Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Di Provinsi Riau

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP
KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU

DINDA JULIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dampak Kebijakan
Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016
Dinda Julia
NIM H453130371

RINGKASAN
DINDA JULIA. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian di
Provinsi Riau. Dibimbing oleh ALLA ASMARA dan HARIANTO.
Provinsi Riau sebagai provinsi yang memiliki PDRB tertinggi di Sumatera
(BPS 2013) mengalami peningkatan PDRB dari tahun 2009 sampai 2013 dimana
sektor pertanian merupakan sektor andalan yang berkontribusi besar kedua setelah
pertambangan. Namun berdasarkan data Bank Indonesia (2013), diketahui bahwa
pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2012 merupakan pertumbuhan terendah
selama lima tahun terakhir. Dilihat dari sisi fiskal, Provinsi Riau memiliki rasio
fiskal yang lebih tinggi dibandingkan nasional, tetapi trendnya mengalami
penurunan (Kementerian Keuangan 2012). Perubahan kondisi fiskal yang
mengalami penurunan seiring dengan adanya perlambatan pertumbuhan sektor
pertanian diduga dikarenakan kebijakan fiskal yang berlaku di Provinsi Riau
menyebabkan terjadinya penurunan kinerja sektor pertanian. Tujuan penelitian ini
adalah untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan
pengeluaran fiskal di Provinsi Riau, (2) menganalisis dampak perubahan

penerimaan dan pengeluaran fiskal pemerintah daerah terhadap kinerja sektor
pertanian di Provinsi Riau, (3) merumuskan kebijakan fiskal yang tepat dilakukan
untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.
Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sebagai
sistem persamaan simultan menggunakan data time series Provinsi Riau tahun
1994-2013. Model tersebut dibagi menjadi tiga blok, yaitu penerimaan fiskal,
pengeluaran fiskal, dan kinerja sektor pertanian. Model kebijakan fiskal dan
kinerja sektor pertanian Provinsi Riau diestimasi dengan metode Two Stage Least
Squares (2SLS). Simulasi kebijakan dilakukan pada periode 2003-2013 dan
dikelompokkan menjadi enam simulasi, yaitu: (1) peningkatan DAU 5 persen (2)
peningkatan dana bagi hasil pajak daerah 5 persen (3) peningkatan pengeluaran
sektor pertanian 10 persen (4) peningkatan infrastruktur 5 persen (5) kombinasi
kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan infrastruktur masingmasing sebesar 10 persen dan 5 persen (6) kombinasi kebijakan peningkatan DAU
5 persen, dana bagi hasil pajak daerah 5 persen, pengeluaran sektor pertanian 10
persen, dan infrastruktur 5 persen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi seluruh
penerimaan fiskal di Provinsi Riau yang meliputi pajak, retribusi, dan DAU
adalah PDRB dengan pengaruh yang positif dan signifikan. Selain itu DAU
dipengaruhi oleh total pengeluaran daerah secara negatif dan signifikan, serta bagi
hasil pajak daerah dipengaruhi oleh PAD dan pengeluaran sektor ekonomi secara

positif dan signifikan. Sementara faktor yang mempengaruhi seluruh pengeluaran
fiskal di Provinsi Riau yang meliputi pengeluaran gaji, pengeluaran non gaji,
pengeluaran sektor pertanian, pengeluaran sektor non pertanian, dan pengeluaran
infrastruktur adalah PAD dan total penerimaan daerah dengan pengaruh yang
positif dan signifikan. Selain itu pengeluaran gaji juga dipengarui secara
signifikan oleh DAU dengan pengaruh yang negatif dan pengeluaran gaji tahun
sebelumnya dengan pengaruh yang positif, pengeluaran non gaji juga dipengaruhi
secara signifikan oleh sisa anggaran tahun sebelumnya dan jumlah penduduk
dengan pengaruh yang positif, pengeluaran sektor non pertanian juga dipengaruhi

secara signifikan oleh penyerapan tenagakerja sektor non pertanian dengan
pengaruh yang positif, dan pengeluaran infrastruktur juga dipengarui signifikan
oleh kepadatan penduduk dengan pengaruh yang positif.
Perubahan kebijakan penerimaan dan pengeluaran fiskal berdampak positif
terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau dan seluruh subsektornya
dilihat dari aspek PDRB, tetapi jika dilihat dari aspek penyerapan tenagakerja,
perubahan kebijakan penerimaan dan pengeluaran fiskal seluruhnya berdampak
positif hanya pada subsektor perkebunan. Oleh sebab itu berdasarkan hasil
simulasi diketahui bahwa kebijakan fiskal yang tepat dilakukan untuk
meningkatkan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau adalah peningkatan

pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 persen. Kebijakan tersebut tidak hanya
meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 0.67 persen dan seluruh
subsektornya, tetapi juga aspek penyerapan tenagakerja sektor pertanian sebesar
0.16 persen dimana penyerapan tenagakerja meningkat pada dua subsektor yaitu
subsektor tanaman pangan sebesar 2.32 persen dan subsektor perkebunan sebesar
0.02 persen.

Kata kunci: kebijakan fiskal, kinerja pertanian, persamaan simultan

SUMMARY
DINDA JULIA. Fiscal Policy Impact on Agricultural Sector Performance in Riau
Province. Supervised by ALLA ASMARA and HARIANTO.
Riau Province as a province that has the highest GRDP in Sumatra (BPS
2013) increased the GDP from 2009 to 2013 where agriculture is a second
primary sector with great contribution after mining. However, based on data from
Bank Indonesia (2013), it is known that the growth of the agricultural sector in
2012 is the lowest growth over the last five years. Judging from the fiscal side,
Riau province has higher fiscal ratios than the national, but the trend has
decreased. Decreasing changes of fiscal condition is in line with the slowdown in
agricultural sector growth due to alleged fiscal policies that apply in the province

of Riau cause performance decrease in agricultural sector. The purpose of this
study was to (1) analyze the factors affecting fiscal revenues and expenditures in
Riau province, (2) analyze the impact of changes in fiscal revenues and
expenditures of local governments on the performance of the agricultural sector in
Riau province, (3) formulate appropriate fiscal policy to improve the performance
of the agricultural sector in Riau province.
The study was conducted by building an econometric model as a system of
simultaneous equations using time series data of Riau Province in 1994-2013. The
model was divided into three blocks, namely fiscal revenue, fiscal expenditures,
and performance of the agricultural sector. The model used in fiscal policy and
Riau province agricultural sector performance is estimated by Two Stage Least
Squares (2SLS) method. Policy simulations conducted during the period of 20032013 and grouped into six simulations, namely: (1) 5 percent increase of DAU (2)
5 percent increase in local tax revenue sharing funds (3) 10 percent increase in
agricultural spending (4) increase of 5 per cent in infrastructure (5) a combination
of policies to improve the agricultural sector and infrastructure spending
respectively by 10 percent and 5 percent (6) a combination of 5 percent DAU
increase policy, the 5 percent of local tax revenue sharing funds, 10 percent of
spending in agricultural sector, and 5 percent of infrastructure.
The results showed that the factors affecting the whole fiscal balance in
Riau Province, including taxes, levies, and DAU was GDP with a significant and

positive influence. Additionally DAU was influenced negatively and significant
by the total regional spending, and the local tax revenue share was influenced
positively and significant by the PAD and economic sector expenditure. While the
factors that affect the entire fiscal expenditure in Riau Province which includes
salary expenditure, non-salary expenditure, agricultural sector expenditure, nonagricultural sector expenditure and infrastructure expenditure was PAD and total
local revenue with positive and significant influence. Furthermore salary
expenditure is also affected significantly by DAU with negative influence and
salary expenditure in previous year with a positive influence, The non salary
expenditure is also significantly affected by the remaining budget of the previous
year and the total population with a positive influence, The non-agricultural sector
expenditure is also affected significantly by the absorption of non-agricultural
labor sector with a positive influence, and infrastructure expenditure is also
affected significantly by population density, with a positive influence.

The policy changes in fiscal revenues and expenditures have a positive
impact on the performance of the agricultural sector in Riau province and all sub
sectors based on the GDP aspect, but from the perspective of the labor absorption
aspect, the changes in fiscal revenues and expenditures policy entirely have
positive impact only on the plantation subsector. Therefore, based on the
simulation results, that appropriate fiscal policy to be done to improve the

agricultural sector performance in Riau province is the improvement in
agricultural sector expenditure by 10 percent. The policy does not only improve
the agricultural sector GDP amounted to 0.67 percent and the entire sub sectors,
but also agricultural labor absorption aspects by 0.16 percent where the labor
absorption is increase in two sub sectors, namely the food crops percent by 2.32
and the plantation subsector percent by 0.02 percent.

Keywords: fiscal policy, agricultural performance, simultaneous equation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP

KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU

DINDA JULIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipilih adalah Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian di
Provinsi Riau.
Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:
1. Dr Alla Asmara SPt MSi, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir
Harianto MS, selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan
waktu dan memberikan banyak ilmu, bimbingan, serta saran bagi penulis
dalam penyusunan tesis.
2. Prof Dr Ir Sri Hartoyo MS, selaku penguji luar komisi dan Dr Meti Ekayani
SHut MSc, selaku penguji wakil komisi program studi atas berbagai masukan
untuk perbaikan tesis yang diberikan kepada penulis.
3. Dr Saefudin SP MSi, Dr Djaimi Bakce SP MSi, dan Heriyanto MSi yang
telah bersedia memberikan motivasi, ilmu, dan bimbingan bagi penulis
selama proses penyelesaian studi.
4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas dukungan beasiswa fresh graduate pendidikan Program
Magister di IPB.
5. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein,
selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah

banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.
6. Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian 2013 yang telah
berbagi, berdiskusi, dan belajar bersama khususnya Mba Dika, Ulfira, Nurul
Iski, Khumaira, Nora, Nurma, Lela, Uni Vina, Uni Dira. Sahabat SEFTer
Bogor, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB 2013, dan Himpunan Mahasiswa
Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) 2013 yang telah berbagi kebersamaan dan
semangat aktualisasi diri.
7. Seluruh keluarga besar penulis, suami tercinta Akbar Nugraha atas
pengertian, doa, dan semangat yang diberikan. Penghargaan yang tinggi
penulis sampaikan kepada orangtua tercinta Mama Musnelly (almh) atas
seluruh doa, kasih sayang, dan inspirasi hingga akhir hayat, juga Papa Benhar
atas seluruh doa, perhatian, dan dukungan, Ayah (alm) dan Ibu mertua,
saudara tersayang Abang Harry Prima Putra dan Kakak Deni Pramita Sari
atas doa, keceriaan, dan kasih sayang yang tak terhingga.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu dan semoga tesis ini bermanfaat memberikan wawasan serta
pengetahuan baru bagi generasi selanjutnya.
Bogor, Mei 2016

Dinda Julia


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Ruang lingkup dan batasan penelitian

iv
v
v
1
1
4
8
8
8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan fiskal
Penerimaan fiskal
Pengeluaran fiskal
Kinerja sektor pertanian
Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian
Kinerja sektor pertanian
Kaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah dengan kinerja sektor
pertanian
Studi terdahulu
Kerangka pemikiran

10
10
14
17
18
17
21

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan sumber data
Spesifikasi model
Prosedur analisis
Validasi model
Simulasi kebijakan

28
28
28
36
37
38

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum keragaan fiskal di Provinsi Riau
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal
sektor pertanian di Provinsi Riau
Dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian Provinsi
Riau
Kebijakan fiskal yang tepat dilakukan di Provinsi Riau

40
40

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

75
75
75

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

20
22
25

45
61
73

76
80
129

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi dengan PDRB tertinggi
tahun 2008-2013 (miliar rupiah)
PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha
tahun 2009-2013 (miliar rupiah)
Pertumbuhan sektor pertanian tahun 2010-2013 (%)
Penerimaan fiskal Provinsi Riau tahun 2000-2012 (juta rupiah)
Pengeluaran fiskal Provinsi Riau tahun 2000-2012 (juta rupiah)
Hasil estimasi parameter pajak daerah di Provinsi Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter retribusi daerah di Provinsi Riau tahun 19942013
Hasil estimasi parameter dana alokasi umum di Provinsi Riau tahun
1994-2013
Hasil estimasi parameter bagi hasil pajak daerah di Provinsi Riau tahun
1994-2013
Hasil estimasi parameter pengeluaran rutin gaji di Provinsi Riau tahun
1994-2013
Hasil estimasi parameter pengeluaran rutin non gaji di Provinsi Riau
tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter pengeluaran sektor pertanian di Provinsi Riau
tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter pengeluaran sektor non pertanian di Provinsi
Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter pengeluaran infrastruktur di Provinsi Riau tahun
1994-2013
Hasil estimasi parameter PDRB subsektor tanaman pangan di Provinsi
Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter PDRB subsektor perkebunan di Provinsi Riau
tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter PDRB subsektor peternakan di Provinsi Riau
tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter PDRB subsektor kehutanan di Provinsi Riau
tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter PDRB subsektor perikanan di Provinsi Riau
tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor tanaman
pangan di Provinsi Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor perkebunan
di Provinsi Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor peternakan di
Provinsi Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor kehutanan di
Provinsi Riau tahun 1994-2013
Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor perikanan di
Provinsi Riau tahun 1994-2013

3
5
5
40
42
46
47
48
49
50
51
51
52
53
54
55
55
56
57
57
58
59
60
60

25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

35

36

37

38

Hasil validasi model dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor
pertanian di Provinsi Riau
Dampak kebijakan peningkatan dana alokasi umum 5 persen terhadap
penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau
Dampak kebijakan peningkatan dana alokasi umum 5 persen terhadap
kinerja sektor pertanian Provinsi Riau
Dampak kebijakan peningkatan dana bagi hasil pajak 5 persen terhadap
penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau
Dampak kebijakan peningkatan dana bagi hasil pajak 5 persen terhadap
kinerja sektor pertanian Provinsi Riau
Dampak kebijakan pengeluaran sektor pertanian 10 persen
Dampak kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian 10 persen
terhadap kinerja sektor pertanian Provinsi Riau
Dampak kebijakan peningkatan infrastruktur sebesar 5 persen terhadap
penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Provinsi Riau
Dampak kebijakan peningkatan infrastruktur sebesar 5 persen terhadap
kinerja sektor pertanian Provinsi Riau
Dampak kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian
sebesar 5 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 5
persen terhadap penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau
Dampak kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian
5 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 5 persen
terhadap kinerja sektor pertanian Provinsi Riau
Dampak kombinasi kebijakan peningkatan DAU sebesar 5 persen, bagi
hasil pajak daerah sebesar 5 persen, pengeluaran sektor pertanian sebesar
10 persen, pengeluaran infrastrukur sebesar 5 persen terhadap
penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau
Dampak kombinasi kebijakan peningkatan DAU sebesar 5 persen, bagi
hasil pajak daerah sebesar 5 persen, pengeluaran sektor pertanian sebesar
10 persen, pengeluaran infrastrukur sebesar 5 persen terhadap kinerja
sektor pertanian Provinsi Riau
Dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi
Riau

61
62
63
64
65
66
67
68
69

70

71

72

72
73

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Pertumbuhan pangsa sektor pertanian
Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau
Rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau
Pertumbuhan sektor pertanian dan rasio PAD per total pendapatan daerah
Provinsi Riau
Kerangka pemikiran penelitian
Diagram hubungan antar variabel
Persentase kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB Provinsi Riau
tahun 2013

4
6
7
7
26
35
43

8
9

10

Perkembangan pangsa PDRB Provinsi Riau tanpa migas atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2008-2012
Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tanpa migas
atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 20082012
Perkembangan penyerapan tenagakerja sektor pertanian Provinsi Riau
tahun 1994-2013

44

44
45

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

4

5

6

7

Data dan sumber data model kebijakan fiskal dan kinerja sektor
pertanian Provinsi Riau tahun 1994-2013
81
Rekapitulasi persamaan dalam model kebijakan fiskal dan kinerja
sektor pertanian Provinsi Riau tahun 1994-2013
86
Program estimasi parameter model kebijakan fiskal di Provinsi Riau
menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN dengan Software
SAS/ETS versi 9.3 tahun 1994-2013
87
Hasil estimasi parameter model kebijakan fiskal provinsi riau
menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN dengan Software
SAS/ETS Versi 9.3 tahun 1994-2013
90
Program validasi model kebijakan fiskal Provinsi Riau menggunakan
metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS
versi 9.3 tahun 2002-2013
111
Hasil validasi model kebijakan fiskal provinsi riau menggunakan
metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS
versi 9.3 tahun 2002-2013
115
Contoh hasil simulasi penerapan kebijakan peningkatan dana bagi
hasil pajak sebesar 5 persen di Provinsi Riau tahun 2006-2013
123

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintahan suatu negara memiliki tujuan yang pada dasarnya adalah
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut
dilakukan peningkatan perekonomian yang diukur dengan pendapatan nasional.
Pendapatan tersebut diperlukan untuk membiayai kegiatan pembangunan dalam
perekonomian.
Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam
perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan peran sektor pertanian dalam
meningkatkan produk domestik bruto maupun perolehan devisa negara,
disamping karena sebagian besar penduduk Indonesia bekerja disektor pertanian.
Penyediaan lapangan kerja sektor pertanian pada tahun 2012 dapat menyerap
tenaga kerja sebesar 42.48 persen dari angkatan kerja nasional. Jumlah tersebut
meningkat sebesar 4.75 persen dibandingkan tahun 2011 (Badan Pusat Statistik
2012). Selain itu, sektor pertanian juga memiliki peran yang strategis dalam
perekonomian nasional. Beberapa peran sektor pertanian yang dimaksud selain
yang telah disebutkan sebelumnya adalah: (1) penyedia pangan dan pakan, (2)
penyedia bahan baku industri dan sumber bio-energi, (3) pengentasan kemiskinan,
dan (4) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sumedi
dan Djauhari (2014) sektor pertanian di Indonesia sangat strategis sebagai basis
ekonomi rakyat di pedesaan, menguasai hajat hidup sebagian besar penduduk,
menyerap lebih dari separuh total tenaga kerja dan bahkan terbukti telah menjadi
katub pengaman pada krisis ekonomi Indonesia.
Pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan,
membuka peluang dan kesempatan kerja bagi masyarakat, serta memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat. Menurut Musgrave (1989), dalam perekonomian,
pemerintah memiliki peranan yang meliputi peran alokasi, peran distribusi, dan
peran stabilisasi. Oleh sebab itu pemerintah memiliki wewenang dalam
pelaksanaan pembangunan. Menurut Dirgantoro (2010) pemerintah dapat
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya, distribusi
faktor input dan hasil-hasil pembangunan serta mengatur stabilitas ekonomi. Pada
tahap awal pembangunan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi
diperlukan intervensi pemerintah. Intervensi tersebut dilakukan dalam bentuk
pengeluaran pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan
umum.
Kebijakan pembangunan di Indonesia pada masa orde baru yang
sentralistik, dinilai mempunyai banyak kelemahan. Di antaranya, pekerjaan
pembangunan bertumpu pada pemerintah pusat sehingga menimbulkan
keterlambatan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kebijakan anggaran dan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sering tidak sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi daerah yang beraneka ragam sehingga penyusunan program
pembangunan menjadi tidak aspiratif.
Perkembangan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa
masyarakat menuntut hasil pembangunan yang lebih merata dan mengharapkan

2

agar potensi yang dimiliki daerah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Oleh
sebab itu, untuk merespon hal tersebut, pemerintah memberlakukan sistem
kebijakan desentralisasi. Diantara wewenang yang diberikan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah adalah terkait dengan penyusunan alokasi anggaran
daerah (fiskal). Oates (1999) menyatakan desentralisasi dilaksanakan untuk
meningkatkan kemandirian daerah dan efisiensi anggaran. Lebih lanjut Bjornestad
(2009) menyatakan pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam
mengambil kebijakan terhadap program dan pengelolaan anggaran juga akan
meningkatkan efektivitas penyediaan layanan umum kepada masyarakat.
Landasan pelaksanaan desentralisasi fiskal tertuang dalam UndangUndang nomor 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang
nomor 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Melalui Undang-Undang nomor 22, daerah diberikan
wewenang yang luas dalam penyelenggaran pemerintahan berdasarkan prinsipprinsip otonomi daerah. Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah meliputi kewenangan untuk mengatur pembiayaan dan alokasi
anggaran bagi penyelenggaraan pemerintah. Seiring dengan diberlakukannya
otonomi daerah, dituntut kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan
daerahnya masing-masing, baik dari segi perencanaan, pembiayaan, maupun
dalam hal pelaksanaannya. Partisipatif aktif dari masyarakat dalam pembangunan
tersebut secara langsung memiliki potensi untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan demikian
prioritas pembangunan setiap daerah lebih dititikberatkan pada konsep bottom-up
planning. Konsep tersebut mengacu pada kebutuhan daerah didasarkan pada
potensi dan kemampunan daerah yang bersangkutan (Saefudin 2005). Kemudian
UU nomor 22 tahun 1999 direvisi menjadi UU nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Selanjutnya UU nomor 25 tahun 1999 direvisi menjadi
Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. UU tersebut dibuat karena UU nomor 25
tahun 1999 yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diatur untuk
mendukung peaksanaan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber
pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam UU tersebut dilakukan perubahan
terhadap formulasi DAU yang sebelumnya berasal dari alokasi dasar ditambah
celah fiskal, menjadi hanya ditentukan dari celah fiskal. Formulasi celah fiskal
akan lebih tepat mencerminkan kebutuhan fiskal daerah karena dihitung
berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah.
Pada tahun 2001, pola pembangunan dengan menerapkan kebijakan
desentralisasi fiskal mulai diberlakukan. Dengan adanya kebijakan ini, Pemerintah
Daerah mendapatkan keleluasaan untuk menyusun secara mandiri programprogram dan melakukan realokasi anggaran sesuai dengan kondisi, kebutuhan,
dan kapasitas daerah masing-masing. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan ekonomi daerah serta mengatasi permasalahan equity agar tercipta
pemerataan dalam rangka mengurangi kesenjangan antar daerah. Bagi
pemerintahan, desentralisasi fiskal yang berhasil akan meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas. Menurut Saefudin (2005), respon pemerintah dalam

3

menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal yaitu: (1) fokus pada usaha
memperbesar penerimaan (revenue) melalui intensifikasi dan perluasan pajak,
retribusi daerah, serta memanfaatkan sumberdaya yang masih belum
dimanfaatkan secara optimal dengan berbagai cara, salah satunya bagi hasil, dan
(2) lebih berorientasi pada peningkatan efektivitas pengeluaran (expenditure)
dalam rangka menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang
lebih baik dan menguntungkan bagi daerahnya.
Menurut Sumedi et al. (2013), dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006
disebutkan bahwa pemerintah daerah mengurusi 25 urusan wajib serta delapan
urusan pilihan. Sektor pertanian menjadi salah satu urusan pilihan, bersama
dengan sektor kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan
dan perikanan, perdagangan, industri dan transmigrasi, yang dikelola bersama
oleh pemerintah pusat dan daerah. Urusan yang ditangani bersama memerlukan
koordinasi dan sinkronisasi program antara pemerintah pusat dengan daerah agar
pembangunan berjalan dengan baik. Kebijakan fiskal akan berdampak pada
kinerja sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang berkontribusi dalam
pertumbuhan ekonomi, karena kebijakan fiskal dipandang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui efisiensi alokasi anggaran.
Tabel 1

PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi dengan PDRB
tertinggi tahun 2009-2013 (miliar rupiah)

Provinsi
2009
2010
757 696.59 861 992.09
DKI Jakarta
686 847.56 778 564.24
Jawa Timur
689 841.31 771 593.86
Jawa Barat
397 903.94 444 666.01
Jawa Tengah
297 173.03 345 773.81
Riau
Kalimantan Timur 285 590.82 321 764.43
236 353.62 275 056.51
Sumatera Utara
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2014

2011
982 533.60
884 502.65
862 234.65
498 763.82
413 706.12
391 761.38
314 372.44

2012

2013

1 103 692.66 1.255 925.78
1 001 200.74 1 136 326.87
949 761.26 1 070 177.14
556 483.73
623 749.62
469 073.02
522 241.43
419 507.23
425 429.38
351 090.36
403 933.05

Tabel 1 memperlihatkan PDRB beberapa provinsi di Indonesia dari tahun
2009 sampai 2013. Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki
PDRB tinggi di Indonesia, seperti halnya Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Berdasarkan tabel
tersebut, terlihat bahwa Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang memiliki PDRB meningkat dari tahun ke tahun. Di Sumatera, Provinsi Riau
merupakan provinsi yang memiliki PDRB terbesar, setelah itu diikuti oleh
Provinsi Sumatera Utara. Hal ini disebabkan antara lain karena didukung dengan
adanya pertumbuhan pada sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan,
dan lain-lain.
Kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau diketahui mengalami
perlambatan. Berdasarkan data yang diolah oleh Bank Indonesia dalam Gambar 1,
diketahui bahwa pertumbuhan dari tahun ke tahun sektor pertanian tercatat
tumbuh sebesar 2.98 persen pada triwulan pertama tahun 2010 atau melambat
dibandingkan dengan triwulan keempat tahun 2009 yang tercatat sebesar 6.07
persen maupun periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3.10 persen.
Pertumbuhan pada tahun 2011 sebesar 4.32 persen kemudian menurun signifikan

4

pada tahun 2012, yaitu sebesar 2.60 persen dan meningkat pada tahun 2013, yaitu
sebesar 4.48 persen. Pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2012 merupakan
pertumbuhan terendah selama lima tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan
terutama oleh subsektor perkebunan maupun subsektor kehutanan yang tercatat
mengalami perlambatan pertumbuhan dari tahun ke tahun.

Sumber: Bank Indonesia 2011

Gambar 1 Pertumbuhan pangsa sektor pertanian
Provinsi Riau memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Secara
teoritis, dengan diberlakukannya kebijakan fiskal akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Perlu untuk diketahui bagaimana penerapan kebijakan
fiskal memberikan dampak terhadap kinerja sektor pertanian dan seluruh
subsektornya yang meliputi subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
perikanan, dan kehutanan agar diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat dalam
rangka mengembangkan sektor pertanian di Provinsi Riau. Oleh sebab itu, penting
untuk melakukan kajian tentang bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap
kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

Perumusan Masalah
Provinsi Riau memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Sektor
pertanian masih menguasai pangsa terbesar dalam perekonomian setelah sektor
pertambangan. Berdasarkan data olahan Bank Indonesia pada tahun 2010 pangsa
sektor pertanian terhadap perekonomian adalah sebesar 58.60 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa struktur perekonomian Provinsi Riau sebagian besar
adalah karena dorongan sektor pertanian berupa komoditas barang mentah
maupun hasil bumi dibandingkan produk olahan manufaktur. Namun menurut
data Bank Indonesia, pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau pada
triwulan IV tahun 2012 tercatat sebesar 1.21 persen dan merupakan pertumbuhan
terendah selama lima tahun terakhir. Rendahnya pertunbuhan sektor pertanian
tersebut diikuti dengan rendahnya pertumbuhan subsektor perkebunan, kehutanan,
dan perikanan.
Kinerja sektor pertanian dalam penelitian ini dilihat melalui dua aspek,
yaitu PDRB sektor pertanian dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian.

5

Kondisi pertumbuhan sektor pertanian yang fluktuatif dan cenderung menurun
tersebut mengindikasikan adanya penurunan kinerja sektor pertanian Provinsi
Riau.
Tabel 2 memperlihatkan perkembangan kontribusi sektor pertanian dan
subsektor dibidang pertanian berdasarkan PDRB lima tahun terakhir. Subsektor
perkebunan merupakan subsektor yang memiliki pangsa terbesar dalam sektor
pertanian di Provinsi Riau, yakni sebesar 49.22 persen. Berdasarkan tabel tersebut
terlihat bahwa PDRB sektor pertanian dan seluruh subsektornya meningkat dari
tahun ke tahun. Namun peningkatan PDRB tersebut tidak diiringi dengan
peningkatan laju pertumbuhan sektor pertanian.
Tabel 2 PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha
tahun 2009-2013 (miliar rupiah)
Lapangan Usaha
1. Sektor Pertanian
a. Tanaman Pangan
b. Tanaman Perkebunan
c Peternakan dan hasil-hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan
2. Sektor Lainnya
PDRB
PDRB Non Migas

2009

2010

2011

2012

2013

16 071

16 693

17 414

17 867

18 667

1 837

1 895

1 986

2 010

2 020

6 440

6 920

7 556

7 925

8 628

867

913

977

1 044

1 123

5 301

5 240

5 038

4 900

4 826

1 627

1 726

1 857

1 988

2 070

77 715

81 043

85 252

88 432

90 406

93 786

97 736

102 666

106 299

109 073

45 392

48 645

52 420

56 542

60 007

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2014

Tabel 3 memperlihatkan pertumbuhan sektor pertanian serta subsektornya.
Sektor pertanian mengalami trend pertumbuhan yang menurun signifikan pada
tahun 2012. Subsektor tanaman pangan mengalami perlambatan pertumbuhan
sampai tahun 2013 dengan angka terendah selama lima tahun terakhir yaitu
sebesar 1.21 persen pada tahun 2012 dan 0.49 persen pada tahun 2013. Hal ini
berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau karena
subsektor tanaman pangan merupakan subsektor ketiga yang memiliki PDRB
tertinggi dari kelima subsektor pertanian.
Tabel 3 Pertumbuhan sektor pertanian tahun 2010-2013 (%)
Lapangan Usaha
2010
2011
2012
3.87
4.32
2.60
Sektor Pertanian
3.16
4.80
1.21
a. Tanaman Pangan
7.45
9.19
4.88
b. Tanaman Perkebunan
5.31
7.01
6.86
c Peternakan dan hasil-hasilnya
-1.15
-3.85
-2.74
d. Kehutanan
6.08
7.59
7.05
e. Perikanan
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) (diolah) 2014

2013
4.48
0.49
8.87
7.57
-1.51
4.12

Subsektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang melaju tahun 2011
dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 9.19 persen dari sebelumnya 7.45 persen.

6

Selanjutnya mengalami perlambatan yang signifikan yakni sebesar 4.88 persen
pada tahun 2012 dan 8.87 persen pada tahun 2013. Pertumbuhan subsektor
perkebunan pada tahun 2012 merupakan pertumbuhan terendah selama lima tahun
terakhir, kemudian meningkat pada tahun 2013, namun dengan peningkatan yang
tidak lebih besar dari tahun 2011. Sebagai subsektor dengan pangsa terbesar
dalam sektor pertanian di Provinsi Riau, maka perubahan pada subsektor
perkebunan, baik itu berupa peningkatan maupun penurunan, dapat memberikan
dampak yang signifikan terhadap perkembangan sektor pertanian Provinsi Riau.
Subsektor peternakan mengalami peningkatan laju pertumbuhan pada
tahun 2011 dari tahun sebelumnya, namun kemudian mengalami perlambatan
pada tahun 2012. Begitu pula pada subsektor perikanan yang mengalami
perlambatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain, sub sektor kehutanan yang juga
memiliki pangsa relatif besar yaitu 33.02 persen, tercatat mengalami kontraksi
sebesar 0.10 persen pada triwulan I-2010 dan seterusnya mengalami perlambatan
hingga tahun 2013. Sejak semester II-2008, kondisi pertumbuhan sub sektor
kehutanan di Provinsi Riau cenderung menunjukkan trend menurun sehubungan
dengan adanya pengawasan yang sangat ketat oleh Pemerintah Provinsi Riau dan
Departemen Kehutanan terkait dengan undang-undang penebangan kayu ilegal
(illegal logging). Perlambatan pertumbuhan sektor pertanian menunjukkan
penurunan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau.
0.25
0.2
0.15
%

Provinsi Riau

0.1

Nasional

0.05
Nasional

0
2007

2008

2009
tahun

2010

2011

Provinsi Riau

Sumber: Kementerian Keuangan 2012

Gambar 2 Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau
Gambar 2 memperlihatkan rasio antara PAD terhadap total pendapatan
daerah. Berdasarkan gambar tersebut, dapat diketahui tingkat kemandirian daerah
dalam mengelola dan mendanai belanja daerahnya sebagai aplikasi dari kebijakan
fiskal. Indikator penting keberhasilan kemampuan keuangan daerah tercermin
dalam kemampuan daerah menggali dan memanfaatkan PAD untuk membiayai
belanja rutin dan pembangunan daerah tersebut. Rasio PAD per total pendapatan
daerah Provinsi Riau memiliki trend yang meningkat pada tahun 2007 sampai
2009. Selanjutnya rasio tersebut mengalami penurunan sampai dengan tahun
2011. Sedangkan rasio PAD per total pendapatan secara nasional memiliki trend
meningkat. Dari data tersebut diketahui bahwa rasio PAD per total pendapatan
Provinsi Riau lebih rendah dibandingkan rasio PAD per total pendapatan secara
nasional. Rendahnya rasio PAD per total pendapatan Provinsi Riau pada tahun

7

2009 sampai dengan 2011 seiring dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan
sektor pertanian di Provinsi Riau. Hal ini menunjukkan PAD Provinsi Riau belum
dapat dikatakan berhasil dalam membiayai sektor pertanian terlihat dari
melambatnya pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Riau selama tahun tersebut.
0.8
0.7
0.6

%

0.5
0.4

Nasional

0.3
Provinsi Riau

0.2
0.1
0
2007

2008

2009
tahun

2010

2011

Sumber: Kementerian Keuangan 2012

Gambar 3 Rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau
Gambar 3 memperlihatkan rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah
dimana rasio ini mengukur tingkat kemampuan daerah dalam mendanai program
prioritas daerah tersebut. Tren rasio ruang fiskal per total pendapatan daerah Riau
memiliki kecenderungan menurun pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009.
Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011.
Sedangkan rasio ruang fiskal terhadap total pendapatan daerah secara nasional
memiliki tren yang menurun dari tahun 2007 hingga 2011. Namun demikian, rasio
ruang fiskal per total pendapatan daerah Provinsi Riau lebih tinggi dibandingkan
dengan rasio secara nasional. Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan Provinsi
Riau telah cukup baik dalam hal kemandirian dan kemampuan daerahnya dalam
membiayai berbagai program prioritas daerah seperti yang terdapat dalam misi
pembangunan jangka menengah Provinsi Riau 2009-2013, diantaranya
memperkuat keseimbangan antarwilayah sebagai kelanjutan dari pembangunan
infrastruktur, meningkatkan penanaman modal untuk mendukung pertumbuhan
perekonomian, dan meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan.
6
5
4

Pertumbuhan sektor pertanian

3
Rasio PAD terhadap total
pendapatan daerah

2
1
0
2007

2008

2009

2010

2011

Sumber: Kementerian Keuangan 2012, data diolah

Gambar 4

Pertumbuhan sektor pertanian dan rasio PAD per total pendapatan
daerah Provinsi Riau

8

Berdasarkan hal tersebut, kondisi fiskal di Provinsi Riau diketahui
mengalami perubahan dan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun terlihat dari
Gambar 4. Kondisi tersebut seiring dengan adanya perubahan pertumbuhan sektor
pertanian sebagai gambaran kinerja sektor pertanian yang cenderung mengalami
perlambatan. Diduga kebijakan fiskal yang berlaku di Provinsi Riau menyebabkan
terjadinya penurunan kinerja sektor pertanian terlihat dari perlambatan
pertumbuhan sektor pertanian. Oleh sebab itu, kebijakan alokasi anggaran yang
dialirkan untuk sektor pertanian merupakan hal penting yang perlu diperhatikan
agar tepat sasaran dan mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di provinsi
Riau. Permasalahan penelitian yang akan diteliti adalah tentang bagaimana
pengaruh dan dampak adanya kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian di
Provinsi Riau.

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kebijakan
fiskal terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau. Secara khusus penelitian
ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan
pengeluaran fiskal di Provinsi Riau.
2. Menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran fiskal
Pemerintah Daerah terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.
3. Merumuskan kebijakan fiskal yang tepat dilakukan dalam rangka
meningkatakan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu:
1. Bagi pemerintah dan instansi terkait, hasil penelitian diharapkan dapat
menjadi masukan dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan
kebijakan tentang fiskal khususnya dampaknya terhadap kinerja sektor
pertanian.
2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Cakupan analisis penelitian meliputi wilayah Provinsi Riau tanpa
memasukkan data kabupaten/ kota. Analisis kebijakan fiskal yang dimasukkan
dalam pembahasan penelitian meliputi kemampuan anggaran pemerintah daerah
yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran fiskal, serta kebijakan
pemerintah dalam alokasi anggaran yang terdiri dari pengeluaran rutin (gaji dan
non gaji) serta pengeluaran pembangunan. Indikator kinerja sektor pertanian yang
dimasukkan dalam penelitian terdiri dari PDRB sektor pertanian dan penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi Riau. Sektor pertanian yang dipilih untuk

9

diteliti adalah subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan
perikanan sesuai dengan ketersediaan data.
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu fokus pada salah satu kebijakan
ekonomi yaitu kebijakan fiskal, tanpa melihat aspek kebijakan moneter meskipun
kebijakan pemerintah berupa moneter dan fiskal umumnya dilakukan secara
bersama. Aspek kajian terbatas hanya pada sektor pertanian, meskipun penting
untuk melihat dan menyertakan bagaimana pengentasan kemiskinan dan korupsi
yang kemungkinan terjadi dan dapat mempengaruhi kinerja sektor pertanian.
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAK) yang dimasukkan kedalam model
merupakan DAK secara umum dan bukan merupakan DAK khusus sektor
pertanian. Hal ini dikarenakan data untuk aspek-aspek tersebut tidak didapatkan
dengan lengkap.

10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah. Mankiw
(2003) mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai “The government’s choice
regarding levels of spending and taxation”. Pemerintah memiliki keleluasaan
untuk memilih tingkat pengeluaran maupun tingkat pajak yang diberlakukan.
Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang
diberlakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Darsono (2008), kebijakan fiskal atau kebijakan anggaran
memiliki tiga fungsi, yaitu (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi
distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function).
Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial atau proses penggunaan
sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat dan barang sosial
serta kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan
pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata dikalangan
masyarakat, dimana fungsi ini terkait dengan kesetaraan atau pemerataan
distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi adalah salah satu fungsi kebijakan fiskal
untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment),
stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai.
Fungsi-fungsi tersebut seluruhnya berpengaruh pada neraca perdagangan dan
pembayaran. Pada prinsipnya kebijakan tersebut mengatur tentang penerimaan
dan pengeluaran pemerintah.
Menurut Putong (2008), tujuan kebijakan fiskal adalah untuk: (1)
mencegah pengangguran dan meningkatkan kesempatan kerja, (2) stabilitas harga,
(3) mengatur laju investasi, (4) mendorong investasi sosial secara optimal, (5)
menanggulangi inflasi, (6) meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah
ketidakstabilan internasional, dan (7) meningkatkan dan mendistribusikan
pendapatan nasional.
Adapun instrument dari kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran
pemerintah, dan pembayaran transfer (transfer payment), artinya dalam
melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut yang diubah
besarannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pembuat kebijakan. Apabila
pembuat kebijakan ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal akan
diusahakan menjadi kontraktif, dimana pengeluaran pemerintah (G) akan
diturunkan atau pajak (T) dinaikkan sehingga permintaan agregat dalam
perekonomian akan turun dan hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya
kenaikan harga. Sebaliknya, jika pembuat kebijakan ingin meningkatkan tingkat
pengerjaan (employment) dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran, maka
kebijakan fiskal diusahakan ekspansif, dimana pengeluaran pemerintah akan
dinaikkan atau pajak diturunkan sehingga permintaan agregat dalam
perekonomian meningkat dan terjadi ekspansi dalam perekonomian (Saefudin,
2005).
Menurut Pujianto (2014), jenis kebijakan fiskal berdasarkan sisi
perbandingan antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran dalam ilmu
ekonomi dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: Pertama, kebijakan anggaran

11

seimbang, yaitu kebijakan anggaran yang menyusun jumlah pengeluaran sama
besar dengan jumlah penerimaan. Hal tersebut berarti jumlah pengeluaran yang
disusun pemerintah tidak boleh melebihi jumlah penerimaan yang diperoleh
sehingga tidak perlu melakukan pinjaman. Namun, dimasa depresi ekonomi,
pemerintah sebaiknya tidak menggunakan kebijakan anggaran seimbang karena
dapat mengakibatkan keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Oleh sebab itu,
pada masa depresi, sebaiknya pemerintah menggunakan kebijakan anggaran
defisit karena ketika terjadi depresi pendapatan negara jumlahnya sangat rendah.
Hal ini mengharuskan negara mendapatkan sejumlah pinjaman yang berfungsi
untuk memperbaiki perekonomian.
Kedua, kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara
menyusun jumlah pengeluaran lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
penerimaan. Kebijakan ini digunakan pemerintah untuk mencegah inflasi
(kenaikan harga akibat terlalu banyak jumlah uang yang beredar). Dengan
memperkecil jumlah pengeluaran/ belanja negara, diharapkan jumlah permintaan
terhadap barang dan jasa tidak mengalami peningkatan yang drastis. Akibatnya
harga barang dan jasa juga tidak akan mengalami kenaikan harga yang tinggi
sehingga inflasi dapat dicegah.
Ketiga, kebijakan anggaran defisit, yaitu kebijakan anggaran yang
dilakukan dengan cara menyusun jumlah pengeluaran lebih besar dibandingkan
jumlah penerimaan. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya defisit anggaran.
Biasanya kebijakan anggaran defisit diberlakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi kondisi depresi ekonomi maupun untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Keempat, kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran yang
dilakukan dengan cara terus menambah jumlah penerimaan dan jumlah
pengeluaran sehingga semakin lama jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran
akan bertambah. Anggaran yang bersifat dinamis sangat diperlukan. Hal ini
disebabkan semakin hari terjadi banyak kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan
yang harus dibiayai pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap
daerahnya yang membutuhkan dana semakin besar.
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma
hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam
UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya
Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi
sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya
otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen
undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan
kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada
pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Di sisi fiskal, UU No.33
tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang
dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total
dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu
sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat

12

daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga
disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan
pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang
fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Desentralisasi fiskal
dapat dikaitkan dengan tugas dan fungsi Pemerintahan Daerah sebagai penyedia
barang dan jasa pelayanan kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan di bidang
fiskal pada dasarnya merupakan salah satu inti dari desentralisasi. Agar
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan fungsi yang didesentralisasikan secara
efektif, maka Pemerintah Daerah harus memiliki sumber penerimaan yang
memadai, baik penerimaan yang digali dari daerahnya sendiri maupun yang
ditransfer dari pusat, dan Pemerintah Daerah harus juga memiliki kewenangan
untuk pengambilan keputusan di bidang pengeluaran (JICA 2002).
Menurut Litvack J (2009), desentralisasi merupakan sebuah alat untuk
mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan
pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan
yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan
kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan
pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya
Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan
adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi
menyangkut berbagai