2.5.3 Budaya
Di Indonesia, bagi perempuan menikah adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah lama ada dikondisikan dengan budaya, agama dan lingkungan sekitar
yang membuat perempuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Dalam budaya patriarkis, menikah tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan
peningkatan status sosial tetapi juga agar perempuan kelihatan menjadi sempurna, yakni menjadi seorang istri dan kemudian ibu Kartika, 2002.
Pola perkawinan masyarakat Indonesia sangat beragam, sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku masyarakat. Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan
setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan, antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka lekas-lekas menikahkan anak gadisnya dengan alasan
malu kalau anaknya dianggap perawan tua. Menurut Goode 1983, perubahan status seseorang dari belum kawin menjadi kawin, akan membawa perubahan peranannya
dalam masyarakat atau secara ritual telah memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak baru.
Di Mojokerto, diungkapkan oleh Geerzt 1982, seorang anak perempuan, perkawinan pertama segera dipersiapkan setelah haid pertama karena seorang ayah
akan mendapatkan malu kalau seorang gadis yang telah dewasa belum ada jodohnya. Menurut Nurwati 2003, di Jawa Barat khususnya masyarakat yang tinggal di
pedesaan bila wanita sudah berusia 16 tahun belum menikah maka keluarganya akan merasa malu. Pernikahan biasanya dilakukan pada saat musim panen bulan
Rayagung yang diyakini akan menaikkan derajat sosial keluarga dan orang tua.
2.5.4 Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang overt behaviour. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers 1974 dalam Notoatmodjo 2007 mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni:
a. Awareness kesadaran yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus objek terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus. c. Evaluation menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus. Penelitian Rogers dalam Notoatmojo 2007 menyimpulkan bahwa perubahan
perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran
dan sikap yang positif long lasting. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Menurut Notoatmojo 2007, pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif dengan 6 tingkatan yaitu:
a. Tahu know. Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
recall terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami comprehension. Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi application. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real sebenarnya.
d. Analisis analysis. Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut. e. Sintesis synthesis. Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi evaluation. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.
Ketidak bahagiaan dalam perkawinan sebagian besar pasangan yang memasuki jenjang perkawinan tidak mempunyai persiapan jiwa dalam arti yang
sesungguhnya. Mereka tidak dibekali dengan cukup, hanya sekedar petuah-tuah dan kalimat-kalimat pendek. Mereka berpikir bahwa dengan hubungan-hubungan cinta
dan seks akan dapat memuaskan semua keinginan dan kebutuhan istrinya. Perempuan juga berpikir seperti itu Nurwati, 2003.
2.5.5 Persepsi Keluarga Orang Tua