Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani

PERUBAHAN LANSKAP: STRUKTUR PENGUASAAN
LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS
HIDUP RUMAH TANGGA PETANI DESA KLACES

AULIA RIZKI ANDINI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

xiii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Lanskap:
Struktur Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah
Tangga Petani adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014

Aulia Rizki Andini
NIM. I34100073

xiii

ABSTRAK
AULIA RIZKI ANDINI. Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan
Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Desa Klaces.
Dibawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan lanskap,
struktur penguasaan lahan, corak usaha tani dan pengaruhnya terhadap kualitas
hidup rumah tangga petani di Desa Klaces. Penelitian ini dilakukan menggunakan
metode kuantitatif dengan didukung metode kualitatif. Perubahan lanskap yang
terjadi di Laguna Segara Anakan diakibatkan oleh berbagai macam sebab yang
kompleks. Seiring dengan semakin menyempitnya Segara Anakan, perubahan

bentang alam tersebut memunculkan sumber daya alam dan sumber daya agraria
yang baru yaitu tanah timbul. Masyarakat Kampung Laut pun harus kehilangan
sumber nafkahnya yang bertumpu pada perairan ini. Sebagian dari mereka
kemudian mulai beralih profesi, menjadi petani dengan memanfaatkan tanah
timbul sebagai lahan garapan. Berdasarkan hasil penellitian dan perhitungan,
struktur penguasaan lahan memiliki hubungan negatif, korelasi sangat lemah dan
tidak signifikan dengan tingkat kualitas hidup rumah tangga segi materi dan corak
usaha tani memiliki hubungan mempengaruhi yang sangat lemah, tidak searah dan
tidak signifikan terhadap tingkat kualitas hidup rumah tangga segi materi. Hal ini
dikarenakan kontribusi tanah timbul di sektor pertanian sangat kecil terhadap
pendapatan total rumah tangga petani yang terkait dengan kualitas hidup rumah
tangga petani. Struktur penguasaan lahan memiliki hubungan positif, korelasi
yang kuat dan signifikan dengan tingkat kualitas hidup rumah tangga segi non
materi dan corak usaha tani memiliki korelasi yang cukup, searah dan signifikan
terhadap tingkat kualitas hidup rumah tangga petani segi non materi. Petani
memiliki hubungan sosial yang tinggi dengan sesama petani, penyedia saprotan,
aparat pemerintah desa, dan warga desa.
Kata kunci: perubahan lanskap, tanah timbul, struktur penguasaan lahan, corak
usaha tani, kualitas hidup rumah tangga petani.


ABSTRACT
AULIA RIZKI ANDINI. Landscape Changes:The Structure of Land Tenure,
Farming Patterns and Their Effects on Quality of Life of Farm Household in The
Village Klaces. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO
The purpose of this study was to analyze changes in the landscape, the
structure of land tenure, farming patterns and their effects on quality of life of
farm households in the village Klaces. This study was conducted using
quantitative methods with qualitative methods are supported. Landscape changes
that occurred in Laguna Segara Anakan caused by a wide variety of complex
reasons. Along with the narrowing Segara Anakan, led to changes in the
landscape of natural resources and the resources that the new agrarian land
arise. Sea village community must lose their livelihoods that rely on these waters.

xiii

Most of them then began to switch professions, becoming farmers use the land as
the land is raised. Based on the results penellitian and calculations, the structure
of land tenure has a negative correlation, the correlation is very weak and not
significant with the level of quality of life in terms of material and household
patterns affecting farming has a very weak relationship, not the direction and not

significant to the household level in terms of quality of life material. This is
because the contribution of land arising in the agricultural sector is very small
against the total income of farm households is associated with quality of life of
farm households. The structure of land tenure has a positive relationship, a strong
and significant correlation with the level of quality of life of households and nonmaterial aspects of farming patterns have enough correlation, the direction and
significant impact on the level of quality of life of farm households in terms of
non-material. Farmers have a high social relationships with fellow farmers,
saprotan providers, government officials village, and the villagers.
Keywords: landscape changes, soil arose, land tenure, farming patterns, and
quality of life of farm household.

xiii

PERUBAHAN LANSKAP: STRUKTUR PENGUASAAN
LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS
HIDUP RUMAH TANGGA PETANI DESA KLACES

AULIA RIZKI ANDINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

xiii

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Perubahan Lanskap: Struktur Penguasaan Lahan dan
Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani
: Aulia Rizki Andini
: I34100073


Disetujui oleh

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus

xiii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya tulis
yang dimulai sejak Januari tahun 2013 ini berjudul Perubahan Lanskap; Struktur
Penguasaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga

Petani.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA, selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran,
kritik, dan motivasi selama proses penulisan karya tulis ini. Penulis juga berterima
kasih kepada seluruh warga Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut. Tidak lupa
penulis menyampaikan hormat dan rasa terima kasih kepada keluarga tercinta,
Ibunda Yuli Kurniasih yang segenap jiwa dan raganya selalu memberikan
semangat, doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis.
Terima kasih kepada sahabat-sahabatku Fauziah Zurriyatina, Nindya
Priska Permata, Kunti May Wulan, Atrina Dwi Putri, Regina Agustin, Anna Nur
Chulafa, Lorensa Virgiana, Ahmad Fauzi, Anggi Pratama, Hadi Prasetyo atas
persahabatan luar biasa yang kalian berikan. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada Sylsilia Trinova Sembiring sebagai teman seperjuangan saat
penelitian serta Regina Agustin dan Erlisa Saraswati teman sebimbingan yang
senantiasa memberikan bantuan dan motivasinya selama ini. Serta untuk Arif
Rachman, yang telah menjadi tutor dan selalu memotivasi, mendukung, serta
mendengarkan keluh kesah penulis. Keluarga besar mahasiswa Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 47 yang dengan
segala kemurahan hatinya selalu bisa menerima penulis apa adanya menjadi
bagian dari mereka. Serta semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa,

semangat, bantuan, dan kerja samanya selama ini.
Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan. Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini terdapat banyak
kesalahan, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat
penulis harapkan.

Bogor, Mei 2014

Aulia Rizki Andini

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian

Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Perubahan Lanskap dan Tanah Timbul
Struktur Agraria
Pola Penguasaan Tanah dan Kelembagaannya
Gambaran Usaha Tani di Indonesia
Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
POTRET DESA KLACES KAMPUNG LAUT
Letak Geografis Desa Klaces

Demografi Desa Klaces
Penduduk
Ketenagakerjaan
Pendidikan
Religi
Karakteristik Subyek Penelitian
Usia
Pendidikan
Pengalaman Bertani
Jumlah Tanggungan
Status Kependudukan
Sarana dan Prasarana Desa Klaces
Riwayat Pembentukan Kecamatan Kampung Laut
Jejak Awal Kampung Laut
Pola Pemukiman
Kepemimpinan dan Kelembagaan Masyarakat Kampung Laut

xi
xi
xiii

1
1
3
4
4
7
7
7
8
12
17
18
21
23
23
23
27
27
27
28
29
30
33
33
34
34
35
37
38
39
39
39
41
42
42
43
45
45
46
47

xiii

PERUBAHAN LANSKAP ALAM DAN ANEKA KONFLIK AGRARIA
49
Laguna Unik di Selatan Jawa
49
Sumber Daya Kawasan Segara Anakan
49
Kompleksitas Masalah Pasca Perubahan Lanskap Alam
54
Tanah Timbul Sebagai Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Agraria Baru 60
Aneka Konflik di Tanah Timbul
62
Ikhtisar
64
PEMBENTUKAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DESA KLACES
PASCA TANAH TIMBUL
67
Penguasaan Tanah Timbul
67
Sistem Trukah
67
Sistem Bagi Hasil
67
Sertifikasi Lahan Pekarangan
68
Sistem Transaksi Jual Beli
68
Ragam Bentuk Penguasaan Lahan Pertanian dan Non Pertanian
69
Pemilik Penggarap Murni
70
Pemilik Penyakap
71
Penyakap Murni
72
Tingkat Penguasaan Lahan Garapan Sawah di Tanah Timbul
72
Trukah
75
Warisan
76
Bagi Hasil
76
Jual Beli
77
Tingkat Ketergantungan Lahan Sawah
77
Kelembagaan Penguasaan Lahan
78
Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan
80
Ikhtisar
81
CORAK USAHA TANI DESA KLACES
83
Penggunaan Saprotan
84
Alat Penggilingan Padi
84
Traktor
85
Bibit
85
Pupuk
86
Pestisida
86
Sistem Ketenagakerjaan
87
Penyuluhan
87
Efektivitas Sumber Informasi
88
Intensitas Mengolah Sawah
89
Pelibatan Anggota Keluarga
89
Penerapan Ilmu Pertanian
90
Ikhtisar
91
KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI PASCA TANAH TIMBUL
DI DESA KLACES
93
Tingkat Pendapatan
93
Tingkat Konsumsi Pangan
95
Tingkat Kesehatan
96
Hubungan Sosial
97
Ikhtisar
98

xiii

HUBUNGAN PENGARUH STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DAN
CORAK USAHA TANI TERHADAP KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA
PETANI
99
Hubungan Pengaruh Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kualitas Hidup
Rumah Tangga Segi Materi
99
Hubungan Pengaruh Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kualitas Hidup
Rumah Tangga Segi Non Materi
101
Hubungan Pengaruh Corak Usaha Tani Terhadap Kualitas Hidup Rumah
Tangga Segi Materi
102
Hubungan Pengaruh Corak Usaha Tani Terhadap Kualitas Hidup Rumah
Tangga Segi Non Materi
104
Ikhtisar
105
PENUTUP
107
Simpulan
107
Saran
108
DAFTAR PUSTAKA
111
LAMPIRAN
115
RIWAYAT HIDUP
123

xiii
xi

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14

Perubahan luas Laguna Segara Anakan tahun 1924-2011
Jadwal penelitian tahun 2014
Luas lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan Desa Klaces
Jumlah penduduk Kecamatan Kampung Laut berdasarkan jenis
kelamin
Jumlah penduduk Desa Klaces berdasarkan kelompok usia
Jenis mata pencaharian di Desa Klaces tahun 2014
Bentuk dan jumlah sarana dan prasarana Desa Klaces
Jenis kawasan di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap
Dinamika sistem sosial ekologi Laguna Segara Anakan
Stakeholder pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan
Hubungan struktur penguasaan lahan dengan kualitas hidup
rumah tangga segi materi tahun 2014
Hubungan pengaruh struktur penguasaan lahan terhadap kualitas
hidup rumah tangga segi non materi tahun 2014
Hubungan pengaruh corak usaha tani terhadap kualitas hidup
rumah tangga segi materi tahun 2014
Hubungan pengaruh corak usaha tani terhadap kualitas hidup
rumah tangga petani segi non materi tahun 2014

1
28
33
34
35
36
44
50
55
59
99
101
103
104

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3

Gambar 4

Gambar 5

Gambar 6

Gambar 7

Gambar 8

Lingkup hubungan-hubungan agraria
Kerangka pemikiran
Sebaran jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di
Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah, 2012
Sebaran penduduk berdasarkan agama di Desa Klaces,
Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa
Tengah, 2012
Persentase subyek penelitian berdasarkan usia di Desa Klaces,
Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa
Tengah tahun 2014
Persentase subyek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa tengah tahun 2014
Persentase subyek penelitian berdasarkan pengalaman sebagai
petani di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase subyek penelitian berdasarkan jumlah tanggungan

11
22
37

38

39

40

41

42

xiii
xii

Gambar 9

Gambar 10
Gambar 11

Gambar 12

Gambar 13

Gambar 14

Gambar 15

Gambar 16

Gambar 17

Gambar 18

Gambar 19

Gambar 20

Gambar 21

Gambar 22

Gambar 23

Gambar 24

keluarga subyek penelitian di Desa Klaces, Kecamatan
Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
tahun 2014
Persentase subyek penelitian berdasarkan status kependudukan
di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.
Perubahan luas Segara Anakan dari tahun 1984 sampai 2003
Persentase responden berdasarkan bentuk penguasaan lahan di
Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah Tahnu 2014
Persentase responden berdasarkan total luas lahan garapan di
Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan status lahan garapan
pertanian di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.
Persentase responden berdasarkan tingkat ketergantungan pada
lahan garapan tanah timbul di Desa Klaces, Kecamatan
Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
tahun 2014
Persentase responden berdasarkan kelembagaan penguasaan
lahan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan penggunaan alat
penggilingan padi di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan penggunaan traktor di Desa
Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan penggunaan pestisida di
Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan agregat penggunaan
saprotan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan keikutsertaan mengikuti
penyuluhan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan pelibatan anggota keluarga
dalam mengolah sawah di Desa Klaces, Kecamatan Kampung
Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase
responden
berdasarkan
agregat
sistem
ketenagakerjaan di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan rumah
tangga di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan tingkat konsumsi pangan di

43

53
70

74

75

77

79

84

85

86

87

88

89

90

94

95

xiii
xiii

Gambar 25

Gambar 26

Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan tingkat kesehatan
Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Persentase responden berdasarkan hubungan sosial
Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.

Cilacap,
di Desa
Cilacap,

96

di Desa
Cilacap,

97

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5

Kebutuhan data, metode, jenis dan sumber data
Peta lokasi penelitian
Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian
Dokumentasi penelitian
Hasil olah data SPSS Rank Spearman 16.0

115
116
117
120
121

6

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lingkungan alam terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen
sumber daya lingkungan alam ini tidak dapat terpisahkan karena saling terkait satu
sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu, kini alam mulai mengalami
perubahan. Perubahan alam atau lanskap merupakan fenomena yang tak
terelakkan, baik disebabkan oleh faktor alam maupun campur tangan manusia.
Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh
manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta
teknologi. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastruktur lanskap yang
disebabkan oleh alam tidak lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu
sendiri, di mana alam itu selalu berubah.
Salah satu perubahan bentang alam yang telah terjadi di Indonesia yaitu
perubahan luas Laguna Segara Anakan di Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Menurut KBBI laguna memilik arti danau asin
dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut (yang dangkal), yang karena
peristiwa geografis terpisah dari laut. Segara Anakan merupakan kawasan laguna
atau estuaria yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan
erat, yang mempunyai potensi ekonomis besar, termasuk potensi perikanan, yang
menyumbang produksi ikan dari wilayah pantai dengan nilai lebih dari 62 milyar
rupiah/tahun (Suryawati 2012). Perkembangan terbaru menunjukkan adanya
ancaman yang semakin besar terhadap laguna ini. Sebuah fenomena alam yang
mencemaskan sedang terjadi dan ramai dibicarakan, yaitu prediksi dan hilangnya
laguna yang kaya akan manfaat, karena degradasi lingkungan yang terjadi di
Laguna Segara Anakan merupakan sebuah kecenderungan yang tidak dapat
dihentikan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor baik bersifat alamiah
maupun non alamiah. Berdasarkan hasil penelitian KPSKSA (2009) dalam
diperoleh data perubahan luas Laguna Segara Anakan sebagai berikut:
Tabel 1 Perubahan luas Laguna Segara Anakan tahun 1924-2011
Tahun / Years
1924
1940
1946
1961
1978
1980
1982
1983

Luas laguna/
Area (ha)

Tahun / Years

Luas laguna/
Area (ha)

6 675
6 445
6 049
5 421
4 737
3 852
3 636
3 206

1984
1992
1994
2000
2003
2005
2008
2011*

2 906
1 800
1 575
1 200
600
834
750
637

Sumber: KPSKSA (2009)
* nilai estimasi dihitung berdasarkan peta Google Earth, 2011/ estimation value based on Google
Earth 2011

2

White et.al (1989) melaporkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen
dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari Sungai Cikonde
serta sungai kecil lainya mencapai 770 000 m3/tahun. Kecepatan laju sedimentasi
dari Sungai Cikonde tersebut mengakibatkan terjadinya laju pengendapan sebesar
260 000 m3/tahun. Proses sedimentasi dari sungai-sungai tersebut, diperkirakan
jumlah sedimen yang mengendap di perairan Segara Anakan adalah sebesar 1 juta
m3/tahun (ECI 1997 dalam Susanti 2006).
Perkembangan baru sebagaimana tersebut di atas membawa akibat pada
pertambahan luasan tanah timbul, yang kemudian mendorong penduduk setempat
untuk mengembangkan mata pencaharian pertanian yang bertumpu pada
keberadaan lahan-lahan timbul tersebut. Pengembangan mata pencaharian
berbasis tanah timbul ini juga dilakukan oleh para pendatang dari wilayah daratan
Pulau Jawa, yang kemudian bermukim tetap di Segara Anakan. Perkembangan
lain yang menyusul kemunculan bentuk mata pencaharian baru tersebut adalah
terjadinya perambahan hutan bakau karena berbagai alasan. Perambahan bakau
terkait pengembangan pemukiman bagi penduduk pendatang. Di samping itu,
penebangan bakau juga terjadi sebagai konsekuensi dari jumlah penduduk yang
terlanjur meningkat dan lahan pertanian yang belum sepenuhnya siap untuk
digarap, serta usaha budidaya tambak di lahan-lahan bakau, yang dipandang
sebagai peluang ekonomi alternatif bagi pendatang.
Di dalam konteks sudut pandang sosial, permasalahan-permasalahan yang
terjadi telah berkembang sedemikian kompleks dan bertautan satu dengan yang
lain. Masalah konflik lahan, misalnya, terjadi akibat perbedaan mengenai
pemanfaatan tanah timbul yang terbentuk dari proses sedimentasi. Petani
memandang bahwa tanah timbul merupakan lahan pertanian, yang selayaknya
dapat dikembangkan untuk lahan garapan melalui ekstensifikasi pertanian.
Sementara itu, nelayan, terutama yang terkena dampak sedimentasi menganggap
bahwa mereka memiliki hak tradisi atas lokasi tanah timbul, karena lokasi tersebut
adalah lokasi di mana pada masa-masa sebelumnya mereka melakukan kegiatan
ekonomi. Atas dasar itu, mereka beranggapan meletakkan klaim atas lahan-lahan
tersebut, untuk membuka peluang alih profesi menjadi petani maupun untuk
pengembangan ekonomi. Selain klaim antara masyarakat pendatang dan
masyarakat asli, terjadi juga klaim antara masyarakat asli dengan pemerintah desa,
Perhutani, investor, dan Lembaga Permasyarakatan Nusa Kambangan.
Kehadiran sumber agraria baru, berupa tanah timbul, telah mendorong
perebutan penguasaan oleh sesama warga dan dengan pihak lembaga tertentu,
hingga menjadi konflik horisontal dan vertikal. Pada konflik horisontal
menggunakan faktor genealogis sebagai dasar argumen kepemilikan, umumnya
konflik antara warga asli dan pendatang. Warga asli selalu mengaitkan hak
kepemilikannya atas tanah berdasarkan cerita sejarah leluhur, yang bentuknya
sangat mitologis atau sejarah yang bercampur mitos. Situasi ini membentuk gejala
konflik yang sedikit lebih khas berkat sebuah realitas agraria yang baru, oleh
sebab-sebab alamiah yaitu kemunculan tanah timbul. Hal inilah yang akan
ditelusuri, perubahan bentang alam beserta dinamika struktur penguasaan baru,
serta kemungkinan pengaruhnya terhadap kualitas hidup rumah tangga.
Munculnya tanah timbul itu menjadi kontroversi reklaiming di antara para aktor.
Konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah desa mengenai
tumpang tindih kepemilikan atas tanah timbul. Konflik perbatasan terjadi antara

3

masyarakat dengan Perhutani. Konflik pengelolaan antara masyarakat dengan
investor, dan konflik klaim antara masyarakat dengan pihak otoritas LP Nusa
Kambangan.
Penelitian ini dilakukan di Dusun Klaces, Desa Klaces, Kampung Laut,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa ini merupakan salah satu desa di sekitar
perairan Segara Anakan, yang mengalami perubahan bentang alam sehingga
memunculkan tanah timbul yang hingga kini semakin meluas membentuk daratan.
Desa ini pun menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Kampung Laut. Letak desa
yang berada di tengah Segara Anakan membuat desa ini memiliki keunikan dalam
mata pencaharian yaitu terdapat mata pencaharian campuran dari usaha tani dan
nelayan.

Masalah Penelitian
Perubahan bentang alam di permukaan bumi kerap terjadi yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Perubahan tersebut dapat terjadi secara alamiah maupun
disebabkan oleh aktivitas manusia yang membawa perusakan terhadap alam.
Salah satu fenomena alam yang terjadi di Indonesia yaitu perubahan luas Segara
Anakan yang semakin menyempit karena laju sedimentasi yang sangat tinggi.
Proses sedimentasi yang sangat tinggi ini membuat perubahan dan memunculkan
sumber daya alam baru yaitu tanah timbul. Tanah timbul yang semakin meluas
menjadi daratan membentuk suatu desa baru salah satunya yaitu Desa Klaces.
Keberadaan sumber daya alam baru ini akan memunculkan pergeseran struktur
agraria. Hal ini terjadi karena tanah timbul tersebut memberikan peluang kepada
subjek agraria untuk mengakses dan memanfaatkannya. Melihat kondisi yang
terjadi di Desa Klaces ini maka dapat dirumuskan pertanyaan, bagaimana
perubahan bentang alam berimplikasi pada pergeseran struktur agraria di
Segara Anakan.
Tanah timbul ini menjadi sumber daya alam yang diminati oleh berbagai
pihak yang ingin memanfaatkan dan menguasainya. Berbagai motif penguasaan
dilakukan oleh berbagai pihak seperti masyarakat lokal, masyarakat pendatang,
pemerintah, Lembaga Permasyarakatan Nusa Kambangan, dan Perhutani. Tanah
timbul yang semakin meluas karena tingginya laju sedimentasi memberikan
banyak peluang kepada aktor tersebut. Keberadaan tanah timbul ini „melahirkan‟
struktur agraria baru. Penguasaan yang memicu aksi reklaiming di antara para
aktor mendorong terjadinya ketegangan-ketegangan hubungan sosial agraria.
Permasalahan baru pun muncul terkait lemahnya kepastian kepemilikan, distribusi
tanah dan struktur penguasaan tanah di tengah kondisi masyarakat yang tergolong
miskin. Hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat pendapatan petani dalam
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kemampuan petani dalam mencukupi
kebutuhan baik sandang, pangan dan papan akan menentukan kualitas hidup
rumah tangga mereka. Semua berlomba-lomba untuk mengklaim dan
memanfaatkan tanah seluas-luasnya dan seringkali berakhir dengan konflik, baik
vertikal maupun horisontal. Hal ini dilatarbelakangi oleh motif ekonomi.
Demikian pertanyaan berikutnya adalah sejauhmana struktur penguasaan

4

tanah timbul yang terjadi berpengaruh pada kualitas hidup rumah tangga
petani.
Keberadaan tanah timbul memberikan penghidupan baru bagi masyarakat
yang pada awalnya bertumpu pada perairan Segara Anakan. Kondisi perairan
yang semakin menyempit dan penurunan kuantitas serta kualitas sumber daya
perairan, membuat masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai
nelayan kesulitan untuk mencari nafkah. Tanah timbul ini memberikan peluang
pada mereka untuk menggali kemampuannya dalam memanfaatkan sumber daya
alam baru ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia tidak dapat
dipisahkan dengan tanah. Begitu pula pada masyarakat setempat yang mulai
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan memanfaatkan tanah
timbul. Pemanfaatan tanah timbul untuk pertanian tidak hanya dilakukan oleh
warga asli, warga pendatang pun ikut terlibat dengan berbekal pengetahuan dan
keterampilan di bidang pertanian. Pola usaha tani di desa ini termasuk lahan basah
yang pengairan sawahnya mengandalkan air tadah hujan. Corak usaha tani di desa
ini pun memiliki ciri khasnya tersendiri dibandingkan dengan masyarakat petani
di desa lain. Hal ini tentu memberikan pengaruh terhadap hasil usaha tani dan
pendapatan petani. Oleh karena itu, dalam konteks ini dapat diajukan pertanyaan
sejauhmana corak usaha tani berpengaruh pada kualitas hidup rumah
tangga petani Desa Klaces.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah yang telah
dipaparkan yaitu menelaah perubahan lanskap: struktur penguasaan lahan, corak
usaha tani dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa
Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kemudian, tujuan
khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis perubahan bentang alam yang berimplikasi pada pergeseran
struktur agraria di Segara Anakan.
2. Menganalisis sejauhmana struktur penguasaan lahan timbul berpengaruh
pada kualitas hidup rumah tangga petani
3. Menganalisis sejauhmana corak usaha tani berpengaruh pada kualitas hidup
rumah tangga petani di Desa Klaces.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, di antara lain
ialah:
1. Akademisi
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai
perubahan lanskap dan faktor-faktor penyebabnya serta menjadi referensi
untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat
menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria.

5

2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan
bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai
peraturan penguasaan dan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi
apabila terjadi ketimpangan dan konflik terhadap lahan yang terjadi antara
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah maupun
masyarakat dengan lembaga atau penguasa yang berkepentingan.
3. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai faktor penyebab perubahan lanskap yang terjadi, struktur
penguasaan tanah timbul serta dampaknya terhadap kualitas hidup rumah
tangga petani di Desa Klaces. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjadi referensi bagi desa-desa lain yang mengalami hal serupa
mengenai keberadaan tanah timbul serta penguasaan dan pemanfaatannya.

6

7

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka
Perubahan Lanskap dan Tanah Timbul
Lanskap, sering diberi pengertian oleh ahli geografi dengan bentang alam
atau kenampakan di atas permukaan bumi termasuk komponen penyusun hasil
kegiatan dan pengaruh manusia. Pengertian ini memberikan suatu indikasi bahwa
cakupan dari bentang alam terdiri atas elemen fisik, elemen biotis dan elemen dari
hasil budidaya manusia. Perubahan bentang alam atau perubahan lanskap yang
terjadi di permukaan bumi membuat keadaan bumi kian hari kian berubah.
Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab. Menurut Nasution (2003)
perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh manusia umumnya
dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi. Manusia
sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam
berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya alam ini. Berbagai cara yang
dilakukan manusia terhadap alam memiliki resiko tersendiri. Selain disebabkan
oleh manusia, perubahan lanskap pun dapat terjadi secara alamiah. Menurut
Antrop (2005) perubahan infrastuktur lanskap yang disebabkan oleh alam tidak
lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, dimana alam itu selalu
berubah.
Berbagai kasus perubahan lanskap yang terjadi telah menghasilkan sumber
daya alam baru yang kelak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Beberapa ahli
menyebutkan bahwa sumber daya alam adalah keadaan lingkungan alam (natural
environment) yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Ramadhan (2012) menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan di
Segara Anakan yang memunculkan tanah timbul sebagai akibat dari proses laju
sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi ini terjadi karena beberapa hal
salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan
(unsustainabe land use) yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy.
Lahan timbul ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pemukiman, lahan
pertanian, dan lahan tambak perikanan. Hal ini dilakukan oleh mereka untuk
menunjang kehidupannya di tengah perubahan lanskap yang terjadi di Segara
Anakan. Penyusutan perairan Segara Anakan memberikan dampak bagi
kehidupan mereka terutama pada peralihan mata pencaharian.
Penelitian Ramadhan (2012) tersebut diperkuat oleh penelitian Suryawati
(2012) yang memaparkan bahwa perubahan lanskap yang terjadi di Segara
Anakan tidak hanya terkait dimensi ekologis namun juga terkait oleh dimensi
manusia, sosial dan fisik. Kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat di wilayah
Laguna Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan laguna, baik perairan
maupun daratannya. Aktivitas masyarakat ini berdampak pada kondisi dan
dinamika laguna. Dinamika interaksi yang terjadi antara aspek ekologis dan aspek
sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif dan
membuat kondisi yang semakin memburuk. Perubahan lanskap yang terjadi di
permukaan bumi tidak hanya terjadi secara alamiah namun juga dapat terjadi
karena aktivitas manusia. Perubahan lanskap dapat membawa manfaat maupun

8

musibah bagi manusia. Hal ini menuntut manusia berpikir agar bisa bertahan
hidup di tengah perubahan alam yang terjadi.
Peraturan Pemerintah (PP) 16 tahun 2004 tentang Penggunaan Tanah pada
penjelasan pasal 12, memberikan definisi tanah timbul sebagai daratan yang
terbentuk secara alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai
dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara. Menurut Perda
Kabupaten Indramayu No. 9 tahun 2003 pasal 1 memberikan definisi tanah timbul
adalah lahan yang terbentuk karena endapan lumpur baik di pantai maupun di
muara sungai, pada pasal 2 menerangkan tanah timbul merupakan tanah negara
yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pengertian tanah timbul adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat sesuai dengan Keppres No. 32 pasal 14 tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (sempadan pantai). Melihat konsep dan
definisi di atas, keberadaan tanah timbul di Desa Klaces, Kampung Laut yang
semakin meluas dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh tingginya laju
sedimentasi DAS Citanduy. Aliran substrat (sedimentasi) yang berlangsung terusmenerus dengan laju yang kian bertambah dari tahun ke tahun memuculkan
fenomena alam yang mengakibatkan semakin menyempitnya wilayah perairan
Segara Anakan. Material-material sedimentasi yang tidak bisa mengalir ke laut
lepas memunculkan tanah timbul. Tanah timbul ini lambat laun menjadi sebuah
daratan yang akhirnya ditumbuhi hutan mangrove. Tanah timbul yang semakin
meluas dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan hidupnya seperti
pemukiman, lahan pertanian, dan lahan tambak perikanan.

Struktur Agraria
Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager
dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata
agrarius mempunyai arti yang sama dengan “perladangan, persawahan,
pertanian”. Kata agraria diartikan agrarian dalam bahasa Inggris yang selalu
diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini,
sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk
menunjuk kepada perangkat pertautan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan lahan
dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian “tanah” adalah
menurut pasal 4 ayat 1 “tanah” adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian
“bumi” menurut pasal 1 ayat 4, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah
terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu
perairan pedalaman (“inland waters”) dan laut wilayah (“territorial waters”)
melainkan bumi yang berada di bawah air laut di luar batas-batas itu.
Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian
yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang
alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan
kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri

9

atas dua unsur, yaitu obyek agraria atau sering disebut sebagai sumber-sumber
dan subyek agraria. Unsur yang pertama, yaitu sumber-sumber agraria, sangat erat
kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun
dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan
akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi dan sosial).
Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) UUPA 1990, Sitorus (2002)
menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: 1) tanah atau “permukaan
bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan
peternakan; 2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan
perikanan (sungai, danau maupun laut); 3) hutan, meliputi kesatuan flora dan
fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam
kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; 4) bahan tambang, mencakup beragam
bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; dan 5) udara,
dalam arti ruang di atas bumi dan air.
Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki
kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek
agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur
individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok, pemerintah (sebagai
representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur
perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan
dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/
pemanfaatan (tenure institution).
Hubungan agraris menurut Wiradi (2009) secara garis besar mencakup
berbagai jenis hubungan sebagai 1) hubungan antara tanah dengan lingkungannya;
2) hubungan antara manusia dengan tanah; 3) hubungan antara manusia dengan
tanaman; 4) hubungan antara manusia dengan hewan; dan 5) hubungan antara
manusia dengan manusia. Hubungan antara manusia dengan manusia ini yang
dianggap paling penting dalam studi agraria karena menyangkut hubungan sosial
secara keseluruhan. Hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan)
hanya memiliki makna hubungan aktivitas yang akan menimbulkan implikasi
terhadap hubungan dengan manusia lain. Berkaitan dengan hubungan antara
manusia, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara
mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi
(produsen langsung seperti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan
mereka yang tidak berproduksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk
mengklaim sebagian dari hasil produksi secara langsung maupun tidak langsung.
Klaim hasil produksi baik langsung maupun tidak langsung didasarkan
atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah.
Hubungan-hubungan tersebut Wiradi (2009) menerjemahkan secara konkret
dalam konteks hubungan antara “siapa” dengan “siapa”, maka berdasarkan
masalah-masalah yang secara empiris muncul di Indonesia seperti: 1) antara
petani dan buruh tani; 2) antara petani dan bukan petani; 3) antara petani dan
perusahaan (HGU/ HPH/ pertambangan, dll); 4) antara petani dan proyek-proyek
pemerintah; 5) antara proyek-proyek pemerintah sendiri; 6) antara petani dan
satuan desa/ lembaga adat; dan 7) antara perusahaan besar (HGU/ HPH/
pertambangan, dll) dan negara. Dalam setiap hubungan agraris yang dijelaskan,
terdapat tiga atribut yang melekat yaitu masalah kekuasaan, masalah

10

kesejahteraan ekonomi dan masalah hierarki sosial (Ghoes 1983 dalam Wiradi
2009). Ketiga atribut ini membentuk jaringan hubungan yang saling terkait satu
sama lain dan pada gilirannyaa akan menentukan corak kehidupan secara
keseluruhan.
Tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan
dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut sebagai “struktur agraria”.
Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan
faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bukan
hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah
melainkan menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan
mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam
proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap,
hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit
dan atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan
penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya (Wiradi 2009).
Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi
terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial di antara ketiga subyek yang
telah dikemukakan oleh Sitorus (2002) yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur
individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok, pemerintah (sebagai
representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur
perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan
dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/
pemanfaatan (tenure institution). Di mana satu dan lain subyek saling
berhubungan secara sosial dalam kaitan hubungan teknis masing-masing subyek
itu dengan sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke
dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis
dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan
(land tenure) tertentu. Proporsi pertama ini menggambarkan hubungan teknis
yang menunjukkan cara kerja subyek agraria dalam pengelolaan dan pemanfaatan
obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya.
Kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi
secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.
Proporsi kedua ini menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukkan
cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan
obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses
dalam hal penguasaan/ pemilikan/ dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan
sosial agraria antar subyek agraria yang kemudian membentuk sebuah struktur
agraria dapat digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria yang
digambarkan oleh Sitorus (2002) berikut ini (Gambar 1).

11

Komunitas

Sumber-sumber

Pemerintah

Swasta

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agraria
Keterangan:
Hubungan teknis agraria (kerja)
Hubungan sosial agraria
Sumber: Sitorus (2002)

Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subyek dengan
sumber-sumber agraria mencakup penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan lahan.
Wiradi (2009) menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan masalah
yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah
yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Ada dua
istilah penting yang menyangkut struktur agraria yaitu land tenure dan land
tenancy. Land tenure memiliki arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah
ini biasanya dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok mengenai status
hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa
menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Sedangkan land tenancy berasal dari
kata tenant yang memiliki arti orang yang memiliki, memegang, menempati,
menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang menunjuk
pada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hak-hak yang
menyangkut hubungan penggarap tanah. Obyek penelaahan ini yaitu pembagian
hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasiinvestasi, besarnya nilai sewa dan lain sebagainya.
Struktur agraria menurut Wiradi (2009) ini perlu memperhatikan dan
membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Kata
“pemilikan” menunjukkan kepada penguasaan formal, sedangkan kata
“penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya saja sebidang tanah
disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya.
Kata “pengusahaan” sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang
tanah diusahakan secara produktif. Tatanan hubungan dalam struktur agraria dapat
berubah akibat kerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya.
Wiradi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan perubahan tata hubungan
itu antara lain yaitu: 1) perubahan struktur politik; 2) perubahan orientasi politik;
3) perubahan kebijakan ekonomi; 4) perubahan teknologi; 5) faktor-faktor lain
sebagai turunan dari ke empat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini
dapat terjadi secara perlahan atau dapat menimbulkan suatu gejolak sosial.

12

Pola Penguasaan Tanah dan Kelembagaannya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan yang di atas sekali. Pengertian tanah
diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:
“...atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum…”

Menurut Firey dalam Johara (1992) penguasaan tanah menunjukkan
pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang dan berkesimpulan bahwa
yang merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial misalnya penduduk sering
memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang tanah. Berhubungan
dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992) menggolongkan
tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki:
1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang
dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas
2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk
masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat
3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya
sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya),
dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan
dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya
Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin
berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan
prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka
kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan. Pemilikan tanah dari sisi sosial,
bukan hanya merupakan harta ekonomi, tetapi mencerminkan status sosial
seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai pemilikan.
Sihaloho (2004) menambahkan bahwa penguasaan tanah dapat berupa hubungan
“pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan
penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain. Kata “pengusahaan”
menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif.
Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa
menurut Wiradi (1984) adalah:
1. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena
membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang
berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka
tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam bahasa Jawa berarti membuat
sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini
dalam UUPA 1960 dikategorikan sebagai hak milik.
2. Tanah gogolan, pekulen, kesikepan dan sejenisnya, yaitu tanah pertanian milik
masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada
sejumlah petani (biasanya disebut sebagai penduduk inti) secara tetap maupun

13

secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk
menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Pada konsep Barat
pemilikan tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.
3. Tanah titisara, titisoro, kas desa atau bondo desa adalah tanah pertanian milik
desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara
dilelang terlebih dahulu. Hasilnya menjadi kekayaan desa yang biasanya
dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana
anggaran rutin maupun untuk pembangunan. Tanah ini dalam konsep Barat
dapat digolongkan dalam “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal”
dan keberadaannya diakui dalam UUPA 1960.
4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang
diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya
selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak menjabat, maka tanah
tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru.
Tanah ini juga merupakan “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal”
dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.
Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, jika mengingat
bahwa tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan
cenderung mendekati pola ke arah pendayagunaan dan pengaturan fungsi
ketatalaksanaan lahan. Menurut Bappenas-PSE-KP (2006) dalam Darwis (2009),
pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang
menentukan keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah. Hal
ini selaras dengan penjelasan yang tercantum dalam ruang lingkup agraria
menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut
dengan tanah. Tanah yang merupakan salah satu aspek dari lahan yang
dimaksudkan bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya melainkan hanya
mengatur salah satu aspek yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hakhak penguasaan atas tanah.
Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam makna fisik dan yuridis,
yaitu privat maupun publik. Penguasaan secara yuridis merupakan penguasaan
yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang
menjadi haknya, misalnya pemilik tanah mempergunakan dan mengambil
manfaat dari tanah yang menjadi haknya, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Adanya penguasaan secara yuridis walaupun memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang hak secara fisik, namun kenyataannya penguasaan fisik
dilakukan oleh orang lain. Misalnya saja, seseorang yang memiliki tanah tidak
mempergunakannya sendiri melainkan tanah tersebut disewakan kepada orang
lain. Tetapi ada juga yang penguasaan secara yuridis tidak memberikan
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya
saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak
penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh
pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaanya tetap pada pemegang hak atas
tanah (Wiradi 1984).
Menurut Sudiyat dalam Hamid (1992) bahwa demi hidup dan
penghidupannya untuk kepentingan setiap bagian fungsi hidupnya (pekerjaan,
sandang, pangan, kandang, istirahat dan rekreasi) setiap orang membutuhkan

14

penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak
menentu. Hal yang dikatakan di atas jelaslah bahwa penguasaan at