Pengelolaan Perikanan Rajungan Dengan Pendekatan Ekosistem Di Perairan Laut Jawa (Wppnri 712).

PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN
PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA
(WPPNRI 712)

ARIS BUDIARTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perikanan
Rajungan dengan Pendekatan Ekosistem di Perairan Laut Jawa (WPPNRI 712)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Aris Budiarto
NIM. C252100164

RINGKASAN
ARIS BUDIARTO. Pengelolaan Perikanan Rajungan dengan Pendekatan
Ekosistem di Perairan Laut Jawa (WPPNRI 712). Dibimbing oleh LUKY
ADRIANTO dan MUKHLIS KAMAL.
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 31/2004 tentang
Perikanan yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu
pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 45/2009.
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari
tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya
perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan
untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan
perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut,
pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan

ketiganya, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan
ekosistemnya. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan
ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries)
menjadi sangat penting.
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang hidup pada
habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan
juga di laut terbuka (Nontji, 1993). Rajungan di Perairan Laut Jawa (WPPNRI
712) merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan yang bernilai ekonomis
penting dengan dibuktikan oleh besarnya permintaan dan harga rajungan yang
relative tinggi. Pesatnya perkembangan perusahaan eksportir rajungan dengan
bahan baku bersumber dari hasil tangkapan nelayan mengakibatkan bertambahnya
frekuensi dan jumlah penangkapan rajungan dari para nelayan skala kecil,
sehingga dikhawatirkan berdampak pada pengurangan stok rajungan di perairan
(over fishing). Berkurangnya stok rajungan selain diakibatkan oleh jumlah armada
perikanan rajungan yang semakin bertambah, juga diduga sebagai akibat pola
penangkapan yang tidak memperhatikan fase-fase biologis rajungan serta
penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Belum optimalnya sosialisasi dan
pengawasan pemerintah terhadap regulasi yang mengatur tentang ukuran
minimum rajungan yang boleh ditangkap menyebabkan nelayan masih

menangkap rajungan yang berukuran dibawah ukuran yang diperbolehkan
(berukuran < 10 cm) ataupun menangkap rajungan yang sedang bertelur.
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Rajungan di WPPNRI 712 disusun
dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 7 ayat 1 UU nomor 31 tahun 2004 sebagaimana telah
diubah dengan UU nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan yang bertujuan
sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan rajungan di
WPPNRI 712.
Kata kunci: pengelolaan perikanan, ecosystem approach to fisheries magagement,
integrasi, rajungan, over-fishing, perairan Laut Jawa

SUMMARY
ARIS BUDIARTO. Blue Swimming Crab Fisheries Management with
Ecosystem Approach in the Java Sea waters (FMA 712). Guided by LUKY
ADRIANTO and MUKHLIS KAMAL.
Fisheries management is a duty as it has been mandated by the Law of the
Republic of Indonesia No. 31/2004 on Fisheries which was reaffirmed in the
improvement of the law, namely the Law of the Republic of Indonesia No.
45/2009.
Naturally, the management of fishery systems can not be separated from the

three-dimensional integral with each other, namely (1) the dimensions of fishery
resources and their ecosystems; (2) dimensions utilization of fishery resources for
socio-economic importance; and (3) the dimensions of fisheries policy itself
(Charles, 2001). Associated with the three-dimensional, fisheries management is
yet to consider the balance of the three, in which the interests of utilization for the
socio-economic welfare of society is greater than it with eg ecosystem health. In
this context, integrated approach through an ecosystem approach to fisheries
management becomes very important.
Java Sea waters (Fisheries Management Area 712) is one of the main live
crab habitat which is also the main blue swimming crab (BSC) production centers
in Indonesia. FMA 712 has the characteristics of BSC fishery management
problems is lower stock of crabs and the high number of fishing fleet. This study
was aims to determine the condition of BSC fishery management in Java Sea
waters, which developed based on performance indicators of ecosystem approach
(EAFM). The six EAFM indicators used as the basis for analysis (1) Fisheries
Resources; (2) Habitat and Ecosystem; (3) Fishing Technology; (4) Social; (5)
Economic; and (6) Institutional. The results of each research domain indicates that
the value of the composite score EAFM classified as category medium in the
range of 1.5-2.5. The entire aggregate assessment results obtained domain scores
density values ranging between 6.3 - 55.9. Domain which has high density is the

domain of social and institutional domains of 54.7 and 55.9 in the medium
category. Domain habitat / ecosystem and the economic domain has a score of
36.5 and 20.7 with less category. For domain domain fish resources and fishing
techniques have a score of 6.3 and 16.3 with the bad category. The overall of
EAFM indicators ranged between 6.3 - 55.9 Indicating that the management of
BSC in FMA 712 under poor to moderate category. Recommendations of this
study is to carry out repairs BSC fishery management gradually to perform five
steps management; minimum legal size for capture, open closed fishing season,
control gear and fishing areas, protection and rehabilitation of habitat and
implement restoking.
BSC Fisheries Management Plan in FMA 712 are arranged in order to
support the policy of management of fish resources as mandated in Article 7
paragraph 1 of Law No. 31 of 2004 as amended by Act No. 45 of 2009 on
Fisheries which aims as the direction and guidance in the BSC fishery
management plan implementation in FMA 712.
Keyword: Blue Swimming Crab, domains, indicators, EAFM, FMA 712

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1.


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN
PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA
(WPP-NRI 712)

ARIS BUDIARTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc

PRAKATA
Alhamdulillah… Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,
karena dengan rahmat dan hidayah-Nya tesis penelitian yang berjudul
”Pengelolaan Perikanan Rajungan Dengan Pendekatan Ekosistem Di Perairan
Laut Jawa (WPP-NRI 712)” dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada
tahun 2013 di Perairan Laut Jawa dengan didukung oleh Balai Besar
Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI) Semarang dan Asosiasi Pengusaha
Rajungan Indonesia (APRI).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
dan Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku komisi pembimbing, Dr. Ir.
Subhat Nurhakim, M.Sc selaku penguji luar serta kepada Bapak Dr. Ir.
Zulhamsyah Imran, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi atas masukan dan
arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir.
Zarochman Kusdi, M.Si dari BBPI Semarang dan Bapak Ari Prabawa, S.Pi, M.Si
dari APRI, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam
penelitian rajungan di Perairan Laut Jawa. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Ayahanda Bapak Sulaeman, MS dan Ibunda Painah, istri
tercinta Desy Anggrahini, ananda Fatih Izyan Ghaisani dan Fadel Izyan Alghazali
serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Hanya kepada Allah SWT kita patut berserah. Semoga segala amal ibadah
kita senantiasa mendapat ridho-Nya dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Amiin..

Bogor,

Agustus 2015


Aris Budiarto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Penelitian

1
2
4
4
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
5
Konsep dan Definisi EAFM
5
Urgensi Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
6
Implementasi Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan
7
Pengembangan Indikator Bagi Implementasi Pengelolaan Perikanan Dengan

Pendekatan Ekosistem
10
Rajungan (Portunus pelagicus)
11
3 METODE
Ruang Lingkup Wilayah Studi
Indikator Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
Metode Pengambilan Sampel / Contoh
Metode Analisis Data

17
17
18
27
28

4 KONDISI PERIKANAN RAJUNGAN DI WPPNRI 712
Estimasi Potensi dan Status Sumberdaya Ikan di WPPNRI 712
Keragaan Perikanan Rajungan di WPPNRI 712

29
31
32

5 EVALUASI PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN
INDIKATOR EAFM DI WPPNRI 712
Batasan Indikator, Densitas dan Domain
Hasil Penilaian Indikator EAFM Perikanan Rajungan di WPPNRI 712
Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision)

41
41
43
50

6 KESIMPULAN

58

DAFTAR PUSTAKA

59

LAMPIRAN

64

RIWAYAT HIDUP

75

DAFTAR TABEL
Perbedaan Conventional Approach dengan Ecosystem Approach
Indikator, metodologi sampling dan kriteria penilaian domain
sumberdaya ikan
Indikator, metodologi dan kriteria penilaian domain habitat dan
ekosistem
Indikator, metodologi dan kriteria penilaian domain Teknik Penangkapan
Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain Sosial
Indikator, metodologi, dan kriteria penilaian domain Ekonomi
Indikator, metodologi sampling, dan kriteria penilaian domain
Kelembagaan
Metode pengambilan contoh multi-stage proportional sampling
Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan pada WPPNRI 712
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan pada WPPNRI 712
Data perhitungan CPUE Rajungan di Pantura Jawa Tahun 2001 – 2012
Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (LM) Rajungan di Laut
Jawa (Ernawati, 2015)
Ukuran Pertama Kali Tertangkap (Lc) Rajungan (Ernawati, 2015)
Batasan Nilai Skor Indikator EAFM
Batasan Nilai Skor Densitas EAFM
Batasan Skor Nilai Domain dan Agregat
Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain
Sumberdaya Ikan di WPPNRI 712
Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain
Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 712
Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain
Teknik Penangkapan di WPPNRI 712
Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain
Sosial di WPPNRI 712
Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain
Ekonomi di WPPNRI 712
Hasil penilaian indikator EAFM perikanan rajungan dalam Domain
Ekonomi di WPPNRI 712
Skor Rata-rata Indikator dan Nilai Komposit Domain EAFM
Nilai Agregat setiap Domain Indikator EAFM di WPPNRI 712
Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator
pada Domain Sumberdaya Ikan
Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator
pada Domain Habitat dan Ekosistem
Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator
pada Domain Teknis Penangkapan
Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator
pada Domain Sosial
Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator
pada Domain Ekonomi

9
19
20
22
23
24
26
28
29
31
31
36
38
38
41
42
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
51
52
53
54

Langkah Taktis Pengelolaan (Tactical Decision) untuk Setiap Indikator
pada Domain Kelembagaan

55

DAFTAR GAMBAR
Interaksi dan Proses Antar Komponen Perikanan (Gracia and Cochrane,
2005)
Kerangka Pemikiran Penelitian
Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan
(Gracia and Cochrane, 2005)
Proses Implementasi EAFM (Diadopsi dari FAO, 2003)
Diagram Proses Evaluasi dan Adaptasi EAFM (FAO, 2003)
Proses Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem di
Indonesia (Modifikasi dari FAO, 2003)
Ciri morfologi rajungan (P. pelagicus): (a) Jantan dan (b) Betina;
Bentuk Abdomen Rajungan Jantan (kiri), Betina (tengah) dan Betina
Bertelur (kanan). (Mexfish, 1999)
Karakteristik Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) (Zairion, 2015)
Siklus Hidup Portunus pelagicus (Zairion, 2015)
Daerah Tangkapan Rajungan Utama di Indonesia
Lokasi Penelitian Penulis-BPPI dan APRI-P4KSI di WPPNRI 712
Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014)
Peta Perairan WPPNRI 712
Produksi Rajungan Nasional, Tahun 2000-2013
Nilai Produksi Rajungan Nasional Tahun 2000-2013
Produksi Rajungan per WPP Tahun 2005-2013
Produksi Rajungan di WPPNRI 712 Tahun 2000-2013
Produksi Rajungan di WPPNRI 712 per Provinsi Tahun 2000-2013
Trend Hasil Tangkapan, Upaya dan Hasil Tangkapan per Upaya (CPUE)
di Perairan Laut Jawa
Hubungan CPUE dengan Upaya Penangkapan
Hubungan Hasil Tangkapan dengan Upaya Penangkapan
Komposisi Hasil Tangkapan Arad (atas), Gillnet (tengah) dan Garuk
(bawah) di Cirebon Tahun 2014 (Sumiono, 2015)
Kobe Plot Perbaikan Perikanan Rajungan di WPPNRI 712

3
5
6
8
9
11
13
13
13
15
17
18
30
30
32
33
34
34
34
36
37
37
40
58

DAFTAR LAMPIRAN
Data Perikanan Tangkap Rajungan Tahun 2000-2013
Produksi Perikanan Rajungan di 11 WPP Tahun 2005-2013
Produksi, Effort, CpUE, MSY Rajungan Tahun 2001-2012 (diolah oleh
tim APRI)
Keragaan Domain Sumberdaya Ikan
Keragaan Domain Habitat dan Ekosistem
Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan

64
65
66
67
68
69

Keragaan Domain Sosial
Keragaan Domain Ekonomi
Keragaan Domain Kelembagaan
Rencana Perbaikan Pengelolaan Perikanan Rajungan di WPP 712 Jangka
Pendek, Menengah dan Panjang

70
71
72
73

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 31/2004 tentang
Perikanan yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu
pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 45/2009. Dalam konteks adopsi
hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain
yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari
tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya
perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan
untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan
perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut,
pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan
ketiganya, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan
ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum
terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari
sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah, pendekatan
terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan
(ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting.
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang dapat hidup pada
habitat yang beraneka ragam seperti pada pantai dengan dasar pasir, dasar/substrat
pasir lumpur, dan juga pada laut terbuka. Hewan ini pada umumnya ditangkap
oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap bubu dan jaring rajungan
(gillnet). FAO pada tahun 2011 menyebutkan bahwa volume produksi rajungan
Indonesia pada periode tahun 1970 sampai dengan tahun 2008 terjadi fluktuasi.
Peningkatan produksi secara signifikan terjadi antara tahun 1970 sampai dengan
2004 diikuti dengan penurunan pada di tahun 2004 dan tahun 2005 dan meningkat
kembali pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008 produksi rajungan Indonesia
mencapai 34.000 ton dan memberi kontribusi 20% dari produksi secara global di
dunia dan merupakan penghasil rajungan nomor dua setelah Cina.
Tingginya permintaan ekspor rajungan mendorong harga rajungan
semakin tinggi, sehingga memicu nelayan untuk meningkatkan eksploitasi
sumberdaya tersebut. Kondisi ini memacu peningkatan upaya penangkapan
rajungan yang berakibat intensitas penangkapan terhadap rajungan semakin tinggi.
Tingginya intensitas penangkapan dapat mengakibatkan upaya penangkapan yang
berlebih. Penangkapan yang berlebihan merupakan salah satu penyebab
menurunnya populasi alami dari rajungan. Oleh karena itu dikhawatirkan upaya

2

berlebih ini akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber
daya rajungan.
Wilayah perairan Laut Jawa memiliki karakteristik permasalahan dalam
pengelolaan perikanan rajungan yaitu sumberdaya rajungan yang semakin terbatas
dan jumlah armada penangkapan yang relative terus bertambah. Kondisi ini dapat
mengakibatkan terjadinya tangkap lebih (over fishing) tehadap sumberdaya
rajungan. Terjadinya over fishing selain diakibatkan oleh jumlah armada
perikanan rajungan yang tinggi, juga diduga sebagai akibat pola penangkapan
yang tidak memperhatikan fase-fase biologis rajungan serta penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif. Penyebab hal tersebut di atas diantaranya adalah
pengetahuan nelayan tentang cara menjaga kelestarian sumberdaya rajungan yang
masih sangat minim, sehingga mereka tidak mengetahui cara penangkapan dan
penanganan rajungan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Rajungan telah menjadi komoditas ekspor utama dalam sektor perikanan
di Indonesia sejak tahun 1994 yang dibuktikan dengan tingginya permintaan pasar
dari luar negeri khususnya dari negara Amerika Serikat. Ekspor rajungan
Indonesia pertama kali ke Amerika Serikat pada tahun 1994 dilakukan oleh PT.
Phillips Seafood. Sebelum tahun 1994, harga/nilai ekonomis rajungan relatif
rendah karena hanya dikonsumsi secara lokal dengan harga yang relatif murah.
Rajungan hasil tangkapan para nelayan umumnya dijual pada para
pengumpul (bakul). Para pengumpul ini menjual rajungannya kepada para bandar
besar yang merupakan agen pembelian dari perusahaan-perusahaan besar
(eksportir) rajungan. Oleh karena itu produksi rajungan sering tidak tercatat oleh
petugas dari Dinas Perikanan setempat. Tidak adanya data produksi ini
mengakibatkan sulitnya mengetahui besar produksi yang dihasilkan. Di lain
pihak, pasar yang luas dan harga yang tinggi ini menjadi pemicu berkembangnya
perikanan rajungan.
Rajungan banyak tersebar di beberapa tempat disepanjang pantai di
Indonesia yang ditangkap dengan berbagai alat tangkap yang bersifat aktif
maupun pasif dengan hasil tangkapan yang selektif maupun tidak selektif dalam
hal ukuran panjang, berat maupun kualitas mutunya. Sebagai komoditas eksport,
guna memenuhi kebutuhan permintaan rajungan yang tinggi mengakibatkan
aktifitas penangkapan meningkat, melihat kondisi tersebut timbul kekhawatiran
akan keberlanjutan industri rajungan dikarenakan ketersediaan sumberdaya
rajungan yang mengalami penurunan. Selain itu ada indikasi bahwa hasil
tangkapan rajungan menjadi hasil tangkapan buangan (dischart) dari beberapa alat
tangkap yang tidak mentargetkan rajungan sebagai tangkapan utama.
Tingginya dinamika dalam pengelolaan rajungan ini tidak terlepas dari
kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan
perikanan rajungan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial
ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika
ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya rajungan itu sendiri.
Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari
kompleksitas sumberdaya rajungan sehingga membuat pendekatan terpadu

3

berbasis ekosistem menjadi sangat penting. Gambar 1 berikut ini menyajikan
model sederhana dari interaksi antar komponen dalam ekosistem yang mendorong
pentingnya penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan
(EAFM).
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa interaksi antar komponen abiotik dan
biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah
satu komponen utama mengapa pendekatan ekosistem menjadi sangat penting.
Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik,
mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan
turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan perikanan.
Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan
dapat dipastikan menjadi terancam. EAFM merupakan pendekatan yang
ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada
(conventional management). Proses yang terjadi pada conventional management
digambarkan melalui garis tebal, sedangkan pengembangan dari pengelolaan
konvensional tersebut melalui EAFM digambarkan melalui garis putus-putus.
Sebagai contoh, pada pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya
dipandang secara parsial bagaimana ekstraksi dari sumberdaya ikan yang
didorong oleh permintaan pasar. Dalam konteks EAFM, maka ekstraksi ini tidak
bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula dinamika pengaruh dari tingkat
survival habitat yang mensupport kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri seperti
dijelaskan dalam gambar 1.

Gambar 1 Interaksi dan Proses Antar Komponen Perikanan (Gracia and
Cochrane, 2005)
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai rumusan dari permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi terkini pengelolaan perikanan rajungan di Perairan Laut
Jawa?

4

2. Bagaimana strategi pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712
berdasarkan pendekatan ekosistem (EAFM)?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem di Perairan Laut Jawa, adalah:
a. Menganalisa kondisi terkini mengenai pengelolaan perikanan rajungan.
b. Menyusun strategi pengelolaan perikanan rajungan di WPPNRI 712
berdasarkan hasil penilaian indikator EAFM
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem di Perairan Laut Jawa adalah: “Menjadi referensi untuk Pemerintah
Pusat dan Daerah khususnya yang memanfaatkan rajungan di Perairan Laut Jawa
dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan perikanan rajungan secara
berkelanjutan”.
Ruang Lingkup Penelitian
a.
b.

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal, yaitu
Jenis sumberdaya ikan yang menjadi fokus Utama dari penelitian ini adalah
Rajungan (Blue Swimming Crab).
Lokasi penelitian sebagai sampel perikanan rajungan Laut Jawa adalah pada
Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kabupaten Demak dan Kabupaten Pati
(Jawa Tengah) yang merupakan sentra penghasil rajungan.
Kerangka Penelitian

Dalam upaya mengelola sumberdaya pesisir dengan tetap mempertahankan
prinsip-prinsip kelestarian habitat dan ekosistem, diperlukan pengetahuan yang
baik tentang potensi sumberdaya alam (hayati dan non-hayati), kondisi
lingkungan perairan, keadaan sosial, ekonomi, dan jenis budaya masyarakat yang
terdapat di kawasan yang akan dikelola. Salah satu aspek pengelolaan yang
penting di kaji agar pengelolaan sumberdaya dapat dilaksanakan dengan baik
adalah pengetahuan akan konektivitas antara beberapa komponen dalam
ekosistem (termasuk manusia) yang bersifat saling mempengaruhi satu sama lain.
Berpijak dari permasalahan dalam pengelolaan perikanan rajungan di
Perairan Laut Jawa yaitu terjadinya penurunan produksi hasil tangkapan dan
adanya indikasi overfishing dalam perikanan rajungan, maka perlu kiranya
dilakukan pengkajian penilaian terhadap indikator ekosistem yang terkait dalam
pengelolaan perikanan rajungan. Ada 6 (enam) domain indikator yang akan
diteliti dan dianalisa guna mengetahui tingkat pengelolaan perikanan rajungan
yang sudah dilakukan yaitu sumberdaya ikan, habitat, teknis penangkapan, sosial,
ekonomi dan kelembagaan. Selengkapnya kerangka pemikiran penelitian
digambarkan pada Gambar 2 berikut ini.

5

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep dan Definisi EAFM
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF)
sebagai : “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal
objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic,
abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying
an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful
boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat
dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial
ekonomi dalam pengelolaan perikanan dengan tetap mempertimbangkan
pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan
interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan
perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara
lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak
yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya
ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya
compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian
dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola
perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).

6

Sedangkan Pikitch, et.al (2004) dalam Adrianto (2010) mendefinisikan
EAFM sebagai sebuah arahan baru pengelolaan perikanan di mana prioritas
pengelolaan dimulai dari ekosistem dan bukan spesies target. Dengan demikian
kunci dari pemahaman EAFM adalah perhatian terhadap konektivitas antar
komponen ekosistem (termasuk manusia) yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh spesies target sebagai obyek dari pengelolaan perikanan (Adrianto et al,
2010).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut, maka implementasi
EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di
seluruh tingkat pengelolaan perikanan,k hususnya menyangkut perubahan
kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya
menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions),
namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (fisheries
management functions) (Adrianto et al, 2010).
Urgensi Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan
ekosistem perairan tropis memiliki karakteristik dinamika sumberdaya perairan,
termasuk di dalamnya sumberdaya ikan. Dinamika sumberdaya ikan ini tidak
terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang
telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini,
pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial
ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika
ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and
Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari kompleksitas
sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu berbasis ekosistem
menjadi sangat penting. Gambar 3 menyajikan model sederhana dari interaksi
antar komponen dalam ekosistem yang mendorong pentingnya penerapan
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM).

(+)

(+-)

(-)

(+-)

Gambar 3 Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan
(Gracia and Cochrane, 2005)

7

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa interaksi antar ekosistem dan
sumberdaya ikan serta komponen sosial ekonomi dalam sebuah kesatuan fungsi
dan proses sistem perikanan menjadi salah satu komponen utama mengapa
pendekatan ekosistem menjadi sangat penting. Interaksi bagaimana iklim
mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan
sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh
kompleksitas dari pengelolaan sumberdaya ikan. Apabila interaksi antar
komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi
terancam.
Pada Gambar 3 juga dijelaskan bahwa EAFM sesungguhnya bukan hal
yang baru. EAFM merupakan pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan yang sudah ada (conventional management). Dalam
Gambar 3, proses yang terjadi pada adalah bagaimana pertimbangan untuk
mengelola ekosistem sebagai wadah sumberdaya ikan dapat ditingkatkan (ditandai
dengan tanda (+)) sambil melakukan pendekatan optimal untuk penangkapan ikan
(catch dengan tanda (+-)), dengan mengoptimalkan permintaan konsumen
(demand consumers, +-) serta pengurangan upaya tangkap (fishing effort, -). Pada
pada pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara
parsial bagaimana ekstraksi dari sumberdaya ikan yang didorong oleh permintaan
pasar. Dalam konteks EAFM, maka ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus
dipertimbangkan pula dinamika pengaruh dari tingkat survival habitat yang
mensupport kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri.
Implementasi Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan
Menurut Gracia and Cochrane (2005), sama dengan pendekatan
pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan
kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan
perencanaan operasional manajemen (operational management planning).
Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitikberatkan pada
pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun
daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga
perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM
melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan
sumberdaya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan
mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan
antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM
secara komprehensif.
Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih
menitikberatkan pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan pada rencana kebijakan (policy plan). Strategi yang dipilih bisa saja
berasal dari kesepakatan strategi yang berlaku secara umum baik di level nasional
maupun internasional misalnya pengurangan non-targeted fish dan by-catch
practices; penanggulangan pencemaran perairan; pengurangan resiko terhadap
nelayan dan sumberdaya ikan; penetapan kawasan konservasi, fish refugia site
approach, dan lain sebagainya. Menurut Cochrane (2002), rencana strategi
tersebut paling tidak juga memuat instrument aturan main dan perangkat

8

EAFM Initiatives and activities

Continuous improved management measures

pengelolaan input dan output control yang disusun berdasarkan analisis resiko
terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri. Secara diagramatik, proses
implementasi EAFM dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Proses Implementasi EAFM (Diadopsi dari FAO, 2003)
Sedangkan rencana pengelolaan (management plan) menitikberatkan pada
rencana aktivitas dan aksi yang lebih detil termasuk di dalamnya terkait dengan
aktivitas stakeholders, rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan
main yang telah ditetapkan dalam rencana strategis. Dalam rencana pengelolaan,
mekanisme monitoring dan pengawasan berbasis partisipasi stakeholders juga
ditetapkan. Secara konsepsual, mekanisme monitoring dan control terhadap
implementasi EAFM disajikan pada Gambar 5.
Pengelolaan perikanan biasa (konvesional) yang selama ini telah banyak
dilakukan, hanya memfokuskan pada spesies target (komoditas / komponen
ekonomi) tanpa melihat interaksi atau hubungan antara suatu komponen dengan
komponen lainnya dalam ekosistem. Dalam penjelasan singkat dapat dijelaskan
bahwasanya pengelolaan perikanan konvensional memandang spesies target itu
independen terhadap ekosistem perairan dan komponen lain di dalamnya.
Sementara EAFM adalah menitikberatkan pada pentingnya konektivitas antara
spesies target dengan komponen ekosistem (termasuk manusia) yang bersifat
saling mempengaruhi. Patut ditekankan bahwasanya EAFM bertujuan
menyempurnakan/melengkapi pengelolaan perikanan konvensional yang

9

selama ini sudah dilaksanakan dan bukan menggantikannya. Perbedaan antara
pengelolaan perikanan conventional dan pengelolaan perikanan dengan
pendekatan ekosistem (EAFM) seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.

Gambar 5 Diagram Proses Evaluasi dan Adaptasi EAFM (FAO, 2003)

Tabel 1 Perbedaan Conventional Approach dengan Ecosystem Approach
Conventional Approach

Ecosystem Approach

Few Objective

Multiple Objective

Sectoral

Integrated, Cross Sectoral

Target / Non Target Species

Biodiversity & Environment

Stock / Fishery Scale

Multiple (nested) Scales

Predictive

Adaptive

Scientific Knowledge

Extended Knowledge

Prescriptions

Incentives

Top-Down

Interactive / Participatory

Corporate

Public / Transparant
Sumber : (Adrianto, 2010)

10

Pengembangan Indikator Bagi Implementasi Pengelolaan Perikanan Dengan
Pendekatan Ekosistem
Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau
jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih
atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Menurut Hart Environmental Data
(1998) dalam Adrianto (2007), indikator ditetapkan untuk beberapa tujuan penting
yaitu mengukur kemajuan, menjelaskan keberlanjutan dari sebuah sistem,
memberikan pembelajaran kepada stakeholders, mampu memotivasi (motivating),
memfokuskan diri pada aksi dan mampu menunjukkan keterkaitan antar indikator
(showing linkages).
Dalam konteks manajemen perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai
sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1)
menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari komanajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders; (4) dapat digunakan
dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view; dan (5)
menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan (Hart
Environmental Data, 1998 dalam Adrianto (2007)). Sementara itu, menurut
Pomeroy and Rivera-Guieb (2006) dalam Adrianto (2007), indikator yang baik
adalah indikator yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
• Dapat diukur : mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif;
• Tepat : didefinisikan sama oleh seluruh stakeholders
• Konsisten : tidak berubah dari waktu ke waktu
• Sensitif : secara proporsional berubah sebagai respon dari perubahan aktual
Proses berikutnya adalah pemilihan metode untuk mengukur indikator
tersebut. Beberapa syarat yang harus diperhatikan adalah bahwa metode tersebut
sebaiknya (1) akurat dan reliabel, artinya tingkat kesalahan yang ditimbulkan dari
koleksi data dapat diminimalisir; (2) biaya efektif, artinya sejauh mana metode ini
akan menghasilkan pengukuran indikator yang baik dengan biaya yang rendah;
(3) kelayakan, artinya apakah ada unsur masyarakat yang dapat melakukan
metode pengukuran indikator; dan (4) ketepatan, artinya sejauh mana metode
yang dipilih sesuai dengan konteks perencanaan dan pengelolaan perikanan.
Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat
digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana
pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis
ekosistem (Degnbol 2004; Garcia and Cochrane, 2005; Gaichas, 2008). Dalam
pengembangan indikator bagi pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), salah satu
pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan DPSIR (Drivers-PressuresState-Impact-Response) seperti yang ditawarkan oleh Turner (2000) untuk
konteks pengelolaan pesisir atau yang lebih sederhana dalam konteks hanya
Pressures-State-Impact oleh Jennings (2005), Adrianto (2007) dalam konteks
pengelolaan perikanan. Secara simultan, masing-masing indikator untuk aspek
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan mencakup 6 domain, yaitu:
Domain Habitat, Sumberdaya Ikan, Teknologi Penangkapan Ikan, Sosial,
Ekonomi dan Kelembagaan.

11

Tingkat Nasional

Tingkat Global

Prinsip dan tujuan
pengelolaan
perikanan

Indikator dan nilainilai referens
Monitoring
dan Evaluasi

Prioritas dan Isu
Kewilayahan (konteks
ekosistem)
Proses
Manajemen

Institutional
Design

Prinsip-prinsip
pengelolaan
perikanan global yang
disepakati (CCRF:10)

Mendefinisikan kembali
tujuan pengelolaan
perikanan dalam konteks
EAFM

Implemention of
EAFM plan
Implementasi
Perencanaan EAFM

Perencanaan EAFM
dan mekanisme
kelembagaannya
(RPP)

Gambar 6 Proses Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem
di Indonesia (Modifikasi dari FAO, 2003)
Rajungan (Portunus pelagicus)
Klasifikasi Rajungan
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas perikanan
yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Rajungan dicirikan dengan
karapas yang relatif lebih panjang dan memiliki duri cangkang yang lebih panjang
dibandingkan dengan kepiting bakau.
Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucelomata
Section : Prostomia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Brachyura
Sub Seksi : Brachyrhyncha
Famili : Portunidae
Sub Famili : Portuninae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus

12

Morfologi Rajungan
Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri
yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan
terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit (cheliped),
sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki
renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki
renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan
Wardhana, 1990). Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan
memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan.
Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air
sehingga tergolong kedalam Swimming Crab (Portunidae).
Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa rajungan mempunyai
karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk
segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka (anterolateral)
karapas terdapat 9 (sembilan) buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih
besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang
terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar.
Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri
anterolateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-lateral
memiliki ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan
berbentuk segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina
berbentuk segitiga yang lebih lebar dan membulat (Schmitt, 1973).
Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki sepasang kaki belakang yang
berfungsi sebagai kaki renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki
tekstur yang kasar, karapas melebar dan datar; sembilan gerigi disetiap sisinya;
dan gigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk. Karapasnya tersebut umumnya
berbintik biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan
corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu (Kailola et al.
(1993) diacu dalam Kangas (2000)). Karapas pada Portunus pelagicus merupakan
lapisan keras (skeleton) yang menutupi organ internal yang terdiri dari kepala,
thorax dan insang. Pada bagian belakang terdapat bagian mulut dan abdomen.
Insang merupakan struktur lunak yang terdapat di dalam karapas. Matanya yang
menonjol di depan karapas berbentuk tangkai yang pendek.
Beberapa ciri untuk membedakan jenis kelamin rajungan (Portunus
pelagicus) adalah warna bintik, ukuran dan warna capit dan apron atau bentuk
abdomen. Karapas betina berbintik warna abu-abu atau cokelat. Capitnya
berwarna abu-abu atau cokelat dan lebih pendek dari jantan. Karapas jantan
berwarna biru terang, dengan capit berwarna biru. Apron jantan berbentuk T. Pada
betina muda yang belum dewasa, apron berbentuk segitiga atau triangular dan
melapisi badan, sedangkan pada betina dewasa, apron ini membundar secara
melebar atau hampir semi-circular dan bebas dari ventral cangkang (FishSA,
2000).Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercakbercak putih terang, sedangkan pada betina memiliki warna karapas kehijauhijauan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram (Nontji, 1993).
Rajungan menggunakan capitnya untuk mempertahankan diri (Abyss, 2001).
Gambar 7 menunjukkan perbedaan karapas rajungan (Portunus pelagicus) jantan
dan betina.

13

Gambar 7 Ciri morfologi rajungan (P. pelagicus): (a) Jantan dan (b) Betina;
Lingkaran warna merah adalah 4 gigi pada frontal margin dan tiga duri
pada merus cheliped. (Zairion, 2015).
Juwana dan Romimohtarto (2000) mengatakan bahwa rajungan dapat
mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang memanjang, kokoh, dan berduri.
Rajungan yang ditangkap di perairan pantai umumnya mempunyai kisaran lebar
karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100 gram, sedangkan rajungan yang
ditangkap pada perairan yang lebih dalam mempunyai kisaran lebar karapas 1215 cm dengan berat rata-rata ±150 gram.

Gambar 8 Bentuk Abdomen Rajungan Jantan (kiri), Betina (tengah) dan Betina
Bertelur (kanan). (Mexfish, 1999)
Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit (molting). Kulit
kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus
tumbuh. Jika rajungan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit sehingga
kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit memiliki
karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat
membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada
rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesame
jenisnya (Nontji, 2007).

Gambar 9 Karakteristik Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) (Zairion, 2015)

14

Habitat Rajungan
Rajungan dapat hidup di berbagai ragam habitat mulai dari tambak,
perairan pantai hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman mencapai 60 m.
Substrat dasar perairan berlumpur, berpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga
hingga padang lamun. Biasanya rajungan hidup di dasar perairan, tetapi sesekali
dapat juga terlihat berada dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari
saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus. Rajungan
dapat merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal (pasang surut) sampai
pada lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah
pasir dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti
kebanyakan penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai
tempat mencari makan (feeding place) dan pergi ke laut untuk memijah. Rajungan
jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di
sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan betina menyenangi
perairan dengan salinitas lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan,
sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam dibanding jantan. Hal ini
diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah. Perubahan
salinitas dan suhu di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu
biota (Nontji (1986); Moosa dan Juwana (1996); Williams (1982) dan Edgar
(1990) diacu dalam Kangas (2000).
Daur Hidup
Menurut Nontji (2007) seekor rajungan dapat menetaskan telurnya
menjadi larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Larva rajungan yang
baru menetas (zoea) memiliki bentuk yang lebih mirip udang daripada rajungan.
Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung
kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini terdiri dari 4 tingkat dan
kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang berbeda.
Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah
mulai mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai
melebar, kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian
pada tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap
rajungan muda (Nontji, 2007).
Nontji (2007) mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton,
berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup
di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2000) menambahkan
bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang sangat kecil sekali dan berenangrenang lemah dalam air laut sebagai plankton. Pada tahap ini larva rajungan
bersifat planktonik pemakan plankton.
Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Ukuran saat kematangan
terjadi dapat berubah terhadap derajat garis lintang atau lokasi dan antar individu
di lokasi manapun. Betina terkecil Portunus pelagicus yang telah diobservasi
memiliki moult/pergantian kulit yang cukup umur di Peel-Harvey Estuary adalah
89 mm CW, sedangkan di Leschenault Estuary ukuran terkecil adalah 94 mm CW
Smith (1982), Campbell & Fielder (1986), Sukumaran & Neelakantan (1996) dan
Potter et al. (1998) diacu dalam Kangas (2000). Karapas rajungan yang dapat
berkembang hingga 21 cm dan mereka dapat berukuran hingga seberat 1 kg
(Abyss, 2001).

15

Gambar 10 Siklus Hidup Portunus pelagicus (Zairion, 2015)
Rajungan jantan dan betina mempunyai laju pertumbuhan yang cepat
karena nilai K lebih dari satu (Sparre dan Venema 1999). Laju pertumbuhan yang
cepat menunjukkan rajungan memiliki umur yang relatif pendek. Berdasarkan
kurva pertumbuhan, rajungan jantan maupun betina dalam mencapai lebar karapas
maksimum membutuhkan waktu kurang dari 3 tahun. Rajungan jantan dalam
mencapai lebar karapas maksimum membutuhkan waktu sekitar 28.5 bulan
sedangkan betina 31.8 bulan. Menurut Josileen dan Menon (2007) menyatakan
bahwa rata-rata umur maksimum rajungan adalah sekitar 3 tahun. Moosa dan
Juwana (1996) menyebutkan di Queensland berdasarkan penelitian Williams dan
Lee (1980), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan
memiliki ukuran tubuh minimum yaitu panjang karapas (CL) 3,7 cm. Batasan
ukuran rajungan yang dianggap telah mencapai dewasa mempunyai beberapa
pendapat, diantaranya adalah 9 cm CW dan 3,7 cm CL (Kumar et al. (2000)
diacu dalam Suadela (2004).
Tingkah Laku Rajungan
Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa
faktor alami dan buatan. Beberapa faktor alami diantaranya adalah perkembangan
hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor
buatan yang mempengaruhi tingkah laku rajungan salah satunya adalah
pengunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab pots.
Salah satu tingkah laku (behaviour) penting dari rajungan adalah perkembangan
siklus hidupnya yang terjadi di beberapa tempat. Pada fase larva dan fase
pemijahan, rajungan berada di laut terbuka (off-shore) dan fase juvenile sampai
dewasa berada di perairan pantai (in-shore) yaitu muara dan estuaria (Kangas,
2000).
Rajungan adalah aktif tetapi saat tidak aktif, mereka mengubur diri dalam
sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang
terbuka (FishSA, 2000; Sea-ex, 2001). Rajungan akan melakukan pergerakan atau
migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur, rajungan tersebut

16

menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan (Nontji, 2007). Susilo (1993)
menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh yang nyata
terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan.
Pada fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam air relatif tidak ada,
sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak
melakukan aktifitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap
dengan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat
fase bulan terang, sedangkan pada fase bulan gelap rajungan lebih sedikit
tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap binatang
tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang.
Menurut Thomson (1974), dari hasil penelitian yang dilakukan di
laboratorium menunjukkan bahwa larva rajungan betina menghabiskan waktu
sepanjang malam terkubur didalam pasir. Sedangkan larva jantan aktif berenang
pada malam hari. Larva rajungan sama seperti udang bersifat planktonik dan
berenang bebas mengikuti arus.
Kepiting dalam pertumbuhannya perlu meluruhkan cangkang luar yang
keras; pro