Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM

PERUBAHAN KAPASITAS PANAS WILAYAH AKIBAT
PERUBAHAN KOMPOSISI TUTUPAN LAHAN
MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT-5 TM

WINDA ARYANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Kapasitas
Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data
Citra Landsat-5 TM adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Winda Aryani
NIM G24090003

ABSTRAK
WINDA ARYANI. Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan
Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM. Dibimbing
oleh IDUNG RISDIYANTO SSi, MSc.
Perubahan kapasitas panas wilayah dihitung dari rasio antara penambahan
atau pengurangan panas (ΔQ) dengan kenaikan atau penurunan suhu (ΔT) wilayah
tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menghitung perubahan kapasitas panas
wilayah akibat perubahan komposisi luas tutupan lahan hutan, semak, kebun sawit
dan lahan terbuka dengan menggunakan data citra satelit Landsat-5 TM tahun
1994, 2000 dan 2010. Luas wilayah kajian yang digunakan adalah 12971 ha. Pada
tahun 1994-2000 terjadi peningkatan luas hutan sebesar 4% dan semak 2% yang
diikuti dengan penambahan biomassa sebesar 4.01 ton/ha untuk hutan dan 2.83
ton/ha untuk semak. Peningkatan luasan hutan dan biomassa (ton/ha) disebabkan
oleh proses pertumbuhan hutan dan semak menuju klimaks sehingga menambah

volume kanopi hutan. Akibatnya, kapasitas panas wilayah tahun 1994 sebesar
19384 MJCo-1 meningkat menjadi 19929 MJCo-1 pada tahun 2000. Pengamatan
data tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luasan hutan sebesar
66% yang disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi perkebunan sawit (47%),
semak (8%) dan lahan terbuka (11%). Biomassa tumbuhan tetap mengalami
peningkatan, yaitu sebesar 1.48 ton/ha untuk hutan, 2.73 ton/ha untuk semak dan
4.63 ton/ha untuk lahan terbuka. Sebelum tahun 2000, tidak ada penutupan lahan
oleh perkebunan sawit, sehingga peningkatan biomassanya terbesar dibandingkan
tiga penutupan lahan lainnya, yaitu sebesar 122.29 ton/ha. Penurunan persentase
luas hutan tidak menyebabkan penurunan kapasitas panas wilayah. Pemeliharaan
intensif berupa pemberian pupuk, pengelolaan air, dan jarak tanam yang baik pada
perkebunan sawit menyebabkan produktivitas biomassa dan kemampuan kebun
sawit dalam menyimpan panas lebih besar dibandingkan hutan, sehingga terjadi
peningkatan kapasitas panas wilayah pada tahun 2010 menjadi 22508 MJCo-1.
Kata kunci: Kapasitas panas wilayah, Biomassa, NDVI, Landsat-5 TM

ABSTRACT
WINDA ARYANI. Regional Heat Capacity Changes due to Changes of Land
Cover Composition Using Landsat-5 TM Data. Supervised by IDUNG
RISDIYANTO SSi, MSc.

Regional heat capacity change is calculated from the ratio between the
addition or subtraction of heat (ΔQ) with the increase or decrease in temperature
(ΔT) region. The purpose of this study is to calculate the regional heat capacity
change due to the changes of land cover composition with forest, shrubs, oil palm
plantation and bare soil using Landsat-5 TM satellite data on 1994, 2000 and
2010. Total area that used on this study is 12971 ha. In 1994-2000, 4 % of forest
area and 2% shrubs were increased, followed by additional of biomass forest 4.01
tons/ha and 2.83 tons/ha for shrubs. The increased of forest area and biomass
(tons/ha) caused by forest and shrubs growth processing towards climax that
added the canopy volume. So that, the regional heat capacity in 1994 amounted
19384 MJCo-1 increased to 19929 MJCo-1 in 2000. Data observation for 2000-2010
showed that forest area decreased by 66% due to forest’s clearing into oil palm
plantations (47%), shrubs (8%), and bare soil (11%). But, plant’s biomass
continue to increased, i.e 1.48 ton/ha for forest, 2.73 tons/ha for shrubs and 4.63
tons/ha for bare soil. Before 2000, there was no land cover by oil palm
plantations, so the increasing rate from this land was the biggest than the three
other lands, amounting to 122.29 tons/ha. Decreasing in the percentage of forest
area does not cause a decrease in the heat capacity of the region. Intensive
maintenance on oil plam plantation such as water management, fertilizer and
planting space made it biomass productivity and ability to save the heat is greater

than the forest. As the result, in 2010 regional heat capacity increased to 22508
MJCo-1.
Keywords: Regional heat capacity, Biomass, NDVI, Landsat-5 TM

PERUBAHAN KAPASITAS PANAS WILAYAH AKIBAT
PERUBAHAN KOMPOSISI TUTUPAN LAHAN
MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT-5 TM

WINDA ARYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi : Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi
Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM
Nama
: Winda Aryani
NIM
: G24090003

Disetujui oleh

Idung Risdiyanto, SSi MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
meteorologi satelit, dengan judul Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat
Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1 Bapak Idung Risdiyanto, SSi MSc selaku pembimbing skripsi. Terima kasih
atas arahan dan bimbingan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi.
2 Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku pembimbing akademik penulis.
3 Terima kasih ayah (Ade Holis), ibu (Aminah), adik (Juandi Arya Nugraha),
serta keluarga besar tercinta atas segala dukungan, semangat, do’a dan kasih
sayang yang kalian berikan.
4 Cibantengers (Lidel, Normi, Wayan, Dwi, teh Enit dan Ika Farah), terima
kasih atas kebersamaan dan kenangan selama ini.
5 Ibu Dr Ir Rini Hidayati, MS selaku ketua departemen GFM, serta seluruh
dosen dan staf departemen Geofisika dan Meteorologi Terapan IPB,
khususnya pak Pono yang telah membantu dalam proses pencarian pustaka
dan mas Aziz dalam proses administrasi.

6 Teman-teman GFM 46, PSDM BEM FMIPA Sahabat Scientist, Keluarga
FOSMA IPB, terima kasih atas kebersamaanya selama ini.
7 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dan memberikan dukungannya selama ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Winda Aryani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Bahan

2

Alat

3

Prosedur Analisis Data


3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Profil Wilayah Kajian

7

Perubahan Luasan Penutupan Lahan

7

Distribusi Spasial Suhu Permukaan

8

NDVI dan LAI


13

Kapasitas Panas Wilayah

14

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1 Nilai albedo hasil ektraksi data citra satelit Landsat-5 TM dan referensi
2 Distribusi spasial neraca energi tiap tutupan lahan dengan data citra
satelit Landsat-5 TM
3 Nilai NDVI dan LAI tiap jenis penutupan lahan
4 Nilai LAI pada beberapa tutupan lahan

10
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Peta wilayah kajian
Luasan tiap jenis tutupan lahan dengan data citra Landsat-5 TM
Kisaran suhu permukaan di wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM
Sebaran spasial albedo dengan citra Landsat-5 TM
Kapasitas panas tiap jenis penutupan lahan dengan Landsat-5 TM
Perubahan kapasitas panas wilayah kajian per hektar dengan Landsat-5
TM
7 Biomassa potensial (ton/ha) dengan data citra Landsat-5 TM
8 Biomassa total wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM
9 Hubungan antara biomassa potensial dengan kapasitas panas

7
8
9
11
15
15
16
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai jarak astronomi bumi-matahari (d) dan sudut elevasi matahari saat
tanggal akuisisi citra Landsat-5
2 TM spectral range, post-calibration dynamic ranges, and mean
exoatmospheric solar irradiance (ESUN )
3 Sebaran nilai suhu permukaan hutan (a); semak (b) dan lahan terbuka
(c) tahun 1994
4 Sebaran nilai suhu permukaan hutan (a); semak (b) dan lahan terbuka
(c) tahun 2000
5 Sebaran nilai suhu permukaan hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c)
dan kebun sawit (d) tahun 2010
6 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 1994
7 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000
8 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun
sawit (d) tahun 2010
9 Sebaran nilai radiasi netto (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka
(c) tahun 1994
10 Sebaran nilai radiasi netto (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka
(c) tahun 2000
11 Sebaran nilai radiasi netto (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka
(c) dan kebun sawit (d) tahun 2010
12 Sebaran nilai sensible heat flux (H) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan
terbuka (c) tahun 1994

22
22
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27

13 Sebaran nilai sensible heat flux (H) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan
terbuka (c) tahun 2000
14 Sebaran nilai sensible heat flux (H) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan
terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010
15 Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan
terbuka (c) tahun 1994
16 Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan
terbuka (c) tahun 2000
17 Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan
terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010
18 Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 1994
19 Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000
20 Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun
sawit (d) tahun 2010
21 Diagram alir penelitian

27
28
28
29
29
30
30
31
32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak awal tahun 1970-an di Indonesia terjadi penebangan hutan secara
komersial untuk keperluan pertambangan, perkebunan, dan perumahan. Selama
periode 1985-1997 lebih dari 20 juta ha hutan mengalami deforestasi. Sumatera
dan Kalimantan merupakan daerah yang mengalami deforestasi terbesar, yaitu 6.7
juta ha dan 8.5 juta ha (Holmes 2002). Sumargo et al. (2011) menyatakan bahwa
luas hutan Indonesia pada tahun 2000 adalah 103.33 juta ha dan berkurang
menjadi 88.17 juta ha pada tahun 2009 dengan deforestasi terbesar tetap berada di
Kalimantan (4.95 juta ha) dan Sumatera (3.33 juta ha). Konversi lahan ini
didominasi oleh perkebunan sawit. Selama 10 tahun, yaitu periode 1984-1998
terjadi peningkatan sekitar 2.4 juta ha lahan yang dikonversi menjadi perkebunan
sawit, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan berdasarkan data
Departemen Pertanian (2009), luas perkebunan sawit meningkat dua kali lipat,
yaitu 4.16 juta ha pada tahun 2000 menjadi 8.25 juta ha pada tahun 2009.
Deforestasi dan konversi lahan yang mengarah pada perubahan komposisi
tutupan lahan menyebabkan komposisi radiasi surya yang sampai di permukaan
bumi berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan permukaan bumi
dalam menyerap, memantulkan dan meneruskan radiasi matahari yang datang.
Misalnya, nilai albedo akan berubah akibat konversi hutan menjadi semak, lahan
terbuka ataupun perkebunan sawit karena besarnya albedo dipengaruhi oleh jenis
permukaan, sifat radiasi permukaan, kondisi atmosfer dan sifat fisik permukaan
seperti warna, kandungan air dan kekasaran permukaan (Dobos 2003).
Perubahan komposisi tutupan lahan juga dapat merubah distribusi spasial
unsur iklim mikro, seperti suhu permukaan. Weng et al. (2001) mengkombinasikan data GIS (Geographic Information System) dan citra satelit Landsat 7 untuk
mengestimasi perubahan suhu permukaan akibat peluasan daerah urban. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan daerah urban meningkatkan
suhu permukaan sebesar 13.01 K yang berkorelasi positif dengan penurunan
biomassa tumbuhan. Selanjutnya, Weng et al. (2004) menduga suhu permukaan
vegetasi dan wilayah urban dengan pendekatan indeks vegetasi dan menemukan
bahwa terdapat korelasi negatif antara suhu permukaan dan indeks vegetasi
sebesar -0.73 untuk hutan dan -0.67 untuk urban. Indeks vegetasi yang kecil
menunjukkan kerapatan vegetasi dan biomassa yang rendah. Perubahan suhu
permukaan dan biomassa vegetasi suatu wilayah akan mempengaruhi kapasitas
panas wilayah, yaitu kemampuan wilayah dalam menyimpan energi atau panas
yang berasal dari radiasi matahari. Kapasitas panas dari yang terbesar terdapat
pada tutupan badan air, vegetasi dan lahan terbuka (Geiger et al.1961).
Penelitian ini akan menghitung perubahan kapasitas panas wilayah
menggunakan data citra satelit Landsat-5 TM dengan pendekatan nilai neraca
energi dan perubahan suhu. Citra satelit Landsat-5 TM dipilih karena merupakan
pengembangan dari citra sebelumnya (Landsat 1,2,3,4) yang disempurnakan
dengan peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometrik, laju pengiriman data
yang lebih cepat dan fokus penginderaan untuk vegetasi dimana klorofil yang
terdapat pada tanaman sangat reflektif pada band near infrared (NIR) dan dapat

2
menyerap band merah dengan baik (Lillesand et al. 2004). Landsat-5 TM juga
menyediakan data series terpanjang yang berbasis pada observasi satelit sehingga
dapat digunakan sebagai sumber daya untuk memonitoring bumi dalam skala
global dan melihat pengaruh perubahan lahan pada nilai kapasitas panas wilayah
secara spasial.

Perumusan Masalah
Apakah perubahan tata guna lahan suatu wilayah menyebabkan perubahan
nilai neraca energi dan kapasitas panas wilayah tersebut. Jika ya, mengapa dan
seberapa besar perubahan tersebut terjadi. Jika tidak, hal dominan apakah yang
menyebabkan perubahan tersebut tidak terjadi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menghitung perubahan kapasitas panas yang
disebabkan oleh perubahan komposisi luas tutupan lahan hutan, semak, kebun
sawit dan lahan terbuka dengan menggunakan data citra satelit Landsat-5 TM.

Manfaat Penelitian
Perhitungan neraca energi dan kapasitas panas dapat memberikan informasi
mengenai kemampuan hutan, semak, lahan terbuka dan perkebunan sawit dalam
menyerap, memantulkan, ataupun metransmisikan energi radiasi matahari yang
sampai di permukaan objek tersebut. Selain itu, hasil perhitungan kapasitas panas
dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang suatu wilayah sehingga tetap
berada pada kisaran suhu dan kondisi iklim yang nyaman.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya dibatasi untuk wilayah dengan tutupan lahan hutan,
semak, kebun sawit dan lahan terbuka. Nilai yang diperoleh menggambarkan nilai
kapasitas panas pada waktu pengambilan citra dilakukan.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra satelit Landsat5 TM Path/Row 119/62 tanggal akuisisi 1 September 1994, 9 Maret 2000 dan 16
Januari 2010. Ketiga citra tersebut memiliki tingkat keawanan kurang dari 2%.
Data citra dapat diunduh di situs glovis.usgs.gov.

3
Alat
Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Ms.
Office 2007, Minitab 15, ER Mapper 7.1 dan Arc Map 10.0 (Lisensi IPB dengan
No. Lisensi EFL588104064).

Prosedur Analisis Data
Pengolahan Awal Data Citra
Pengolahan awal data citra terdiri dari koreksi geometrik, pengambilan
wilayah kajian dan klasifikasi penutupan lahan. Koreksi geometrik dilakukan
untuk mengurangi error geometri sehingga proyeksi dan anotasi citra sesuai
dengan peta (Jensen 2000). Pengambilan wilayah kajian dilakukan pada software
ER Mapper 7.1 untuk membatasi dan memfokuskan penelitian. Klasifikasi
penutupan lahan dilakukan dengan metode klasifikasi tak terbimbing, yaitu proses
pengelompokan nilai digital number citra menjadi beberapa kelas menggunakan
analisis cluster (Indarto dan Faisol 2009).
Perhitungan Komponen Neraca Energi
1 Konversi Nilai Digital Number Menjadi Spectral Radiance
Nilai yang ditangkap oleh citra merupakan raw data dalam bentuk digital
number, sehingga perlu dilakukan konversi nilai digital number menjadi
spectral radiance dengan persamaan dari USGS (2013):
LMAX –LMIN
L=
Qcal –Qcalmin +LMIN
Qcalmax –Qcalmin
L
: Spectral radiance band ke-i (Wm-2 sr-1 µm-1)
Qcal
: Nilai digital number band ke-i
Qcal max : Nilai piksel maksimum (255)
Qcal min : Nilai piksel minimum (0)
LMAX
: Nilai maksimum spectral radiance band ke-i (Wm-2 sr-1 µm-1)
LMIN
: Nilai minimum spectral radiance band ke-i (Wm-2 sr-1 µm-1)
Nilai LMAX dan LMIN terdapat pada lampiran 2.
Konversi nilai digital number ke spectral radiance dilakukan pada band
123 untuk perhitungan neraca energi dan band 6 untuk suhu permukaan.
2 Perhitungan Suhu Permukaan (Ts)
Suhu permukaan adalah suhu terluar dari suatu objek yang dipengaruhi
oleh sifat fisik permukaan seperti emisivitas, panas jenis objek dan
konduktivitas termal. Suhu kecerahan adalah perhitungan intensitas radiasi
termal yang diemisikan oleh suatu objek yang diturunkan dari nilai spectral
radiance band thermal (Chander et al. 2007), persamaan suhu kecerahan
USGS (2013) adalah:
K2
TB=
K
ln 1 +1
L

K1 dan K2 merupakan konstanta kalibrasi, K1=666.09 Wm-2 sr-1 m-1 dan
K2 = 1282.71 Kelvin. Nilai TB tersebut digunakan untuk menduga suhu
permukaan dengan persamaan Artis & Carnahan (1982), yaitu:

4
TB

Ts =
1+

TB


ln ε

Ts adalah suhu permukaan (K) dan TB suhu kecerahan (K); adalah panjang
gelombang radiasi emisi (11.5 m); ∂ = 1,438 x 10-2 mK; dan ε nilai emisivitas
benda (ε vegetasi 0.96, ε lahan terbuka 0.95) (Jin & Liang 2006, Van De
Griend & Owe 1993). Keterbatasan perhitungan nilai suhu permukaan dan
neraca radiasi menggunakan data citra satelit adalah periode ulang pemotretan
suatu wilayah yang cukup lama serta gangguan atmosferik berupa awan
ataupun embun yang terdapat di atas permukaan objek.
3 Perhitungan Komponen Radiasi Netto
Nilai radiasi gelombang pendek yang sampai di permukaan bumi dapat
diduga dari data citra Landsat-5 TM band visible (band 1, 2 dan 3). Persamaan
albedo USGS (2013) adalah:
πL d2
α=
ESUN cos θ
Nilai radiasi gelombang pendek yang keluar dari permukaan bumi juga
diduga dari data citra. Persamaan yang digunakan mengikuti rumus spectral
radiance dengan nilai QCAL, LMIN dan LMAX untuk band 1, 2 dan 3.
Satuan nilai Rsout masih dalam Wm-2 sr-1 µm-1, yaitu besar laju perpindahan
energi (Watt) yang terekam oleh sensor per luas permukaan (m-2), untuk satu
steredian (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor
satelit) per unit panjang gelombang dalam satu kali pengukuran, sehingga perlu
dilakukan konversi satuan menjadi satuan energi radiasi (Wm-2) yang tidak
tergantung pada sifat lengkung permukaan bumi, agar dapat dilakukan
perhitungan untuk mencari parameter radiasi netto dan neraca energi.
Persamaan yang digunakan adalah:
1
Rs out= π x L x d2 x
band
Nilai radiasi yang diperoleh merupakan fungsi dari nilai irradiance yang
1
terbebas dari besaran arah (isotropic radiance) dan
adalah nilai tengah
band
panjang gelombang setiap band. Radiasi gelombang pendek (Rs in) yang
datang ke suatu permukaan dapat dihitung dari perbandingan antara nilai Rs
Rs out
out dengan albedo, yaitu Rs in=
, sehingga nilai total radiasi gelombang
α
pendek (Rs netto) dapat dihitung dengan rumus:
Rs netto = Rs in - Rs out
Perhitungan nilai radiasi netto (Rn) memerlukan nilai radiasi gelombang
panjang yang keluar permukaan bumi (RL out). Partikel dan aerosol yang
memiliki suhu diatas 0 Kelvin dapat memancarkan radiasi gelombang panjang,
namun karena massa pertikel/aerosol tersebut sangat kecil, maka radiasi yang
dipancarkan dapat diabaikan. Nilai RL out diturunkan dari persamaan StefanBoltzman dengan ε = emisivitas benda, σ = tetapan Stefan-Boltzman dan Ts =
suhu permukaan.
RL out = ε σ Ts 4
Nilai radiasi netto (Rn) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Rn = Rs netto – RL out
π
: 3.14

5

4

5

6

7

d
: Jarak astronomi bumi-matahari (lampiran 1)
Cosθ
: Sudut zenith matahari (90o–sun elevation) (lampiran 1)
ESUN :Rata-rata nilai solar spectral irradiance pada band ke-i (Wm-2 µm1)
(lampiran 2)
σ
: Konstanta Stefan-Boltzman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4)
Rs in : Radiasi gelombang pendek yang menuju bumi (Wm-2)
Rs out : Radiasi gelombang pendek yang keluar dari bumi (Wm-2)
RL out : Radiasi gelombang panjang yang diemisikan bumi (Wm-2)
Perhitungan Soil Heat Flux (G)
Perpindahan bahang tanah (soil heat flux) dipengaruhi oleh perbedaan
suhu permukaan, suhu tanah dan nilai konduktivitas thermal (k) dari suatu jenis
tanah. Allen et al. (2001) menghitung soil heat flux dari nilai radiasi netto, suhu
permukaan, albedo dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
sebagai berikut.
G Ts
0.0038α+0.0074α2 1-0.98NDVI4
=
Rn α
G
: Perpindahan bahang tanah (soil heat flux) (Wm-2)
α
: Albedo permukaan (diturunkan dari data satelit)
NDVI : Normalized Difference Vegetation Index (diturunkan dari data satelit)
Perhitungan Sensible Heat Flux (H)
Fluks pemanasan udara merupakan energi radiasi netto yang digunakan
untuk proses pemanasan udara di atmosfer dan sekitarnya secara konveksi
(Monteith & Unsworth 1990), dihitung dari modifikasi persamaan neraca
H
energi Rn=H+G+LE dan bowen rasio β= , sehingga diperoleh:
LE
β(Rn -G)
H=
1+β
Nilai β hutan tropis = 0.47 dan β perkebunan sawit = 0.2λ (Fowler 2011), β
semak = 0.93 (Fisch et al. 2001), dan β lahan terbuka = 4 (Oliver 1λ73).
Perhitungan Latent Heat Flux (LE)
Fluks pemanasan laten (LE) merupakan bentuk energi yang digunakan
untuk menguapkan sejumlah air di permukaan objek ke atmosfer, atau
sejumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi
uap pada suhu yang sama (Monteith & Unsworth 1990). Nilai LE dapat
dihitung sebagai: LE = Rn – G – H
Perhitungan Suhu Udara (Ta)
Suhu udara merupakan energi kinetis rata-rata dari pergerakan molekul.
Pada pemanfaatan data satelit, suhu udara dapat diduga dari nilai fluks
pemanasan udara dengan modifikasi persamaan Monteith & Unsworth (1990),
yaitu:
HraH
Ta = Ts ρair Cp
Keterangan:
H : Fluks Pemanasan Udara (Wm-2)
ρair : Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3) .
Cp : Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg -1 K-1)
Ts : Suhu permukaan (K)
Ta : Suhu udara (K)

6
raH : Tahanan Aerodinamik (sm-1), raH = 31.9× u-0.96, dimana u merupakan
kecepatan angin normal pada ketinggian 1–2 meter sebesar 1.41 m/s untuk
tutupan vegetasi dan 1.79 m/s untuk tutupan non vegetasi (Rosenberg 1974).
Perhitungan Indeks Vegetasi
Kisaran panjang gelombang merah dan infrared yang tercakup dalam satelit
Landsat-5 TM band 3 (0.63-0.6λ m) dan band 4 (0.76-0.λ0 m) dapat digunakan
untuk menghitung nilai indeks vegetasi (Sobrino et al. 2004) dengan rumus:
NDVI =

(NIR - Red)
(NIR + Red)

Secara teoritis nilai NDVI berkisar antara (-1) sampai (+1), tetapi kisaran
sebenarnya yang menggambarkan kehijauan vegetasi adalah 0.1 sampai 0.6. Nilai
indeks vegetasi yang tinggi menunjukkan vegetasi tersebut rapat. Nilai NDVI
tersebut dapat digunakan untuk menduga nilai LAI (Leaf Area Index) dengan
persamaan Twele et al. (2006) yaitu :
LAI = –0.392 + 11.543 NDVI
Perhitungan Biomassa
Biomassa potensial suatu lahan dapat diduga dengan data citra satelit, yaitu
dengan menggunakan rumus beer-lambert:
Bb = ε Qint = ε (1- e-k ∙ Lai) Qs
Keterangan :
Bb
: Produksi biomassa potensial (kg ha -1d-1)
ε
: Efisiensi penggunaan radiasi matahari (kg MJ-1)
Qs
: Radiasi surya di atas tajuk tanaman (RSin data satelit)
Qint : Radiasi intersepsi (MJ m-2)
LAI : Leaf Area Index
k
: Koefisien pemadaman
Nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari (ε) untuk tanaman sawit adalah
2 g MJ-1 (Imanto 2000), ε semak 1.25 g MJ-1 (Pangle et al. 200λ), ε hutan hujan
tropis 1.50 g MJ-1 (Garbulsky et al. 2010) dan ε lahan terbuka 0.74 g MJ-1
(Nouvellon et al. 2000). Nilai LAI diperoleh dari ektraksi data satelit dengan
pendekatan NDVI. Koefisien pemadaman (k) untuk daun vertikal berkisar 0.3–
0.5, k daun horizontal 0.7–1.0 (June 1993), k tanaman kelapa sawit 0.46 (Oil palm
buletin 2004) dan k lahan terbuka 0.35 (Domingo et al. 1999).
Perhitungan Kapasitas Panas (C) Wilayah
Kapasitas panas merupakan banyaknya panas/energi yang dapat dikandung
oleh benda, sedangkan kapasitas panas wilayah menggambarkan kemampuan
suatu wilayah dalam menyimpan panas yang diterima dari radiasi matahari. Nilai
kapasitas panas biasa diperoleh dari hasil kali antara panas jenis dengan massa
benda, karena informasi mengenai panas jenis tutupan lahan tidak ada, maka
kapasitas panas wilayah pada penelitian ini dihitung dari rasio antara penambahan
atau pengurangan panas (ΔQ) terhadap kenaikan atau penurunan suhu (ΔT)
wilayah tersebut.
∆Q
C=
∆T

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Wilayah Kajian
Secara geografis wilayah kajian berada pada 112o24’2λ’’–112o34’1’’BT dan
2 30’54’’–2o37’37’’LS. Secara administratif, wilayah kajian terletak di kabupaten
Seruyan dan Kotawaringin Timur. Berdasarkan data pemerintahan Kalimantan
Tengah (2013), topografi kabupaten Kotawaringin Timur bervariasi antara 0-60
mdpl (meter di atas permukaan laut). Sebagian besar bagian selatan sampai tengah
memanjang dari timur ke barat merupakan dataran rendah, sedangkan bagian utara
merupakan dataran tinggi berbukit. Di kabupaten Seruyan, bagian barat dan timur
merupakan daerah rawa pasang surut dan rawa lebak dengan vegetasi hutan
mangrove. Bagian utara merupakan daerah berbukit yang ditumbuhi hutan lebat
dengan ketinggian 150 mdpl dan elevasi 15-40o. Bagian selatan merupakan
dataran rendah berupa rawa dan pantai dengan ketinggian 0-8 mdpl.
o

Gambar 1 Peta wilayah kajian

Perubahan Luasan Penutupan Lahan
Perubahan penutupan lahan diidentifikasi dengan klasifikasi wilayah kajian
metode klasifikasi tidak terbimbing, yaitu proses pengelompokkan piksel-piksel
pada citra menjadi beberapa kelas menggunakan analisis cluster sehingga
dihasilkan kelas spektral yang menggambarkan nilai natural spektral citra (Indarto
dan Faisol 2009). Kelas tersebut dibagi menjadi kelas penutupan hutan, semak,
perkebunan sawit dan lahan terbuka. Kombinasi band yang digunakan adalah

8
band 542 yang dapat mendeteksi dan membedakan hasil pemotretan citra secara
visual dengan menempatkan band 542 pada ruang tiga warna primer (red green
blue, RGB) secara berurutan, yaitu band 5 (mid IR) untuk merah, band 4 (NIR)
untuk hijau, dan band 2 (hijau) untuk biru. Band 5 menangkap gelombang mid
NIR (mid near infrared, 1.567-1.784 µm) yang peka terhadap pantulan batuan dan
kelembaban tanah. Band 4 menangkap gelombang NIR (near infrared, 0.776–
0.904 µm) yang peka terhadap pantulan struktur internal daun sehingga dapat
digunakan untuk menentukan kandungan biomassa, tipe vegetasi dan daerah
dengan pantulan vegetasi tinggi. Band 2 menangkap gelombang hijau (0.5280.609 µm) yang peka terhadap kesuburan dan pantulan nilai hijau vegetasi,
penduga konsentrasi sedimen serta pemetaan batimetri (EROS data center 1995).

Gambar 2 Luasan tiap jenis tutupan lahan dengan data citra Landsat-5 TM
Persentase luas hutan meningkat sebesar 4% dari tahun 1994 hingga 2000,
peningkatan tersebut diperkirakan berasal dari semak dan perdu yang mengalami
suksesi hingga mencapai klimaks dan menjadi hutan. Tutupan lahan terbuka pada
tahun 1994 juga mengalami suksesi dengan munculnya beberapa jenis perdu yang
kemudian menjadi semak. Akibatnya, pada tahun 1994-2000 luasan tutupan
semak meningkat sebesar 2% dan luasan lahan terbuka menurun sebesar 6%. Pada
tahun 2010 luas hutan berkurang sebesar 66% akibat pembukaan lahan hutan
menjadi perkebunan sawit (47%), semak (8%), dan lahan terbuka (11%), sehingga
luas hutan hanya tersisa 4% dari luas total wilayah kajian. Lahan terbuka hasil
pembukaan hutan sebesar 11% tersebut, sebagian digunakan untuk membangun
pabrik atau tempat pengolahan sementara yang biasanya dibangun ditengahtengah kebun sawit. Luasan tiap tutupan lahan di wilayah kajian tidak sepenuhnya
menunjukkan kondisi di lapangan karena kemungkinan terjadi error spasial saat
proses klasifikasi dilakukan.

Distribusi Spasial Suhu Permukaan
Suhu permukaan merupakan suhu terluar dari suatu objek (suhu kanopi pada
tutupan vegetasi dan suhu tepat di permukaan tanah untuk lahan terbuka). Suhu
permukaan diekstraksi dari band thermal citra Landsat-5 TM, yaitu band 6 yang
menangkap gelombang dikisaran 10.45-12.42 µm. Band 6 dapat mendeteksi
gejala alam yang berhubungan dengan panas sehingga dapat digunakan untuk

9
pemetaan dan informasi geologi thermal (Eros Data Center 1995). Suhu hasil
ekstraksi data citra merupakan suhu kecerahan yang dikonversi dari nilai spectral
radiance dengan asumsi bahwa permukaan bumi merupakan benda hitam
(emisivitas=1) (Chander et al. 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi
emisivitas dengan pendekatan NDVI dimana emisivitas vegetasi sebesar 0.96 dan
emisivitas lahan terbuka sebesar 0.95 (Jin & Liang 2006, Van De Griend & Owe
1993).
Suhu permukaan rataan hasil ekstraksi data citra Landsat-5 TM pada tutupan
hutan, semak dan lahan terbuka berturut-turut adalah 27.5oC, 28.2oC, 30.4oC
untuk tahun 1994 dan 24.8oC, 25.5oC, 27.6oC untuk tahun 2000. Tahun amatan
2010 dengan tutupan hutan, semak, lahan terbuka dan kebun sawit memiliki suhu
permukaan berturut-turut sebesar 21.8oC, 22.6oC, 22.9oC dan 21.7oC. Peningkatan
suhu permukaan dari tutupan lahan kebun sawit, hutan, semak dan lahan terbuka
disebabkan oleh perbedaan emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas tiap
jenis permukaan tutupan lahan. Selain itu, nilai NDVI dari tutupan lahan kebun
sawit, hutan, semak dan lahan terbuka semakin berkurang (Tabel 3), hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Weng et al. (2004) yang menyatakan bahwa suhu
permukaan berkorelasi negatif dengan NDVI.
Gambar 3 menyajikan kisaran nilai suhu permukaan di wilayah kajian hasil
ekstraksi data citra Landsat-5 TM band 6. Pada jenis tutupan lahan berupa hutan,
semak dan lahan terbuka, range nilai suhu permukaan pada tanggal akuisisi 1
September 1994 lebih besar daripada 9 Maret 2000. Hal tersebut disebabkan oleh
perbedaan komposisi luasan tiap jenis penutupan lahan, dimana dari tahun 19942000 terjadi peningkatan luas hutan dan semak (Gambar 2), sedangkan pada
tanggal akuisisi 16 Januari 2010 range nilai suhu permukaan di wilayah kajian
lebih kecil dibandingkan dua tanggal akuisisi sebelumnya. Hal tersebut
disebabkan oleh perubahan tata guna lahan dimana sebesar 47% luasan hutan
tahun 2000 dikonversi menjadi perkebunan sawit. Range nilai suhu permukaan
yang semakin kecil menunjukkan bahwa diperlukan energi/panas yang lebih
banyak untuk menaikkan suhu permukaan wilayah sebesar 1 oC. Artinya,
kemampuan wilayah dalam menyimpan panas/energi yang berasal dari radiasi
matahari pada tahun amatan 1994 sampai 2010 mengalami peningkatan.

Gambar 3 Kisaran suhu permukaan di wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM

10
Terlihat juga pada Gambar 3 bahwa rata-rata suhu permukaan wilayah tiap
tanggal akuisisi citra berbeda-beda, dimana rata-rata suhu permukaan wilayah
tanggal akuisisi 1 September 1994 lebih besar daripada 9 Maret 2000 lebih besar
daripada 16 Januari 2010. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan
kondisi data citra pada tiap-tiap tanggal akuisisi citra. Data citra tahun 1994 dan
2000 diambil pada 1 September dan 9 Maret, yaitu saat matahari berada di sekitar
equator. Akibatnya, nilai suhu permukaan lebih besar dibandingkan tahun amatan
2010 yang diambil pada 16 Januari saat matahari berada di sekitar daerah
subtropis dan di wilayah kajian sedang terjadi musim hujan. Weng et al. (2001,
2004) juga menjelaskan bahwa kondisi amtosfer saat pemotretan citra, kondisi
vegetasi, biomassa vegetasi, tutupan lahan, serta perbedaan pencahayaan radiasi
matahari pada data citra dapat mempengaruhi nilai suhu permukaan.

Distribusi Spasial Neraca Energi
Albedo (α)
Mengacu pada Stull (2000), albedo adalah “rasio dari total radiasi matahari
yang dipantulkan (Rs out) terhadap total radiasi yang masuk (Rs in)”. Nilai albedo
berkisar antara 0 sampai 1 (α=0, maka objek menyerap seluruh radiasi gelombang
pendek yang datang; α=1 maka objek memantulkan seluruh radiasi gelombang
pendek yang datang). Albedo merupakan fungsi dari panjang gelombang,
sehingga nilainya memberikan informasi fisik yang terjadi pada panjang
gelombang tersebut. Nilai Rs in untuk semua jenis tutupan lahan cenderung sama,
yaitu sebesar 765-766 Wm-2 untuk tahun 1994, 799-801 Wm-2 untuk tahun 2000,
dan 804-806 Wm-2 untuk tahun 2010. Nilai Rs out tiap jenis tutupan lahan
berbeda-beda, Rs out dari yang terkecil adalah kebun sawit (52.9 Wm-2), hutan
(53-66 Wm-2), semak (62-72 Wm-2) dan lahan terbuka (70-79 Wm-2). Nilai albedo
(Tabel 1) dari yang terkecil terdapat pada tutupan lahan perkebunan sawit yaitu
0.07, albedo hutan berkisar 0.07-0.08, albedo semak berkisar 0.08-0.09, dan lahan
terbuka memiliki albedo terbesar dengan kisaran 0.09-0.10. Perubahan jenis
tutupan lahan tahun 1994 hingga 2010 tidak terlalu signifikan karena alih guna
lahan hutan masih digunakan untuk tutupan lahan bervegetasi, sehingga
perubahan nilai albedo dari tahun ke tahun pun tidak terlalu besar.
Tabel 1 Nilai albedo hasil ektraksi data citra satelit Landsat-5 TM dan referensi
Albedo hasil ekstraksi data citra

Albedo referensi

Tutupan
lahan

1994 2000 2010

Hutan

0.08

0.08

0.07 Belukar*

Semak
0.09
Lahan
0.1
terbuka
Perkebunan
sawit

0.09

0.08 Grassland**** 0.10 - 0.25 Atap**
0.08 - 0.18
Hutan
0.09
0.05 - 0.20 Tanah** 0.05 - 0.40
campuran****
Perkebunan
Tanah
0.07
0.05 - 0.07
0.07 - 0.11
sawit *
gundul***

Keterangan:

0.1

Tutupan vegetasi

* : Risdiyanto & Setiawan (2007)
** : Oke (1987)

Tutupan non-vegetasi

0.06 - 0.08 Jalan**

***
****

0.05 - 0.20

: Post et al. (2000)
: Dobos (2003)

11
Tabel 1 menyajikan nilai albedo tiap jenis permukaan hasil beberapa
penelitian dan ekstraksi data citra satelit Landsat-5 TM. Kisaran nilai albedo hasil
ekstraksi data citra pada penelitian ini masih berada dalam kisaran albedo hasil
penelitian sebelumnya, sehingga hasil yang diperoleh dapat menggambarkan
albedo di wilayah kajian. Nilai albedo tiap jenis tutupan lahan yang berbeda-beda
disebabkan oleh perbedaan sifat fisik permukaan seperti kandungan air, warna dan
kekasaran permukaan. Albedo tanah ditentukan oleh ukuran partikel, komposisi
mineral, kelembaban, kandungan bahan organik dan kekasaran permukaan. Dobos
(2003) menambahkan bahwa permukaan objek yang halus mampu memantulkan
radiasi yang lebih besar dibandingkan permukaan kasar. Albedo vegetasi
ditentukan oleh tipe, warna dan luas daun (Geiger et al 1961). Nilai albedo yang
kecil pada tutupan lahan bervegetasi disebabkan juga oleh multilevel kanopi yang
dapat menyerap radiasi matahari pada beberapa tingkatan kanopi. Artinya, ketika
radiasi matahari yang datang dipantulkan kembali oleh daun/batang tumbuhan
secara baur, level kanopi dan tajuk tanaman di bagian bawah kanopi dapat
menyerap kembali radiasi tersebut.

Gambar 4 Sebaran spasial albedo dengan citra Landsat-5 TM
Gambar 4 menunjukkan nilai albedo di wilayah kajian yang sebarannya
semakin bergeser ke kiri (ke nilai yang lebih kecil) dari tahun amatan 1994, 2000
dan 2010. Albedo wilayah kajian untuk tiap tahun amatan 1994, 2000 dan 2010
berturut-turut adalah 0.090, 0.089 dan 0.086. Nilai albedo yang besar
menunjukkan radiasi gelombang pendek yang dipantulkan permukaan juga besar,
sedangkan albedo yang kecil menunjukkan radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan permukaan tersebut rendah. Albedo yang kecil juga menunjukkan
radiasi gelombang pendek yang diserap oleh permukaan suatu wilayah semakin

12
besar. Oleh karena itu, nilai albedo dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
perubahan kapasitas panas wilayah, yaitu kemampuan wilayah dalam menyimpan
panas yang berasal dari radiasi matahari. Salah satu penyebab pergesaran nilai
albedo ke arah yang lebih kecil adalah perbedaan komposisi luasan penutupan
lahan tiap tahun amatan, dimana kebun sawit dan hutan lebih mampu menyerap
radiasi yang datang dibandingkan semak dan lahan terbuka.
Radiasi Netto (Rn)
Pola umum nilai radiasi netto adalah semakin besar albedo dan suhu
permukaan (Ts) maka radiasi netto akan semakin kecil. Nilai radiasi netto dari
yang terbesar terdapat pada tutupan lahan sawit, hutan, semak dan lahan terbuka.
Peningkatan nilai radiasi netto dari tutupan lahan terbuka ke lahan bervegetasi
disebabkan oleh nilai indeks vegetasi atau NDVI (Tabel 3) yang semakin besar,
sehingga semakin banyak radiasi matahari yang diserap. Energi radiasi netto yang
sampai di permukaan bumi selanjutnya digunakan untuk proses pemanasan tanah
(soil heat flux, G), udara (sensible heat flux, H), penguapan (latent heat flux, LE)
dan energi sisaan yang digunakan untuk proses metabolisme makhluk hidup
(storage, S). Menurut Sellers (1965) nilai sisaan untuk wilayah daratan dapat
diabaikan karena sangat kecil. Nilai G diperoleh dari persamaan Allen et al.
(2001), dimana G berbanding lurus dengan Ts, sehingga energi untuk pemanasan
tanah pada lahan terbuka akan lebih besar dibandingkan lahan bervegetasi.
Tabel 2 Distribusi spasial neraca energi tiap tutupan lahan dengan data citra satelit
Landsat-5 TM
Tutupan
lahan
Hutan

RN (Wm-2)

G (Wm-2)

H (Wm-2)

LE(Wm-2)

1994 2000 2010 1994 2000 2010 1994 2000 2010 1994 2000 2010
257 303 339 28.8 30.8 27.2 73.1 87.0 99.9 155.5 185.1 212.5

Semak
251 295 327 29.1 31.1 28.6 106.8 127.2 144.0 114.8 136.8 154.9
Lahan
236 282 322 31.4 34.3 31.0 163.9 197.8 233.2 41.0 49.5 58.3
Terbuka
Perkebunan
340
25.8
70.6
243.3
Sawit
Berdasarkan data hasil perhitungan (Tabel 2) terlihat bahwa nilai H dan LE
berhubungan negatif. Nilai H dari yang terbesar terdapat pada lahan terbuka,
semak, hutan dan perkebunan sawit. Sebaliknya, nilai LE dari yang terbesar
terdapat pada perkebunan sawit, hutan, semak dan lahan terbuka. Nilai LE yang
kecil pada lahan terbuka disebabkan oleh konduktivitas dan gelombang pantul
yang tinggi. Selain itu, energi yang sampai di lahan terbuka sebagian besar
digunakan untuk proses pemanasan udara sehingga energi yang tersimpan untuk
proses evapotranspirasi rendah. Nilai LE yang tinggi pada lahan bervegetasi
disebabkan oleh energi pantul dan konduktivitas thermal vegetasi yang rendah,
sehingga energi yang sampai di atas kanopi vegetasi sebagian besar digunakan
untuk proses evapotranspirasi dan sedikit untuk pemanasan udara. Perkebunan
sawit memiliki LE tertinggi dari semua tutupan vegetasi karena terdapat sistem
pengolahan air yang mampu mempertahankan kelembaban di sekitar perkebunan.
Tutupan lahan bervegetasi dengan nilai latent heat flux yang tinggi memiliki nilai

13
suhu permukaan yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh proporsi radiasi netto
untuk panas terasa (sensible heat flux) yang dapat menyebabkan kenaikan suhu
semakin kecil (Handoko et al. 1994).

NDVI dan LAI
Stefanov (2001) mendefinisikan NDVI sebagai rasio nilai yang menggunakan band NIR dan band merah untuk membedakan tutupan vegetasi dan nonvegetasi. Gelombang NIR (0.776-0.904 µm) peka terhadap pantulan struktur
internal daun sehingga dapat digunakan untuk menentukan kandungan biomassa,
daerah dengan pantulan vegetasi tinggi dan tipe vegetasi. Band 3 menangkap
gelombang merah pada kisaran 0.626–0.693 µm yang peka terhadap serapan sinar
merah oleh klorofil (pigmen hijau) daun sehingga dapat digunakan untuk
membedakan daerah penyerapan klorofil (EROS data center 1995). Menurut
Sobrino et al. (2004), nilai NDVI yang dihasilkan dari data citra Landsat dapat
menggambarkan kerapatan vegetasi suatu wilayah. Jensen (2000) berpendapat
bahwa nilai NDVI hasil ekstraksi data citra Landsat dapat merepresentasikan
distribusi vegetasi dan memetakannya berdasarkan pola karakteristik reflektansi
klorofil serta perbedaan jumlah vegetasi pada tiap piksel.
Nilai NDVI hasil ekstraksi data citra satelit (Tabel 3) di wilayah kajian
sesuai dengan hasil penelitian Sobrino et al. (2004), dimana nilai NDVI
0.5 dianggap sebagai tutupan lahan bervegetasi penuh dimana nilai emisivitas
diasumsikan konstan. Jika NDVI antara 0.2–0.5, maka wilayah tersebut tersusun
oleh campuran antara bare soil dengan vegetasi. NDVI yang tinggi pada hutan,
semak dan perkebunan sawit disebabkan oleh kemampuan tumbuhan hijau
berklorofil dalam memantulkan radiasi gelombang NIR lebih banyak dibandingkan gelombang merah, sedangkan NDVI yang kecil pada lahan terbuka
disebabkan oleh substansi yang memantulkan gelombang merah lebih banyak
daripada NIR, misalnya tanah, batu dan lahan terbangun di sekitar wilayah kajian.
Nilai NDVI lahan terbuka yang berada pada kisaran 0.35-0.44 menunjukkan
bahwa pada lahan tersebut masih ditemukan vegetasi berupa rumput pendek atau
belukar kering dengan rasio yang kecil di tiap piksel data citra Landsat-5 TM.
Tabel 3 Nilai NDVI dan LAI tiap jenis penutupan lahan
Tutupan lahan
Hutan
Semak
Lahan terbuka
Perkebunan sawit

1994
NDVI
LAI
0.52
5.67
0.51
5.53
0.39
3.46
-

2000
NDVI
LAI
0.53
5.73
0.51
5.55
0.35
3.59
-

2010
NDVI
LAI
0.62
6.75
0.58
6.25
0.44
4.71
0.66
7.19

Nilai NDVI dapat digunakan untuk mengestimasi LAI (leaf area index)
dengan persamaan Twele et al. (2006), yaitu LAI = –0.392+11.543NDVI. LAI
merupakan rasio luas daun dengan luas lahan yang diasumsikan tegak lurus
penutupan tajuk tanaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai LAI berbanding lurus

14
dengan NDVI, dimana semakin tinggi NDVI maka LAI pun semakin tinggi. LAI
yang tinggi pada tutupan lahan hutan (5.67-6.75), semak (5.53-6.25) dan
perkebunan sawit (7.19) menunjukkan bahwa komposisi tutupan vegetasi lebih
besar dibandingkan dengan luasan lahan yang tegak lurus terhadap kanopi. LAI
lahan terbuka lebih kecil dibandingkan tiga tutupan lahan lainnya, yaitu berkisar
3.46-4.71, hal ini disebabkan oleh rendahnya nilai NDVI yang menggambarkan
tutupan di lahan tersebut berupa rumput pendek atau belukar yang renggang.
Tabel 4 Nilai LAI pada beberapa tutupan lahan
Tipe Penutupan Lahan
Hutan Tropis*
Lahan hutan terbuka**
Rumput dan semak**
Perkebunan sawit***
Lahan terbuka bersemak****

Kisaran LAI
5.9 - 8.0
2.5 - 5.0
1.0 - 4.0
1.4 - 7.2
1.0 - 3.3

Ket: * Hildanus (2005)
** Schneider dan Eugster (2006)

*** Htut (2004)
**** Turner et al. (1999)

Penelitian tentang LAI telah banyak dilakukan, Hildanus (2005), Turner et
al. (1999) dan Htut (2004) menduga nilai LAI dengan pendekatan NDVI,
sedangkan Schneider & Eugster (2006) menduga LAI dengan model yang
menghubungkan keadaan atmosfer pada suatu lokasi dengan kondisi tanah dan
iklim lokal. Kisaran nilai LAI hasil penelitian (Tabel 3) dapat menunjukkan
kondisi di wilayah kajian karena berada pada kisaran penelitian sebelumnya
(Tabel 4).

Kapasitas Panas Wilayah
Nilai kapasitas panas yang dihasilkan menggambarkan banyaknya energi
sesaat yang terdapat di wilayah kajian pada perubahan suhu udara dan suhu
permukaan. Kapasitas panas tiap jenis tutupan lahan berbeda-beda. Gambar 5
menyajikan data mengenai kapasitas panas tiap jenis tutupan lahan menggunakan
data citra Landsat-5 TM. Jika dilihat dari jenis tutupan lahan, kapasitas panas
terbesar terdapat pada perkebunan sawit karena hanya dengan persentase sebesar
47% dari total luas wilayah dapat menyimpan panas sebesar 14991 MJCo-1
mendekati nilai kapasitas panas hutan tahun 1994 sebesar 14929 MJC o-1 yang
persentase luasnya mencapai 66% dari luas wilayah kajian. Kapasitas panas
semak dan lahan terbuka hampir sama karena walaupun penutupan lahan
diklasifikasikan sebagai lahan terbuka, NDVI nya berkisar antara 0.35-0.44,
artinya di lahan terbuka masih ditemui vegetasi berupa rerumputan yang cukup
untuk menahan panas. Akumulasi kapasitas panas wilayah tiap tahun mengalami
peningkatan, yaitu 19384 MJCo-1 pada tahun 1994, 19929 MJCo-1 pada tahun 2000
dan 22508 MJCo-1 pada tahun 2010. Peningkatan kapasitas panas dari tahun 1994
ke 2000 merupakan dampak dari peningkatan luas hutan dan semak, sedangkan
peningkatan kapasitas panas dari tahun 2000 ke 2010 disebabkan oleh konversi
hutan menjadi kebun sawit yang memiliki kapasitas panas terbesar.

15

Kapasitas Panas (MJCo-1)

Hutan

Semak

Lahan Terbuka

Perkebunan Sawit

15783

14924

25511909
0

14991

2936
1210

0

4014
2481
1022

1994

2000
2010
Tahun Pengamatan
Gambar 5 Kapasitas panas tiap jenis penutupan lahan dengan Landsat-5 TM

Kapasitas Panas
wilayah
(kJCo-1Ha-1)

Gambar 6 menunjukkan nilai kapasitas panas wilayah per hektar yang
dihitung dari akumulasi kapasitas panas wilayah dibagi dengan luasan wilayah
kajian. Kapasitas panas wilayah tahun amatan 1994, 2000 dan 2010 berturut-turut
adalah 1494 kJCo-1Ha-1, 1536 kJCo-1Ha-1 dan 1738 kJCo-1Ha-1. Peningkatan
kapasitas panas wilayah tahun amatan 1994-2000 disebabkan oleh penambahan
persentase hutan sebesar 4% dan semak 2%. Berbeda dengan tahun amatan 19942000, peningkatan kapasitas panas wilayah tahun amatan 2000-2010 disebabkan
oleh alih guna lahan hutan menjadi perkebunan sawit sebesar 47% yang mampu
menyimpan panas lebih baik daripada semak, hutan dan lahan terbuka.
1738

1494

1994

1536

2000
Tahun Pengamatan

2010

Gambar 6 Perubahan kapasitas panas wilayah kajian per hektar
dengan Landsat-5 TM
Salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas panas wilayah pada
penelitian ini adalah biomassa potensial tiap jenis tutupan lahan, yaitu massa yang
berasal dari konversi energi matahari menjadi material organik melalui proses
fotosintesis dan mengganggap ketersediaan air bukan sebagai faktor pembatas.
Biomassa potensial dihitung dengan pendekatan hukum beer-lambert yang
merupakan fungsi dari efisiensi penggunaan radiasi matahari dan radiasi
intersepsi, dengan asumsi bahwa cahaya sampai di permukaan objek optik yang
bersifat homogen (kanopi hutan, semak, tanaman sawit dan lahan terbuka), artinya
radiasi yang datang sampai ke permukaan daun tanpa error dari keawanan.

16
Zhenga et al. (2004) mengestimasi biomassa hutan campuran dan pinus di
Wisconsin dengan citra Landsat, biomassa hutan campuran adalah 80-100 ton/ha
dan hutan pinus 20-80 ton/ha. Zhang dan Kondragunta (2006) mengestimasi
biomassa dengan model alometrik dan mendapatkan biomassa hutan sebesar
141.1±28.8 tons/ha. Henson et al. (2007) mengukur produksi biomassa vegetatif
dan standing biomass kelapa sawit dan menghasilkan nilai sebesar 106.05 ton/ha
(umur 9 tahun) dan 125.33 ton/ha (umur 11 tahun). Henson et al. (2012) juga
mengestimasi rataan standing biomass kelapa sawit sebesar 70.49-105.33 ton/ha.

Gambar 7 Biomassa potensial (ton/ha) dengan data citra Landsat-5 TM
Biomassa terbesar terdapat pada tutupan lahan sawit, yaitu 122.19 ton/ha,
hutan 88.74-94.23 ton/ha, semak 67.00-72.56 ton/ha dan lahan terbuka 33.5436.70 ton/ha (Gambar 7). Peningkatan biomassa (ton/ha) hutan dan semak tahun
1994 sampai 2010 mengindikasikan bahwa terjadi pertumbuhan pohon dan semak
yang ditunjukkan dengan peningkatan kerapatan vegetasi (Tabel 3). Basri et al.
(2012) menemukan bahwa biomassa dan NDVI berhubungan positif dengan
koefisien determinasi 90%. Biomassa juga dipengaruhi oleh radiasi netto (Tabel 2,
Rn 2010 > Rn 2000 > Rn 1994), dimana semakin besar energi matahari yang
dapat digunakan untuk proses fotosintesis, maka biomassa potensial yang akan
dihasilkan juga semakin besar.

Biomassa Wilayah (ton)

1149529
1062957
980784

1994

2000

2010

Gambar 8 Biomassa total wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM

17
Biomassa yang besar pada sawit disebabkan oleh nilai efisiensi penggunaan
radiasi matahari sawit yang tinggi, yaitu 2 gMJ-1. Selain itu, pemeliharaan intensif
berupa pemberian pupuk, pengelolaan air dan jarak tanam menyebabkan tanaman
sawit dapat memanfaatkan radiasi matahari yang datang untuk digunakan dalam
proses fotosintesis secara maksimal. Akibatnya, terjadi peningkatan biomassa
wilayah kajian total (Gambar 8) pada tahun 1994-2010. Biomassa yang semakin
meningkat tersebut juga merupakan salah satu indikator penambahan kemampuan
wilayah dalam menyimpan energi atau panas.

Kapasitas Panas (JCo-1m-2)

300

1994

2000

2010

250
y = 18.14x + 13.73
r = 0.93

200
y = 11.85x + 56.85
r = 0.82

150
100

y = 15.94x + 29.81
r = 0.90

50
2

4

6
8
10
Biomassa Potensial (kgm-2)

12

14

Gambar 9 Hubungan antara biomassa potensial dengan kapasitas panas
Kapasitas panas merupakan fungsi dari massa benda dan panas jenis benda
tersebut. Gambar 9 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
biomassa potesial (kgm-2) dan kapasitas panas wilayah (JCo-1 m-2) dengan korelasi
sebesar 0.90 pada tahun 1994, 0.82 pada tahun 2000 dan 0.93 pada tahun 2010.
Hubungan semakin erat jika nilai korelasi semakin mendekati 1. Hal tersebut
sesuai dengan hasil yang diperoleh dari ektraksi data citra Landsat-5 TM dimana
semakin besar biomassa suatu wilayah maka semakin besar pula kemampuan
suatu lahan/wilayah tersebut dalam menyimpan energi atau panas yang berasal
dari radiasi matahari.
Perhitungan nilai kapasitas panas yang merupakan fungsi dari massa benda
dan panas jenis benda tidak dapat dilakukan karena tidak ada informasi mengenai
panas jenis tutupan lahan hutan, semak, kebun sawit dan lahan terbuka, sehingga
perhitungan kapasitas panas hanya didasarkan pada rasio penambahan atau
pengurangan panas (ΔQ) dengan kenaikan atau penurunan suhu (ΔT). Kelemahan
pada perhitungan nilai kapasitas panas dengan menggunakan data citra Landsat-5
TM adalah waktu repeat coverage citra (waktu yang diperlukan citra satelit untuk
memotret objek dengan koordinat dan path/