Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaeus, 1758) Dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus Perairan Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)

PENGELOLAAN PERIKANAN RAJ UNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM
(STUDI KASUS: PERAIRAN KABUPATEN PATI,
PROVINSI J AWA TENGAH)

DYAH IKA NUGRAHENI

SEKOLAH PASCASARJ ANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perikanan
Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) dengan Pendekatan Ekosistem
(Studi Kasus : Perairan Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Dyah Ika Nugraheni
NIM C252130531

RINGKASAN
DYAH IKA NUGRAHENI. Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus : Perairan Kabupaten
Pati, Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan
YONVITNER.
Rajungan termasuk kelompok kepiting (Portunidae), yang banyak
diperdagangkan dan merupakan salah satu komponen perikanan skala kecil bernilai
tinggi banyak negara di daerah tropis. Volume produksi rajungan tangkapan yang
cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir, harga komoditi yang tinggi, dan pasar
yang jelas tersebut mendorong terjadinya peningkatan eksploitasi rajungan dari alam
(wild catch) di wilayah perairan Pantai Utara Jawa, termasuk perairan Kabupaten
Pati, dengan melakukan kegiatan penangkapan secara terus-menerus tanpa
memperhatikan kondisi sumberdaya dan lingkungan. Tingkat pengusahaan rajungan

yang demikian dikhawatirkan tidak akan memberikan keberlanjutan baik sumberdaya
maupun ekonomi nelayannya. Penelitian ini bertujuan mengkaji status pengelolaan
perikanan rajungan dan merumuskan strategi pengelolaan perikanan rajungan dengan
pendekatan ekosistem di perairan Kabupaten Pati.
Penelitian dilakukan mulai Desember 2014 hingga Februari 2015. Daerah
penelitian dibagi menjadi dua zona penangkapan dengan tempat pendaratan di
Alasdowo dan Banyutowo (Kecamatan Dukuhseti) serta Keboromo dan Sambiroto
(Kecamatan Tayu). Analisis nilai rata-rata, standar deviasi, uji-t, dan analisis
komponen utama dilakukan terhadap variabel/indikator dari masing-masing daerah
penangkapan rajungan. Performa status pengelolaan perikanan rajungan dinilai dan
dianalisis menggunakan indikator pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem (EAFM).
Status pengelolaan perikanan rajungan di perairan Kabupaten Pati dan
sekitarnya termasuk dalam kategori sedang (nilai = 41,03) pada zona 1 dan baik (nilai
= 64,72) pada zona 2. Hasil identifikasi konektivitas (densitas) antar indikator EAFM
baik dalam satu domain maupun antar domain berkisar antara 13 – 21 atau tergolong
kategori tinggi hingga sangat tinggi. Strategi perbaikan pengelolaan diprioritaskan
mulai dari strategi pengelolaan konservasi sampai dengan mempertahankan strategi
pengelolaan yang sudah ada berdasarkan nilai reference point tiap indikator. Langkah
taktis yang dirumuskan dibedakan menjadi : (1) langkah proteksi untuk indikator

yang nilainya tergolong kurang atau sedang, dan (2) langkah antisipasi untuk
indikator yang nilainya tergolong baik. Langkah proteksi yang dapat menjadi
alternatif antara lain mengurangi jumlah trip atau jumlah bubu per trip, penerapan
ukuran minimum yang boleh ditangkap, melarang menangkap rajungan kondisi
hidup yang sedang bertelur, pengaturan daerah penangkapan terutama pada
musim paceklik, dan peningkatan kapasitas SDM dalam pengelolaan SD rajungan
berpendekatan ekosistem. Langkah antisipasinya, antara lain mempertahankan
penggunaan alat tangkap rajungan yang selektivitas tangkapannya tinggi,
menciptakan mata pencaharian alternatif bagi rumah tangga perikanan,
meningkatkan komunikasi dan kerjasama antar lembaga, serta peningkatan peran
asosiasi/forum rajungan dalam pengelolaan rajungan berpendekatan ekosistem di
Kabupaten Pati.
Kata kunci: rajungan, perairan Pati, EAFM, langkah taktis

SUMMARY
DYAH IKA NUGRAHENI. Ecosystem Approach for Blue Swimming Crabs
(Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) Management (Case Study in Pati Waters,
Center of Java). Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and YONVITNER.
Blue swimming crab/BSC (family : Portunidae), which has been widely
traded and one of the components of the small-scale fisheries that have a high

value for some countries in the tropics. Volume production of small crab of the
catch tended to increase in the last 10 years, the price is high, and the market is
clear, drivers of increased exploitation of crab from natural (wild catch) in the
territorial waters of the North Coast of Java, including the waters of Pati Regency,
conducting capture of continuously regardless of resources and environmental
conditions. Exploitation crab as it is feared will not provide the economic
sustainability of both the resource and the fishermen. The objectives of this
research are to assess the status of crab fishery management and to arrange crab
fishery management strategies based on the ecosystem approach in Pati.
The research was conducted from December 2014 to February 2015. The
study area was divided into two zones fishing ground with the landing place in
Alasdowo and Banyutowo (subdistrict Dukuhseti) and Keboromo and Sambiroto
(subdistrict Tayu), Pati regency, Central Java. Analysis of the average value,
standard deviation, t-test, and Principle Component Analysis (PCA) performed on
the variables/indicators from the fishing areas. Performance on the status of BSC
management assessed and analyzed using indicators of the ecosystem approach to
fisheries management (EAFM).
Status of BSC management in Pati were moderate (grades = 41.03) at zone
1 and good (grades = 64.72) at zone 2. Identification of connectivity (density)
among EAFM indicators both in the domain and inter-domain ranges from 13 to

21 that categorized high to very high category. Several management strategies
designed by prioritize conservation management and maintaining existing
strategies, based on the respective reference point grades. Tactical decisions
classified into: (1) protection tactics for less or moderate, and (2) anticipatory
tactics for good. Tactics protection as an alternative, such as reduce the number of
trip or the number of traps per trip, implement minimum legal size of crab, ban on
catching of berried female crabs, regulate fishing areas especially in low seasons,
and capacity building of human resources in EAFM. Anticipatory tactics, such as
encourage the use of fishing gear selectivity for BSC, create alternative
livelihoods for the household fisheries, enhance communication and collaboration
among institutions, and increase the role of associations or forums of BSC EAFM in Pati.
Keywords: blue swimming crab, Pati, EAFM, tactical decision

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

PENGELOLAAN PERIKANAN RAJ UNGAN (Portunus pelagicus
Linnaeus, 1758) DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM
(STUDI KASUS : PERAIRAN KABUPATEN PATI,
PROVINSI J AWA TENGAH)

DYAH IKA NUGRAHENI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJ ANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Mukhlis Kamal, MSc

iii

iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini adalah
Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) dengan
Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus : Perairan Kabupaten Pati, Provinsi Jawa
Tengah).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi dan Dr
Yonvitner, SPi MSi selaku pembimbing, Dr Ir Mukhlis Kamal, MSc sebagai

penguji luar komisi dan Kaprodi SPL selaku penguji program studi, yang telah
banyak memberikan saran dan masukan demi menyempurnakan tesis ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan seluruh
keluarga besar tercinta, Nandika’s (Papa Nandar, Mas Lantang dan Adek Genta),
teman-teman SPL-IPB, serta rekan-rekan di Kementerian Kelautan dan Perikanan,
yang telah membantu selama proses penyelesaian karya ilmiah ini.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Keluarga Bapak Slamet
Riyadi, Keluarga Ibu Naning, para PPL Kecamatan Dukuhseti-Tayu, segenap
jajaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, serta pihak-pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuannya selama penulis
melakukan pengambilan data lapangan di Kabupaten Pati.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.
Bogor, Februari 2016
Dyah Ika Nugraheni

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1

PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Ruang lingkup penelitian

1

1
2
3
3
4

2

TINJAUAN PUSTAKA

5

3

METODE
Waktu dan lokasi penelitian
Jenis dan sumber data
Teknik pengumpulan data
Alat dan bahan


12
12
12
14
16

4

ANALISIS DATA

16

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

25

6

SIMPULAN DAN SARAN

73

DAFTAR PUSTAKA

75

LAMPIRAN

80

RIWAYAT HIDUP

107

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Indikator per domain, jenis, dan metode pengumpulan data
Alat dan bahan penelitian
Kriteria dan bobot indikator per domain EAFM rajungan
Visualisasi model bendera indikator EAFM
Daftar variabel yang dipergunakan dalam PCA
Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di Kabupaten Pati
Hasil tangkapan rajungan rata-rata dengan bubu lipat oleh responden
Jumlah individu dan biomassa rajungan yang tangkapan setiap jenis
kelamin pada lokasi sampling
Nilai kisaran dan rata-rata (±sd) bobot individu rajungan jantan betina tertangkap pada lokasi sampling
Analisis komposit domain SDI di zona 1
Analisis komposit domain SDI di zona 2
Nilai kisaran dan rata-rata (±sd) ukuran lebar karapas dan bobot
tubuh rajungan jantan-betina yang tertangkap pada lokasi sampling
Analisis komposit domain habitat dan ekosistem di zona 1
Analisis komposit domain habitat dan ekosistem di zona 2
Analisis komposit domain teknologi penangkapan rajungan di zona 1
Analisis komposit domain teknologi penangkapan rajungan di zona 2
Analisis komposit domain sosial di zona 1
Analisis komposit domain sosial di zona 2
Analisis komposit domain ekonomi di zona 1
Analisis komposit domain ekonomi di zona 2
Analisis usaha penangkapan rajungan oleh nelayan rajungan
Kabupaten Pati di lokasi penangkapan zona 1 dan 2
Analisis komposit domain kelembagaan di zona 1
Analisis komposit domain kelembagaan di zona 2
Rata-rata nilai komposit atribut setiap domain dalam EAFM pada
perikanan rajungan di zona 1 dan zona 2
Korelasi antara initial variables dan principal factors
Nilai kontribusi (faktor utama)
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain SDI di zona 1
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain SDI di zona 2
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain habitat dan ekosistem di zona 1
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain habitat dan ekosistem di zona 2
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain teknologi penangkapan ikan di zona 1
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain sosial ikan di zona 1
Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan dengan pendekatan
ekosistem pada domain sosial ikan di zona 2

13
16
17
22
24
26
29
32
34
38
39
42
46
46
47
47
48
49
50
50
52
53
54
56
58
59
65
65
66
66
67
67
68

vii
34 Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan
ekosistem pada domain ekonomi di zona 1
35 Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan
ekosistem pada domain ekonomi di zona 2
36 Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan
ekosistem pada domain kelembagaan di zona 1
37 Langkah taktis pengelolaan perikanan rajungan
ekosistem pada domain kelembagaan di zona 2

dengan pendekatan
dengan pendekatan
dengan pendekatan
dengan pendekatan

69
69
70
71

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pendekatan penelitian
2 Rajungan (Portunus pelagicus) jantan dan betina
3 Bagian abdomen Rajungan (Portunus pelagicus) jantan, betina,
dan betina bertelur
4 Proses Implementasi EAFM
5 Peta lokasi penelitian
6 Skema pengambilan contoh responden nelayan dan sumberdaya
rajungan
7 Alur penilaian indikator EAFM pada perikanan rajungan
8 Skor penilaian status pemanfaatan sumberdaya perikanan
rajungan berpendekatan ekosistem
9 Diagram status pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan
berpendekatan ekosistem
10 Diagram rencana perbaikan pengelolaan perikanan
11 Strategi penghubung antara atribut/indikator dengan taktik
berdasar tekanan dan referensi terkait
12 Persentase luas wilayah antar kecamatan pesisir di Kabupaten
Pati
13 Persentase jumlah penduduk kecamatan pesisir Kabupaten Pati
Tahun 2012
14 Sebaran umur responden rumah tangga perikanan (rajungan) di
Kecamatan Dukuhseti dan Tayu
15 Komposisi tingkat pendidikan responden
16 Produksi rajungan yang didaratkan di TPI Kabupaten Pati Tahun
2013 dan 2014
17 Perbandingan hasil tangkapan rajungan antara zona 1 dan 2 per
musim penangkapan
18 Peta sebaran rataan berat hasil tangkapan rajungan pada musim
penangkapan : (a) puncak; (b) sedang; dan (c) paceklik
19 Peta sebaran jumlah individu rajungan tertangkap di perairan Pati
dan sekitarnya : (a) betina dan (b) jantan
20 Peta sebaran biomassa hasil tangkapan pada lokasi sampling di
perairan Pati dan sekitarnya : (a) total ; (b) betina dan (c) jantan
21 Peta sebaran : (a) suhu dan (b) salinitas - lokasi sampling daerah
penangkapan rajungan di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya

4
5
6
9
13
15
17
21
22
22
24
25
26
27
27
28
30
31
33
34
37

viii
22 Hubungan antara kelimpahan dan biomassa rajungan dengan
kemampuan tangkap bubu lipat untuk rajungan di perairan Pati
23 Kelas ukuran CW rajungan menurut zona penangkapan dan jenis
kelamin
24 Peta sebaran rataan ukuran lebar karapas rajungan : (a) jantan
dan (b) betina di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya
25 Diagram nilai komposit setiap domain di zona 1 dan zona 2
26 Kontribusi variabel pada sumbu 1 dan 2
27 Kontribusi variabel dan lokasi pada sumbu I dan II pada saat
musim barat dan timur
28 Rencana perbaikan pengelolaan perikanan

40
41
43
57
58
60
72

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis rajungan yang ditemukan di perairan Kabupaten Pati dan
sekitarnya
2 Pengukuran parameter biologi dan kualitas perairan
3 Sarana penangkapan rajungan di perairan Kabupaten Pati
4 Aktivitas dan rajungan hasil tangkapan nelayan di perairan Pati
dan sekitarnya
5 Rata-rata ukuran lebar karapas, persentase lebar karapas yang
kurang dari minimum legal size, dan persentase lebar karapas
yang lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad rajungan
yang tertangkap pada zona 1 dan zona 2
6 Data sampling sebaran rajungan (P. pelagicus) yang tertangkap
dan parameter lingkungan di daerah penangkapan perairan Pati
dan sekitarnya
7 Hasil analisis pengaruh perbedaan zona penangkapan terhadap
ukuran lebar karapas dan berat individu rajungan betina
8 Hasil analisis pengaruh perbedaan zona penangkapan terhadap
ukuran lebar karapas dan berat individu rajungan jantan
9 Hasil analisis perbandingan jumlah individu (n) rajungan per
jenis kelamin yang tertangkap di lokasi sampling (zona 1 dan
zona 2)
10 Hasil analisis perbandingan biomassa total rajungan per jenis
kelamin yang tertangkap di lokasi sampling (zona 1 dan zona 2)
11 Nilai parameter ekonomi nelayan rajungan Tahun 2014 di
Kabupaten Pati
12 Partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan rajungan di Kab. Pati
13 Pelanggaran terhadap peraturan baik formal maupun informal di
perairan Kab. Pati
14 Daftar densitas/konektivitas antar indikator antar domain EAFM
15 Data isian penilaian indikator domain/aspek SDI di zona 1
16 Data isian penilaian indikator domain/aspek habitat dan
ekosistem di zona 1

80
81
82
83

84
85
86
87
88
89
90
90
91
92
93
95

ix
17 Data isian penilaian indikator domain/aspek teknologi
penangkapan ikan di zona 1
18 Data isian penilaian indikator domain/aspek sosial di zona 1
19 Data isian penilaian indikator domain/aspek ekonomi di zona 1
20 Data isian penilaian indikator domain/aspek kelembagaan di
zona 1
21 Data isian penilaian indikator domain/aspek SDI di zona 2
22 Data isian penilaian indikator domain/aspek habitat dan
ekosistem di zona 2
23 Data isian penilaian indikator domain/aspek teknologi
penangkapan ikan di zona 2
24 Data isian penilaian indikator domain/aspek sosial di zona 2
25 Data isian penilaian indikator domain/aspek ekonomi di zona 2
26 Data isian penilaian indikator domain/aspek kelembagaan di
zona 2

96
97
98
99
100
102
103
104
105
106

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perikanan menjadi salah satu sektor penting bagi masyarakat Kabupaten
Pati dan penggerak perekonomian dengan dominasi kelompok jenis ikan pelagis.
Jenis krustasea pada perikanan tangkap skala kecil, rajungan menjadi target
komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting. Hal ini karena tingginya
permintaan dan merupakan komoditas ekspor dengan harga yang tinggi (Juwana
1997). Data menunjukkan bahwa jenis rajungan yang dominan tertangkap di
perairan Kabupaten Pati adalah Portunus pelagicus (blue swimming crab) sebesar
± 60% pada musim Timur dan ± 90% pada musim Barat (Ernawati et al. 2014).
Volume produksi rajungan tangkapan dalam 10 tahun terakhir (tahun 2002
s.d. 2012) secara nasional cenderung meningkat rata-rata sebesar 9,79% per tahun,
dengan nilai produksi meningkat rata-rata sebesar 13,37% (Kementerian Kelautan
dan Perikanan 2013). Pangsa pasar rajungan yang dominan adalah ekspor dalam
bentuk daging yang dikalengkan. Ekspor rajungan pada tahun 2011 mencapai
volume sekitar 42.410 ton, senilai ± Rp978 milyar rupiah (KKP 2012), dengan
negara tujuan utama saat ini adalah Amerika Serikat. Faktor harga komoditi yang
tinggi dan pasar yang jelas tersebut mendorong terjadinya peningkatan eksploitasi
rajungan dari alam (wild catch) di wilayah perairan Pantai Utara Jawa, termasuk
perairan Kabupaten Pati, yang melakukan kegiatan penangkapan secara terusmenerus tanpa memperhatikan kondisi sumberdaya dan lingkungan. Atas
dorongan kebutuhan ekonomi, nelayan tidak menyadari bahwa penurunan
produktivitas tangkapan dan ukuran rajungan semakin menurun, sehingga harus
menangkap rajungan ke fishing ground yang semakin jauh dan menambah upaya
tangkapannya. Penambahan jumlah upaya tangkapan akan memberikan tekanan
terhadap sumberdaya rajungan dan ekosistemnya.
Informasi sumberdaya perikanan rajungan, terkait dengan sebaran dan
tingkat pemanfaatannya, sangat diperlukan bagi pengelola pembangunan
perikanan, khususnya bagi pembangunan perikanan tangkap. Oleh karenanya
upaya penyajian informasi yang lebih rinci dan akurat mutlak diperlukan bagi
perencana, sehingga keberlanjutan sumberdaya dapat dijamin kelestariannya, tak
terkecuali sumberdaya rajungan. Karakteristik usaha perikanan tangkap rajungan
juga berbeda antar wilayah. Beberapa studi mengenai rajungan yang telah
dilakukan baik skala nasional maupun internasional antara lain : rasio jenis
kelamin, fekunditas, dan reproduksi rajungan di perairan barat daya India
(Sukumaran and Neelakantan 1997); keragaman rajungan di sepanjang perairan
pantai Dar es Salaam, Tanzania (Chande and Mgaya 2003); biologi reproduksi di
pantai barat Australia (de Lestang et al. 2003), selatan Australia (Kumar et al.
2003), estuari bagian tenggara Australia (Johnson et al. 2010); kajian stok dan
biologi reproduksi rajungan di pantai Bandar Abbas, bagian utara Teluk Persian
(Kamrani et al. 2010); distribusi rajungan di wilayah Trang, Thailand
(Nitiratsuwan et al. 2010); kajian bioekologi di Teluk Bone-Kabupaten Kolaka
(Syahrir 2011), di perairan Brebes (Sunarto 2012); rajungan skala sea ranching di
perairan pantai Parangipettai Thailand (Anand and Soundarapandian 2011); rasio
jenis kelamin, distribusi ukuran, dan kelimpahan rajungan di teluk Persian, Iran
(Hosseini et al. 2012); biologi populasi rajungan dan karakteristik habitat

2

esensialnya di perairan Lampung Timur (Kurnia et al. 2014), di perairan Pati
(Ernawati et al. 2014); pengelolaan berkelanjutan di perairan Lampung Timur
(Zairion 2015); dan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem di perairan Laut
Jawa/WPPNRI 712 (Budiarto 2015).
Pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang
tidak terpisahkan satu sama lain yaitu : (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri
(Charles 2001). Penelitian yang berkenaan dengan perikanan rajungan di
Indonesia, terutama di perairan Pati dan sekitanya, baru mencakup kajian
bioekologi (stok, dinamika populasi, reproduksi), sedangkan kajian yang
mencakup multi dimensi dengan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries
Management (EAFM) belum dilakukan. Oleh karenanya sangat perlu dilakukan
penelitian tentang pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan (P. pelagicus)
dengan pendekatan ekosistem, dengan harapan pemanfaatan sumberdaya
perikanan rajungan di wilayah Kabupaten Pati dapat dilakukan secara optimal
yang tetap menyeimbangkan antara kesehatan ekosistem dan tujuan ekonomi
masyarakat.
Per umusan Masalah
Salah satu permasalahan perikanan rajungan di Kabupaten Pati adalah
terbatasnya data dan informasi yang dapat dieksplorasi serta mengarah pada
pengelolaan rajungan yang mengkaitkan antara aspek bioekologi dengan aspek
sosial, ekonomi, dan tata kelola serta kelembagaan. Hal tersebut penting karena
keberlanjutan suatu sumberdaya ikan harus didukung oleh keberlanjutan
ekonominya. Volume dan nilai produksi rajungan di perairan Pati baru tercatat
dalam data Statistik Perikanan Tahunan Kabupaten mulai Tahun 2014.
Di sisi lain, sumberdaya rajungan di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya
telah dimanfaatkan cukup lama hampir lebih dari 20 tahun. Pemanfaatan
sumberdaya umumnya dilakukan oleh perikanan skala kecil, yang mana kegiatan
penangkapan dilakukan dengan perahu berukuran kurang dari 5 GT. Sampai saat
ini kebijakan peraturan perikanan di Indonesia terkait dengan perikanan skala
kecil masih sangat minim, sedangkan kegiatan penangkapan khususnya untuk
rajungan dilakukan sepanjang hari dan sepanjang tahun. Hasil penelitian Ernawati
et al. (2014) menunjukkan bahwa nilai laju eksploitasi (E) rajungan jantan dan
betina sebesar 0,80 dan 0,81, begitu pula laju eksploitasi rajungan per zona
penangkapan rata-rata telah melebihi 0,8. Nilai E > 0,5 tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pemanfaatan rajungan cenderung tangkap lebih/overfishing. Oleh
karenanya pengelolaan perikanan rajungan di wilayah ini harus lebih hati-hati.
Tingkat pengusahaan rajungan yang demikian tersebut dikhawatirkan tidak
akan memberikan keberlanjutan baik sumberdaya maupun ekonomi nelayannya.
Oleh karenanya diperlukan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan (Charles 2001), dimana pengelolaan hendaknya
mencakup pengelolaan aspek bioekologi, teknologi penangkapan, sosial, ekonomi,
dan kelembagaan. Oleh karena itu langkah awal yang perlu dilakukan antara lain
mengkaji status/kondisi terkini dan potensi keberlanjutan sumberdaya rajungan
dari aktivitas penangkapan yang mencakup keenam aspek tersebut dengan

3

pendekatan ekosistem yang mengacu kepada FAO (2003); Garcia and Cochrane
(2005); Zhang et al. (2009), dan Adrianto et al. (2014). Input inilah nanti yang
akan menjadi dasar dalam merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya rajungan
berbasis ekosistem.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah bagaimana kondisi terkini pengelolaan perikanan rajungan
(P. pelagicus) dari aktivitas penangkapan di perairan Kabupaten Pati dan
sekitarnya, serta strategi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
seperti apa yang sesuai untuk keberlanjutan sumberdaya rajungan di Kabupaten
Pati.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji status pengelolaan perikanan rajungan di perairan Kabupaten Pati.
2. Merumuskan strategi pengelolaan perikanan rajungan untuk perencanaan
pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan dengan pendekatan ekosistem di
perairan Kabupaten Pati.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya metode kajian/penelitian
mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan Ecosystem
Approach to Fisheries Management (EAFM) agar dapat menjaga keberlanjutan
sumberdaya dan ekosistem rajungan di perairan Kabupaten Pati. Hasil studi ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk masyarakat Kabupaten Pati pada khususnya,
dan juga untuk daerah lainnya di Indonesia, antara lain :
1. Dapat digunakan sebagai informasi atau sumbangan pikiran bagi pembangunan
khususnya terkait sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Pati sehingga
tetap lestari.
2. Sebagai salah satu referensi dan pengetahuan tentang perkembangan
pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Pati.
3. Sebagai bahan masukan/rujukan bagi penentu kebijakan dalam menyusun
kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan di
perairan Kabupaten Pati.

4

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal, yaitu :
1. Pengelolaan atas sumberdaya perikanan rajungan berbasis ekosistem yang
dimaksud adalah sumberdaya rajungan atau blue swimming crab (Portunus
pelagicus) dari aktivitas penangkapan.
2. Perikanan rajungan (P. pelagicus) di daerah penangkapan perairan Kabupaten
Pati, bersifat tradisional (small scale fisheries), dan alat tangkap yang dominan
digunakan adalah bubu lipat. Alat tangkap tersebut dioperasikan oleh perahu
dengan ukuran kurang dari 5 GT.
3. Pengoperasian bubu lipat terdiri dari dua macam, yaitu : (a) di perairan pantai
dengan kedalaman rata-rata sampai dengan 35 meter (rata-rata 6 jam/setting)
dan lama operasional nelayan sehari per trip (one day fishing), serta (b) di
perairan dengan kedalaman rata-rata di atas 35 s.d. 60 meter, dengan lama
operasional nelayan empat hari per trip.

5

2 TINJ AUAN PUSTAKA
Dinamika Populasi Sumberdaya Per ikanan Rajungan
Rajungan termasuk kelompok kepiting (Portunidae) yang merupakan bagian
Krustasea dari kelas Malacostraca dan ordo Decapoda. Decapoda telah banyak
menjadi obyek penelitian dan merupakan komponen perikanan komersial terbesar
di wilayah Indo-Pasific bagian Barat. Permintaan pasar atas produk tersebut, baik
hasil tangkapan alam maupun akuakultur sangat kontinyu dan signifikan,yang
mana terdapat lebih dari 1,5 juta ton didaratkan setiap tahunnya (Otto et al. 2001).
Perikanan rajungan banyak didominasi oleh kelompok Portunidae, yang meliputi
empat spesies mud crab (genus Scylla De Haan, 1833), blue swimming crab
(Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) dan the gazami crab (P. trituberculatus,
Miers 1876) (Ng 1998; Lai et al. 2010).
Klasifikasi rajungan (Blue Crab Identification 2001) adalah sebagai berikut:
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus
: Portunus
Spesies
: Portunus pelagicus (Linnaeus 1758)
Nama lokal : Rajungan
Nama dagang : blue swimming crab, blue manna crab, sand crab, blue crab
Keberadaan rajungan disuatu perairan dipengaruhi oleh sifat alami dari
sumberdaya rajungan tersebut, baik berupa tingkah laku, habitat dan
penyebarannya. Tingkah laku rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor alami,
diantaranya adalah perkembangan hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan
reproduksi (Kumar et al. 2003). Komposisi hasil tangkapan pada musim barat dan
timur di Perairan Pati dan sekitarnya relatif sama, dengan didominasi oleh jenis
P.pelagicus, walaupun ada penurunan jumlah pada musim barat.
a

b

Gambar 2 Rajungan (Portunus pelagicus) : a) jantan dan b) betina
(Dokumentasi pribadi 2014)

6

a

b

c

Gambar 3 Bagian abdomen Rajungan (P. pelagicus) : a) jantan; b) betina; dan
c) betina bertelur (Dokumentasi pribadi 2014)
Ukuran minimum dan maksimum P. pelagicus betina pertama kali
ditemukan mencapai kematangan seksual di pesisir Leschenault – Australia Barat
Daya yaitu pada lebar karapas dari 94 dan 122 mm, yang mana lebar karapas 50%
(Lm50) dari rajungan betina pertama mencapai kematangan sekitar pada lebar
karapas 97 mm, sedangkan Lm50 pada rajungan jantan adalah 84 mm (Potter and
Lestang 2000). Adapun rata-rata rajungan yang tertangkap di sekitar perairan Pati
telah melakukan pemijahan. Hal tersebut ditunjukkan dengan rata-rata ukuran
lebar karapas pertama kali tertangkap (Lc) 108 mm yaitu lebih besar dibandingkan
rata-rata ukuran lebar karapas pertama kali matang gonad (Lm) 107 mm (Ernawati
et al. 2014).
King (1995) menyatakan bahwa faktor kondisi bulanan menggambarkan
kondisi kelimpahan makanan dan rata-rata tingkat kematangan gonad. Faktor
kondisi rajungan jantan dan betina di perairan Pati dalam setiap bulan relatif sama,
kecuali betina di bulan Oktober, dimana sekitar bulan Oktober dan November
diduga merupakan puncak musim pemijahan (Ernawati et al. 2014). Hal ini
disebabkan karena pengaruh proses pematangan gonad pada betina. Betina yang
sedang mengalami matang gonad umumnya adalah relatif lebih berat.
Mohapatra et al. (2010), menyebutkan bahwa nilai faktor kondisi kepiting (Scylla
serrata) tinggi identik dengan puncak musim pemijahan.
Sebaran rajungan (Portunus pelagicus) meliputi perairan pantai tropis di
sepanjang Samudera Hindia bagian barat, Timur Samudera Pasifik dan IndoPasifik barat (Lai et al. 2010). Kelimpahan P. pelagicus baik jantan maupun
betina sangat bervariasi dalam satu wilayah perairan, yang dapat disebabkan
pengaruh stabilitas kualitas air dan komposisi sedimen (berpasir, lumpur berpasir,
atau pasir berlumpur). Distribusi P. pelagicus di pesisir Teluk Persia, Iran
ditemukan melimpah di dasar yang berpasir (Hosseini et al. 2012), demikian pula
di Australia bagian selatan yang melimpah di wilayah sekitar habitat alga atau
padang lamun dan pada dasar substrat yang berpasir atau berlumpur, mulai dari

7

zona intertidal sampai dengan kedalaman sekitar 50 m (Potter et al. 1983 in
Hosseini et al. 2012). Adapun hasil penelitian Ernawati et al. (2014) menunjukkan
bahwa kondisi lingkungan perairan laut Pati pada musim timur dan musim barat
cukup optimum untuk pertumbuhan rajungan, sehingga sebaran hasil tangkapan
rajungan berdasarkan musim dan tipe substrat relatif sama.
Hasil tangkapan rajungan per satuan upaya (CPUE) didefinisikan sebagai
laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time
series. CPUE di perairan Pati dipengaruhi oleh siklus bulan. Pada fase bulan baru
dan purnama, CPUE pada daerah penangkapan > 3 mil dan daerah penangkapan <
3 mil relatif lebih tinggi dibandingkan pada fase perbani, sedangkan CPUE
musim barat di pinggiran pantai lebih tinggi dibandingkan pada musim timur
(Ernawati et al. 2014).
Suhu dan salinitas juga mempengaruhi pertumbuhan rajungan dan daya
tahan rajungan terutama pada fase larva. Pada umumnya rajungan menyukai
perairan bersuhu hangat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan
dan reproduksi terjadi pada saat kondisi perairan bersuhu hangat di daerah yang
beriklim sub tropis (Dixon and Hooper 2010). Pantai dengan salinitas tidak terlalu
tinggi adalah daerah yang optimum sebagai habitat pertumbuhan juvenil rajungan
untuk tumbuh dan menjadi dewasa, sehingga rajungan-rajungan berukuran lebih
besar yang umumnya telah matang kelamin bermigrasi ke perairan yang lebih
dalam. Sukumaran and Neelakantan (1997) menjelaskan bahwa rendahnya
salinitas di perairan pantai mendorong rajungan yang berukuran besar bermigrasi
ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi. Menurut Juwana
(1998) disimpulkan bahwa larva rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang
relatif lebar yaitu pada kisaran 20 sampai dengan 36 ‰ dan salinitas optimumnya
pada kisaran 27 sampai dengan 30 ‰. Suhu optimum untuk pemeliharaan larva
rajungan adalah suhu tetap 30 °C dengan kisaran suhu antara 27 sampai dengan
32 °C.
Konsep Pengelolaan Sumber daya Perikanan Ber basis Ekosistem
Menurut Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UndangUndang RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pengelolaan perikanan adalah
semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya
ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain
yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati. Link (2010) menyatakan bahwa untuk
mengelola sumber daya laut (living marine resources) yang lebih baik,
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem merupakan pendekatan yang sesuai,
yang mana indikator-indikator ekosistem akan diterjemahkan menjadi kriteriakriteria keputusan, antara lain dengan mengidentifikasi indikator kunci dan
mengevaluasi berapa banyak/persentase fungsi dari usaha penangkapan, serta
mengintegrasikan beberapa indikator yang mewakili semua proses dalam suatu
ekosistem (multiple indicators). Dalam hal pengelolaan perikanan lokal,
keterkaitan indikator keberlanjutan harus dimasukkan ke dalam proses
pengambilan keputusan, yaitu ketika kebijakan akan digunakan untuk
meningkatkan keberlanjutan sistem perikanan. Pengelolaan perikanan dengan

8

pendekatan ekosistem merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
pengelolaan yang sudah ada. Interaksi antar komponen dan aspek-aspek EAFM
tidak dapat diabaikan dan sangat mempengaruhi keberlanjutan perikanan
(Adrianto et al.2005; 2014).
Mengacu pada definisi Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) menurut
FAO (2003), secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep
bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan
perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll)
dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian
tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan
melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan
berkelanjutan. Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
implementasi EAF antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas
yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi
ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat
pengelolaan sebaiknya kompatibel untuk semua distribusi sumberdaya ikan;
(4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan
perikanan; dan (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi
dan sistem manusia (FAO 2005).
Garcia and Cochrane (2005) mendefinisikan pengelolaan perikanan sebagai
keterpaduan proses pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, pengambilan
keputusan, alokasi sumber daya, perumusan dan penegakan peraturan perikanan
dalam mengontrol perilaku sekarang dan masa depan dari pihak yang
berkepentingan dalam perikanan. EAF juga merupakan perpaduan antara
pengelolaan ekosistem untuk melestarikan komponen biofisik ekosistem dan
pengelolaan perikanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan berfokus
pada kegiatan penangkapan dan target sumber daya. Bagian integral dari EAF
adalah keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan dan
pertimbangan berbagai tujuan (Preston 2009; Andrew et al. 2009; in Purcell et al.
2014).
Pentingnya Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) bukan hal yang
baru, melainkan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan yang sudah ada sebelumnya (pengelolaan konvensional).
Pengelolaan perikanan konvensional yang selama ini diterapkan hanya
memfokuskan pada spesies target (komoditas atau komponen ekonomi) tanpa
melihat interaksi atau hubungan antara suatu komponen dengan komponen
lainnya dalam ekosistem. Beberapa hal yang mendorong terjadinya pergeseran
paradigma pengelolaan perikanan antara lain meningkatnya pemahaman bahwa
adanya interaksi yang kuat antar sumberdaya ikan serta interaksi antara
sumberdaya ikan dengan lingkungannya, banyaknya jasa ekosistem bagi manusia
yang perlu dijaga agar berkelanjutan, meningkatnya pemahaman akan fungsi
ekosistem bagi manusia, dan kesadaran akan banyaknya faktor ketidakpastian
(uncertainties) akan fungsi dan dinamika ekosistem.
Potensi sumberdaya laut, terutama perikanan, akan selalu berdampingan
dengan kegiatan nelayan dalam memanfaatkan laut. Informasi kondisi terbaru
terhadap sumberdaya perlu diperbaharui secara periodik untuk mengetahui daya

9

dukung sumberdaya alam terhadap pola pemanfaatan perikanan yang ada. Guna
meningkatkan daya dukung sumberdaya perikanan, praktik pemanfaatan
perikanan yang lestari perlu dilakukan. Adrianto et al. (2014) menyebutkan bahwa
pengelolaan perikanan harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan
konektivitas antara ekosistem, hasil tangkapan, upaya penangkapan, dan
permintaan konsumen. Keempat hal tersebut terkoneksi satu dengan yang lain
sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan ekosistem untuk pengelolaan
perikanan sangat penting guna menjaga keberlanjutan sistem perikanan.
Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Per ikanan Rajungan
Skema pengelolaan perikanan terpadu dengan menggunakan pendekatan
berbasis ekosistem (EAFM) menjadi salah satu wujud bagaimana pemerintah
berperan dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi demi kelangsungan dan
kelestarian ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan. Secara alamiah,
pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak
terpisahkan satu sama lain yaitu : a) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; b) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat; dan c) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri
(Charles 2001).
Penyesuaian implementasi EAFM di Indonesia dengan konteks global
dilakukan melalui beberapa tahapan. Secara lengkap, tahapan proses implementasi
EAFM disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Proses Implementasi EAFM (Modifikasi dari FAO 2003 in
Adrianto et al. 2014)
Indikator Keber lanjutan Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Rajungan
Cochrane (2000) berpendapat bahwa masalah yang dialami dalam
pengelolaan perikanan terjadi pada empat ranah, yaitu biologi, ekologi, krisis
sosial dan ekonomi. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Charles (2001) juga
menyatakan bahwa keberlanjutan tidak hanya menjaga level tangkapan ataupun
biomasa hasil tangkapan, namun seluruh aspek mulai dari ekosistem, struktur
sosial ekonomi, sampai pada masyarakat penangkapan dan kelembagaannya, yang
sama pentingnya dengan stok sumberdaya itu sendiri. Sumberdaya perikanan yang

10

berkelanjutan tidak hanya dijaga dari tingkat eksploitasi agar tidak berlebih,
namun keberlanjutan harus dilihat secara komprehensif sebagai suatu usaha
memelihara dan memperkuat empat komponen utama yaitu keberlanjutan
kemampuan indikator ekologi, sosial, ekonomi masyarakat dan kelembagaan.
Indikator biologi - ekologi
Jennings (2005) merekomendasikan bahwa indikator yang digunakan dalam
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem harus mengarah pada pengelolaan
kegiatan penangkapan ikan yang telah atau yang paling mungkin menyebabkan
dampak terhadap keberlanjutan komponen atau atribut ekosistem. Pengelolaan
perikanan berpendekatan ekosistem yang efektif harus meminimalkan dampak
ekosistem yang terkait dengan penangkapan target spesies sehingga tercapai
tujuan pengelolaan (FAO 2003).
Selain itu, indikator yang digunakan hendaknya mudah diukur dan
memberikan pemahaman yang jelas akan proses kompleks yang terjadi dalam
suatu ekosistem. Indikator tidak selalu bisa mendeteksi perubahan yang
disebabkan oleh penangkapan ikan namun minimal harus yang sangat sensitif
terhadap perubahan komunitas ikan. Penggunaan indikator untuk menganalisis
ekosistem dengan pendekatan makro dan untuk mendapatkan gambaran ekosistem
secara keseluruhan, faktor penyebab dan pendorong yang menyebabkan suatu
perubahan ditekankan pada suatu analisis secara mikro dan dengan data yang
lebih spesifik (Pennino et al. 2011).
Hasil tangkapan per unit usaha (Catch Per Unit Effort/CPUE) dapat
menjadi salah satu indikator ukuran stok. Selain itu, nilai CPUE juga dapat
menunjukkan produktivitas suatu alat tangkap (Arios et al. 2013). Adapun upaya
penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk
menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. CPUE juga dapat dijadikan sebagai
indikator kelimpahan sumberdaya setelah memperhitungkan perubahan-perubahan
komponen dalam upaya penangkapan dan respon terhadap regulasi pengelolaan
(Ye et al. 2011). Tren CPUE yang cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai
indikasi dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan cenderung overfishing.
Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika hasil tangkapan tinggi namun
tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi dan berkembang untuk terus
mendukung penangkapan yang lestari. Tren CPUE dapat digunakan untuk
mengetahui tren perubahan stok sumberdaya perikanan dari waktu ke waktu.
Salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang
potensial adalah berdasarkan kemampuan tangkap (catchability) dari suatu alat
tangkap atau produktivitas penangkapan dari suatu alat tangkap. Koefisien
kemampuan tangkap (catchability coefficient) adalah proporsi stok ikan yang
dapat ditangkap oleh satu unit upaya (Nelwan et al. 2012). Kemampuan tangkap
suatu alat tangkap menentukan perbedaan konstruksi dan metode pengoperasian
yang mempunyai indeks perbedaan efisiensi penangkapan. Kemampuan tangkap
sering didefinisikan sebagai ukuran interaksi antara kelimpahan sumberdaya dan
upaya penangkapan (Sanchez 1996).
Parameter biologi reproduksi rajungan cenderung berbeda dan bersifat area
spesifik (Johnson et al. 2010). Karakteristik lingkungan habitat esensial (seperti
keberadaan nursery ground), populasi biologi rajungan (seperti komposisi,
kelimpahan dan biomasa), dan biologi reproduksi rajungan seperti ukuran matang
gonad 50% (Lm50), musim pola reproduksi dan pemijahan, fekunditas dan

11

hubungannya dengan ukuran tubuh, diperlukan untuk pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya rajungan (Kurnia et al. 2014). Informasi tentang reproduksi rajungan
sangat diperlukan dalam pengkajian populasi rajungan terkait untuk pengelolaan,
seperti musim, daerah penangkapan dan penentuan ukuran minimal yang boleh
ditangkap (Minimum Legal Size/MLS).
Data tren ukuran rajungan berupa ukuran lebar karapas rajungan sebagai
data untuk analisis frekuensi lebar karapas yang selanjutnya akan dapat diduga
laju eksploitasi dari suatu unit stok sumberdaya rajungan. Jika terjadi penurunan
nilai ukuran rajungan secara temporal maka mengindikasikan terjadinya
kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada perairan tersebut. Kedewasaan
rajungan yang siap bertelur dapat ditentukan melalui ukuran ikan, oleh karena itu
tren mengecilnya ukuran rajungan yang tertangkap menunjukkan terganggunya
pola reproduksinya sehingga akan berdampak pada produktivitas hasil tangkapan
diperairan tersebut ke depannya.
Sebaran hasil tangkapan rajungan dapat dikaitkan dengan kondisi habitat
dan lingkungan yang menjadi informasi dasar untuk mengetahui gambaran
kondisi lingkungan perairan secara umum. Pada umumnya rajungan menyukai
perairan bersuhu hangat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan
dan reproduksi terjadi pada saat kondisi perairan bersuhu hangat di daerah yang
beriklim sub tropis (Dixon and Hooper 2010).
Indikator sosial, ekonomi dan kelembagaan
Tren peningkatan produksi rajungan yang berarti terjadinya peningkatan
penangkapan oleh nelayan salah satunya dapat dikarenakan meningkatnya
permintaan rajungan terutama untuk pasar ekspor. Permintaan pasar yang tinggi
seiring harga yang menguntungkan, telah menyebabkan ekploitasi yang intensif
terhadap sumber daya rajungan di Indonesia, karena produksi rajungan masih
mengandalkan alam (wild catch). Pangsa pasar rajungan yang dominan adalah
ekspor dalam bentuk daging yang dikalengkan (Kurnia et al. 2014).
Adrianto et al. (2005) mengkaji kesejahteraan sosial ekonomi jangka
panjang yang berbasis indikator keberlanjutan sosial ekonomi yang digunakan
secara bersama-sama. Kriteria dimodifikasi menjadi empat kriteria (ekologi,
ekonomi, sosial dan kebijakan), yang dalam kriteria sosial dan ekonomi terdapat
beberapa indikator volume dan nilai hasil tangkapan, pendapatan dari usaha
penangkapan, kontribusi perikanan, jumlah pelaku utama sektor perikanan, jumlah
populasi pelaku perikanan di area kajian, tingkat partisipasi pelaku perikanan
muda dalam usaha penangkapan, rezim pengelolaan perikanan, total pendapatan
rumah tangga perikanan, dan jumlah kecelakaan yang terjadi terkait dalam usaha
penangkapan.
Selain itu, Kim and Zhang (2011) juga mengembangkan dan mengevaluasi
indikator sosial ekonomi untuk pengelolaan perikanan berbasis ekosistem untuk
memprediksi perubahan dalam ekosistem dan untuk memberikan saran untuk
manajemen perikanan yang efektif. Indikator sosial ekonomi telah dikembangkan
untuk digabungkan dengan indikator biologi dan ekologi dalam melakukan
penilaian pengelolaan perikanan berbasis ekosistem.

12

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perairan laut Kabupaten Pati dalam wilayah
administratif Kecamatan Dukuhseti dan Tayu dengan desa pesisir Desa Alasdowo,
Banyutowo, Keboromo, dan Sambiroto (Gambar 5). Waktu pelaksanaan
penelitian mulai Bulan Desember 2014 s.d. Februari 2015.
Penelitian dirancang untuk mencakup daerah penangkapan rajungan oleh
nelayan Pati di perairan Pati dan sekitarnya, dengan koordinat acuan seperti pada
Lampiran 6, yang dikelompokkan menurut stratifikasi kedalaman perairan
(adaptasi Bryars and Havenhand 2004). Survei lokasi penangkapan nelayan
rajungan dengan alat tangkap bubu lipat terdiri dari dua kelompok, yaitu :
(a) zona 1, area nelayan mengoperasikan bubu di perairan pantai dengan
kedalaman rata-rata ≤ 35 meter dan berjarak ≤ 8 mil dari garis pantai; serta
(b) zona 2, area nelayan mengoperasikan bubu di perairan lepas pantai dengan
kedalaman rata-rata > 35-60 meter dan berjarak > 8 mil dari garis pantai.
J enis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan metode penelitian survei. Data
penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Indikator per domain, jenis,
dan metode pengumpulan data penelitian seperti termuat dalam Tabel 1.
Data primer diperoleh melalui survei/pengamatan dan pengukuran di
lapangan dan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan responden
menggunakan daftar kuesioner terstruktur merujuk dari Adrianto et al. (2014).
Data sekunder diperoleh dari beberapa literatur serta data dan informasi dari
instansi terkait, baik di daerah maupun di tingkat pusat, antara lain Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Bappeda Kabupaten Pati, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, Badan
Pusat Statistik Kabupaten Pati, dan Satker PSDKP.
Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap 21 indikator yang terbagi
kedalam enam domain yang cukup sensitif dan representatif dengan karakteristik
usaha perikanan rajungan di Kabupaten Pati. Keenam domain tersebut adalah
sumber daya ikan, habitat dan ekosistem, teknologi penangkapan ikan, sosial,
ekonomi, dan kelembagaan.

13

P ETA PENELITIAN

21
32
23
25
24

33

Zona 2

5
4

6

1

3

34

7
8

20
9

2

30

27 28

26

22

10
11

31

29

14

15

12

16
Zona 1

13

17
18
19

J awa Tengah

Gambar 5 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Indikator per domain, jenis, dan metode pengumpulan data
Lingkup, Jenis dan Sumber Data
A. Domain Sumberdaya Ikan (Sdi) :
1. Kemampuan tangkap
Data Primer
(catchability) bubu lipat untuk
rajungan
2. Tren ukuran lebar karapas
Data Primer
rajungan yang tertangkap (dalam
± 5 thn terakhir)
3. Tingkat pemanfaatannya
DataSekunder
4. Komposisi hasil tangkapan (bubu Data Primer
lipat)
Data Sekunder
B. Domain Habitat dan E kosistem Per air an
1. Faktor lingkungan perairan
Data Primer
(suhu dan salinitas)
2. Pengetahuan atas sebaran/siklus
Data Sekunder
hidup rajungan di perairan
3. Kelimpahan rajungan menurut
Data Primer
kedalaman perairan
C. Domain Teknologi Penangkapan Ikan :
Data Primer
1. Modifikasi ukuran bubu lipat
rajungan
Data Sekunder
2. Selektivitas bubu lipat rajungan
D. Domain Ekonomi :
1. Kepemilikan aset
2. Pendapatan RT perikanan
3. Tingkat permintaan (% hasil
Data Primer
tangkapan yang laku dijual)

Met ode Pengumpulan
Wawancara dan pengamatan
(sampling)
Wawancara dan pengamatan
(sampling)
§ Studi literatur (Ernawati et al. 2014)
§ Wawancara dan pengamatan
§ Studi literatur (Ernawati et al. 2014)
Pengukuran langsung
Studi literatur (Ernawati et al. 2014)
Pengamatan (sampling)
Wawancara dan pengamatan
Studi literatur (Ernawati et al. 2014)

Wawancara dan pengamatan

14

E. Domain Sosial :
1. Partisipasi pemangku kepentingan
nelayan rajungan
2. Konflik pemanfaatan rajungan
3. Persepsi/pengetahuan masyarakat
rajungan mengenai pengelo