Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi

PROTOZOA PARASITIK DARAH DAN SALURAN
PENCERNAAN PADA ULAR SAWAH (PTYAS CORROS) DI
KABUPATEN NGAWI

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Protozoa Parasitik
Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten
Ngawi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Fajar Sakti Nur Hardiansyah
NIM B04080136

ABSTRAK
FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH. Protozoa Parasitik Darah dan Saluran
Pencernaan pada Ular Sawah (Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi. Dibimbing oleh
UMI CAHYANINGSIH and ARYANI S. SATYANINGTIJAS
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai protozoa
parasitik darah dan saluran pencernaan pada ular sawah (Ptyas corros). Ular sawah
yang diteliti berjumlah 10 ekor dan diperoleh dari desa Alas Pecah kabupaten Ngawi.
Tiap individu ular diambil sampel darah untuk dibuat preparat ulas darah dan feses
seminggu sekali selama 3 minggu. Preparat ulas diwarnai dengan zat warna Giemsa,
sedangkan pemeriksaan feses dilakukan secara natif. Identifikasi parasit dilakukan
dengan menggunakan pendekatan morfologi melalui mikroskop. Hasil identifikasi
menunjukkan adanya 5 macam parasit yang terdiri dari 4 genus parasit pencernaan
(Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba sp., Cryptosporidium sp.) dan 1 genus
parasit darah (Plasmodium sp.). Seluruh ular yang diteliti terinfeksi oleh Plamodium
sp. Selain itu, presentase hewan terinfeksi Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba

sp. dan Cryptosporidium sp. berturut-turut adalah 90%, 80%, 80%, dan 70% dari 10
ekor ular yang diteliti.

Kata kunci: Darah, saluran pencernaan, protozoa, Ptyas corros

ABSTRACT
FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH. Parasitic Protozoan in Blood and
Intestinal Tract from Chinese Ratsnake (Ptyas corros) at Ngawi-East Java.
Supervised by UMI CAHYANINGSIH and ARYANI S. SATYANINGTIJAS
The purpose of this study is to give information about blood parasitic
protozoan and gastrointestinal tract protozoan from Chinese Ratsnake (Ptyas
korros). Ten Chinese Ratsnake that collected from Alas pecah village at Ngawi
district used in this study. Faecal and blood sample were collected weekly for three
weeks. Blood sample were stained by Giemsa and faecal sample were natively
examined. Parasites were identified using morphological approach under
microscope. The results showed that 5 parasites type had found on Chinese Ratsnake.
They were consist of 4 intestinal parasites types (Giardia sp., Balantidium sp.,
Entamoeba sp., Cryptosporidium sp.) and blood parasites type (Plasmodium sp.).
Those parasites can be potentially zoonotic. All snakes were infected by Plasmodium
sp. Meanwhile Giardia sp., Balantidium sp., Entamoeba sp. dan Cryptosporidium sp.

of the snake had been founded by number of 90%, 80%, 80% and 70% respectively.

Key words: Blood, intestinal tract, protozoan, Ptyas corros

PROTOZOA PARASITIK DARAH DAN SALURAN
PENCERNAAN PADA ULAR SAWAH (PTYAS CORROS) DI
KABUPATEN NGAWI

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah
(Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi
Nama
: Fajar Sakti Nur Hardiansyah
NIM
: B04080136

Disetujui oleh

Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS
Pembimbing 1

Dr drh Aryani Sismin S, MSc
Pembimbing 2

Diketahui oleh
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

drh Agus Setiyono MS, PhD, APVet
Wakil Dekan


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.
Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012
ini adalah Protozoa Parasitik Darah dan Saluran Pencernaan pada Ular Sawah
(Ptyas corros) di Kabupaten Ngawi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Drh. Umi
Cahyaningsih, MS dan Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen
pembimbing yang selalu membina dan mengarahkan saya sehingga skripsi ini
terselesaikan dengan baik. Orang tua saya yaitu, Alm. Soehardi dan Sri Sutarsih
yang selalu menjadi motivasi. Serta istri saya tercinta, Ambar Hanum Melati
Ramadhani yang selalu memberikan suntikan semangat dan menjadi inspirasi
dalam perjalanan hidup saya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014


Fajar Sakti Nur Hardiansyah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

TINJAUAN PUSTAKA

1

Taksonomi dan Karakteristik Biologi Ptyas corros


1

Parasit Darah

2

Parasit Saluran Pencernaan

3

Giardia sp.

3

Balantidium sp.

4

Entamoeba sp.


6

Cryptosporidium sp.

6

METODE

8

Hewan Percobaan

8

Pengambilan Sampel

8

Proses Identifikasi Endoparasit


8

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Parasit Saluran Pencernaan

9

Giardia sp.

10

Balantidium sp.

11

Entamoeba sp.


12

Cryptopsoridium sp.

13

Parasit Darah

14

Plasmodium sp.

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan


16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Macam-macam parasit yang menyerang Ptyas corros dan
jumlah kejadiannya pada 10 ekor ular yang diamati

9

DAFTAR GAMBAR
1

Ptyas corros

2

2

Hepatozoon sp. pada eritosit, 1) Siamese Spitting Cobra, 2)
Ptyas mucosus, 3) king cobra, 4) Banded krait, 5) maskfaced water snake, 6) mangrove pit viper

2

3

Siklus hidup Giardia sp.

3

4

Sketsa morfologi Balantidium sp.

4

5

Siklus hidup Balantidium spp. kista mengalami ekskistasi
dan mengeluarkan tropozoit. Tropozoit membelah diri dan
menghasilkan kista kembali

5

Ilustrasi Balantidium menginvasi mukosa dan submukosa
usus

5

7

Siklus hidup dan cara infeksi Cryprosporidia sp.

7

8

Patologi anatomi pada usus ular yang terkena
Cryptosporidia sp.

7

Histologi usus normal pada ular (kiri), mukosa usus
mengalami hipertropi, proliferasi sel mukus pada kelenjar
pencernaan, dan atropi sel granular (kanan)

8

6

9

10
11
12
13

14

15

Giardia sp. pada: 1). manusia (Min et al. 2013) dan 2). Ptyas
corros (hasil pengamatan)

10

Balantidium sp. pada: 1). kera (Katerina et al. 2010) dan 2).
Ptyas corros (hasil pengamatan)

11

Entamoeba sp. pada: 1). Manusia dengan pengecatan jodium
(Zaman 1997) dan 2). Ptyas corros (hasil pengamatan)

12

Cryptosporidia sp. pada: 1). kura-kura darat, diamati
menggunakan kontras mikroskop (Xiao et al. 2004) dan 2).
Ptyas corros (hasil pengamatan)

13

Plasmodium sp. pada eritrosit, 1). Plasmodium falciparum
tropozoit dini (Zaman 1997), dan 2). Plasmodium sp. tropozoit
dini (hasil pengamatan)

15

Plasmodium sp. pada eritrosit, 1) gametosit Plasmodium
falciparum (Assafa et al. 2004), dan 2). gametosit Plasmodium
(hasil pengamatan)

15

PENDAHULUAN
Ptyas corros merupakan ular sawah yang banyak terdapat di Kabupaten
Ngawi. Ptyas corros merupakan ular terrestrial dan diurnal yang seperti namanya
sering ditemukan di area persawahan. Ular ini mempunyai nama lokal lain seperti
ular tikus dan ular jali. Racun dari ular ini tidak mematikan, dan tergolong ular
yang bertipe non-venomous. Predator ini sering memakan hewan-hewan rodensia
dan amphibia (NDF Case Study 2008). Habitat ular ini adalah di areal persawahan,
karena di areal ini banyak terdapat makanan alaminya yaitu katak sawah, tikus
sawah dan terkadang burung pemakan padi/belalang. Areal persawahan biasanya
bersifat basah dan banyak air, namun sebenarnya ular ini tidak tertarik pada
habitat dengan air yang menggenang namun lebih tertarik pada areal yang sedikit
air hingga kering. Keberadaan ular ini tersebar luas di daerah asia terutama Cina
dan Asia Tenggara (NDF Case Study 2008).
Berbagai penelitian tentang ular kini banyak dilakukan. Salah satunya
adalah endoparasit, literature mengenai endoparasit ular masih sangat terbatas,
terutama literatur mengenai protozoa pada ular di wilayah Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui macam-macam protozoa parasitik pada saluran
pencernaan dan pada darah yang terdapat pada Ptyas corros. Informasi yang
didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan ilmu
pengetahuan serta dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Dan Karakteristik Biologi Ptyas Corros
Klasifikasi ular ini adalah berasal dari filum Chordata, kelas Reptilian, ordo
Squamata, famili Colubridae, genus Ptyas, dan spesies Ptyas corros. Ular ini
memiliki panjang hingga 2 meter. Dorsal tubuhnya berwarna coklat muda
kekuningan hingga abu-abu kehitaman. Bagian anterior berwarna lebih terang dari
pada bagian ekornya yang berwarna lebih kehitaman. Sisik-sisik di atas ekor
bertepi hitam. Ventral tubuhnya berwarna kekuningan sampai kuning terang dan
memiliki mata yang berukuran besar (Auliya 2010). Kerabatnya yang mirip
adalah Ptyas mucosus, dibedakan dengan adanya loreng-loreng hitam di bibirnya
dan di tubuh bagian belakang.
Ptyas corros memiliki habitat di areal persawahan. Ular ini termasuk hewan
diurnal dan memiliki mangsa vertebrata kecil seperti katak, kadal, burung, dan
tikus (Aulia 2001). Ptyas corros yang jantan memiliki tubuh yang lebih besar dan
panjang daripada ular betinanya. Ular betina dewasa berukuran rata-rata 120 cm
dan telah memiliki organ reproduksi matang setelah berumur 9 bulan. Ular ini
dapat bertelur 2 kali dalam setahun. Total telur yang dapat dihasilkan berkisar 7
hingga 25 butir dan menetas setelah 30 hingga 40 hari (Auliya 2010).

2

Gambar 1 Ptyas corros (gambar pribadi)
Parasit Darah
Parasit darah yang biasa menginfeksi ular diantaranya adalah Trypanosoma
sp., Hepatozoon sp., Hemogregarine sp., dan Plasmodium sp. Parasit-parasit
tersebut ditularkan melalui vektor invertebrata seperti nyamuk. Hemogregarine sp.
ditemukan pada reptil yang hidup di daerah berarair. Hepatozoon sp. ditemukan
pada reptil yang hidup di darat. Infeksi parasit-parasit tersebut pada reptil dapat
berakibat patogen maupun non-patogen (Jarernsak et al. 2001). Paparan kronis
dapat mengakibatkan anemia akibat terjadinya hemolysis, bahkan dapat disertai
hepatitis granulomatosa (Wozniak et al. 1998).

Gambar 2 Hepatozoon sp. pada eritosit, 1) Siamese Spitting Cobra, 2) Ptyas
mucosus, 3) King cobra, 4) Banded krait, 5) Mask-faced water
snake, 6) Mangrove pit viper (Jarernsak et al. 2001)

3
Plasmodium sp. merupakan parasit yang dapat menyebabkan penyakit
malaria pada manusia. Penyebarannya di bantu oleh peranan nyamuk betina (Safar
2010). Infeksi Plasmodium sp. dapat terjadi melalui 2 cara yaitu : 1) melalui
vector nyamuk yang mengandung sporozoit Plasmodium sp. dan 2) melalui
induksi, stadium aseksual dalam eritrosit tidak sengaja masuk kedalam badan
inang melalui suntikan, transfusi atau secara kongenital (Saleha 2011).

Parasit Saluran Pencernaan
Secara umum, parasit pada saluran pencernaan dapat masuk kedalam tubuh
secara peroral dalam bentuk kista. Reseptor kista menerima sinyal-sinyal kimia
yang terdapat pada saluran pencernaan sehingga kista tersebut berubah menjadi
stadium infektifnya dan menginvasi saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan,
setiap parasit memiliki perbedaan stadium infektif seperti tropozoit dan kista.
Gejala umum yang sering ditimbulkan akibat masuknya parasit pencernaan adalah
anoreksia, penurunan berat badan, gastritis, diare, dan emetika (Karen et al. 1996).
1. Giardia sp.
Giardia sp. dapat ditemukan di lebih dari 40 spesies inang (Xiao dan Fayer
2008) seperti tikus, anjing, kucing dan manusia (Gupta et al. 2008). Secara
morfologi, Giardia sp. berbentuk seperti buah pir yaitu bagian depan lebih lebar
daripada bagian belakangnya. Di dalam usus, Giardia sp. membentuk stadium
trofozoit. Tropozoit ini memiliki dua nukleus dan empat pasang flagel. Kista
Giardia sp. mempunyai dinding tebal dan oval atau elips dengan panjang rata-rata
10 mikron. Kista Giardia sp. memiliki ukuran yang berbeda-beda pada masingmasing spesies. Kista yang telah tua mengandung empat inti (Tampubolon 2004).
Kista dan tropozoit menunjukkan deretan vakuol di perifer, jika dilihat pada
elektron mikroskop (Zaman 1997).

Gambar 3 Siklus hidup Giardia sp.(CDC 2013).
Kista Giardia sp. dapat hanyut dan masuk kedalam saluran pencernaan
melalui air dan makanan yang terkontaminasi. Sesampainya di awal bagian usus
halus, kista akan mengalami ekskistasi dan mengeluarkan tropozoit. Tropozoit
akan menyebar ke seluruh usus halus dan berkembang biak dengan membelah diri
atau asexual. Hasil pembelahan dari tropozoit ini akan menghasilkan tropozoittropozoit yang siap meginfiltrasi mukosa usus dan sebagian yang lain akan

4
membentuk kista yang akan dikeluarkan kembali bersama feses (Tampubolon
2004).
2. Balantidium sp.
Balantidium sp. merupakan protozoa yang diklasifikasikan kedalam kelas
Kinetofragminophora. Parasit ini memiliki flagel yang berfungsi untuk
menangkap dan menelan makanan. Ukuran Balantidium sp. berbeda tiap
spesiesnya. Bentuk dewasa (trofozoit) rata-rata berukuran 50-60, sedangkan
bentuk kistanya berukuran 40-60 mikron (Tampubolon 2004). Bentuk kista
merupakan bentuk yang siap dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses.
Kista Balantidium sp. dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang
ekstrim. Selain itu, bentuk kista yang keluar bersama feses memudahkan parasit
ini untuk menginvasi spesies lain melalui makanan atau minuman yang tercemari
oleh kista tersebut. Kista Balantidium sp. memiliki ciri, yaitu berbentuk bulat
ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang besar dan dinding kistanya terdiri
dari dua lapis (Levine 1995).

Gambar 4 Sketsa morfologi Balantidium sp. (Chiodini et al. 2001).
Balantidium sp. memiliki dua bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan kista. Kista
merupakan bentuk dari Balantidium sp. yang dapat melakukan transmisi ke
spesies lain. Kista yang tertelan oleh induk semang akan berubah menjadi
tropozoit dan melisiskan membran kistanya. Proses lisisnya membran kista
disebut dengan ekskistasis dan proses ini berlangsung di usus halus. Tropozoit
yang terbentuk dari kista dapat bermigrasi dan menginvasi usus besar. Di dalam
usus, Balantidium sp. menyerap eritrosit, leukosit jaringan granula tepung dan sisa
lain. Kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan yang cukup, membuat
tropozoit memperbanyak diri dengan cara membelah diri atau konjugasi sebelum
keluar dari usus dan membentuk kista kembali (CDC 2013)2.
Parasit ini dapat ditemukan di saluran pencernaan, terutama menginvasi
diantara lapisan mukosa dan submukosa colon sehingga dapat mengakibatkan
ulser pada kolon tersebut dan diare berdarah (Stephen dan Dwight 2006). Infeksi
sekunder akibat dari adanya ulser kolon menjadi faktor pendukung patogenitas
yang disebabkan oleh parasit ini.

5

Gambar 5 Siklus hidup Balantidium sp. kista mengalami ekskistasi dan
mengeluarkan tropozoit. Tropozoit membelah diri dan
menghasilkan kista kembali (CDC 2013)1.
Rusaknya mukosa dan submukosa usus dilakukan dengan bantuan fermen
sitolitik dan penerobosan secara mekanik. Pergerakan Balantidium sp. mirip
dengan gerakan bor, sehingga mukosa usus dapat dengan mudah ditembus. Invasi
Balantidium sp. membentuk sarang dan abses kecil yang mudah rusak sehingga
membentuk ulkus. Sel-sel radang berkumpul di sekitar ulkus sehingga pada
gambaran histopatologi terlihat adanya hemoragi, invasi parasit, dan sel-sel berinti
polimorf (apabila terdapat infeksi sekunder). Gejala klinis yang dapat diamati saat
terjadi Balantidiosis (penyakit akibat Balantidium sp.) adalah diare yang disertai
lendir, darah, atau nanah. Efek sekunder akibat penyakit ini adalah mual, muntah,
anoreksia, dan kekurusan. Terkadang infeksi parasit ini tidak menunjukkan gejala
klinis yang jelas pada hewan. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut telah
menjadi carier bagi Balantidium sp. (Tampubolon 2004).

Gambar 6 Ilustrasi Balantidium sp. menginvasi mukosa dan submukosa usus
(Chiodini et al. 2001).

6
3. Entamoeba sp.
Entamoeba sp. merupakan parasit yang hidup pada habitat yang mendukung
kehodupan seperti, air, tanah, bahan tanaman yang membusuk, dan tempat
pembuangan kotoran. Selain itu, tempat yang mengandung bakteri juga
merupakan daerah yang mendukung kehidupan parasit ini. Entamoeba sp. dapat
ditemukan pada bagian tubuh yang menjadi tempat bersarangnya bakteri seperti
mulut, usus besar, dan sekum. Entamoeba memiliki beberapa spesies dan hanya
satu yang patogen, yaitu Entamoeba histolytica. Beberapa spesies lain diantaranya
adalah Entamoeba coli, Entamoeba gingivalis, Dientamoba fragilis, Endolimax
nana, dan Iodamoeba dutschii. Semua spesies parasit ini berhabitat pada usus
besar, kecuali Entamoeba gingivalis yang berhabitat pada mulut (Tampubolon
2004).
Perkembangan Entamoeba sp. terdiri dari beberapa stadium, yaitu tropozoit,
prakista, kista, dan metakista. Masing-masing stadium memiliki bentuk, ukuran,
dan ciri khas yang berbeda. Secara umum, tropozoit merupakan bentuk vegetatif
dan bersifat patogen. Stadium ini berbentuk tidak tetap dan bergerak dengan
menggunakan pseudopodia. Stadium prakista adalah tahapan Entamoeba sp.
untuk membentuk kista. Pada tahapan ini, dinding kista masih belum terbentuk
dan masih memiliki pseudopodia yang pasif. Bentuk prakista lebih kecil dari
bentuk tropozoit namun lebih besar dari bentuk kistanya. Kista yang telah
terbentuk berbentuk bulat dan memiliki beberapa inti. Kista yang telah tua akan
menunjukkan berinti 4. Kista sesampainya di usus akan mengalami ekskistasi dan
mengeluarkan metakista. Metakista berisi komponen yang sama dengan kista,
namun bentuknya telah berubah karena sudah tidak dibatasi oleh dinding kistanya.
(Tampubolon 2004).
4. Cryptosporidium sp.
Cryptosporidia sp. merupakan parasit yang sering menyerang reptil. Parasit
ini memiliki habitat pada saluran pencernaan dan sering berakibat kronis dan
berakhir dengan kematian apabila menyerang ular (Xiao et al. 2004). Tercatat
lebih dari 150 spesies telah terinfeksi oleh parasit ini, termasuk juga manusia.
Cryptosporidia sp. memiliki lebih dari 20 spesies dengan berbagai spesies induk
semang dan ciri khas masing-masing spesies. Tahun 2004, Xiao et al. menambah
daftar spesies Cryptosporidia sp. dengan menemukan spesies Cryptosporidia sp.
baru. Spesies tersebut adalah Cryptosporidia saurophilum. Secara morfologi,
ukuran Cryptosporidia saurophilum lebih kecil daripada ukuran Cryptosporidia
serpentis yang sering menyerang ular.
Umumnya, Cryptosporidia sp. pada pengamatan mikroskop terhadap feses
akan menghasilkan gambaran ookista yang berbentuk bulat dan bergranul. Hal ini
terjadi karena di dalam ookista tersebut terdapat sporozoit-sporozoit yang
nantinya akan menginfeksi usus. Secara umum, jenis Cryptosporidia sp. yang
menyerang ular adalah Cryptosporidia serpentis. Parasit ini memiliki panjang
5.94 mikrometer dan lebar 5.11 mikrometer (Xiao et al. 2004). Selain itu
Cryptosporidia hominis dan Cryptosporidia parvum memiliki dimensi 4.5x5.5
mikrometer, Cryptosporidia baileyi berdimensi 4.6x6.2 mikrometer. Ukuran
Cryptosporidia sp. memiliki perbedaan disetiap spesiesnya. Untuk itu, pendekatan
morphometric akan sulit dilakukan. Identifikasi lebih mendalam untuk

7
membedakan masing-masing spesies harus menggunakan sequencing DNA atau
dapat juga menggunakan PCR (Robinson et al.2008).

Gambar 7 Siklus hidup dan cara infeksi Cryprosporidia sp. (CDC 2013)3
Cryptosporidia sp. merupakan parasit yang menyerang saluran pencernaan.
Parasit ini akan membentuk tropozoit, kemudian bersarang didalam mukosa usus
dan berkembang biak. Sarang tersebut akan menyebabkan luka pada mukosa usus
dan mengakibatkan peradangan sebagai reaksi dari luka tersebut atau biasa
disebut dengan gastritis. Ular yang terinfeksi parasit ini akan mengalami gejala
seperti anoreksia, penurunan berat badan, gastritis, diare, emetika, midbody
swelling, dan terdapat ookista dalam jumlah besar pada feses yang dikeluarkannya
(Karen et al. 1996).

Gambar 8 Patologi anatomi pada usus ular yang terkena Cryptosporidia sp.
(Brownstein 1977).
Penurunan berat badan disebabkan karena vili-vili usus pada mukosa usus
tidak dapat menyerap makanan dengan baik karena terdapat sarang-sarang
Cryptosporidia sp. Gangguan absorbsi ini terjadi akibat adanya peradangan
sebagai reaksi dari infiltrasi tropozoit pada mukosa. Perubahan mukosa tampak

8
pada pengamatan histopatologi berupa penebalan/hipertropi serta proliferasi sel
mukus pada kelenjar pencernaan.

Gambar 9 Histologi usus normal pada ular (kiri), mukosa usus mengalami
hipertropi, proliferasi sel mukus pada kelenjar pencernaan, dan
atropi sel granular (kanan) (Brownstein 1977).

METODE
Hewan Percobaan
Ular sawah yang diteliti berjumlah 10 ekor dan dipesan dari pengepul ular
di desa Alas Pecah, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi. Ular-ular tersebut
kemudian diadaptasikan selama seminggu dan dipelihara dengan memberi pakan
1-2 ekor katak/minggu. Pembersihan kandang dilakukan setelah ular defekasi
untuk menjaga kebersihan dan mencegah terjadinya infeksi berulang.
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel protozoa parasotik dari darah dan feses ular dilakukan
disetiap akhir pekan selama 3 minggu. Pengambilan feses ular dilakukan segera
setelah ular defekasi. Hal ini karena proses defekasi pada ular tidak dilakukan
setiap hari. Feses dimasukkan kedalam kantong plastik. Pengambilan sampel
darah dilakukan melalui “ventral caudal vein” dengan menggunakan jarum
syringe berukuran 22-gauge (Jarernsak et al. 2001). Darah yang di dapat
kemudian dibuat preparat ulas darah tipis dan difiksasi dengan metanol dan
diwarnai dengan Giemsa.
Proses Identifikasi Endoparasit
Proses identifikasi protozoa parasitik pencernaan pada sampel feses
dilakukan dengan metode natif. Identifikasi protozoa parasitik pada sampel darah
dilakukan dengan metode ulas darah dengan pewarnaan giemsa. Seluruh sampel

9
yang dikoleksi dilakukan diagnosa tentang keberadaan protozoa parasitik.
Identifikasi protozoa dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi di bawah
mikroskop yang disesuaikan dengan buku-buku dan jurnal-jurnal terkait. Besarnya
presentase infeksi akibat parasit dihitung dengan cara:
X 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN
Parasit yang didapat pada ular sawah dari penelitian ini berupa 5 macam
parasit yang terdiri atas 4 genus parasit saluran pencernaan dan 1 genus parasit
darah. Parasit dari saluran pencernaan meliputi Balantidium sp., Giardia sp.,
Criptosporidia sp., dan Entamoeba sp. Sedangkan Plasmodium sp. merupakan
parasit yang ditemukan pada sampel darah. Identifikasi yang dilaksanakan masih
terbatas pada tingkatan genus yang diamati berdasarkan morfologi. Tabel 1
menyajikan parasit-parasit yang ditemukan dari sampel feses dan darah sekaligus
jumlah kejadiannya pada 10 ekor ular yang diamati.
Tabel 1 Macam-macam parasit yang menyerang Ptyas corros dan jumlah kejadiannya
pada 10 ekor ular yang diamati
Jenis Parasit
Darah
Saluran Pencernaan
Giardia Balantidium Entamoeba Cryptosporidia Plasmodium





1




2



3




4





5




6




7




8





9




10
8
8
7
10
9
Jumlah
Keterangan: (-) Parasit tidak ditemukan, (√) Parasit ditemukan

No. Ular

Parasit Saluran Pencernaan
Secara umum, parasit pencernaan dapat masuk kedalam tubuh secara peroral
dalam bentuk kista. Reseptor kista menerima sinyal-sinyal kimia yang terdapat
pada saluran pencernaan sehingga kista tersebut berubah menjadi stadium
infektifnya dan menginvasi saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan, setiap
parasit memiliki perbedaan stadium infektif seperti tropozoit, merozoit, dan kista.

10
Mayoritas parasit pencernaan memiliki stadium infektif pada stadium tropozoit.
Gejala umum yang sering ditimbulkan akibat masuknya parasit pencernaan adalah
anoreksia, penurunan berat badan, gastritis, diare, dan emetika (Karen et al. 1996).
1. Giardia sp.
Giardia sp. pada Ptyas corros ditemukan dalam stadium kista. Kista
tersebut memiliki karakteristik yaitu berbentuk seperti buah pir dengan bagian
depan membulat luas, bagian belakang meruncing, memiliki 2 inti, aksostil
terlihat, dan berdinding tegas. Menurut Tampubolon (2004), karakteristik kista
Giardia sp. memiliki dinding yang tebal, berbentuk oval atau elips, mengandung
2-4 inti dan aksostil. Safar (2010) mengatakan bahwa kista yang memiliki 2 inti
menunjukkan bahwa kista tersebut berumur muda. Protozoa ini ditemukan pada 9
ekor dari 10 ekor hewan yang diamati, sehingga protozoa ini memiliki presentase
hewan yang terinfeksi sebesar 90%.
Adanya Giardia sp. pada Ptyas corros disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah Ptyas corros meminum air yang tercemari oleh kista Giardia
sp. Kista Giardia sp. pada air tersebut dapat berasal dari individu lain Ptyas
corros atau dapat juga berasal dari feses tikus. Selain dikarenakan meminum air
yang mengandung kista, kehadiran Giardia sp. pada Ptyas corros dapat
disebabkan kerena ular ini memakan tikus sawah yang mengandung Giardia sp.
Ptyas corros akan mengeluarkan enzim sitolitik untuk mencerna tikus yang
dimakannya. Dinding kista Giardia sp. tidak tahan terhadap kondisi asam (Assafa
et al. 2004), sehingga proses mencerna tikus sawah juga disertai dengan
pencernaan dinding kista Giardia sp. Pencernaan kista ini dimanfaatkan oleh
Giardia sp. untuk ekskistasi dan melakukan infeksi pada saluran pencernaan Ptyas
corros.

a

b

a

b
1

2

Gambar 10 Giardia sp. pada: 1). Manusia (Min et al. 2013) dan 2). Ptyas
corros (hasil pengamatan). Ket: (a) aksostil, (b) nukleus
Giardia sp. merupakan parasit pencernaan yang memiliki transmisi utama
melalui air yang tercemar kista atau biasa disebut dengan waterborne
tramsmission. Parasit ini memiliki flagel dan dapat ditemukan di lebih dari 40
spesies inang (Xiao dan Fayer 2008). Infestasi Giardia sp. di dalam usus akan
menghasilkan beberapa perubahan dan gangguan pada saluran pencernaan.
Gangguan ini berawal dari kista yang masuk peroral dan telah berubah menjadi
stadium tropozoit di saluran pencernaan. Stadium ini dilengkapi dengan flagel
yang berguna untuk bergerak di dalam usus dan bersarang pada epitel tersebut.

11
Tropozoit juga dilengkapi dengan sucker-disk yang berfungsi sebagai alat pelekat
pada permukaan sel epitel usus dan untuk mengambil makanan dari sel usus halus
dengan cara melisiskan sel epitel tersebut. Selain itu, Giardia sp. mengeluarkan
toksin yang dapat bercampur dengan bahan makanan dalam usus dan
menyebabkan kerusakan bahan makanan yang akan diserap tubuh (Tampubolon
2004). Kejadian-kejadian tersebut akan menimbulkan gejala pada penderita
berupa muntah, kembung, dan diare (Zaman 1997).
2. Balantidium sp.
Balantidium sp. yang ditemukan memiliki karakteristik yaitu, berbentuk
bulat atau elips dan terlihat makronukleus. Vakuola dan mikronukleus tidak dapat
diamati. Hal ini dikarenakan sampel feses yang diperiksa tidak diberikan bahan
kontras yang berguna untuk memperjelas pengamatan. Levine (1995)
mengemukakan bahwa kista Balantidium sp. memiliki ciri, yaitu berbentuk bulat
ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang besar dan dinding kistanya terdiri
dari dua lapis. Jumlah ular yang terserang Balantidium sp. adalah 8 ekor, berarti
presentase balantidiosis pada ular ini adalah 80%.
Balantidium sp. sering ditemukan pada manusia. Organisme dengan bentuk
morfologi yang mirip dengan Balantidium sp. (Balantidium like paracites) dapat
ditemukan pada berbagai macam mamalia seperti tikus, simpanse, orang hutan,
anjing dan kucing. Selain itu, beberapa spesies lain dari Balantidium sp. pernah
ditemukan pada babi, kecoa, burung, ikan dan amfibi (Schuster dan Avila 2008).
Adanya Balantidium sp. pada Ptyas corros dapat disebabkan kerena beberapa
faktor diantaranya adalah meminum air yang tercemar kista Balantidium sp. atau
memakan mangsa yang terinfeksi oleh Balantidium sp. Seperti halnya Giardia sp.,
kista Balantidium sp. juga tidak tahan terhadap rendahnya pH lambung. Paparan
asam lambung akan membuat kista Balantidium sp. melakukan ekskistasi dan
mengeluarkan tropozoit.

a

1

2

Gambar 11 Balantidium sp. pada: 1). kera (Katerina et al. 2010) dan 2).
Ptyas corros (hasil pengamatan). Ket: (a) dua lapis dinding sel
Balantidium sp. memiliki 2 macam stadium dalam siklus hidupnya, yaitu
stadium kista dan stadium tropozoit. Bentuk kista merupakan bentuk yang siap
dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses. Kista Balantidium sp. dapat
bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Selain itu, bentuk kista
yang keluar bersama feses memudahkan parasit ini untuk menginvasi spesies lain
melalui makanan atau minuman yang tercemari oleh kista tersebut.

12
Stadium tropozoit berhabitat pada lapisan mukosa dan submukosa colon.
Kehadiran parasit ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada epitel tersebut
(Stephen dan Dwight. 2006). Rusaknya mukosa dan submukosa usus dilakukan
dengan penerobosan secara mekanik dengan bantuan zat sitolitik. Hal ini dapat
mengakibatkan ulkus hingga gangren (Safar 2010). Selain itu, gejala klinis yang
dapat diamati saat terjadi Balantidiosis adalah diare yang disertai lendir, darah,
atau nanah.
3. Entamoeba sp.
Penelitian ini menemukan Entamoeba sp. dalam stadium kista. Kista
tersebut memiliki karakteristik yaitu berbentuk bulat, berukuran kecil, dinding
kista jelas, dan berinti 4. Kista yang ditemukan merupakan kista matang. Kista
matang dapat diketahui dengan menghitung inti kista yang berjumlah 4 buah.
Karakteristik tersebut sesuai dengan karakteristik kista Entamoeba sp. yang di
kemukakan oleh Safar (2010) dan Zaman (1997). Kista Entamoeba sp. ditemukan
pada 8 ekor dari 10 ekor ular yang diamati, sehingga presentase amobiasis pada
populasi yang diamati adalah sebesar 80%.

a
a
1

2

Gambar 12 Entamoeba sp. pada: 1). Manusia dengan pengecatan jodium
(Zaman 1997) dan 2). Ptyas corros (hasil pengamatan). Ket: (a)
nukleus.
Entamoeba sp. dapat ditemukan diseluruh dunia, terutama di daerah tropis
dan sub tropis dengan kondisi sanitasi yang kurang baik (Umair et al. 2008).
Adanya Entamoeba sp. pada Ptyas corros lebih banyak disebabkan oleh
waterborne transmission. Kista Entamoeba tahan terhadap kondisi asam lambung
sehingga, proses ekskistasi terjadi didalam usus. Ekskistasi dapat terjadi karena
dinding kista yang mengandung galaktosamin dicerna oleh usus-usus ular.
Hilangnya dinding kista menyebabkan pengeluaran tropozoit-tropozoit yang
mengandung enzim histolisin. Enzim ini berfungsi sebagai zat pembantu untuk
penetrasi kedalam mukosa usus dengan cara melisiskan sel-sel usus tersebut
(Sehgal et al. 1996).
Patogenesa dari gangguan pencernaan yang ditimbulkan oleh Entamoeba sp.
berawal dari kista yang masuk kedalam pencernaan. Tropozoit membentuk sarang
di mukosa usus dengan gerakan yang dibuat oleh pseudopodia dan berkembang
biak di daerah tersebut. Akibatnya, epitel usus mengalami nekrosa. Infiltrasi
Entamoeba sp. ke dalam mukosa usus menyisakan sebuah saluran yang dapat
dimasuki oleh koloni bakteri (infeksi sekunder), sehingga dapat menimbulkan
abses-abses di saluran limfe dan menimbulkan ulkus-ulkus. Tropozoit juga dapat

13
menginfiltrasi usus hingga menembus lapisan otot hingga ke serosa usus, dengan
begitu kerusakan jaringan tampak semakin parah. Adanya kerusakan jaringan ini,
menstimulasi tubuh untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak, sehingga
akan teramati suatu penebalan fibrotik dari dinding usus (Tampubolon 2004).
Selain itu, Entamoeba sp. juga dapat masuk kedalam saluran sirkulasi dan
menyebar menuju hati dan menyebabkan Amebic liver abcess (Davis et al. 2006).
4. Cryptosporidia sp.
Cryptosporidia sp. pada pengamatan mikroskop terhadap feses akan
menghasilkan gambaran kista yang berbentuk bulat dan bergranul. Hal ini terjadi
karena di dalam kista tersebut terdapat sporozoit-sporozoit yang nantinya akan
menginfeksi usus. Hasil identifikasi Cryptosporidia sp. menunjukkan bentuk kista
yang bulat, memiliki 2 granul dan berukuran lebih kecil dari kista Entamoeba sp.
Jenis Cryptosporidia sp. yang menyerang ular adalah Cryptosporidia serpentis
(Xiao et al. 2004). Kriptosporidiosis menyerang 7 dari 10 ekor ular yang diamati
(70%). Kriptosporidiosis memiliki prevalensi terendah daripada infeksi parasit
yang lain. Cryptosporidia sp. banyak ditemukan pada reptil (Xiao et al.2004).
Selain itu, cryptosporidia sp. pernah ditemukan di 150 inang diantaranya adalah
lembu, ayam, anjing, kucing, burung, babi, kalkun, ular tikus (Elaphe
subocularis) (Xiao dan Fayer 2008) dan pernah dilaporkan juga terdapat pada
rodensia (Palmer et al. 2003).

1

2

Gambar 13 Cryptosporidia sp. pada: 1). kura-kura darat, diamati
menggunakan kontras mikroskop (Xiao et al. 2004) dan 2).
Ptyas corros (hasil pengamatan)
Cryptosporidia sp. memiliki beberapa bentuk perkembangan dalam siklus
hidupnya. Bentuk yang pertama adalah ookista yang dikeluarkan bersama feses
dari hewan atau manusia yang terinfeksi. Bentuk ini berisi 4 sporozoit dan
memiliki membran yang berguna untuk melindungi sporozoit tersebut. Ookista
akan hanyut bersama aliran air hingga mendapatkan inang baru yang dapat
dijadikan media untuk berkembang.
Kista Cryptosporidia sp. yang masuk melalui peroral akan mengeluarkan
sporozoit dan berkumpul pada mukosa usus dalam bentuk tropozoit. Kumpulan
tropozoit tersebut akan menyebabkan luka pada mukosa usus dan mengakibatkan
peradangan (Karen et al. 1996). Tropozoit dalam mukosa usus memperbanyak diri

14
dengan cara asexual. Hasil pembelahan tropozoit menghasilkan merozoitmerozoit yang memiliki makrogamet dan mikrogamet yang berfungsi untuk
perkembangan sexual dan menghasilkan zigot. Zigot akan diubah menjadi ookista
dengan 2 tipe yaitu, ookista berdinding tipis dan ookista berdinding tebal. Ookista
berdinding tipis akan menginfeksi mukosa usus sedangkan ookista berdinding
tebal akan dikeluarkan bersama feses (CDC 2013)3.
Cryptosporidia sp. dapat masuk kedalam tubuh melalui air minum yang
terkontaminasi atau makanan yang bahan-bahannya dicuci menggunakan air
mengandung ookista parasit ini (Robinson et al. 2008). Kondisi lingkungan dan
higiene personal turut mempengaruhi dalam proses transmisi penyakit ini kepada
manusia. Spesies Cryptosporidia sp. yang zoonotik adalah Cryptosporidia
parvum pada sapi (Smith et al. 2007). Cryptosporidia serpentis pada ular tidak
dilaporkan sebagai parasit zoonotik.
Parasit Darah
Parasit darah merupakan parasit yang memiliki habitat pada darah. Parasit
ini dibedakan menjadi parasit eksoeritrosit dan parasit intraeritrosit. Parasit
eksoeritrosit memiliki habitat pada plasma sel darah. Contoh parasit eksoeritrosit
adalah Leucocytozoon sp. dan Trypanosoma sp. Parasit intraeritrosit merupakan
parasit yang memiliki habitat didalam eritrosit. Contoh parasit intraeritrosit adalah
Plasmodium sp., Babesia sp., dan Anaplasma sp. parasit darah memiliki siklus
hidup yang berbeda dengan parasit pencernaan. Parasit-parasit ini memerlukan
vektor didalam penyebarannya sebelum mencapai induk semang. Vektor tersebut
dapat dibagi menjadi vektor mekanis maupun vektor biologis. Vektor biologis
terjadi proses perkembangan dan proses seksual yang menghasilkan stadium
infektif untuk induk semang. Contoh vektor yang dapat menyebarkan parasit
darah adalah nyamuk dan caplak. Perubahan bentuk yang terjadi pada parasit di
dalam induk semang meliputi perubahan aseksual yang meliputi perbanyakan diri
serta pembentukan makro dan mikro gamet. Efek umum yang ditimbulkan akibat
infestasi parasit ini adalah terjadi anemia, haemolisis, dan demam (Tampubolon
2004).
1. Plasmodium sp.
Identifikasi darah ditemukan Plasmodium sp. stadium dini yang dicirikan
dengan bentuk bulat kecil gelap dan berada di dalam eritrosit. Selain itu,
ditemukan juga gametosit Plasmodium sp. yang berbentuk lonjong dan berukuran
lebih panjang daripada eritrosit itu sendiri. Presentase hewan terinfeksi yang
ditimbulkan oleh infeksi Plasmodium sp. adalah 100%, karena seluruh ular telah
diinfeksi oleh parasit ini.

15

a
a
Gambar 14 Plasmodium sp. pada eritrosit, 1). Plasmodium falciparum
tropozoit dini (Zaman 1997), dan 2). Plasmodium sp.
tropozoit dini (hasil pengamatan). Ket: (a) Plasmodium
tropozoit dini.

a

a
1

2

Gambar 15 Plasmodium sp. pada eritrosit, 1). gametosit Plasmodium
falciparum (Assafa et al. 2004), dan 2). gametosit Plasmodium
(hasil pengamatan). Ket: (a) gametosit Plasmodium
Gejala akibat Plasmodium sp. sama seperti gejala umum akibat parasit darah
pada umumnya. Lesio yang dapat diamati pada induk semang adalah adanya
hepatomegali, splenomegali, pendarahan subcutan, dan pembendungan pada
pembuluh darah (Tampubolon 2004). Hepatomegali dan splenomegali terjadi
akibat siklus skizogonic yang terjadi pada sel-sel hati. Pendarahan subcutan dan
pembendungan pembuluh darah terjadi akibat siklus eritrositik. Siklus ini terjadi
didalam eritrosit dan mengakibatkan eritrosit ruptur dan mengakibatkan
pembendungan. Namun, pada ular yang diamati, tidak terlihat gejala fisik yang
dapat diamati karena nafsu makan dan perilaku ular ini tetap aktif seperti biasanya.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada ular Ptyas corros ditemukan protozoa parasitik yang terdiri atas 5
macam parasit yaitu 4 genus parasit pada saluran pencernaan dan 1 genus parasit
pada darah. Parasit pada pencernaan ular meliputi Balantidium, Giardia,
Criptosporidia, dan Entamoeba. Plasmodium merupakan parasit yang ditemukan
pada darah ular. Presentase hewan terinfeksi Giardia, Balantidium, Entamoeba dan
Cryptosporidium berturut-turut adalah 90%, 80%, 80%, dan 70%. Plasmodium
menginfeksi seluruh ular yang diamati.
Saran
Penelitian ini adalah penelitian dasar berupa sebuah proses identifikasi.
Penelitian lanjutan diperlukan untuk identifikasi parasit yang lebih spesifik
hingga ke tingkat spesies dengan PCR dan DNA sequence. Selain itu, diperlukan
penelitian lanjutan juga untuk mengetahui potensi zoonosis akibat protozoa
parasitik pada Ptyas corros.

DAFTAR PUSTAKA
Assafa D, Kibru E, Nagesh S, Gabreselassie S, Deribe F, Ali j. 2004. Medical
Parasitology. Ethiopia
Aulia M. 2001. Rediscovery of the Indochinese Rat Snake Ptyas korros (Schlegel,
1837) (Serpentes: Colubridae) in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology
50(1): 197-198
Auliya M. 2010. Conservation Status and Impact of Trade on the Oriental Rat
Snake Ptyas mucosa in Java, Indonesia. Selangor: TRAFFIC Southeast Asia
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20
April 2013. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/giardia/biology.html
[CDC]1 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20
April 2013. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/balantidium/
biology.html
[CDC]2 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20
April 2013. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/balantidium/
[CDC]3 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 3juli
2013. Tersedia pada: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Cryptosporidiosis.
htm
Brownstein DG, Stranberg JD, Montali RJ, Bush M, Fortner J. 1977.
Cryptosporidium in Snakes with Hypertropic Gastritis. Vet. Pathol. 14:606.
DOI:10.1177/030098587701400607
Chiodini PL, Moody AH, Manser DW. 2001. Atlas of Medical Helminthology and
Protozoology. USA: Churchill Livingstone.

17
Davis PH, Schulze J, Stanley SL. 2006. Transcriptomic Comparison of Two
Entamoeba histolytica Strains With Defined Virulence Phenotypes Identifies
New Virulence Factor Candidates And Key Differences In The Expression
Patterns Of Cysteine Protease, Lectin Light Chains, and Calmodulin.
Molecular & Biochemical Parasitology 151:118-128. doi:10.1016/j.molbiopara.
2006.10.014
Gupta N, Gupta DK, Shalaby S. 2008. Parasitic Zoonotic Infections In Egypt And
India: an Overview. J Par Disease 32:1-9
Jarernsak S, Chaleow S, Nual-Anong N, Lawan C, Nirachra R, Piyawan S. 2001.
Hematozoa of Snake in Queen Saovabha Memorial Institute. Thailand.
Karen YC, Oberst RD, Upton SJ, Mosier DA. 1996. Biliary Cryptosporidiosis in
two corn snakes (Elaphe guttata). J Vet Diagn Invest 8:398-399.
Katerina P, Klara JP, Ilona P, Jana P, David M. 2010. Discrepancies in the
Occurrence of Balantidium coli Between Wild and Captive African Great Apes.
J Parasitol. 96(6): 1139-1144. doi: 10.1645/GE-2433.1
Levine ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Di dalam : Soekardono, penerjemah ;
Brotowidjoyo, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari: Veterinary Protozoology.
Min DY, Ahn MH, Ryu JS. 2013. Web Atlas of Medical Parasitology. [diunduh
tanggal 20 September 2013]. Tersedia pada: http://atlas.or.kr/atlas/include/view
Img.html?uid=640
NDF WORKSHOP CASE STUDY. 2008. Reptiles And Amphibians Case Study 4
Ptyas mucosus. Mexico. Hal: 2-3
Palmer CJ et al.. 2003. Cryptosporidium Muris, a Rodent Pathogen, Recovered
From a Human in Peru. Emerging Infectious Disease vol 9.
Robinson G, Elwin K, Chalmers RM. 2008. Unusual Cryptosporidium Genotypes
in Human Cases of Diarrhea. Emerging Infectious Diseases 14:1800-1802.
DOI:10.3201/eid1411.080239
Safar R. 2010. Parasitologi Kedokteran. Bogor (ID): Yrama Widya
Saleha S. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta (ID):
Badan Penerbit FKUI
Schuster FL, Avila LR. Current World Status of Balantidium coli. Clinical
microbiol review 21:626-638. doi:10.1128/CMR.00021-08
Sehgal D, Bhattacharya A, Bhattacharya S. 1996. Pathogenesis of infection by
Entemoeba histolytica. J Biosci 21:423-432
Smith HV, Caccio SM, Cook N, Nichols RAB, Tait A. 2007. Cryptosporidium
and
Giardia
as
Foodborne
zoonoses.
Vet
Par
149:29-40.
DOI:10.1016/j.vetpar.2007.07.015
Stephen CB, Dwight DB. 2006. The 5-minute Veterinary Consult Clinical
Companian: Canine and Feline Infectious Disease and Parasitology. USA:
Blackwell Publishing.
Tampubolon M. 2004. Protozoology. Bogor (ID). Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan; Dierektorat Jendral Pendidikan Tinggi; Pusat Studi Ilmu Hayati,
Institut Pertanian Bogor
Umair S, Maqbool A, Shabbir Z, Ahmad MD. 2008. Amoebic Dysentry In Dogs
And Dog Owners. J Par Disease 32:74-76
Wozniak EJ, Telford SR, DeNardo DF, McLaughlin GL, Butler JF. 1998.
Granulomatous Hepatitis Associated With Hepatozoon sp. Meronts in a

18
Southern Water Snake (Nerodia Fasciata pictiventris). J. of Zoo and Wildlife
Med. 29(1):68-71
Xiao L et al. 2004. Genetic Diversity of Cryptosporidium spp. in Captive Reptiles.
Applied and Environmental Microbiology 891-899. doi:10.1128/AEM.70.2.891
-899.2004
Xiao L, Fayer R. 2008. Molecular Characterisation of Spesies and Genotypes of
Cryptosporidium and Giardia and Assessment of zoonotic Transmission.
International Journal for Parasitology 38:1239-1255. doi:10.1016/j.ijpara.
2008.03.006
Zaman V. 1997. Atlas Parasitologi Kedokteran Edisi II. Jakarta (ID): Hipokrates.

19
RIWAYAT HIDUP

Fajar Sakti Nur Hardiansyah adalah seorang mahasiswa muslim di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang masuk pada tahun
2008. Dia lahir di kota Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 1 Oktober 1989 dan
berdomisili di Jl. S. Parman no. 23 Ngawi 63216. Riwayat pendidikannya antara
lain, SDN Margomulyo III Ngawi pada tahun 1996-2002, SMPN 2 Ngawi tahun
2002-2005, dan SMAN 2 Ngawi tahun 2005-2008. Beberapa prestasi yang pernah
diraih diantaranya adalah Juara I paduan suara SMA tk. Kab Ngawi tahun 2005,
Juara II pengembaraan V gerakan Pramuka Kwarcab Ngawi tahun 2005, Juara II
dimas diajeng Kab Ngawi tahun 2007, Paskibraka Nasional di Istana Negara
tahun 2007, Duta belia Indonesia untuk negara Vieatnam dan Thailand tahun 2007,
Peraih the best humor film dalam festival film Smada tahun 2008, Peraih SMADA
Awards kategori Bela Negara tahun 2008, Paskibra IPB tahun 2009, Juara II
lomba nasyid Al-Huriah tahun 2008, dan Penerima proposal PKM didanai DIKTI
tahun 2012.
Riwayat organisasi yang pernah diikuti diantaranya adalah Purna
Paskibraka Indonesia (2007-sekarang), Ikatan Mahasiswa Jawa Timur,
IMAJATIM (wakil ketua/2008-2009), Badan Eksekutif Mahasiswa TPB, BEM
TPB 45 (staf kajian & strategi/2008-2009), Dewan Perwakilan Mahasiswa FKH
IPB, DPM FKH IPB (komisi I/2009-2010), Himpunan Profesi Satwa Liar,
HIMPRO SATLI IPB (2009-sekarang), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan
Indonesia, IMAKAHI (staf kaderisasi/2010-2011), Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa IPB, BEM KM IPB (staf Kementrian Pertanian/2010-2011).