Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pada Rumah Tangga Petani Di Dataran Dieng.

(1)

STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA RUMAH TANGGA PETANI DI DATARAN TINGGI DIENG

TURASIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pada Rumah Tangga Petani Di Dataran Tinggi Dieng adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016 Turasih NIM I353124011


(4)

RINGKASAN

TURASIH. Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pada Rumah Tangga Petani Di Dataran Dieng. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING dan EKAWATI SRI WAHYUNI.

Pertanian sebagai sumber nafkah utama di Dataran Tinggi Dieng, masih menjadi primadona dalam berbagai musim walaupun dengan pendapatan yang fluktuatif. Turasih dan Adiwibowo (2012) menyebutkan bahwa usaha tani di Dataran Tinggi Dieng memiliki resiko yang harus siap ditanggung oleh petani termasuk resiko karena faktor cuaca yang semakin tidak menentu. Dalam penelitian ini aktivitas petani yang berhadapan dengan kondisi alam sehingga membuat petani berhadapan dengan resiko pertanian dipahami secara spesifik sebagai bagian dari bersinggungannya aktivitas manusia dengan perubahan iklim. Resiko yang dihadapi terutama berhadapan dengan kondisi keragaman iklim yang semakin sulit diprediksi dan berpengaruh dengan sistem penghidupan petani.

Terdapat dua pertanyaan dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim?; 2) Bagaimana strategi adaptasi terhadap perubahan iklim petani menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan? Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian ini meliputi: 1) Menjelaskan dan memahami bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim; 2) Menjelaskan dan memahami bagaimana strategi adaptasi perubahan iklim menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dikuatkan dengan data kuantitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara pada bulan November-Desember 2014.

Berdasarkan temuan dari penelitian ini diketahui bahwa telah terjadi perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng. Selama kurun waktu tahun 1990 hingga 2000, jumlah hari hujan di Dataran Tinggi Dieng meningkat di bulan basah dan berkurang pada saat bulan kering serta diikuti jumlah curah hujan yang semakin menurun. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan resiko kejadian longsor di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut menunjukkan indikasi terjadinya perubahan iklim mikro di tingkat wilayah. Hal yang paling dapat ditandai adalah kejadian iklim ekstrem yang lebih sering terjadi sejak tahun 2007 yaitu hujan yang lebih deras dan musim kemarau yang lebih kering. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya luas tutupan lahan yang tersisa di wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai area tangkapan air.

Perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng dipahami oleh masyarakat berdasarkan fenomena lokal yang terjadi. Diakui bahwa situasi saat ini di Dataran Tinggi Dieng relatif lebih hangat dibanding ketika tahun 1990-an. Petani memaknai perubahan iklim sebagai sebuah kondisi iklim yang sangat mengancam aktivitas pertanian. Petani mengidentifikasi lima fenomena iklim utama yang terjadi dan berkait dengan pertanian mereka yaitu: (1)


(5)

curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, (2) situasi kekeringan yang melanda pertanian, (3) musim angin ribut, (4) kondisi suhu ekstrem pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju yang menjadikan tanaman muda menjadi layu dan mati, serta yang paling meresahkan adalah (5) kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi.

Kerentanan petani terhadap perubahan iklim dalam penelitian ini terkait erat dengan kondisi penguasaan lahan di tingkat rumah tangga. Petani terkategori menjadi petani yang tidak menguasai lahan, petani dengan

penguasaan lahan antara 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha, petani dengan penguasaan

lahan antara 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha, petani dengan penguasaan lahan antara 0,5

ha ≤ x <1 ha, dan petani dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha. Semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani maka nilai akses terhadap

modal relatif lebih tinggi. Petani dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha memiliki

akses yang lebih leluasa terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal sumberdaya alam. Sebaliknya bagi yang tidak menguasai lahan, modal yang dapat diandalkan adalah modal sosial dan modal manusia. Kekhawatiran atas kerentanan terhadap perubahan iklim lebih tinggi bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan dan juga petani dengan lahan sempit. Kerentanan terhadap perubahan iklim lebih tinggi pada rumah tangga dengan penguasaan lahan yang semakin sempit (dibawah 0,3 ha hingga non-penguasa lahan).

Upaya adaptasi di tingkat rumah tangga dilakukan di berbagai aspek terutama terkait dengan kebutuhan dasar yakni berhubungan dengan mata pencaharian, pangan, dan kesehatan. Adaptasi mata pencaharian lebih mengarah pada upaya adaptasi yang dilakukan untuk kegiatan pertanian dan pengalihannya terhadap kegiatan lain apabila pertanian tidak dapat lagi diandalkan. Aspek pangan terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan yang sifatnya fluktuatif terutama pada rumah tangga petani dengan aset rendah termasuk buruh tani. Pada aspek kesehatan, adaptasi berhubungan dengan kondisi sanitasi baik di lingkungan rumah tangga maupun komunitas. Ciri penting adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng adalah upaya adaptasi yang dilakukan oleh petani di tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena jenis sumberdaya alam yang ada (lahan pertanian) bersifat sumber daya dengan status penguasaan individu atau rumah tangga. Strategi adaptasi perubahan iklim pada rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dapat disebut sebagai strategi adaptasi integratif dimana adaptasi tidak hanya melibatkan satu entitas rumah tangga saja tetapi juga melibatkan entitas sosial lain mulai dari tingkat komunitas, desa, regional, nasional, dan internasional terutama karena posisi kawasan Dataran Tinggi Dieng sebagai kawasan sumber daya alam yang istimewa yaitu sebagai catchment area, sumber energi, cagar budaya, dan pemukiman penduduk.

Kata kunci: Perubahan Iklim, Strategi Adaptasi, Rumah Tangga Petani, Dataran Tinggi Dieng


(6)

SUMMARY

TURASIH. Climate Change Adaptation Strategy of Farmer Households in Dieng Plateau. Supervised by LALA M. KOLOPAKING dan EKAWATI SRIWAHYUNI.

Agriculture is the main source of livelihood in the Dieng Plateau, although it is volatile. Turasih and Adiwibowo (2012) mentions that farming in the Dieng Plateau has risks that must be ready to be borne by farmers, including risks due to the increasingly erratic weather and price fluctuations. In this study the activity of farmers who are dealing with agricultural risk is understood as a specific piece of connectedness human activity to climate change. The risk faced especially by the conditions of unpredictable climate variability which is affect the livelihood systems of farmers.

There are two questions in this study are: 1) How upland farmers do the adaptation strategies to deal with climate change ?; 2) How does climate change adaptation strategies of upland farmers become sustainable livelihood strategies? Based on the research questions, the purpose of this study include: 1) Describe and understand how upland farmers undertake adaptive strategy in the face of climate change; 2) Describe and understand how climate change adaptation strategies become sustainable livelihood strategies. This study is a qualitative study that confirmed by quantitative data. The study was conducted in the Dieng Plateau, District Batur, Banjarnegara in November-December 2014.

The findings of this research note that there has been a climate change in the Dieng Plateau. During the period 1990 to 2000, the number of rainy days in the Dieng Plateau rose in wet and decreases during the dry months and followed by the amount of precipitation decreases. Such conditions increase the risk of a landslide in the rainy season and drought in the dry season. It shows indications of the micro climate change at the regional level. It is most marked is the extreme climate events occur more often since 2007 that more intense rainfall and droughts drier. The condition is exacerbated by the lack of comprehensive land cover remaining in the Dieng Plateau as a water catchment area.

Climate change in the Dieng Plateau understood by the public by local phenomena that occur. Dieng Plateau is a region with cold temperatures so the symptoms of climate change on the increase in temperature is not so perceived. However, it is recognized that the current situation in the Dieng Plateau is relatively warmer than when in the 1990s. Farmers identified five climate phenomenon that related to their farms, namely: (1) rainfall is more extreme in its season, (2) the situation of drought that hit agriculture, (3) hurricanes, (4) conditions of temperature extremes on the Moon July or August when it emerged embun upas which makes the young plants wither and die, and the most disturbing is the (5) climatic conditions are increasingly difficult to predict.


(7)

The vulnerability of farmers to climate change in this study are associated with land tenure at the household level. Farmers categorized into farmers who do not occupy the land, farmers with land occupation of 0.1 ha

≤ x ≤ 0.3 ha, farmers with land occupation of 0.3 ha ≤ x ≤ 0.5 ha, farmers

with land occupation between 0, 5 ha ≤ x ≤ 1 ha, and farmers with land

occupation ≥ 1 ha. The more land that is occupied by farmer households, the

value of access to capital is relatively higher. Farmers with land tenure ≥ 1 ha have broad access to the human capital, social capital, physical capital, financial capital, capital and natural resources. In contrast to those who do not control land, a reliable capital is social capital and human capital. Vulnerability to climate change is higher in households with land tenure increasingly narrow (less than 0.3 ha of land to non-ruling).

In the context of potato farmers in Dieng Plateau, adaptation startegies made in various aspects, especially related to the basic needs that relate to livelihoods, food and health services. Livelihood adaptation is directed to the adaptations made to farming activities and their transfer to other activities when agriculture can no longer be relied upon. On the food aspect, adaptation strategy associated with addressing the needs of food that are volatile, especially on farm households with lower assets. On the health service aspect, adaptation strategy related to sanitary conditions both within the household and community.

An important feature of adaptation strategy to climate change undertaken by farmers in the Dieng Plateau is the adaptation efforts undertaken by the farmers at the household level. This occurs because the type of existing natural resources (agricultural land) is the resource with tenure status of individuals or households. Climate change adaptation strategies of farmer households in the Dieng Plateau can be referred to as an integrative adaptation strategy where adaptation is not only involve one entity of household but also other social entities including communities, village, regional, national, and international, especially because of the position Dieng Plateau region as an area of special natural resource that is as catchment areas, energy resources, cultural heritage, and settlements.

Kata kunci: Climate Change, Adaptation Strategy, Farmer Household, Dieng Plateau


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA RUMAH TANGGA PETANI DI DATARAN TINGGI DIENG

TURASIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(11)

(12)

(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Pemilik Ilmu, yang telah memberikan rahmat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi dengan di Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Salam dan keselamatan semoga senantiasa tercurah kepada Rasul Muhammad SAW pembawa mukjizat pengetahuan bagi dunia. Pertama-tama, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada ketua komisi pembimbing Dr. Lala M. Kolopaking dan anggota komisi pembimbing Dr. Ekawati Sri Wahyuni yang telah mencurahkan waktu memberikan bimbingan, arahan, dan koreksi hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah membalas segala amal kebaikan yang lebih banyak. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada ketua program studi Sosiologi Pedesaan sekaligus penguji luar komisi, Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada seluruh narasumber dan informan di Dataran Tinggi Dieng yang telah banyak membantu memberikan data dan informasi hingga tesis ini dapat “berbentuk” dan semoga menjadi karya tulis yang bermanfaat. Penulis juga mengucapkan syukur dan terima kasih kepada yayasan bhakti Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

Dengan ketulusan dari lubuk hati yang paling dalam, rasa syukur dan terimakasih penulis haturkan untuk orang tua Bapak Salimi dan Ibu Surati yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan sehingga penulis dapat tumbuh, berkembang, dan berkarya. Semoga Allah memberikan kebaikan yang tidak terputus kepada Bapak dan Ibu, memberikan umur yang panjang dan berkah. Pencapaian ini secara khusus penulis dedikasikan untuk setiap ketulusan perjuangan kedua orang tua yang telah berusaha begitu keras untuk memutus rantai kebodohan. Terima kasih dan syukur juga penulis sampaikan kepada suami tercinta, Dhamar Kuncoro, yang telah begitu sabar mengingatkan bahwa setiap proses harus dilewati dengan baik, sabar, dan ikhlas. Kepada anak pertamaku, Anugrah Setyo Kuncoro, terima kasih telah menemani dan menyemangati dalam setiap langkah. Juga kepada Bapak Ibu mertua, Bapak Agus Suranto dan Ibu Endang Sriyanti yang juga dengan tulus memberikan dukungan doa, semangat, dan kasih bagi penulis. Kepada adikku Nurhayati, cahayaku, terima kasih selalu menjadi tolak ukur yang baik dari setiap perjuanganmu menimba ilmu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan SPD 2013 Genap, Joni Trio Wibowo, Anton Wijonarno, dan Iwansyah yang berjuang bersama hingga akhir. Pada akhirnya tidak ada yang lebih layak disampaikan kecuali rasa syukur dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi hingga selesainya tesis ini. Semoga karya tulis ini menjadi ilmu yang bermanfaat, menjadi sebuah sarana tafakur atas maha luasnya ilmu Allah di muka bumi.

Bogor, Mei 2016 T u r a s i h


(14)

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xvi

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Perubahan Iklim 5

Kerentanan Sektor Pertanian Terhadap Perubahan Iklim 6

Konsep Adaptasi 8

Konsep Kerentanan 9

Kelembagaan Lokal Adaptasi Perubahan Iklim 11

Petani dan Etika Subsitensi 13

Strategi Penghidupan Rumah Tangga 14

Kerangka Pemikiran 17

3 METODOLOGI 19

Metode Penelitian 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Unit Analisis dan Subjek Penelitian 20

Jenis Data 21

Pengolahan dan Analisis Data 21

4 DATARAN TINGGI DIENG DARI MASA KE MASA 23

Sejarah dan Legenda Dataran Tinggi Dieng 23

Kondisi Geografis dan Iklim Dataran Tinggi Dieng dan Lokasi

Penelitian (Desa Batur) 24

Kondisi Kependudukan dan Sosial Ekonomi di Dataran Tinggi Dieng 28

Sumberdaya Alam di Dataran Tinggi Dieng 34

Mata Pencaharian Penduduk di Dataran Tinggi Dieng 35

Pemukiman Masyarakat Dataran Tinggi Dieng 38

Pembangunan di Dataran Tinggi Dieng 39

5 STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PETANI DI

DATARAN TINGGI DIENG 41

Perubahan Iklim di Dataran Tinggi Dieng 41

Pengetahuan Petani Tentang Perubahan Iklim 44

Lokalitas Dampak Perubahan Iklim 47

Kerentanan Petani Terhadap Perubahan Iklim 52


(16)

6 ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM SEBAGAI STRATEGI

PENGHIDUPAN YANG BERKELANJUTAN 65

Respons Para Pihak Terhadap Penanganan Dampak Perubahan Iklim di

Dataran Tinggi Dieng 65

Peran Desa Dalam Konteks Adaptasi Perubahan Iklim Di Dataran

Tinggi Dieng 71

Penguatan Kelembagaan Lokal Adaptasi Perubahan Iklim Untuk

Strategi Penghidupan Berkelanjutan 74

7 SIMPULAN DAN SARAN 78

Simpulan 78

Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN 84


(17)

DAFTAR TABEL

1 Subjek penelitian dari unit analisis utama dan unit analisis

pendukung 20

2 Gunung-gunung dan ketinggiannya di Dataran Tinggi Dieng 26 3 Sungai-sungai dan panjangnya yang melewati Dataran Tinggi

Dieng 26

4 Penggunaan lahan di Kecamatan Batur 27

5 Jenis tanah di masing-masing desa di Kecamatan Batur 27 6 Perkembangan jumlah penduduk di Kecamatan Batur menurut desa

tahun 1990-2010 28

7 Jumlah dan presentase penduduk serta rasio ketergantungannya di

Kecamatan Batur tahun 2013 29

8 Jumlah individu yang bekerja dan tidak bekerja menurut kelompok usia dengan status kesejahteraan 30 % terendah di Kecamatan

Batur 31

9 Jumlah anak bersekolah dan tidak bersekolah berdasarkan usia pada rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah di

Kecamatan Batur 32

10 Partisipasi sekolah berdasarkan jenis kelamin pada rumah tangga

dengan tingkat kesejahteraan 30 % terendah di Kecamatan Batur 32 11 Jumlah individu yang menderita cacat dan penyakit kronis

berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin berdasarkan tingkat

kesejahteraan 30 % terendah di Kecamatan Batur 33 12 Jumlah rumah tangga pertanian, peternakan, perikanan, dan

perkebunan di Kecamatan Batur tahun 2013 36

13 Kombinasi komoditas yang ditanam oleh rumah tangga petani di

Kecamatan Batur 37

14 Komoditas ternak yang dibudidayakan oleh rumah tangga petani di

Kecamatan Batur 37

15 Mata pencaharian individu di Kecamatan Batur berdasarkan tingkat

kesejahteraan 30 % terendah di Indonesia 38

16 Jumlah Rukun Tetangga (RT) pada setiap dusun di Desa Batur 38 17 Kondisi hutan, air, pertanian, dan erosi di Dataran Tinggi Dieng

periode 1975-2011 42

18 Aspek keterpaparan terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng

tahun 2014 56

19 Aspek sensitivitas terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng

tahun 2014 57

20 Aspek kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi

Dieng tahun 2014 59

21 Kerentanan petani terhadap perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan karakteristik penguasaan lahan pertanian tahun


(18)

22 Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 11 Tahun 2011 yang terkait dengan pengaturan Kawasan Dataran Tinggi Dieng

dan Kecamatan Batur 66

23 Identifikasi peran desa dalam pengelolaan dampak perubahan iklim


(19)

DAFTAR GAMBAR

1 Model hirarki jejaring kerentanan 10

2 Kerangka konseptual untuk pendekatan dan penguatan kerentanan 10 3 Bentuk-bentuk barang publik yang disediakan secara privat dan

motivasi penyalurannya 12

4 Kerangka kerja untuk analisa kebijakan mikro pada livelihood

pedesaan 15

5 Kerangka kerja sustainable rural livelihood 16 6 Kerangka pemikiran penelitian strategi adaptasi perubahan iklim

petani dataran tinggi 18

7 Alur analisis data penelitian 22

8 Peta Kecamatan Batur 25

9 Perbandingan rasio beban tanggungan penduduk di Kecamatan

Batur tahun 1990, 2002, 2013 30

10 Perbandingan sex ratio penduduk di Kecamatan Batur periode

1990-2013 30

11 Presentase rumah tangga pertanian berdasarkan komoditas di

Kecamatan Batur 36

12 Jumlah hari hujan berdasarkan bulan di Kecamatan Batur tahun

1990-2011 43

13 Jumlah dan rata-rata curah hujan tahunan periode 1990-2014 di

Kecamatan Batur 44


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Suhu Bulan Basah (BB) - Bulan Kering (BK) Rata-Rata

Bulanan Tahun 2009-2014 Stasiun Geofisika Banjarnegara 84 2 Data Klimatologi/Hujan Stasiun Geofisika Banjarnegara 85 3 Data Suhu Rata-rata Bulanan Stasiun Geofisika Banjarnegara

Bulan Mei 2009-Juli 2014 86

4 Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kecamatan Batur

Tahun 1990, 1994, 1998, 2001, 2010, 2012, 2013 87 5 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Periode Bulan Januari –

Desember Tahun 1990 – 2014 88

6 Skor Lima Modal yang Diakses Rumah Tangga Petani

Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan 90

7 Indikator Terpilih Penilaian Kerentanan Rumah Tangga Petani


(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim yang mempengaruhi pemanasan global telah dibuktikan secara ilmiah berdasarkan tren data peningkatan suhu di bumi. Data IPCC (2007) menjelaskan bahwa tahun 1995-2006 merupakan dekade dimana bumi berada dalam kondisi paling hangat berdasarkan rekaman data sejak tahun 1850. Peningkatan suhu berdasarkan tren data per seratus tahun sejak 1906-2005 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu mendekati dua kali lipat pada tahun 1956-2005. Peningkatan suhu tersebut mempengaruhi seluruh permukaan bumi terutama di kutub utara. Dalam kurun waktu 100 tahun ke belakang, suhu Antartika meningkat dua kali lipat dibanding suhu bumi rata-rata. Analisis ini juga menggambarkan pemanasan yang terjadi di seluruh bumi bahwa daratan lebih cepat panas dibanding lautan. Kenyataan tersebut menjadikan perubahan iklim sebagai keniscayaan sekaligus isu yang menjadi perhatian masyarakat global termasuk Indonesia.

Perubahan iklim global yang dicirikan oleh perubahan suhu udara permukaan bumi, curah hujan wilayah, limpasan permukaan,evapotranspirasi, simpanan air bumi dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap respons hidrologi wilayah yang selanjutnya menentukan ketersediaan air wilayah untuk berbagai kebutuhan dan ikut menentukan nilai ekologi, sosial, dan ekonomi sumber daya air yang ada. Kerentanan daur hidrologi misalnya ditunjukkan oleh fakta bahwa perubahan 10% curah hujan benua hanya memerlukan perubahan 2% dari evaporasi lautan dan pembentukan gurun memerlukan perubahan jauh lebih kecil [0,2% dari keseluruhan daur air] (Pawitan 2010).

Berdasarkan data IPCC (2007) peningkatan suhu di Indonesia antara 1970-2004 sebesar 0,20C-10C. Pada tahun 2009, Indonesia secara sukarela memberikan komitmennya untuk melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui aksi mitigasi. Komitmen tersebut difokuskan dalam lima sektor utama yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan limbah dengan target penurunan emisi sebesar 26% tanpa bantuan internasional dan sebesar 41% jika melibatkan bantuan internasional. Komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Kemudian disadari bahwa berbagai fenomena kebencanaan terkait iklim semakin meningkat dalam frekuensi kejadian maupun amplitudo bencana yang sudah menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor. Upaya mitigasi saja dirasa tidak cukup untuk mengatasi peningkatan dampak tersebut, sehingga dilakukan juga upaya adaptasi.

Hasil identifikasi program kegiatan adaptas dari DNPI (2012), menunjukkan persentase terbesar dari kegiatan/program adaptasi perubahan iklim adalah pada tematik bidang manajemen risiko bencana (31%) dan pertanian/ketahanan pangan (31%), dan sisanya terbagi hampir merata pada pembangunan wilayah pesisir (13%), kesehatan masyarakat (6%), sumber daya


(22)

dan kualitas air (10%), dan pengelolaan sumber daya alam (5%). Kegiatan/program adaptasi perubahan iklim yang paling dominan adalah pada jenis adaptasi terencana (48%), diikuti oleh jenis adaptasi antisipatif (37%), dan adaptasi otonom (14%). Kegiatan/program adaptasi perubahan iklim masih didominasi oleh kegiatan adaptasi dengan dimensi kapasitas adaptif (73%), diikuti aksi adaptasi (24%) dan pembangunan berlanjut/lestari (2%).

Pada sektor pertanian, kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim di Indonesia dirancang dengan masih menitikberatkan pada komoditas padi sawah dataran rendah. Pembahasan mengenai petani dataran tinggi maupun petani komoditi selain padi sawah di Indonesia masih sangat minim. Peta jalan (road map) strategi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim tahun 2011-2014 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (2010) lebih membahas upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang sifatnya teknis dengan penekanan pada komoditi padi sawah. Padahal pengaruh perubahan iklim dinyatakan oleh Kementerian Pertanian (2011) bersifat multidimensional mulai dari sumberdaya, infrastrukur pertanian, sistem produksi pertanian, aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan masyarakat petani pada umumnya. Artinya petani komoditi non-padi yang dalam penelitian ini dispesifikkan pada petani dataran tinggi layak dikaji untuk mengetahui tingkat kerentanannya terhadap perubahan iklim sehingga bisa memperkaya dan melengkapi dasar kebijakan bagi upaya menghadapi tantangan dan peluang perubahan iklim yang lebih komprehensif.

Penelitian ini melihat bagaimana petani melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perbahan iklim dan apakah strategi adaptasi tersebut dapat menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan dengan pembahasan yang dititikberatkan pada petani dataran tinggi. Selama ini dataran tinggi banyak dimaknai sebagai wilayah yang tertinggal atau dalam terminologi Li (2002) dataran tinggi disebut sebagai daerah pedalaman yang terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran yang rendah yang telah lama dan terus berlangsung. Tjondronegoro (2008) menjelaskan bahwa dataran tinggi disebut sering disebut sebagai tanah marjinal yang merupakan suatu hasil keterpaksaan, penduduk yang membangun masyarakat disana relatif baru dan sering lebih mobile. Disebutkan pula bahwa pelapisan sosial penduduk di tanah marjinal tidak semantap daerah persawahan dan tingkat kesenian tidak terlalu unggul. Pendapat yang serupa telah dipaparkan sebelumnya oleh Hefner (1999) yang menyebutkan bahwa masyarakat pegunungan (dataran tinggi) memiliki struktur longgar, serba kabur pelapisan sosialnya, dimana ikatan-ikatan antar individu sangat longgar. Masyarakat dataran tinggi kurang memiliki pembatasan kelas sosial yang ketat sebagaimana masyarakat daerah padi sawah. Asumsi bahwa masyarakat dataran tinggi adalah bodoh dan terisolasi dipegang oleh agen pembangunan yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan pembangunan yang diterapkan di wilayah tersebut. Dinamisme, produktivitas, pengetahuan serta kreativitas masyarakat dataran tinggi sering diabaikan dalam program pembangunan pemerintah.

Yuliati (2011) menyatakan bahwa pertanian dataran tinggi tidak memiliki daya tahan ekologis yang mantap seperti yang terjadi pada sistem pertanian sawah. Sawah merupakan sistem pertanian yang sungguh-sunguh berkesinambungan, memiliki kemampuan untuk dikelola secara intensif dalam


(23)

waktu yang tidak ditentukan. Sebaliknya pertanian di dataran tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Hefner (1999) merupakan pertanian dengan sejarah krisis ekologi yang terjadi terus menerus. Kondisi ini disebabkan lahan datar atau berlereng landai dan yang relatif subur lama-kelamaan semakin habis sehingga pemanfaatan lahan semakin ke wilayah yang seharusnya diperuntukkan untuk kawasan lindung.

Kementerian Pertanian (2011) menyebutkan bahwa hampir semua sub sektor pertanian rentan terhadap perubahan iklim, terutama sub-sektor hortikultura yang identik dengan dataran tinggi. Jika sub-sektornya memiliki resiko tinggi maka petani yang bersentuhan langsung dengan aktivitas pertanian menjadi golongan yang paling rentan. Oleh karenanya penelitian ini ditekankan untuk mengetahui bagaimana petani dataran tinggi melakukan adaptasi perubahan iklim dengan melakukan studi petani di Dataran Tinggi Dieng. Berdasarkan penelitian Turasih dan Adiwibowo (2011) tentang petani di Dataran Tinggi Dieng diketahui bahwa sejarah pertanian membentuk budaya di kalangan komunitas petani. Masuknya komoditas hortikultura khususnya kentang ke wilayah Dataran Tinggi Dieng pada periode tahun 1980-an merupakan bentuk adaptasi ekonomi yang menggantikan ketidakpastian penghasilan dari budidaya palawija dan tembakau. Pertanian hortikultura telah mempengaruhi sistem sosial secara umum termasuk munculnya berbagai golongan di kalangan petani serta pola interaksi khas yang kemudian terwujud dari kondisi pertanian tersebut.

Pertanian sebagai sumber nafkah utama di Dataran Tinggi Dieng, masih menjadi primadona dalam berbagai musim walaupun dengan pendapatan yang fluktuatif. Turasih dan Adiwibowo (2012) menyebutkan bahwa usaha tani di Dataran Tinggi Dieng memiliki resiko yang harus siap ditanggung oleh petani. Kondisi ekologi Dataran Tinggi Dieng yang semakin menurun kualitasnya, cuaca yang semakin tidak menentu, serta fluktuasi harga di pasar memberikan konsekuensi bagi petani untuk berjaga-jaga. Faktor perubahan iklim menuntut petani dataran tinggi untuk lebih kreatif dan proaktif dengan melakukan strategi yang mampu adaptif terhadap perubahan iklim. Dalam penelitian ini aktivitas petani yang berhadapan dengan kondisi alam sehingga membuat petani berhadapan dengan resiko pertanian dipahami secara spesifik sebagai bagian dari bersinggungannya aktivitas manusia dengan perubahan iklim. Resiko yang dihadapi terutama berhadapan dengan kondisi keragaman iklim yang semakin sulit diprediksi dan berpengaruh dengan sistem penghidupan petani. Kemampuan dan strategi adaptasi petani terhadap kejadian perubahan iklim menentukan tingkat resiliensi (daya tahan) mereka ketika menghadapi kondisi yang merugikan. Pemahaman mengenai kemampuan dan strategi adaptasi petani di Dataran Tinggi Dieng dapat memperkaya kebijakan perubahan iklim, khususnya di tingkat lokal dan daerah yang secara tidak langsung juga terintegrasi dengan kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional.

Rumusan Masalah

Kolopaking (2012) menyebutkan bahwa peranan iklim dalam pembangunan telah berkembang sejak dekade 1970-an hingga saat ini dengan pola pendekatan yang berbeda-beda. Pada dekade 1970-1990 pembangunan menggunakan sistem sentralistik melalui pengembangan pusat-pusat produksi serta revolusi hijau dengan strategi penyuluhan untuk pertanian. Masa ini disebut


(24)

sebagai masa dimana ‘Iklim untuk Pembangunan’. Pada periode 1990-1998 pembangunan terfokus pada beberapa aspek yaitu pembangunan dan konservasi, pengembangan wilayah, pendekatan kelompok sasaran, pengembangan pedesaan terpadu, inisiatif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengembangan masyarakat dan sektor privat serta Payment for Environmental Services (PES). Pendekatan tersebut berkembang pada awal tahun 2000-an dimana pembangunan dan konservasi dilakukan berbasis masyarakat serta muncul strategi pembangunan melalui Reward Upland Poor of Asia for the Environment Services They Provide (RUPES). Pada masa tersebut iklim dalam pembangunan dan konservasi/ pengelolaan lingkungan hidup telah mulai dilakukan bersama komunitas. Perkembangannya kemudian dari periode 2000-an hingga sekarang adalah telah muncul dukungan stakeholder terhadap inisiatif komunitas untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Iklim dipahami sebagai resiko dan peluang untuk komunitas melakukan inisiasi pembangunan daerah rendah emisi. Oleh karenanya pengorganisasian strategi adaptasi petani dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim boleh menjadi sumbangan untuk penguatan kelembagaan kebijakan adapatasi perubahan iklim di tingkat daerah dan juga terintegrasi dengan kebijakan di tingkat nasional.

Menurut Eriksen dan Selboe (2012) petani dataran tinggi melakukan adaptasi terhadap terjadinya keragaman iklim melalui bentuk-bentuk kolaborasi dengan membangun relasi sosial. Petani secara aktif membangun pola relasi informal dalam melakukan adaptasi seperti dalam aktifitas melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Relasi-relasi informal yang muncul pada komunitas petani dilakukan dalam rangka mengamankan produksi pertanian sekaligus menjaga kualitas kehidupan. Relasi informal dalam mengelola terjadinya keragaman iklim ini terus dijaga meskipun terjadi perubahan skala produksi ke arah yang lebih besar, meningkatnya formalisasi, maupun diversifikasi ekonomi.

Berdasarkan IPCC (2007) aksi-aksi adaptasi menghadapi perubahan iklim memiliki penggerak yang bermacam macam mulai dari pembangunan ekonomi, pengurangan kemiskinan, serta hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan internasional, sektoral, daerah serta perencanaan pembangunan melalui inisiatif lokal. Hasil penelitian IPCC (2007) menyarankan bahwa keuntungan yang lebih tinggi dapat dicapai jika adaptasi dilakukan secara terencana dengan mempertimbangkan kapasitas adaptif masyarakat yang sifatnya dinamis. Kapasitas adaptif sifatnya dinamis dan dipengaruhi oleh basis produksi masyarakat yang meliputi modal alam (natural asset) dan modal buatan manusia (man-made capital assets) yang meliputi jaringan sosial, modal manusia dan kelembagaan, pemerintahan, pendapatan nasional, pendapatan, dan teknologi. Selain itu dipengaruhi juga oleh beragam tekanan baik iklim itu sendiri maupun tekanan non-iklim seperti kebijakan pembangunan. Hal ini kemudian ditekankan oleh Boer dan Kolopaking (2010) dalam Kolopaking (2011) dimana adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan bentuk adaptasi yang direncanakan (planned adaptation). Adaptasi tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menanggapi dampak perubahan iklim khususnya keragaman iklim yang semakin sukar diprediksi dan berdampak bagi sistem kehidupan baik aspek alam (nature) berupa sumber makanan, ekosistem, kesehatan, dan sebagainya maupun aspek manusia.


(25)

Melihat konteks petani dataran tinggi dengan berdasar pada pengertian adaptasi yang telah disebutkan, maka penelitian ini diarahkan untuk mengetahui dan memahami bagaimana strategi adaptasi perubahan iklim dilakukan oleh petani dataran tinggi. Pemahaman mengenai pertanian dataran tinggi yang kurang stabil dibandingkan pertanian dataran rendah menurut Yuliati (2011) serta kerusakan ekologi dataran tinggi yang berkelanjutan menurut Hefner (1999) menjadi pemicu kerentanan bagi golongan petani dataran tinggi. Kerentanan tersebut semakin diperparah dengan kejadian keragaman iklim. Kerentanan terhadap perubahan iklim sesuai pengertian IPCC (2007) merupakan derajat dimana suatu sistem tidak dapat bertahan karena efek perubahan iklim termasuk karena kejadian iklim ekstrim dan keragaman iklim. Kerentanan terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh kapasitas adaptasi, sensitifitas, dan keterpaparan terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan fakta tersebut, untuk menjelaskan dan memahami strategi adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani dataran tinggi maka dispesifikkan ke dalam dua pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim?

2) Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dapat menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1) Menjelaskan dan memahami bagaimana petani dataran tinggi melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.

2) Menjelaskan dan memahami bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dapat menjadi strategi penghidupan yang berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim

Perubahan iklim dalam penelitian ini mengacu pada IPCC (2007) yang mendefinisikan perubahan iklim sebagai sesuatu yang dapat berdasarkan perubahan pada arti iklim maupun sifat-sifatnya yang berlangsung dalam waktu yang panjang yaitu beberapa dekade atau bahkan lebih panjang lagi. Perubahan iklim merupakan perubahan dari waktu ke waktu baik karena variabilitas alami maupun karena aktivitas manusia (anthropogenic). Perubahan iklim jelas terjadi ditandai oleh kenaikan rata-rata suhu global dan permukaan laut, mencairnya salju dan terjadinya kenaikan permukaan laut.


(26)

Perubahan iklim adalah sesuatu yang mencakup semua perubahan lingkungan global, cenderung memiliki efek merusak pada sistem alam dan manusia, ekonomi serta infrastruktur (UNFCC 2007). Dampak negatif perubahan iklim semakin nyata dan terbukti telah menerpa Indonesia dalam bentuk berbagai bencana lingkungan seperti banjir, longsor, kekeringan (UNFCC 2007; UNDP Indonesia 2007). Dampak-dampak tersebut memiliki tantangan terhadap pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan, serta terhadap pencapaian tujuan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk mengantisipasinya. Antisipasi terhadap bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dilakukan melalui upaya mitigasi dan adaptasi (UNDP Indonesia 2007).

Berdasarkan Sodiq (2013), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi apabila terjadi fenomena El Nino maupun La Nina. El Nino merupakan fase panas di Samudera Pasifik. Fenomena El Nino sering muncul setiap 3-7 tahun serta berpengaruh terhadap iklim dunia lebih dari satu tahun. Puncak El Nino tahun 1997-1998 menyebabkan kenaikan rata-rata suhu muka laut di Samudera Pasifik Timur sebesar 2,50C. Kenaikan suhu tersebut lebih tinggi dibanding fenomena El Nino pada tahun 1982-1983 denan kenaikan suhu 2,30C. Kenaikan suhu muka laut tersebut menyebabkan wilayah Samudera Pasifik banyak turun hujan, sebaliknya di wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Kejadian tersebut hingga tahun 2009 terus meningkat dan diperkirakan akan cenderung naik sehingga potensi kekeringan di Indonesia semakin besar. Fenomena La Nina merupakan kebalikan dari El Nino dimana suhu muka laut lebih dingin dari rata-ratanya. Dampak La Nina di Indonesia adalah pergeseran musim hujan serta munculnya kemarau basah.

Kerentanan Sektor Pertanian Terhadap Perubahan Iklim

Menurut Simatupang (1989) komponen sektor pertanian yang paling dominan adalah subsektor tanaman pangan. Kedudukan subsektor tanaman pangan ini semakin lebih penting lagi bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi sifat produknya sebagai bahan kebutuhan dasar penduduk yaitu sebagai bahan makanan pokok. Pertanian terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama cekaman air. Bidang pertanian sangat peka terhadap perubahan iklim, karena tanaman dalam pertumbuhannya untuk menghasilkan produsi membutuhkan air dalam jumlah yang cukup yaitu tidak kurang (kekeringan) dan sebaliknya tidak kelebihan (tergenang) (Sodiq 2013). Curah hujan yang tinggi akan berpengaruh terhadap meluasnya daerah genangan banjir di dataran rendah. Sebaliknya kekeringan akan mempengaruhi daerah lahan kering dataran tinggi (Harmoni 2005).

Boer et al (2012) menyebutkan bahwa kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim terjadi akibat kondisi kekeringan, banjir, dan salinitas. Kekeringan terjadi akibat ketersediaan air untuk tanaman menjadi menipis dan bahkan dapat menjadi tidak tersedia untuk tanaman. Pada fase-fase tertentu apabila kekeringan tidak diantisipasi dengan penyiraman/irigasi yang memadai, tanaman akan mengalami penurunan produksi bahkan hingga mengalami puso.


(27)

Selain terhadap tanaman pangan, kekeringan juga menyebabkan merosotnya ketersediaan air di beberapa waduk atau bendungan yang amat merugikan terutama bagi masyarakat sekitarnya.

Bappenas (2003) mengklasifikasikan kekeringan menjadi beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Kekeringan meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.

2. Kekeringan hidrologis; berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.

3. Kekeringan pertanian; berkaitan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Tipe kekeringan ini dikenal pula sebagai kekeringan agronomis.

4. Kekeringan sosial ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya pasokan listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, serta berkurangnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan.

5. Kekeringan hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.

Pemanasan global telah secara perlahan dan kontinu menyebabkan kenaikan suhu udara, perubahan curah hujan dan kenaikan salinitas air tanah di wilayah pertanian. Dampak tersebut menyebabkan menurunnya produktivitas tanaman, perubahan panjang musim yang menyebabkan menurunnya indeks pertanaman (Kementerian Pertanian 2011). Terkait dengan peningkatan suhu harian dan frekuensi kekeringan, ke depan akan semakin banyak ditemukan lahan yang menurun tingkat kesesuaiannya bagi komoditas pertanian disebabkan oleh tingkat kegaraman lahan yang cukup tinggi (salinitas). Efek salinitas terjadi karena meningkatnya konsentrasi garam di lahan sebagai akibat dari penurunan kandungan lengas tanah yang ditimbulkan dari tingginya evaporasi lahan yang dipicu oleh peningkatan temperatur harian.

Perubahan iklim memiliki dampak positif dan negatif bagi sektor pertanian. Berdasarkan Sodiq (2013) dampak positif perubahan iklim bagi sektor pertanian meliputi aspek-aspek fisik tanaman misalnya ada komoditas tertentu yang justru mengalami pertumbuhan lebih baik karena kadar CO2 di udara

semakin tinggi, lahan rawa/lebak berpeluang untuk ditanami padi karena surut ketika musim kering, kesuburan tanah dapat meningkat akibat unsur hara yang dibawa oleh banjir, kenaikan fotosintesis dengan adanya asupan CO2 dan naiknya

suhu. Wilayah dataran tinggi juga disebutkan dapat memperoleh dampak positif perubahan iklim yaitu tanaman tertentu yang sebelumnya tidak dapat tumbuh menjadi cocok akibat kenaikan suhu. Contohnya, di dataran tinggi Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun yang semula diusahakan kebun teh, pada tahun 2010 dapat ditanami kelapa sawit akibat kenaikan suhu di wilayah tersebut yang menyebabkan tanaman teh terganggu.

Lebih lanjut Sodiq (2013) menjelaskan dampak negatif akibat perubahan iklim terhadap sektor pertanian dapat menyebabkan mundurnya waktu tanam.


(28)

Pada awal tahun 2010 diperkirakan sekitar 1,2 juta ha tanaman padi musim tanamnya mundur selama 10-30 hari akibat El Nino tahun 2009. Perubahan iklim juga menyebabkan perubahan pola tanam, pada lahan kering tanaman beresiko terkena kekeringan pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau lebih cepat, tanaman juga rentan beresiko terkena angin kencang pada bulan Januari-Februari. Perubahan iklim juga menyebabkan berkurangnya musim tanam karena perubahan iklim global di kawasant tropis menyebabkan udara semakin kering atau panas sehingga musim bertanam menjadi semakin pendek. Dampak selanjutnya penduduk miskin di berbagai wilayah tropis akan mengalami bencana rawan pangan. Selain itu dampak negatif lain yang disebabkan oleh perubahan iklim adalah menurunnya luas produksi, penurunan kualitas produksi, peningkatan hama dan penyakit tanaman, yang akhirnya berdampak bagi kerugian ekonomi petani. Tingginya curah hujan menyebabkan petani hortikultura merugi.

Konsep Adaptasi

IPCC (2001) mendefinisikan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai penyesuaian pada alam maupun sistem kehidupan manusia dalam rangka merespon pergerakan iklim dan dampaknya yang merugikan atau mengurangi peluang manfaat. Adaptasi tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa tipe yaitu adaptasi antisipatif dan reaktif, adaptasi privat dan publik, serta adaptasi terencana dan otonomi.

Smit dan Wandel (2006) menjelaskan bahwa dalam beberapa bidang ilmu, adaptasi dimaknai sebagai respon terhadap resiko yang berhubungan dengan bencana lingkungan dan kerentanan manusia atau kapasitas adaptifnya. Pada pembahasan perubahan iklim, analisis adaptasi memiliki tujuan yang bermacam-macam. Pendekatan adaptasi memperhitungan kerusakan yang diakibatkan oleh skenario iklim jangka panjang dengan atau tanpa ajusmen. Analisis adaptasi terhadap perubahan iklim berkembang mengikuti kesadaran terhadap perubahan iklim itu sendiri. Tujuan utama dalam analisis adaptasi perubahan iklim adalah untuk mengestimasi derajat dampak skenario perubahan iklim dapat dihadapi dengan upaya mitigasi (pencegahan) atau adaptasi. Adaptasi bertujuan untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim atau menyadari dampak positif untuk menghindari bahaya.

Analisis adaptasi dapat dilakukan dengan menelaah penerapan praktek adaptasi melalui investigasi terhadap kapasitas dan kebutuhan adaptif di suatu wilayah atau komunitas dengan tujuan untuk mengidentifikasi maksud inisiatif adaptasi atau memperbaiki kapasitas adaptasi. Hal ini memungkinkan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan strategi adaptasi khusus yang sesuai dengan kebutuhan komunitas. Tujuan analisis adaptasi ini bukan untuk memberikan skor terhadap upaya adaptasi atau pun kerentanan, juga bukan untuk mengkuantifikasi dampak adaptasi. Fokus analisis adaptasi di tingkat komunitas lebih untuk mendokumentasikan bagaimana sistem atau pengalaman komunitas mengubah kondisi dan bagaimana proses pengambilan keputusannya yang mungkin mengakomodasi aktivitas adaptasi atau memperbaiki kapasitas adaptif. Analisis adaptasi ini lebih menekankan identifikasi pengalaman empiris komunitas dibanding menggunakan variabel yang sudah ada. Identifikasi meliputi pengalaman dan pengetahuian anggota komunitas terhadap kondisi mereka


(29)

meliputi sensitivitas komunitas, strategi adaptif, dan proses pegambilan keputusan yang berhubungan dengan kapasitas adaptif dan resiliensi. Identifikasi dan dokumentasi proses pengambilan keputusan adaptasi perubahan iklim komunitas dapat diintegrasikan atau bersifat “bottom up” yang memungkinkan untuk mengidentifikasi efektifitas strategi adaptasi. Tujuan analisis adaptasi ini adalah untuk mengarusutamakan (mainstreaming) keseluruhan proses kegiatan adaptasi dengan pengambilan keputusan di berbagai level. Analisis ini disebut juga analisis berbasis komunitas yang menunjukkan kondisi interaksi bentuk-bentuk keterpaparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptasi, untuk memeriksa kebutuhan dan peluang adaptasi yang spesifik komunitas.

Konsep Kerentanan

Definisi kerentanan menurut IPCC (2000) adalah suatu kondisi sejauh mana sistem alam atau sosial rentan mengalami kerusakan akibat perubahan iklim, fungsi dari besarnya kejadian perubahan iklim, serta bagaimana sesnsitivitas sistem terhadap perubahan iklimm dan kemampuannya untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim. Sistem yang sangat rentan adalah suatu sistem yang sangat sensitif terhadap perubahan sederhana dalam iklim serta memiliki kemampuan adaptasi yang terbatas.

Kerentanan menurut Olmos (2001) kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan. Kerentanan tergantung pada adaptasi yang telah dilakukan, kerentanan didefinisikan dalam aspek kapasitas untuk beradaptasi dan kapasitas untuk merespon stress. Mengetahui kerentanan merupakan titik awal untuk analisis dampak perubahan iklim.

Kerentanan terhadap iklim dicirikan oleh tiga hal yaitu tingkat keterpaparan (exposure), tingkat sensitivitas, dan tingkat adaptasi (IPCC 2007). Tingkat keterpaparan diukur dari kedekatan properti atau sumber mata pencaharian keluarga dengan pusat bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim (banjir, bahaya longsor, dan kekeringan). Properti yang dimaksud misalnya rumah, lahan pertanian, dan sumber mata pencaharian lainnya. Tingkat keterpaparan ini sekaligus melihat upaya penanganan yang sudah dilakukan dan tingkat efektivitas keberhasilan upaya yang dilakukan dalam mengurangi besarnya dampak. Tingkat sensitivitas menunjukkan derajat suatu sistem yang terpengaruh oleh perubahan iklim dan bagaimana sistem tersebut mampu responsif dengan perubahan. Sementara itu kapasitas adaptif merupakan potensi atau kemampuan suatu sistem mampu beradaptasi dengan adanya perubahan iklim.

Smit dan Wandel (2006) memberikan gambar model penelaahan kerentanan melalui jejaring kerentanan (Gambar 1). Model analisis adaptasi ini melihat keterhubungan antara keterpaparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptasi di level komunitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor spesifik yang melekat dalam komunitas itu. Interaksi antara lingkungan dan tekanan sosial mendeterminasikan keterpaparan (exposure) dan sensitivitas, sedangkan kapasitas adaptif dibentuk oleh keragaman tekanan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Pada skala yang lebih besar digambarkan bahwa interaksi antara keterpaparan (exposure), sensitivitas, dan kapasitas adaptif merepresentasikan kerentanan lokal


(30)

dan bentuk adaptasinya merupakan ekspresi dari kemampuan adaptif komunitas. Suatu sistem yang lebih terpapar dan sensitif terhadap stimulus iklim akan lebih rentan, namun jika kapasitas adaptifnya bagus maka kerentanannya dapat tereduksi.

Gambar 1 Model hirarki jejaring kerentanan

Adaptasi merupakan manifetasi dari kapasitas adaptif. Sifatnya bisa bermacam-macam dan bersifat relatif tergantung stimulusnya (antisipatif, simultan, reaktif), intensif (otonomi, terencana), lingkup spasial (lokal, skala yang lebih luas), dan bentuknya (teknologis, perilaku, finansial, kelembagaan, dan informasional). Penentu kapasitas adaptif tergantung ruang dan waktu serta memiliki fungsi berbeda dalam konteks yang berbeda.


(31)

Kelembagaan Lokal dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Adaptasi perubahan iklim yang sukses mengurangi kerentanan jarang terjadi jika dilakukan secara individu, pengurangan resiko kerentanan lebih efektif jika dilakukan dengan mengkombinasikan strategi serta rencana di berbagai level (Smit dan Wandel 2006). Tompkins dan Eakin (2012) menjelaskan bahwa adaptasi terjadi di tingkat individu dan publik. Hubungan antara aksi privat dan grup (publik), dapat diperhitungkan biaya dan keuntungannya dalam konteks adaptasi dengan menggolongkannya pada empat macam hubungan yaitu adaptasi publik untuk kepentingan publik, adaptasi publik untuk kepentingan privat (yang lebih besar), adaptasi privat untuk kepentingan privat, dan adaptasi privat untuk kepentingan publik.

1. Adaptasi publik untuk keuntungan publik

Diperlukan intervensi pemerintah untuk tipologi adaptasi ini. Perlakuannya dilakukan untuk sarana umum dan barang publik seperti keamanan nasional, kesejahteraan sosial, dan produktivitas ekonomi yang berkaitan dengan perubahan iklim (misalnya kenaikan permukaan air laut dan kekeringan). Adaptasi ini merupakan jaminan negara bagi warga negaranya dengan perencanaan dan pembiayaan untuk aktivitas adaptasi. Siapa pun dapat memperoleh keuntungan dari adaptasi ini bahkan mereka yang tidak terlibat dalam upaya adaptasi.

2. Adaptasi publik untuk keuntungan privat (yang lebih besar)

Perubahan iklim memiliki dampak yang berbeda pada setiap populasi tergantung sensitivitas dan kapasitas adaptasinya terhadap perubahan. Keuntungan adaptasi individu juga bersifat temporer dan menghadapi persoalan biaya investasi untuk implementasinya. Dalam hal ini pemerintah dapat berperan untuk memberikan subsidi kepada individu-individu untuk mendukung aksi adaptasi yang dapat memberikan keuntungan bagi individu tersebut. Misalnya, kebijakan pemotongan pajak untuk adopsi teknologi yang ramah lingkngan, subsidi asuransi, investasi kampanye informasi yang dapat meningkatkan kapasitas adaptasi individu. Mereka yang tidak termasuk dalam program-program yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat memperoleh keuntungan dari jenis adaptasi ini.

3. Adaptasi privat untuk kepentingan privat

Keuntungan adaptasi yang dilakukan oleh individu akan dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Aset yang disediakan oleh individu untuk melakukan adaptasi tidak akan sama tujuannya dengan individu yang lain.

4. Adaptasi privat untuk kepentingan publik

Keuntungan dari aktivitas individu atau privat tidak akan langsung kembali kepada individu tersebut atau dengan kata lain tidak dapat terukur dan bersifat abstrak. Aksi adaptasi yang dilakukan oleh individu baik secara sengaja maupun tidak sengaja menjadi sebuah bentuk pelayanan publik. Sebagian kasus adaptasi publik adalah produk dari aksi individual/privat. Produk aksi individual tersebut dapat ditengarai melalui lima hal yaitu, deskripsi pemilik sumberdaya dan sumberdaya yang dimaksud, adaptasi dibayai secara pribadi, jumlah harga biaya


(32)

ditanggung oleh pemilik sumberdaya, menciptakan barang untuk kepentingan publik, bentuk keuntungan yang diperoleh dari adaptasi privat.

Adaptasi privat yang memberikan keuntungan bagi publik disalurkan melalui dua aktivitas aktor yaitu aksidental dan deliberasi. Aksi aksidental dapat terjadi melalui produk aksi yang lain, misalnya eksternalitas positif dari tujuan aksi individual yang bermanfaat bagi publik seperti adopsi sistem pemanenan air hujan akan memberikan keuntungan bagi kondisi sumberdaya air tanah. Sedangkan, deliberasi terjadi melalui aksi yang dilakukan oleh salah satu dari tiga tipe aktor: (i) individu yang menilai barang lebih dari biaya yang dikeluarkan dan menyalurkan barang tersebut kepada yang lainnya; (ii) tipe altruis yang termotivasi melalui faktor-faktor lain misalnya keinginan untuk menolong orang; (3) aktor yang memiliki keuntungan atau kesejahteraan yang mendorong mereka untuk menyalurkan sesuatu kepada yang lainnya. Penelaahan lebih lanjut menjelaskan bahwa delibarasi lebih menunjukkan kondisi penyaluran barang publik.

Gambar 3 Bentuk-bentuk barang publik yang disediakan secara privat dan motivasi penyalurannya.

Menghubungkan aksi individu untuk menciptakan adaptasi bagi publik menghadapi tantangan kelembagaan yang perlu dipahami sejak awal. Diperlukan pengetahuan mengenai konteks kelembagaan yang meliputi siapa pengguna sumberdaya privat, apa sumberdaya yang dikelola, dan apa aturan pengelolaan adaptasi yang memiliki skala lebih luas, apa keuntungan dan biaya yang diperlukan untuk adaptasi, siapa yang menanggung biaya dan memperoleh keuntungan, dan apa aturan tata kelola (manajemen adaptasi). Diperlukan pemahaman mengenai elemen-elemen tersebut untuk memperoleh instrumen penyusunan kebijakan yang sesuai.


(33)

Petani dan Etika Subsistensi

Scott (1981) memberikan sebuah gagasan mengenai etika subsistensi pada masyarakat petani. Etika tersebut muncul di kebanyakan masyarakat petani yang pra-kapitalis akibat kekhawatiran akan mengalami kekurangan. Etika tersebut merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas. Satu panen yang buruk tidak hanya akan berarti kurang makan; agar dapat makan orang mungkin terpaksa mengorbankan harga dirinya dan menjadi beban orang lain, atau menjual sebagian dari tanahnya atau ternaknya sehingga memperkecil kemungkinan mencapai subsitensi yang memadai tahun berikutnya.

Pola-pola resiprositas, kedermawanan tanah komunal, dan saling tolong-menolong dalam pekerjaan, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang tak terelakkan yang mungkin dialami satu keluarga petani dan yang tanpa pengaturan-pengaturan dapat mengakibatkan keluarga tersebut jatuh ke bawah tingkat subsistensi. Masalah yang dihadapi oleh keluarga petani adalah dapat menghasilkan makanan yang cukup untuk makan sekeluarga, untuk membeli barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar. Etika subsistensi menurut Scott ini merupakan kondisi “eksploitasi tanpa pemberontakan”. Etika subsistensi berakar dalam kebiasaan-kebiasaan ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial dalam masyarakat petani.

Perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani yang berorientasi subsistensi merupakan akibat dari kenyataan bahwa rumah tangga petani merupakan satu unit konsumsi dan unit produksi. Agar mampu bertahan dalam satu unit maka keluarga tersebut pertama-tama harus memenuhi kebutuhannya sebagai konsumen subsistensi sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Mereka mengutamakan apa yang dianggap aman dan dapat diandalkan dibanding mengejar keuntungan jangka panjang. Pada rumah tangga subsisten, tenaga kerja seringkali merupakan satu-satunya faktor produksi yang dimiliki petani secara relatif melimpah, maka ia mungkin melakukan banyak pekerjaan kecil supaya subsistensinya terpenuhi. Petani lebih suka meminimumkan kemungkinan terjadinya satu bencana daripada memaksimumkan penghasilan rata-ratanya (prinsip menghindari resiko—dahulukan selamat). Bagi keluarga petani toleransi resiko berbeda-beda menurut dekatnya sumber-sumber daya mereka kepada kebutuhan subsitensi pokok. Keluarga dengan anggota lebih banyak memiliki tingkat krisis subsistensi yang lebih besar.

Gagasan Scott mengenai etika subsistensi muncul dari dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Oleh karena mereka hidup begitu dekat dengan batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan cuaca serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka rumah tangga petani tidak mempunyai banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung keuntungan maksimal menurut ilmu ekonomi neoklasik yang tradisional. Petani berusaha menghindari kegagalan dan resiko (enggan resiko-risk averse) dengan meminimumkan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum (safety-first). Prinsip safety-first (dahulukan selamat) melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis. Contoh: cara bertani pada lahan yang terpencar-pencar, penggunaan lebih dari satu bibit. Implikasi “dahulukan


(34)

subsistensi di mana resiko-resiko dihindari sebagai hal yang mengandung potensi bencana, sedangkan di luar batas itu berlaku kalkulasi laba yang bersifat borjuis.

Bagi petani, jaminan terhadap krisis merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dibandingkan dengan penghasilan. Petani-petani dengan mobilitas ke bawah mungkin akan berusaha bertahan mati-matian pada garis batas di mana meraka menghadapi risiko kehilangan sebagian besar dari kepastian yang mereka miliki sebelumnya. Pada akhirnya petani akan melakukan strategi bertahan hidup demi mempertahankan kecukupan pada rumah tangganya. Terdapat tiga sebab utama mengapa petani melakukan strategi untuk bertahan yaitu: (1) fluktuasi-fluktuasi hasil karena sebab alami (kerawanan ekologis); (2) fluktuasi-fluktuasi-fluktuasi-fluktuasi pasar dunia (kerawanan harga); dan (3) fluktuasi hasil monokultur (kerawanan monokultur). Untuk menghadapi fluktuasi tersebut petani melakukan empat strategi utama yaitu: (1) Self-help: pengandalan pada bentuk-bentk setempat dari usaha swadaya; (2) pPengandalan pada sektor ekonomi bukan petani; (3) pengandalan pada bentuk-bentuk patronase dan bantuan yang didukung oleh negara; (4) pengandalan pada struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan atau oposisi. Keempat strategi bertahan hidup tersebut tidak bersifat eksklusif, artinya dapat berubah-ubah menurut waktu. Seorang petani bisa saja menggunakan keempat pola tersebut sekaligus.

Strategi Penghidupan Rumah Tangga

Konsep livelhood telah banyak digunakan dalam berbagai tulisan mengenai kemiskinan dan pembangunan pedesaan, namun demikian definisinya dapat bermacam-macam tergantung dari sumbernya. Livelihood memiliki makna kamus yaitu ‘cara hidup’ (means of living). Ellis (2000) mengelaborasi definisi livelihood yaitu:

A livelihood comprises the assets (natural, physical, human, financial, and social capital), the activities, and the access to these (mediated by institution and social relations) that together determined the living gained by the individual or household).

Konstruksi livelihood harus dilihat sebagai sebuah proses yang terus menerus dan tidak sama dari waktu ke waktu. Aset-asetnya dapat dibangun, berkurang, ataupun dapat rusak begitu saja. Hal tersebut juga dipengaruhi leh tren ekonomi yang lebih besar di level nasional dan bahkan level yang lebih luas. Begitupun akses terhadap aset (sumberdaya dan kesempatan) yang dapat berubah bagi individu maupun rumah tangga misalnya dipengaruhi oleh perubahan norma dan kelembagaan sosial. Selanjutnya Ellis (2000) memberikan gambaran mengenai kerangka kerja analisis livelihood pedesaan (Gambar 4). Rumah tangga pedesaan merupakan unit sosial utama dalam kerangka analisis tersebut. Hal ini

berarti penggunaan istilah “livelihood strategy” atau strategi penghidupan di mana

rumah tangga sebagai unit sosialnya digunakan untuk melihat keberagaman aktivitas berdasarkan aset dan perubahan kondisi sekitarnya. Di pedesaan atau level komunitas, strategi penghidupan tunggal tidak dapat diaplikasikan, rumah


(35)

tangga akan melakukan strategi-strategi yang berbeda berdasarkan aset dan status aksesnya terhadap aset tersebut.

Ellis (2000) menyatakan bahwa pengertian livelihood berbeda dengan pendapatan (income), namun demikian keduanya berkaitan erat karena pendapatan merupakan hasil dari livelihood yang paling dapat diukur. Ellis membagi income ke dalam tiga kelompok yaitu: (1) Farm income; (2) Off-farm income; (3) Non-farm income. Farm income merupakan pendapatan yang dihasilkan dari pertanian baik berasal dari lahan milik sendiri maupun lahan sewa dan bagi hasil. Off-farm income yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. Non farm income yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang meliputi upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian, usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.

A B C D E F

Livelihood platform

Acces modified by

In context of Resulting in Composed of With Effects on Social relations Gender Class Age Ethnicity Trends Population Migration Technological change Relative prices Macro Policy National econ trends World econ trends NR-based activities Collection Cultivation (food) Cultivation (non-food) Livestock Non-farm NR Livelihood security Income level Income stability Seasonality Degrees of risk Assets Natural capital Physical capital Human capital Financial capital Social capital Institution Rules and customs Land tenure Market in practice Livelihood strategies Organisations Associations NGOs Local admin State agencies Shock Drought Floods Pests Diseases Civil war Non-NR-based rural trade other services rural manufacture remitances other transfers Env. Sustainability Soils and land quality Water Rangeland Forests Biodiversity

Sumber: (Ellis, 2000)

Gambar 4 Kerangka kerja untuk analisa kebijakan mikro pada livelihood pedesaan Scoones (1998) juga telah membuat sebuah kerangka pemikiran mengenai livelihood yang menghubungkan antara kondisi, konteks, dan kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Saleh (2014) menyatakan bahwa kerangka kerja Scoones


(36)

dapat digunakan pada skala yang berbeda-beda baik individu, rumah tangga, organisasi kekerabatan, desa, daerah, atau bahkan negara. Berdasarkan kerangka kerja Scoones tersebut penghidupan yang berkelanjutan dapat dinilai pada level-level yang berbeda sesuai interaksi berbagai aspek. Kerangka kerja Scoone dapat dilihat pada Gambar 5 Scoones membagi strategi penghidupan menjadi tiga yaitu: (1) strategi intensifikasi/ekstensifikasi pertanian; (2) strategi diversifikasi pendapatan; (3) strategi migrasi. Oleh Scoones disebutkan bahwa rumah tangga dapat melakukan kombinasi kegiatan dan pilihan-pilihan yang dibuat untuk mencapai kesejahteraan. Strategi tersebut meliputi cara-cara rumah tangga merangkai berbagai kegiatan untuk memperoleh pendapatan, cara-cara memanfaatkan berbagai aset, pilihan aset untuk invesatsi dan bagaimana rumah tangga mempertahankan aset serta pendapatannya. Kerangka kerja Scoones tercantum pada gambar 5.

Sumber: (Scoones, 1998)


(37)

Kerangka Pemikiran

Asumsi dasar dari penelitian ini adalah: petani dataran tinggi telah dan sedang melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi, di sektor pertanian dampak besar yang dirasakan adalah perubahan siklusmusim kemarau dan penghujan, dan perubahan curah hujan. Kedua perubahan ini akan menimbulkan potensi tingginya kegagalan panen, selain itu petani akan kesulitan untuk menentukan waktu memulai bercocok tanam karena ketidakpastian musim kemarau dan musim hujan.

Perubahan iklim dalam penelitian ini mengikuti pengertian IPCC (2007) bahwa perubahan iklim termasuk variabilitas iklim alami dan perubahan yang disebabkan faktor manusia (antrophogenic) seperti pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia. Pada sektor pertanian perubahan iklim dapat dicirikan dari perubahan temperatur dan kejadian iklim ekstrem. Kejadian perubahan iklim memberikan dampak bagi kehidupan pada aspek fisik dan ekologi, ekonomi, dan sosial. Dampak tersebut mempengaruhi rumah tangga dan komunitas berdasarkan lima aset yang dikuasai meliputi aset alam, aset manusia, aset keuangan, aset fisik, dan aset sosial. Akses terhadap aset –aset tersebut mempengaruhi strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi dalam menghadapi perubahan iklim. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dipengaruhi oleh lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal meliputi lingkungna fisik yaitu pengelolaan lahan dan pemukiman, serta lingkungan sosial yang meliputi nilai/norma, interaksi sosial, dan sistem ekonomi. Lingkungan eksternal terdiri dari dua hal yaitu proses kebijakan dan intervensi eksternal dalam proses-proses pembangunan yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng.

Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim mengarah pada adaptasi yang direncanakan (planned adaptation) (Boer dan Kolopaking 2010 dalam Kolopaking 2011). Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi berkaitan dengan kerentanan mereka terhadap dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim. Diperkirakan petani dataran tinggi memiliki strategi adaptasi yang berkaitan dengan tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan dilihat berdasarkan tingkat keterpaparan (exposure), tingkat sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Keberhasilan strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani dapat menjadi pendukung bagi penguatan kelembagaan adaptasi petani di tingkat lokal dan mendukung keberlanjutan strategi penghidupan pada rumah tangga petani. Keberlanjutan strategi penghidupan dapat terjadi apabila strategi adaptasi perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh rumah tangga petani dapat melihat aspek pengurangan resiko terhadap perubahan iklim dan dapat meningkatkan peluang dari kejadian yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Gambaran mengenai alur kerangka berpikir penelitian ini tercantum pada Gambar 6.


(38)

Keterangan:

Mempengaruhi Saling terkait

Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian strategi adaptasi perubahan iklim petani dataran tinggi

Strategi penghidupan berkelanjutan  Mengurangi resiko

 Meningkatkan peluang RT Petani Dataran Tinggi

Strategi adaptasi perubahan iklim  Antisipatif

 Otonom

 Terencana

Lingkungan internal Lingkungan fisik:

pengelolaan lahan dan pemukiman

Lingkungan sosial: nilai/norma, interaksi sosial, sistem ekonomi

Lingkungan eksternal Proses Kebijakan

Intervensi eksternal

Kerentanan  Keterpaparan (exposure)  Sensitivitas (sensitivity)

 Kapasitas Adaptif (adaptive capacity)

Aset

Alam

Sosial Manusia

Keuangan Fisik

Perubahan iklim (IPCC, 2007): variabilitas iklim alami, antrophogenic

(pertumbuhan penduduk dan aktvitas manusia)

RT/Komunitas

Perubahan iklim sektor pertanian: perubahan temperatur dan kejdian

iklim ekstrem

Dampak perubahan iklim: 1. Fisik dan ekologi 2. Ekonomi 3. Sosial


(39)

METODOLOGI Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-interpretatif yang dikuatkan dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif mengandalkan grounded research dan fenomenologi untuk melihat interpretasi-konstruktif dari tineliti mengenai pemaknaan atas fenomena perubahan iklim yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didukung dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara terstruktur.

Wawancara mendalam berguna untuk memperoleh data/infomasi tentang pengalaman, pendapat-reflektif, perasaan, pemaknaan/pemahaman subjektif k atas berbagai hal terkait dengan proses-proses adaptasi yang terjadi pada petani dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim. Juga memperoleh data bagaimana upaya adaptasi tersebut dilakukan supaya bisa melembaga dan mampu mendukung kebijakan di tingkat daerah. Sumber data/informasi dalam hal ini adalah resource persons (tokoh masyarakat, pemerintah desa, panutan masyarakat) yang bertindak atas nama dirinya sendiri maupun atas nama masyarakat luas (menceritakan apa yang terjadi pada masyarakat dimana resource person menjadi bagiannya). Prinsip penelitian fenomenologi yang dipilih sebagai teknik kajian untuk memahami proses pengorganisasian/perencanaan strategi adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani di dataran tinggi. Wawancara mendalam akan digunakan untuk menggali informasi dari tineliti (subjek/orang yang diteliti). Tineliti menceritakan pandangannya dan pendapatnya tanpa intervensi dan interpretasi sedikitpun dari peneliti.

Wawancara terstruktrur (structured interview) mengacu pada situasi ketika seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap responden dengan kategori jawaban tertentu/terbatas (Fontana dan Frey 1997). Peneliti menyediakan sedikit ruang bagi variasi jawaban, kecuali jika menggunakan metode pertanyaan terbka (open-ended question) yang tidak menuntut keteraturan. Jawaban untuk setiap pertanyaan dicatat berdasarkan skema kode (coding scheme). Penggunaan wawancara terstruktur adalah untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan. Dalam setting wawancara terstruktur hanya ada sedikit kelenturan (flexibility) terkait dengan cara pertanyaan seharusnya disampaikan atau bagaimana jawaban diberikan. Wawancara terstruktur dengan kuesioner ini dilakukan untuk menilai kerentanan rumah tangga petani terhadap perubahan iklim.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian menganalisa wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai satu kawasan yang terdiri dari 8 Desa yaitu Desa Batur, Desa Sumberejo, Desa Pekasiran, Desa Kepakisan, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Pesurenan, dan Desa Dieng Kulon. Kemudian untuk menganalisa kondisi spesifik desa diambil studi kasus di Desa Batur. Selain itu, penelitian juga dilakukan di berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kabupaten Banjarnegara yang meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),


(40)

Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November-Desember tahun 2014.

Unit Analisis dan Subjek Penelitian

Unit analisis utama dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani di Desa Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Rumah tangga dikelompokkan berdasarkan tipe penguasaan lahan yang terdiri dari rumah tangga yang tidak menguasai lahan (0 ha), rumah tangga

dengan penguasaan lahan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,5 ha ≤ x < 1 ha, dan rumah tangga dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha. Unit analisis

pendukungnya terdiri dari kelembagaan petani yang terdapat di tingkat komunitas, desa, maupun daerah yang meliputi Kelompok Tani di Desa Batur, Asosiasi Penangkar Benih Kentang Dieng, Komunitas Petani Kentang Dieng, Pemerintah Desa Batur, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Banjarnegara yang meliputi Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten Banjarnegara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara, dan lembaga pemerintah non-departemen yaitu Badan Penanggunalan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara, dan penyuluh pertanian.

Subjek penelitian sesuai dengan unit analisis ini dipilih berdasarkan teknik purposive sampling sesuai dengan kriteria penguasaan lahan. Metode purposive sampling diberlakukan dengan mempertimbangkan kriteria dari responden yang diwawancarai yaitu sebagai responden yang diharapkan bisa tahu mengenai informasi yang diharapkan oleh peneliti. Total rumah tangga yang menjadi subjek penelitian adalah 30 rumah tangga dan subjek dari unit analisis pendukung terdiri dari 16 orang. Rincian subjek penelitian tersebut tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Subjek penelitian dari unit analisis utama dan unit analisis pendukung

No Unit Analisis Jumlah

1 Rumah tangga non penguasa lahan 8 rumah tangga

2 Rumah tangga penguasa lahan 0,1 ha ≤ x < 0,3 ha 7 rumah tangga

3 Rumah tangga penguasa lahan 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha 5 rumah tangga

4 Rumah tangga penguasa lahan 0,5 ha ≤ x < 1 ha 5 rumah tangga

5 Rumah tangga penguasa lahan ≥ 1 ha 5 rumah tangga

6 Kelompok Tani 4 orang

7 Asosiasi Penangkar Benih Kentang Dieng 1 orang

8 Pemerintah Desa Batur 1 orang

9 Bappeda Kabupaten Banjarnegara 3 orang

10 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara 1 orang

11 Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara 1 orang

12 Badan Penanggulangan Bencana Daerah 1 orang


(41)

Skor kumulatif per variabel = Jumlah skor sub variabel

Jumlah skor tertinggi sub variabel

Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara dan observasi langsung, sedangkan data sekunder berasal dari literatur, dokumen, film, dan data-data statistik yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Data penelitian berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif bersumber dari hasil wawancara, literatur, dokumen, film, dan sumber yang relevan. Sedangkan data kuantitatif utama dalam penelitian bersumber dari dari data statistik berupa data Kecamatan Batur Dalam Angka Periode Tahun 1990-2014. Data kuantitatif lainnya diperoleh dari sumber literatur pendukung yang sesuai dengan konteks penelitian.

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data mengikuti tahapan analisis yang digagas oleh Huberman dan Miles (1997) dimana analisis data menggunakan model interaktif dan penyajian datanya bersifat sekuensial dan interaktif. Analisis data meliputi tiga subproses yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan keputusan/verifikasi.

1. Reduksi data

Reduksi data berarti bahwa kesemestaan potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hasil catatan lapangan, wawancara, serta data pendukung yang tersedia dalam penelitian ini dirangkum (data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan penyajian cerita secara tertulis. Hasil catatan lapangan dari penelitian ini dirangkum dan dikelompokkan, kemudian dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil wawancara terstruktur terutama untuk mengetahui kerentanan rumah tangga petani terhadap perubahan iklim di-coding sesuai dengan panduan kuesioner (lihat lampiran 7) kemudian dilakukan skoring.

Skoring dari setiap variabel keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi dihitung mean (rata-rata) dari setiap komponennya. Kemudian hasil rataan tersebut dinilai selisihnya antara nilai terendah dan nilai tertinggi yang kemudian dibagi 5 sesuai dengan golongan penguasaan lahan di tingkat rumah tangga petani. Selanjutnya mengikuti Boer (2010), kerentanan diklasifikasikan dalam tipologi rendah, sedang (menengah) dan tinggi.

Tingkat kerentanan = Skor Keterpaparan x Skor Sensitivitas Skor Kapasitas Adaptasi


(1)

Lainnya 5 Sumber air

bersih untuk keluarga

sumber air bersih

seari-hari PDAM

1

Sumur 2

Tampungan

hujan 3

Sungai/mata air 4 Apakah mengalami

kesulitan akses air bersih Ya

2

Tidak 1

Jenis kesulitan Air

terkontaminasi 1 Sumber air jauh 2 sumber air bersih

memenuhi kebutuhan Ya

2

Tidak 1

Solusi jika air bersih tidak memenuhi kebutuhan

Membeli 1

mencari sumber

yang baru 2

Akses air bersih ketika terjadi bencana iklim

kesulitan akses air bersih ketika terjadi bencana kekeringan

Ya 2

Tidak 1

Ada bantuan akses air

bersih Ya

2

Tidak 1

Institusi yang membantu Pemerintah 1

Bisnis 2

LSM 3

Jenis bantuan Teknis 1

Air bersih 2

Finansial 3

Sumber air untuk pertanian

Jenis sumber air pertanian Irigasi 1 Tadah Hujan 2 Jenis irigasi dam yang

dikelola pemerintah

3 waduk/embung 4 sungai/waduk

yang dikelola masyarakat

5 kesulitan dalam pengairan Ya 2

Tidak 1

Mengapa kesulitan Lokasi lahan jauh dari sumber air

1


(2)

Pada bulan apa

mengalami kesulitan air

Usaha mengatasi kesulitan

air Ada

2

Tidak 1

Jenis usaha mengatasi kesulitan air

Mengambil air

kolam 1

Menggali

sumur 2

memompa air

sungai 3

Total Sensitivitas 69

kapasitas adaptasi

Sistem

peringatan dini

ada peringatan dini

antisipasi bencana iklim Ada

2

Tidak 1

Jenis bencana dengan peringatan dini

Banjir 1

kekeringan 2

Angin badai 3 Tanah longsor 4 Pelaku sistem peringatan

dini

Pemerintah

desa 1

Pemerintah

Kabupaten 2

LSM 3

Tokoh desa 4

Media massa 5

Peringatan dini efektif Ya 2

Tidak 1

Penyebab tidak efektif Tidak tepat

waktu 1

Tidak ada dukungan pemerintah

2 Tidak ada

sarana prasarana

3 Upaya persiapan

untuk menghadapi bencana iklim

Melakukan upaya

persiapan Ya

2

Tidak 1

Persiapan untuk pertanian Mengasuransik an tanaman anda

1 Membangun

saluran air 2 Instalasi pompa

air 3

Menjadwal


(3)

irigasi Memperbaiki saluran irigasi secara rutin

5 Mengatur

strategi

penanaman dan menggunakan informasi prakiraan iklim

6

Membangun dan

memperkuat tanggul

7 Membuat

embung atau waduk kecil

8 Upaya saat

menghadapi bencana iklim

langkah saat terjadi bencana

Evakuasi ke daerah yang lebih aman

1 Mencari

bantuan 2

Bantuan saat terjadi bencana

Ada 2

Tidak 1

Bentuk bantuan Benih dan input

pertanian 1

makanan dan

obat-obatan 2

Uang 3

Tempat dan

sarana evakuasi 4 Bantuan

pekerjaan 5

Sumber bantuan PMI 1

Tetangga 2

kelompok

Masyarakat 3

BNPB 4

BPBD 5

Basarnas 6

Pemerintah 7

LSM 8

Polisi/TNI 9

Individu 10

Upaya saat menghadapi


(4)

terdekat Bertanam tanaman yang varietasnya membutuhkan lebih sedikit air

2

Mengurangi

penggunaan air 3 Perbaiki

saluran irigasi 4 Menggali

sumur tanah baru untuk mengairi lahan pertanian

5

Menggunakan

air lebih efisien 6 Tidak

menanam 7

Mencari

pekerjaan baru 8 Kerjasama

dengan pihak lain

Kerjasama ketika menghadapi bencana

Ada 2

Tidak 1

Kerjasama yang dilakukan Antara

kelompok tani 1 Antara

kelompok dari desa yang berbeda

2

Antara kelompok dengan pemerintah

3 Antara individu

dengan individu

4 Dukungan

sistem kelembagaan

Dukungan dari sektor yang berbeda untuk menghadapi bencana

Ada 2

Tidak 1

Lembaga pemberi dukungan

Aparat desa 1 Pemerintah

kabupaten 2

Pemerintah

provinsi 3

Dinas Pertanian 4 Dinas

Kehutanan dan Perkebunan


(5)

LSM 6

BMKG 7

Lainnya 8

Sifat dukungan Sumber

informasi 1

Dukungan

Keuangan 2

makanan dan

obat-obatan 3 Dukungan

Teknis 4

Dukungan

Logistik 5

Lainnya 6

Kepuasan terhadap dukungan

Ya 2

Tidak 1

Total Kapasitas Adaptasi 77

Keterangan: Dimodifikasi dari kuesioner penilaian kerentanan rumah tangga

terhadap variasi iklim dan perubahannya di Daerah Aliran Sungai Citarum

(CCROM SEAP IPB; ADB; AECOM, 2012)


(6)

Turasih merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak

Ahmad Salimi dan Ibu Surati. Penulis lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah pada

tanggal 06 Januari 1990. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di

TK Aisiyah Bustanul Athfal Pagentan (1994-1995), SD Negeri 1 Pagentan

(1995-2001), SMP Negeri 1 Pagentan (2001-2004), Madrasah Aliyah Negeri 2

Banjarnegara (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai

mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi

Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusi

a dan lulus pada tahun 2011 dengan judul skripsi “Sistem

Nafkah Rumah Tangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa

Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa

Tengah). Selanjutnya penulis meneruskan studi Magister di Sekolah Pascasarjana

IPB Program Studi Sosiologi Pedesaan.

Selama menjalani studi di Program Studi Sosiologi Pedesaan, penulis aktif

bekerja sebagai asisten peneliti dan fasilitator pengembangan masyarakat di Pusat

Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-LPPM IPB. Selain itu penulis

aktif menjadi asisten dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat-FEMA IPB untuk mata kuliah Sosiologi Pedesaan, Perubahan Sosial,

Kelembagaan, Organisasi dan Kepemimpinan. Pada saat menempuh pendidikan

S1, penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Bakti Tanoto melalui beasiswa

Tanoto Foundation. Pada saat mengambil studi Magister, penulis kembali

mendapatkan beasiswa Tanoto Foundation program Pasca Sarjana.