Dampak kebijakan fiskal dan sektor hulu migas terhadap perekonomian Provinsi Riau

(1)

TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU

DISERTASI

ALFONSUS RINTO PUDYANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul:

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN SEKTOR HULU MIGAS

TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada

program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas

sumbernya dan dapat diperiksa kebenaranya.

Bogor, Februari 2012

Alfonsus Rinto Pudyantoro

NRP. A161040254


(3)

Sector Policy on the Economy of Riau Province. (HARIANTO, as Chairman, BONAR M. SINAGA and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committee)

Riau economy depends on oil-gas sector, both directly and indirectly. Therefore, anticipating negative impacts of declining crude oil reserve is very essential to conduct, because it will affect on decreasing oil production, in which eventually reduces oil-gas sector contribution in the economy. The purpose of this study is to construct a model of Oil-Gas and Riau economy, that use to predict the impact of the crude oil reserves declining, and the impact of fiscal and upstream oil-gas sector policy towards Riau province economy situation in year 2012 up to 2035. The econometric model is built using simultaneous equations system, consisted of 22 structural equations and 13 identity equations. Structural equations is estimated with 2SLS and OLS using Econometric Views (eviews) software version 5.0. Data used are yearly data series from 1980 to 2006. Simulation and forecasting results indicate that economic output from oil-gas sector declines sharply corresponding to crude oil production. Meanwhile, outputs from agricultural and and other sectors increase relatively small. Output decrease from oil-gas sector is unable to be covered by economic increase from other non oil-gas sectors, resulting in average of 1.23% decline per year on total economic output following declining oil production trend. Other impact is increasing unemployment rate and poverty. In order to reduce negative impacts, government intervention is required. Five scenarios on government policies have been made in this study, consisted of two policy scenarios regarding crude oil price formulation, policy to increase cash call, policy to decrease interest rate, and policy to increase local government development expenditure. Research shows that the fourth policy, which is reducing interest rate, is the most effective policy scenario compared to four other policies. However, that policy scenario seems unable to restore Riau province economic peak that happens in 2017.

Keyword: Indonesia Crude Price, Production and Oil Reserve, Gross Regional Domestic Product, Oil-Gas Sector.


(4)

Migas Terhadap Perekonomian Provinsi Riau (HARIANTO, Selaku Ketua, BONAR M. SINAGA and D.S. PRIYARSONO selaku Anggota Komisi Pembimbing)

Perekonomian provinsi Riau tergantung pada sektor minyak dan gas baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penting untuk melakukan antisipasi terhadap dampak negatif dari penurunan cadangan minyak mentah terhadap Perekonomian Provinsi Riau, karena berkurangnya cadangan minyak mentah akan berdampak pada penurunan produksi yang pada akhirnya akan mengurangi peran sektor hulu minyak dan gas dalam perekonomian. Penelitian ini bertujuan membangun Model Migas dan Perekonomian Riau (Model MPR) yang dipergunakan untuk melakukan peramalan dampak dari penurunan produksi minyak mentah, dan dampak dari kebijakan fiskal dan sektor hulu migas terhadap perekonomian Provinsi Riau pada tahun 2012 hingga tahun 2035. Model ekonometrika dibangun dalam bentuk sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas. Persamaan struktural diestimasi dengan 2SLS dan OLS menggunakan perangkat lunak Econometric Views (Eviews) version 5.0. Data yang digunakan adalah data tahunan runtut waktu dari tahun 1980 hingga tahun 2006. Hasil simulasi dan peramalan menunjukan bahwa output ekonomi sektor migas turun tajam paralel dengan penurunan produksi minyak mentah. Sedangkan output dari sektor pertanian dan sektor lainnya meningkat dengan arah relatif landai. Penurunan output sektor migas tidak dapat ditutupi oleh peningkatan output perekonomian sektor non-migas, dampaknya output perekonomi total turun rata-rata 1.23% per tahun mengikuti tren penurunan produksi. Dampak lainnya adalah meningkatnya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut diperlukan intervensi pemerintah. Dalam studi ini dibuat lima skenario kebijakan pemerintah yang terdiri dari dua skenario kebijakan berkaitan dengan formula harga minyak mentah, skenario kebijakan menambah cash call, skenario kebijakan menurunkan tingkat suku bunga bank, dan skenario kebijakan untuk meningkatkan belanja pembangunan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa skenario kebijakan ke empat yaitu menurunkan suku bunga adalah skenario kebijakan yang paling efektif dibandingkan dengan empat kebijakan lainnya. Akan tetapi skenario kebijakan tersebut tidak mampu mengembalikan perekonomian Provinsi Riau yang terbaik yang terjadi pada tahun 2017.

Kata kunci: Indonesia Crude Price, Produksi dan Cadangan Minyak Mentah, Produk Domestik Regional Bruto, Sektor Migas.


(5)

Cadangan minyak mentah di Provinsi Riau, yang dikelola oleh PT Chevron Pasific Indonesia (PT.CPI) setiap tahun berkurang dengan laju penurunan 4% rata-rata per tahun. Cadangan minyak mentah diperkirakan akan habis pada tahun 2005 jika tidak ditemukan cadangan minyak mentah baru. Sementara itu sektor hulu migas merupakan sektor penting bagi perekonomian Provinsi Riau. Data statistik menunjukan bahwa 50.2% PDRB Provinsi Riau pada tahun 2010 berasal dari sektor hulu migas. PDRB per kapita Provinsi Riau dengan memperhitungkan sektor hulu migas mencapai Rp 17640883/tahun, namun tanpa migas hanya Rp 8782697/tahun.

Penelitian bertujuan untuk membangun Model Migas dan Perekonomian Riau (Model MPR) untuk meramalkan dampak dari penurunan produksi terhadap perekonomian. Model MPR juga digunakan untuk melakukan peramalan dampak dari kebijakan fiskal dan sektor hulu migas terhadap perekonomian Provinsi Riau.

Model MPR adalah model ekonometrika yang dibangun dalam bentuk sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas. Data yang digunakan adalah data tahunan runtut waktu dari tahun 1980 hingga tahun 2006, yang bersumber dari BPS Provinsi Riau, BPS Pusat, Bank Indonesia, Statistik BPMIGAS, Buletin BPMIGAS dan Bank Data PT. CPI. Metode yang digunakan untuk mengestimasi model adalah Two Stage Least Squares (10 persamaan) dan Ordinary Least Squares (12 persamaan), yang diolah menggunakan Econometric Views (Eviews 5). Model divalidasi menggunakan Root Mean Squares Error (RMSE).

Penurunan cadangan minyak mentah berdampak terhadap output perekonomian Provinsi Riau. Pada awalnya output perekonomian meningkat, tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar Rp 93.0 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya output perekonomian turun dan hingga mencapai titik terendah sebesar Rp 62.2 triliun pada tahun 2033. Output sektor migas secara rata-rata turun 6.9% per tahun dengan titik terendah sebesar Rp 0.2 triliun yang terjadi tahun 2035. Output sektor pertanian dan sektor lainnya diperkirakan meningkat dari tahun ke tahun, namun dengan slop relatif landai, akibatnya kenaikan kontribusi sektor pertanian tidak mampu menutupi penurunan output sektor migas.

Untuk itu disusun lima skenario kebijakan (SK) yang dapat meningkatkan peran sektor pertanian dan sektor lain dalam perekonomian, yaitu: SK 1, merubah formulasi harga minyak Indonesia (ICP) 100% menngunakan harga minyak mentah RIM. SK2 formula harga minyak mentah 100% menggunakan harga minyak mentah Platts. SK 3, menambah cash call perusahaan sebesar 10%. SK 4, menurunkan suku bunga bank sebesar 10% dan SK 5 menaikan alokasi belanja pembangunan pemerintah untuk sektor pertanian menjadi sebesar 30%.

Skenario kebijakan diramalkan mempengaruhi output perekonomian. Skenario kebijakan 3 dan 4 menghasilkan tambahan output rata-rata Rp 2.6 triliun, sedangkan skenario kebijakan 1 justru menurunkan output ekonomi sebesar Rp 0.9


(6)

Provisnsi Riau akan mengalami pertumbuhan negatif. Sementara skenario kebijakan yang diimplementasikan tidak mampu mengangkat tingkat pertumbuhan menjadi positif. Hanya pada tahun 2030, yaitu 5 tahun setelah cadangan minyak habis nampak terjadi pemulihan ekonomi, yang ditunjukan dengan pertumbuhan ekonomi yang kembali positif.

Penurunan produksi minyak mentah hingga tahun 2011 berdampak terhadap penambahan jumlah pengangguran. Skenario kebijakan yang paling efektif mengurangi pengangguran adalah skenario kebijakan empat. Karena jika dibandingkan dengan angka pengangguran baseline, mampu mengurangi pengangguran sebesar 804 orang, bahkan pada akhir periode mampu mengurangi pengangguran hingga 1057 orang jika dibandingkan dengan angka pengangguran baseline. Skenario kebijakan empat juga merupakan skenario kebijakan yang terbaik untuk menurunkan tingkat kemiskinan jika dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya. Angka baseline, sebagai dampak dari penurunan cadangan, diramalkan tingkat kemiskinan rata-rata sepanjang periode peramalan sebesar 23.56%. Namun jika skenario kebijakan empat diterapkan maka akan turun 0.70% menjadi 22.86% atau turun sebesar 2.91% jika dibandingkan angka baseline.

Dapat disimpulkan bahwa Model MPR dapat dipergunakan untuk melakukan peramalan, dan terbukti bahwa perekonomian Provinsi Riau memiliki ketergantungan terhadap sektor migas sehingga penurunan produksi cadangan minyak mentah berdampak signifikan terhadap output perekonomian, PDRB per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan.

Tidak ada satupun dari Shock lima skenario kebijakan yang mampu mengangkat indikator perekonomian yang terpuruk akibat dari penurunan produksi minyak mentah kembali berada pada posisi puncak di tahun 2007. Akan tetapi skenario kebijakan 4 merupakan skenario yang terbaik dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penurunan produksi minyak mentah terhadap perekonomian.

Hasil penelitian dapat dijadikan sistem peringatan dini oleh Pemerintah untuk mewaspadai kemungkinan terpuruknya perekonomian Provinsi Riau. Penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan untuk penghasil migas lainnya seperti Sumatera Selatan, Aceh dan Kalimantan timur dan untuk skala lebih luas yaitu skala nasional, karena kelangkaan migas juga akan dihadapi Indonesia.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(8)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS.

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc.

Guru Besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

2. Dr. Ir. H. L. Ong


(9)

TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU

ALFONSUS RINTO PUDYANTORO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

Nama : Alfonsus Rinto Pudyantoro Nomor Pokok : A161040254

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Harianto, MS

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(11)

Damajanti pada tahun 1995 dan dikarunia dua orang anak yaitu Josephine Zefanya Wening Sekar Wangi dan Alfonsus Wintang Abhikama.

Gelar Sarjana Ekonomi dan profesi Akuntan diperoleh dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1990. Sedangkan Migister Management dengan konsentrasi Manajemen Keuangan diperoleh dari IBII (Institut Bisnis dan Informatika Indonesia) pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis memperoleh Sertifikat Profesi broker-dealer dari Bapepam untuk perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta. Kemudian, pada tahun 2004 penulis menyelesaikan program pendidikan Certified Management Accountant dari Australia, serta menyelesaikan pendidikan sertifikasi International Financial dan Accounting for Petroleum dari University Texas in Dallas, Amerika Serikat pada tahun 2007.

Bekerja pertama kali sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta segera setelah menyelesaikan kuliah S1. Pada tahun 1991 pindah dan mulai bekerja pada industri migas dan bergabung dengan VICO Indonesia, yaitu sebuah perusahaan Amerika yang menghasilkan LNG di Provinsi Kalimantan Timur, dengan posisi terakhir sebagai Reporting Section Head. Tahun 2000 pindah ke BP Indonesia yaitu anak perusahaan British Petroleum yang berkedudukan di London yang pada waktu itu tengah membangun kilang LNG di Teluk Bintuni, Papua dengan posisi terakhir sebagai Controller. Tahun 2004 mulai bekerja di BPMIGAS menjabat sebagai Senior Manager Revenue Accounting and Goverment Income, dan sekarang sebagai Koordinator pada Unit Sekretaris Pimpinan BPMIGAS.


(12)

bisnis migas, keuangan dan akuntansi perminyakan, sistem pelaporan migas, perpajakan migas, keekonomian proyek migas, prognosa APBN dan bagi hasil migas, serta bisnis LNG.


(13)

dan berkat yang berlimpah sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Banyak rintangan dan kendala yang penulis hadapi namun banyak pihak telah turut memberikan dorongan, membantu dan memberikan dukungan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, ditengah kesibukan beliau yang luar biasa, menyediakan waktu, memberikan bimbingan dan motivasi dari sejak masa kuliah hingga penyusunan hasil penelitian ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar Sinaga, MA yang tidak jemu dan rajin menegur,

mengingatkan, memberikan masukan-masukan, memberikan kritik untuk kesempurnaan hasil penelitian sehingga tulisan ini bergerak semakin baik mengikuti kaidah-kaidah penelitian dan keilmuan.

3. Bapak Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS yang dengan sabar dan dengan cermat memberikan kritikan, saran-saran untuk perbaikan, sejak awal proses penulisan hingga hasil penelitian selesai.

4. Kepada Ibu Emma Purnama Ningrum, Bapak Prof. Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S. M. Eng. dan Bapak Dr. Widhyawan Prawiraatmadja, yang memberikan keleluasaan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ditengah-tengah tugas sehari-hari yang sangat padat.

5. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan ilmu dan menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.


(14)

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan masalah ... 17

1.3. Tujuan Penelitian ... 18

1.4. Manfaat Penelitian ... 19

II. STUDI LITERATUR 2.1. Ketergantungan Perekonomian Terhadap Sektor Migas... 21

2.2. Peran Sektor Migas dalam Pertumbuhan Ekonomi... 26

2.3. Pembangunan Berkelanjutan ... 32

2.4. Peran Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia... 36

2.5. Studi Model Ekonomi ... 44

2.6. Pengelolan Sumber Daya Alam Migas... 50

2.7. Dana Bagi Hasil Migas ... 62

III. KERANGKA TEORI 3.1. Permintaan dan Penawaran Agregate... 69

3.1.1. Permintaan Agregate ... 69

3.1.2. Penawaran Agregate ... 75

3.1.3. Keseimbangan Pasar ... 76

3.2. Pendapatan Nasional ... 79

3.3. Indikator Ekonomi ... 82

3.3.1. Output Perekonomian Ekonomi... 82

3.3.2. Pengangguran... 86

3.3.3. Kemiskinan... 91

3.3.4. Pertumbuhan Ekonomi ... 93


(15)

4.1. Kerangka Pemikiran ... 107

4.2. Metode Estimasi... 111

4.3. Spesifikasi Model Migas dan Perekonomian Riau... 117

4.3.1. Blok Investasi dan Migas ... 120

4.3.1.1. Investasi Swasta ... 120

4.3.1.2. Migas... 123

4.3.2. Blok Fiskal... 126

4.3.2.1. Penerimaan Pemerintah Daerah... 126

4.3.2.2. Belanja Pemerintah Daerah... 139

4.3.3. Blok Gaji dan Upah... 140

4.3.4. Blok Output Perekonomian... 142

4.3.4.1. Output Perekonomian... 142

4.3.4.2. Ketenagakerjaan ... 145

4.3.4.3. Pertumbuhan Perekonomian ... 147

4.3.4.4. Kemiskinan... 147

4.4. Skenario Kebijakan ... 148

4.5. Data dan Pengolahan Data...152

4.6. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian ... 153

V. HASIL ESTIMASI MODEL 5.1. Blok Fiskal dan Migas... 155

5.1.1. Investasi Migas...155

5.1.2. Investasi Swasta Sektor Pertanian... 157

5.1.3. Investasi Swasta Sektor Lainnya ... 158

5.1.4. Lifting Migas... ... 160

5.2. Blok Fiskal ... 161

5.2.1. PBBMigas... 161

5.2.2. Penerimaan Migas... 163

5.2.3. Bagi Hasil Migas ... 164


(16)

5.2.6. Belanja Pembangunan Pemerintah Derah ... 168

5.2.7. Belanja Rutin Pemerintah Daerah ... 170

5.3. Blok Gaji dan Upah...171

5.3.1. Gaji dan Upah Sektor Migas ... 171

5.3.2. Gaji dan Upah Sektor Pertanian... 172

5.3.3. Gaji dan Upah Sektor Lainnya... 173

5.4. Blok Ouput... 174

5.4.1. Output Sektor Migas... 173

5.4.2. Ouput Sektor Pertanian... 176

5.4.3. Ouput Sektor Lainnya... 177

5.4.4. Tenaga Kerja Sektor Migas... 178

5.4.5. Tenaga Kerja Sektor Pertanian...179

5.4.6. Tenaga Kerja Sektor Lainnya...180

5.4.7. Angkatan Kerja... 181

5.4.8. Tingkat Kemiskinan... 182

5.5. Validasi Model... 183

VI. PERAMALAN PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU 2012-2035 6.1 . Peramalan Baseline... 185

6.1.1. Peramalan Baseline Output Perekonomian... 187

6.1.2. Peramalan Baseline Pertumbuhan Ekonomi ... 190

6.1.3. Peramalan Baseline Penerimaan Daerah... 191

6.1.4. Peramalan Baseline Tenaga Kerja... 193

6.2 . Dampak Skenario Kebijakan terhadap Perekonomian Tahun 2012-2035... 194

6.2.1. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Total... 194

6.2.2. Dampak Skenario Kebijakan terhadap output Perekonomian Sektor Migas... 199

6.2.3. Dampak Skenario Kebijakan terhadap output Perekonomian Sektor Pertanian... 202


(17)

6.2.5. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output

Perekonomian per Kapita... 207

6.2.6. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pertumbuhan Ekonomi... 210

6.2.7. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Penerimaan Daerah... 212

6.2.8. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pengangguran... 214

6.2.6. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan... 216

6.3. Ringkasan Dampak Skenario Kebijakan terhadap Perekonomian Provinsi Riau... 218

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan... 221

7.2. Saran... 222

DAFTAR PUSTAKA ... 227

LAMPIRAN ... 233


(18)

Nomor Halaman

1. Penerimaan Negara Tahun 2006 - 2010 ... 4

2. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Beberapa Propinsi di Indonesia Tahun 2010... 6

3. Konsumsi Minyak dan Gas Bumi Indonesia Tahun 2006-2010... 39

4. Produksi Minyak Mentah Rata-rata per Hari Tahun 1999 – 2007... 41

5. Cadangan Minyak Dunia, OPEC dan Non-OPEC Tahun 2006... 54

6. Pendapatan Nasional dan Produk Nasional ... 80

7. Estimasi Investasi Swasta Sektor Migas Tahun 1980-2006... 155

8. Estimasi Investasi Swasta Sektor Pertanian Tahun 1980-2006... 157

9. Estimasi Investasi Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 159

10. Estimasi Lifting Migas Tahun 1980-2006 ... 160

11. Estimasi PBB Migas Tahun 1980-2006... 162

12. Estimasi Penerimaan Negara dari Sektor Migas Tahun 1980-2006... 164

13. Estimasi Bagi Hasil Migas Tahun 1980-2006... 165

14. Estimasi Pajak Daerah Tahun 1980-2006... 166

15. Estimasi Retribusi Daerah Tahun 1980-2006... 167

16. Estimasi Belanja Pembangunan Tahun 1980-2006... 169

17. Hasil Estimasi Belanja Rutin Tahun 1980-2006... 170

18. Estimasi Gaji dan Upah Sektor Migas Tahun 1980-2006... 171

19. Estimasi Gaji dan Upah Sektor Pertanian Tahun 1980-2006... 172

20. Estimasi Gaji dan Upah Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 174


(19)

23. Estimasi Output Perekonomian Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 177

24. Estimasi Tenaga Kerja Sektor Migas Tahun 1980-2006... 178

25. Estimasi Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 1980-2006... 179

26. Estimasi Tenaga Kerja Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 180

27. Estimasi Angkatan Kerja Tahun 1980-2006... 181

28. Estimasi Tingkat Kemiskinan Tahun 1980-2006... 182

29. Validasi Persamaan Struktural Model Ekonomi Provinsi Riau... 184

30. Peramalan Output Ekonomi per Sektor... 188

31. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Total Tahun 2012-2035... 195

32. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Migas Tahun 2012-2035... 200

33. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Pertanian Tahun 2012-2035... 202

34. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Lainnya Tahun 2012-2035... 206

35. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Ouput Ekonomi per Kapita Tahun 2012-2035... 207

36. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pertumbuhan Perekonomian Tahun 2012-2035... 211

37. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Penerimaan Daerah Tahun 2012-2035... 212

38. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pengangguran Tahun 2012-2035... 215

39. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan Tahun 2012-2035... 217


(20)

41. Ringkasan Dampak Skenario Kebijakan terhadap Perekonomian

Pengamatan Nilai Rata-rata Periode Tahun 2012-2035... 220


(21)

Nomor Halaman

1. Fluktuasi Harga Minyak Mentah...5

2. Hubbert Peak Theory...11

3. Hubungan Sektor Migas dan Sektor Lainnya dalam Perekonomian... 31

4. Regional Economic Modelling – MOMEZ... 48

5. Pola Bagi Hasil Migas menurut PSC... 61

6. Penawaran Agregate ... 76

7. Keseimbangan AD dan AS... 77

8. Keseimbangan Jangka Pendek dan Panjang.. ... 78

9. Fungsi Produksi ... ... 97

10. Pertumbuhan Steady-State... 98

11. Kerangka Pemikiran Penelitian... ... 109

12. Hubungan antar Variabel Model MPR... 118

13. Estimasi, Peramalan dan Simulasi Skenario ... 149

14. Peramalan Cadangan dan Produksi Minyak Mentah Provinsi Riau Tahun 2012-2035... 187

15. Peramalan Baseline Output Ekonomi per Sektor Tahun 2012 - 2035... 189

16. Peramalan Baseline Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012-2035...191

17. Peramalan Baseline Penerimaan Daerah per Jenis Penerimaan Tahun 2012-2035... 192

18. Peramalan Baseline Tenaga Kerja Tahun 2012-2035... 194

19. Peramalan Dampak Skenario terhadap Output Perekonomian Total Tahun 2012-2035... 197

20. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Migas Tahun 2012-2035... 201


(22)

Pertanian Tahun 2012-2035... 203 22. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Sektor Lainnya

Tahun 2012-2035... 205 23. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Per Kapita

Tahun 2012-2035... 209 24. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Tahun 2012-2035 ... 210 25. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Penerimaan Daerah

Tahun 2012-2035 ... 213 26. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pengangguran

Tahun 2012-2035... 214 27. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan

Tahun 2012-2035... 216


(23)

Nomor Halaman

1. Peta Cadangan Minyak Mentah dan Gas Bumi Indonesia... 234 2. Produksi Migas Indonesia... 235 3. Istilah-istilah dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas... 236 4. Data yang Dipergunakan Tahun 1980-2006... 241 5. Hasil Estimasi Model... 247 6. Validasi Model... 259 7. Peramalan Variabel Exogen... 270 8. Skenario Kebijakan... 280 9. Simulasi... 281


(24)

untuk menyelesaikan penelitian.

7. Sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya kepada Ibu Rubi Garniwan, Ibu Yani, Ibu Aam, Pak Husen dan Ibu Angga yang telah banyak membantu meringankan penulis dalam proses dan pengurusan akademi dan administrasi di IPB.

8. Istri saya tercinta Josephine Damajanti, anak-anak kami Josephine Zefanya Wening Sekar Wangi dan Alfonsus Wintang Abhikama, mereka adalah sumber inspirasi dan motivasi saya dalam menyelesaikan studi dan penelitian ini.

Kepada semua pihak yang tidak mampu saya sebut satu persatu, teman-teman sejawat di BPMIGAS, teman-teman KKKS, para peserta pelatihan dan workshop perminyakan, kami ucapkan banyak terimakasih karena langsung dan tidak langsung turut memberikan kontribusi dalam upaya meyelesaikan studi.

Dalam keterbatasan dan kelemahan yang penulis miliki, disertasi ini telah diupayakan disusun sebaik mungkin, namun saya sadari bahwa hasil akhirnya masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk saran, kritik dan masukan yang kontruktif merupakan anugerah buat saya dan diterima dengan tangan terbuka penuh sukacita.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan berguna bagi masyarakat dan bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor , Februari 2012


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan dengan 17504 pulau besar dan kecil, yang diapit oleh benua Asia dan Australia/Oseania, dan dua samudera yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik. Luas Indonesia secara keseluruhan adalah 1.9 juta mil persegi. Di Negara yang sedemikian luas diperkirakan terdapat 60 cekungan yang berpotensi mengandung sumber daya alam minyak mentah dan gas bumi (migas). 38 cekungan diantaranya telah dieksplorasi, sementara 22 cekungan lainnya belum pernah disentuh. Cekungan yang telah dieksplorasi sebagian besar berada di wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB), sedangkan cekungan yang belum pernah dieksplorasi sebagian besar berada di wilayah Indonesia bagian Timur (IBT).

Total cadangan minyak mentah Indonesia pada saat ini diperkirakan sekitar 7.9 miliar barel, yang terdiri dari cadangan terbukti 4.0 miliar barel dan cadangan potensial 3.9 miliar barel. Cadangan minyak mentah Indonesia tersebar di beberapa pulau. Sekitar 60% cadangan minyak mentah berada di pulau Sumatera, 15% berada di pulau Jawa, 10% di pulau Kalimantan dan 15% sisanya berada di Kepulauan Natuna, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua.

Sedangkan gas yang sudah ditemukan diperkirakan sebesar 159.6 triliun kaki kubik. Sebesar 104.7 triliun kaki kubik merupakan cadangan terbukti dan 54.9 triliun kaki kubik sisanya adalah cadangan potensial. Dari total cadangan gas tersebut 28% berada di Kepulauan Natuna, 25% berada di pulau Kalimantan, 22% di pulau Sumatera, 12% di pulau Papua dan 13% sisanya berada di pulau Maluku dan pulau Jawa (lihat Lampiran 1).


(26)

Secara umum produksi minyak mentah Indonesia pada lima tahun terakhir cenderung menurun. Jika pada tahun 2008 produksi minyak mentah mencapai 986 ribu barel per hari maka pada tahun 2011 diperkirakan hanya sebesar 945 ribu barel per hari. Pada horison waktu yang lebih panjang, nampak bahwa berdasarkan data historis produksi minyak mentah Indonesia pada saat ini telah melewati kejayaan produksi minyak mentah Indonesia. Produksi minyak mentah Indonesia pernah mencapai titik puncak yang disebut peak production pada tahun 1977 dengan total produksi mendekati 1.7 juta barel per hari, dan hal tersebut nyaris terulang pada tahun 1995 dimana produksi minyak mentah sempat mencapai 1.6 juta barel per hari. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya produksi minyak mentah Indonesia ini terus menunjukkan kecenderungan penurunan cukup tajam (lihat Lampiran 2).

Jika produksi minyak mentah menunjukan grafik menurun, sebaliknya produksi gas justru mengalami peningkatan. Produksi gas rata-rata naik sebesar 3.6% per tahun. Jika Pada tahun 2000 produksi gas hanya sebesar 1.15 juta barel equivalen per hari maka pada tahun 2010 dapat mencapai 1.57 juta barel equivalen per hari.

Apa yang dialami Indonesia sesuai dengan teori Hubbert, yang menyatakan bahwa produksi minyak mentah dan gas memiliki pola seperti “lonceng” yaitu meningkat pada awalnya, dan terus meningkat yang disebut dengan development phase atau build-up phase sampai pada posisi tertinggi yang disebut peak (maximum peak) setelah itu akan mengalami penurunan produksi, dan akhirnya memasuki masa penghabisan yang disebut tail.


(27)

Terpuruknya produksi minyak mentah Indonesia tidak lepas dari krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Krisis tersebut berdampak pada penurunan investasi di sektor hulu migas. Sementara itu usaha hulu migas merupakan usaha yang sarat modal, sehingga tanpa tambahan investasi produksi minyak mentah tidak akan dapat ditingkatkan.

Selain itu besarnya produksi minyak mentah sangat dipengaruhi oleh kondisi cadangan baik secara kuantitas maupun kualitas. Cadangan migas dalam jumlah yang besar saja tidak secara otomatis akan dengan mudah menaikan produksi minyak mentah. Produksi minyak mentah masih akan tergantung pada kualitas minyak mentah dan ketersediaan infrastruktur. Penananganan minyak mentah berat akan berbeda jika dibandingkan dengan minyak mentah ringan, demikian juga minyak mentah yang diproduksikan dari lapangan yang terpencil akan mempersulit proses pengangkatan dan pengangkutan, sedangkan minyak mentah yang diproduksikan dari lapangan yang relatif lebih dekat dengan fasilitas produksi atau transmisi pipa akan mempercepat keputusan untuk memproduksikannya.

Pada saat ini migas masih berperan cukup besar terhadap penerimaan Negara (lihat Tabel 1). Prosentase kontribusi sektor migas terhadap total penerimaan di APBN dari tahun 2005 hingga tahun 2010 cenderung menurun. Pada APBN-P tahun 2010, sektor hulu migas memberikan kontribusi sebesar 20.91% dari total penerimaan yang direncanakan. Sedangkan pada pada tahun 2005 sektor hulu migas mampu menyumbangkan 28.05% dari total penerimaan Negara. Itu berarti kontribusi sektor hulu migas telah mengalami penurunan sebesar 7.15% dalam kurun waktu lima tahun. Walaupun demikian pada tahun


(28)

2006 dan 2008 kontribusi sektor hulu migas terhadap penerimaan Negara dalam APBN sempat meningkat. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2006 terutama disebabkan oleh realisasi lifting minyak mentah yang lebih besar dibandingkan target APBN. Pada tahun 2006 lifting minyak mentah ditargetkan sebesar 1 juta barrel per hari. Realisasinya mencapai 1.1 juta barrel per hari.

Tabel 1. Penerimaan Negara Tahun 2006 - 2010

Sumber: Pokok-Pokok APBN Kementerian Keuangan, 2010

Sedangkan pada tahun 2008 penerimaan Negara dari sektor hulu migas melebihi target APBN. Hal ini lebih disebabkan oleh harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi. Harga minyak mentah pada tahun 2008 merupakan harga minyak mentah yang tertinggi sepanjang sejarah perminyakan yang mencapai hampir US$ 140 per barel (lihat Gambar 1).

Besarnya penerimaan Negara dari sektor hulu migas tidak lepas dari peran Provinsi Riau, karena secara rata-rata, hampir 40% produksi minyak mentah Indonesia berasal dari Provinsi Riau yang diproduksikan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia (PT.CPI). Pada tahun 2011 diharapkan produksi minyak mentah dari Provinsi Riau sebesar 360 ribu barel per hari yang berarti sekitar 38% dari total produksi Indonesia yang diperkirakan akan mencapai 945 ribu barel per hari.

Ke te rangan Satuan 2005 2006 2007 2008 2009

Penerimaan Sektor Hulu Migas Miliar Rp 138905 201274 168784 288636 175796

Penerimaan Pajak Migas Miliar Rp 35143 43188 44001 77019 50044

PNBP Migas Miliar Rp 103762 158086 124784 211617 125752

Penerimaan Pajak non Migas Miliar Rp 356319 434879 537324 690670 671301

Penerimaan Total Miliar Rp 495224 636153 706108 979305 847097

Penerimaan Migas/Total % 28.05% 31.64% 23.90% 29.47% 20.75%


(29)

Sumber: L

Gambar 1

Ak tersebut ti besaran ya dimana m orang ban pada Neg masyaraka ditransmis keuangan minyak m Indonesia secara per Daerah de Laporan Tim 1. Fluktuas

kan tetapi p idak secara ang sama. U minyak men nyak, sehing gara, dan at. Penerim sikan melal Pemerintah mentah terleb dan dicata riodik akan engan meng

m Harga ICP

si Harga M

porsi produk otomatis m Usaha hulu ntah diangga gga sesuai d akan dik maan daera lui mekani h Pusat da bih dahulu a at sebagai p n didistribus gacu pada P, 2011 Minyak Men ksi minyak memberikan migas mer ap sebagai dengan UU kelola seop ah yang be sme alokas an Pemerin

akan masuk pos Penerim sikan ke Pe

mekanism ntah mentah yan n penerimaa rupakan usa produk yan UD 45 Pasal

ptimal mu erasal dari si dana dar ntah Daerah k ke rekenin

maan Miga emerintah D me pembagi

ng besar da an Pemerint aha yang di

ng mengua l 33, pengu ungkin untu

sektor hu ri pusat at h. Artinya, ng Pemerinta as dalam A Daerah seba ian sebagai

ari Provinsi tah Daerah ilakukan Ne asahi hajat h uasaannya b

uk kepent ulu migas

au perimba hasil penj ah Pusat di APBN, kemu

agai pos Be imana terca Riau pada egara, hidup berada ingan akan angan ualan Bank udian elanja antum


(30)

dalam UU No. 33 tahun 2004 yaitu tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

Sektor hulu migas selain memberikan dampak langsung terhadap kenaikan penerimaan daerah, tetapi juga memberikan dampak tidak langsung dan memberikan dampak berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian. Keberadaan kegiatan usaha hulu migas turut memicu perekonomian daerah. Oleh karena itu kontribusi sektor hulu migas dalam perekonomian bisa dilihat dari peran sektor tersebut dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau secara lebih khusus dapat dicerminkan dari PDRB per kapita.

Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Beberapa Propinsi di Indonesia Tahun 2010

(Ribu Rp)

Sumber: BPS, 2011

Apabila diperhatikan nampak bahwa PDRB per kapita provinsi-provinsi yang memiliki sumber daya alam migas relatif lebih tinggi dibanding dengan

De ngan Migas Tanpa Migas De ngan Migas Tanpa Migas

Kalimantan Timur 61407 23253 32852 14700

Riau 30356 17264 17314 7318

Sumatera Utara 10995 10910 7060 7007

Sumatera Barat 9784 9784 6386 6386

Kalimantan Selatan 8859 8664 6568 6402

Kalimantan Barat 8327 8327 5787 5787

Sumatera Selatan 12021 7774 7318 5355

Kalimantan Tengah 7447 7447 5111 5111

Nangroe Aceh Darusalam 6386 7060 8384 5305

Jambi 8531 6982 4788 4197

Bengkulu 6460 6460 4027 4027

Lampung 5598 5461 4121 4042

Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi

Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000


(31)

provinsi non penghasil migas (lihat Tabel 2). Provinsi penghasil migas seperti Provinsi NAD, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi non penghasil migas seperti Bengkulu dan Kalimantan Barat. Kondisi ini sebenarnya juga menunjukan bahwa sektor hulu migas cukup berperan terhadap perekonomian dan memberikan dampak terhadap output ekonomi yang cukup besar.

Secara lebih khusus nampak bahwa 50.2% PDRB Provinsi Riau berasal dari sektor hulu migas. PDRB per kapita Provinsi Riau tanpa migas hanya akan sebesar Rp 8782697.14 dalam satu tahun, padahal dengan memperhitungkan sektor migas PDRB per kapita Provinsi Riau dapat mencapai Rp 17640883.11 atau hampir dua kali lipat. Hal tersebut diperkuat bahwa ternyata sektor pertambangan berperan besar terhadap perekonomian Provinsi Riau. Data statistik Provinsi Riau tahun 2008 menunjukan PDRB Provinsi Riau pada harga konstan tahun 2000 mencapai Rp 91.08 triliun. Sektor pertambangan termasuk migas memberi kontribusi sebesar 51% dari total PDRB atau sebesar Rp 46.89 triliun yang sebesar 98.4% merupakan kontribusi dari sektor hulu migas. Sementara pertambangan non migas dan penggalian masing-masing hanya berkontribusi sebesar 0.9% dan 0.7%.

Secara geografis Provinsi Riau terletak antara 01o 05 00 Lintang Selatan sampai 02o 25 00 Lintang Utara serta antara 100o 00 00 Bujur Timur sampai dengan 105o 05 00" Bujur Timur. Provinsi Riau berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara di sisi utara, berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat disebelah selatan, berbatasan dengan Provinsi Sumatera


(32)

Barat dan Provinsi Sumatera Utara di sebelah barat dan berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Selat Malaka di sebelah timur.

Secara administratif Provinsi Riau terdiri dari 9 Kabupaten dan 2 Kota dengan ibu kota Pekanbaru. Tiga kabupaten terbesar di Provinsi Riau adalah Kabupaten Indragiri Hilir dengan luas wilayah terbesar dengan luas 1379837 Ha (15.5%), diikuti oleh Kabupaten Pelalawan yang mempunyai luas 1240414 Ha (13.9%) dan Kabupaten Bengkalis seluas 1204423 Ha (13.5%).

Perekonomian Provinsi Riau tahun 2010 mencatatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal sebesar Rp 342.69 triliun, meningkat dibandingkan tahun 2009 yang hanya sebesar Rp 319.51 triliun. Riau merupakan provinsi yang memiliki PDRB terbesar di Sumatera, dikuti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Pertumbuhan ekonomi Riau tanpa Migas tercatat 7.2 persen lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6.6 persen. Kontribusi terbesar berasal dari sektor pertambangan dan penggalian 13.07 persen, diikuti sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 9.99 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 8.72 persen, sektor bangunan 8.62 persen, dan sektor jasa-jasa 8.39 persen. Pertumbuhan ekonomi Riau didorong oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran 1.54 persen, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan 1.32 persen, sektor industri pengolahan 1.10 persen, dan sektor jasa-jasa 0.86 persen.

Berdasarkan data BPS tahun 2010 perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV tahun 2010 tumbuh sebesar 5.22% dengan migas dan 7.84% tanpa migas. Sektor pertambangan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan Riau pada triwulan IV-2010. Optimalisasi produksi sumur minyak diindikasikan


(33)

sebagai pendorong peningkatan pada sektor pertambangan, yang semula tidak diperkirakan mengingat pada awal triwulan laporan terdapat gangguan produksi dari PT. Chevron Pasific Indonesia. Sektor lain yang memberikan sumbangan cukup besar adalah sektor perdagangan dan industri pengolahan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan IV tahun 2010 relatif lebih baik mengingat sumber pertumbuhan yang berasal dari sektor industri.

Sedangkan harga-harga umum di Provinsi Riau pada triwulan IV tahun 2010 yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Kota Pekanbaru dan Kota Dumai secara tahunan (yoy) menunjukkan peningkatan lebih besar jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang cenderung lebih stabil. Inflasi Provinsi Riau mencapai 7.37% yang berarti meningkat cukup besar jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4.57%. Sumber tekanan inflasi berasal dari kenaikan harga cabe merah, minyak goreng dan beras, yang dipicu oleh tingginya harga bahan pangan antara lain curah hujan yang tinggi serta gangguan hama yang mengakibatkan pasokan dari sentra produksi menurun. Selain itu, inflasi juga dipicu oleh kenaikan harga CPO di pasaran internasional menjadi faktor utama tingginya harga jual minyak goreng.

Kinerja perbankan di Provinsi Riau dalam triwulan IV tahun 2010 cukup menggembirakan yang ditunjukan dengan total aset perbankan yang tercatat sebesar Rp 45.08 triliun, meningkat 14.07% dibandingkan triwulan sebelumnya (q-t-q). Kenaikan aset tersebut terutama didorong oleh meningkatnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tentunya telah mendorong


(34)

kemampuan perbankan Riau untuk meningkatan porsi penyaluran kredit dan pembiayaannya.

Keberadaan sektor hulu migas di Provinsi Riau akan merangsang tumbuhnya sektor-sektor industri pendukung migas, seperti misalnya industri penyedia jasa kontruksi dan penyewaan peralatan alat-alat berat. Selain itu kehadiran sektor hulu migas yang diikuti dengan masuknya para pekerja ke Provinsi Riau dalam jumlah yang cukup besar turut merangasang berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi baik kegiatan ekonomi formal maupun informal.

Namun demikian peran sektor hulu migas ini tidak mungkin diandalkan selamanya sebab usaha di sektor hulu migas bergantung dari sumber daya alam migas yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharuhi atau non renewable resources, yang disebut juga sebagai depleting resources atau exhaustible resources. Karena migas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui maka apabila cadangan diekstraksi atau dieksploitasi terus menerus maka suatu saat akan habis. Sementara itu, secara umum, pola kegiatan usaha hulu migas akan bergantung dengan pola produksi migas. Pola produksi minyak mentah umumnya berbentuk seperti “lonceng”, yang disebut dengan peak theory (Hubbert, 1976). Seperti disajikan pada Gambar 2, pada tahun-tahun awal produksi biasanya meningkat, kemudian akan mencapai titik puncak, kemudian pada tahun-tahun berikutnya akan turun dan suatu ketika akan habis. Peak theory membagi masa produksi minyak mentah menjadi 6 fase, yaitu fase pengembangan (development), fase produksi maksimum (peak production), fase percepatan penurunan produksi (acceleration declining), fase penurunan produksi terus menerus (steady declining), dan fase penghabisan (fase tail). Dari model tersebut


(35)

ada dua hal yang terpenting yang ingin disampaikan oleh Hubbert, pertama bahwa produksi minyak mentah itu ada batasnya ada masa kenaikan produksi, titik puncak dan akan habis. Yang kedua Hubbert berpendapat bahwa titik puncak produksi pada satu area produksi hanya akan terjadi sekali. Setelah melewati masa eksplorasi biasanya kegiatan usaha hulu migas akan meningkat tajam untuk mempersiapkan kegiatan eksploitasi. Pada umumnya masa eksplorasi memerlukan waktu antara 3 sampai 10 tahun. Sebagai contoh suatu lapangan ditemukan cadangan pada tahun ke-10, jika masa pembangunan fasilitas produksi membutuhkan 4 tahun, maka barulah pada tahun ke-14 produksi minyak mengalir pertama kali. Dalam istilah perminyakan disebut first oil

Sumber: National Resources Council USA, 1962

Gambar 2. Hubbert Peak Theory

Selama masa 4 tahun tersebut pengeluaran perusahaan akan meningkat seiring dengan intensitas kegiatan usaha hulu migas yang menuntut penyelesaian

Production

Build-up Phase

Peak

Accelerate Decline

Steady Decline


(36)

fasilitas dengan segera. Pada masa 4 tahun tersebut akan dibutuhkan banyak tenaga kerja. Masuknya para tenaga kerja trampil di wilayah tersebut akan membawa dampak bagi perekonomian wilayah keseluruhan. Dicontohkan bahwa peningkatan produksi akan terjadi selama tiga tahun dan titik puncak produksi terjadi pada 6 tahun kemudian, maka setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya produksi akan terus menurun dan diperkirakan akan habis pada suatu saat. Setelah melewati masa titik puncak produksi, intensitas kegiatan usaha hulu migas akan perlahan-lahan menurun seiiring dengan penurunan produksi migas. Pada masa penurunan produksi biasanya secara bertahap akan terjadi pengurangan pegawai akibat dari penurunan aktivitas dan penurunan investasi.

Oleh karena itu Pemerintah Daerah penghasil migas, termasuk Provinsi Riau harus waspada, apabila perekonomian wilayahnya mengandalkan kehadiran sektor hulu migas dan memiliki ketergantungan terhadap hasil-hasil dari sumber daya alam migas, maka bisa tipastikan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan selamanya. Sebab jika hal tersebut yang terjadi maka pasang surut perekonomiannya akan mengikuti pasang surut kegiatan usaha hulu migas.

Pengembangan sektor ekonomi hendaknya didukung oleh kualitas sumber daya manusia, sebab faktor manusia sebagai pelaku industri yang berkualitas akan berperan besar menentukan perkembangan industri dan perekonomian secara keseluruhan pada masa yang akan datang. Hal ini juga terungkap dalam dokumen Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Riau. Tidak terlepas dari faktor manusia adalah kebutuhan tehnologi dalam bidang produksi, informasi dan komunikasi. Untuk itu Pemerintah Provinsi Riau mengalokasi dana yang cukup besar untuk belanja pendidikan. Hasilnya nampak dari kinerja


(37)

pembangunan manusia Provinsi Riau yang terus meningkat dan pada tahun 2009 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 75.60 poin dan menduduki peringkat 3 dari seluruh provinsi di Indonesia. Pembangunan manusia harus tetap dipertahankan dalam penyusunan prioritas program dan kegiatan pembangunan daerah, karena sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif merupakan modal dasar dalam mendukung peningkatan daya saing wilayah secara berkelanjutan.

Namun demikian peningkatan yang menggembirakan pada sisi pertumbuhan ekonomi, tidak diikuti dengan pemerataan hasil-hasilnya, hal ini nampak dari angka pengangguran dan tingkat kemiskinan di Provinsi Riau yang masih tergolong tinggi. Jumlah pengangguran terbuka di tahun 2008 tercatat sekitar 208.9 ribu jiwa atau 9.35 persen dari total angkatan kerja, sedangkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 sekitar 566.7 ribu jiwa atau sekitar 11 persen dari total penduduk Provinsi Riau. Pengurangan pengangguran dan kemiskinan harus tetap menjadi prioritas utama bagi Pemerintah Provinsi Riau.

Pada saat ini, yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau, untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yaitu melaksanakan berbagai program pembangunan yang diarahkan ke kecamatan dan desa-desa miskin, yang dilakukan dengan pola padat karya. Pelaksanaan program pembangunan padat karya pada satu sisi akan meningkatkan ketersediaan dan perbaikan serta pemeliharaan prasarana dan sarana fisik dan berbagai sarana pelayanan dasar, namun sekaligus akan menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakat di sekitarnya.


(38)

Ditengah optimisme pertumbuhan perekonomian tersebut sebenarnya Provinsi Riau menghadapi ancaman yang berkaitan dengan penurunan produksi minyak mentah dan penurunan aktivitas perusahaan minyak PT.CPI yang dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Provinsi Riau.

Salah satu contoh wilayah yang sekarang berada pada masa declining produksi minyak mentah dan menghadapi saat-saat akhir produksi adalah ladang minyak Pangkalan Susu dan kilang pengolahan Pangkalan Berandan. Damanik (2011), mencatat bahwa kegiatan perminyakan di Pangkalan Berandan berawal pada tahun 1883. Pada waktu itu Sultan Musa dari langkat memberikan ijin konsesi kepada Aeilko Jans Zijlker yang bekerja pada perusahaan tembakau Deli Tobacco Maatschappij di Sumatera Utara, untuk membuka penambangan minyak di desa Telaga Said kecamatan Sei Lepan, Langkat. Ijin konsesi berlaku untuk 75 tahun yang diberikan pada tanggal 8 Agustus 1883 dan berakhir pada 8 Agustus 1958. Sultan Musa mendapat bayaran sebesar 30 sen tiap hektoliter minyak kotor dan 15 sen setiap hektoliter minyak bersih yang dibayar setelah dua tahun dari waktu pemberian konsesi. Penemuan minyak mentah oleh Aeilko, tersebut merangsang upaya pencarian minyak mentah di kawasan Telaga Said hingga Pangkalan Susu. Minyak mentah tersebut diolah di Pangkalan Berandan yaitu pabrik penyulingan yang dibangun oleh N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 189.

Pada masa kemerdekaan, Pangkalan Susu menjadi daerah perminyakan yang sangat penting. Apalagi setelah bulan Oktober 1957, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution menunjuk Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk Perusahaan Minyak yang berstatus hukum Perseroan Terbatas.


(39)

Pada tanggal 10 Desember 1957 berdirilah P.T. Pertambangan Minyak Nasional Indonesia yang menjadi cikal bakal Pertamina.

Salah satu yang dikerjakan adalah oleh Pertamina adalah melakukan renovasi pabrik pengolahan atau pengilangan minyak mentah Pangkalan Brandan untuk menampung minyak mentah yang berasal dari lapangan Telaga Tunggal, Telaga Said dan Pangkalan Susu. Kilang Pangkalan Berandan adalah salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia. Delapan yang lainnya ada di Dumai, Sungai Pakning, Musi, Balikpapan, Cilacap, Balongan, Cepu, dan Kasim Papua.

Usaha hulu migas memiliki daya tarik ekonomi bagi sektor lain dan memicu kegiatan di daerah-daerah disekitarnya, juga memicu imigrasi penduduk masuknya tenaga-tenaga terampil dari dari pulau Jawa. Pertamina membangun perumahan untuk karyawan dengan kapasitas lebih 5000 keluarga di Rantau, Pangkalan Susu dan Pangkalan Berandan dengan fasilitas yang lengkap dan modern pada jamannya. Misalnya saja perumahan karyawan di Rantau, selain dilengkapi dengan sekolah dan perlengkapan sarana prasarana olah raga juga memiliki kolam renang dan lapangan golf. Tenaga kerja yang terserap mencapai lebih dari 5 ribu orang termasuk pekerja Pertamina, pekerja tidak langsung dan pekerja kontraktor. Kegiatan usaha hulu migas di kawasan tersebut berdampak terhadap perekonomian Pangkalan Berandan, Pangkalan Susu dan Rantau.

Namun demikian pada tahun 2007 PT. Pertamina (Persero) menutup unit pengolahan minyak Pangkalan Berandan. Langkah ini ditempuh karena stok minyak tidak lagi memenuhi skala keekonomian yang layak untuk dikelola.


(40)

Lapangan minyak di Pangkalan Susu dan lapangan-lapangan minyak disekitarnya tidak lagi mampu memasok minyak mentah ke Pangkalan Berandan untuk diolah.

Keputusan tersebut berdampak terhadap perekonomian di wilayah tersebut. Penutupan kilang pengolahan Pangkalan Berandan dilakukan dengan mengurangi karyawan secara berangsur di ladang minyak Pangkalan Susu dan Rantau. Saat ini karyawan yang bekerja di area tersebut kurang lebih hanya 200 orang termasuk tenaga penunjang.

Sejak penutupan Pangkalan Berandan sebagian besar aset-aset Negara yang dikelola oleh Pertamina, termasuk aset-aset di Pangkalan Susu, Rantau dan sarana Pengilangan di pangkalan Berandan terbengkalai. Banyak rumah tidak difungsikan lagi, kosong ditinggalkan penghuninya. Sebagian dialih fungsikan dan sebagian lainnya ditempati oleh prajurit TNI Angkatan Laut.

Banyak perusahaan pendukung usaha hulu migas dan pengolahan minyak mentah terpaksa gulung tikar. Kegiatan perekonomian sektor non formal juga terkena dampaknya, banyak yang bubar. Mulai dari rumah makan, warung-warung retail dan usaha jasa lainnya, bahkan pasar di dekat pabrik pengolahan juga tutup ditinggalkan para pedagangnya karena sepi pembeli.

Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu adalah salah satu contoh wilayah atau daerah yang perekonomiannya digerakkan oleh industri hulu migas. Sektor migas benar-benar menjadi tumpuan dan penggerak utama perekonomian di daerah tersebut. Begitu kegiatan sektor migasnya berhenti maka perekonomian di daerah tersebut terkena imbasnya.

Mengacu kepada pelajaran siklus kegiatan usaha hulu migas dan teori Hubbert, sebenarnya kejadian di Pangkalan Susu dan Pangkalan Berandan adalah


(41)

hal yang normal dan biasa. Pada umumnya kegiatan usaha hulu migas menunjukan peningkatan produksi yang tinggi pada masa pengembangan. Sehingga pada masa tersebut akan dibutuhkan banyak pegawai karena kegiatan produksi umumnya meningkat pesat. Namun setelah melewati titik puncak akan dilanjutkan dengan fase penurunan produksi. Pada masa ini kegiatan operasional minyak mentah menurun drastis, investasi cenderung turun dan pengurangan pegawai akan dilakukan untuk mengurangi beban dan biaya produksi.

Pada umumnya fase pengembangan yang menjanjikan dan memberikan dampak positif terhadap perekonomian seringkali menjadikan para pengelola dan masyarakat, bahkan Pemerintah Daerah lupa bahwa hal tersebut tidak terjadi selamanya. Memang sekarang ini lapangan minyak di Rantau dan Pangkalan Susu masih berproduksi tetapi dengan kapasitas sangat terbatas yaitu hanya 1000-1500 barrel per hari. Karena jumlahnya terlalu kecil untuk diolah sendiri dan tidak ekonomis lagi diolah di kilang Pangkalan Berandan maka hasil produksi tersebut dikapalkan dan diolah di kilang Pertamina lainnya.

Kondisi seperti yang terjadi di Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu, yaitu penurunana aktivitas perekonomian dan pelambatan pertumbuhan ekonomi berpotensi terjadi pada daerah-daerah penghasil migas lainnya termasuk Provinsi Riau. Pada saat ini Produksi minyak mentah dari Provinsi Riau memasuki fase Steady Declining yang berarti dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi minyak mentah di Provinsi Riau akan habis.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:


(42)

1. Bagaimana dampak penurunan cadangan minyak mentah terhadap perekonomi Provinsi Riau? Bagaimana kondisi perekonomian Provinsi Riau ketika sektor hulu migas tidak lagi memberikan kontribusi terhadap perekonomian?

2. Bagaimana perubahan peran dan reaksi sektor pertanian dan sektor lainnya ketika terjadi penurunan peran sektor hulu migas dalam perekonomian? 3. Apakah skenario kebijakan fiskal dan sektor hulu migas dapat mengurangi

dampak negatif dari penurunan cadangan minyak mentah di Provinsi Riau? Seberapa besar kebijakan tersebut berdampak positif terhadap perekonomian? Apakah dengan kebijakan fiskal dan sektor hulu migas tersebut posisi perekonomian Provinsi Riau dapat dikembalikan seperti semula?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian sebelumnya dan permasalahan maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Membangun Model Migas dan Perekonomian Riau (Model MPR) yang mengintegrasikan sektor hulu migas, sektor fiskal dan bagi hasil, yang merupakan bentuk dari pelaksanaan undang-undang otonomi daerah.

2. Meramalkan dampak penurunan cadangan minyak mentah tahun 2012-2035 terhadap perekonomian Provinsi Riau khususnya pergeseran peran dari sektor migas ke sektor pertanian dan sektor lainnya.

3. Membuat simulasi skenario kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari penurunan cadangan minyak mentah terhadap perekonomian Provinsi Riau.


(43)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat:

1. Bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai alat atau sistem peringatan dini dalam menghadapi dampak dari penurunan cadangan minyak mentah terhadap perekonomian Provinsi Riau.

2. Bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai masukan sekaligus bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang bersifat antisipatif yang mempertimbangkan dampak dari penurunan peran sektor hulu migas dalam perekonomian akibat dari penurunan cadangan minyak mentah.

3. Bagi Pemerintah Pusat, BPMIGAS, Direktorat Jendral Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Alam Migas, Direktorat Anggaran dan Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, agar hasil penelitian dapat dijadikan masukan dalam hal melakukan evaluasi kebijakan alokasi dana dari pusat ke Daerah Penghasil Migas yang mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian daerah penghasil migas secara menyeluruh.

4. Untuk perkembangan studi ekonomi perminyakan dan ekonomi energi yang saat ini relatif kurang berkembang di Indonesia dengan referensi penelitian yang sangat terbatas.


(44)

(45)

II. STUDI LITERATUR

2.1. Ketergantungan Perekonomian terhadap Sektor Migas

Youngquist (1999) melakukan penelitian untuk menguji bagaimana sektor migas berperan terhadap perekonomian dan tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap hasil migas. Youngquist menyimpulkan bahwa perekonomian Negara-Negara yang memiliki sumber daya alam migas yang berlimpah cenderung tergantung kepada hasil migas. Selain itu dari hasil penelitiannya, Youngquist mengemukakan bahwa Negara yang penerimaannya didominasi dari migas umumnya memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat. Sementara sektor pertanian Negara-Negara penghasil migas juga memiliki ketergantungan terhadap produk migas terutama dari produkfertilizers dan pestisida.

Berdasarkan temuan-temuan impiris tersebut Youngquist berkeyakinan bahwa hingga saat ini hasil migas dan peran sektor migas dalam menopang perkonomian Negara atau daerah penghasil migas tidak tergantikan. Oleh karena itu Youngquist menyarankan agar seluruh Negara di dunia merubah paradigma yaitu yang semula pembangunan dan kehidupan yang bergantung dari hasil dan produk migas menjadi pembangunan dan kehidupan tanpa migas.

Paradigma baru kehidupan tanpa migas yang disampaikan Youngquist itu disebut post-petroleum paradigm. Youngquist menilai bahwa pada saat ini ketergantungan Negara-Negara di dunia terhadap minyak mentah dan gas bumi terlalu besar. Youngquist memberikan contoh bagaimana dampak dari gejolak harga minyak mentah dunia terhadap perekonomian. Bagi Negara bukan penghasil migas maka kenaikan harga minyak mentah akan memberatkan perekonomian mereka karena harus membelanjakan uangnya lebih banyak untuk


(46)

memenuhi kebutuhan energi. Sedangkan bagi Negara penghasil migas kenaikan harga minyak mentah merupakan tantangan karena mereka akan berusaha mengupayakan kenaikan produksi, sementara produksi minyak mentah dunia secara umum mengalami penurunan.

Saran Youngquist untuk mengurangi ketergantungan terhadap hasil migas sudah mulai dilakukan oleh beberapa Negara seperti Iran dan Venzuela yang mulai mengembangkan biofuel. Sedangkan beberapa Negara di kawasan Timur Tengah seperti Kuwait, Saudi Arabia, Iraq, Qatar, United Arab Emirates, Bahrain, and Oman kurang memperdulikan saran Youngquist dan perekonomian mereka sepenuhnya bergantung dari hasil migas.

Abernethy (1993) berpendapat bahwa kemakmuran (prosperity) dari minyak akan mendorong Pemerintah Negara penghasil migas berekspektasi terhadap perekonomian yang lebih baik. Data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan Negara-Negara teluk rata-rata 1.6% di atas rata-rata pertumbuhan dunia hingga tahun 2006. Saudi Arabia dan Libya mempunyai tingkat pertumbuhan sekitar 4.1% (rata–rata selama 17 tahun), Kuwait 6.0% (rata-rata selama 12 tahun), Qatar 6.5% (rata-rata selama 10.7 tahun) dan United Arab Emirates 7.3% (rata-rata selama 10 tahun).

Abernethy menemukan bukti yang sama dengan Youngquist bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut akan diikuti dengan pertumbuhan penduduk. Itulah sebabnya setengah dari populasi Arab sekarang ini berusia di bawah 15 tahun. Kondisi ini memberikan kecenderungan terjadinya peningkatan ketergantungan kepada sektor migas untuk dekade ke depan (Fernea, 1998). Generasi baru ini adalah generasi pertama yang medominasi kota dengan pola dan


(47)

gaya hidup kota yang terjadi akibat meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang diperoleh dari hasil minyak. Penduduk seakan diarahkan berubah dari yang semula mengandalkan hasil pertanian menjadi sistem ekonomi pengembara (nomadic economies) yang mengandalkan sektor migas. Misalnya Saudi Arabia, meskipun mendapatkan windfall dari minyak sejak tahun 1970 namun belanja Pemerintah tidak diarahkan pada pembangunan ekonomi di luar sektor migas. Negara ini belum memikirkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Bahkan Pemerintah Saudi Arabia seakan memandang remeh peningkatan populasi yang begitu cepat dan belum dinilai sebagai sebuah ancaman.

Chandler (1994) melakukan penelitian tentang dampak peningkatan populasi terhadap kesejahteraan per kapita pada Negara penghasil minyak. Chandler menemukan hal yang sama, bahwa sejumlah Negara kaya minyak menggunakan penerimaan dan hasil dari minyak dengan tidak bijaksana. Chandler memberikan saran agar pemerintah bertindak bijak menginvestasikan hasil migas misalnya untuk rumah sakit, jalan, jembatan, bandara dan pembangkit listrik.

Selain itu Chandler juga menyarankan agar sebagian sisa pendapatan migas itu diinvestasikan dalam program-program sosial. Chandler berpendapat program-program tersebut akan berdampak jangka panjang. Chandler mengaitkan dengan tingkat pertumbuhan populasi Arab Saudi yang mencapai 4% per tahun. Ini merupakan salah satu tingkat pertumbuhan populasi tertinggi di dunia.

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu tingkat provinsi, Harun (2000) pengajar di Univesitas Riau juga memiliki kesimpulan yang kurang lebih sama. Penelitiannya menyimpulkan bahwa Provinsi Riau sebagai penghasil minyak


(48)

mentah terbesar di Indonesia, perekonomian mereka memiliki ketergantungan yang besar terhadap hasil dari sektor migas.

Meskipun demikian pada beberapa Negara penghasil minyak, termasuk Amerika Serikat yang memiliki pertumbuhan sektor pertanian yang cukup pesat, namun ditengarai pertumbuhan ekonominya masih tergantung dari hasil sektor migas (Pimentel, 1998). 90% dari total energi yang diperlukan dalam kegiatan pemanenan berasal dari minyak dan gas alam. Penggunaan tehnologi dalam pertanian memberikan efesiensi dan mampu mengurangi input tenaga kerja dari 500 jam per hektar menjadi 4 jam per hektar untuk produksi gandum.

Fleay (1995) melakukan penelitian di Australia dan menemukan hal serupa dengan yang terjadi di Amerika. Australia adalah Negara keempat pengekspor gandum terbesar di dunia. Tidak mengherankan kalau fertilisers memegang peran penting di Australia. Produk ini banyak digunakan untuk offsetting nutrient-poor soils. Gas bumi adalah bahan dasar untuk membuat fertilizer, seperti halnya nitrogen fertilisers. Fleay menyimpulkan bahwa penduduk di dunia bergantung pada makanan yang harus dihasilkan dari pertanian, namun hasil pertanian yang dibutuhkan pada akhirnya bergantung pada penggunaan energi dan bahan-bahan yang dihasilkan dari migas.

Grant (1996) mencatat bagaimana pentingnya petrochemicals bagi petani. Ketergantungan pada pesticides dan herbicides menunjukkan angka yang terus menerus meningkat. Sebab, jika petani menghentikan penggunaan pesticides dan herbicides akan kehilangan sebagian atau bahkan seluruh hasil panen. Padahal kedua produk tersebut bergantung pada hasil migas.


(49)

Laporan Congressional Reserach Servives (CRS) mempertegas bahwa pertanian memiliki ketergantungan terhadap hasil migas secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berarti sektor pertanian memerlukan minyak dan gas bumi untuk menghidupkan mesin dan peralatan pertanian, termasuk mesin-mesin pengolahan hasil pertanian dan secara tidak langsung, dalam bentuk fertilizer untuk pupuk dan beberapa produk kimia yang dipergunakan dalam pengolahan lahan pertanian.

Sejalan dengan temuan Grant (1996), studi yang dilakukan Terry, et. al. (2006) menghasilkan kesimpulan yang sama, walaupun pendekatan yang digunakan dalam penelitian berbeda. Terry meneliti hubungan antara sektor pertanian dan sektor migas dengan mengaitkan pengaruh peningkatan harga minyak dunia terhadap sektor pertanian di Kansas, USA. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sektor pertanian berhubungan dengan sektor migas dalam dua hal. Pertama, hubungan langsung berupa penggunaan energi untuk menggerakkan mesin-mesin industri pertanian, transportasi dan penerangan. Kedua, hubungan tidak langsung yaitu sektor pertanian menggunakan pupuk, pestisida dan produk-produk pendukung lainnya yang berasal dari petro-chemical.

Selain itu juga diperoleh bukti bahwa kenaikan harga minyak mentah dunia selalu akan diikuti dengan tindakan efesiensi di sektor pertanian. Sisi positifnya, harga minyak yang tinggi memicu pengembangan industri penghasil sumber energi yang berasal dari sumber daya alam yang terbarukan seperti pengembangan produk ethanol dan biodiesel. Bila hal ini diperhitungkan sebagai produk pertanian maka berarti secara keseluruhan terjadi peningkatan produk pertanian, yang secara relatif pada tahun 2006 sektor pertanian nampak lebih


(50)

efesien dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan produk biomass ini secara relatif juga menurunkan tingkat penggunaan bahan bakar fosil di sektor pertanian.

2.2. Peran Sektor Migas dalam Pertumbuhan Ekonomi

Sektor industri membutuhkan energi untuk memproduksikan barang dan jasa. Sumber energi yang saat ini banyak digunakan adalah energi yang berasal dari sektor migas. Pada beberapa industi nampak bahwa sektor migas tidak saja digunakan sebagai sumber energi namun berperan juga sebagai bahan dasar dan bahan pendukung. Bahan bakar minyak dan gas bumi adalah penggerak utama untuk transportasi dan mobilisasi. Demikian juga dengan pembangkit tenaga listrik yang mengandalkan bahan bakar minyak dan gas bumi.

Spreng (2003) menyampaikan bahwa proses transformasi dan produksi harus mempertimbangkan bahwa energi yang digunakan berasal dari sumber daya alam minyak dan gas bumi (fuel fosil) yang jumlahnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Dengan demikian pertumbuhan sektor non migas di luar sektor pertanian dipengaruhi oleh sektor migas. Jika output perekonomian total merupakan penjumlahan dari output dari seluruh sektor maka dapat disimpulkan sektor migas berpengaruh terhadap perekonomian.

Penjelasan dan pemahaman tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh sektor migas dapat dijelaskan melalui teori pertumbuhan yang dikembangkan oleh Solow (1956). Menurut Solow, secara tradisional pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni: kapital (tanah dan peralatan), manusia (tenaga kerja), dan teknologi. Solow berasumsi bahwa


(51)

variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi bersifat sustainable atau berkelanjutan.

Beberapa ahli ekonomi selanjutnya mengembangkan teori Solow tersebut dengan menambahkan non-sustainable variable (Pezzy, 2001). Tanah yang dahulu dianggap selalu tersedia, sekarang tanah dianggap sebagai variabel yang bersifat tidak berkelanjutan, karena luas tanah yang mampu dijadikan lahan pertanian semakin terbatas. Demikian juga dengan kualitas tanah yang semakin lama semakin memburuk karena kurang pemeliharaan dan karena pencemaran.

Variabel teknologi perlu diperhatian secara khusus terutama terkait dengan energi. Pada saat ini sebagian besar teknologi yang dipergunakan membutuhkan energi agar bisa dimanfaatkan. Sementara itu, keberadaan energi tergantung pada bahan dan faktor pembentuk energi. Hingga kini faktor pembentuk energi yang paling besar adalah sumber daya alam yang tidak terbarukan yaitu migas. Jika demikian maka asumsi bahwa teknologi bersifat berkelanjutan (keberadaannya tetap) mulai diragukan, sebab pada suatu saat sumber daya alam yang tidak terbarukan tersebut akan habis.

Sementara ekonom pengikut neoklasik berpendapat bahwa model Solow sebenarnya sudah mengantisipasi persoalan variabel non-sustainable tersebut. Caranya dengan tidak memasukan variabel biaya ekstraksi sumber daya alam yang tidak terbarukan dan tidak mencantumkan depresiasi untuk kapital. Hal ini terbukti bahwa dengan mengasumsikan pasar bersaing sempurna termasuk dalam penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan, konsumsi dan kesejahteraan sosial akhirnya memiliki total ekses nol (Stiglitz, 1974). Itu berarti model Solow tetap valid ketika diaplikasikan pada kasus sumber daya alam tidak terbarukan.


(52)

Dalam memandang teori pertumbuhan Solow terdapat perbedaan yang mendasar antara ekonom neo-klasik dengan ekonom ekologi dan energi. Ekonom neo-klasik memandang teori pertumbuhan Solow berfokus pada batasan-batasan institusional, yakni: bagaimana variabel-variabel input seperti teknologi, kapital, dan tenaga kerja mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pandangan ekonom ekologi dan energi cenderung berbasis pada material termasuk pada substitusi antar input. Pada umumnya para ekonom ekologi dan energi menyoroti dua aspek. Pertama bagaimana menghasilkan produksi yang lebih banyak dengan sumber daya alam tertentu yang dimiliki. Kedua, pada kapasitas kerusakan sumber daya alam yang terbatas bagaimana energi dan sumber daya alam diperoleh secara maksimal (Sterm, 2003).

Dengan demikian perdebatan mengenai pentingnya mempertimbangkan variabel jangka pendek (non-sustainable variable) muncul karena pertimbangan peran energi dalam teori pertumbuhan ekonomi. Karena sebagian besar ketersediaan energi saat ini bergantung pada sektor migas dan sumber daya alam lain yang tak terbarukan, seperti: batubara dan gas geothermal. Sehingga teori pertumbuhan berkelanjutan akan terkendala oleh keberadaan sumber daya alam tersebut yang bersifat tidak kekal.

Peran energi dalam pertumbuhan ekonomi banyak didukung oleh para ahli ekonomi energi. Namun usaha untuk membuktikan bahwa energi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya menjadi perdebatan pada era tahun 1970-an hingga 1990-1970-an. Kraft (1978), salah satu ahli ekonomi energi, mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Perangkat uji yang digunakan adalah bevarian vector regression. Penelitian Kraft menyimpulkan bahwa secara empiris terbukti bahwa


(53)

terdapat hubungan sebab akibat yang kuat antara energi yang digunakan dengan pertumbuhan atau tambahan output yang diperoleh.

Hasil yang sama juga diperoleh ketika dilakukan pengujian terhadap hubungan sebab akibat antara GDP, penggunaan energi, capital, dan input tenaga kerja (Sterm, 1993). Model yang digunakan dalam pengujian ini adalah model Granger kausalitas dengan setting multivariate autoregression (VAR). Metodologi multivariate dipandang penting oleh Stern karena perubahan penggunaan energi seringkali digantikan oleh faktor produksi lainnya. Sehingga seolah-olah perubahan penggunaan energi yang digunakan ini tidak membawa dampak yang berarti terhadap penambahan output yang didapatkan.

Sergeant, et. al. (2003) melakukan penelitian tentang sektor migas di Negara Trinidad dan Tobago. Lewat penelitian ini, ingin diketahui bagaimana trend dan kebijakanan sektor energi berdampak terhadap sektor lainnya dalam sistem perekonomian secara keseluruhan. Secara khusus penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dari suksesi.

Oleh karena itu data yang digunakan adalah data pada rentang waktu saat suksesi pemerintahan di Negara tersebut terjadi, yaitu data runtut waktu periode tahun 1985-2000. Gambar 3 di bawah menunjukkan garis besar hubungan antara sektor migas dengan sektor lain dalam perekonomian Negara Trinidad dan Tobago. Sektor migas menggunakan jasa dan membayarkan upah dan gaji kepada rumah tangga. Selanjutnya uang yang diterima akan berpengaruh terhadap perekonomian melalui belanja rumah tangga, sebagian ditabung dan sebagian lainnya diinvestasikan.


(54)

Tindakan rumah tangga akan berpengaruh terhadap indikator ekonomi secara keseluruhan. Belanja barang akan berpengaruh terhadap pasar barang, jumlah uang yang dibelanjakan mempengaruhi permintaan akan uang, yang selanjutnya memengaruhi harga uang dan suku bunga. Kemudian secara bersama- sama semuanya akan berpengaruh terhadap tingkat suku bunga, mempengaruhi harga dan memicu inflasi atau deflasi.

Keputusan investasi di sektor migas akan diikuti dengan belanja barang dan jasa untuk kebutuhan operasional. Belanja yang dilakukan sektor migas akan berpengaruh terhadap struktur pasar, merubah permintaan barang dan jasa yang kemudian berpengaruh terhadap pembentukan harga. Pembelian barang dan jasa oleh sektor migas seringkali diikuti dengan peningkatan investasi di sektor lain yang ditunjukan dengan peningkatan aktifitas perdagangan, pendirian perusahaan jasa dan pabrikasi barang. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerintah akan mendapat income atau penerimaan dari sektor migas dalam bentuk pajak dan royalti. Tentu saja hal ini akan menambah kemampuan belanja pemerintah. Sebaliknya dalam upaya untuk meningkatkan ketertarikan perusahaan untuk melakukan investasi di sektor migas maka pemerintah dapat memberikan insentif.

Sektor hulu migas menghasilkan produk yaitu minyak mentah dan gas. Hasil ini kemudian diolah lebih lanjut menjadi bahan bakar minyak, petrochemical dan produk gas yang dapat digunakan oleh sektor lain sebagai bahan baku atau bahan pendukung untuk bahan bakar.

Penelitian menyimpulkan bahwa sepanjang tahun penelitian sektor energi, termasuk sektor migas, terbukti memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Trinidad dan Tobago. Hal ini dibuktikan dengan indikator


(55)

ekonomi yaitu GDP, penerimaan Negara dan meningkatnya nilai tukar seiring dengan peningkatan investasi di sektor migas. Penelitian juga menyimpulkan bahwa sektor migas berpengaruh terhadap perekonomian lokal. Oleh karen itu, kebijakan membuka ruang dan akses bagi penguasa lokal terhadap sektor energi dan migas menjadi sangat penting.

Sumber : CEPAL/GTZ Project , 2001

Gambar 3. Hubungan Sektor Migas dan Sektor Lainnya dalam Perekonomian

Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap perekonomian dan kemudian berdampak kepada sektor lainnya adalah harga minyak. Bahkan bisa dikatakan harga minyak merupakan signal pokok dalam melakukan transisi energi (Andrew 2003). Demikian juga harga migas berdampak pada peningkatan penerimaan Negara dan pada sisi lain juga menjadi sebab terjadinya inflasi.

Namun demikian, Omowumi dan Williem (2006) menemukan bukti yang berbeda dengan Andrew. Dengan menggunakan Vector Autoregressive (VAR) diperoleh bukti impiris bahwa ekonomi nasional (Amerika) ternyata tidak bereaksi

Sektor Migas Rest of the Economy Sektor Pemerintah Penerimaan Pemerintah Pengeluaran Pemerintah Gaji dan Upah Pembelian Barang dan Jasa Pembelian Barang dan Jasa Sekt or lain


(56)

secara sensitif terhadap perubahan fluktuasi harga minyak. Sensitifitas indikator ekonomi terhadap perubahan harga minyak lebih besar terjadi di tingkat regional. Di region Teluk Mexico harga minyak tinggi diikuti dengan penurunan tingkat pengangguran. Namun di Negara bagian Amerika lainnya yang terjadi justru sebaliknya. Harga minyak tinggi justeru berdampak pada peningkatan pengangguran. Sebab banyak industri yang bergantung pada migas yang mengurangi produksinya dan menurunkan kegiatannya.

Dari analisis berdasarkan data mikro untuk setiap tingkatan industri, perusahaan atau pekerja diperoleh korelasi yang kuat antara harga minyak, output, angkatan kerja dan gaji. Hal ini selaras dengan pendapat Keane dan Prasard (1996). Harga minyak tinggi akan mengakibatkan kurva biaya perusahaan bergerak ke atas, yang berarti terjadi penurunan laba. Untuk mencapai posisi semula diperlukan penurunan harga lainnya termasuk biaya gaji. Salah satu jalan yang ditempuh adalah pengurangan karyawan atau penurunan kegiatan yang menurunkan biaya tenaga kerja per jam. Akibat berikutnya adalah terjadinya peningkatan pengangguran.

2.3. Pembangunan Berkelanjutan

Pertumbuhan adalah perubahan positif atau peningkatan perekonomian yang salah satunya dapat ditunjukan dengan peningkatan output. Sedangkan Pertumbuhan berkelanjutan dapat diartikan peningkatan output yang terjadi terus menerus dengan sumber daya yang tidak terbatas dan selalu tersedia ketika dibutuhkan. Pertumbuhan berkelanjutan atau selanjutnya juga disebut dengan pembangunan berkelanjutan secara konseptual disebarluaskan oleh the World Commission on Enviromental and Development (WCED) tahun 1987. Komisi ini


(57)

mengeluarkan laporan yang berjudul “Our Common Futures”. Laporan yang sangat terkenal ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Harlem Brundtland. Itulah sebabnya laporan ini lazim dikenal dengan sebutan Laporan Brundtland atau The Brudtland Repot. Pembangunan berkelanjutan dalam laporan tersebut didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam konteks penggunaan sumber daya alam, pembangunan berkelanjutan berarti pula peningkatan produksi dengan tidak mengabaikan lingkungan. Dengan demikian sumber daya yang dimiliki bersifat langgeng dan secara terus menerus bisa mendukung pembanguan ekonomi. Meskipun demikian para pengikut dan pendukung pembangunan serta ahli lingkungan harus sepakat bahwa kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup setara sehingga berada pada titik keseimbangan yang optimal (Saragih, 2000).

Kay et. al. (1999) mengutip pendapat Young (1992) yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga unsur, yaitu: efesiensi ekonomi, keadilan kesejahteraan dan integritas terhadap lingkungan. Senada dengan pernyataan tersebut adalah pendapat Munasinghe (1993), bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga dimensi, yaitu: dimensi ekonomi, dimensi sosiologi dan dimensi ekologi.

Dimensi ekonomi berarti pembangunan berkelanjutan menjamin proses ekonomi di dalamnya berjalan secara efesien. Dimensi sosial yang dimaksud adalah terciptanya keadilan sosial, artinya selain secara ekonomi berjalan efesien, pada saat yang sama perekonomian menciptakan keadilan dan kesejahteraan


(58)

sosial. Namun ekonomi yang sudah berjalan secara efesien dan keadilan telah terwujud harus diikuti dengan kelestarian alam yang terjaga barulah dapat dikatakan pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan yang berkelanjutan mengasumsikan ketersedian sumber daya atau material yang tiada henti. Bila ekologi tidak terjaga, terjadi perusakan lingkungan, maka akan terjadinya pemusnahan sumber daya alam. Bila hal ini terjadi maka semakin besar peluang terjadinya kelangkaan sumber daya alam. Dalam kondisi semacam ini dapat dipastikan pembangunan berkelanjutan tidak dapat terjadi.

Secara lebih spesifik, penelitian tentang pembangunan berkelanjutan yang dikaitkan dengan energi dilakukan oleh Garg et. al. (2004). Penelitian ini mengamati tiga Negara yaitu China, India dan Afrika Selatan. Kesimpulan yang dihasilkan mempertegas bahwa energi, terutama yang bersumber dari fuel fosil memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas. Produktivitas merupakan faktor pendorong terjadinya pembangunan dan sekaligus menjadi kendala untuk terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.

Garg et.al. menyampaikan bahwa pertanian dan migas adalah sumber ekonomi yang diperoleh dari alam, namun keduanya memiliki sifat yang bertentangan. Pertanian merupakan sumber daya alam yang terbarukan, sedangkan migas adalah sumber daya alam tak terbarukan. Pertanian adalah sumber daya alam yang memiliki sifat sebagai sumber daya yang berkelanjutan dan dapat terus diperbaharui, sementara migas sebaliknya. Migas pada suatu saat akan habis dan tidak mungkin lagi untuk dibuat atau dibentuk ulang. Namun, di sisi lain sumber daya alam migas memiliki kemampuan ekonomis yang tinggi


(59)

serta memiliki kemampuan untuk bekerja lebih efesien jika dibandingkan dengan pertanian.

Tetapi mengandalkan sumber daya alam migas sebagai pendukung pembangunan untuk sepanjang masa jelas bukan pilihan yang tepat. Lebih dari itu, pilihan tersebut juga tidak mungkin sebab ketersediaan sumber daya alam migas sifatnya terbatas. Menurut perkiraan cadangan minyak Indonesia tidak lama lagi akan habis. Jika produksi minyak konstan rata-rata 1 juta barel per hari, dan tidak ditemukan cadangan minyak mentah yang baru, serta tidak ditemukan tehnologi baru yang mampu mengangkat sisa-sisa cadangan, maka dalam 15 tahun lagi cadangan minyak mentah tersebut ada akan habis. Sedangkan untuk gas bumi dengan asumsi produksi tetap dan konstan seperti sekarang, maka cadangan gas akan mampu bertahan hingga 50 tahun ke depan.

Salah satu keuntungan dari pertanian dan produk pertanian adalah sifatnya yang ramah lingkungan. Konotasi terbalik jika hal ini disejajarkan dengan sektor migas. Kegiatan usaha migas, proses dan pengolahan migas, termasuk produk migas dicurigai sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Oleh karena itu pengembangan sektor migas hendaknya selalu diikuti dengan pengawasan dan analisis dampak lingkungan (amdal) yang ketat. Tidak saja dalam perencanaannya yang sudah harus mengikuti ketentuan amdal yang berlaku, namun juga dalam pelaksanaannya. Setiap tahapan diawasi dan harus mematuhi rancangan amdal yang sudah dibuat dan yang telah disetujui oleh pihak berwenang. Bahkan dalam kasus khusus diperlukan pendampingan oleh konsultan eksogen. Kasus lumpur panas Lapindo cukup memberikan bukti perlunya perencanaan dan pelaksanaan eksplorasi migas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


(60)

2.4. Peran Sektor Hulu Migas terhadap Perekonomian Indonesia

Peran minyak dan gas bumi dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari porsi sektor migas terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB), yang pada tahun 2008 mencapai 14%. Meskipun demikian, angka tersebut belum mewakili peran sektor migas secara keseluruhan karena sektor migas merupakan sektor penggerak sektor lainnya, terutama sekali sektor industri manufaktur, transportasi, listrik, dan sebagainya. Data EIA tahun 2003 seperti yang dikutip oleh Surjadi (2006), memperlihatkan bahwa penggunaan minyak dalam konsumsi energi primer di Indonesia mencapai sebesar 50.7%. Ini berarti lebih dari separuh konsumsi energi primer yang menggerakkan ekonomi nasional berasal dari minyak dan gas bumi.

Peran sektor hulu migas juga bisa dilihat dari sisi penerimaan Negara. Tetera pada dokumen LKPP dan APBN dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 bahwa dalam lima tahun terakhir sektor migas mampu menyumbang pendapatan Negara rata-rata sekitar 25%. Pada tahun 2005 total penerimaan dalam APBN mencapai Rp 490 triliun. Sebesar 28% diantaranya atau sebesar Rp 138 triliun diperoleh dari sektor hulu migas. Tahun 2006 kontribusi sektor hulu migas dalam penerimaan APBN justru meningkat menjadi 32% atau sebesar Rp 201 triliun dari sekitar Rp 636 triliun. Tahun berikutnya, tahun 2007 turun menjadi 24%, dan naik lagi di tahun 2008 menjadi 29% yang salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Tahun 2009, harga minyak relatif lebih rendah sehingga mengakibatkan penerimaan dari sektor migas akan turun menjadi sebesar Rp 227 triliun atau hanya sebesar 23% dari penerimaan di APBN. Penerimaan Negara dari sektor hulu migas tahun 2010 meningkat dibandingkan


(61)

tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 247 triliun. Namun karena target penerimaan Negara secara total juga meningkat, maka secara prosentase, terhadap total penerimaan sektor hulu migas sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 23%.

Penerimaan dari sektor hulu migas tersebut belum termasuk penerimaan Negara yang berasal dari deviden pertamina dan PGN. Jika deviden PT. Pertamina (persero) sebesar Rp 20 triliun dan PGN sebesar Rp 4.4 triliun maka keseluruhan peran sektor migas dalam penerimaan migas sebesar 25%. Namun proporsi penerimaan migas ini jauh menurun dibanding proporsi pada 1980 yang memberi kontribusi 70% penerimaan Negara (Syeirazi, 2009). Data ini menggambarkan bahwa bahwa telah terjadi perubahan yang cukup besar dalam komposisi penerimaan Negara. Pada saat ini penerimaan pajak lebih mendominasi penerimaan Negara secara total.

Peran sektor migas terhadap penerimaan Negara dapat diukur dengan melihat dampak penerimaan Negara ketika terjadi pergerakan harga minyak. Meskipun harus disadari bahwa kenaikan harga minyak mentah pada sisi hulu migas merupakan anugerah karena akan meningkatkan penerimaan Negara, namun sebaliknya di sisi hilir migas, kenaikan harga minyak mentah dunia merupakan malapetaka. Sebab kenaikan harga minyak mentah akan meningkatkan pengeluaran untuk subsidi BBM. Oleh karena itu dampak kenaikan harga minyak mentah secara total berdampak tidak terlalu besar terhadap penerimaan Negara atau bahkan apabila kebijakan subsidi yang dibuat Pemerintah tidak tepat, maka kenaikan harga minyak mentah berdampak buruk terhadap penerimaan Negara.

Mudrajad, et. al. (2009) menyampaikan, bahwa kenaikan harga minyak mentah berdampak terhadap kenaikan subsidi BBM yang diikuti dengan


(62)

meningkatnya defisit APBN. Biasanya Pemerintah akan memangkas anggaran pos-pos lainnya, termasuk pendidikan, kesehatan dan anggaran pembangunan. Sedangkan di sisi penerimaan pemerintah akan memacu BUMN agar dapat meningkatkan laba dan juga tidak menutup kemungkinan untuk mencari sumber lainnya termasuk dari hutang. Defisit APBN akan menyebabkan kemampuan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang dilakukan melalui kebijakan fiskal terutama dari sisi belanja. Di sisi lain BBM adalah faktor penting dan merupakan sumber energi primer untuk proses produksi dan transportasi dan karenanya akan berpengaruh terhadap perekonomian. Kenaikan harga minyak yang menyebabkan peningkatkan ongkos produksi BBM yang berdampak pada kenaikan harga BBM.

Hal ini juga akan menurunkan gairah kegiatan produksi barang-barang dalam negeri dan juga barang ekspor terutama untuk industri-industri yang mengandalkan energi primer dari BBM. Di sisi lain kenaikan harga BBM akan menyebabkan inflasi. Harga-harga barang secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya harga minyak. Dampak berikutnya akan menyebabkan kemampuan daya beli masyarakat akan turun dan akan meningkatkan angka kemiskinan.

Selain itu, kenaikan harga BBM juga akan mempengaruhi kesempatan kerja. Pada saat harga BBM menaikan biaya produksi, maka perusahaan-perusahaan umumnya hanya mampu melakukan toleransi pada tingkat biaya tertentu. Jika BBM tidak bisa tergantikan sebagai sumber energi utama, maka efesiensi akan diupayakan dari pos lainnya. Salah satunya dari biaya tenaga kerja yaitu dengan mengurang jumlah tenaga kerja atau memperketat rekruitmen tenaga


(63)

kerja yang akan berdampak terhadap penurunan kesempatan kerja yang akhirnya akan berakibat terhadap kenaikan jumlah pengangguran.

Tabel 3. Konsumsi Minyak dan Gas Bumi Indonesia Tahun 2006-2010

Sumber: BP Statistics, 2011

Dari tahun ke tahun konsumsi minyak mentah dan gas bumi Indonesia terus meningkat (lihat Tabel 3). Hanya pada tahun 2007 konsumsi minyak mentah turun dan gas bumi lebih rendah dibandingkan tahun 2006. Namun secara rata-rata konsumsi minyak mentah Indonesia naik sebesar 1.2% per tahun pada periode 2006-2010. Demikian juga dengan konsumsi gas alam yang terus meningkat dari tahun ke tahun yang secara rata-rata laju kenaikannya mencapai 5.1% per tahun.

Kenaikan konsumsi migas untuk energi pada umumnya terjadi karena kenaikan jumlah penduduk dan industrialisasi yang bergerak sangat cepat. Persaingan industri yang semakin ketat menuntut agar industri bekerja efesien. Untuk itu diperlukan teknologi yang semakin canggih, pemindahan dan transportasi barang yang semakin cepat serta informasi yang semakin efisien. Upaya ini berdampak pada peningkatan kebutuhan akan sumber energi.

Peningkatan atau tambahan produksi migas hanya bisa terjadi bila terdapat penemuan cadangan baru, peningkatan kegiatan operasional perminyakan seperti pengeboran sumur baru dan perawatan sumur-sumur lama, dan penerapan tehnologi baru.

Pada saat ini produksi migas Indonesia lebih banyak ditopang oleh produksi dari lapangan-lapangan tua. Temuan cadangan baru dan produksi dari

Je nis Satuan 2006 2007 2009 2010 2011

Minyak Ribu Barrel per Hari 1240.1 1270.1 1264.2 1288.9 1304.5


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

10. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan