Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, Dan Nutrient Film Technique Untuk Budidaya Tanaman Kentang.

RANCANG BANGUN SISTEM HIDROPONIK KOMBINASI
IRIGASI TETES, SUMBU, DAN NUTRIENT FILM TECHNIQUE
UNTUK BUDIDAYA TANAMAN KENTANG

YOHANES BAYU SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rancang Bangun Sistem
Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk
Budidaya Tanaman Kentang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016

Yohanes Bayu Suharto
NIM F151130051

RINGKASAN
YOHANES BAYU SUHARTO. Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi
Irigasi Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman
Kentang. Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO dan ANAS
DINURROHMAN SUSILA.
Peningkatan produktivitas kentang dengan budidaya konvensional semakin
sulit dilakukan karena luas lahan di dataran tinggi yang semakin terbatas, kondisi
kesuburan tanah yang menurun, dan rentan terhadap erosi tanah. Di Indonesia
umumnya budidaya kentang dilakukan pada lahan dengan kemiringan curam di
dataran tinggi sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap erosi tanah.
Sistem hidroponik dapat menjadi salah satu metode yang efektif sebagai alternatif
budidaya kentang yang dapat menekan terjadinya erosi tanah dan meningkatkan
kualitas hasil produksi kentang. Tujuan umum penelitian ini adalah merancang
sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang. Sistem hidroponik yang

dirancang merupakan kombinasi dari tiga sistem hidroponik dasar, yaitu sistem
irigasi tetes, sistem sumbu, dan sistem Nutrient Film Technique (NFT). Sistem
hidroponik telah berhasil dibangun sesuai dengan konsep rancangan dan kemudian
digunakan untuk budidaya tanaman kentang. Bedeng tanaman dibuat dari plywood
dengan ketebalan 1.2 cm yang dilapisi dengan plastik polyethylene hitam,
sedangkan tutupnya adalah styrofoam dengan ketebalan 2 cm. Simulasi
Computational Fluid Dynamic (CFD) digunakan untuk menggambarkan distribusi
suhu daerah perakaran pada bedeng tanaman. Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
dan Algoritma Genetika (AG) digunakan untuk optimasi nilai Electrical
Conductivity (EC) larutan hara. Tanaman kentang kultivar Granola ditanam pada
sistem hidroponik dengan dua perlakuan nilai EC larutan hara AB Mix yang berbeda,
yaitu 1.8 mS dan 2.5 mS.
Simulasi CFD mampu menggambarkan distribusi suhu daerah perakaran
pada bedeng tanaman secara akurat dengan nilai R2 0.9837 dan rata-rata error
sebesar 1.86%. Tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik pada sistem
hidroponik dan mampu menghasilkan umbi meskipun suhu daerah perakaran
tanaman mencapai 30.4 °C atau sekitar 10 °C di atas suhu optimal 20 °C. Tanaman
kentang yang ditanam pada perlakuan nilai EC larutan hara 1.8 mS menghasilkan
jumlah umbi rata-rata 4.3 umbi dan berat umbi rata-rata 77.2 g per tanaman.
Sementara tanaman kentang yang ditanam pada perlakuan nilai EC larutan hara 2.5

mS menghasilkan jumlah umbi rata-rata 4.6 umbi dan berat umbi rata-rata 60.0 g
per tanaman. Kinerja model JST dalam identifikasi sistem sudah cukup baik,
sedangkan model GA telah berhasil digunakan dalam optimasi nilai EC larutan
nutrisi sehingga diperoleh nilai EC yang optimal sebesar 1.8 mS dengan prediksi
jumlah umbi rata-rata 9.67 umbi dan berat umbi rata-rata 158.3 g per tanaman. Hasil
ini menunjukkan bahwa sistem hidroponik kombinasi yang dikembangkan dapat
digunakan dalam budidaya tanaman kentang.
Kata kunci: sistem hidroponik, budidaya kentang, simulasi CFD, model JST, model
AG, suhu daerah perakaran

SUMMARY
YOHANES BAYU SUHARTO. Design of a Hydroponic System with
Combination of Drip Irrigation, Wick, and Nutrient Film Technique for Potato
Cultivation. Supervised by HERRY SUHARDIYANTO and ANAS
DINURROHMAN SUSILA.
It is difficult to increase the productivity of potatoes with conventional
cultivation because of limited upper land, declined of soil fertility, and vulnerable
to soil erosion. Potato cultivation in Indonesia is mostly carried out in upper land
with steep slope that also contribute a significant portion in annual volume of
eroded soil. Hydroponic system could be an effective method as the alternative for

potato cultivation while avoiding soil erosion and increasing the quality of potato
yield. The general objective of this research was to develop a hydroponic system
for potato cultivation. Developed hydroponic system was a combination of three
basic hydroponic systems, i.e. drip irrigation system, wick system, and Nutrient
Film Technique (NFT) system. The combined hydroponic systems had been
constructed successfully and used for potato cultivation. The plant beds were made
from plywood with 1.2 cm thickness coated with black polyethylene plastic, while
its covers was styrofoam with 2 cm thickness. Computational Fluid Dynamic (CFD)
simulation was used to describe the root zone temperature distribution in a
hydroponic bed. Artificial Neural Network (ANN) and Genetic Algorithm (AG)
models were used in optimization of the Electrical Conductivity (EC) value of
nutrient solution. Potatoes of Granola cultivars was grown in the developed
hydroponic systems with different treatment of EC values of AB Mix nutrient
solution, i.e. 1.8 mS and 2.5 mS.
CFD simulation was capable to describe the temperature distribution of
nutrient solution inside the hydroponic bed accurately with R2 value of 0.9837 and
average error of 1.86%. Potato plants grown in hydroponic system performed well.
It produced tubers although the root zone temperatures reached 30.4 °C or about
10 °C above the optimum temperature of 20 °C. Plants grown at EC value of
nutrient solution 1.8 mS treatment produced tubers at the average number of 4.3

tubers and average weight of tuber 77.2 g per plant. While, that grown at nutrient
solution with EC value of 2.5 mS produced tubers at the average number of 4.6
tubers and average weight of tuber 60.0 g per plant. The performance of ANN
model in system identification was good enough, while the GA model was
successfully used in optimizing the EC value of nutrient solution. Results showed
that optimum value of EC was 1.8 mS with the predicted average number of tuber
9.67 tubers and average weight of tuber 158.3 g per plant. It was demonstrated that
the combined hydroponic system could be used in potato cultivation.
Keywords: hydroponic system, potato cultivation, CFD simulation, ANN model,
GA model, root zone temperature

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


RANCANG BANGUN SISTEM HIDROPONIK KOMBINASI
IRIGASI TETES, SUMBU, DAN NUTRIENT FILM TECHNIQUE
UNTUK BUDIDAYA TANAMAN KENTANG

YOHANES BAYU SUHARTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi

Judul Tesis


Nama
NIM

: Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes,
Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman
Kentang
: Yohanes Bayu Suharto
: F151130051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Anas D Susila, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 April 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah sistem
hidroponik dengan judul Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi
Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman Kentang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto,
MSc dan Bapak Prof Dr Ir Anas Dinurrohman Susila, MSi selaku komisi
pembimbing yang telah banyak membimbing penulis dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi
selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc selaku ketua Program
Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan yang telah memberikan saran untuk
menyempurnakan karya ilmiah ini. Terima kasih juga kepada DIRJEN DIKTI yang
telah memberikan beasiswa BPPDN Calon Dosen kepada penulis selama 2 tahun.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, keluarga serta
teman-teman atas segala doa dan perhatiannya.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian karya ilmiah
ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis
akan menerima saran, masukan dan kritikan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Juni 2016
Yohanes Bayu Suharto

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Tanaman Kentang
Sistem Perakaran Kentang
Fase Pertumbuhan Tanaman Kentang
Sistem Hidroponik
Pengelolaan Hara dalam Sistem Hidroponik
Computational Fluid Dynamics
Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetika

4
4
5
6
6
7
8
10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Konsep Rancangan Sistem Hidroponik
Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD
Budidaya Tanaman dan Pengukuran
Identifikasi Menggunakan Model Jaringan Syaraf Tiruan
Optimasi Menggunakan Model Algoritma Genetika

11
11
11
11
11
14
18
20
22

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Hidroponik untuk Budidaya Tanaman Kentang
Iklim Mikro di dalam Screenhouse
Suhu Daerah Perakaran Tanaman Kentang
Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kentang
Identifikasi Jumlah dan Berat Umbi Kentang dengan Model JST
Optimasi nilai EC Larutan Hara dengan Algoritma Genetika

24
24
25
27
28
32
35
38

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

41
41
41

DAFTAR PUSTAKA

42

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

61

DAFTAR TABEL
Komposisi larutan hara untuk tanaman kentang (Molders et al. 2012)
Kebutuhan EC dan pH larutan hara bagi beberapa tanaman sayuran
Sifat fisik material bedeng hidroponik
Input kondisi awal dan kondisi batas simulasi CFD
Sistem penilaian numerik serangan penyakit
Perbandingan hasil pengukuran suhu udara dan larutan hara di dalam
bedeng tanaman dengan simulasi CFD
7 Rata-rata jumlah dan berat umbi per tanaman pada masing-masing
perlakuan
8 Nilai pembobot pada model JST
1
2
3
4
5
6

7
8
17
17
20
30
34
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Morfologi tanaman kentang (Struik 2007)
Fase pertumbuhan tanaman kentang (Dianawati 2013)
Struktur JST backpropagation (Arif 2008)
Rancangan sistem hidroponik
Bedeng tanaman : pipa nutrisi (a), rockwool (b), keranjang (c), sumbu
(d), pipa pembuangan (e), dan ember penampung (f)
Tahapan simulasi dengan CFD
Model geometri bedeng tanaman untuk simulasi CFD
Tanaman kentang umur 8 HST
Skema titik-titik pengukuran distribusi suhu (•)
Struktur model JST
Prosedur optimasi menggunakan Algoritma Genetika (Arif 2008)
Tahapan optimasi nilai EC larutan hara dengan JST dan AG
Sistem hidroponik yang dibangun: tangki nutrisi (a), pompa air celup (b),
selang emiter (c), timer (d), dan ember penampung (e)
Tiga sistem dasar hidroponik: irigasi tetes (a), sumbu (b), dan NFT (c)
Suhu udara dan radiasi matahari di dalam screenhouse pada fase vegetatif
(a) dan fase tuberisasi (b)
Suhu daerah perakaran tanaman kentang pada fase vegetatif (a) dan fase
tuberisasi (b)
Jumlah cells dan iterasi pada proses simulasi CFD
Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase
vegetatif : pagi (a) dan siang (b)
Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase
vegetatif : pagi (a) dan siang (b)
Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase
tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

5
6
10
13
14
16
17
19
19
21
22
23
24
25
26
27
28
29
29

21 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase
tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)
22 Hubungan antara suhu di dalam bedeng tanaman hasil pengukuran dan
simulasi CFD
23 Rata-rata pertumbuhan vegetatif tanaman kentang: tinggi tanaman (a)
dan jumlah daun (b)
24 Pertumbuhan vegetatif tanaman kentang
25 Gejala penyakit hawar daun pada tanaman kentang
26 Umbi kentang yang terbentuk pada penanaman secara hidroponik dengan
perlakuan nilai EC larutan hara 1.8 mS (kiri) dan 2.5 mS (kanan)
27 Nilai R2 dan RMSE proses pembelajaran model JST pada identifikasi
jumlah umbi (a) dan berat umbi (b)
28 Perbandingan data hasil pengukuran dan data prediksi model JST: jumlah
umbi (a) dan berat umbi (b)
29 Kurva evolusi pencarian nilai fitness yang optimal
30 Kurva evolusi pencarian nilai EC larutan hara yang optimal dengan
model AG
31 Rata-rata jumlah umbi (a) dan berat umbi (b) kentang per tanaman hasil
prediksi dengan nilai EC larutan hara hasil optimasi

30
30
32
33
33
33
35
36
37
39
39
40

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Bagian-bagian bedeng hidroponik
Gambar teknik bedeng tanaman
Gambar teknik keranjang
Gambar teknik rockwool dan sumbu
Gambar teknik tangki nutrisi
Gambar teknik pipa nutrisi
Gambar teknik ember penampung
Proses pembuatan sistem hidroponik
Pertumbuhan tanaman kentang pada sistem hidroponik
Hasil budidaya kentang dengan sistem hidroponik pada EC larutan hara
1.8 mS dan 2.5 mS
11 Tampilan program identifikasi model JST dan optimasi AG pada
Microsoft Excel
12 Data input dan output proses pembelajaran model JST
13 Data input dan output proses validasi model JST

47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
60

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kentang (Solanum tuberosum L.) menjadi komoditas penting ke empat dunia
setelah padi, jagung dan gandum (Sumartono dan Sumarni 2013). Pada tahun 2014
produksi kentang nasional sebesar 1.348 juta ton. Sementara penggunaan kentang
sebagai bahan makanan dan bibit bisa mencapai 1.428 juta ton pada tahun 2014.
Konsumsi kentang oleh rumah tangga terus meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 12.57% per tahun pada periode tahun 2011–2015.
Perkembangan konsumsi kentang yang terus meningkat dari tahun ke tahun
menyebabkan pemerintah harus mengimpor kentang untuk memenuhi kebutuhan
kentang di Indonesia. Jumlah impor kentang yang masuk ke Indonesia mencapai 86
ribu ton pada tahun 2014 (Pusdatin 2015).
Meskipun telah lama dibudidayakan, namun produktivitas kentang di
Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2014 produktivitas kentang hanya
sebesar 17.29 ton ha-1 dari luas areal tanam 76,090 ha (BPS 2015). Sementara
potensi hasil kentang dapat mencapai 25 ton ha-1 (Dianawati 2013). Menurut
Sumarni et al. (2013a), penyebab rendahnya produktivitas kentang di Indonesia
antara lain : (1) masih dibudidayakan secara konvensional, (2) lahan dataran tinggi
yang sesuai untuk budidaya kentang semakin terbatas, dan (3) sebagai daerah
tropika basah, Indonesia adalah daerah yang optimal bagi perkembangan hama dan
penyakit tanaman kentang.
Peningkatan produktivitas kentang dengan budidaya konvensional semakin
sulit dilakukan karena luas lahan di dataran tinggi yang semakin terbatas, kondisi
kesuburan tanah yang menurun, dan rentan terhadap erosi tanah. Menurut Henny et
al. (2011), penanaman kentang pada lahan miring di dataran tinggi dengan sistem
guludan yang searah lereng berkontribusi paling besar terhadap erosi tanah yaitu
sebesar 22.94 ton ha-1. Selain itu, Kusmantoro (2010) berpendapat bahwa tanaman
kentang yang dibudidayakan secara monokultur sering menyebabkan terjadinya
erosi. Semakin tinggi wilayah usaha tani, maka semakin besar risiko terjadinya
erosi tanah. Oleh karena itu, perlu alternatif teknik budidaya untuk meningkatkan
produktivitas kentang dan menekan terjadinya erosi tanah sebagai upaya konservasi
lahan di dataran tinggi.
Pengembangan teknologi dalam budidaya kentang dengan sistem hidroponik
menjadi salah satu alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
produktivitas kentang dan sebagai upaya konservasi lahan di Indonesia. Teknik
budidaya secara hidroponik merupakan salah satu upaya untuk memperoleh produk
pertanian yang berkualitas, sehat, bebas pestisida, seragam dan dapat dilakukan
secara kontinyu. Menurut Sumartono dan Sumarni (2013), keuntungan budidaya
secara hidroponik untuk produksi benih kentang antara lain : (1) hasil produksi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional, (2) serangan hama dan
penyakit tanaman lebih rendah, dan (3) kontrol nutrisi bagi tanaman lebih mudah
dilakukan. Selain itu, kentang dapat dipanen secara kontinyu dalam upaya
menyediakan suplai makanan yang berkelanjutan (Molders et al. 2012).
Saat ini, sistem hidroponik yang digunakan dalam budidaya tanaman kentang
masih terbatas untuk produksi benih kentang. Benih kentang hasil dari penanaman

2
dengan sistem aeroponik dianggap memiliki kualitas yang lebih baik daripada yang
diproduksi secara konvensional. Upaya peningkatan produksi benih kentang secara
hidroponik telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain oleh Correa et al.
(2009), Sumartono dan Sumarni (2013), dan juga secara aeroponik oleh Otazu
(2010), Sumarni et al. (2013a,b) dan Dianawati (2013). Bahkan di Eropa penelitian
hidroponik kentang telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan misi luar angkasa
yang dilakukan oleh Molders et al. (2012). Namun, produksi kentang untuk
konsumsi di Indonesia pada umumnya masih dibudidayakan secara konvensional.
Oleh karena itu, perlu dirancang sebuah sistem hidroponik dengan harapan mampu
memberikan kondisi optimal bagi pertumbuhan kentang untuk dapat menghasilkan
umbi dengan ukuran konsumsi dan memiliki kualitas serta kuantitas umbi yang
lebih baik.
Salah satu parameter yang menjadi masalah dan perlu diperhatikan dalam
perancangan sistem hidroponik untuk budidaya kentang adalah distribusi suhu pada
daerah perakaran. Suhu perakaran mempengaruhi proses fisiologi pada akar seperti
penyerapan air, hara, dan mineral. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
stress pada tanaman dan terjadinya penghambatan inisiasi umbi. Salah satu metode
yang dapat digunakan untuk menggambarkan distribusi suhu pada daerah perakaran
sistem hidroponik adalah dengan analisis Computational Fluid Dynamics (CFD).
Menurut Sumarni (2013), analisis menggunakan CFD memungkinkan dapat
diperolehnya informasi secara detail mengenai pola dinamika fluida. Sumarni et al.
(2013a) telah melakukan simulasi distribusi suhu di dalam sistem aeroponik dengan
pendinginan daerah perakaran menggunakan CFD, dan diperoleh potongan kontur
dan vektor yang dapat memvisualisasikan distribusi suhu dan distribusi semprotan
larutan hara di dalam bedeng aeroponik secara jelas.
Pada budidaya kentang dengan sistem hidroponik juga belum diketahui nilai
konsentrasi larutan hara yang optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi
konsentrasi larutan hara untuk mendapatkan hasil umbi yang maksimal dalam
budidaya kentang secara hidroponik. Dalam hal ini, konsentrasi larutan hara
dipresentasikan dengan nilai konduktivitas listrik atau Electrical Conductivity
(EC). Menurut Suhardiyanto (2009), hubungan antara parameter input dan output
dapat diidentifikasi dengan pendekatan black box menggunakan model Jaringan
Syaraf Tiruan (JST) yang selanjutnya optimasi EC larutan hara dilakukan
menggunakan model Algoritma Genetika (AG). Metode ini menggunakan faktor
lingkungan sebagai input dan respon tanaman sebagai output dari sistem. Menurut
Arif (2008), JST ini memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sistem tanaman
dinamik kompleks yang tidak diketahui (unknown a complex dynamic system).
Selain itu, JST mampu untuk mempelajari data pengukuran dan kemudian
mengeneralisirnya. AG juga merupakan metode optimasi yang tepat digabungkan
dengan model JST untuk identifikasi. AG menyelesaikan fungsi objektif yang
kompleks dengan prosedur pencarian multi-point dengan simulasi proses evolusi
biologi berdasarkan penyilangan dan mutasi genetika. Arif (2008) dan
Suhardiyanto et al. (2009) menggunakan metode ini untuk optimasi nilai EC dalam
produksi tomat secara hidroponik.

3
Perumusan Masalah
Peningkatan produksi kentang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di
Indonesia perlu dilakukan, mengingat konsumsi kentang yang terus meningkat
setiap tahunnya. Selain itu, upaya konservasi di lahan kering berlereng perlu
dilakukan. Lahan berlereng pada umumnya rentan terhadap erosi tanah apabila
dalam pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah.
Pengembangan teknologi budidaya dengan sistem hidroponik merupakan salah satu
alternatif dalam proses intensifikasi. Namun belum ada sistem hidroponik yang
digunakan untuk memproduksi kentang ukuran konsumsi. Selama ini budidaya
kentang dengan sistem hidroponik masih sebatas untuk produksi benih kentang.
Oleh karena itu, pengembangan sistem hidroponik untuk budidaya kentang
memiliki potensi dalam meningkatkan produksi kentang dan menekan terjadinya
erosi tanah di lahan dataran tinggi.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merancang sistem hidroponik dengan
kombinasi sistem irigasi tetes, sumbu, dan nutrient film technique untuk budidaya
tanaman kentang. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Menganalisis distribusi suhu di daerah perakaran pada sistem hidroponik.
2. Melakukan identifikasi hubungan parameter lingkungan pertumbuhan tanaman
kentang yang dibudidayakan secara hidroponik dengan jumlah dan berat umbi
kentang yang dihasilkan.
3. Melakukan optimasi untuk menentukan nilai EC larutan hara yang optimal pada
sistem hidroponik tanaman kentang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif rancang bangun
sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang yang mampu menghasilkan
kentang yang berkualitas, sehat, bersih, bebas pestisida, seragam dan dapat
diproduksi secara kontinyu. Budidaya kentang dengan sistem hidroponik ini juga
diharapkan dapat menekan terjadinya erosi tanah pada lahan di dataran tinggi.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam
pengembangan sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang selanjutnya
sehingga diharapkan budidaya tanaman kentang dapat dilakukan di dataran yang
lebih rendah.
Ruang Lingkup Penelitian
Percobaan penanaman kentang secara hidroponik dilakukan di dalam
screenhouse pada ketinggian 1200 m dpl. Penelitian ini dimulai dengan merancang
dan membuat sistem hidroponik yang sesuai untuk budidaya tanaman kentang.
Kemudian dilakukan penanaman kentang pada sistem hidroponik yang telah
dibangun. Data pertumbuhan dan hasil tanaman yang meliputi tinggi tanaman,
jumlah daun, intensitas penyakit, jumlah umbi dan berat umbi per tanaman diukur
selama penelitian. Selain itu, data iklim mikro di dalam screenhouse di catat selama
penelitian berlangsung. Data pengukuran suhu di dalam bedeng tanaman sistem

4
hidroponik digunakan sebagai input dan validasi simulasi CFD. Simulasi CFD
dibatasi pada bedeng tanaman dengan asumsi tidak ada pengaruh radiasi permukaan
dan pola aliran udara akibat adanya bangunan dan peralatan lainnya di sekitar
bedeng tanaman di dalam screenhouse. Geometri bedeng tanaman untuk simulasi
diasumsikan sebagai geometri tunggal tanpa adanya geometri lain yang dapat
mempengaruhi variabel fisik bedeng tanaman. Selanjutnya dilakukan identifikasi
dan menentukan hubungan antara parameter input dan output dengan pendekatan
black box menggunakan model JST serta melakukan optimasi EC larutan hara
untuk budidaya tanaman kentang secara hidroponik menggunakan model AG.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Tanaman Kentang
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman tahunan
(perennial herb) yang umumnya diperbanyak dengan umbi bibit (Struik 2007).
Umbi bibit menghasilkan mata tunas yang akan berkembang menjadi pucuk dan
menghasilkan akar dari primordia tunasnya. Dari pucuk inilah dapat terbentuk
batang, daun, stolon, akar, bunga, dan umbi. Morfologi tanaman sangat tergantung
pada ukuran dan umur fisiologis umbi bibit yang ditanam. Gambar 1 menunjukkan
morfologi umum tanaman kentang, yang terdiri atas:
(A) tanaman utuh: 1) umbi bibit; 2) stolon; 3) stolon yang menjadi batang lateral di
bawah tanah; 4) umbi; 5) akar; 6) batang utama; 7) batang lateral di atas tanah;
8) daun majemuk; 9) lembaran daun; 10) pucuk; 11) bunga; dan 12) buah,
(B) bunga: 1) kelopak; 2) benang sari, terdiri atas tangkai sari dan kepala sari; 3)
putik: 3.1) ovarium, 3.2) tangkai putik, dan kepala putik; dan 4) mahkota bunga,
(C) buah: 1) bentuk utuh; 2) potongan longitudinal; dan 3) potongan tranversal,
(D) pembentukan bibit: 1) pembentukan bibit setelah tumbuh; dan 2) pembentukan
umbi bibit setelah tuberisasi: 2.1) stolon, 2.2) umbi kecil,
(E) bagian perakaran: 1) umbi bibit; 2) stolon; 3) umbi yang baru muncul; 4) umbi
kecil, dengan mata tunas; dan 5) akar,
(F) umbi: 1) dasar (ujung stolon); 2) apikal; 3) mata tunas apikal; 4) mata tunas
lateral; 5) kulit; 6) korteks; 7) sistem vaskular; 8) jaringan parenkim; dan 9) inti
umbi, dan
(G) tunas tunggal pada umbi bibit: 1) bagian dasar; 2) pucuk; 3) tunas terminal; 4)
rambut; 5) tunas yang tidak berkembang; 6) tunas yang berkembang menjadi
batang lateral; 7) pucuk akar; 8) lentisel; dan 9) tunas utama yang berkembang
menjadi batang utama.

5

Gambar 1 Morfologi tanaman kentang (Struik 2007)
Sistem Perakaran Kentang
Tanaman kentang memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Tanaman
kentang memiliki sistem perakaran tunggang apabila ditanam dari benih botaninya
(true seeds). Namun, umumnya kentang dikembangbiakkan secara vegetatif dengan
umbi bibit sehingga sistem perakarannya menjadi serabut. Akar pertama dapat
muncul selama masa pra-kecambah. Sistem perakaran kentang agak rapuh,
sehingga efisiensi penggunaan air dan hara menjadi rendah dan tanaman menjadi
sangat sensitif terhadap kekeringan dan struktur tanah yang miskin. Akar tanaman
tidak hanya terbentuk dari batang tetapi juga kadang-kadang pada stolon dan
bahkan pada umbi. Perakaran yang berasal dari stolon dan umbi penting dalam
menyuplai hara untuk pertumbuhan umbi, terutama karena intensitas pertumbuhan
akar menurun setelah awal pembesaran umbi (Struik 2007).
Tanaman kentang merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap
kekurangan air atau kekeringan. Bahkan pada kondisi penyiraman normal, cekaman
air terjadi selama siang hari karena laju transpirasi yang tinggi (Posadas et al. 2008,
Stark et al. 2013). Sehingga cekaman air menjadi salah satu faktor pembatas dari
hasil dan kualitas dalam produksi kentang. Batas toleransi tanaman kentang
terhadap kekeringan dan cekaman air disebabkan karena sistem perakaran kentang
yang relatif dangkal dan kecenderungan stomata untuk menutup. Sistem perakaran
kentang hanya mencapai 50–60 cm dan diperkirakan sekitar 85% panjang akar
terkonsentrasi pada kedalaman 30–40 cm di dalam tanah (Posadas et al. 2008,
Cantore et al. 2014). Sehingga untuk mendapatkan hasil yang tinggi, kandungan air
tanah tidak boleh kurang dari 50% total air tersedia di daerah perakaran, terutama
selama pembentukan umbi. Selain itu, kondisi suhu pada daerah perakaran juga
dapat mempengaruhi fisiologi akar dan inisiasi pembentukan umbi tanaman
kentang. Tanaman kentang yang ditanam pada kondisi suhu perakaran 10 C
dengan sistem aeroponik menghasilkan jumlah dan berat umbi yang lebih tinggi

6
dibandingkan pada kondisi suhu 15 dan 20 C (Sumarni et al. 2013b). Suhardiyanto
(2009) menyatakan apabila suhu di daerah perakaran dapat dipertahankan cukup
rendah, maka pertumbuhan tanaman akan cukup baik meskipun suhu udara di
bagian atas tanaman cukup tinggi.
Fase Pertumbuhan Tanaman Kentang
Menurut Struik (2007), pertumbuhan tanaman kentang terdiri atas tiga fase
yaitu fase pertumbuhan awal (emergence), fase pertumbuhan brangkasan (haulm
growth), dan fase pertumbuhan umbi (tuber growth) yang terdiri atas insiasi umbi
(tuberization) dan pembesaran umbi (tuber bulking). Sementara itu, menurut
Dianawati (2013), periode pertumbuhan awal terjadi sekitar 15 hari dari awal
penanaman, pertumbuhan vegetatif selama 45–50 hari, dan pertumbuhan umbi
selama 55–60 hari. Pembentukan dan pembesaran umbi mulai terjadi pada 35 hari
setelah tanam (HST) dan daun mulai menguning pada 90 HST (Gambar 2). Setelah
daun menguning, tanaman dibiarkan selama 10–15 hari hingga kulit umbi tidak
mudah terkelupas dan umbi siap untuk dipanen.

Gambar 2 Fase pertumbuhan tanaman kentang (Dianawati 2013)
Sistem Hidroponik
Hidroponik adalah sebuah teknologi menanam tanaman dalam larutan hara
dengan atau tanpa menggunakan media tanam tiruan seperti pasir, kerikil,
vermikulit, rock wool, dan gambut sebagai pendukung mekanik (Manohar dan
Igathinathane 2007). Sistem hidroponik dibedakan menjadi kultur air dan kultur
agregat. Pada sistem hidroponik kultur air tidak ada media pendukung lainnya
untuk akar tanaman, sementara pada kultur agregat terdapat media padat sebagai
pendukung perakaran tanaman. Selain itu, sistem hidroponik juga dikategorikan
menjadi dua sistem, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed
system). Sistem terbuka adalah sistem dimana larutan hara yang dialirkan ke
perakaran tanaman tidak digunakan kembali dan dibuang. Sedangkan sistem
tertutup adalah sistem dimana larutan hara yang berlebih akan ditampung, diisi
ulang, dan digunakan kembali sebagai larutan hara dalam sebuah sistem hidroponik.

7
Terdapat enam tipe sistem hidroponik dasar, yaitu sistem sumbu (wick
system), kultur air dengan aerasi (standing aerated nutrient solution), sistem
pasang-surut (ebb and flow nutrient solution system), sistem irigasi tetes (drip
irrigation system), sistem NFT (nutrient film technique), dan aeroponik (aeroponic).
Ada banyak variasi dari sistem hidroponik dasar tersebut, tetapi semua metode
hidroponik yang digunakan adalah kombinasi dari keenam sistem dasar tersebut.
Dalam sistem hidroponik, pergerakan larutan hara dapat terjadi secara aktif
maupun pasif. Larutan hara bergerak secara aktif ketika distribusi hara
membutuhkan tenaga listrik untuk mengalirkannya dari bak nutrisi ke media
penanaman, sedangkan pergerakan pasif terjadi ketika distribusi hara hanya
mengandalkan gaya gravitasi dan kapilaritas dari sumbu (Jones 2005).
Correa et al. (2009) membandingkan tiga sistem hidroponik untuk produksi
umbi mini untuk benih kentang. Sistem hidroponik yang digunakan adalah sistem
NFT, Deep Flow Technique (DFT), dan aeroponik. Dari ketiga sistem tersebut,
sistem aeroponik menghasilkan umbi mini terbanyak, yaitu 875 umbi/m2.
Sementara sistem NFT dan DFT menghasilkan umbi mini sebanyak 246 dan 458
umbi/m2. Selain itu, Sumarni et al. (2013a) juga mengembangkan sistem aeroponik
dengan pendinginan daerah perakaran (root zone cooling) untuk memproduksi
benih kentang. Sistem ini mampu menghasilkan umbi sebanyak 579 umbi/1.5m2
dengan suhu pendinginan 10 C.
Pengelolaan Hara dalam Sistem Hidroponik
Menurut Rosliani & Sumarni (2005), tanaman membutuhkan 16 unsur hara
untuk pertumbuhan yang berasal dari udara, air dan pupuk. Unsur-unsur tersebut
adalah karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K),
sulfur (S), kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium (Mg), boron (B), mangan (Mn),
tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo) dan klorin (Cl). Unsur-unsur C, H dan
O biasanya disuplai dari udara dan air dalam jumlah yang cukup. Unsur hara lainnya
didapatkan melalui pemupukan atau larutan hara. Suplai kebutuhan hara untuk
tanaman dalam sistem hidroponik sangat penting untuk diperhatikan. Dua faktor
penting dalam formula larutan hara, terutama jika larutan yang digunakan akan
disirkulasi (closed system) adalah komposisi dan konsentrasi larutan hara. Menurut
Molders et al. (2012), komposisi dan konsentrasi larutan hara untuk tanaman
kentang yang ditanam secara hidroponik adalah seperti yang disajikan pada Tabel
1. Hara diberikan selama pertumbuhan tanaman, baik pada fase vegetatif maupun
fase tuberisasi.
Tabel 1 Komposisi larutan hara untuk tanaman kentang (Molders et al. 2012)
Komposisi Larutan Hara
Larutan A
Ca(NO3)24H2O
Fer-chelaat
Larutan B
K2SO4
KH2PO4
MgSO47H2O

Konsentrasi (mg/L)
Fase Vegetatif

Fase Tuberisasi

530.62
18.75

530.62
18.75

437.50
150.00
511.80

137.50
675.00
383.85

8
Hara mikro
MnSO4H2O
CuSO45H2O
ZnSO47H2O
EDTA2H2ONa2
Na2MoO4
H3BO3
KCl

0.84
1.25
0.29
4.09
0.12
1.24
0.74

0.84
1.25
0.29
4.09
0.12
1.24
0.74

Selain itu, kunci utama dalam pemberian larutan hara pada sistem hidroponik
adalah pengontrolan konduktivitas listrik atau Electrical Conductivity (EC) larutan
hara. Kondisi aliran listrik di dalam air dapat diukur dengan menggunakan alat EC
meter. EC larutan hara ini untuk mengetahui cocok atau tidaknya larutan hara untuk
tanaman, karena kualitas larutan hara sangat menentukan keberhasilan produksi,
sementara kualitas larutan hara tergantung pada konsentrasinya. Semakin tinggi
garam yang terdapat dalam air, semakin tinggi EC-nya. Selain EC, pH juga
merupakan faktor yang penting untuk dikontrol. Formula nutrisi yang berbeda
mempunyai pH yang berbeda, karena garam-garam hara mempunyai tingkat
kemasaman yang berbeda jika dilarutkan dalam air. Tabel 2 menyajikan kebutuhan
EC dan pH bagi beberapa tanaman sayuran (Rosliani & Sumarni 2005).
Tabel 2 Kebutuhan EC dan pH larutan hara bagi beberapa tanaman sayuran
Jenis Sayuran
Brokoli
Kacang-kacangan
Tomat
Lobak
Bawang merah
Kubis bunga
Mentimun
Bawang daun
Labu
Bayam

EC (mS)
3.0 – 3.5
2.0 – 4.0
2.0 – 5.0
1.4 – 1.8
2.0 – 3.0
1.5 – 2.0
1.0 – 2.5
2.0 – 3.0
1.7 – 2.6
1.4 – 1.8

pH
6.0 – 6.5
6.5
6.0
6.5
6.0
5.5 – 6.6
6.5
6.5
5.5
6.5

Pada budidaya kentang dengan sistem hidroponik, belum diketahui nilai EC
larutan hara yang optimal. Molders et al. (2012) menggunakan nilai EC larutan hara
sebesar 1.8 mS selama penanaman kentang dengan sistem NFT. Otazu (2010) juga
menyatakan nilai EC larutan hara untuk produksi benih kentang dengan sistem
aeroponik sebaiknya tidak lebih dari 2.0 mS. Namun, Sumarni et al. (2013b)
menggunakan nilai EC larutan hara 1.8 mS pada fase vegetatif dan 2.5 mS pada
fase generatif untuk produksi benih kentang dengan sistem aeroponik. Bahkan
Correa et al. (2009) menyatakan sebaiknya EC dipertahankan antara 2-3 mS untuk
penanaman kentang dengan sistem NFT.
Computational Fluid Dynamics
Menurut Versteeg dan Malalasekera (2007), Computational Fluid Dynamics
(CFD) adalah suatu analisis sistem yang meliputi aliran fluida, pindah panas, dan
fenomena lain seperti reaksi kimia dengan simulasi berbasis komputer. CFD

9
menggunakan algoritma numerik yang dapat mengatasi permasalahan aliran fluida.
Secara umum, proses simulasi CFD terdiri atas tiga tahapan, yaitu prapemrosesan
(pre-processing), pencarian solusi (solving), dan pascapemrosesan (postprocessing).
Prapemrosesan (Pre-processing)
Prapemrosesan terdiri atas input dari masalah aliran ke dalam program CFD
dengan menggunakan interface yang memudahkan operator dan transformasi input
berikutnya ke dalam bentuk yang sesuai untuk digunakan oleh solver. Yang
temasuk dalam tahap prapemrosesan ini antara lain:
a. Pendifinisian geometri dan daerah perhitungan (computational domain)
b. Membentuk geometri menjadi bagian yang lebih kecil (grid generation).
c. Pemilihan fenomena-fenomena fisik dan kimia yang dibutuhkan dalam
pemodelan.
d. Pendefinisian karakteristik fluida.
e. Menentukan kondisi batas (boundary condition) yang sesuai pada model
geometri.
Penyelesaian masalah aliran (kecepatan, tekanan, suhu, dan sebagainya)
didefinisikan sebagai noda di dalam setiap sel. Keakuratan penyelesaian CFD diatur
oleh banyaknya sel pada grid. Secara umum, semakin banyak jumlah sel maka
semakin baik pula keakuratan penyelesainnya.
Pencarian solusi (Solving)
Pada tahap pencarian solusi persamaan-persamaan matematika yang
digunakan untuk memodelkan aliran didiskritisasi untuk masing-masing grid dan
dicari solusinya. Terdapat tiga aliran yang berbeda dalam teknik penyelesaian
numerik dalam mecari solusi CFD, yaitu difference, finite element, dan spectral
method. Adapun tahapan pencarian solusi CFD dengan teknik numerik antara lain:
a. Integrasi pengaturan persamaan aliran fluida atas semua kontrol volume
hingga (finite volume) pada domain.
b. Diskritisasi dengan mengkonversi hasil persamaan integral menjadi sistem
persamaan aljabar.
c. Mencari solusi dari persamaan aljabar dengan metode iteratif.
Pascapemrosesan (Post-processing)
Pada tahap akhir, yaitu pascapemrosesan, semua solusi dari parameter aliran
yang telah diperoleh akan disajikan melalui visualisasi, termasuk animasi untuk
tampilan hasil yang bersifat dinamis. Visualisasi hasil simulasi CFD tersebut
meliputi:
a. Domain geometri dan tampilan grid.
b. Plot berdasarkan vektor.
c. Plot berdasarkan kontur.
d. Plot berdasarkan permukaan dua dimensi dan tiga dimensi.
e. Pelacakan partikel.
f. Manipulasi tampilan (pemindahan, rotasi, skala, dan sebagainya).
Penerapan CFD dalam perancangan sistem hidroponik telah dilakukan oleh
Sumarni et al. (2013a). Sumarni et al. (2013a) menggunakan simulasi CFD untuk
menganalisis distribusi suhu udara di dalam bak aeroponik yang digunakan untuk
produksi benih kentang. Penelitian tersebut menghasilkan simulasi CFD yang
mampu memprediksi suhu udara rata-rata di dalam bak aeroponik secara akurat

10
dengan nilai determinasi (R2) mencapai 0.997 pada perlakuan dengan pendinginan
terbatas (zone cooling).
Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetika
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan representasi model komputer dari
otak manusia. Pada dasarnya JST tersusun dari tiga layer, yaitu input layer, hidden
layer, dan output layer (Gambar 3). Setiap layer dihubungkan dengan sinapsis yang
direpresentasikan dengan nilai pembobot yang diperoleh dari proses pembelajaran.
Salah satu metode pembelajaran JST adalah dengan algoritma backpropagation
yang menggunakan error output untuk mengubah nilai pembobotnya dalam arah
mundur. JST merupakan metode identifikasi yang tepat untuk diaplikasikan pada
sistem yang kompleks. Hubungan antara faktor lingkungan dan pertumbuhan
tanaman merupakan salah satu sistem dinamik yang dapat diidentifikasi dengan
metode ini (Suhardiyanto 2009). Algoritma pelatihan backpropagation terdiri atas
inisialisasi pembobot (weight), perhitungan nilai aktivasi, perbaikan nilai pembobot,
dan pengulangan. Setelah JST terlatih memecahkan suatu masalah, kemudian harus
dilakukan validasi yang merupakan proses pengujian kinerja jaringan terhadap
contoh yang belum diberikan selama proses pelatihan (Arif 2008).

Gambar 3 Struktur JST backpropagation (Arif 2008)
Algoritma Genetika (AG) merupakan suatu teknik pencarian dan optimasi
dengan cara meniru proses evolusi dan perubahan genetik pada struktur kromosom
makhluk hidup. AG memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, yaitu
hanya membutuhkan informasi tentang stuktur kromosom (individu) dan bentuk
fungsi fitness dari permasalahan yang dihadapi, kemudian mampu mencari sendiri
solusi yang terbaik. Operator AG sederhana terdiri atas proses seleksi dan
reproduksi. Proses seleksi merupakan proses pemilihan beberapa kromosom untuk
dijadikan kromosom induk bagi generasi berikutnya. Sedangkan proses reproduksi
merupakan suatu proses pembentukan individu baru melalui proses crossover dan
mutasi (Arif 2008).
Pada bidang teknologi hidroponik, pengembangan model JST dan AG yang
telah dilakukan antara lain untuk penjadwalan fertigasi pada sistem hidroponik
untuk tanaman ketimun (Suhardiyanto et al. 2008) dan optimasi nilai EC larutan
hara untuk produksi tomat berkualitas dengan sistem hidroponik (Suhardiyanto et
al. 2009).

11

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2015.
Perancangan sistem hidroponik, simulasi CFD, identifikasi dan optimasi dengan
model JST dan AG dilakukan di Laboratorium Lingkungan dan Bangunan
Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB. Pembuatan sistem
hidroponik dan penanaman kentang dilakukan di screenhouse Unit Lapangan
Percobaan IPB Pasir Sarongge yang berada pada ketinggian 1200 m dpl.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas multiplek
(plywood), styrofoam, sekrup, plastik polyethylene (PE) hitam, kain flanel, pipa
PVC ¾ inch, pipa PE 5 mm, selang, emiter, kawat loket (welded wiremesh) ½ inch,
arang sekam, rockwool, polybag, ember, tangki air 120 liter, fungisida dengan
bahan aktif Mankozeb 80% dan Klorotalonil 75%, insektisida dengan bahan aktif
Deltrametrin 25 g/l, dan larutan KOH. Bibit kentang yang digunakan adalah bibit
G2 kultivar Granola. Nutrisi yang digunakan adalah larutan hara hidroponik AB
Mix.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan perancangan
dan pembuatan sistem hidroponik serta instrumen pengukuran. Peralatan untuk
perancangan dan pembuatan sistem hidroponik terdiri atas seperangkat komputer,
meteran, gunting, gergaji listrik, mesin bor tangan, tang potong, pompa air celup
(model WP-3800) dan waterpass. Sedangkan instrumen pengukuran yang
digunakan adalah gelas ukur 10 ml dan 1000 ml, Hybrid Recorder Yokogawa
MV1000, termokopel tipe T, EC meter (model COM-80), pH meter (model PH108), Lightmeter (model LX-101A), timer (tipe TS-ED1), timbangan digital
(Sonic® model JSC-B), penggaris dan kamera digital.
Konsep Rancangan Sistem Hidroponik
Rancangan Fungsional
Fungsi utama sistem hidroponik yang dirancang adalah untuk
membudidayakan tanaman kentang secara hidroponik sehingga tanaman kentang
dapat tumbuh dengan baik dan mampu menghasilkan umbi. Fungsi-fungsi utama
dari sistem hidroponik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Menampung dan mendistribusikan larutan hara ke setiap tanaman
Suplai larutan hara harus selalu tersedia bagi seluruh tanaman kentang yang
dibudidayakan secara hidroponik. Larutan hara ditampung dalam satu tangki
dengan volume 120 L, kemudian disalurkan ke setiap bedeng tanaman melalui pipa
PVC ¾ inch dan didistribusikan ke setiap tanaman dengan selang emiter 5 mm.
Penyaluran larutan hara tersebut dilakukan dengan bantuan pompa air celup. Debit

12
aliran larutan hara yang keluar pada setiap emiter irigasi tetes diatur dengan
menggunakan kran.
b. Mengatur waktu penyiraman
Larutan hara tidak dapat dialirkan secara terus menerus karena suplai yang
terbatas pada tangki nutrisi sehingga penyiraman harus diatur menggunakan timer
sehingga kebutuhan hara tanaman tetap dapat terpenuhi. Pengaturan waktu
penyiraman dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan timer.
c. Menyangga tanaman dan umbi kentang yang dihasilkan
Tanaman kentang yang ditanam secara hidroponik tidak menggunakan tanah
sebagai media tumbuh tanaman. Rockwool digunakan sebagai media untuk
menyangga tanaman agar tetap dapat tumbuh tegak pada bedeng tanaman. Umbi
kentang yang terbentuk akan menggantung di dalam bedeng tanaman. Keranjang
berlubang yang dibuat dengan menggunakan kawat loket berfungsi sebagai
penyangga umbi kentang yang terbentuk agar umbi tersebut tidak mencapai dasar
bedeng dan terendam pada larutan hara, namun akar tanaman tetap dapat mencapai
dasar bedeng tanaman dan menyarap hara dari larutan hara di dasar bedeng.
d. Mengoptimalkan penyerapan hara oleh tanaman
Penanaman kentang secara hidroponik yang tidak menggunakan media tanah
menyebabkan kebutuhan hara bagi tanaman hanya disuplai dari larutan hara.
Sehingga diperlukan suatu mekanisme yang dapat mengoptimalkan penyerapan
hara oleh tanaman dari larutan hara yang diberikan. Mekanisme sumbu digunakan
untuk membantu penyerapan hara secara pasif pada masa awal pertumbuhan
tanaman karena akar tanaman masih belum mencapai dasar bedeng. Sementara itu,
mekanisme NFT berfungsi menyediakan hara yang dapat langsung diserap oleh
tanaman.
e. Mensirkulasikan larutan hara agar dapat digunakan kembali
Larutan hara yang dialirkan ke setiap bedeng tanaman akan tertampung pada
bagian dasar bedeng sampai setinggi 5 cm yang diatur dengan memberikan pipa
pembuangan pada bedeng yang langsung menuju pada ember penampung. Ember
penampung berfungsi untuk menampung larutan hara yang keluar dari bedeng
tanaman sehingga dapat disirkulasikan kembali ke tangki nutrisi dan dapat
digunakan kembali untuk penyiraman tanaman.
Rancangan Struktural
Sistem hidroponik yang dirancang merupakan kombinasi dari tiga sistem
hidroponik dasar, yaitu sistem irigasi tetes (drip irrigation system), sistem sumbu
(wick), dan sistem NFT (nutrient film technique). Ketiga sistem hidroponik dasar
tersebut memiliki peran masing-masing dalam mengoptimalkan penyerapan hara
oleh tanaman kentang yang ditanam pada sistem hidroponik. Sistem hidroponik
terdiri atas beberapa komponen, yaitu tangki nutrisi, pompa air celup, timer, pipa
penyalur larutan hara, bedeng tanaman, dan ember penampung larutan hara. Dalam
satu sistem terdapat empat bedeng tanaman (Gambar 4). Pada setiap bedeng
tanaman terdapat sepuluh lubang tanam dengan jarak tanam 30 × 80 cm. Media
tanam menggunakan rockwool dan diberi sumbu untuk membantu penyerapan hara.

13

Gambar 4 Rancangan sistem hidroponik
Bedeng tanaman dibuat dari multiplek (plywood) dengan ketebalan 1.2 cm
yang dilapisi dengan plastik PE hitam. Tutup bedeng tanaman dibuat dari styrofoam
dengan ketebalan 2 cm. Bedeng memiliki dimensi panjang 400 cm, lebar 62 cm,
dan tinggi 26 cm (Gambar 5). Di dalam bedeng tanaman diberikan keranjang
berlubang (menggunakan kawat loket) yang berfungsi sebagai penahan umbi
kentang yang terbentuk agar tidak terendam atau tergenang pada larutan hara dan
tidak menggantung, namun akar tanaman masih bisa menembus keranjang untuk
menyerap hara secara NFT. Keranjang untuk umbi memiliki dimensi panjang 100
cm, lebar 60 cm, dan tinggi 19 cm. Pada bedeng tanaman juga terdapat pipa
pembuangan yang berfungsi mengeluarkan larutan hara yang berlebih ke ember
penampung agar tidak sampai merendam daerah perumbian kentang.

14

(a)
(b)
(c)
(d)
(e)

(f)

Gambar 5 Bedeng tanaman : pipa nutrisi (a), rockwool (b), keranjang (c), sumbu
(d), pipa pembuangan (e), dan ember penampung (f)
Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD
Simulasi CFD digunakan untuk melihat distribusi suhu larutan hara dan udara
daerah perakaran pada bedeng tanaman. Simulasi ini dilakukan dengan bantuan
software Solidworks Premium 2011 yang sudah terintegrasi dengan flow simulation.
Perangkat komputer yang digunakan memiliki spesifikasi CPU Intel Core i7,
memori RAM 12 GB, dan sistem operasi 64-bit. Persamaan-persamaan pada fluida
dibangun dan dianalisis berdasarkan persamaan diferensial parsial yang
mempresentasikan hukum-hukum konservasi massa, momentum dan energi. Pada
simulasi CFD, pemecahan aliran fluida seperti udara digambarkan secara kuantitatif
dalam besaran suhu dengan bentuk persamaan diferensial yang didasarkan pada
analisis numerik metode volume hingga (finite volume method) khususnya
persamaan Navier-Stokes (Sumarni et al. 2013a). Tahapan simulasi menggunakan
CFD disajikan pada Gambar 6.
Persamaan Kekekalan Massa
Keseimbangan massa elemen fluida dinyatakan sebagai laju kenaikan massa
dalam elemen fluida. Semua elemen fluida merupakan fungsi dari ruang dan waktu,
maka massa jenis fluida ρ ditulis dalam bentuk ρ(x,y,z,t) dan komponen kecepatan
fluida ditulis sebagai dx/dt=u, dy/dt=v, dan dz/dt=w (Sumarni et al. 2013a). Bentuk
persamaan matematis ditulis sebagai berikut :

15

D ( u ) ( v) ( w) 
(1)




Dt
t
z
y
x
dimana ρ adalah massa jenis fluida (kg/m3) dan x, y, z adalah arah koordinat
kartesian.
Persamaan Momentum
Persamaan momentum dikembangkan dari persamaan Navier-Stokes dalam
bentuk yang sesuai dengan metode finite volume (Sumarni et al. 2013a).
Momentum pada arah x :
 ( u )  ( u 2 )  ( uv)  ( uw)
p   _
u 



     V .V  2 
t
x
y
z
x x 
x 
(2)
   v u     u w 
          
  pf x
y   x y  z   z x 
Momentum pada arah y :
 ( v)  ( v 2 )  ( uv)  ( vw)
p   _
v 



     V .V  2 
t
y
x
z
y y 
y 
(3)
   v u     v w 
  pf y
          
x   x y  z   z y 
Momentum arah z :
 ( w)  ( w 2 )  ( vv)  ( uw)
p   _
w 



     V .V  2

t
z
y
x
z z 
z 
(4)
   w v     u w 
  
   
     pf z
y   y z  x   z x 
dimana u, v, dan w adalah komponen vektor kecepatan sumbu x, y, dan z. adalah
viskositas dinamik fluida (kg/m.s), p_ adalah tekanan (Pa), f adalah gaya per satuan
massa yang dikenakan pada fluida, V adalah kecepatan skalar, V adalah kecepatan
vektor, dan adalah -2/3µ .
Persamaan Energi
Persamaan energi diturunkan