA

1. Suhu 0C Termometer/pemuaian APHA 1995

2. Kedalaman m Tali berskala/pengukuran APHA 1995

3. TSS mg/l Vacuum pump/gravimetrik APHA 1995

KIMIA

1. pH - pH stik APHA 1995

2. DO mg/l Titrasi modifikasi Winkler APHA 1995

3.2.4. Analisis di laboratorium

Analisis sampel larva chironomida dilakukan di Laboratorium Biomikro I bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sampel larva chironomida dipisahkan (disortir) dari serasah dan bahan lainnya menggunakan mikroskop stereo, setelah itu diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop majemuk yang terhubung dengan kamera Motic Images Plus 2.0 ML. Untuk memudahkan dalam pemisahan organisme dengan serasah ditambahkan larutan Rose Bengal ke dalam sampel tersebut, sehingga terjadi perbedaan warna antara serasah dengan organisme. Selanjutnya sampel larva chironomida tersebut disimpan didalam botol sampel yang sudah diberi alkohol dengan konsentrasi 70%.

Proses identifikasi larva Chironomidae pada awalnya yaitu merendam larva dengan menggunakan larutan KOH 10% selama 24 jam guna menghilangkan jaringan internalnya agar terlihat lebih transparan (Vermeulen et al. 2000 in Sudarso 2006). Kemudian larva dipindahkan ke gelas objek dengan menggunakan jarum kecil dan bagian kepala dari larva Chironomidae diusahakan posisi bagian ventralnya menghadap keatas. Larva yang telah diletakkan diatas gelas objek ditutup dengan cover glass yang sebelumnya telah dioleskan larutan Entellan. Selanjutnya larva diidentifikasi berdasarkan buku yang dikarang oleh Epler (2001). Adapun analisis untuk sampel air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(28)

3.3. Pengolahan Data

3.3.1. Penentuan instar larva chironomida berdasarkan hubungan panjang dan lebar kapsul kepala

Larva chironomida memiliki empat tahap perkembangan atau biasa disebut dengan instar. Bagian tubuh larva yang digunakan untuk menduga perkembangan dari setiap tahapan instar adalah ukuran kapsul kepala, yaitu panjang dan lebar kapsul kepala. Hal ini dilakukan karena tubuh larva chironomida seringkali mengkerut setelah diawetkan sedangkan kapsul kepala bentuknya tetap karena terbuat dari khitin. Ukuran panjang dan lebar kapsul kepala diukur dengan menggunakan program Motic Image 2.0 pada komputer yang terhubung dengan mikroskop majemuk berkamera. Selanjutnya data ukuran panjang dan lebar kapsul kepala tersebut diplotkan pada grafik scater untuk menduga kelompok instar. Penentuan kelompok instar tersebut dapat ditentukan berdasarkan persamaan pada Tabel 2 dari hasil pengolahan data instar menggunakan metode discriminant analysis oleh Favian (2011).

Tabel 2. Fungsi diskriminan instar Polypedilum hasil pengamatan di Danau Lido

Fungsi

Diskriminan Instar Persamaan Kepercayaan

1 I & II D = 0,062X1 + 0,017X2– 10,667 98,8 %

2 II & III D = 0,044X1 + 0,022X2– 12,491 100 %

3 III & IV D = 0,037X1 + 0,022X2– 13,246 100 %

Keterangan :

1. D : Fungsi Diskriminan

2. X1 : Lebar Kapsul Kepala (µm)

3. X2 : Panjang Kapsul Kepala (µm)

Catatan :

1. Fungsi 1 : Jika nilai D < 0, instar I dan jika D > 0, instar II 2. Fungsi 2 : Jika nilai D < 0, instar II dan jika D > 0, instar III 3. Fungsi 3 : Jika nilai D < 0, instar III dan jika D > 0, instar IV 4. Jika nilai D = 0, termasuk masa transisi pergantian instar


(29)

Setelah diperoleh data panjang dan lebar kapsul kepala setiap tahapan instar, data tersebut diplotkan pada grafik scater menggunakan program Sigma plot 11, dimana panjang kapsul kepala sebagai sumbu x dan lebar kapsul kepala sebagai sumbu y.

3.3.2. Uji-t dua contoh bebas

Uji-t 2 sampel independen (bebas) adalah metode yang digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata dari 2 populasi yang bersifat independen, dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi. Independen maksudnya adalah bahwa populasi yang satu tidak dipengaruhi atau tidak berhubungan dengan populasi yang lain (Matjik & Sumertajaya 2002). Kemungkinan kondisi dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi adalah kondisi yang paling sering dijumpai di kehidupan nyata. Oleh karena itu secara umum, uji-t (baik 1-sampel, 2-sampel, independen maupun paired) adalah metode paling sering digunakan. Perhitungan uji-t ini menggunakan program minitab 14.

Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap kedalaman adalah sama H1 : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap kedalaman adalah berbeda Ho : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap stasiun adalah sama H1 : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap stasiun adalah berbeda

Perhitungan uji statistik berdasarkan Matjik (2002) adalah:

Dimana 1 merupakan rataan sampel pertama, 2 adalah rataan sampel kedua, d0

adalah dugaan nilai tengah, n1 adalah jumlah sampel yang pertama dan n2 adalah

jumlah sampel yang kedua. adalah ragam sampel pertama dan ragam dari sampel kedua.


(30)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Larva Chironomida

Larva chironomida yang ditemukan pada kedua stasiun adalah dari famili Chironomidae dengan sub famili Chironominae, Tanypodinae dan Orthocladiinae. Adapun genus yang ditemukan pada masing-masing sub famili dapat disajikan pada Tabel 3. Namun, pada kedua stasiun didominasi oleh sub famili Chironominae yaitu dari genus Polypedilum.

Tabel 3. Genus larva chironomida yang ditemukan tiap stasiun

Sub Famili Genus

Chironominae Chironomus, Dicrotendipes, Kiefferulus, Microchironomus, Micropsectra, Parachironomus, Polypedilum, Pseudochironomus

Tanypodinae Ablabesmyia, Monopelopia, Procladius

Orthocladiinae Cricotopus, Orthocladius,Parakiefferiella, Tvetenia

Larva chironomida pada sub famili Chironominae memiliki ciri berupa antena yang terdiri dari empat sampai delapan segmen. Labral lamella biasanya berkembang dengan baik, namun pada beberapa taksa tidak terlihat perkembangannya. Mentum biasanya memiliki delapan sampai enam belas gigi. Ventromental plate biasanya berkembang dengan baik dan memiliki striae seperti kipas. Anal tubulus biasanya ada pada sub famili ini dan biasanya perkembangan anal tubulus lebih kecil pada larva chironomida yang ditemukan di air payau dan air laut. Larva chironomida pada sub famili ini hidup meliang dengan membentuk kapsul yang melindungi tubuhnya, memakan algae dan detritus, beberapa taksa bersifat grazer dan predator.


(31)

Gambar 4. Larva Chironomida genus Polypedilum yang merupakan sub famili Chironominae

4.1.2. Kepadatan larva chironomida

Kepadatan larva chironomida bervariasi pada tiap pengambilan contoh. Adanya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh variasi kondisi kualitas perairan baik yang bersifat fisik, kimia maupun biologi, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kelimpahan makanan yang ada pada perairan tersebut. Faktor lingkungan yang berbeda pada setiap kedalaman, posisi stasiun dan waktu pengamatan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva chironomida pada substrat buatan. Gambar 5 memberikan informasi mengenai kepadatan larva chironomida yang ditemukan pada stasiun KJA dan non-KJA dengan kedalaman berbeda. Nilai kepadatan larva chironomida yang ditemukan pada stasiun KJA jauh lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun non-KJA, baik pada kedalaman 1 m maupun pada kedalaman 2 m. Namun dari kedua stasiun, nilai kepadatan larva chironomida genus Polypedilum dominan lebih tinggi dibandingkan dengan larva chironomida genus lain (non Polypedilum).

Nilai kepadatan larva Polypedilum di stasiun KJA paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke-14 sebesar 1733 individu/m2 di kedalaman 1 m (Gambar 5 (a)), dan pada kedalaman 2 m (Gambar 5 (b)) nilai kepadatan larva paling besar terdapat pada waktu pengambilan sampel hari ke-25 sebesar 785 individu/m2. Sedangkan nilai kepadatan larva non Polypedilum paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 25 sebesar 311 individu/m2 di kedalaman 1 m dan pada kedalaman 2 m terdapat pada hari yang sama sebesar 489 individu/m2.


(32)

Gambar 5. Kepadatan larva chironomida pada tiap waktu pengamatan di stasiun KJA ((a) kedalaman 1 m dan (b) kedalaman 2 m) dan di stasiun non-KJA ((c) kedalaman 1 m dan (d) kedalaman 2 m)

Nilai kepadatan larva Polypedilum pada stasiun non-KJA paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke-18 dan hari ke-29 yaitu sebesar 281 individu/m2 pada kedalaman 1 m (Gambar 5 (c)) sedangkan pada kedalaman 2 m (Gambar 5 (d)), kepadatan larva paling besar terdapat pada waktu pengambilan sampel hari ke-22 yaitu sebesar 148 individu/m2. Sedangkan nilai kepadatan larva non Polypedilum paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 25

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

0 5 10 15 20 25 30

K e pa da ta n (I nd/m 2) 0 100 200 300 400 500 1500 1600 1700 1800 1900 2000

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

0 5 10 15 20 25 30

K e padat an (I nd/ m 2) 0 100 200 300 1500 1600 1700 1800 1900 2000

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

0 5 10 15 20 25 30

K e pa da ta n (I nd/m 2) 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

0 5 10 15 20 25 30

K e pada ta n (I nd/ m 2) 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000

(a) (b)


(33)

sebesar 222 individu/m2 di kedalaman 1 m dan pada kedalaman 2 m paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 17 sebesar 148 individu/m2.

4.1.3. Karakteristik fisika kimia perairan

Pengukuran nilai parameter fisika dan kimia perairan dilakukan sebanyak satu kali dalam satu minggu. Nilai parameter fisika dan kimia perairan ini dapat menggambarkan kualitas perairan yang ada di Danau Lido. Nilai parameter fisika dan kimia perairan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam malam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan air. Nilai suhu pada lokasi pengamatan berbeda-beda namun memiliki kisaran yang hampir sama. Pada Gambar 6 (a) dapat dilihat bahwa nilai suhu pada stasiun KJA berkisar antara 25-27 0C. Nilai suhu tertinggi berada pada waktu pengambilan sampel hari ke 1 dan ke-8 pada kedalaman 1 m dan 2 m yang bernilai 27 0C dan terendah berada pada kedalaman 2 m waktu pengambilan sampel hari ke-15 dan 29 dengan nilai 25,5 0C. Sedangkan pada Gambar 6 (b) stasiun non-KJA nilai suhu tertinggi diperoleh pada waktu pengambilan sampel hari ke-1 pada kedalaman 2 m dengan nilai 26,8 0C dan terendah berada pada waktu pengambilan sampel hari ke-15, 22 dan hari ke-29 sebesar 25,3 0C pada kedalaman 2 m.

Nilai padatan tersuspensi pada stasiun KJA (Gambar 6 (c)) dengan nilai terbesar berada pada waktu pengambilan sampel hari ke-22 pada kedalaman 2 m yaitu 27,3 mg/l dan nilai terendah yaitu 1,7 mg/l pada waktu pengambilan sampel hari ke-1. Sedangkan pada stasiun non-KJA (Gambar 6 (d)), nilai TSS terbesar berada pada waktu pengambilan sampel hari ke-8 pada kedalaman 2 m dengan nilai 512 mg/l dan terendah sebesar 11 mg/l pada waktu pengambilan sampel hari ke-8 dan kedalaman 1 m. Secara umum informasi yang didapat dari grafik, bahwa nilai TSS pada stasiun non-KJA lebih besar dibandingkan dengan stasiun KJA. Hal ini dikarenakan kedalaman perairan pada stasiun non-KJA lebih dangkal sehingga diduga sudah mencapai dasar perairan saat pengambilan sampel TSS.


(34)

Gambar 6. Kualitas air Danau Lido (a) suhu KJA; (b) suhu non-KJA; (c) TSS KJA; (d) TSS non-KJA; (e) pH KJA; (f) pH non-KJA; (g) DO KJA; (h) DO non-KJA

Hari

ke-1 8 15 22 29

Su hu ( 0 C) 0 5 10 15 20 25 30 Hari

ke-1 8 15 22 29

Su hu ( 0 C) 0 5 10 15 20 25 30 Hari

ke-1 8 15 22 29

T SS ( mg/l ) 0 5 10 15 20 25 30 200 300 400 500 600 Hari

ke-1 8 15 22 29

T S S ( mg /l ) 0 5 10 15 20 25 30 200 300 400 500 600 Hari

ke-1 8 15 22 29

pH 0 1 2 3 4 5 6 7 Hari

ke-1 8 15 22 29

pH 0 1 2 3 4 5 6 7 Hari

ke-1 8 15 29

DO (m g/ l) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari

ke-1 8 15 29

DO (m g/ l) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)


(35)

Nilai pH pada setiap stasiun hampir sama. Nilai pH pada stasiun KJA berkisar antara 5,5-6,0. Nilai pH di kedalaman 1 m adalah sama pada setiap waktu pengambilan contoh sedangkan pada kedalaman pH terendah terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 15 sebesar 5,5 (Gambar 6 (e)). Sedangkan Gambar 6 (f) menjelaskan bahwa nilai pH pada stasiun non-KJA berkisar antara 5,5-6,0. Nilai pH terendah terdapat pada kedalaman 1 m yaitu sebesar 5,5 pada waktu pengambilan contoh hari ke-15 dan pada kedalaman 2 m nilai pH sama pada setiap waktu pengambilan contoh.

Oksigen merupakan parameter yang sangat signifikan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik. Pada Gambar 6 dapat diketahui bahwa nilai oksigen yang diperoleh berbeda pada setiap kedalaman. Nilai oksigen ini sangat dipengaruhi oleh suhu, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian, serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut akan semakin kecil. Pada stasiun KJA pada Gambar 6 (g) nilai oksigen terlarut yang diperoleh berkisar antara 3,0-7,6 mg/l dengan nilai tertinggi berada pada kedalaman 1 m waktu pengambilan sampel hari ke-15 yaitu sebesar 7.6 mg/l dan terendah sebesar 3,0 mg/l pada waktu pengambilan sampel hari ke-1 kedalaman 1 m dan setiap waktu pengambilan sampel pada kedalaman 2 m. Sedangkan pada stasiun non-KJA (Gambar 6 (h)) nilai oksigen terlarut yang diperoleh berkisar antara 2,3-8,1 mg/l. Nilai oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada waktu pengambilan sampel hari ke-29 kedalaman 1 m dengan nilai sebesar 8,1 mg/l dan terendah sebesar 2,3 mg/l pada waktu pengambilan sampel hari ke-1 kedalaman 2 m.

4.1.4. Pengelompokkan larva chironomida genus Polypedilum berdasarkan instar

Perkembangan larva chironomida dapat dilihat dari pola perkembangan instar. Perkembangan instar pada larva chironomida terdiri dari empat tahap yaitu mulai dari instar I sampai dengan instar IV. Tahapan setiap instar tersebut ditentukan berdasarkan ukuran panjang dan lebar dari kapsul kepala larva chironomida. Informasi mengenai tahap perkembangan larva chironomida genus Polypedilum di stasiun KJA pada setiap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 7. Penentuan instar ini menunjukkan bahwa larva chironomida genus Polypedilum yang ditemukan


(36)

selama waktu pengambilan contoh memiliki perkembangan larva yang terdiri atas empat instar. Pada Gambar 7 (a) dapat dilihat tahap perkembangan larva genus Polypedilum stasiun KJA pada kedalaman 1 m, dimana instar pertama memiliki panjang kepala dengan kisaran 61,3 µm sampai 140,3 µm dan memiliki lebar kepala dengan kisaran 63,5 µm sampai 141,8 µm. Tahap perkembangan larva pada instar kedua memiliki panjang kepala dengan nilai antara 96,1 µm sampai 182,2 µm dan lebar kepala berkisar antara 135,1 µm sampai 192,3 µm. Tahap perkembangan larva selanjutnya adalah pada instar ketiga dengan panjang kepala berkisar 164,2 µm sampai 239,9 µm dan lebar kepala berkisar antara 192,2 µm sampai 248,9 µm. Sedangkan tahap perkembangan larva instar keempat panjang kepala berkisar antara 188,8 µm sampai 387,1 µm dan lebar kepala berkisar antara 225,8 µm sampai 398 µm.

Informasi mengenai tahap perkembangan larva pada kedalaman 2 m dapat dilihat pada Gambar 7 (b). Instar pertama memiliki kisaran panjang kepala dari 65,5 µm sampai 128,3 µm dan lebar kepala berkisar antara 70,5 µm sampai 142 µm. Tahap perkembangan selanjutnya adalah instar kedua dengan kisaran panjang kepala 102,3 µm sampai 184,6 µm dan memiliki lebar kepala berkisar antara 139,3 µm sampai 199,2 µm. Tahap perkembangan larva pada instar ketiga memiliki panjang kepala 161,9 µm sampai 225,5 µm dan lebar kepala 197,2 µm sampai 248,9 µm. Sedangkan tahap perkembangan larva instar keempat memiliki panjang kepala 184,6 µm sampai 781,5 µm dan lebar kepala 218,8 µm sampai 692,3 µm


(37)

Gambar 7. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar kapsul kepala Polypedilum stasiun KJA pada kedalaman 1m (a) dan 2 m (b)

Panjang kapsul kepala (µm)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Le bar k aps ul k epal a m ) 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Panjang kapsul kepala (µm)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Le bar k aps ul k epal a m ) 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 (a) (b)


(38)

Informasi mengenai tahap perkembangan larva chironomida genus Polypedilum pada stasiun non-KJA per kedalaman dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 (a) dapat memberikan informasi mengenai tahap perkembangan larva genus Polypedilum pada kedalaman 1 m. Instar pertama memiliki kisaran panjang kepala dari 59 µm sampai 130,3 µm dan lebar kepala dari 77,4 µm sampai 139,2 µm. Tahap perkembangan selanjutnya adalah instar kedua yang memiliki panjang kepala dari 109 µm sampai 163,2 µm dan lebar kepala dari 138,3 µm sampai 184,6 µm. Tahap perkembangan larva pada instar ketiga memiliki panjang kepala dari 161,5 µm sampai 221 µm dan lebar kepala dari 193,4 µm sampai 241,1 µm. Sedangkan instar keempat memiliki panjang kepala dari 193,9 µm sampai 541,8 µm dan lebar kepala 226,5 µm sampai 574,2 µm.

Gambar 8 (b) menggambarkan tahap perkembangan larva Polypedilum pada kedalaman 2 m. Instar pertama memiliki panjang kepala berkisar antara 65,9 µm sampai 139 µm dan lebar kepala dari 71 µm sampai 141,7 µm. Tahap selanjutnya adalah instar kedua dengan kisaran panjang kepala 102,6 µm sampai 173,2 µm dan lebar kepala berkisar antara 142,9 µm sampai 198,1 µm. Tahap perkembangan larva instar ketiga memiliki panjang kepala berkisar antara 167,3 µm sampai 225,5 µm dan lebar kepala dari 195 µm sampai 240,7 µm. Sedangkan pada tahap perkembangan selanjutnya adalah instar keempat memiliki panjang kepala dari 201,1 µm sampai 589 µm dan lebar kepala 231 µm sampai 535,7 µm.


(39)

Gambar 8. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar kapsul kepala Polypedilum stasiun non-KJA pada kedalaman 1m (a) dan 2 m (b)

Panjang kapsul kepala (µm)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Le bar k aps ul k epal a m ) 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Panjang kapsul kepala (µm)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Le bar k aps ul k epal a m ) 50 100 150 200 250 300 350 400 450 (a) (b)


(40)

4.1.5. Uji t-dua contoh bebas

Hasil yang diperoleh dari uji-t dua contoh antar kedalaman pada kedua stasiun adalah gagal tolak Ho. Pada uji dua sampel di stasiun dengan membandingkan antar kedalaman diperoleh nilai Thitung sebesar -0,72 dimana nilai Thitung ini jauh lebih kecil

dari nilai taraf nyata α= 0,05 artinya dari dua kedalaman tersebut perkembangan larva chironomida genus Polypedilum yang ada tidak berbeda nyata. Hal ini diduga bahwa kondisi oksigen terlarut stasiun tersebut masih di atas baku mutu memungkinkan organisme larva chironomida genus ini dapat bertahan hidup. Hal yang sama juga terjadi pada stasiun non-KJA dimana nilai Thitung yang diperoleh

lebih kecil dari taraf nyata α= 0,05 dengan nilai Thitung adalah 0,38 artinya hipotesis

Ho diterima sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan larva chironomida genus Polypedilum pada dua kedalaman tidak berbeda nyata.

Untuk uji t-dua contoh pada dua stasiun yang berbeda antara stasiun KJA dengan stasiun non-KJA pada kedalaman 1 m pada waktu pengambilan sampel dipeoleh nilai Thitung sebesar 2,88, dimana nilai Thitunglebih besar dari taraf nyata α=

0,05. Keputusannya adalah tolak Ho yang berarti pada setiap pengambilan sampel yang dilakukan pada kedalaman 1 m di antara dua stasiun tersebut berbeda nyata. Hal yang sama terjadi pada kedalaman 2 m, dimana nilai Thitung yang diperoleh lebih

besar jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata α= 0,05 dengan nilai Thitung sebesar

2,43. Sehingga keputusan yang dapat diambil adalah tolak Ho. Artinya hal ini menggambarkan bahwa pada kedalaman 2 m perkembangan larva chironomida genus Polypedilum ini adalah berbeda nyata. Hal ini diduga bahwa suplai makanan di stasiun KJA jauh lebih banyak dibandingkan dengan stasiun non-KJA.

4.2. Pembahasan

Larva chironomida yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari tiga sub famili yaitu Chironominae, Tanypodinae dan Orthocladiinae. Organisme yang paling banyak ditemukan dari kedua stasiun berasal dari sub famili Chironominae yaitu sebanyak delapan genus. Sedangkan untuk sub famili Tanypodinae dan Orthocladiinae masing-masing ditemukan tiga dan empat genus. Jenis larva chironomida yang ditemukan dari ketiga sub famili tersebut, didominasi oleh genus


(41)

Polypedilum dari sub famili Chironominae. Perkembangan larva Polypedilum tentunya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, baik faktor fisik, kimia maupun biologis (Arimoro et al. 2007). Beberapa faktor fisik dan kimia yang merupakan parameter kualitas air yang menjadi faktor pendukung terhadap perkembangan larva Polypedilum diantaranya yaitu DO, TSS, pH, dan suhu. Selain itu larva chironomida genus ini memiliki kemampuan adaptasi dan sangat toleran terhadap kondisi lingkungan terutama terhadap pencemaran (Newburn & Krane 2000) dibandingkan dengan genus-genus dari sub famili Tanypodinae dan Orthocladiinae.

Kepadatan larva chironomida genus Polypedilum pada kedua stasiun berbeda-beda. Kepadatan larva genus Polypedilum pada stasiun KJA bervariasi pada setiap waktu pengambilan contoh dan kedalaman. Waktu pengambilan contoh minggu pertama belum ditemukan larva chironomida. Hal ini diduga karena perlu adanya suksesi larva terhadap substrat buatan yang baru dipasang, sehingga pada substrat buatan tersebut belum terjadi proses kolonisasi larva chironomida. Kepadatan larva chironomida terbesar terdapat pada waktu pengambilan contoh minggu kedua yaitu hari ke-14. Tingginya kepadatan larva pada hari tersebut disebabkan karena banyaknya larva yang hidup menetap dan sudah berumur 14 hari dan adanya kelompok larva baru pada hari tersebut. Sedangkan pada waktu pengambilan contoh minggu ketiga dan keempat secara umum kepadatan larva setiap hari semakin menurun. Kepadatan larva chironomida yang menurun dari waktu ke waktu pengambilan contoh ini diduga karena jaring tersebut tidak dapat melindungi larva chironomida dari predator selain ikan, seperti nimfa capung. Nimfa capung merupakan salah satu karnivora ganas yang apabila berukuran besar dapat memburu dan memangsa berudu, anak ikan dan termasuk larva chironomida.

Pemakaian jaring pelindung dengan tujuan mengurangi predasi dari ikan berhasil untuk menghalangi predasi dari ikan. Akan tetapi jaring tersebut tidak bisa melindungi larva dari predator selain ikan, seperti dengan ditemukan keong, udang dan nimfa capung pada beberapa waktu selama pengamatan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jaring yang digunakan itu tidak hanya dari bawah dan samping tetapi juga dari atas, sebagaimana percobaan yang telah dilakukan oleh Klemm (2003) yang membuat substrat buatan dengan perlindungan dari bawah hingga atas,


(42)

sehingga benar-benar dapat melindungi larva chironomida dari predasi selain ikan. Selain itu penggunaan jaring pelindung di bagian atas juga memperkecil peluang adanya serangga jenis lain meletakkan telurnya di substrat buatan yang dapat menjadi pesaing (competitor) ataupun predator bagi larva chironomida.

Kepadatan larva chironomida pada stasiun non-KJA jauh lebih kecil dibandingkan dengan kepadatan larva pada stasiun KJA. Hal ini diduga terkait dengan kondisi pada stasiun KJA yang banyak mengandung bahan organik yang berasal dari limbah domestik dan sisa pakan ikan (Sukmana 2010). Masukan bahan organik ini merupakan sumber makanan bagi larva Chironomida (Silva et al. 2008) termasuk juga Polypedilum, dengan demikian kelimpahan Polypedilum pada stasiun KJA lebih banyak dibandingkan di stasiun non-KJA. Perbedaan tersebut dapat pula disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan perairan, seperti halnya pada stasiun KJA lebih banyak ditemukan Chironomidae dewasa serta banyak bagian dari KJA yang dapat menjadi tempat berlindung dan bertengger Chironomidae dewasa. Dengan demikian hal ini memberi peluang indukan untuk meletakkan telur lebih banyak.

Tahap perkembangan larva chironomida dapat dilihat dari ukuran tubuhnya. Ukuran tubuh yang dapat dijadikan sebagai penentu tahap perkembangan larva adalah lebar kapsul kepala larva chironomida (Klemm 2003). Berdasarkan hasil yang diperoleh baik di stasiun KJA maupun non-KJA, keempat instar dalam perkembangan larva chironomida bisa ditemukan di substrat buatan, yaitu mulai dari instar pertama, kedua, ketiga dan keempat. Hal ini menjelaskan bahwa substrat buatan yang digunakan pada penelitian ini dapat memberikan habitat bagi tiap tahapan instar dari larva genus ini. Seperti yang diketahui larva genus ini memiliki adaptasi yang berbeda dan sangat toleran terhadap kondisi lingkungan pada setiap instarnya. Selain itu ukuran tubuh larva genus Polypedilum pada stasiun KJA lebih besar dibandingkan pada stasiun non-KJA. Sesuai dengan Silva et al. (2008) bahwa larva Polypedilum pada lokasi yang dekat dengan pemukiman penduduk yang banyak menerima masukan limbah domestik akan lebih cepat dibandingkan dengan lokasi yang tinggi sedimentasi. Selain itu, perkembangan larva Polypedilum pada lokasi yang terdapat makanan relatif lebih cepat dibandingkan dengan lokasi yang kualitas dan jumlah makanannya kurang (Haas et al. 2006).


(43)

Perbedaan respon larva chironomida pada substrat buatan di kedua stasiun ini dapat dibuktikan dengan uji t. Berdasarkan uji t tersebut terlihat adanya perbedaan respon antar stasiun, namun hasil uji t terhadap larva pada setiap kedalaman antar stasiun memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan di kedua stasiun. Pada stasiun KJA masih memenuhi karakteristik agar larva chironomida dapat bertahan hidup, yaitu dengan adanya bahan organik yang banyak sebagai makanan bagi larva chironomida. Perubahan-perubahan terhadap respon yang diamati ini pada akhirnya akan menunjukkan adanya perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda.


(44)

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Substrat buatan yang diberi jaring pelindung pada stasiun KJA dan non-KJA mampu menjadi habitat tiruan bagi larva chironomida khususnya pada larva Polypedilum, sehingga dapat melindunginya dari predator berupa ikan. Keempat instar larva chironomida ditemukan pada substrat buatan yaitu instar pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

5.2. Saran

Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai rancangan yang melindungi substrat buatan dari segala arah agar perkembangan chironomida berlangsung dengan baik tanpa adanya gangguan dari predator untuk meningkatkan produktivitasnya.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Heath Association. 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater. 19th Edition. American Public Health Association, Washington, American Water Works Association, Water Environment Federation. Uniterd Book Press, Inc. Maryland. The United State of America. 1015 p.

Arimoro FO, Ikomi RB, Iwegbue CMA. 2007. Water quality changes in relation to Diptera community patterns and diversity measured at an organic effluent impacted stream in the Niger Delta, Nigeria. Ecological Indicators 7:541-552. Barus TA. 2002. Pengantar limnologi. Jurusan Biologi. FMIPA. USU. Medan. 164

p.

Basmi HJ. 1988. Perkembangan komunitas fitoplankton sebagai indikasi perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan [tidak dipublikasikan]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Bay EC. 2003. Chironomid midges. Washington State University. USA.

Boyd C. 1998. Water quality for pond aquaculture. Auburn University. Almabama.

Brodersen KP. Pederson Ole. Walker IR. Jensen MT. 2007. Respiration of midges (Diptera: Chironomidae) in British Columbian Lakes: Oxy-regulation, Temperature and Their Role as Paleo-indicator. Freshwater Biologi (2008) 53. 593-602. Blackwell Publishing. Canada.

Ciborowski J. 2002. Indicator: Chironomid abundance and deformities. Department of Biological Sciences University of Windsor.

Epler JH. 2001. Identification manual for the larval Chironomidae (Diptera) of North and South Carolina. EPA Region 4 and Human Healt and Ecological Criteria Division. Crawfordfile.

Frouz J, Matena J & Ali A. 2003. Survival strategies of chironomids (Diptera: Chironomidae) living in temporary habitats: A Review. University of Florida, Florida Research and Education Center. USA.

Favian HA. 2011. Struktur populasi larva Polypedilum (Insekta: Chironomidae) pada kedalaman berbeda di Danau Lido, Kabupaten Bogor [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gillis PL and Wood CM. 2008. Investigating a potential mechanism of Cd resistance in Chironomus riparius larvae using kinetic analysis of calcium and cadmium uptake. Aquatic Toxicology 89 (2008) 180-187.


(46)

Groenendijk D, Postma JF, Kraak MHS, and Admiraal W. 1998. Seasonal dynamics and larval drift of Chironomus riparius (Diptera) in a metal contaminated lowland river. Aquatic Ecology 32:341-351.

Haas EMD. Wagner. C, Koelmans .AA, Kraak MHS,, and Admiraal W. 2006. Habitat selection by chironomid larvae: fast growth requires fast food. Journal of Animal Ecology.Vol 75 p 148-155.

Jangkaru Z. 2003. Memelihara ikan di kolam tadah hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. 72 hlm.

Klemm PMAD. 2003. Chironomids (Diptera, Nematocera) of temporary pools - an ecological case study. [tesis]. Fachbereich Biologie der Phillips-Universität Marburg vorgelegt von. St

Kodds WK 2002. Freshwater ecology concepts and environmental applications. Academic Press. United States of America.

Lencioni V, Bernabo P, Vanin S, Muro PD & Beltramini M. 2008. Respiration rate and oxy-regulatory capacity in cold stenothermal chironomids. Elsivier. Italy.

Mattjik AA & Sumertajaya IM. 2002. Perancanaan percoban dengan aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1 edisi 2. IPB Press. Bogor.

McCafferty WP. 1983. Aquatic entomology: the fishermen’s and ecologists’ ilustrated guide to insect and their relatives. Jones and Bartlett Publishers. Boston. 448 p.

MINITAB, Inc. 2003. Minitab release 14 for windows.

Nancy EP. 2007. Kajian pengelolaan kawasan wisata di Danau Lido Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Newburn E & Krane D. 2000. Identification markers of the its-1 region of chironomid species for use as ecoindicators of water pollution p 769-771 vol. 40 No.21. In Symposia papers presente.

Pinder LCV. 1986. Biology of freshwater Chironomidae. Ann. Rev. Entomol. 31:1-23.

PP. No. 82. 2001. Tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Saliu JK & Ovuorie UR. 2006. The artificial substrate preference of invertebrates in Obge Creek, Lagos, Nigeria. Life Science Journal. 4(3), 2007.


(47)

Silva FL, Ruiz SS, Bochini GL & Moreira DC. 2008. Functional feeding habits of Chironomidae larvae (Insecta, Diptera) in a lotic system from Midwestern region of São Paulo State.

Sudarso Y. 2006. Pengaruh kontaminasi logam berat terhadap kecacatan larva (Dicrotendipes simpsoni) (Diptera: Chironomidae): studi kasus di Waduk Saguling Jawa Barat. J. manusia dan lingkungan. 13(1): 1-10.

Sukmana H. 2010. Dinamika komunitas larva chironomid pada substrat buatan di kedalaman berbeda [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tarkowska-Kukuryk M and Mieczan T. 2008. Diet composition of epiphytic chironomids of the Cricotopus sylvestris group (Diptera: Chironomidae) in a shallow hypertrophic lake. Aquatic Insects 30(4): 285-294.

Ward JV. 1992. Aquatic insect ecology: biology and habitat. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Welch PS. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Company Inc. United State of America. 538p.

Wetzel RG. 2001. Limnology lake and river ecosystems. Academic Press. California. 1006 p.

Zilli FL, Montalto L, Paggi AC Merchese. 2008. Biometry and life cycle of Chironomus calligraphus Goeldi 1905 (Diptera, Chironomidae) in laboratory conditions. Asociation Interciencia. Caracas, Venezuela. Argentina.


(48)

(49)

Lampiran 1. Foto lokasi peletakan substrat buatan

Stasiun KJA


(50)

Lampiran 2. Posisi peletakan rangkaian substrat buatan di Danau Lido

Posisi peletakan substrat buatan di stasiun KJA


(51)

Lampiran 3. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis chironomida

Mikroskop bedah Mikroskop majemuk Entellan

Alkohol 70% KOH 10% Akuades

Bingkai substrat buatan Nampan Kuas

Pinset Pipet drop Botol sampel

Alkohol 70%


(52)

Lampiran 4. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis kualitas air

Termometer raksa Vandorn water sampler Syring/suntikan

Dessikator Botol BOD Kertas saring

Reagen Vacuum pump Perahu


(53)

Lampiran 5. Nilai parameter fisika dan kimia perairan

Parameter Unit STASIUN PENGAMATAN KJA STASIUN PENGAMATAN NON-KJA

Kedalaman max m 9.7 2.5

Z=1 meter Z=2 meter Z=1 meter Z=2 meter

Pengamatan hari

ke 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29

FISIKA

Suhu oC 27.0 27.0 26.2 26.7 26.0 27.0 27.0 25.5 26.0 25.5 26.7 26.7 25.8 26.0 26.0 26.8 26.5 25.3 25.3 25.3

TSS mg/l 1.7 2.7 10.0 19.7 8.9 5.3 5.0 7.3 27.3 7.8 16.7 11.0 18.7 18.3 21.1 310.3 512.0 210.0 425.0 360.0

KIMIA

pH - 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0


(54)

Lampiran 6. Kepadatan chironomida genus Polypedilum pada stasiun KJA dan non-KJA (individu/m2)

Hari

Kepadatan (Ind/m2)

Stasiun KJA Stasiun Non-KJA

Kedalaman 1 m Kedalaman 2 m Kedalaman 1 m Kedalaman 2 m

1 0 0 0 0

2 0 0 0 0

3 0 0 0 0

4 0 0 133 0

5 0 0 0 0

6 0 0 0 0

7 15 0 0 0

8 74 44 104 15

9 0 0 0 0

10 59 30 30 15

11 667 237 119 0

12 844 74 30 59

13 1422 74 163 59

14 1733 281 74 74

15 741 193 237 133

16 1244 622 119 44

17 652 370 148 44

18 430 326 281 119

19 281 267 104 104

20 519 770 44 59

21 519 519 15 30

22 489 385 193 148

23 281 681 148 44

24 281 474 119 89

25 459 785 326 104

26 311 296 74 119

27 385 341 178 44

28 178 148 163 59

29 237 104 281 44


(55)

Lampiran 7. Uji t-dua contoh terhadap respon yang diamati

Stasiun T hitung T ᾳ/2 Keterangan

KJA 1 m & KJA 2 m -0,72

1,65

Gagal tolak H0

Non KJA 1 m &non-KJA 2 m 0,38 Gagal tolak H0

KJA 1 m & non-KJA 1 m 2,88 Tolak H0

KJA 2 m & non-KJA 2 m 2,43 Tolak H0

Analisis uji t-dua sampel menggunakan minitab 14.

Stasiun KJA

Two-Sample T-Test and CI: KJA 1 m, KJA 2m

Two-sample T for KJA 1 m vs KJA 2m N Mean StDev SE Mean KJA 1 m 810 205.2 50.5 1.8 KJA 2m 492 207.5 61.3 2.8

Difference = mu (KJA 1 m) - mu (KJA 2m) Estimate for difference: -2.24749

95% CI for difference: (-8.39794, 3.90295)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.72 P-Value = 0.474 DF =1300 Both use Pooled StDev = 54.8496

Stasiun Non-KJA

Two-Sample T-Test and CI: nKJA 1m, nKJA 2m

Two-sample T for nKJA 1m vs nKJA 2m N Mean StDev SE Mean nKJA 1m 216 193.5 61.7 4.2 nKJA 2m 97 190.5 68.6 7.0

Difference = mu (nKJA 1m) - mu (nKJA 2m) Estimate for difference: 2.95649

95% CI for difference: (-12.40797, 18.32095)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.38 P-Value = 0.705 DF =311 Both use Pooled StDev = 63.8876


(56)

Kedalaman 1 m pada setiap waktu pengamatan Two-Sample T-Test and CI: KJA 1 m, nKJA 1m

Two-sample T for KJA 1 m vs nKJA 1m N Mean StDev SE Mean KJA 1 m 810 205.2 50.5 1.8 nKJA 1m 216 193.5 61.7 4.2

Difference = mu (KJA 1 m) - mu (nKJA 1m) Estimate for difference: 11.7169

95% CI for difference: (3.7427, 19.6912)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.88 P-Value = 0.004 DF = 1024 Both use Pooled StDev = 53.0668

Kedalaman 2 m pada setiap waktu pengamatan

Two-Sample T-Test and CI: KJA 2m, nKJA 2m

Two-sample T for KJA 2m vs nKJA 2m N Mean StDev SE Mean KJA 2m 492 207.5 61.3 2.8 nKJA 2m 97 190.5 68.6 7.0

Difference = mu (KJA 2m) - mu (nKJA 2m) Estimate for difference: 16.9209

95% CI for difference: (3.2729, 30.5689)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.43 P-Value = 0.015 DF = 587 Both use Pooled StDev = 62.5512


(1)

Lampiran 3. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis chironomida

Mikroskop bedah

Mikroskop majemuk

Entellan

Alkohol 70%

KOH 10%

Akuades

Bingkai substrat buatan

Nampan

Kuas

Pinset

Pipet drop

Botol sampel

Alkohol 70%


(2)

Lampiran 4. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis kualitas air

Termometer raksa

Vandorn water sampler

Syring/suntikan

Dessikator

Botol BOD

Kertas saring

Reagen

Vacuum pump

Perahu


(3)

Lampiran 5. Nilai parameter fisika dan kimia perairan

Parameter Unit STASIUN PENGAMATAN KJA STASIUN PENGAMATAN NON-KJA

Kedalaman max m 9.7 2.5

Z=1 meter Z=2 meter Z=1 meter Z=2 meter

Pengamatan hari

ke 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29

FISIKA

Suhu oC 27.0 27.0 26.2 26.7 26.0 27.0 27.0 25.5 26.0 25.5 26.7 26.7 25.8 26.0 26.0 26.8 26.5 25.3 25.3 25.3

TSS mg/l 1.7 2.7 10.0 19.7 8.9 5.3 5.0 7.3 27.3 7.8 16.7 11.0 18.7 18.3 21.1 310.3 512.0 210.0 425.0 360.0

KIMIA

pH - 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0


(4)

Lampiran 6. Kepadatan chironomida genus

Polypedilum

pada stasiun KJA dan

non-KJA (individu/m

2

)

Hari

Kepadatan (Ind/m

2

)

Stasiun KJA

Stasiun Non-KJA

Kedalaman 1 m

Kedalaman 2 m

Kedalaman 1 m

Kedalaman 2 m

1

0

0

0

0

2

0

0

0

0

3

0

0

0

0

4

0

0

133

0

5

0

0

0

0

6

0

0

0

0

7

15

0

0

0

8

74

44

104

15

9

0

0

0

0

10

59

30

30

15

11

667

237

119

0

12

844

74

30

59

13

1422

74

163

59

14

1733

281

74

74

15

741

193

237

133

16

1244

622

119

44

17

652

370

148

44

18

430

326

281

119

19

281

267

104

104

20

519

770

44

59

21

519

519

15

30

22

489

385

193

148

23

281

681

148

44

24

281

474

119

89

25

459

785

326

104

26

311

296

74

119

27

385

341

178

44

28

178

148

163

59

29

237

104

281

44


(5)

Lampiran 7. Uji t-dua contoh terhadap respon yang diamati

Stasiun

T hitung

T

ᾳ/2

Keterangan

KJA 1 m

&

KJA 2 m

-0,72

1,65

Gagal tolak H0

Non KJA 1 m &

non-KJA 2 m

0,38

Gagal tolak H0

KJA 1 m

&

non-KJA 1 m

2,88

Tolak H0

KJA 2 m & non-KJA 2 m

2,43

Tolak H0

Analisis uji t-dua sampel menggunakan minitab 14.

Stasiun KJA

Two-Sample T-Test and CI: KJA 1 m, KJA 2m

Two-sample T for KJA 1 m vs KJA 2m N Mean StDev SE Mean KJA 1 m 810 205.2 50.5 1.8 KJA 2m 492 207.5 61.3 2.8

Difference = mu (KJA 1 m) - mu (KJA 2m) Estimate for difference: -2.24749

95% CI for difference: (-8.39794, 3.90295)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.72 P-Value = 0.474 DF =1300 Both use Pooled StDev = 54.8496

Stasiun Non-KJA

Two-Sample T-Test and CI: nKJA 1m, nKJA 2m

Two-sample T for nKJA 1m vs nKJA 2m N Mean StDev SE Mean nKJA 1m 216 193.5 61.7 4.2 nKJA 2m 97 190.5 68.6 7.0

Difference = mu (nKJA 1m) - mu (nKJA 2m) Estimate for difference: 2.95649

95% CI for difference: (-12.40797, 18.32095)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.38 P-Value = 0.705 DF =311 Both use Pooled StDev = 63.8876


(6)

Kedalaman 1 m pada setiap waktu pengamatan

Two-Sample T-Test and CI: KJA 1 m, nKJA 1m

Two-sample T for KJA 1 m vs nKJA 1m N Mean StDev SE Mean KJA 1 m 810 205.2 50.5 1.8 nKJA 1m 216 193.5 61.7 4.2

Difference = mu (KJA 1 m) - mu (nKJA 1m) Estimate for difference: 11.7169

95% CI for difference: (3.7427, 19.6912)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.88 P-Value = 0.004 DF = 1024 Both use Pooled StDev = 53.0668

Kedalaman 2 m pada setiap waktu pengamatan

Two-Sample T-Test and CI: KJA 2m, nKJA 2m

Two-sample T for KJA 2m vs nKJA 2m N Mean StDev SE Mean KJA 2m 492 207.5 61.3 2.8 nKJA 2m 97 190.5 68.6 7.0

Difference = mu (KJA 2m) - mu (nKJA 2m) Estimate for difference: 16.9209

95% CI for difference: (3.2729, 30.5689)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.43 P-Value = 0.015 DF = 587 Both use Pooled StDev = 62.5512