Higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban di wilayah DKI Jakarta

HIGIENE DAN SANITASI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN
KURBAN DI WILAYAH DKI JAKARTA

THERESIA AURENSIA AURORA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Higiene dan Sanitasi
Tempat Pemotongan Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2014
Theresia Aurensia Aurora
NIM B04090044

ABSTRAK
THERESIA AURENSIA AURORA. Higiene dan Sanitasi Tempat Pemotongan
Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta. Dibimbing oleh ABDUL ZAHID
ILYAS.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran mengenai kondisi
higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban, gambaran tingkat
kontaminasi mikroba pada daging hewan kurban serta melihat hubungan antara
praktik higiene dan sanitasi terhadap kontaminasi mikroba pada daging hewan
kurban. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder hasil
pemeriksaan kesehatan hewan dan daging hewan kurban yang dilakukan oleh
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) bekerjasama
dengan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta (Lab.
Kesmavet DKI Jakarta). Responden berasal dari 46 tempat pemotongan hewan
kurban di seluruh DKI Jakarta. Uji khi-kuadrat digunakan untuk mengetahui
hubungan antara praktik higiene dan sanitasi tempat pemotongan terhadap
kontaminasi mikroba dalam daging kurban. Hasil penelitian menunjukkan

seluruh variabel tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap jumlah total
mikroorganisme dan keberadaan E. coli pada daging (P value > 0.05).
Kata kunci: daging, Escherichia coli, higiene, jumlah total
sanitasi, tempat pemotongan hewan kurban

mikroorganisme,

ABSTRACT
THERESIA AURENSIA AURORA. Hygiene and Sanitation at Slaughter
Location during Idul Adha Festival in DKI Jakarta. Supervised by ABDUL
ZAHID ILYAS.
The research was conducted to observe the hygiene and sanitation at
slaughter location during Idul Adha festival in DKI Jakarta, microbial impurities
rates in meat, and relation between hygiene and sanitation practices to microbial
impurities rates in meat. The data that were used in this study was a secondary
data from sacrifice animal health examination which have been done by
Veterinary Medicine Faculty of Bogor Agriculture University in collaboration
with Veterinary Public Health Laboratory in DKI Jakarta. Respondens were taken
from 46 slaughtering locations in DKI Jakarta. Chi-square test was used to know
the relation between hygiene and sanitation practices to microbial impurities rates

in meat. The result showed that all variable was not given significant correlation
against the total number of total microorganism and the presence of E. coli in
meat (P value > 0.05).
Keywords: Escherichia coli, hygiene-sanitation, slaughter location during Idul
Adha festival, meat, number of total microorganism

HIGIENE DAN SANITASI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN
KURBAN DI WILAYAH DKI JAKARTA

THERESIA AURENSIA AURORA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi :Higiene dan Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban di
Wilayah DKI Jakarta
Nama
: Theresia Aurensia Aurora
NIM
: B04090044

Disetujui oleh

Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS Ph.D APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala karuniaNya sehingga sehingga skripsi dengan judul Higiene dan Sanitasi Tempat
Pemotongan Hewan Kurban di Wilayah DKI Jakarta dapat diselesaikan.
Terimakasih Penulis sampaikan kepada bapak Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga
Penulis menyampaikan terimakasih kepada bapak Prof Dr Drh Iman Supriatna,
selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan semangat dan
motivasi kepada Penulis. Penulis juga berterima kasih kepada Dinas Kelautan dan
Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam penelitian ini.
Terima kasih kepada papa, mama, kakak-kakak Vicky Dion Malfrico,
Ronaldo Jesen, Liefka Marisca Marioline, keponakan tersayang Kirsten Bianca
Livinlove serta keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayang yang telah
diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis ucapkan kepada sahabatsahabat Qogals Family atas doa dan dukungannya serta Geochelone angkatan 46
atas kerjasama dan kebersamaannya selama menempuh pendidikan hingga
selesainya skripsi ini. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan, untuk itu Penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran
yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.


Bogor, Nopember 2014
Theresia Aurensia Aurora

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Mikroba Pencemar Daging

2

Jumlah Total Mikroorganisme

3


Escherichia coli

3

Penerapan Praktik Higiene dan Sanitasi

4

METODE PENELITIAN

4

Sumber Data

4

Besaran dan Jenis Sampel

4


Variabel yang Diamati dan Pengodean

5

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kondisi Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban

8

Kondisi Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban

9


Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Hewan
Kurban Dibandingkan SNI 01-7388-2009

11

Hubungan antara Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap
Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Kurban

12

Hubungan antara Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap
Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Kurban
SIMPULAN DAN SARAN

14
17

Simpulan


17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Besaran dan jenis sampel untuk setiap wilayah di DKI Jakarta pada
tahun 2011 dan 2012

5

2 Definisi operasional

5

3 Kategori pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan
kurban

8

4 Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban

8

5 Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban

10

6 Persentase jumlah total mikroorganisme dan E. coli dalam daging
kurban dibandingkan SNI 01-7388-2009

12

7 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan jumlah total
mikroorganisme pada daging kurban

13

8 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan E. coli pada daging
kurban

14

9 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan jumlah total
mikroorganisme pada daging kurban

15

10 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan E. coli dalam
daging kurban

16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Pemeriksaan Tata Laksana Pemotongan Hewan Kurban Idul
Adha 1434 H/2013 M

20

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban merupakan hari suci keagamaan bagi
umat Islam yang dirayakan setiap tahun. Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan
pada hari raya tersebut adalah pemotongan hewan kurban. Penerapan prinsip
halalan-thoyyiban merupakan hal penting dalam pelaksanaan penanganan dan
pemotongan hewan kurban. Prinsip thoyyiban dalam pemotongan hewan kurban
adalah menangani hewan secara baik dan benar sebelum (antemortem) dan saat
pemotongan dengan memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (postmortem).
Mengingat jumlah hewan yang dipotong sangat banyak dan dilakukan secara
serempak, kegiatan ini seringkali terkendala oleh keterbatasan fasilitas dan sumber
daya manusia yang terampil. Namun demikian, hal tersebut tidak boleh dijadikan
alasan untuk mengabaikan prinsip halalan-thoyyiban dalam penanganan dan
penyembelihan hewan kurban.
Sebagian besar pelaksanaan kegiatan pemotongan hewan kurban hingga saat
ini dilakukan oleh masyarakat di luar rumah potong hewan (RPH), seperti di
halaman masjid, lapangan perkantoran swasta atau pemerintah dan umumnya
berada ditengah pemukiman penduduk (Purwanti 2006). Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan yang berisikan semua hewan berkaki empat harus dipotong di RPH,
kecuali untuk upacara adat, hari besar keagamaan dan pemotongan darurat dengan
catatan masih di bawah pengawasan pemerintah daerah. Seluruh kegiatan tersebut
seharusnya dibawah pengawasan dokter hewan atau petugas kesehatan yang
ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Dalam pelaksanaan penyembelihan hewan kurban, petugas pengawas hanya
bertanggungjawab dalam hal kesehatan hewan kurban sehingga diharapkan daging
hewan kurban yang dihasilkan bebas dari penyakit hewan menular dan zoonosis.
Panitia pemotongan hewan kurban kadang hanya memfokuskan pada tata cara
penyembelihan halal saja untuk mendapatkan daging yang halal, sedangkan aspek
higiene dan sanitasi cenderung terlupakan. Pada saat penanganan daging, peranan
petugas kesehatan sangat kecil mengingat relatif banyak panitia yang terlibat
dalam pemotongan dan penanganan daging tetapi harus selalu dilakukan untuk
menghasilkan daging yang aman. Hal ini memungkinkan terjadinya kontaminasi
mikroba pada daging hewan kurban melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-7388-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum
Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan (Badan Standardisasi Nasional 2009).
Selain itu, terbatasnya sarana dan prasarana serta pengetahuan aspek higiene dan
sanitasi panitia penyembelih hewan kurban juga dapat menjadi penyebabnya.
Daging merupakan sumber nutrisi yang sangat berguna bagi manusia, tetapi
berguna juga untuk kelangsungan hidup mikroba. Mikroba yang biasa disebut
juga mikroorganisme terdapat dimana-mana di sekeliling kita, maka dengan
dilakukannya penyembelihan hewan di luar RPH dengan sarana dan prasarana
serta penanganan seadanya dapat menimbulkan kontaminasi mikroba yang tinggi
pada daging yang dihasilkan.

2

Kontaminasi mikroba pada daging dapat menyebabkan kerusakan pada
daging berupa perubahan fisik maupun kimiawi, sehingga daging tersebut
dianggap tidak layak dikonsumsi. Selain kerusakan pada daging, kontaminasi
mikroba juga berpotensi dapat menimbulkan penyakit bagi manusia yang
mengkonsumsinya.
Dalam rangka penyediaan daging hewan kurban yang memenuhi
persyaratan halalan-thoyyiban, maka perlu penerapan konsep halal serta praktik
higiene dan sanitasi dalam penyediaan daging kurban tersebut. Hal ini perlu agar
daging yang dikonsumsi tetap terjamin kehalalan, keamanan dan kesehatannya
(DKMV 2005).
Kebijakan teknis mengenai higiene dan sanitasi di Indonesia untuk daging
kurban harus memenuhi ketentuan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Daging
yang aman berarti tidak mengandung bahan berbahaya (biologis, kimia dan fisik)
yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Daging kurban harus berasal dari
hewan yang sehat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Daging yang utuh dan
halal berarti terjaga kemurniannya dan diproduksi dengan syariat agama Islam.
Produk pangan asal hewan yang sehat berasal dari hewan yang sehat dan sejahtera
(kesejahteraan hewan).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran mengenai kondisi
higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban, gambaran tingkat
kontaminasi mikroba dalam daging hewan kurban serta melihat hubungan antara
higiene dan sanitasi terhadap kontaminasi mikroba.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mampu memberikan informasi mengenai
kondisi higiene dan sanitasi dalam proses pemotongan hewan dan penanganan
daging di tempat pemotongan hewan kurban pada saat hari raya kurban.

TINJAUAN PUSTAKA
Mikroba Pencemar Daging
Mikroba yang merusak daging dapat berasal dari hewan yang terinfeksi
pada saat masih hidup serta kontaminasi daging setelah penyembelihan.
Kontaminasi permukaan daging dapat terjadi sejak saat penyembelihan hewan
hingga daging dikonsumsi (Soeparno 1998).
Sumber kontaminasi di RPH dapat berasal dari tanah setempat, kulit, isi
saluran pencernaan, air, alat-alat yang digunakan selama proses mempersiapkan
daging (misalnya pisau, gergaji, katrol dan pengait, serta alat-alat tempat jeroan),
kotoran, udara dan pekerja (Hansson 2001). Mikroba yang berasal dari saluran

3
pencernaan dapat mencapai 1×103 cfu/g sampai 1×1011 cfu/g isi intestinal
(Lukman 2001). Kontaminasi feses terhadap karkas dapat menyebabkan
kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella, Campylobacter, Yersinia dan E.
coli (Hannson 2001). Bakteri patogen juga dapat mencemari daging yang berasal
dari hewan yang pada saat disembelih dalam kondisi stress. Daging dapat
terkontaminasi bakteri patogen pada saat pencucian dan apabila berkembang
sejalan dengan pertumbuhannya dapat menjadikan daging tersebut sebagai
makanan yang beresiko (Samelis et al. 2001).

Jumlah Total Mikroorganisme
Pengujian jumlah total mikroorganisme atau Total Plate Count (TPC)
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah
total mikroba dalam daging. Metode TPC merupakan metode yang paling banyak
digunakan dalam analisa karena koloni dapat dilihat langsung dengan mata tanpa
menggunakan mikroskop. Menurut BSN (2009), prinsip pengujian TPC adalah
menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara
menghitung koloni bakteri yang biasanya ditumbuhkan pada plate count agar
(PCA). Tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh pada media agar dan kondisi
inkubasi yang diterapkan. Jumlah mikroorganisme yang tumbuh membentuk
koloni hanya berasal dari mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang
ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu, dan lama inkubasi).
Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per
gram atau per ml atau luasan tertentu dari contoh (cm²) (Lukman 2009). Dalam
SNI 01-7388-2009 telah ditetapkan maksimum jumlah TPC dalam daging adalah
1×106 cfu/g (BSN 2009).

Escherichia coli
Escherichia coli diklasifikasikan ke dalam famili Enterobacteriaceae (Jay
1997). E. coli adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang, dalam jumlah
banyak menempati usus besar hewan dan merupakan bakteri komensal dalam
saluran pencernaan. Dalam SNI 01-7388-2009 telah ditetapkan maksimum
jumlah E.coli dalam daging adalah 1×101 cfu/g (BSN 2009).
Menurut Manning (2010) galur E. coli yang termasuk golongan patogen
dan berdasarkan sifat virulensi dan mekanisme kerjanya yaitu Enteropathogenic E.
coli (EPEC), Enterotoxigenic E. Coli (ETEC), Enterohemorrhagic E. Coli
(EHEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC), dan Enteroadherent E. Coli (EAEC).
Sumber utama infeksi yang terjadi pada manusia adalah makanan, seperti daging
giling, susu yang tidak dipasteurisasi, dan bahan lainnya yang telah mengalami
kontaminasi silang oleh Shiga Toxin E. coli (STEC) (Karmali 2003). Adapun cara
pencemarannya adalah melalui tangan, proses eviserasi, pencemaran tidak
langsung melalui polusi air, dan pengemasan produk (Forsythe 2000). Penyakit
yang disebabkan E. coli antara lain infeksi saluran kemih, diare, sepsis, dan
meningitis.

4

Penerapan Praktik Higiene dan Sanitasi
Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan
kesehatan (Deptan 2012). Higiene dapat didefinisikan sebagai semua kondisi dan
tindakan utuk menjamin keamanan dan kelayakan daging pada semua tahap dalam
rantai makanan. Kepentingan penerapan higiene dalam rantai makanan adalah (a)
melindungi dan menjaga kesehatan manusia, (b) melindungi dan menjaga
kesehatan hewan dan lingkungan, (c) menjamin kebersihan, (d) menghindari
kerugian ekonomis, (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan, serta (f)
menghindari ketidakpuasan konsumen. Sanitasi adalah usaha pencegahan
penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan,
yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut (Deptan 2012).
Tujuan sanitasi di tempat pemotongan hewan kurban adalah mencegah
pencemaran lingkungan disekitar tempat penyembelihan hewan agar diperoleh
daging higienis dan sehat (Sudarwanto 2004).
Menurut Dewanti (2003) bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang
keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa air atau makanan tersebut
terkontaminasi oleh kotoran hewan atau manusia. Bakteri indikator sanitasi pada
umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Jadi
adanya bakteri tersebut pada air atau makanan menunjukkan bahwa dalam satu
atau lebih tahap pengolahan air atau makanan pernah dicemari dengan kotoran
yang berasal dari usus manusia dan hewan. Saat ini ada tiga jenis bakteri yang
digunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi, yaitu Escherichia coli,
kelompok Streptococcus (Enterococcus) fecal dan Clostridium perfringens.

METODE PENELITIAN
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder hasil
pemeriksaan kesehatan hewan dan daging hewan kurban yang dilakukan oleh
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) bekerjasama
dengan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Data terdiri atas data
higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dan data kualitas
mikrobiologik. Data higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban
diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioneryang dirancang oleh FKHIPB, adapun data kualitas mikrobiologik daging hewan kurban diperoleh dari hasil
uji Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta (Lab. Kesmavet
DKI Jakarta).

Besaran dan Jenis Sampel
Besaran dan jenis sampel untuk setiap wilayah di DKI Jakarta pada tahun
2011 dan 2012 disajikan pada Tabel 1.

5
Tabel 1 Besaran dan jenis sampel untuk setiap wilayah di DKI Jakarta pada tahun
2011 dan 2012
Tahun

Wilayah

Jumlah responden

2011

Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Barat

2
2
6
9
5
24
4
6
2
3
7
22
46

Subtotal
2012

Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Barat

Subtotal
Total

Jumlah sampel
daging sapi
12
14
13
43
30
112
30
43
10
14
36
133
245

Jumlah sampel
daging kambing
3
16
13
37
36
105
20
36
8
16
27
107
212

Pemeriksaan kesehatan hewan dan daging kurban dilaksanakan diDKI
Jakarta meliputi wilayah Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta
Timur, dan Jakarta Barat. Sampel daging yang digunakan merupakan daging sapi
dan kambing.

Variabel yang Diamati dan Pengodean
Variabel yang diamati meliputi higiene dan sanitasi tempat pemotongan
hewan kurban serta kualitas mikrobiologik pada daging hewan kurban. Variabel
yang termasuk higiene tempat pemotongan hewan kurban meliputi penanganan
karkas, pelaksanaan pemotongan, penanganan jeroan, serta pengemasan daging
dan jeroan. Variabel yang termasuk sanitasi tempat pemotongan hewan kurban
meliputi lantai atau alas, sumber air, ketersediaan air, pembuangan darah serta
pembuangan isi perut dan usus. Variabel yang termasuk dalam kualitas
mikrobiologik meliputi jumlah total mikroorganisme dan E. coli. Definisi
operasional setiap variabel disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Definisi operasional
No
1

Peubah
Definisi operasional
Alat ukur
Cara mengukur
A.
Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban
Penanganan
Pengerjaan karkas
Kuesioner
Dengan
karkas
setelah dipotong
melakukan
(1= buruk,
observasi di
2= sedang, 3= baik)
tempat
pemotongan
hewan

Skala ukur
Ordinal
1=Langsung di
atas tanah tanpa
alas
2=Di atas alas
3=Digantung

6

No
Peubah
2
Pelaksanaan
pemotongan

Definisi operasional
Tempat untuk
melaksanakan
pemotongan
daging/karkas
(1= buruk, 3= baik)

Alat ukur
Kuesioner

Cara mengukur
Dengan
melakukan
observasi di
tempat
pemotongan
daging/karkas

Skala ukur
Ordinal
1=Di atas tanah
beralas plastik/
daun
3=Dilakukan di
meja khusus

3

Penanganan
jeroan

Jeroan yang telah
dibersihkan
ditangani ditempat
yang sama dengan
pemotongan daging
(dicampur).
(1= buruk, 3= baik)

Kuesioner

Dengan
melakukan
observasi di
tempat
pemotongan
daging/karkas

Ordinal
1= Ya
3= Tidak

4

Pengemasan

Cara pengemasan
daging dan jeroan
yang siap dibagikan
(1= buruk, 3= baik)

Kuesioner

Dengan
melakukan
observasi di
tempat
pemotongan
daging/karkas

Ordinal
1=Dilakukan
dalam satu
kemasan
3=Dilakukan
dalam kemasan
terpisah

5

Kondisi
higiene
tempat
pemotongan
hewan
kurban

Gambaran
keseluruhan
mengenai kondisi
higiene tempat

Kuesioner

Melakukan
penjumlahan
semua skor
jawaban pada
setiap pertanyaan

Total skor ≤4=
Buruk
Total skor
5≤x≤8=
Sedang
Total skor ≥9=
Baik

1

B.
Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban
Lantai/alas
Lantai/alas tempat
Kuesioner
Dengan
penyembelihan
melakukan
(1= buruk,
observasi di
2= sedang, 3= baik)
tempat
pemotongan
hewan kurban

2

Sumber air

3

Ketersediaan air

Sumber air di
tempat
penampungan
(1= buruk,
2= sedang, 3= baik)
Ketersediaan air
selama
penampungan dan
proses
penyembelihan
(1= buruk, 3= baik)

Kuesioner

Kuesioner

Dengan
melakukan
observasi di
tempat
penampungan
Dengan
melakukan
observasi di
tempat
penampungan

Ordinal
1=Rumput,
tanah
2= Semen
3=Ubin/
keramik
Ordinal
1= Sungai
2= Sumur
3= PAM
Ordinal
1=Tidak cukup
3= Cukup

7
No
Peubah
4
Pembuangan darah

Definisi operasional
Tempat
pembuangan darah
(1= buruk,
2= sedang, 3= baik)

Alat ukur
Kuesioner

Cara mengukur
Dengan
melakukan
observasi di
tempat
pemotongan
hewan kurban

Skala ukur
Ordinal
1=Langsung di
atas tanah
2=Selokan,
parit/sungai
3=Lubang
khusus yang
digali kemudian
ditutup kembali

5

Pembuangan isi perut
dan usus

Tempat
pembuanganisi
perut dan usus
(1= buruk,
2= sedang, 3= baik)

Kuesioner

Dengan
melakukan
observasi di
tempat
pemotongan
hewan kurban

Ordinal
1=Selokan,
parit/ sungai
2=Tempat
pembuangan
sampah
3=Lubang
khusus yang
digali kemudian
ditutup kembali

6

Kondisi
sanitasi
tempat
pemotongan
hewan
kurban

Gambaran
keseluruhan
mengenai kondisi
sanitasi tempat

Kuesioner

Melakukan
penjumlahan
semua skor
jawaban pada
setiap pertanyaan

Total skor ≤5=
Buruk Total
skor 6≤x≤10=
Sedang
Total skor ≥11=
Baik

Uji Lab.

Pengujian dengan
menggunakan
metode hitungan
cawan dengan
media Plate Count
Agar (PCA).

Ordinal
1=Dibawah
ambang batas
SNI
2=Diatas
ambang batas
SNI

Uji Lab.

Pengujian dengan
menggunakan
metode hitungan
cawan dengan
media Violet Red
Bile (VRB).

Ordinal
1=Di bawah
ambang batas
SNI
2=Di atas
ambang batas
SNI

1

2

C.
Kualitas Mikrobiologik
Jumlah
Pengujian untuk
total
menunjukkan
mikrojumlah mikrob yang
organisme
terdapat dalam
suatu produk
dengan menghitung
koloni bakteri yang
ditumbuhkan pada
media agar
EscheriPengujian untuk
chia coli
memperkirakan
jumlah sel
mikroorganisme
dalam suatu pangan

Pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dibagi
dalam tiga kategori yaitu baik, sedang, dan buruk. Adapun untuk mengetahui
kriteria baik, sedang, dan buruk diperoleh melalui penjumlahan semua skor
jawaban pada setiap pertanyaan. Skor jawaban minimum pada higiene tempat
pemotongan hewan kurban bernilai 4 dan maksimum bernilai 12, sedangkan pada
sanitasi tempat pemotongan hewan kurban minimum bernilai 5 dan maksimum
bernilai 15. Kriteria pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan
kurban disajikan dalam Tabel 3.

8

Tabel 3 Kategori pengukuran higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan
kurban
Kategori

Higiene tempat pemotongan
hewan kurban
Total skor: ≥9
Total skor: 5 ≤ x ≤ 8
Total skor: ≤4

Baik
Sedang
Buruk

Sanitasi tempat pemotongan hewan
kurban
Total skor: ≥11
Total skor: 6 ≤ x ≤ 10
Total skor: ≤5

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kondisi
higiene dan sanitasi tempat pemotongan hewan kurban serta untuk mengetahui
jumlah kontaminasi mikroba dalam daging hewan kurban. Uji khi-kuadrat
digunakan untuk mengetahui hubungan antara praktik higiene dan sanitasi tempat
pemotongan terhadap jumlah kontaminasi mikroba pada daging hewan kurban di
tempat pemotongan hewan kurban. Data dianalisis dengan menggunakan piranti
lunak dengan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Higiene Tempat Pemotongan Hewan Kurban
Kepentingan penerapan higiene dalam proses pemotongan hewan kurban
adalah melindungi dan menjaga kesehatan manusia, melindungi dan menjaga
kesehatan hewan dan lingkungan, menjamin kebersihan, menghindari kerugian
ekonomis, menjaga kesegaran dan keutuhan daging serta menghindari
ketidakpuasan konsumen. Secara umum higiene perlu juga diterapkan pada
tempat, proses dan petugas pemotongan hewan kurban (Lukman 2004). Berikut
tersaji pada Tabel 4 data kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban.
Tabel 4 Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban
No

Peubah

1

Pengerjaan karkas setelah dipotong

2

Pelaksanaan pemotongan

3

Penanganan jeroan

4

Pengemasan

5

Higiene

Kategori
Digantung
Tidak digantung, diatas alas
Tidak digantung
Meja khusus
Alas plastik/ daun
Pisah

N
34
11
1
12
34
34

%
73.90
23.92
2.18
26.08
73.92
73.92

Campur
Kemasan terpisah
Satu kemasan
Baik
Sedang
Buruk

12
35
11
30
15
1

26.08
76.08
23.92
65.22
32.61
2.17

9

Pada peubah pengerjaan karkas setelah dipotong, mayoritas responden
(73.9 %) menerapkan metode karkas digantung setelah dipotong. Menurut
Attahmid 2009, penggantungan dilakukan dengan tujuan mempermudah proses
pengeluaran darah agar dapat keluar dengan cepat dan sebanyak mungkin. Darah
dalam proses penyembelihan harus semaksimal mungkin dikeluarkan dari hewan
karena darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Darah yang tersisa dapat menyebabkan penurunan mutu daging serta
meningkatkan kemungkinan terjadi kontaminasi mikroba. Selain itu, proses
penuntasan pengeluaran darah dengan cara penggantungan karkas dapat
meningkatkan masa simpan daging.
Pelaksanaan pemotongan daging sebaiknya dilakukan di meja khusus.
Penanganan jeroan dilakukan di tempat yang terpisah dengan tempat pemotongan
daging, hal serupa dilakukan juga pada proses pengemasan daging serta jeroan.
Menurut Harsojo dan Irawati (2011), jeroan merupakan sasaran kontaminasi oleh
beberapa mikroba yang mempercepat kerusakan jeroan sehingga tidak layak
dikonsumsi.
Kondisi jeroan yang lebih banyak mengandung mikroba
dibandingkan dengan daging menjadi alasan pemisahan ini harus dilakukan.
Plastik/bahan pembungkus untuk mengemas daging sebaiknya berbeda warna
dengan plastik yang digunakan untuk mengemas jeroan. Meja khusus untuk
pemotongan dan kemasan daging serta jeroan harus bersih dan senantiasa dijaga
kebersihannya.
Pada Tabel 4, diperoleh hasil bahwa pelaksanaan pemotongan daging yang
dilakukan di meja khusus menunjukkan persentase yang rendah yaitu 26.08%.
Hasil seperti ini pun terlihat pada kegiatan pemotongan hewan kurban di DKI
Jakarta yang dilaporkan FKH IPB pada tahun 2004, pemotongan daging pada
umumnya dilaksanakan di atas alas plastik (50.9%), di atas lantai beralaskan
plastik (26.9%), di atas papan atau kayu (13.7%), dan di atas meja (8.5%)
(Purwanti 2006). Hal ini menunjukkan masih minimnya tempat pemotongan
hewan kurban yang melaksanakan pemotongan daging di meja khusus. Namun,
untuk proses penanganan jeroan (73.92%) dan pengemasan (76.08%) telah
dilakukan terpisah sesuai dengan ketentuan. Proses penanganan dan pengemasan
daging yang terpisah dari jeroan dapat mencegah dan memperlambat terjadinya
pembusukan pada bahan makanan akibat kontaminasi silang (Asih 2011).
Berdasarkan keseluruhan peubah yang diamati pada kondisi higiene tempat
pemotongan hewan kurban di DKI Jakarta dapat disimpulkan bahwa sebesar
65.22% memiliki kondisi higiene yang baik.

Kondisi Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban
Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dapat dinilai
berdasarkan lantai tempat penyembelihan, sumber air yang digunakan,
ketersediaan air, tempat pembuangan darah serta tempat pembuangan isi perut dan
usus. Berikut hasil kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban tersaji pada
Tabel 5.
Salah satu persyaratan sanitasi yang baik adalah lantai terbuat dari bahan
kedap air atau beralaskan keramik dengan tujuan agar mudah dibersihkan dan

10

didesinfeksi. Menurut Kusumawati (2005), sebaiknya konstruksi lantai landai ke
arah saluran pembuangan, permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang,
terbuat dari keramik dan jarak antar keramik diatur sedekat mungkin serta celah
antar keramik harus ditutup dengan bahan kedap air. Keramik yang digunakan
sebaiknya tahan terhadap air, garam, asam, basa dan berwarna putih agar kotoran
yang menempel mudah terlihat sehingga mudah. Namun, pada aplikasinya di
lapangan hanya sebesar 6.52% tempat pemotongan hewan kurban yang
menggunakan lantai terbuat dari keramik.
Tabel 5 Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban
No

Peubah

1

Lantai

2

Sumber air

3

Ketersediaan air

4

Tempat pembuangan darah

Kategori
N

%

Keramik
Semen
Rumput/ tanah
PAM
Sumur

3
23
20
19
12

6.52
50.00
43.48
41.30
26.10

Sungai

15

32.60

Cukup
Tidak cukup
Lubang khusus

24
22
28

52.17
47.83
60.86

Selokan

12

26.10

6

13.04

Lubang khusus
Tempat sampah

11
12

23.92
26.08

Selokan

23

50.00

Baik
Sedang
Buruk

13
26
7

28.26
56.52
15.22

Tanah
5

6

Tempat pembuangan isi perut dan usus

Sanitasi

Sumber air di tempat pemotongan hewan kurban wilayah DKI Jakarta
mayoritas menggunakan sumber air PAM (41.3%). Sumber air merupakan
fasilitas utama di tempat pemotongan hewan kurban. Air berperan penting dalam
proses pemotongan hewan kurban, terutama dalam proses pencucian peralatan.
Sumber air harus memenuhi persyaratan mutu air yang digunakan untuk air
minum. Menurut Susiwi 2009, salah satu sumber air yang memenuhi persyaratan
mutu air minum adalah air PAM. Apabila menggunakan sumber air selain dari
PAM, misalnya dari sumur atau sungai dikhawatirkan dapat memiliki peluang
kontaminasi yang lebih besar karena air tersebut tercemar. Pencemaran air yang
terjadi menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Selain
sumber air yang harus memenuhi persyaratan mutu air, ketersediaan air yang
cukup juga turut menunjang sanitasi yang baik di tempat pemotongan hewan
kurban. Pada Tabel 5 dapat dilihat ketersediaan air di tempat pemotongan hewan
kurban sudah cukup tersedia dengan persentase sebesar 52.17%.
Darah, isi perut dan usus, merupakan limbah utama dari pemotongan
hewan kurban. Menurut Roihatin dan Rizqi (2007), limbah yang berupa feces,

11
urine, isi perut, darah afkiran daging atau lemak, dan air cuciannya, dapat
bertindak sebagai media pertumbuhan dan perkembangan mikroba sehingga
limbah tersebut mudah mengalami pembusukan. Simamora (2004) menyatakan
bahwa limbah hasil hewan ternak dapat menimbulkan permasalahan, antara lain,
seperti polusi tanah, air, dan udara. Hal ini terjadi terutama jika limbah tidak
ditangani dengan baik, atau jika limbah langsung dialirkan begitu saja ke selokan
dan sungai atau ditimbun ditempat terbuka. Jika limbah ini tidak ditangani akan
menimbulkan masalah pada lingkungan, seperti berkurangnya oksigen di dalam
air, munculnya gas berbau tidak sedap serta dapat menyebabkan gangguan pada
saluran pernapasan yang disertai dengan reaksi fisiologik tubuh berupa rasa mual
dan kehilangan selera makan (Laksmi 1993). Oleh karena itu, tempat pemotongan
hewan kurban harus memiliki sistem pembuangan limbah yang baik. Limbah
hasil pemotongan hewan kurban seharusnya dibuang pada lubang khusus yang
digali kemudian ditutup kembali.
Tempat pemotongan hewan kurban di wilayah DKI Jakarta, sebesar
60.86% menggunakan lubang khusus sebagai tempat pembuangan darah. Namun,
hanya sebesar 23.92% yang menggunakan lubang khusus yang menggunakan
lubang khusus sebagai tempat pembuangan isi perut dan usus. Sebesar 50%
responden tempat pemotongan hewan kurban memilih selokan sebagai tempat
pembuangan isi perut dan usus. Pembuangan limbah ke selokan atau saluran air
dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan serta sumber penyakit bagi
masyarakat.
Berdasarkan keseluruhan peubah yang diamati pada kondisi sanitasi
tempat pemotongan hewan kurban di DKI Jakarta dapat disimpulkan bahwa
mayoritas berkategori sedang (56.52%).

Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Hewan
Kurban Dibandingkan SNI 01-7388-2009
Indikator kontaminasi awal pada daging sapi segar salah satunya dapat
dilihat dari jumlah total mikroorganisme dan E. coli, karena bakteri tersebut
terdapat secara alami pada daging segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila
keberadaannya berada diatas ambang batas yang diperbolehkan. Lukman (2005)
menyatakan bahwa pengujian laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui
jumlah kontaminasi mikroorganisme pada bahan makanan, baik jumlah
mikroorganisme pencemar secara kualitatif maupun kuantitatif.
Hal ini
diperlukan untuk melihat keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan
terutama pangan asal hewan karena pangan yang terkontaminasi oleh
mikroorganisme patogen atau penghasil toksin dapat menjadi wahana transmisi
penyakit kepada manusia atau hewan lain. Selain itu, pengujian mikrobiologik
juga dapat diterapkan untuk mengetahui keadaan lingkungan tempat pemotongan
hewan.
Kontaminasi mikroba pada sampel daging yang dipotong di tempat
pemotongan hewan kurban wilayah DKI Jakarta meliputi analisis jumlah total
mikroorganisme dan E. coli. Dalam SNI 01-7388-2009 telah ditetapkan
maksimum jumlah total mikroorganisme dalam daging adalah 1×106 cfu/g dan
maksimum jumlah E. coli adalah 1×101 cfu/g (BSN 2009).

12

E. coli termasuk bakteri gram negatif yang hidup di dalam usus besar
manusia, sehingga bakteri ini disebut sebagai flora normal. Apabila bakteri ini
memasuki saluran pencernaan misalnya dari pangan asal hewan dan produk
olahannya dapat menyebabkan diare akut atau gastroenteritis. Namun dengan
proses pemasakan yang sempurna, E. coli dapat musnah karena mikroba ini
bersifat sensitif terhadap panas pada suhu 60 °C selama 30 menit (Setiowati dan
Mardiastuty 2009). Persentase jumlah total mikroorganisme dan E. Coli pada
daging kurban dibandingkan SNI 01-7388-2009 disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Persentase jumlah total mikroorganisme dan E. coli dalam daging kurban
dibandingkan SNI 01-7388-2009

Tahun

2011
2012

Jumlah total mikroorganisme
Di bawah
Di atas
ambang batas ambang batas
SNI
SNI
(%)
(%)
94 (204/217)
96.25(231/240)

6 (13/217)
3.75 (9/240)

E. coli
Di bawah
ambang batas
SNI
(%)
95.4 (207/217)
97.92 (235/240)

Di atas
ambang batas
SNI
(%)
4.6 (10/217)
2.08 (5/240)

Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa sampel daging yang diperiksa pada
tahun 2011 dan 2012 hampir seluruhnya berada dibawah ambang batas SNI. Pada
tahun 2011 sampel daging yang memiliki jumlah total mikroorganisme dibawah
ambang batas SNI sebesar 94% (204/217) dan tahun 2012 sebesar 96.25%
(231/240). Sampel daging yang memiliki jumlah E. coli berada dibawah ambang
batas SNI pada tahun 2011 sebesar 95.4% (207/217) dan tahun 2012 sebesar
97.92% (235/240). Hasil penelitian menunjukkan kontaminasi mikroba pada
sampel daging di tempat pemotongan hewan kurban wilayah DKI Jakarta pada
tahun 2011 dan 2012 mayoritas berada dibawah ambang batas SNI, artinya daging
tersebut aman untuk dikonsumsi.

Hubungan antara HigieneTempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap
Jumlah Total Mikroorganismedan Escherichia coli pada Daging Kurban
Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban dapat menunjukkan
kualitas mikrobiologik daging, dinilai berdasarkan kontaminasi mikroba yang
terdapat pada daging hewan kurban, seperti jumlah total mikroorganisme dan E.
coli. Higiene merupakan tahapan yang harus dilaksanakan untuk menjamin
produksi pangan yang aman (Lukman 2009). Pelaksanaan pemotongan hewan
kurban di tempat pemotongan hewan kurban merupakan tahap yang sangat
menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging.
Hal ini disebabkan kandungan mikroba pada daging dapat berasal dari
penanganan daging dan jeroan yang tidak higienis (Mukartini et al. 1995).
Pentingnya pemantauan dan pengendalian prosedur penyembelihan dilakukan
untuk menekan tingkat kontaminasi mikroba pada daging. Hubungan antara
kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban dan jumlah total
mikroorganisme pada daging kurban tersedia di Tabel 7.

13
Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubah higiene yang diamati tidak
memberikan hasil yang signifikan (P value > 0.05) terhadap jumlah total
mikroorganisme (Tabel 7). Hal ini kemungkinan karena mayoritas responden
pada semua kategori kondisi higiene 93.50% (43/46) memiliki jumlah total
mikroorganisme di bawah ambang batas SNI, sehingga tidak diperoleh data yang
cukup untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang diteliti dengan
keberadaan jumlah total mikroorganisme. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh
teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan waktu yang cukup
untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan.
Tabel 7 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan jumlah total
mikroorganisme pada daging kurban

No

1

2

Peubah

Penanganan
karkas
setelah
dipotong

Pelaksanaan
pemotongan

3

Penanganan
jeroan

4

Pengemasan

5

Higiene

Kategori

Jumlah total
mikroorganisme
Di bawah
Di atas
ambang batas
ambang
SNI
batas
SNI
N
%
n
%

N

%

Digantung

34

73.9

31

91.2

3

8.8

Diatas alas
Tidak
digantung
Meja
khusus

11
1

23.92
2.18

11
1

100
100

0
0

0
0

12

26.08

11

91.7

1

8.3

Alas
plastik/
daun
Pisah

34

73.92

32

94.1

2

5.9

34

73.92

31

91.2

3

Campur
Kemasan
terpisah
Satu
kemasan
Baik
Sedang
Buruk

12
35

26.08
76.08

12
33

100
94.3

11

23.92

10

30
15
1

65.22
32.61
2.17

28
14
1

χ²

P value

1.133

0.593

0.087

1.000

8.8

1.133

0.557

0
2

0
5.7

0.157

1.000

90.9

1

9.1

93.3
93.3
100

2
1
0

6.7
6.7
0

0.071

1.000

Daging biasanya didefinisikan sebagai bagian dari hewan yang telah
disembelih yang layak dan aman dikonsumsi oleh manusia. Di negara-negara
maju pengertian ini lebih terfokus pada karkas hewan yang telah diambil
tulangnya atau bagian otot dari badan hewan. Namun, di Indonesia cakupan
pengertian tersebut juga meliputi jeroan, seperti usus, babat, hati, jantung, paru,
dan ginjal yang biasa dikonsumsi masyarakat selain daging daging pada karkas.
Konsekuensi dari hal ini adalah penanganan selama proses penyediaan daging
harus benar-benar memperhatikan higiene dan sanitasi, mengingat jeroan

14

merupakan organ dengan tingkat kontaminasi mikroba yang tinggi. Adapun
hubungan antara kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban dan
keberadaan E. coli pada daging kurban tersedia pada Tabel 8.
Tabel 8 Hubungan antara kondisi higiene dan keberadaan E. coli pada daging
kurban
E.coli
No

1

2

3

4

5

Peubah

Pengerjaan
karkas
setelah
dipotong

Pelaksanaan
pemotongan

Penanganan
jeroan
Pengemasan

Higiene

Kategori

Di bawah
ambang
batas SNI
N
%

Di atas
ambang
batas SNI
n
%

N

%

Digantung

34

73.9

30

88.2

4

11.8

Tidak
digantung,
diatas alas
Tidak
digantung
Meja
khusus
Alas
plastic
Pisah

11

23.92

9

81.8

2

18.2

1

2.18

1

100

0

0

12

26.08

12

100

0

0

34

73.92

28

82.4

6

17.6

34

73.92

28

82.4

6

17.6

Campur

12

26.08

12

100

0

0

Kemasan
terpisah
Satu
kemasan
Baik
Sedang
Buruk

35

76.08

30

85.7

5

14.3

11

23.92

10

90.9

1

9.1

30
15
1

65.22
32.61
2.1

25
14
1

83.3
93.3
100

5
1
0

16.7
6.7
0

χ²

P value

0.455

0.673

2.435

0.176

2.435

0.176

0.199

1.000

1.035

0.693

Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubahhigiene yang diamati tidak
memberikan hasil yang signifikan (P value > 0.05) terhadap keberadaan E. coli
(Tabel 8). Hal ini kemungkinan karena mayoritas responden pada semua kategori
kondisi higiene 86.96% (40/46) memiliki jumlah E. coli di bawah ambang batas
SNI, sehingga tidak diperoleh data yang cukup untuk membuktikan adanya
hubungan antara peubah yang diteliti dengan keberadaan jumlah E. coli. Kondisi
ini mungkin disebabkan oleh teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak
memberikan waktu yang cukup untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan.

Hubungan antara Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Kurban terhadap
Jumlah Total Mikroorganisme dan Escherichia coli pada Daging Kurban
Kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan kurban dapat dinilai
berdasarkan lantai tempat penyembelihan, sumber air yang digunakan,
ketersediaan air, tempat pembuangan darah serta tempat pembuangan isi perut dan

15
usus. Sanitasi tempat pemotongan hewan kurban harus diperhatikan untuk
memaksimalkan peran tempat pemotongan hewan kurban dalam menyediakan
daging kurban yang aman dikonsumsi. Hubungan antara kondisi sanitasi tempat
pemotongan hewan kurban dan jumlah total mikroorganisme pada daging tersedia
pada Tabel 9.
Tabel 9 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan jumlah total
mikroorganisme pada daging kurban

No

Peubah

Kategori

Jumlah total
mikroorganisme
Di bawah
Di atas
ambang batas
ambang
SNI
batas
SNI
n
%
n
%

χ²

P value

N

%

1

Lantai

Keramik
Semen
Rumput/
tanah

3
23
20

6.52
50
43.48

3
22
18

100
95.7
90

0
1
2

0
4.3
10

0.784

0.667

2

Sumber air

PAM
Sumur

19
12

41.3
26.1

18
12

94.7
100

1
0

5.3
0

2.028

0.471

Sungai

15

32.6

13

86.7

2

13.3

Cukup

24

52.17

23

95.8

1

4.2

0.457

0.600

Tidak
cukup

22

47.83

20

90.9

2

9.1

Lubang
khusus

28

60.86

27

96.4

1

3.6

2.884

0.203

Selokan
Tanah

12
6

26.1
13.04

10
6

83.3
100

2
0

16.7
0

Lubang
khusus

11

23.92

10

90.9

1

9.1

1.135

0.600

Tempat
sampah
Selokan
Baik
Sedang
Buruk

12

26.08

12

100

0

0

23
13
26
7

50
28.26
56.52
15.22

21
13
24
6

91.3
100
92.3
84.6

2
0
2
1

8.7
0
7.7
14.3

1.658

0.566

3

4

5

6

Ketersediaan air

Tempat
pembuangan darah

Tempat
pembuangan isi perut
dan usus

Sanitasi

Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubah sanitasi yang diamati tidak
memberikan hasil yang berbeda nyata (P value > 0.05) terhadap jumlah total
mikroorganisme (Tabel 5). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden
93.50% (43/46) yang diteliti memiliki nilai negatif (di bawah ambang batas SNI)
untuk keberadaan jumlah total mikroorganisme. Keadaan tersebut menunjukkan
tidak cukupnya data untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang

16

diteliti dengan keberadaan jumlah total mikroorganisme. Kondisi ini mungkin
disebabkan oleh teknis pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan
waktu yang cukup untuk terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan. Adapun
gambaran mengenai hubungan antara kondisi sanitasi tempat pemotongan hewan
kurban terhadap keberadaan E.coli pada daging tersedia di Tabel 10.
Tabel 10 Hubungan antara kondisi sanitasi terhadap keberadaan E. coli pada
daging kurban

No

Peubah

1

Lantai

2

Sumber air

3

4

5

6

Ketersediaan air

Tempat
pembuang
an darah

Tempat
pembuang
an isi perut
dan usus

Sanitasi

Kategori

E. coli
Di bawah
Di atas
ambang batas
ambang
SNI
batas
SNI
n
%
n
%

χ²

P value

N

%

Keramik
Semen
Rumput/
tanah
PAM
Sumur

3
23
20

6.52
50
43.48

2
21
17

66.7
91.3
85

1 33.3
2
8.7
3
15

1.540

0.497

19
12

41.3
26.1

16
11

84.2
91.7

3
1

15.8
8.3

0.362

0.873

Sungai

15

32.6

13

86.7

2

13.3

Cukup

24

52.17

20

83.3

4

16.7

0.581

0.667

Tidak
cukup

22

47.83

20

90.9

2

9.1

Lubang
khusus

28

60.86

25

89.3

3

10.7

2.546

0.318

Selokan
Tanah
Lubang
khusus

12
6
11

26.10
13.04
23.92

9
6
9

75
100
81.8

3
0
2

25
0
18.2

2.439

0.387

Tempat
sampah
Selokan
Baik
Sedang
Buruk

12

26.08

12

100

0

0

23
13
26
7

50
28.26
56.52
15.22

19
12
22
6

82.6
92.3
84.6
85.7

4
1
4
1

17.4
7.7
15.4
14.3

0.463

0.848

Hasil penelitian menunjukkan seluruh peubah sanitasi yang diamati tidak
memberikan hasil yang berbeda nyata (P value > 0.05) terhadap keberadaan E.
coli (Tabel 6). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden 86.96%
(40/46) yang diteliti memiliki nilai negatif (di bawah ambang batas SNI) untuk
keberadaan jumlah E. coli. Keadaan tersebut menunjukkan tidak cukupnya data
untuk membuktikan adanya hubungan antara peubah yang diteliti dengan
keberadaan jumlah E. coli. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh teknis
pengambilan sampel yang dilakukan tidak memberikan waktu yang cukup untuk
terjadinya perbedaan hasil antar perlakuan.

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kondisi higiene tempat pemotongan hewan kurban di wilayah DKI Jakarta
memiliki kategori baik sebesar 65.22%, tetapi hanya sebesar 28.26% memiliki
sanitasi tempat pemotongan yang baik. Jumlah sampel daging yang memiliki
jumlah total mikroorganisme berada di bawah ambang batas SNI pada tahun 2011
sebanyak 94% dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 96.25%. Sedangkan
jumlah sampel daging yang terkontaminasi E.coli yang berada di bawah ambang
batas SNI pada tahun 2011 sebanyak 95.4% dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi 97.92%. Namun demikian, kondisi kualitas mikrobiologik sampel daging
tersebut belum tentu merepresentasikan kualitas daging kurban yang
sesungguhnya, mengingat tidak diperoleh informasi kapan waktu pengambilan
sampel dilakukan sejak saat pemotongan. Diduga, waktu pengambilan sampel
daging dilakukan tidak berapa lama setelah pemotongan, sehingga sampel daging
tersebut memang belum banyak mengalami kontaminasi. Dugaan ini juga
diperkuat dengan hubungan yang tidak berbeda nyata antara kondisi higiene dan
sanitasi tempat pemotongan hewan kurban terhadap kontaminasi mikroba dalam
daging.

Saran
Penyuluhan untuk personal yang menangani daging hewan kurban sangat
diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan higiene dan sanitasi dalam
menangani hewan kurban. Selain itu, pengawasan terhadap kualitas daging hewan
kurban juga perlu ditingkatkan agar kualitas daging yang dihasilkan aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH). Untuk kegiatan penelitian serupa ke depan, maka waktu
pengambilan sampel setelah pemotongan harus diperhitungkan dengan cermat
agar dampak perbedaan antar perlakuan yang diteliti dapat terlihat.

DAFTAR PUSTAKA
Asih Y. 2011. Pengaruh jenis kemasan dan lama penyimpanan rendang “tumbuak”
ayam afkir terhadap kadar protein, kadar lemak dan nilai organoleptik
[skripsi].Padang (ID): Universitas Andalas.
Attahmid NFU. 2009. Strategi manajemen mutu proses produksi karkas ayam
pedaging di Rumah Potong Ayam (RPA) PT. Sierad Produce, Tbk. Parung,
Bogor [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 01-7388-2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

18

[Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta
(ID): Deptan RI.
[Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah
Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan Hewan. Jakarta (ID): Deptan RI.
Dewanti. 2003. Bakteri indikator keamanan air minum [Internet]. [diunduh 2013
Juni 27]. Tersedia pada: http://www.kompas.com/kompascetak/0306/29/
iptek/395680.htm.
[DKMV] Direktorat Kesahatan Masyarakat Veteriner. 2005. Pedoman
Penyembelihan Hewan Qurban yang Halal dan Higienis. Jakarta (ID):
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Forsythe SJ. 2000. The Microbiology of Science Food. London (UK): Blackwell
Science.
Hansson IB. 2001. Microbiological meat quality in high and low capacity
slaughterhouse in Sweden. J. Food Protect. 64:820–825.
Harsojo, Irawati Z. 2011. Kontaminasi awal dan dekontaminasi bakteri patogen
pada jeroan sapi dengan iradiasi gamma. J Iptek Nuklir Ganendra. 14(2):
95–101.
Jay JM. 1997. Modern Food Microbiology. Ed ke-2. New York (US): Chapman
and Hall.
Karmali MA. 2003. The medical significance of shiga toxin-producing
Escherichia coli infections. Di dalam: Dana P, Frank E, editor. E. coli Shiga
Toxin Methods and Protocols. New Jersey (US): Humana Press.
Kusumawati EL. 2005. Mempelajari Aspek Sanitasi. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
LaksmiBS. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Jakarta (ID): Kanisius.
Lukman DW. 2001. Mikrobiologi Pangan Asal Hewan.Bahan Kuliah dan
Praktikum. Bogor (ID): Kesmavet FKH IPB.
Lukman DW. 2004. Product safety di RPH. fgW Food Conference; 2004 Oktober
6-7; Jakarta(ID): Institut Pertanian Bogor.
Lukman DW. 2009. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan hitungan
cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun
Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor (ID): Kesmavet FKH IPB.
Manning SD. 2010.Escherichia Coli Infections. Philadelphia (US): Chelsea House
Pub.
Mukartini, Jehne SC, Shay B, Harfer CML. 1995.Microbiological Status of
Beefcarcass Meat in Indonesia. J Food Safety. 15: 291–303.
Purwanti U. 2006. Hubungan antara sanitasi tempat pemotongan hewan qurban
dengan cemaran mikroba pada daging kambing di Kotamadya Jakarta Timur
[tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Roihatin A, Rizqi AK. 2007. Pengolahan Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) dengan Cara Elektrokoagulasi Aliran Kontinyu.Semarang (ID):
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Samelis J, Sofos JN, Kendall PA, Smith GC. 2002. Effect of acid adaption on
survival of Escherichia coli O157:H7 in meat decontamination washing
fluids and potential effects of organic acid interventions on the microbial
ecology of the meat plant environment. J. Food Protect. 65: 33–40.

19
Simamora H. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta (ID): STIE
YKPN.
Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang
ASUH berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. Dalam: Prosiding
PPI Standarisasi 2009, Jakarta, 19 November 2009. Jakarta (ID):
Laboratorium Kesmavet DKI Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-3. Yogyakarta (ID): Gajah
Mada University Press.
Sudarwanto M. 2004. Kesehatan Lingkungan. Bahan kuliah [tidak dipublikasi].
Bogor (ID): Bagian Kesmavet FKH IPB.
Susiwi S. 2009. Regulasi Pangan. Di dalam: Susiwi S, editor. Dokumentasi SSOP.
Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia.

20

LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Pemeriksaan Tat