Hubungan antara Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Qurban dengan Cemaran Mikroba pada Daging Kambing Di Kotamadya Jakarta Timur.

HUBUNGAN ANTARA SANITASI
TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN QURBAN
DENGAN CEMARAN MIKROBA PADA DAGING
KAMBING DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

UMI PURWANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan antara Sanitasi Tempat
Pemotongan Hewan Qurban dengan Cemaran Mikroba pada Daging Kambing di
Kotamadya Jakarta Timur adalah karya saya sendiri dengan bimbingan para
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pusaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor,


Februari 2006

Umi Purwanti
NRP B 551034104

ABSTRAK
UMI PURWANTI Hubungan antara Sanitasi Tempat Pemotongan Hewan Qurban
dengan Cemaran Mikroba pada Daging Kambing Di Kotamadya Jakarta Timur.
Dibimbing oleh AGATHA WINNY SANJAYA dan ABDUL ZAHID ILYAS.
Pada hari Raya Idul Adha dilaksanakan kegiatan pemotongan hewan qurban
oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Kegiatan dilakukan tidak
dirumah pemotongan hewan, melainkan di mesjid/mushola, lapangan perkantoran
dan di pemukiman penduduk. Daging merupakan sumber protein yang berkualitas
tinggi, mengandung vitamin B dan mineral khususnya besi. Daging dikategorikan
sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) dan sebagai pangan
yang berpotensi mengandung bahaya (potentially hazardous food/PHF), karena
memiliki aktifitas air (a w ) diatas 0.85 dan mempunyai pH mendekati netral yang
mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Cemaran mikroba yang diamati adalah
mikroba aerob (TPC), koliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan

Salmonella spp yang dianalisa terhadap tingkat sanitasi sebelum, saat dan setelah
pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan adanya cemaran koliform,
Escherichia coli dan Staphylococcus. aureus dan tidak ditemukan cemaran
Salmonella. Sedangkan kategori sanitasi baik diperoleh sebelum pemotongan
(81.3%), saat pemotongan (21.3%) dan setelah pemotongan (37.5%). Persentase
cemaran mikroba melebihi standar SNI 01-6366-2000 adalah untuk jumlah
cemaran mikroba (TPC) 73.8% (5.5 x 106 cfu/g), koliform 73.8% (1.1 x 103
MPN/g), E. coli 41.3% (4.1 x 102 MPN/g) dan S. aureus 37.5% (2.7 x 103 cfu/g).
Memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara faktor sanitasi baik
sebelum, saat dan setelah pemotongan terhadap cemaran koliform dan S. aureus
(P>0.05). Sedangkan terhadap cemaran E. coli ada hubungan beda nyata pada
kegiatan setelah pemotongan (P 0.85), pH neutral, vitamin B and mineral aspecially Ferrous, also as
main source of protein which is advantageous for microbes growth and
categorized meat as a perishable food. Measuring total amount of aerobic
microbes (TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus
and
Salmonella were observed to evaluate the sanitation of animal qurban in East
Jakarta. Result obtained that Salmonella was not detected in all meat samples.
Good sanitation was observed before slaughtering (81.3%), during slaughtering
(21.3%) and after slaughtering (37.5%). Percentage of microbes contamination

above Standard SNI 01-6366-2000 of microbes are TPC 73.8% (5.5 x 106 cfu/g),
coliform 73.8% (1.1 x 103 MPN/g), E. coli 41.3% (4.1 x 102 MPN/g) and S.
aureus 37.5% (2.7 x 103 cfu/g). Relation between doing sanitation before, during
and after slaughtering didn’t show a significant relation with coliform and
Staphylococcus aureus (P>0.05). There is a significant relation after slaughtering
between Eschechia coli and sanitation (P < 0.05) and doing separation meat with
viscera, and packing meat together with viscera.

Keyword:

Microbes contamination,
food,Perishable food.

Sanitation,

Slaughtering,

Hazardous

HUBUNGAN ANTARA SANITASI

TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN QURBAN DENGAN
CEMARAN MIKROBA PADA DAGING KAMBING
DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

UMI PURWANTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1954 sebagai anak
pertama dari tujuh bersaudara, dari keluarga almarhum Prawoto Mangkusoediro
dan almarhumah Umi Rochjati.

Tamat pendidikan Sekolah Dasar Negeri Slamet Riyadi di Jakarta dan
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri II di Yogyakarta. Setelah lulus
dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Yogyakarta tahun 1972, penulis
melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada dan meraih
gelar dokter hewan pada bulan Desember 1978. Sejak memperoleh gelar dokter
hewan penulis pernah bekerja di Dinas Peternakan Pemerintah Daerah Irian Jaya
(Papua) dan DKI Jakarta.
Penulis saat ini bekerja di Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan di Jakarta, sebaga i pejabat fungsional Medik Veteriner.

PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan ke hadlirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai Maret 2005, dengan judul
hubungan antara sanitasi tempat pemotongan hewan qurban dengan cemaran
mikroba pada daging kambing di Kotamadya Jakarta Timur.
Terima kasih kepada Bapak Dr. Drh. Denny W. Lukman, M.Si sebagai
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ibu Dr.Drh. Agatha
Winny Sanjaya, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Drh. Abdul
Zahid Ilyas, M.Si sebagai anggota Komisi Pembimbing serta para Staf Pengajar

dan Staf Penunjang Program Studi Kesehatan Mayarakat Veteriner Institut
Pertanian Bogor. Tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Ir.
Etih Sudarnika, M.Si yang dengan sabar dan teliti membantu kami dalam
pengolahan data penelitian. Ungkapan yang sama disampaikan kepada jajaran
Pemerintah DKI Jakarta terutama kepada Kepala dan Staf Suku Dinas Peternakan
dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur yang telah memberikan kesempatan dan
membantu pada pelaksanaan di lapangan serta Staf Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner yang telah membantu dalam pengujian di laboratorium.
Ungkapan terima kasih juga di sampaikan kepada keluarga besar yang
telah memberikan do’a dan kasih sayangnya.
Terima kasih kepada teman-teman seangkatan terutama Agung Suganda
dan Ratina Yuswari yang telah memberikan semangat dan dukungannya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf apabila
terdapat kesalahan dalam melaksanakan penelitian, pembimbingan dan penulisan
tesis. Atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Amin.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2006
Umi Purwanti


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL….. ……………………………………………

x

DAFTAR GAMBAR …………………………………………….

xi

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………..........

xii

PENDAHULUAN…………………………………………………

1

TINJAUAN PUSTAKA

Kepentingan Higiene dan Sanitasi……………………………
KualitasDaging……………………………………………….
Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem………………….
Mikroba Pencemar Daging…………………………………..
Jumlah Mikroba………………………………………………
Koliform………………………………………………………
Escherichia coli……………………………………………….
Staphylococcus aureus………………………………………..
Salmonella…………………………………………………….

4
5
6
8
8
9
10
11
11


MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian………………………………..
Bahan dan Alat……………………………………………….
Metode Penelitian…………………………………………….
Pengumpulan Data……………………………………………
Metode Sampling…………………………………………….
Metode Pengujian Mikrobiologi……………………………..
Metode Analisa………………………………………………
Definisi Operasional…………………………………………

13
13
14
14
14
15
20
22

viii


HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Mikrobiologi..................................................………
Sanitasi pada Tempat Pemotongan Hewan Qurban...............
Cemaran Mikroba pada Daging Kambing..............................
Pengaruh Sanitasi Terhadap Jumlah Mikroba (TPC)...........
Pengaruh Sanitasi Terhadap Jumlah Koliform………….......
Pengaruh Sanitasi Terhadap Jumlah Staphylococcus aureus
Pengaruh Sanitasi Terhadap Jumlah Escherichia coli...........

26
27
27
31
32
34
35

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ……………………………………………………

Saran………………………………………………………..

40
40

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………

41

LAMPIRAN……………………………………………………..

44

ix

DAFTAR TABEL
Halaman

1

Sifat-sifat bakteri koliform dengan uji IMVIC....................

17

2

Jumlah cemaran mikroba pada sample daging kambing….

26

3

Sanitasi di tempat pemotongan hewan qurban di Kotamadya
Jakarta Timur………………………………………………

27

4

Cemaran mikroba pada daging kambing (%)……………..

28

5

Cemaran mikroba di atas batas maksimum SNI 01-6366-2000
pada daging kambing qurban …………………………….

30

6

Tingkat cemaran mikroba (TPC) berdasarkan kategori sanitasi

31

7

Tingkat cemaran koliform berdasarkan kategori sanitasi.........

33

8

Tingkat cemaran S. aureus berdasarkan kategori sanitasi........

34

9

Tingkat cemaran E. coli berdasarkan kategori sanitasi...........

36

10

Nilai Chi-square dan V-Cramer dengan hubungan faktor sanitasi
dan cemaran mikroba………………………………............

37

11

Cemaran E.coli di tempat pembagian daging ……………

38

12

Hubungan antara tempat pembagian daging dan jeroan
dengan E.coli …………………………………………

38

Hubungan antara pengemasan daging dan jeroan dengan
cemaran E.coli…………………………………………

39

13

x

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1

Bakteri Koliform.......................................................

9

2

Bakteri Eshcherichi. coli.........................................

10

3

Bakteri Staphylococcus. aureus.............................

11

4

Bakteri Salmonella...............................................

12

5

Skema pengujian bakteri koliform dan E. coli ....

17

6

Skema isolasi dan identifikasi Salmonella dari bahan pangan

19

7

Skema sedeerhana uji kuantitatif dan biokimiawi Staphylococcus
aureus.............................................................................

20

Sanitasi tempat pemotongan hewan qurban di Kotamadya
Jakarta Timur......................................................................

29

9

Tingkat cemaran mikroba pada daging kambing…………

30

10

Tingkat cemaran mikroba (TPC) berdasarkan kategori
Sanitasi……………………………………………………

32

11

Tingkat cemaran koliform berdasarkan kategori sanitasi…

33

12

Tingkat cemaran Staphylococcus aureus berdasarkan
kategori sanitasi.........................................................

35

Tingkat cemaran Escherichia coli berdasarkan
kategori sanitasi.........................................................

36

8

13

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Data pemotongan hewan qurban di DKI Jakarta
Tahun 2004………......................................

45

Data pemotongan hewan qurban di Kotamadya Jakarta Timur
Tahun 2004…………………………………

46

Batas maksimum cemaran mikroba pada daging menurut
SNI 01-633-2000…………………………..

47

4

Kuesioner pemotongan hewan qurban………

48

5

Lokasi pengambilan sampel berdasarkan metoda
sampling…………………………………….

50

Pengelompokan dan pembobotan factor-faktor yang
mempengaruhi sanitasi di tempat pemotongan
hewan qurban…………………………….......

52

Skoring /penilaian faktor- faktor yang mempengaruhi
sanitasi di tempat pemotongan hewan qurban………

53

8

Pengolahan data dengan perhitungan statistik……

55

9

Surat ijin penelitian di Kotamadya Jakarta Timur….

73

10

Foto-Foto kegiatan pemotongan hewan qurban.......

74

2

3

6

7

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemotongan hewan qurban dilaksanakan setiap tahun pada hari Raya Idul
Adha. Syarat hewan yang diqurbankan harus sehat, tidak cacat serta umur
mencukupi yaitu untuk kambing/domba lebih dari satu tahun dan sapi/kerbau
lebih dari 2 (dua) tahun. Tata cara pemotongan juga harus sesuai dengan syariat
Islam dan penanganan daging harus dilakukan sesuai dengan kaidah kesehatan
masyarakat sehingga diperoleh daging yang sehat, aman, halal dan toyib (Dinas
PEKANLA 2003b).
Bahan makanan khususnya yang berasal dari daging mempunyai sifat
mudah rusak. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya perubahan pada
bahan itu sendiri maupun adanya kontaminasi dari luar. Untuk menghindari hal
tersebut diperlukan langkah- langkah pengamanan terhadap bahan makanan
sehingga

dihasilkan

bahan makanan yang sehat dan layak konsumsi

(Pitona 2004).
Daging mempunyai potensi sebagai pembawa penyakit antara lain sebagai
zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) dan dapat
menimbulkan hal- hal seperti food borne disease (penyakit yang ditularkan akibat
mengkonsumsi pangan hewani termasuk daging),

food poisoning (penyakit

akibat racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme pada daging) dan food
infection (penyakit yang diakibatkan oleh perkembang biakan mikroorganisme
dalam tubuh setelah mengkonsumsi daging) (Moerad 2004).
Daging dikategorikan sebagai bahan pangan yang mudah rusak
(perishable food) dan berpotens i mengandung bahaya (potentially hazardous
food/PHF). Pangan asal hewan ini memiliki faktor- faktor

pendukung untuk

pertumbuhan mikroorganisme, karena kandungan gizi yang baik (terutama
kandungan protein yang relatif tinggi), memiliki pH yang mendekati netral dan
memiliki aktifitas air (aw) diatas 0.85 (Lukman 2004).
Jakarta sebagai ibukota negara merupakan pusat pemerintahan dengan
jumlah penduduk mencapai lebih dari 10 juta jiwa, mempunyai keragaman adat
istiadat, budaya dan agama. Jumlah penduduk yang besar menyebabkan tuntutan

2

masyarakat terhadap penyediaan bahan pangan hasil ternak tidak hanya pada
peningkatan volume/kuantitas tetapi juga peningkatan kesehatan bahan asal
ternak, kualitas/mutu serta kehalalan dari produk/hasil ternak terutama daging.
Salah satu tugas pemerintah dalam bidang peternakan adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat dengan melakukan pengawasan di bidang
Kesehatan Masyarakat Veteriner antara lain melalui pengawasan peredaran bahan
makanan asal ternak meliputi pemeriksaan kesehatan hewan/ternak, pemeriksaan
kesehatan daging

agar masyarakat yang mengkonsumsi tidak tertular penyakit

asal hewan atau bahan asal hewan. Tugas yang dilaksanakan meliputi
pemeriksaan hewan sebelum dipotong dan pemeriksaan kesehatan daging setelah
hewan dipotong (Dinas PEKANLA 2003a).
Biasanya

pemotongan

hewan

qurban

dilakukan

tidak

di

rumah

pemotongan hewan (RPH) tetapi dimasjid/musholla, lapangan perkantoran
swasta/pemerintah dan umumnya berada ditengah pemukiman penduduk. Namun
kegiatan tersebut harus dibawah pengawasan dokter hewan atau petugas kesehatan
yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Dalam melaksanakan pemotongan hewan qurban petugas pengawas hanya
bertanggung jawab dalam hal kesehatan hewan qurban sehingga diharapkan
daging yang dihasilkan bebas dari penyakit hewan menular (zoonosis). Sedangkan
pada saat penanganan daging peranan petugas sangat kecil, mengingat relatif
banyak panitia yang terlibat dalam pemotongan dan penanganan daging qurban.
Terbatasnya sarana serta prasarana, pengetahuan aspek sanitasi dan higiene dari
panitia memungkinkan terjadi pencemaran mikroba daging melebihi SNI BMCM
01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BSN 2000).
Pencemaran mikroba pada daging dapat menyebabkan kerusakan pada
daging baik berupa perubahan fisik maupun kimiawi, sehingga daging tersebut
dianggap tidak layak dikonsumsi. Selain kerusakan pada daging, cemaran mikroba
juga

berpotensi

dapat

menimbulkan

penyakit

bagi

manusia

yang

mengkonsumsinya.
Tempat pemotongan hewan qurban di DKI Jakarta tersebar dalam 5 (lima)
wilayah pada tahun 2004 yang tercatat sebanyak 2201 buah dengan jumlah ternak
yang dipotong 54.138 ekor (Lampiran 1). Tempat pemotongan hewan qurban

3

yang terbesar adalah Kotamadya Jakarta Timur. Jumlah tersebut diperkirakan
lebih banyak lagi karena masih ada beberapa lokasi yang tidak terpantau (Dinas
PEKANLA 2004).
Berdasarkan laporan hasil kegiatan monitoring dan pengawasan hewan
qurban, Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur tahun
2004 memiliki tempat pemotongan hewan qurban sebanyak 837 buah. Sedangkan
jenis dan jumlah hewan qurban yang dipotong adalah 1.572 ekor sapi,12 ekor
kerbau, 5.063 ekor kambing dan 1.003 ekor domba dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah membuktikan hubungan antara sanitasi tempat
pemotongan hewan qurban terhadap cemaran mikroba dengan mengukur tingkat
cemaran dan pembanding batas maksimum cemaran mikroba SNI 01-63662000.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada pemerintah pusat
maupun pemerintah DKI Jakarta, khususnya Kotamadya Jakarta Timur dalam
menangani daging hewan qurban dengan baik; memacu kesadaran panitia
pelaksana pemotongan hewan qurban akan pentingnya sanitasi di tempat
pemotongan hewan qurban, sehingga memberi rasa aman bagi masyarakat
penerima dan masyarakat yang melaksanakan ibadah Idul Qurban.

Hipotesa
H0 : Cemaran mikroba pada daging kambing hewan qurban tidak dipengaruhi
oleh sanitasi di tempat pemotongan hewan qurban.
H1 : Cemaran mik roba pada daging kambing hewan qurban dipengaruhi oleh
sanitasi di tempat pemotongan hewan qurban.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kepentingan Higiene dan Sanitasi
Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk
kesehatan. Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan
layak dikonsumsi untuk manusia, tanpa menimbulkan gangguan kesehatan.
Pengertian daging adalah semua bagian dari hewan sembelih yang aman (safe)
dan layak (suitable) untuk konsumsi manusia. Arti aman dalam bahan makanan
adalah tidak mengandung bahan berbahaya (biologis, kimia dan fisik) yang dapat
mengganggu kesehatan manusia. Pengertian layak dalam bahan makanan dapat
diterima oleh manusia misalnya tidak berbau, penampilan tidak menyimpang, etis
dan halal. Higiene daging didefinisikan sebagai semua kondisi dan tindakan untuk
menjamin keamanan dan kelayakan daging pada semua tahap dalam rantai
makanan (Lukman 2004).
Kepentingan penerapan higiene dalam

rantai

makanan adalah (a)

melindungi dan menjaga kesehatan manusia, (b) melindungi dan menjaga
kesehatan hewan dan lingkungan, (c) menjamin kebersihan, (d) menghindari
kerugian ekonomis, (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan, serta (f)
menghindari ketidak puasan konsumen. Secara umum higiene perlu juga
diterapkan pada bangunan, proses/ produksi dan karyawan (Lukman 2004).
Salah satu persyaratan higiene dan sanitasi juga terletak pada higiene
karyawan (higiene personal). Tujuan higiene personal adalah untuk menjamin
bahwa orang yang berhubungan langsung atau tidak langsung melalui tubuhnya
tidak mencemari bahan makanan, berperilaku dan bekerja sesuai aturan serta
diharapkan pekerja yang sakit atau diduga sakit tidak ikut melakukan penanganan
daging qurban (Lukman 2004).
Sanitasi adalah suatu upaya dalam menjaga kesehatan dengan cara
memelihara dan melindungi kesehatan. Tujuan sanitasi tempat pemotongan hewan
adalah mencegah pencemaran lingkungan agar diperoleh daging higienis dan
sehat (Sudarwanto 2004).
Dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7 tahun 1997 yang disebut pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

5

tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan
atau minuman.
Bakteri indikator adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan
menunjukkan bahwa air atau makanan tersebut pernah tercemar oleh kotoran
manusia dan atau hewan. Bakteri indikator pada umumnya adalah bakteri yang
lazim terdapat didalam usus mahluk hidup. Jadi adanya bakteri tersebut pada air
atau makanan menunjukkan bahwa dalam tahap pengolahan air atau makanan
pernah dicemari dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan atau hewan
oleh karenanya kemungkinan juga dapat ditemukan bakteri patogen. Sampai saat
ini ada tiga jenis bakteri indikator yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan
adanya masalah sanitasi, yaitu Escherichia coli, kelompok Streptococcus
(Enterococcus) fecal dan Clostridium perfringens (Dewanti 2003).

Kualitas Daging
Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat
menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang mengkonsumsinya karena
kandungan gizinya yang lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi.
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya termasuk organ-organ
seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pancreas dan jaringan otot
(Soepardi dan Soekamto1999).
Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue),
jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue). Daging
merupakan sumber protein yang berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan
mineral khususnya besi. Secara umum dapat dikatakan bahwa daging terdiri dari
air dan bahan padat. Bahan padat daging terdiri dari bahan-bahan yang
mengandung nitrogen, mineral, garam dan abu. Lebih kurang 20 % dari semua
bahan padat dalam daging adalah protein (Muchtadi dan Sugiono 1989).

6

Menurut Sudarisman dan Elvina (1996), daging merupakan produk hewani
yang sangat digemari, karena rasa yang lezat dan mengandung nilai gizi yang
tinggi. Dibandingkan dengan sumber protein nabati, daging merupakan sumber
protein yang lebih baik bagi tubuh karena mengandung asam amino esensial yang
lengkap dan seimbang serta mudah dicerna.
Daging juga merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan kuman (mikroorganisme) sehingga daging dikategorikan
sebagai bahan makanan ya ng mudah rusak dan juga sebagai bahan makanan yang
berpotensi berbahaya. Ada 2 (dua) kelompok kuman yang dapat dijumpai pada
daging yaitu a) kuman patogen dan b) kuman pembusuk. Kuman patogen
merupakan kuman yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan.
Pertumbuhan kuman ini pada daging tidak akan memperlihatkan perubahan fisik
pada daging (misalnya bau dan warna tidak berubah), sehingga tidak dapat
diketahui atau dideteksi secara kasat mata, tetapi harus menggunakan pengujian
laboratorium. Kuman pembusuk adalah kuman yang menyebabkan perubahan
pada fisik daging

misalnya timbul bau, perubahan warna dan terdapat lendir

pada daging (Lukman 2004). Daging kambing adalah daging yang diperoleh dari
kambing yang telah dipotong/disembelih.

Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem.
Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong dan bertujuan
.untuk menentukan hewan qurban benar-benar sehat sebelum disembelih sehingga
konsumen mendapat jaminan keamanan dari daging qurban yang akan
dikonsumsi. Pemeriksaan postmortem dilakukan segera setelah hewan dipotong
dengan tujuan antara lain (a) mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging,
isi dada dan isi perut sehingga hanya daging sehat dan baik yang akan
dikonsumsi, (b) menjamin bahwa proses pemotongan dilaksanakan dengan benar,
(c) menjamin kualitas dan keamanan daging, (d) meneguhkan diagnosa
pameriksaan antemortem (Dinas PEKANLA 2003b).
Lima tahap yang harus dilalui dalam memperoleh karkas yaitu pemeriksaan
antemortem, penyembelihan, penuntasan darah, dressing dan pemeriksaan post
mortem. Prinsip penyembelihan adalah pemotongan pembuluh darah besar (vena

7

Jugularis), arteri carotis, saluran nafas dan sekaligus saluran makanan . Pada saat
penyembelihan, hewan harus dalam keadaan tenang, dianjurkan pelaksanaan
sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Kebersihan selama proses penyembelihan
bertujuan untuk mengurangi kontaminasi oleh mikroba. Penuntasan darah harus
sempurna karena bakteri dari usus dan darah yang tertinggal merupakan media
untuk pertumbuhan mikroba. Dressing adalah pemisahan bagian kepala, kulit dan
jeroan dari tubuh ternak (Muchtadi dan Sugiono 1989).
Berdasarkan laporan FKH IPB 2004 pada kegiatan pemotongan hewan
qurban di DKI Jakarta, lebih dari separuh tempat pemotongan hewan
menyediakan alat penggantung untuk pengerjaan karkas setelah pengeluaran
darah (59.0%) selebihnya pengerjaan karkas dilaksanakan diatas alas plastik
(25.2%), diatas tanah/rumput atau tanpa alas (15.8%). Sebagian besar tempat
pemotongan melakukan pemisahan tulang (deboning) sebelum daging dibagikan.
Secara umum penanganan jeroan dan organ lain masih kurang baik, karena
kebanyakan tempat pemotongan membuang jeroan (lambung dan usus) langsung
ke parit/selokan/sungai (43.6%). Beberapa tempat pemotongan membuang jeroan
tersebut ke dalam lubang yang digali (40.1%) dan yang lainnya membuang
ketempat lain misalnya tempat sampah (16.3%).
Pembagian atau pemotongan daging pada umumnya dilaksanakan diatas
alas plastik (50.9%). Pada tempat lainnya, pemotongan /pembagian daging dan
penyimpanan dilaksanakan diatas lantai beralaskan plastik (26.9%), diatas
papan/kayu (13.7%) dan diatas meja (8.5%). Hal ini sudah baik, karena daging
tidak berkontak langsung dengan tanah. Umumnya penyimpanan daging dan
jeroan

dipisah

(69.4%),

namun

masih

ada

tempat

pemotongan

yang

mencampurkan daging dan jeroan (30.6%). Pengemasan potongan daging dan
jeroan sebagian

dilakukan secara terpisah (50.0%), dan sebagian lainnya

menyatukan keduanya (50.0%). Sebaiknya daging dipisahkan dengan jeroan
mengingat jeroan relatif banyak mengandung kotoran dan mikroorganisme,
sehingga akan mencemari daging.

8

Mikroba Pencemar Daging
Mikroba yang merusak daging dapat berasal dari hewan yang terinfeksi pada
saat masih hidup serta kontaminasi daging pasca penyembelihan. Kontaminasi
permukaan daging dapat terjadi sejak saat penyembelihan hewan hingga daging
dikonsumsi (Soeparno 1998).
Di Rumah Potong Hewan, sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah,
kulit, isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang dipergunakan selama proses
mempersiapkan daging (misalnya pisau, gergaji, katrol dan pengait, serta
peralatan untuk jeroan), kotoran, udara dan pekerja (Hansson 2001). Mikroba
yang berasal dari isi saluran pencernaan dapat mencapai 103 sampai 1011 cfu/gram
(Lukman 2001). Kontaminasi feses terhadap karkas dapat beresiko terhadap
penyebaran bakteri patogen seperti Salmonella, Campylobacter, Yersinia dan E.
Coli

(Hansson 2001). Bakteri patogen juga dapat mencemari daging karena

pengaruh stress dan terkontaminasi pada saat pencucian dan apabila berkembang
sejalan dengan pertumbuhannya dapat menjadikan daging sebagai makanan yang
beresiko (Samelis et al. 2002).

Jumlah Mikroba
Perhitungan jumlah

mikroba aerob biasa dilakukan sebagai indikator

adanya pencemaran terhadap daging. Mikroba aerob yang biasa dijumpai pada
daging berkisar antara 103 sampai 105 per cm2 (Hayes 1996). Dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran
Mikroba telah ditetapkan maksimum jumlah mikroba pada daging adalah 104
cfu/g (BSN 2000). Mikroba pada daging dapat meningkat karena beberapa faktor
seperti kontaminasi lingkungan, adanya perkembangan mikroba secara normal di
dalam daging, sanitasi yang buruk dan adanya kontaminasi selama proses
penanganan oleh pekerja (Hansson 2001; Hayes 1996).

9

Koliform
Koliform merupakan mikroorganisme yang sering ditemukan mencemari
daging. Koliform termasuk golongan bakteri gram negatif, sifat

anaerob

fakultatif, berbentuk batang non spora dan terdiri dari beberapa jenis
mikroorga nisme yang termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae yaitu
Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay 1997).
Kehadiran

Koliform

maupun

Escherichia

coli

pada

daging

mengindikasikan daging tersebut telah terkontaminasi oleh feses dan dapat
dipakai sebagai bakteri indikator terhadap kehadiran bakteri patogen lain seperti
Salmonella (Hansson 2001). Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-63662000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah ditetapkan maksimum
jumlah Koliform pada daging adalah 102 cfu/g (BSN 2000).
Koliform ditemukan pada kulit, kuku serta rambut. Begitu hewan dipotong,
bakteri yang berasal dari usus dapat mengkontaminasi daging selama proses
eviscerasi. Grup Koliform dapat menetap di dalam air, tanah atau pada makanan
dalam waktu yang lama. Kehadiran koliform menunjukkan pencemaran makanan
oleh feses yang mungkin berasal dari manusia, hewan atau dari tanah, peralatan,
atau oleh teknik pasteurisasi yang tidak benar, atau rekontaminasi setelah
pasteurisasi atau pemasakan (Banwart 1989).

Gambar 1 Bakteri Koliform
http://www.great- lakes.net/beachcast/bw.waterborne.html.

10

Escherichia coli
Escherichia coli diklasifikasikan ke dalam famili Enterobacteriaceae, dan
termasuk salah satu anggota koliform (Jay 1997). Menurut Doyle (1989) E. Coli
sering ditemukan dalam jumlah banyak di dalam

usus besar hewan dan

merupakan bakteri komensal dalam saluran pencernaan. Dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba telah
ditetapkan maksimum jumlah Escherichia coli pada daging adalah 50 cfu/g (BSN
2000).
Serotipe E. coli didasarkan pada antigen somatik (O), flagela (H), dan
antigen kapsul (K). Antigen O merupakan lipopolisakarida outer membrane cell
yang spesifik (Doyle 1989; Brown 1982). Antigen O merupakan dasar dari
klasifikasi E. Coli menjadi serogrup. Ada lebih dari 170 serogrup berdasarkan
antigen O dan 56 dari antigen H. Tiap serogrup mempunyai respon terhadap
inangnya.
Menurut Brown (1982) galur E. coli

yang dapat menimbulkan sindroma

patogen dibagi menjadi empat kategori yaitu : (a) Enteropathogenic E. coli
(EPEC), (b) Enteroinvasive E. coli (EHEC), (c) Enterotoxigenic E. coli (ETEC),
dan (d) Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) atau biasa dikenal dengan E. coli
O157:H7. Semua tipe tersebut berasosiasi dengan foodborne disease. E. coli
O157:H7 menjadi

perhatian para ahli mikrobiologi dan telah menimbulkan

wabah di berbagai negara karena mencemari makanan cepat saji.

Gambar 2 Bakteri Esherichia coli (Dennis Kunkel 2004).

11

Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus

paling sering ditemukan pada tangan dan wajah

manusia. Pekerja dapat mencemari bahan makanan atau daging sebesar 103
sampai 104 per menit oleh tangan, pakaian maupun alat-alat yang dipergunakan.
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba telah ditetapkan maksimum jumlah Staphylococcus aureus
pada daging adalah 102 cfu/g (BSN 2000).
Staphylococcus aureus hidup optimal dan dapat memproduksi enterotoksin
pada temperatur 35.0-37.0o C, tetapi beberapa spesies dapat tumbuh pada kisaran
10.0-45.0oC dengan pH optimalnya 7.0-7.5 Keracunan makanan terjadi apabila
kandungan Staphylococcus aureus berada dalam jumlah besar yaitu diatas 2,0 x
108 cfu/gram dapat membentuk toksin (Doyle 1989).

Gambar 3 Bakteri Staphylococcus aureus ( Heritage 2003).
http://www.bmb.leeds.ac.uk/mbiology/ug/ug teach/dental/tutorial/
classification/g pcexplain.htm.

Salmonella
Salmonella merupakan salah satu agen yang mempunyai prevalensi tertinggi
sebagai foodborne disease. Di beberapa negara Salmonella juga merupakan salah
satu mikroba patogen yang sering ditemukan keberadaannya pada daging atau
pada makanan. Salmonella paling sering diisolasi dari daging pada daerah yang
berdekatan dengan kulit dan daerah anus (Dickson dan Anderson 1992). Dalam
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba telah ditetapkan keberadaan Salmonella pada daging haruslah
negatif per gram daging (BSN 2000).

12

Genus Salmonella terdiri dari lebih 2600 serovar (Portillo 2000). Klasifikasi
dan deteksi bakteri ini didasarkan atas uji serologik (Jay 1997). Suhu
pertumbuhan Salmonella adalah pada temperatur 35.0-37.0o C, tetapi pada
kenyataannya Salmonella dapat ditemukan pada kisaran suhu 5.0-47.0o C.
Sedangkan pH optimum pertumbuhannya adalah 6.5 – 7.5 dengan
pertumbuhan pH 4.5-9.0 (Doyle 1989).

Gambar 4 Bakteri Salmonella
http://www.nature.com/news/2001/01125/full/011025-10.html.

selang

13

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil data berdasarkan wawancara dan
pengisian kuesioner serta pengambilan sampel daging kambing di tempat
pemotongan hewan qurban yang terpilh di Wilayah Kotamadya Jakarta Timur.
Pemeriksaan mikrobiologis sampel daging kambing dilakukan di Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI
Jakarta Bambu Apus, mulai Januari sampai dengan Maret 2005.

Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan adalah sampel daging kambing yang
berasal dari tempat pemotongan

hewan qurban di Wilayah yang terpilih di

Kotamadya Jakarta Timur. Media yang digunakan adalah Buffer Pepton Water
(BPW) 0.1% (Oxoid M.0509), Plate Count Agar (PCA) Oxoid CM.0325, Lauryl
Sulphate Tryptone Broth (LST) Oxoid CM 0451, Brilliant Green Lactose Bile
Broth (BGLBB) 2% Oxoid 0031, Violet Red Bile Agar (VRBA) Oxoid CM.107,
Nutrient Agar Oxoid CM 0003, Escherichia coli Broth (ECB) Oxoid CM.853,
Hektoen Enteric Agar (HEA) Oxoid CM.419, Brilliant Green Agar (BGA) Oxoid
CM. 0263, Tetrathyonat Brilliant Green Broth Oxoid CM.671, Baird Parker Agar
(BPA) Oxoid CM.0275, Brain Heart Infusion Broth (Oxoid CM.225), plasma
kelinci (Bio Merieux Ref.55182), Indole/Tryptone Oxoid L.42, Methyl Red Baker
R.086-02, Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP) medium Oxoid CM.43, Simon
Citrate Agar Oxoid 155, Triple Sugar Iron Agar (TSIA) Oxoid CM.277, Urea
Agar Oxoid CM.53, Lysin Decarboxylase Agar Oxoid CM.0308, Salmonella
Polyvalent O Difco 222641, Salmonella Polyvalent H Difco 224061, NaCl
fisiologis, alkohol, akuades.
Alat yang digunakan adalah pinset, gunting, pisau, plastik steril, gelas piala,
erlenmeyer steril, tabung reaksi beserta raknya, tabung Durham, ose, cawan petri
steril, pipet steril (1 ml, 10 ml), Quebec colony counter, inkubator 36+10 C- 440 C,
water bath 45 + 10C, Laminar flow cabinet, pembakar bunsen, refrigerator,
freezer, stomacher, timbangan , stearofoam, cooler box, spidol, kertas label.

14

Metode Penelitian
Pengumpulan Data
Untuk menjaring data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap para penanggung
jawab/panitia penyembelihan hewan kurban di tiap-tiap lokasi pemotongan hewan
qurban yang terpilih di Wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Selain wawancara,
pengisian kuesioner juga dilakukan melalui pengamatan. Pengisian kuesioner
dilakukan oleh enumerator yang sebelum melaksanakan tugasnya telah diberikan
pengarahan terlebih dahulu. Kuesioner yang dipergunakan dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Metode Sampling
Populasi target adalah daging kambing yang berasal dari tempat pemotongan
hewan qurban di Wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Jumlah sampel adalah 80
sampel dari 80 lokasi tempat pemotongan hewan qurban. Pemilihan lokasi tempat
pemotongan hewan qurban dengan metoda

penarikan contoh acak bertingkat

(multistage random sampling), yaitu :


Wilayah terpilih 1 (satu) Kotamadya di DKI Jakarta yaitu Kotamadya
Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan.



Penentuan kelurahan dari masing- masing kecamatan dilakukan dengan
menggunakan metoda acak sederhana. Setiap kelipatan 3 (tiga) kelurahan
akan ditentukan secara acak 1 (satu) kelurahan terpilih.



Dari tiap kelurahan terpilih ditentukan jumlah lokasi tempat penga mbilan
sampel yang diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah lokasi
penyembelihan di kelurahan terpilih tahun 2004 dikalikan dengan 10%.
Penentuan lokasi terpilih dengan menggunakan metoda acak sederhana.
Lokasi tempat penyembelihan hewan qurban terpilih dapat dilihat dalam
Lampiran 5.
Pengambilan sampel daging kambing dilakukan secara random, dan diambil

pada saat kumpulan daging akan dimasukkan dalam kantong plastik sebelum
dibagikan. Pengambilan sampel dilakukan seaseptik mungkin, berat kira-kira 100
gram. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang telah
diberi label berisi kode sampel, tanggal pengambilan, jam pengambilan dan lokasi

15

tempat

pemotongan

hewan

qurban.

Sampel

dimasukan

ke

dalam

stearofoam/cooler box yang telah diisi dengan es balok kemudian dibawa ke
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta. Setelah sampai di
Laboratorium, dilakukan uji fisik, meliputi pemeriksaan bau, warna dan
penampakan,

kemudian

sampel

disimpan

di

freezer

sampai

dilakukan

pemeriksaan laboratorium.

Metode Pengujian Mikrobiologi
Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. Metode yang
dipergunakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta
adalah berdasarkan pada SNI 19 – 2897 -1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba
(BSN 1992).
Ditimbang 25 gram daging kemudian dihancurkan dengan stomacher dan
ditambahkan 225 ml buffer pepton water (BPW) 0.1%, kemudian dimasukkan ke
dalam stomacher untuk homogenisasi (pengenceran 10-1 ).

Pemeriksaan Jumlah Mikroba Aerob dengan Pengujian Total Plate Count
(TPC)
Diambil 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-1 masukkan ke dalam 9 ml BPW
0.1% (pengenceran 10-1 ), demikian seterusnya sampai pengenceran 10-6 . Dari
masing- masing pengeceran diambil 1 ml dan dipupuk dalam media Plate Count
Agar (PCA) dengan sistim tuang ke dalam setiap cawan petri, kemudian
diinkubasi pada 37.0o C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dihitung dengan
menggunakan Quebec colony counter.

16

Pemeriksaan Koliform
1).

Uji Sangkaan :
Sebanyak 1 ml dari pengenceran 10-1 dimasukkan kedalam seri 3 tabung

Lauryl Sulphate Tryptone Broth (LST) yang dilengkapi tabung Durham.
Dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-2 dan 10-3 pada seri 3 tabung.
Setiap tahap pengenceran menggunakan pipet yang baru dan steril. Kemudian
disimpan ke dalam lemari pengeram (inkubator) suhu 37.0o C selama 24 jam.
Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung

tabung yang

membentuk gas dan media broth LST menunjukkan warna kekeruhan.
2).

Uji Penegasan :
Dipindahkan sebanyak 1 ose (sengkelit) dari tabung yang membentuk gas

dari media LST ke dalam tabung yang berisi 10 ml Brilliant Green Lactose Bile
Broth 2% (BGLBB 2%). Semua tabung diinkubasi/eramk an pada suhu 37.0o C
selama 24 jam, adanya gas atau perubahan warna media menjadi kuning pada
tabung BGLBB memperkuat adanya bakteri Koliform dalam sampel.

Pemeriksaan Escherichia coli
Satu ose biakan positif dari LST broth dimasukan ke dalam tabung yang
berisi Escherichia coli Broth dilengkapi tabung Durham. Diinkubasi kedalam
penangas air 44.0o C selama 24 jam. Tabung yang membentuk gas

dianggap

positif E. coli. Penetapan E. coli dilakukan dengan menginokulasikan media
tabung yang membentuk gas ke media Violet Red Bile Agar (VRBA). Media
VRBA positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan koloni warna merah.
Koloni yang tumbuh pada media

VRBA diinokulasi ke media Nutrient Agar

miring dan dieramkan pada suhu 35.0o C selama 24 jam. Dilakukan pengujian
IMVIC (Indol, Merah metil, Voges Proskauer dan Citrat) dari biakan Nutrient
Agar tersebut.
Secara skematis pengujian bakteri koliform dan Escerichia coli dapat dilihat
pada Gambar 5.

17

Pemeriksaan Koliform

Pemeriksaan E. coli

Sampel daging
Pengenceran 1 : 10
25 ml contoh + 225 ml BPW 0.1%

LST Broth
(37.00 C, 24-48 jam)

Diinokulasikan pada E.coli Broth

BGLBB
(37.00 C, 24-48 jam)

Inokulasi pada VRBA
(35.00 C, 18-24 jam)

Ada gas
Positif koliform

Inokulasi pada NA miring
(35.00 C, 18-24 jam)

IMVIC

Gambar 5

Skema pengujian bakteri koliform dan E.coli.
Sumber: SNI 19-2897-1992

Untuk mengetahui sifat-sifat bakteri koliform dengan uji IMVIC dapat dilihat
pada Tabel1.

Tabel 1 Sifat-sifat bakteri koliform dengan uji IMVIC
Indole

Methyl Red

Voges
Citrat
Type
Proskauer
+
+
_
_
Typical E. coli
_
+
_
_
Atypical E. coli
+
+
_
+
Typical Intermediate
_
+
_
+
Atypical Intermediate
_
_
+
+
Typical E.aerogenes
+
_
+
+
Atypical E.aerogenes
Yang termasuk E.coli adalah Typical E.coli (++ - - ) dan Atypical E.coli (-+ - -)

18

Pemeriksaan Salmonella
1).

Pra -pengkayaan:
25 gram Sampel daging kambing dalam 225 ml BPW 0.1% yang telah

dihomogenisasi dipindahkan secara aseptik kedalam botol

steril kemudian

diinkubasikan pada 36±1o C selama 16-20 jam.

2).

Pengkayaan:
Dari biakan pra-pengkayaan dipipet masing- masing 10 ml dan dimasukkan

dalam 90 ml Tetrathyonat Brilliant Green Broth, dan 90 ml Selenite Cystine Broth
kemudian diinkubasikan pada temperatur 43.0o C selama 24 jam.

3).

Penanaman:
Biakan pengkayaan dipupuk pada media HEA (Hektoen Enteric Agar) dan

Brilliant Green Agar (BGA), diinkubasikan pada temperatur 37.0o C selama 24
jam. Koloni yang tumbuh pada media HEA dan BGA ditanam pada TSI Agar,
Urea Agar, Lysin Decarboxylase Agar dan VP medium. Reaksi yang positif pada
TSI Agar positif memperlihatkan adanya gas H2 S dan warna media agar menjadi
hitam.Dilanjutkan dengan uji serologi menggunakan antisera H dan O, bila terjadi
penggumpalan menunjukkan reaksi positif. Skema pengujian Salmonella dapat
dilihat pada Gambar 6.

19

Pra pengkayaan
25 gram sampel daging+ 225 ml BPW 0.1%
inkubasi 36.0o C, 16 -20 jam

Pengkayaan
10 ml pra pengkayaan +
90 ml Selenite Cystine Broth

10 ml prapengkayaan+
90 ml Tetrathionate
Brilliant Green Broth
Inkubasi 43.0o C
selama 24 jam

Seleksi
Brilliant Green Agar

Hektoen Enteric Agar

Identifikasi dengan uji penduga:
Agar TSI, Urea Agar, Lysine
Decarboxylase Agar,VP medium, Indol medium.

Uji Serologi

Gambar 6

Skema Isolasi dan identifikasi Salmonella dari bahan pangan
Sumber : SNI 19- 2897- 1992

Pemeriksaan Staphylococcus aureus
Dari pengenceran 10-1 diambil 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam 10 ml
media Baird Parker Agar, disebarkan merata dengan menggunakan spreader,
kemudian diinkubasikan 24 jam pada temperatur 37.0o C. Koloni Staphylococcus
aureus berwarna hitam mengkilat dengan zona cerah sekitarnya. Pengujian
dilanjutkan dengan uji koagulase. Diambil satu koloni dan dimasukkan ke dalam
5.0 ml Brain Heart Infusion Broth (BHIB), diinkubasikan selama 24 jam. Apabila

20

terbentuk kekeruhan diambil 0.1 ml, biakan BHI Broth dimasukkan dalam tabung
steril, kemudian dimasukkan 0.3 ml plasma kelinci, dan diinkubasikan pada
temperatur 37.0o C selama 6 jam. Pembentukan reaksi koagulase terjadi setelah 6
jam inkubasi. Apabila belum terjadi koagulase maka masa inkubasi biakan
diperpanjang sampai 24 jam. Reaksi koagulase positif dinyatakan bila terjadi
gumpalan seperti awan putih dan bila tidak ditemukan reaksi positif maka
koagulase

dinyatakan

negatif

terhadap S.

aureus.

Skema

pengujian

Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 7.

Uji Kuantitatif

Uji Biokimiawi

Sampel daging

Uji koagulase

Pengenceran 1:10
25 ml contoh+225 ml PW 0.1%

Pemupukan pada
Baird Parker Agar
(37.00 C,48 jam)

Koloni hitam diinkubasikan
Pada BHIB (37.00 C,24 jam)

0.5 kultur + 0.5 ml plasma kelinci
(37.00 C, 6-24 jam)

Koagulase
Hitung koloni spesifik
Pembacaan :
Uji koagulase

Gambar 7

Positif
Negatif

Gumpalan putih seperti awan
tidak ada gumpalan putih

Skema sederhana uji kuantitatif dan biokimiawi S.aureus
Sumber: SNI 19-2897-1992

21

Metode Analisa
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik histogram,
analisa hasil pengujian cemaran mikroba menghitung rataan jumlah cemaran
mikroba, mengetahui hubungan adanya cemaran mikroba pada daging kambing
melebihi ketentuan SNI BMCM 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dengan faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi di tempat
penyembelihan hewan qurban dianalisa dengan menggunakan Chi-square dan
pengujian statistik untuk mencari pendugaan tingkat cemaran mikroba dengan
menggunakan pendugaan selang.
Analisa statistik menurut Walpole (1995) dengan persamaan sebagai berikut:
1.

Rataan jumlah cemaran mikroba:

=

u

u1 + u2 + .................+un
n

= rataan

Dimana: u
u1

2.

= sampel ke-1

u2

= sampel ke- 2

un

= sampel ke- n

n

= jumlah sampel.

Uji Chi-square/Khi Kuadrat :
n

?2

= S (o – e)2
i=1

Dimana:

3.

2

e

?

= nilai Khi Kuadrat

o

= nilai obserevasi ke – i

e

= nilai harapan ke- i

Pendugaan Tingkat Cemaran Mikroba:

P + Za/2
n
Dimana:
a = 0.05




P (1- P )

P

: Proporsi (persentase)

Za/2

:

n

: Jumlah sampel

Nilai peubah acak normal

22

Definisi Operasional
Untuk memberikan pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan keraguan,
maka perlu dirumuskan definisi operasional dari kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini. Kuesioner yang digunakan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian
pertama kuesioner berisi data umum, bagian kedua berisi data khusus 1 sebagai
pendukung keadaan lapangan dan bagian ketiga berisi data khusus 2 pendukung
sanitasi pemotongan. Penjelasan dari masing- masing bagian tersebut adalah :
1.

Data Umum: merupakan data yang menjelaskan tentang lokasi, kelurahan
dan kecamatan tempat pemotongan hewan qurban. Data ini diperoleh dari
wawancara oleh enumerator. Data dibutuhkan agar lokasi tempat
pemotongan hewan qurban yang akan diteliti dan diambil sampelnya sesuai
dengan

lokasi tempat pemotongan hewan qurban terpilih yang telah

ditetapkan berdasarkan metoda sampling.
2.

Data Khusus 1: merupakan data yang menjelaskan tentang nama,
pendidikan,

dan

pengetahuan

sanitasi

penanggung

jawab/panitia

pemotongan hewan qurban serta jumlah ternak yang akan dipotong. Data ini
diperoleh melalui wawancara yang dilakukan oleh enumerator dan dapat
digunakan sebagai data pendukung dalam pembahasan.
3.

Data khusus 2: merupakan data yang menjelaskan tentang faktor- faktor
yang mempengaruhi aspek sanitasi di tempat pemotongan hewan qurban.
Faktor-faktor tersebut dibagi kedalam tiga kelompok, dan dilakukan
pembobotan. Pembobotan dari faktor- faktor tersebut didasarkan pada
pengaruh terhadap terjadinya pencemaran daging oleh mikroba. Pemberian
bobot dilakukan dengan memberikan nilai 1, 2, dan 3. Bobot dengan nilai 1
(satu) menunjukkan paling sedikit memberikan pengaruh terhadap terjadinya
pencemaran daging oleh mikroba, bobot dengan nilai 2 (dua) memberikan
pengaruh yang sedang terhadap terjadinya pencemaran oleh mikroba,
sedangkan bobot dengan nilai 3 (tiga) menunjukkan paling banyak
memberikan pengaruh terhadap terjadinya pencemaran daging oleh mikroba.
Faktor-faktor tersebut adalah :

23

3.1.

Sebelum pemotongan, yaitu :
3.1.1. Tempat penampungan ternak: merupakan tempat yang
digunakan untuk menampung ternak qurban sebelum di
sembelih. Jika tidak ada tempat penampungan diberikan
nilai 1, dan jika ada maka diberikan nilai 2.
3.1.2. Pemisahan

penyembelihan

ternak

besar

dan

kecil:

menyatakan lokasi penyembelihan ternak besar dan kecil
apakah dilakukan pemisahan atau tidak. Jika tidak terpisah
penyembelihannya diberikan nilai 1, dan jika terpisah
diberikan nilai 2.
3.1.3. Sumber air: merupakan sumber dari air yang digunakan
dalam proses pemotongan hewan qurban. Jika bersumber
dari danau/sungai mendapat nilai 1, sumber air dari sumur
mendapat nilai 2 dan dari PAM mendapat nilai 3.
3.1.4. Ketersediaan air untuk mencuci tangan: merupakan fasilitas
yang disediakan untuk panitia yang melakukan penanganan
daging hewan qurban. Jika tidak ada tempat mencuci
tangan mendapat nilai 1 dan jika disediakan mendapat nilai
2.
3.2.

Saat pemotongan, yaitu :
3.2.1. Lantai tempat penyembelihan: merupakan lantai tempat
dimana hewan qurban disembelih. Jika disembelih di atas
tanah/rumput mendapat nilai 1, dan jika disembelih di atas
ubin/keramik mendapatkan nilai 2.
3.2.1. Penampungan pembuangan darah: merupakan tempat
untuk menampung darah dari hewan qurban yang
disembelih. Jika darah langsung dibuang ke selokan atau
sungai mendapat nilai 1, jika dibuang langsung ke
tanah/rumput mendapat nilai 2, ditampung di wadah atau
bak mendapat nilai 3, dan jika dibua ng dalam lubang yang
digali di tanah mendapat nilai 4.

24

3.2.3. Pengerjaan karkas: merupakan proses dilakukannya
pengulitan hewan qurban yang telah disembelih. Jika
pengulitan dilakukan di atas tanah/rumput mendapat nilai 1,
jika dilakukan diatas lantai semen atau beralas plastik
mendapat nilai 2.
3.2.4. Proses pengeluaran jeroan: merupakan perlakuan pada
saat proses pengeluaran isi perutan. Jika tidak dilakukan
pengikatan (debolling) pada pangkal oesophagus dan
pangkal anus mendapat nilai