Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik Dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA NERITIK
DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM (STUDI KASUS:
PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN
SUKABUMI, JAWA BARAT)

EVA SURYAMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perikanan
Tuna Neritik dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus: Perairan Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Eva Suryaman
NIM C252140361

RINGKASAN
EVA SURYAMAN. Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Pendekatan
Ekosistem (Studi Kasus: Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat). Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, LUKY ADRIANTO dan
LILIS SADIYAH.
Tuna neritik merupakan spesies like tuna yang terutama dominan tertangkap
oleh perikanan pantai (Coastal Fisheries), termasuk small scale fisheries dan
perikanan artisanal. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 107/2015 Tanggal 28 Agustus 2015 tentang RPP TCT (Rencana
Pengelolaan Perikanan Tuna Cakalang dan Tongkol), tongkol (neritic tuna) yang
dikelola dalam RPP TCT terdiri dari 4 (empat) jenis tongkol dan 2 (dua) jenis

tenggiri (sheer-fish). Samudera Hindia Timur merupakan salah satu perairan
produktif bagi kegiatan penangkapan ikan tuna neritik di Indonesia. Produksi
perikanan tuna tersebut salah satunya didaratkan di perairan Teluk Palabuhanratu.
Peningkatan aktivitas tangkapan ikan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu
apabila terjadi terus menerus tanpa adanya pengelolaan yang tepat, akan
mengakibatkan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisa keberlanjutan spesies tuna neritik dengan melakukan
analisa produktivitas dan suseptibilitas/productivity and susceptibility analysis
(PSA) dan menganalisa peluang dan tantangan pengelolaan perikanan tuna neritik
dengan melakukan penilaian berdasarkan indikator pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem/ecosystem approach to fisheries management (EAFM).
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Mei 2016 di
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Analisis produktivitas dan
suseptibilitas (PSA) dan analisis peluang dan tantangan pengelolaan perikanan
tuna neritik dengan melakukan penilaian berdasarkan indikator pengelolaan
perikanan berbasis ekosistem (EAFM) dilakukan dengan metode pengukuran
langsung, wawancara dan data sekunder.
Nilai kerentanan tuna neritik berturut-turut ikan tenggiri 1.25, tongkol krai
1.37, tongkol abu-abu 0.91, tongkol komo 1.49, dan tongkol lisong 1.41. Hal ini
menunjukan bahwa saat ini tingkat kerentanan ikan tuna neritik di perairan Teluk

Palabuhanratu belum rentan terhadap overfishing karena nilainya masih dibawah
nilai kerentanan (1.8).
Hasil evaluasi kondisi pengelolaan perikanan tuna neritik di perairan Teluk
Palabuhanratu didapatkan nilai rata rata indikator EAFM sebesar 2.0. Hal ini
berarti kondisi perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu termasuk
dalam kategori sedang. Strategi pengelolaan ditentukan untuk indikator
sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknologi penangkapan ikan, ekonomi,
sosial dan kelembagaan. Langkah taktis dibuat agar dapat mengimplementasikan
strategi yang telah ditetapkan
Kata kunci: Analisis produktivitas dan suseptibilitas, EAFM, perairan teluk
Palabuhanratu, tuna neritik

SUMMARY
EVA SURYAMAN. Neritic Tuna Fisheries Management with Ecosystem
Approach (Case Study: Palabuhanratu Bay, Sukabumi, West Java). Supervised by
MENNOFATRIA BOER, LUKY ADRIANTO dan LILIS SADIYAH.
Neritic tuna are mainly caught by coastal fishers, including small scale
fishers and artisanal fisheries. Based on the Ministerial Decree of Marine Affairs
and Fisheries No. 107/2015 regarding national tuna management plan (NTMP).
The species of neritic tuna which managed in NTMP consists of bullet tuna (Auxis

rochei), frigate tuna (Auxis thazard), kawakawa (Euthynnus affinis), tongkol abuabu (Thunnus tonggol), Indo-Pacific King Mackerel (Scomberomorus guttatus)
dan narrow-barred Spanish mackerel (Scomberomorus commerson). Eastern
Indian Ocean is one of the most productive waters for neritic tuna in Indonesia.
Palabuhanratu is one of the landing port for neritic tuna. The continuous absence
of proper management for neritic tuna, will decline the fish stock. This study
aims to analyze the sustainability of neritic tuna species by analyzing the
productivity and susceptibility (PSA) and analyzes the opportunities and
challenges neritik tuna fisheries management by conducting an assessment based
on indicators of ecosystem approach to fisheries management (EAFM).
The research was conducted from February to May 2016 in Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Productivity and susceptibility
analysis (PSA) and analysis of the opportunities and challenges neritic tuna
fisheries management by conducting an assessment based on indicators of
ecosystem-based fisheries management (EAFM) is done by direct measurement
methods, interviews and secondary data.
Vulnerability indexs for narrow-barred Spanish mackerel (Scomberomorus
commerson)1.25, frigate tuna (Auxis thazard) 1.37, longtail tuna (Thunnus
tonggol) 0.91, kawakawa (Euthynnus affinis) 1.49, and bullet tuna (Auxis rochei)
1.41. This shows that the current level of vulnerability neritic tuna in
Palabuhanratu bay not vulnerable to overfishing because its value is below the

value of vulnerability (1.8).
Evaluation EAFM indicator in Palabuhanratu bay for neritic tuna
management has 2.0 score. It means, the condition neritic tuna in Palabuhanratu
bay is medium category. Management strategy for neritic tuna in Palabuhanratu
bay consist of the strategy for fish resources, habitats and ecosystems, fishing
technology, economic, social and institutional. Tactical decision made in order to
implement a strategy that has been set.
Keywords: EAFM, neritic tuna, Palabuhanratu bay, productivity and susceptibility
analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA NERITIK
DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM (STUDI KASUS:
PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN
SUKABUMI, JAWA BARAT)

EVA SURYAMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Tony Ruchimat, MSc


PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengelolaan Perikanan
Tuna Neritik dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus: Perairan Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Penulis menyampaikan terima
kasih kepada:
1.
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan
Masyarakat Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
atas beasiswa yang diberikan kepada penulis selama menempuh program
Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
2.
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir
Luky Adrianto, MSc dan Dr Lilis Sadiyah, SSi sebagai anggota komisi
pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan
karya ilmiah ini.
3.
Dr Ir Ahmad Fachrudin, MS selaku ketua program studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).
4.

Dr Ir Tony Ruchimat, MSc selaku penguji luar komisi.
5.
Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu beserta staf
yang telah membantu selama pengambilan data.
6.
Papi dan Mami tercinta, atas segala doa, kasih sayang serta semangat yang
diberikan sehingga penulis dapat memperoleh gelar Magister Sains.
7.
Suami tersayang R. Widi Handoko dan kedua putra tercinta (R. Naufal
Taufiqulhakim dan R. Safaraz Akmal Fadil), atas segala doa dan
dukungannya secara material dan moril.
8.
Sahabat SPL 2014 IPB.
9.
Siska Agustina, Anandinta Permatachani, Yuyun Qonita, Wulandari
Sarasati, Frans, dan Habib atas support dalam proses akademik.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan
penulisan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Februari 2017
Eva Suryaman

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
6
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tuna Neritik
Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)
Productivity and Susceptibility Analysis

8

8
8
9

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Metode Pengambilan Contoh
Analisis Data

10
10
10
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perikanan Tuna Neritik
Parameter Biologi Perikanan Tuna Neritik
Evaluasi Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Indikator PSA
(Productivity Susceptibility Analysis) di Perairan Teluk Palabuhanratu
Evaluasi Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Indikator EAFM
(Ecosystem Approach to Fisheries Management)
Langkah Taktis Pengelolaan

20
20
28

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

53
53
53

DAFTAR PUSTAKA

54

LAMPIRAN

60

RIWAYAT HIDUP

31
35
45

103

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

Estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 2005-2014
Perbandingan antara produksi dengan potensi pelagis besar non tunacakalang pada masing-masing WPPNRI
Jenis Tuna Neritik yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap
dan PPN Prigi
Skor parameter produktivitas (productivity)a
Skor parameter keterancaman (susceptibility)a
Bobot nilai dan kualitas data dari parameter produktivitas (productivity)
dan suseptibilitas (susceptibility)
Kriteria penentuan skor skala Likert pada analisa EAFM
Batasan nilai skor dan visualisasi model bendera
Batasan nilai komposit domain dan agregat
Status pemanfaatan sumberdaya ikan di WPPNRI 573
Perbandingan antara produksi dan potensi neritik tuna pada masingmasing WPPNRI
Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu tahun 2009-2016
Klasifikasi alat tangkap berdasarkan ukuran kapal
Nilai parameter biologi tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu
Parameter pertumbuhan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu
Mortalitas dan laju eksploitasi tuna neritik di perairan Teluk
Palabuhanratu
Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) tuna neritik di
beberapa perairan di Indonesia
Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) ikan tuna neritik di perairan Teluk
Palabuhanratu
Fekunditas ikan neritik tuna berdasarkan studi pustaka
Nilai parameter productivity ikan tuna neritik di perairan Teluk
Palabuhanratu
Nilai parameter susceptibility ikan tuna neritik di perairan Teluk
Palabuhanratu
Nilai kerentanan PSA neritik tuna di perairan Teluk Palabuhanratu
Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain
sumberdaya ikan di perairan Teluk Palabuhanratu
Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain habitat dan
ekosistem di perairan Teluk Palabuhanratu
Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain teknik
penangkapan ikan di perairan Teluk Palabuhanratu
Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain sosial di
perairan Teluk Palabuhanratu
Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain ekonomi di
perairan Teluk Pelabuhanratu
Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain
kelembagaan di perairan Teluk Palabuhanratu
Skor rata-rata indikator dan nilai komposit domain EAFM
Langkah taktis pengelolaan domain sumberdaya ikan

2
3
7
12
12
13
16
19
19
20
22
23
25
27
28
28
29
29
29
32
33
34
37
38
39
41
42
44
44
48

vii
31.
32.
33.
34.
35.

Langkah taktis pengelolaan domain habitat dan ekosistem
Langkah taktis pengelolaan domain teknis penangkapan ikan
Langkah taktis pengelolaan domain sosial
Langkah taktis pengelolaan domain ekonomi
Langkah taktis pengelolaan domain kelembagaan

49
50
51
51
52

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.

13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Trend estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 20052014; Sumber: DJPT (2015)
Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu 2009-2016; Sumber: PPN
Palabuhanratu (2016)
Interaksi dan proses antar komponen perikanan; Sumber: Gracia dan
Cochrane (2005)
Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan tuna neritik di PPN
Palabuhanratu
Plot skor analisis PSA (Productivity Susceptibility Analysis)
Estimasi hasil tangkapan tuna neritik di 11 WPPNRI tahun 2005-2014;
Sumber: DJPT (2015)
Komposisi produksi perikanan di PPN Pelabuhanratu tahun 2014;
Sumber: PPN Palabuhanratu (2015)
Kompososi produksi ikan dominan di PPN Pelabuhanratu tahun 2014;
Sumber: PPN Palabuhanratu (2016)
Daerah penangkapan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu
Perkembangan volume produksi tuna neritik (ton); (a) tenggiri, (b)
tongkol krai, (c) tongkol abu-abu, (d) tongkol komo, dan (e) tongkol
lisong tahun 2009-2016; Sumber: PPN Palabuhanratu (2016)
Perkembangan upaya penangkapan tuna neritik (trip): (a) tenggiri, (b)
tongkol krai, (c) tongkol abu-abu, (d) tongkol komo, dan (e) tongkol
lisong tahun 2009-2014; Sumber: PPN (2015)
Trend CPUE tuna neritik tahun 2009-2014
Kurva sebaran panjang ikan tenggiri
Kurva sebaran panjang ikan tongkol krai
Kurva sebaran panjang ikan tongkol Abu-abu
Kurva sebaran panjang ikan tongkol Komo
Kurva sebaran panjang ikan tongkol Lisong
Grafik analisis Produktivitas dan suseptibilitas
Rata-rata ukuran panjang (kelompok ukuran) tuna neritik di perairan
Teluk Palabuhanratu
Trajectory plan untuk penyempurnaan rencana aksi pengelolaan
perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu

2
3
5
7
10
13
21
21
22
23

24

26
27
30
30
31
31
31
35
36
47

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Spesies tuna neritik yang teridentifikasi di PPN Palabuhanratu
61
a, b
Kebutuhan data productivity untuk analisis PSA
62
Kebutuhan data susceptibility untuk analisis PSAc
63
Kebutuhan data dalam analisis EAFM
64
Responden kuisioner indikator EAFM pelaku utama nelayan
68
Responden kuisioner indikator EAFM pelaku utama non nelayan
70
Kuisioner EAFM untuk pelaku utama nelayan
71
Sebaran frekuensi panjang ikan tuna neritik
76
Kelompok ukuran yang teridentifikasi menggunakan metode
NORMSEP (normal separation) pada program FISAT II
77
Grafik probability of capture ikan tenggiri (a), tingkol krai (b), tongkol
abu-abu(c), tongkol komo (d), dan tongkol lisong (e)
78
Pendugaan parameter biologi dengan algoritma fox (contoh: tongkol
lisong)
79
Penentuan bobot, skor, dan kualitas data dalam analisis PSA
80
Pemberian bobot indikator dalam domain Sumber Daya Ikan (SDI)
85
Pemberian bobot indikator dalam domain habitat dan ekosistem
89
Pemberian bobot indikator dalam domain teknis penangkapan ikan
91
Pemberian bobot indikator dalam domain sosial
94
Pemberian bobot indikator dalam domain ekonomi
95
Pemberian bobot indikator dalam domain kelembagaan
96
Perhitungan trajectory plan untuk penyempurnaan rencana aksi
pengelolaan perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu
99
Dokumentasi kegiatan penelitian
101

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memegang peranan penting dalam perikanan tuna, cakalang, dan
tongkol. Produksi tuna, cakalang, dan tongkol dunia tahun 2011 diperkirakan 6.8
juta ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton. Indonesia
memasok 16% produksi tuna, cakalang, dan tongkol dunia pada tahun 2005-2012
(sekitar 1.1 juta ton), sehingga memiliki peranan yang penting dalam melakukan
pengelolaan sumber daya tuna, cakalang, dan tongkol (KepMen KP No 107/2015).
Berdasarkan KEPMEN No. 47 tahun 2016 potensi ikan pelagis besar (non tuna
cakalang) di Indonesia yang didalamnya terdapat potensi tuna neritik, sekitar 2.5
juta ton/tahun. Pengelolaan sumber daya ikan harus sesuai dengan prinsip-prinsip
yang diadopsi dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (FAO
1995). Berdasarkan Article 6.2 CCRF pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab (responsible fisheries management) harus menjamin kualitas, keanekaragaman dan ketersediaan sumberdaya ikan dalam jumlah yang cukup, untuk
generasi saat ini dan generasi yang akan datang, guna mewujudkan ketahanan
pangan, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu,
berdasarkan Pasal 1 butir (7) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, ditetapkan
bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang
disepakati.
Tuna neritik yang dikelola dalam Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna
Cakalang Tongkol (RPP TCT) terdiri dari 4 (empat) jenis tongkol dan 2 (dua)
jenis tenggiri (sheer-fish). Jenis tongkol mencakup lisong (Auxis rochei), tongkol
krai (Auxis thazard), tongkol komo (Euthynnus affinis), tongkol abu-abu (Thunnus
tonggol) sedangkan sheer fish mencakup tenggiri papan (Scomberomorus
guttatus) dan tenggiri (Scomberomorus commerson). Keenam jenis tuna neritik
(neritic tuna) umumnya tertangkap pada 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia (WPPNRI) baik perairan Kepulauan Indonesia, laut
teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Adapun estimasi jumlah
produksi nasional tahun 2005-2014 rata-rata sebesar 573 495.5 ton/tahun, dengan
rincian seperti pada Tabel 1 (KepMen KP No. 107/2015).
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa produksi rata-rata tahun 20052014 untuk tongkol krai, lisong, tenggiri, dan tenggiri papan cenderung
mengalami peningkatan, sedangkan tongkol abu-abu, dan tongkol komo
cenderung mengalami penurunan produksi (Gambar 1). Berdasarkan jumlah
produksi, tuna neritik didominasi oleh produksi tongkol komo, tongkol krai, dan
tenggiri.
Secara umum dapat diketahui perbandingan antara produksi dan potensi
pelagis besar pada masing-masing WPPNRI sebagaimana tersebut pada Tabel 2.

2
Tuna neritik berdasarkan klasifikasi dalam data statistik perikanan termasuk
dalam pelagis besar.
Tabel 1 Estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 2005-2014
Estimasi hasil tangkapan (ton)
Tahun

Tongkol abu-abu

Tongkol komo

Tongkol krai

Lisong

Tenggiri

121 792
95 325
145 587
133 562

86 459
118 470
143 101
187 966

130 181
115 111
134 593
134 744

17
553
3 712
3 604

131 225
114 214
115 424
126 985

Tenggiri
papan
22 903
23 081
28 928
24 505

114 863

154 487

148 663

5 340

120 997

24 721

112 556
117 783

141 190
145 838

132 733
143 541

3 643
7 395

140 277
132 705

23 927
18 731

84 022
70 842
55 589

172 740
153 193
208 522

158 001
192 943
204 491

14 661
25 983
32 849

141 557
151 628
165 808

17 018
17 259
36 417

105 192

151 197

149 500

9776

134 082

23 749

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Rata-rata
Sumber: DJPT (2015)

Gambar 1 Trend estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 20052014; Sumber: DJPT (2015)
Seperti terlihat pada Tabel 2, potensi pelagis besar tertinggi di WPPNRI
573 mencapai 505 942 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan tuna neritik
terhadap potensi pelagi besar non tuna- sebesar 14.1%. Samudera Hindia Timur
merupakan salah satu perairan produktif bagi kegiatan penangkapan ikan tuna
neritik di Indonesia. Produksi perikanan tuna tersebut didaratkan di pelabuhan
perikanan yang besar seperti Palabuhanratu, Cilacap, dan Prigi. Palabuhanratu
sebagai salah satu tempat pendaratan utama yang memainkan peran penting pada
kegiatan penangkapan ikan. Payang merupakan salah satu alat tangkap yang hasil
tangkapan targetnya ikan tongkol terutama lisong dan tongkol krai (Hidayat dan
Noegraha 2015), meskipun menurut Widodo et al. (2014) pada umumnya tuna
neritik tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch) dengan nilai

3
ekonomis tinggi atau diistilahkan sebagai by product pada perikanan payang
(pelagic danish seine), pukat cincin (purse seine), jaring insang hanyut (drifting
gillnet), huhate (pole and line), dan pancing ulur (hand lines). Produksi tuna
neritik yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu
terdiri dari tenggiri, tongkol abu-abu, tongkol komo, tongkol krai, tongkol lisong.
Perkembangan produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2014 berfluktuatif dengan hasil produksi tertinggi adalah
ikan tongkol lisong. Produksi tuna neritik pada tahun 2009-2014 disajikan pada
Gambar 2.
Tabel 2 Perbandingan antara produksi dengan potensi pelagis besar non tunacakalang pada masing-masing WPPNRI
WPPNRI

571

572

573

712

713

714

715

716

2005

23 417

50 786

66 256

113 441

711

65 708

43 278

37 047

41 326

32 392

717
6 432

2006

21 226

69 303

52 015

79 514

57 507

58 757

45 568

46 008

13 724

6 816

2007

42 513

67 818

68 216

78 046

65 982

75 009

59 334

56 239

24 670

8 145

2008

41 920

82 835

73 479

88 101

61 019

82 907

68 150

61 569

27 120

10 985

2009

43 089

71 934

84 662

83 592

59 576

60 959

49 592

45 855

34 670

20 266

2010

35 325

74 557

64 194

76 231

63 413

62 851

47 361

56 709

43 003

17 576

2011

37 210

75 556

81 668

80 875

70 365

54 575

61 097

49 623

24 985

15 603

2012

37 526

84 820

76 013

79 130

74 053

59 895

56 331

53 800

29 075

18 805

2013

30 727

92 236

75 924

81 212

74 902

72 056

61 569

53 736

30 706

19 486

2014

30 301

79 603

69 353

108 210

111 220

74 762

65 916

75 088

46 809

21 811

Potensi
pelagis besar

101 969

364 830

505 942

198 994

104 017

419 342

43 062

51 394

154 329

56 067

Produksi
rata-rata
2005-2014
Tingkat
pemanfaatan

34 325.4

74 944.8

71 178

86 835.2

70 3745

64 504.9

55 196.5

53 995.3

30 715.4

14 592.5

33.7

20.5

14.1

43.6

67.7

15.4

128.2

105.1

19.9

26

Sumber: DJPT (2015); KepMen KP No 47/2016

Gambar 2 Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu 2009-2016; Sumber: PPN
Palabuhanratu (2016)

4
Peningkatan aktivitas tangkapan ikan tuna neritik di kawasan Samudera
Hindia apabila terjadi terus menerus tanpa adanya pengelolaan yang tepat, akan
mengakibatkan terjadinya penurunan stok sumber daya ikan. Secara alamiah,
pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak
terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri
(Charles 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan harus
mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, dimana dalam mempertimbangkan
kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial, ekonomi masyarakat harus
sebanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain,
pendekatan yang dilakukan harus terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem
yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam
konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap
pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting.

Perumusan Masalah
Permintaan pasar lokal yang tinggi pada komoditas ini berdampak pada
intensitas penangkapan yang semakin meningkat. Isu nasional dalam RPP TCT
(KepMen KP No 107/2015) meliputi akses terbuka (open access), estimasi tingkat
pemanfaatan neritik tuna dan penetapan key indicators, tindakan konservasi dan
pengelolaan sumber daya tuna neritik yang belum memadai (Inadequate
management of neritic tuna resources), kurangnya pemahaman terhadap tindakan
konservasi dan pengelolaan tuna neritik (Inadequate understanding of
management and conservation measures), dampak negatif perubahan iklim
terhadap stok sumber daya tuna neritik (negative impact of climate change to
changes of neritic tuna stocks), kurangnya data dan informasi (Insufficient
data/information), dampak negatif kegiatan perikanan tuna neritik terhadap
ekosistem laut (negative impacts of neritic tuna fisheries to marine ecosystem),
dan perlindungan habitat ikan untuk mendukung penguatan (enhancement)
sumber daya tongkol dan tenggiri (neritic tuna).
Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan berorientasi pada pemanfaatan
jangka pendek yaitu ikan ditangkap sebanyak-banyaknya agar mendapatkan
keuntungan yang besar tanpa memikirkan dampaknya dalam jangka panjang.
Perolehan izin yang mudah menyebabkan nelayan-nelayan skala kecil meningkat,
sehingga dapat menyebabkan peningkatan kapasitas penangkapan. Akibatnya
adanya peningkatan jumlah nelayan dan upaya tangkap menyebabkan tekanan
yang semakin tinggi terhadap sumberdaya ikan. Menurut Fauzi (2010) terdapat
dua permasalahan besar dalam perikanan yaitu overfishing (secara ekonomi
maupun biologi) dan terjadinya overcapacity (ekses kapasitas). Penangkapan ikan
yang melebihi kapasitas dapat menimbulkan permasalahan yang mengancam
keberlangsungan sumberdaya ikan di laut yang mengakibatkan overfishing
sementara itu juga menimbulkan keuntungan perikanan yang menurun (FAO
2000). Fenomena secara luas dilihat sebagai hambatan utama untuk mencapai
perikanan berkelanjutan.

5
Berdasarkan isu nasional tersebut maka diperlukan suatu pengelolaan yang
tepat untuk pengelolaan tuna neritik dengan tujuan agar pemanfaatan sumber daya
tersebut dapat tetap berjalan namun kelestarian sumber daya juga tetap terjaga.
Perairan Indonesia merupakan ekosistem yang kompleks (perairan tropis),
sehingga pengelolaan tersebut harus memperhatikan interaksi antar komponen
lain dalam ekosistem. Gracia dan Cochrane (2005) memberikan gambaran model
sederhana dari kompleksitas sumberdaya sehingga membuat pendekatan terpadu
berbasis ekosistem menjadi sangat penting (Gambar 3).

Gambar 3 Interaksi dan proses antar komponen perikanan; Sumber: Gracia dan
Cochrane (2005)
Gambar 3 menunjukkan bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik
dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu
komponen utama mengapa pendekatan ekosistem dalam pengelolaan menjadi
sangat penting. Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen
abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan
akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan perikanan.
Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan
dapat dipastikan menjadi terancam. Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana keberlanjutan spesies tuna neritik dengan melakukan analisa
produktivitas dan suseptibilitas/productivity and susceptibility analysis
(PSA)?
2. Bagaimana peluang dan tantangan pengelolaan perikanan tuna neritik
dinilai berdasarkan indikator pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem/ecosystem approach to fisheries management (EAFM)?

6
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pengelolaan perikanan tuna neritik menggunakan
penilaian indikator ekosistem adalah:
1. Menganalisa keberlanjutan spesies tuna neritik dengan melakukan
analisa produktivitas dan suseptibilitas/productivity and susceptibility
analysis (PSA).
2. Menganalisa peluang dan tantangan pengelolaan perikanan neritik tuna
dengan melakukan penilaian berdasarkan indikator pengelolaan
perikanan berbasis ekosistem/ecosystem approach to fisheries
management (EAFM).
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian pengelolaan perikanan tuna neritik menggunakan
penilaian indikator ekosistem di perairan Teluk Palabuhanratu adalah menjadi
bahan masukan untuk pemerintah pusat dan daerah, khususnya untuk
memanfaatkan sumber daya perikanan tuna neritik di perairan Teluk
Palabuhanratu dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan perikanan
tuna neritik secara berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian
Upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dengan tetap mempertahankan
prinsip-prinsip kelestarian habitat dan ekosistem, diperlukan pengetahuan yang
baik tentang potensi sumberdaya alam (hayati dan non-hayati), kondisi
lingkungan perairan, keadaan sosial, ekonomi, dan jenis budaya masyarakat yang
terdapat di kawasan yang akan dikelola. Salah satu aspek pengelolaan yang
penting untuk di kaji agar pengelolaan sumberdaya dapat dilaksanakan dengan
baik adalah pengetahuan akan konektivitas antara beberapa komponen dalam
ekosistem (termasuk manusia) yang bersifat saling mempengaruhi satu sama lain.
Penelitian ini dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kab. Sukabumi dengan
memperhatikan banyaknya jenis tuna neritik (yang dikelola berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 107 tahun 2015) yang didaratkan
di PPN Palabuhanratu (5 spesies) dibanding dengan PPS Cilacap (2 spesies) dan
PPN Prigi (4 spesies) yang merupakan pelabuhan perikanan sekitar Samudera
Indonesia (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 tuna neritik dengan fishing ground dari
Samudera Hindia yang didaratkan di 3 pelabuhan menunjukkan bahwa PPN
Palabuhanratu memiliki jumlah jenis yang lebih banyak dibandingkan PPS
Cilacap dan PPN Prigi.

7
Tabel 3 Jenis Tuna Neritik yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap
dan PPN Prigi
Neritik Tuna
PPN
PPS
PPN
(KepMenKP No. 107/2015)
Palabuhanratu Cilacap
Prigi
Lisong (Auxis rochei)



Tongkol krai (Auxis thazard)



Tongkol komo (Euthynnus affinis)


Tongkol abu-abu (Thunnus tonggol)

Tenggiri (Scomberomorus commerson)


Dalam penelitian pengelolaan tuna neritik ini dilakukan penilaian PSA
terhadap susceptibility (dimana dampak ekologi berasal dari kegiatan
penangkapan, potensi sumberdaya ikan terkena dampak kegiatan penangkapan)
dan productivity (suatu kondisi dimana unit stok dapat kembali pulih setelah
mengalami deplesi atau kerusakan akibat kegiatan penangkapan) serta penilaian
terhadap beberapa indikator ekosistem yang terkait dalam pengelolaan perikanan
tuna neritik. Penilaian indikator meliputi 6 (enam) domain yang akan diteliti dan
dianalisa guna mengetahui tingkat pengelolaan perikanan tuna neritik yaitu
sumberdaya ikan, habitat, teknis penangkapan ikan, ekonomi, sosial, dan
kelembagaan yang disajikan pada Gambar 4.
Kondisi perikanan tuna
neritik

Analisa Produktivitas dan
Suseptibilitas (productivity and
susceptibility) tuna neritik

Analisa EAFM (ecosystem
approach to fisheries
management)

Parameter

Produktivitas

Domain

Suseptibilitas

Sumberdaya
ikan

Habitat dan
ekosistem

Teknik penangkapan ikan

Ekonomi

Langkah taktis pengelolaan (Tactical decision)
Perikanan tuna neritik yang berkelanjutan
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian

Sosial

Kelembagaan

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tuna Neritik
Tuna neritik merupakan spesies tuna kecil yang dominan diusahakan oleh
jenis alat tangkap perikanan pantai (Coastal Fisheries) dan merupakan tergolong
perikanan skala kecil (small scale fisheries). Umumnya neritik tuna tertangkap di
wilayah ZEE (IOTC 2015). Tuna neritik yang dikelola IOTC (Indian Ocean Tuna
Commission) terdiri dari longtail tuna (Thunnus tonggol), narrow-barred Spanish
mackerel (Scomberomorus commerson), bullet tuna (Auxis rochei), frigate tuna
(Auxis thazard), kawakawa (Euthynnus affinis), Indo-Pacific king mackerel
(Scomberomorus guttatus) (Herrera dan Pierre 2009).
Menurut Fauziyah et al. (2010), school atau kawanan merupakan struktur
paling penting dalam kehidupan beberapa populasi ikan pelagis. Untuk alasan
tersebut maka ikan pelagis tidak dapat hidup sendiri namun manusia
memanfaatkan schooling untuk menangkap ikan dalam jumlah yang banyak
karena ikan dalam kondisi berkelompok nilai kepadatannya akan berbeda
dibandingkan jika dalam kondisi scatter atau terpencar. Pembentukan kelompok
pada ikan dipengaruhi oleh tingkah laku migrasi ikan dalam kolom perairan,
sehingga tujuan pengelolaan dan pendugaan stok ikan secara praktis, informasi
mengenai karakteristik migrasi sangatlah penting. Ikan pelagis besar menyebar di
perairan yang relatif dalam, bersalinitas tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya
lebih kosmopolitan dapat hidup di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas
lebih rendah (Nelwan 2004).
Tongkol Komo (Euthynnus affinis) merupakan ikan pelagis, membentuk
gerombolan, perenang cepat dan pemakan daging (Chodijah et al. 2013). Tongkol
abu-abu (Thunnus tonggol) adalah spesises dominan neritik yang menghindari
perairan yang sangat keruh dan berada pada daerah yang bersalinitas rendah
seperti muara (Sharma 2012). Tongkol krai (Auxis thazard) adalah spesies yang
beruaya ke seluruh dunia melalui semua laut tropis dan sub tropis (Status of
Fisheries Resources in NSW 2008/2009). Lisong (Auxis rochei) merupakan
spesies yang terkecil di antara semua spesies tuna di dunia, merupakan ikan
epipelagik dan mesopelagik dengan distribusi ke seluruh dunia di perairan tropis
dan subtropis melalui distribusi coastal musiman di daerah beriklim sedang dan
tropis (Uchida 1981; Collete 1986). Tenggiri (Scomberomorus commerson)
merupakan ikan pelagis, top predator yang ditemukan di seluruh perairan laut
tropis di Pasifik Indo-Barat. Juvenil mendiami daerah perairan pantai yang
dangkal sedangkan tenggiri dewasa ditemukan di perairan pesisir landas kontinen
(IOTC-2011-SC14-18[E]). Indo-Pasifik King Makarel (Scomberomorus guttatus)
adalah salah satu spesies ikan pelagis penting di Indonesia yang keberadaannya
tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (Zarochman 2012).
Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF)
sebagai: “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal
objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic,

9
abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying
an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”.
Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai
sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam
pengelolaan perikanan dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi
dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam
ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu,
komprehensif dan berkelanjutan.
Pikitch et al. (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah arahan baru
pengelolaan perikanan di mana prioritas pengelolaan dimulai dari ekosistem dan
bukan spesies target. Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut, maka
implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun
fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, khususnya menyangkut
perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak
lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative
functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan
(fisheries management functions) (Adrianto 2010). Implementasi EAFM
mempunyai dua dimensi, yaitu vertikal (aplikasi EAFM) dan horisontal (integrasi
perikanan dengan sektor lain dalam kerangka kerja pengelolaan secara holistik
(Bianchi et al. 2008).
Ecosystem-based fisheries management (EBFM) menyadari adanya efek
penangkapan ikan terhadap aspek lain ekosistem laut selain dampak langsung
terhadap kehidupan sumberdaya laut (Link 2010). Ecosystem-based fishery
management merupakan pendekatan yang holistik terhadap alokasi sumberdaya
dan management (Larkin 1996). Tantangan kunci dalam pengembangan scientific
tool dalam EBFM adalah kurangnya data dan pemahaman mengenai dampak
ekologis yang lebih luas khususnya terhadap perikanan (Leslie et al. 2008). Salah
satu response terhadap hal ini yaitu diadopsinya metode risk-based assessment,
terutama ecological risk assessment (kajian resiko ekologi) (Hobday et al. 2011).
Kajian resiko ekologi/ecological risk assessment (ERA), juga dikenal sebagai
analisis produktivitas dan suseptibilitas/Productivity and Susceptibility Analysis
(PSA), merupakan salah satu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
kerentanan stok (Triharyuni et al. 2013).
Productivity and Susceptibility Analysis
Analisa produktivitas dan suseptibilitas (PSA) pertama kali dikembangkan
untuk mengklasifikasi perbedaan keberlanjutan bycatch pada perikanan udang
Australian prawn (Stobutzki et al. 2002). Metoda ini mengurutkan
keberlangsungan relatif setiap spesies terhadap keterancaman (susceptibility) dan
pemulihan (recovery) (Stobutzki et al. 2001; Stobutzki et al. 2002), dengan
mengkaji atribut biological spesies. Menurut Apel (2012), PSA digunakan dalam
penilaian resiko atau kerentanan suatu stok ikan terhadap tekanan kegiatan
penangkapan berdasarkan produktivitas biologinya dan keterancaman stok ikan
tersebut terhadap penangkapan.

10

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pengambilan data primer dan data sekunder.
Pengambilan data primer dan sekunder dilaksanakan pada bulan Februari hingga
Mei 2016. Lokasi pengambilan data primer adalah tempat pendaratan ikan tuna
neritik di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi pengambilan data primer dan sekunder ditunjukan
pada Gambar 5.

Gambar 5 Lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan tuna neritik di PPN
Palabuhanratu
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif adalah metode penelitian yang bersifat induktif dan lebih
menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap suatu fenomena.
Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena dijabarkan kedalam
beberapa komponen masalah, variabel dan indikator. Setiap variabel yang di
tentukan di ukur dengan memberikan simbol angka yang berbeda-beda sesuai
dengan kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan
menggunakan simbol-simbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif
matematik dapat dilakukan, sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang
berlaku umum di dalam suatu parameter.
Data pada metode penelitian kuantitatif diperoleh dengan cara mengambil
sejumlah contoh yang dianggap cukup refresentatif dari jumlah populasi yang ada.
Setelah itu, kelompok sampel diberi perlakukan khusus, biasanya berupa

11
wawancara, pengisian kuisioner atau eksperimen. Hasil perlakukan tersebut
kemudian diolah secara statistik dan menghasilkan hasil penelitian berupa angkaangka. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling. Pemilihan responden melalui purposive sampling yaitu penetapan
responden secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria atau pertimbangan (Faisal
2010).
Menurut Sitorus (1998) data kualitatif merupakan data deskriptif berupa
kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat
diamati dan data kualititatif terbagi dalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan,
hasil pembicaraan, dan bahan tertulis.
Metode Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh dilakukan melalui pengambilan data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari data sumber daya ikan, wawancara, dan
kuesioner. Data sumber daya ikan yaitu panjang total (cm), bobot (gram).
Pengambilan data dilakukan selama tiga bulan dengan contoh diamati dengan
contoh yang diamati ± 30 ekor/spesies. Wawancara dilakukan secara terstruktur
menggunakan daftar kuesioner. Boer (2008) menyatakan bahwa, wawancara
dilakukan secara mendalam (indepth interview), adapun pengambilan
contoh/sampel dilakukan secara stratifikasi, yang dilakukan pada beberapa
lapisan, atau pelapisan melalui pembedaan tertentu, misalnya berdasarkan
kedalaman atau kelas panjang ikan. Penentuan responden menggunakan metode
purposive sampling dengan jumlah responden 30-50 orang. Data sekunder
didapatkan dari publikasi dan dokumentasi yang bersumber dari instansi atau
dinas terkait diantaranya PPN Palabuhanratu, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi, dan data statistik perikanan Indonesia berupa data produksi
per jenis ikan dan upaya penangkapan (armada penangkapan, jumlah trip/alat
tangkap, jumlah hari melaut, dan jumlah nelayan) selama 6 tahun terakhir (20092014).
Analisis Data
PSA (Productivity and Susceptibility Analysis)
Analisis produktivitas kerentanan/ Productivity and Susceptibility Analysis
(PSA) merupakan salah satu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
kerentanan stok. Menurut Patrick et al. (2010) PSA merupakan metode fleksibel
pengelompokan data dalam menguraikan permasalahan perikanan yang komplek
yang membantu dalam menentukan solusi pengelolaan perikanan. Kebutuhan data
dalam analisis PSA disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
Menurut Hobday et al. (2011) penilaian dengan analisis PSA menggunakan
skor dari 1 sampai 3, untuk parameter produktivitas (productivity) skor 1 berarti
low (rendah) dan skor 3 berarti high (tinggi), untuk parameter keterancaman
(susceptibility) skor 1 berarti low (rendah) dan skor 3 berarti high (tinggi). Skor
produktivitas (productivity) dan skor keterancaman (susceptibility) dapat dilihat
pada Tabel 4 dan 5.

12
Tahapan analisis produktivitas dan suseptibilitas semua jenis spesies ikan
diawali dengan mengisi basis data dalam format excel. Kemudian memasukan
data serta pengelompokan parameter yang telah di ukur. Kesimpulan didapat
melalui penilaian setelah pengelompokan sesuai dengan skor yang ada. Adapun
bobot dan kualitas parameter produktivtas dan suseptibilitas dapat dilihat pada
Tabel 6 dan analisis PSA disajikan seperti pada Gambar 6.
Tabel 4 Skor parameter produktivitas (productivity)a
Parameter
Productivity
r (intrinsic growth)
Maximum age (tahun)
Maximum size(cm)
K (Growth Coefficient)
M (Natural Mortality)
Fecundity
Reproductive strategyb

Produktivitas tinggi
( skor =3)
>0.5
< 10
0.25
>0.40
>104
Broadcast spawner

Produktivitas sedang
( skor= 2)
0.16-0.5
10-30
60-150
0.15-0.25
0.20-0.40
102-103
Demersal egg

Recruitment pattern
>75%
10-75%
Age at Maturity (tahun)
1