s s s h m

120 2007, termasuk kategori T yang sangat lambat, yang memberikan kondisi sistem yang setimbang ekuilibrium. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Martini et al. 2002a pada SFC campuran lemak, dimana SFC sampel telah mencapai 90 SFC maksimum sebelum T C tercapai karena penataan molekul lemak telah terjadi sebelum pembentukan inti kristal lemak berlangsung. Berdasarkan hasil pengujian kristalisasi CPO pada kondisi dinamis di T 0.1 o Cmenit dan shear rate 400 s -1 pada beberapa T C dapat disimpulkan bahwa selama suhu pengujian masih menurun dari 55 o C menuju T C terendah 30 o C kondisi belum isotermal, proses kristalisasi belum akan terjadi. CPOakan meningkat namun hanya akibat terjadinya peningkatan interaksi molekuler akibat suhu yang menurun, dan bukan akibat terjadinya induksi kristalisasi. Pada kondisi isotermal di T C 40 o C yang merupakan suhu di atas T M CPO, tidak terjadi kristalisasi lemak CPO karena kondisi supercooling tidak tercapai dan  dapat dipertahankan tetap rendah di sekitar 37 mPa.s hingga 330 menit 5.5 jam. Akan tetapi pada kondisi isotermal T C di bawah T M terjadi kondisi supercooling, maka terjadi induksi kristalisasi pada waktu tertentu, yang merupakan interval waktu yang dapat digunakan untuk proses pemanasan kembali CPO agar kristalisasi dapat dicegah. Pada suhu 30 o C, kristalisasi lemak baru mulai terjadi setelah 30 menit suhu isotermal tercapai. Semakin tinggi T C isotermal yang berlangsung,  isotermal semakin rendah dan kristalisasi terjadi pada t i yang semakin lama. Karakteristik CPO Selama Pengaliran dalam Pipa Sirkulasi Karakteristik CPO yang mencakup parameter proses kristalisasi dan sifat reologi akibat pengaruh laju penurunan suhu T, shear rate dan suhu pada kondisi isotermal yang menginduksi kristalisasi T C dikonfirmasi melalui percobaan pengaliran dalam pipa sirkulasi. Hasil rancang bangun pipa sirkulasi pada skala laboratorium dapat dilihat pada Gambar 29. Dimensi pipa sirkulasi dapat dilihat pada Tabel 20, sedangkan perlengkapan pendukung pipa sirkulasi berupa tangki penyeimbang balance tank dengan pemanas berupa tubular heat exchanger dan media pemanas steam, pompa, flowmeter, serta thermocouple dan thermorecorder seperti dapat dilihat pada Gambar 30. 121 Gambar 29 Pipa sirkulasi untuk pengujian karakteristik CPO selama pengaliran. a b c d Gambar 30 Perlengkapan pendukung pipa sirkulasi berupa a tangki penyeimbang dengan pemanas, b pompa, c flowmeter, dan d thermorecorder. 122 Tabel 20 Dimensi pipa sirkulasi untuk pengujian simulasi pengaliran CPO. No Parameter Simbol Satuan Nilai 1 Diameter tangki D m 0.53 2 Tinggi tangki t m 0.57 3 Volume tangki V m 3 0.13 4 Diameter dalam pipa ID inci 1 m 0.026 5 Diameter luar pipa OD m 0.034 6 Volume total pipa Vp m 3 0.0132 Instrumen pendukung di dalam pengujian pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi adalah Brookfield Viscometer yang digunakan untuk mengamati viskositas CPO selama pengaliran. Pengukuran dilakukan segera interval waktu sekitar 30 detik setelah pengambilan sampel dari pipa sirkulasi. Brookfield Viscometer termasuk viscometer rotasi yang mengukur nilai viskositas terukur , tanpa dapat ditentukan sifat reologinya. Toledo 1991 mengemukakan bahwa untuk memonitor viskositas di sepanjang aliran kontinyu, viscometer rotasi dapat digunakan untuk pengukuran secara semikontinyu. Pengujian dilakukan dengan mengambil fluida secara periodik dari pipa melalui katup pengambilan sampel, dan menampungnya dalam wadah sampel yang digunakan pada viscometer rotasi. Terdapat beberapa keterbatasan dan kendala yang dihadapi di dalam pelaksanaan pengujian karakteristik CPO selama pengaliran dalam pipa sirkulasi, yang menyebabkan tidak dapat diterapkannya ulangan percobaan. Kendala pertama yang dihadapi adalah kondisi suhu lingkungan yang tidak dapat dikontrol, sehingga berpengaruh terhadap suhu percobaan pengaliran CPO di dalam pipa. Akibatnya T di awal pengaliran CPO dan profil suhu selama proses pengaliran sangat ditentukan oleh kondisi yang terjadi di lapangan, dan tidak dapat berlangsung pada kondisi yang sama pada percobaan berikutnya. Kendala lainnya adalah suhu pengaliran tidak dapat mencapai suhu di bawah 36 o C, karena suhu lingkungan bangsal percobaan yang cukup tinggi sekitar 35 o C pada saat pengujian dilaksanakan. Upaya menurunkan suhu pengaliran CPO di dalam pipa telah dilakukan dengan mendinginkan tangki penyeimbang dengan media 123 pendingin es batu yang dikemas dalam plastik, akan tetapi penurunan suhu yang terjadi tidak mampu mencapai suhu yang lebih rendah dari 36 o C. Keterbatasan lain yang terdapat pada pengujian dengan pipa sirkulasi ini adalah shear rate yang tidak seragam untuk seluruh bagian sampel yang digunakan. Selain karena sampel tidak secara bersama-sama dalam kondisi mengalir ada sampel yang tertampung dalam tangki penyeimbang, shear rate di sepanjang aliran pada kenyataannya lebih tinggi dari perhitungan teoritis shear rate pada pipa lurus. Sampel CPO secara terus menerus bersirkulasi melalui pompa, flowmeter dan beberapa belokan pipa, sehingga menghasilkan shear rate aktual yang lebih tinggi. Pembersihan pipa yang kurang baik setelah percobaan selesai juga menyebabkan tersisanya air di dalam pipa, dan menyebabkan kontaminasi pada sampel yang dapat mempercepat waktu induksi kristalisasi CPO selama pengaliran. Menurut Rye et al. 2005, air merupakan pengotor katalitik catalytic impurities yang dapat menginduksi pembentukan inti kristal pada kristalisasi heterogen. Pengujian pengaliran dalam pipa sirkulasi dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO yang telah diuji pada kondisi dinamis terkontrol dengan instrumen HAAKE Viscometer Rotovisco RV20, khususnya pada fenomena perubahan selama tahap penurunan suhu dan tahap pengaliran isotermal. Pengaliran CPO diawali dengan pemanasan CPO hingga suhu 55 o C dan dipastikan seluruh bagian sampel CPO meleleh sempurna. Selanjutnya sampel dialirkan pada suhu tersebut selama minimal 10 menit dengan terus menghidupkan sistem pemanas steam pada tangki penyeimbang untuk menjamin suhu pengaliran yang seragam. Selanjutnya sistem pemanas dimatikan dan CPO terus dialirkan, untuk kemudian dilakukan pengamatan terhadap suhu dan  pada setiap selang waktu pengamatan tertentu. Sifat fisik penting yang mempengaruhi proses pengaliran yang dimulai dari suhu 55 o C hingga suhu kamar adalah titik leleh T M sampel CPO yaitu 39.53 o C. Melalui beberapa kali percobaan pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi, dapat diperoleh beberapa percobaan dengan kondisi pengaliran isotermal setelah terjadi penurunan suhu dari suhu awal 55 o C, yaitu percobaan pada: a suhu pengaliran isotermal 48 o C T M ; b suhu pengaliran isotermal 41 o C T M ; c suhu 124 pengaliran isotermal 39 o C T M ; dan d suhu pengaliran isotermal 36 o C T M . Profil perubahan suhu dan selama pengujian pengaliran dengan pipa sirkulasi pada empat percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 31. Pada Gambar 31 secara umum terlihat bahwa pada pengaliran CPO yang dimulai dari suhu 55 o C, akan terjadi pelepasan panas yang mengakibatkan suhu CPO menurun menuju suhu kesetimbangan dengan lingkungan dan mengalami kondisi isotermal suhu konstan. Saat suhu menurun dari 55 o C menuju suhu isotermalnya, CPO akan meningkat secara linier dan akhirnya konstan saat suhu isotermal tercapai dengan profil perubahan yang hampir sama untuk keempat kondisi pengaliran. Profil data tersebut sesuai dengan hasil pengujian tahap sebelumnya pada kondisi dinamis terkontrol, mengenai profil dan nilai energi aktivasi E a sebelum tahap kristalisasi. Peningkatan selama penurunan suhu terjadi karena peningkatan interaksi molekuler dalam sampel Santos et al. 2005, dan bukan disebabkan oleh terjadinya kristalisasi lemak Tarabukina et al. 2009. Pada percobaan a Gambar 31 a dan percobaan b Gambar 31 b dengan suhu pengaliran isotermal di atas T M ,  akan tetap konstan dengan besaran yang sangat tergantung pada suhu isotermal yang berlangsung. Tidak terjadi peningkatan  yang drastis selama pengaliran hingga 300 menit 5 jam. Hal ini membuktikan bahwa bila suhu pengaliran CPO dipertahankan di atas T M , belum terjadi induksi kristalisasi CPO sehingga tetap dalam fase cair. Induksi kristalisasi tidak terjadi karena belum terjadi kondisi supercooling yang berlangsung pada suhu di bawah T M . Percobaan a yang berlangsung pada suhu isotermal 48 o C menghasilkan  saat isotermal sekitar 33 mPa.s, lebih rendah dibandingkan percobaan b yang berlangsung pada suhu isotermal 41 o C yang memiliki  sekitar 37 mPa.s. Pada suhu isotermal yang lebih tinggi,  bernilai lebih rendah karena menurut Santos et al. 2005, suhu tinggi menyebabkan terjadinya penurunan interaksi molekuler. Munson et al. 2001 juga menyatakan bahwa saat suhu mengalami peningkatan terjadi penurunan gaya kohesif pada molekul-molekul fluida. Hal tersebut mengakibatkan  CPO lebih rendah pada suhu yang lebih tinggi. 125 Viskositas terukur Suhu a b a b c d Gambar 31 Profil perubahan viskositas terukur dan suhu selama pengujian pengaliran dengan pipa sirkulasi yang dimulai dari suhu 55 o C, dengan percobaan pada: a suhu pengaliran isotermal 48 o C T M ; b suhu pengaliran isotermal 41 o C T M ; c suhu pengaliran isotermal 39 o C T M ; d suhu pengaliran isotermal 36 o C T M . 20 25 30 35 40 45 50 55 60 10 100 1000 100 200 300 S u h u o C V is k os it as t e r u k u r m P a.s Waktu menit 20 25 30 35 40 45 50 55 60 10 100 1.000 100 200 300 S u h u o C V is k os it as t e r u k u r m P a.s Waktu menit 20 25 30 35 40 45 50 55 60 10 100 1000 100 200 300 S u h u o C V is k os it as t e r u k u r m P a.s Waktu menit 20 25 30 35 40 45 50 55 60 10 100 1000 100 200 300 S u h u o C V is k os it as t e r u k u r m P a.s Waktu menit Viskositas terukur suhu h 126 Berdasarkan pengujian sebelumnya yang mempelajari pengaruh   dari 55 o C menuju suhu pengaliran isotermal dan pengaruh shear rate terhadap CPO dengan Rotovisco RV20, perlakuan hingga suhu isotermal di atas 30 o C menghasilkan E a yang tidak berbeda nyata P0.05, yang menunjukkan bahwa perubahan  akibat suhu terjadi dengan kecenderungan yang sama. Berdasarkan hasil pengujian sebelumnya pada kondisi dinamis terkontrol, diketahui bahwa   pada kisaran 0.1-1 o Cmenit dan shear rate pada kisaran 40-400 s -1 tidak berpengaruh terhadap  CPO pada saat belum terjadi induksi kristalisasi. Hasil pengujian pada kondisi dinamis terkontrol di suhu isotermal 40 o C pada T 0.1 o C dan shear rate 400 s -1 juga menghasilkan nilai yang sama sekitar 37 mPa.s. Pengujian dalam pipa sirkulasi pada percobaan a dan b membuktikan pula bahwa shear rate yang terjadi di sepanjang pipa tidak berpengaruh terhadap  CPO tersebut, karena pada suhu pengaliran di atas T M sifat reologi CPO masih sebagai fluida Newtonian. Nilai  pada suhu pengaliran isotermal di atas T M , diperkirakan akan tetap konstan selama suhu dan shear rate yang diterapkan bernilai tetap di sepanjang aliran. Pada suhu pengaliran isotermal di atas T M sekitar 40 o C, belum terjadi kondisi supercooling sehingga inti kristal lemak belum terbentuk. Nilai  CPO yang harus ditanggung oleh sistem pipa pada suhu pengaliran isotermal di atas T M maksimal sebesar 37 mPa.s. Pada percobaan c dengan suhu isotermal 39 o C Gambar 31 c dan percobaan d dengan suhu isotermal 36 o C Gambar 31 d, terlihat profil perubahan  yang berbeda dibandingkan percobaan a dan b. Karena suhu pengaliran percobaan c dan d terus mengalami penurunan dan terjadi kondisi isotermal pada suhu di bawah T M CPO 39.53 o C, maka terjadi kondisi supercooling yang menjadi driving force terjadinya kristalisasi lemak. Nilai  CPO pada percobaan c dan d akan meningkat drastis saat dialirkan pada suhu di bawah T M . Pada kedua percobaan tersebut, suhu pengaliran saat isotermal dapat dianggap sebagai suhu kristalisasi isotermal T C dengan derajat supercooling T C -T M tertentu. 127 Sebelum terjadi induksi kristalisasi saat suhu isotermal tercapai,  CPO bernilai relatif konstan disebut  isotermal pada interval waktu tertentu sebelum induksi kristalisasi terjadi. Percobaan dengan T C 39 o C derajat supercooling 0.53 o C, menghasilkan  isotermal sebesar 43 mPa.s, sedangkan percobaan dengan T C isotermal 36 o C derajat supercooling 3.53 o C, menghasilkan  isotermal yang lebih besar yaitu sekitar 75 mPa.s.  isotermal di T C 36 o C lebih tinggi dari pada T C 39 o C karena pengaliran CPO terjadi pada suhu yang lebih rendah, sehingga interaksi molekuler menjadi lebih kuat Santos et al. 2005. Pada kondisi pengaliran isotermal di bawah T M , kristalisasi lemak mulai terjadi setelah melalui waktu induksi kristalisasi tertentu t i . Pada percobaan c di T C 39 o C,  CPO yang semula bernilai tetap sekitar 43 mPa.s, akan mengalami kenaikan setelah 4 jam pengaliran dengan t i berlangsung selama sekitar 80 menit. Setelah t i terlampaui, terjadi peningkatan  yang cukup drastis hingga 106 mPa.s yang mengindikasikan mulai terjadinya proses kristalisasi lemak pada suhu tersebut. Pada percobaan d di T C 36 o C, t i berlangsung pada waktu yang lebih singkat yaitu sekitar 20 menit, dan terjadi peningkatan  yang lebih besar yaitu yang semula sekitar 75 mPa.s meningkat sangat drastis hingga 770 mPa.s. Terjadinya peningkatan yang drastis akibat pembentukan kristal lemak, juga teramati secara visual pada akhir proses pengaliran. Berdasarkan hasil percobaan c dan d tersebut dapat disimpulkan bahwa percobaan pengaliran dengan derajat supercooling yang lebih tinggi memiliki isotermal yang lebih tinggi dengan t i yang lebih singkat. Hasil pengujian dengan pipa sirkulasi ini mengonfirmasi hasil pengujian pengaruh T C terhadap  CPO yang dilakukan dengan HAAKE Rotovisco RV20, dimana derajat supercooling yang semakin besar akan menghasilkan  isotermal yang lebih besar dan t i yang lebih singkat. Selama percobaan pengaliran, dilakukan juga pengamatan sifat reologi CPO dengan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 pada suhu tertentu. Pengujian tersebut untuk memantau perubahan sifat reologi CPO melalui penentuan parameter indeks tingkah laku aliran flow behaviour index, n dan indeks konsistensi concistency index, K. Hasil pengukuran parameter sifat reologi CPO selama pengaliran disajikan pada Tabel 21. 128 Tabel 21 Sifat reologi CPO selama pengaliran dengan suhu awal 55 o C menuju suhu pengaliran isotermal 36 o C. Suhu o C Persamaan power law Indeks tingkah laku aliran, n Indeks konsistensi, K Pa.s n Sifat reologi 55 y = 0.961x - 1.572 0.961 0.027 ~ Newtonian 50 y = 0.904x - 1.348 0.904 0.045 ~ Newtonian 45 y = 0.915x - 1.035 0.915 0.049 ~ Newtonian 40 y = 1.021x - 1.445 1.021 0.035 ~ Newtonian 36 y = 0.667x - 0.060 0.667 0.870 Pseudoplastic Pada percobaan pengaliran dengan pipa sirkulasi hingga T C 36 o C, dapat ditentukan model pengaruh suhu terhadap  CPO saat suhu mengalami penurunan dan belum isotermal. Berdasarkan hasil perhitungan yang tersaji pada Lampiran 35, diperoleh nilai E a saat pengaliran sebelum kondisi isotermal tercapai sebesar 32.88 kJmol R² = 0.862. Nilai E a tersebut hampir sama dengan E a hasil percobaan kondisi dinamis terkontrol dengan instrumen HAAKE Rotovisco RV20, yang menghasilkan E a sekitar 31 kJmol. Dengan demikian hasil ini kembali dapat mengkonfirmasi bahwa pada kondisi suhu yang menurun dari 55 o C dengan kisaran T dan shear rate tertentu, profil perubahan  CPO relatif sama selama belum terjadi induksi kristalisasi. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pada suhu 55 o C hingga suhu 40 o C, CPO cenderung memiliki sifat sebagai fluida Newtonian dengan nilai n di sekitar 1, dan nilai K serta  yang kecil. Hasil tersebut juga sesuai dengan Foubert et al. 2003 yang menyatakan bahwa sebelum proses kristalisasi berlangsung, sampel lemak memiliki sifat fluida Newtonian. Pada saat itu CPO masih dalam bentuk fase cair yang mudah mengalir yang sesuai dengan sifat sampel RBDPO pada zona A yang diteliti oleh Tarabukina et al. 2009, dimana peningkatan  hanya disebabkan oleh terjadinya penurunan suhu, dan belum terjadi kristalisasi lemak. Pengaliran lebih lanjut pada suhu yang lebih rendah dari 40 o C yang juga lebih rendah dari T M 39.53 o C menyebabkan CPO mengalami transisi sifat reologi menjadi fluida non-Newtonian pseudoplastic dengan nilai n yang semakin 129 kecil, dan nilai K serta yang semakin besar. Pada suhu di bawah T M tersebut telah terjadi kondisi supercooling yang menginduksi terjadinya kristalisasi lemak. Akan tetapi perlu diingat bahwa induksi kristalisasi tidak langsung terjadi begitu terjadi kondisi supercooling. Pengujian sebelumnya pada kondisi dinamis terkontrol menunjukkan bahwa selama kondisi isotermal belum terjadi dan suhu masih menurun dari suhu 55 o C hingga suhu terendah 30 o C pada T dan shear rate tertentu, induksi kristalisasi belum akan terjadi hingga mencapai berlangsung kondisi yang isotermal. Pada saat isotermal dengan suhu di bawah T M , terjadi peningkatan  yang drastis yang teramati secara visual dari sampel yang keruh dan mengental. Dengan peningkatan  tersebut, beban pemompaan semakin tinggi, dan bila pengaliran terus dilanjutkan akan terjadi kristalisasi lemak yang berlebihan yang dapat menyebabkan penyumbatan pipa. Pada percobaan simulasi pengaliran ini, transisi sifat reologi CPO dari Newtonian menjadi non-Newtonian pseudoplastic yang juga mengindikasikan telah terjadinya induksi kristalisasi, terjadi pada suhu isotermal di bawah T M yaitu pada suhu pengaliran isotermal 39 dan 35 o C. Akan tetapi, bila suhu pengaliran isotermal dapat dicapai pada suhu 30 o C, induksi kristalisasi juga akan terjadi setelah suhu 30 o C tersebut tercapai dengan t i tertentu. Pada suhu di atas 30 o C, selama suhu pengaliran masih mengalami laju penurunan suhu tertentu dan belum isotermal, belum akan terjadi induksi kristalisasi dan sifat fluida masih Newtonian dengan  tertentu. Berdasarkan hasil perhitungan sesuai kondisi pengaliran di pipa sirkulasi, secara teoritis dapat dihitung shear rate yang dialami CPO yaitu 310 s -1 , dan T sebesar 0.162 o Cmenit suhu menurun sekitar 2 jam dari suhu 55 o C ke 35 o C. Induksi kristalisasi pada percobaan pengaliran dengan pipa sirkulasi pada T C 36 o C terjadi setelah 20 menit suhu isotermal tercapai, lebih singkat dibandingkan t i hasil percobaan pada kondisi dinamis terkontrol dengan HAAKE Rotovisco RV20 pada T C 35 o C dengan T 0.1 o Cmenit dan shear rate 400 s -1 sebesar 90 menit. Terjadinya perbedaan pada data  isotermal dan t i yang dihasilkan percobaan dinamis terkontrol, dengan percobaan simulasi pengaliran dengan pipa sirkulasi disebabkan adanya beberapa kondisi percobaan yang berbeda. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut diduga karena pada percobaan pengaliran dengan 130 pipa sirkulasi, suhu lingkungan yang tinggi di atas 35 o C menyebabkan T yang terjadi antara suhu CPO dengan suhu lingkungan telah sangat kecil, sehingga kondisi isotermal sebenarnya telah mulai berlangsung pada suhu yang lebih tinggi dari suhu isotermal yang dicobakan. Akibatnya, pada suhu sedikit di bawah T M , kondisi isotermal yang terjadi selama pengaliran dalam pipa sirkulasi menyebabkan induksi kristalisasi lemak yang menyebabkan nilai  yang lebih tinggi dan t i yang lebih cepat dibandingkan kondisi percobaan dinamis yang terkontrol. Faktor lain yang diduga juga mempengaruhi data hasil pengujian pipa sirkulasi dengan t i yang lebih singkat diduga karena shear rate aktual yang terjadi lebih besar akibat CPO tersirkulasi pada pompa, flowmeter, dan tangki penyeimbang. Selain itu terdapat sisa air pada pipa yang menurut Rye et al. 2005 merupakan pengotor katalitik catalytic impurities yang dapat menginduksi pembentukan inti kristal pada kristalisasi heterogen. Kondisi suhu lingkungan yang tinggi suhu sekitar 35 o C juga menyebabkan kondisi isotermal cenderung telah mulai terjadi pada suhu yang lebih tinggi dari T C 35 o C, sehingga diduga mempercepat terjadinya induksi kristalisasi pada percobaan pengaliran dengan pipa sirkulasi. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, dapat dikonfirmasi bahwa karakteristik CPO hasil pengujian dengan pipa sirkulasi sesuai dengan hasil pengujian karakteristik CPO pada kondisi dinamis terkontrol. Bila kondisi isotermal belum tercapai, sifat reologi CPO masih dipertahankan bersifat sebagai fluida Newtonian dengan  yang tetap rendah. Suhu pengaliran isotermal yang memberikan derajat supercooling tertentu sangat menentukan terjadinya induksi kristalisasi CPO selama pengaliran. Proses pemanasan CPO kembali pada kondisi yang mengalir untuk mencegah kristalisasi lemak yang berlebihan dapat dilakukan pada periode isotermal sebelum induksi kristalisasi terjadi pada kisaran waktu t i . Untuk menjamin CPO tetap dapat mengalir di sepanjang pipa, terjadinya induksi kristalisasi lemak CPO harus dicegah. Bila pengaliran berlangsung pada kondisi non-isotermal dan suhu terus mengalami penurunan dari 55 o C dengan T dan shear rate tertentu, maka pengaliran CPO dapat dilakukan hingga suhu 131 tertentu sebelum terjadi induksi kristalisasi. Pada kondisi non-isotermal hingga suhu 30 o C, CPO masih mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian, belum mengalami induksi kristalisasi, dan memiliki  yang relatif rendah di bawah 60 mPa.s. Kondisi supercooling dapat menginduksi kristalisasi lemak CPO, khususnya pada kondisi mengalir yang mengalami T dan shear rate tertentu. Dengan demikian, untuk menjamin CPO tetap dapat mengalir di sepanjang pipa, maka pembentukan kristal lemak pada CPO selama pengaliran perlu dicegah. Kristalisasi lemak pada CPO dapat dicegah dengan cara mempertahankan suhu pengaliran yang lebih tinggi dari titik leleh T M CPO atau dengan memperhitungkan suhu saat terjadinya kondisi isotermal, yang sangat tergantung pada suhu lingkungan pengaliran. Proses pemanasan CPO kembali pada kondisi yang mengalir untuk mencegah kristalisasi lemak yang berlebihan dapat dilakukan pada periode isotermal sebelum induksi kristalisasi terjadi pada kisaran waktu t i . Untuk aplikasi kendali pengaliran CPO di dalam pipa, karakteristik CPO khususnya sifat reologi dan kristalisasi CPO sepanjang pengaliran harus diperhitungkan secara mendetail. Selain itu, kendali proses pengaliran juga harus didasarkan pada kondisi lapangan dan kelengkapan fasilitas perpipaan yang ingin dibangun. Diperlukan perhitungan khusus untuk dapat memanfaatkan karakteristik CPO selama pengaliran ini agar proses pengaliran dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Simpulan Proses perubahan sifat reologi dan sifat kristalisasi CPO dipelajari pada kondisi statis yang diuji dengan DSC, serta pada kondisi dinamis melalui penerapan perlakuan laju penurunan suhu T dan shear yang terkontrol maupun melalui pengujian simulasi pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi. Pada pengujian kristalisasi kondisi statis, T C 30 o C belum menyebabkan CPO mengalami proses kristalisasi. Pada T C 26 o C dan 25 o C terdeteksi proses kristalisasi CPO yang ditandai oleh sebuah kurva eksotermik, sedangkan pada T C 22-24 o C proses 132 kristalisasi terdeteksi dalam dua kurva eksotermik. Pada T yang semakin besar penurunan suhu semakin cepat, maka waktu induksi kristalisasi t i lebih singkat. Pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis dilakukan melalui penerapan kombinasi perlakuan T 0.1, 0.2, 0.5, dan 1 o Cmenit dan shear rate 40, 100, dan 400 s -1 , yang menghasilkan karakteristik sebagai berikut: 1. Pada saat suhu menurun dari 55 o C ke 25 o C, CPO akan mengalami peningkatan  secara linier, CPO masih dalam fase cair, dan bersifat sebagai fluida Newtonian. Profil peningkatan  CPO relatif sama untuk setiap kombinasi perlakuan T dan shear rate kecuali pada perlakuan dengan T terkecil yaitu 0.1 o Cmenit. Pada T 0.2, 0.5 dan 1 o Cmenit,  akan meningkat dari semula rata-rata sebesar 21 mPa.s di suhu 55 o C, menjadi rata- rata sebesar 70 mPa.s pada suhu 25 o C. Pada perlakuan T 0.1 o Cmenit,  meningkat secara cukup drastis pada suhu sekitar 28 o C yang mengindikasikan telah terjadinya induksi kristalisasi sebelum mencapai T C 25 o C. Pada laju penurunan suhu yang sangat lambat, induksi kristalisasi dapat terjadi walaupun suhu kristalisasi isotermal belum tercapai. 2. Kombinasi perlakuan T dan shear rate pada kisaran suhu dari 55-30 o C menghasilkan profil perubahan  yang relatif sama. Pada kisaran suhu 55-30 o C, perlakuan T, shear rate, dan interaksi antara T dan shear rate, tidak berpengaruh nyata terhadap E a P0.05 dan profil perubahan . Pada kondisi non-isotermal dari suhu awal 55 o C hingga suhu 30 o C, CPO masih mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian, belum mengalami induksi kristalisasi, dan memiliki  yang relatif rendah di bawah 60 mPa.s. 3. Pengaruh kombinasi perlakuan T dan shear rate terhadap CPO menentukan waktu terjadinya induksi kristalisasi t i dan  maksimal  maks yang dapat dicapai sampel CPO setelah proses kristalisasi. Pada kisaran perlakuan, T dan shear rate masing-masing berpengaruh nyata P0.05 terhadap t i dan  maks , tetapi interaksi antara T dan shear rate tidak berpengaruh nyata. Pada T yang semakin rendah menyebabkan t i menjadi semakin singkat dan  maks yang semakin besar. Pada shear rate yang semakin tinggi, t i menjadi semakin 133 singkat dan  maks semakin rendah yang diduga akibat terjadinya pemecahan agregat kristal. 4. Pada kondisi supercooling, proses kristalisasi CPO akan lebih mudah terjadi dan  CPO akan lebih cepat meningkat saat diterapkan T yang kecil dan shear rate yang tinggi. Sifat CPO sebagai fluida Newtonian sangat ditentukan oleh T dan shear rate yang diterapkan. Pada T yang tinggi dan shear rate yang rendah, CPO dapat mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian hingga suhu T M . Bila kondisi supercooling tidak terjadi T C T M , CPO tetap akan mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian, dimana T dan shear rate tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai  CPO. Pengaruh T C 25, 30, 35, dan 40 o C terhadap proses kristalisasi CPO pada kondisi dinamis dilakukan pada T 0.1 o Cmenit dan shear rate 400 s -1 . Peningkatan  sebelum T C tercapai membentuk kurva semilogaritmik yang berhimpit dan T C akhir tidak berpengaruh pada profil perubahan  selama suhu menurun pada T tertentu. Pada T C 40 o C,  kondisi supercooling tidak tercapai karena T C T M 39.53 o C, sehingga profil  tetap di sekitar 37 mPa.s hingga 330 menit 5.5 jam. Pada T C di bawah T M terjadi kondisi supercooling, terjadi induksi kristalisasi pada waktu tertentu. Semakin tinggi derajat supercooling CPO, maka  isotermal akan lebih tinggi dengan t i yang semakin singkat. Pada T C 35 o C dengan  sekitar 43 mPa.s, t i berlangsung selama 90 menit 1.5 jam. Pada T C 30 o C dengan  sebesar 56.3 mPa.s, t i berlangsung selama 30 menit. Sifat reologi dan kristalisasi CPO dikonfirmasi melalui percobaan pengaliran dalam pipa sirkulasi pada suhu pengaliran isotermal: a 48 o C T M ; b 41 o C T M ; c 39 o C T M ; dan d 36 o C T M , dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Pada saat CPO dialirkan dari suhu 55 o C dan mengalami penurunan suhu,  akan meningkat dengan sifat fluida Newtonian dengan  yang semakin tinggi pada suhu yang lebih rendah. Peningkatan  terjadi dengan E a 32.88 kJmol. Batas terendah suhu dan waktu induksi kristalisasi isotermal t i sangat tergantung pada derajat supercooling, T dan shear rate yang diterapkan. 134 2. Pada suhu pengaliran isotermal di atas T M CPO 39.63 o C, maka CPO bersifat sebagai fluida Newtonian dengan yang relatif kecil. Percobaan pengaliran pada suhu isotermal 48 o C menghasilkan  saat isotermal sekitar 33 mPa.s, lebih rendah dibandingkan percobaan yang berlangsung pada suhu isotermal 41 o C yang memiliki  sekitar 37 mPa.s. Pada suhu isotermal yang lebih tinggi, bernilai lebih rendah. CPO tidak akan mengalami induksi kristalisasi karena belum terjadi kondisi supercooling. 3. Pada kondisi supercooling, isotermal akan berlangsung selama t i tertentu. Kondisi isotermal telah terjadi sebelum suhu pengaliran mencapai 30 o C. Percobaan dengan T C 39 o C derajat supercooling 0.53 o C, menghasilkan  isotermal sebesar 43 mPa.s dengan t i sekitar 80 menit dan  akhir 106 mPa.s. Percobaan dengan T C isotermal 36 o C derajat supercooling 3.53 o C, menghasilkan  isotermal yang lebih besar yaitu sekitar 75 mPa.s dengan t i 20 menit dan akhir hingga 770 mPa.s.Semakin rendah suhu pengaliran isotermal di bawah T M semakin tinggi derajat supercooling, maka t i akan terjadi dalam waktu yang lebih singkat.  akhir CPO sangat tergantung dari suhu pengaliran isotermal, T dan shear rate yang terjadi. 135

5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA

Pendahuluan Transportasi minyak sawit kasar crude palm oil atau CPO dari pabrik kelapa sawit PKS menuju tangki penyimpanan di industri pengolah CPO maupun di pelabuhan, pada umumnya menggunakan moda transportasi darat seperti truk tangki atau kereta api tangki. Transportasi CPO secara bulk melalui jalur darat membutuhkan alat transportasi dengan biaya operasional yang tinggi, dan terjadi inefisiensi saat alat transportasi tersebut kembali ke PKS tanpa muatan. Menurut DJIAK 2009, infrastruktur pendukung industri CPO antara lain pelabuhan curah cair dan akses jalan di Indonesia masih belum memadai. Keterbatasan ruas dan kondisi jalan yang kurang memadai tersebut seringkali mengakibatkan kepadatan dan kemacetan lalu lintas. Pada moda transportasi darat juga terdapat peluang pencemaran CPO selama kegiatan bongkar muat serta praktek pencurian. Haryati et al. 1997 mengungkapkan bahwa pada saat bongkar muat, pada moda transportasi dengan truk tangki terjadi proses pemanasan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu yang direkomendasikan oleh CAC dalam CACRCP 36 CAC 2005, yang seharusnya dilakukan pada suhu 50- 55 o C menjadi sekitar 80 o C, akibat tidak dilengkapinya truk tangki dengan sistem pemanas. Berbagai permasalahan tersebut menuntut perlunya pengembangan alternatif moda transportasi CPO yang lebih efisien, antara lain melalui penggunaan moda pipa. Proses penanganan bahan pada transportasi CPO moda pipa menjadi lebih sederhana dibandingkan pada transportasi CPO moda truk tangki Gambar 32. CPO harus melalui dua kali tahap bongkar muat pada transportasi moda truk tangki, yaitu pada saat di PKS dan di tangki penyimpanan pelabuhan. Sebaliknya, pada transportasi CPO moda pipa, CPO dapat langsung dialirkan dari PKS ke tangki penyimpanan pelabuhan. 136 Gambar 32 Penyederhanaan proses penanganan bahan pada transportasi CPO moda pipa. Pootakham dan Kumar 2010a dan 2010b telah melakukan kajian pembandingan antara sistem transportasi moda pipa dengan moda truk tangki untuk bio-oil. Berdasarkan hasil penelitiannya, transportasi moda pipa untu bio- oil membutuhkan biaya yang lebih rendah dibandingkan transportasi menggunakan truk tangki, khususnya untuk transportasi skala besar dan jarak tempuh yang jauh. Di dalam pengembangan sistem transportasi moda pipa untuk CPO, perlu dilakukan kajian penjaminan aliran flow assurance agar aliran CPO dapat dipertahankan di sepanjang pipa. Fluida dapat mengalir saat ada gaya yang diberikan kepadanya. Di sepanjang lokasi dan waktu pada sistem pengaliran fluida, beberapa gaya dapat terjadi pada fluida antara lain gaya tekan, gaya gravitasi, dan friksi friction Singh Heldman 2001. Khususnya pada sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, CPO harus dapat dialirkan secara efektif dan tidak mengalami peningkatan viskositas serta kristalisasi lemak yang berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya penyumbatan pipa. Upaya untuk mempertahankan aliran CPO di dalam pipa, sangat ditentukan oleh karakteristik dasar CPO, sistem pengaliran, dan desain jaringan pipa yang dirancang. Pelabuhan TRUK TANGKI PKS PIPA Pelabuhan PKS 137 Menurut Steffe dan Daubert 2006, variabel utama yang paling menentukan di dalam perhitungan desain perpipaan adalah sifat reologi dari bahan yang akan dialirkan tersebut. Hasil penelitian Tahap I, II, dan III yang telah diuraikan pada Bab 2, 3, dan 4 untuk mengkaji karakteristik CPO, menjadi dasar di dalam penyusunan rancangan teknik kendali dalam sistem transportasi CPO moda pipa. Sistem kendali pengaliran CPO dilakukan melalui kendali karakteristik CPO, khususnya terkait sifat reologi dan kristalisasi lemaknya selama pengaliran, agar CPO dapat dialirkan secara efektif dan terjadinya penyumbatan di sepanjang pipa dapat dicegah. Faktor kritis penentu aliran CPO dalam pipa, harus dikendalikan melalui penerapan parameter proses pengaliran seperti suhu dan laju aliran. Selain itu, kendali pengaliran juga ditentukan oleh desain rancangan teknis pipa yang dirancang, dimana menurut Singh dan Heldman 2001, sistem transportasi fluida pada umumnya terdiri dari empat komponen dasar yaitu tangki, jalur perpipaan, pompa dan sambungan pipa fittings. Pada desain transportasi CPO moda pipa, variabel proses yang diterapkan pada desain rancangan teknis jaringan pipa seperti input kerja pompa, jenis dan dimensi pipa, laju aliran, ketinggian pipa, jumlah belokan pipa, jenis dan ketebalan insulasi, dan variabel lainnya, perlu diperhitungkan secara detail berdasarkan data karakteristik CPO yang dialirkan dan kondisi di lapangan. Berdasarkan data sifat fisik dasar CPO khususnya data pengaruh suhu terhadap densitas, sifat reologi dan kristalisasi lemak CPO, dapat disusun sistem kendali pengaliran CPO dalam pipa yang harus dipenuhi oleh rancangan teknis jaringan pipa yang ingin dikembangkan. Pada transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, akan terjadi penurunan tekanan pressure drop atau P yang diakibatkan faktor friksi friction factor atau f, maupun akibat gaya gravitasi dan gaya kinetik yang harus diatasi Pootakham dan Kumar 2010b. Untuk itu, diperlukan stasiun pompa penguat untuk mengatasi penurunan tekanan di sepanjang jalur pipa. Selain itu, pada jarak tempuh yang jauh juga terjadi penurunan suhu di sepanjang aliran thermal drop during flow, T flow akibat pelepasan panas di sepanjang pipa. Adanya penurunan suhu menyebabkan sifat reologi CPO akan berubah dan mengakibatkan perubahan pada sistem