Topeng Sidhakarya makalah - TOPENG SIDHAKARYA SEBUAH SIMBOL DAN IKON ABSTRAKSI BRAHMANA KELING DARI JAWA TIMUR

4 objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Marcel Danesi, 2010: 37-45 Topeng Sidhakarya merupakan sebuah tanda yang perlu dimaknai. Apa- kah itu sebuah ikon, indeks, atau simbol, atau memiliki ketiga unsur tanda itu. Sesuatu itu merupakan ikon, jika tanda dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan. Parfum merupakan ikon penciuman yang meniru wangi alamiah. Semua gambar, foto, tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan juga merupakan ikon. Tanda sebagai ikon memiliki makna yang cenderung denotatif, yang tidak memerlukan kesepakatan untuk mengartikannya seperti halnya makna simbol. Sesuatu disebut indeks, jika tanda dirancang untuk mengindikasikan sumber acuan atau saling berhubungan dengan sumber acuan. Indeks dibagi tiga, yaitu indeks ruang, indeks temporal, dan indeks persona. Indeks ruang mengacu pada lokasi ruang sebuah benda misalnya jari tangan menunjuk arah, figur anak panah, dan kata penjelas ini atau itu. Indeks temporal meng- hubungkan benda-benda dari segi waktu. Angka tanggal-tanggal di kalender, dan juga sebuah peta adalah indeks temporal. Indeks persona menghubungkan pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam sebuah situasi, misalnya kata ganti orang kau, aku, atau kata ganti tak tentu seperti yang ini, yang itu. Simbol menunjuk pada tanda menyandikan sesuatu yang merupakan kesepakatan konvensional. Makna tanda yang terjadi cenderung konotasi, sehingga membutuhkan kesepakatan kelompok atau masyarakat. Kesepakatan itu telah diakui keberadaannya sebagai makna sebuah tanda. Garuda pancasila merupakan simbol bangsa Indonesia, demikian pula dengan warna putih merupakan simbol kesucian dan lain-lain.

D. Topeng Sidhakarya

Ada dua jenis topeng yaitu Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan adalah dramatari topeng yang ditampilkan oleh seorang penari dengan memainkan bermacam-macam tapel sesuai dengan karakter masing-masing. Topeng Panca merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan, karena terjadi penambahan fungsi. Topeng Panca dimainkan oleh lima orang penari dengan karakter yang berbeda-beda. I Made Bandem dan I Nyoman Rembang, 1976: 11-13 5 Cerita yang disajikan dalam topeng adalah babad-babad Bali, sejarah dan legenda lainnya. Cerita-cerita itu menekankan pada aspek pendidikan moral, agama, adat dan lain-lain. Topeng dengan jenis penyajian cerita seperti itu termasuk jenis tari bebali, yaitu tari yang berfungsi sebagai pendukung upacara keagamaan. Topeng Pajegan adalah topeng wali karena hadirnya tari sakral yaitu Topeng Sidhakarya. Topeng Panca merupakan tari bebali karena fungsinya untuk pendidikan, penyebaran informasi keagamaan dan lain-lain. Jika Topeng Panca membawakan cerita yang menghadirkan Topeng Sidhakarya, maka topeng panca menjadi tari wali. Dramatari Topeng Sidhakarya menyajikan cerita upacara “Nanggluk M erana” di Besakih yang dilaksanakan oleh raja Bali yaitu Dalem Waturenggong. Ketika itu datanglah seorang brahmana pendeta dari Keling yang bernama Brhamana Keling untuk mencari saudaranya. Dia mengatakan bahwa Dalem Waturenggong adalah saudaranya. Sudah tentu brahmana itu dianggap gila oleh masyarakat. Ia tidak diperkenankan masuk. Brahmana itu tetap bersikeras ingin bertemu saudaranya, akhirnya ia diusir paksa oleh masyarakat. Beliau tidak terima diperlakukan seperti itu, kemudian mengutuk agar lingkungan dan rakyat Bali diserang penyakit. Kutukannya menjadi kenyataan. Semua rakyat diserang wabah penyakit, tanam- tanaman juga demikian, sehingga upacara “Nanggluk Merana” kacau. Atas petunjuk Dewata melalui Danghyang Nirarta, Dalem Waturenggong memerintahkan agar mencari Brahmana Keling. Rakyat mencarinya, kemudian menghadapkannya kepada raja di Besakih. Raja memohon kepada Brahmana Keling agar bisa menyembuhkan masyarakat, dan mengembalikan kondisi seperti semula. Jika berhasil raja akan memenuhi permintaan brahmana. Brahmana bersedia melakukannya. Ia melaksanakan dengan disaksikan saksi pituhu yang membenarkan segala yang diucapkan. Ayam hitam dikatakan putih, harus dijawab putih oleh saksi, maka ayam benar- benar putih. Pohon kelapa tak berbuah dikatakan berbuah, harus dijawab berbuah oleh saksi, maka pohon kelapa benar-benar berbuah. Dengan kesaktian brahmana kemudian semua orang sakit jadi sehat, tanam-tanaman yang sudah busuk segar kemabali. Dalem Waturenggong menepati janji. Brahmana Keling diakui sebagai saudara dan diberi Gelar Dalem Sidhakarya. Selanjutnya Dalem Sidhakarya mengaku sebagai Dewa segala “merana” hama 6 tikus, walang sangit, dan lain-lainnya. I Made Bandem dan I Nyoman Rembang, 1976: 11-12 Cerita tersebut di atas merupakan satu versi cerita pokok Topeng Sidhakarya, yang paling sering disajikan dalam pertunjukan topeng wali. Adapun cerita-cerita lain dari babad-babad seperti Dalem Dukut, Pasek Buduk, dan lain- lain dapat disajikan dengan menghadirkan Topeng Sidhakarya di bagian akhir pertunjukan babak penyuwud. Bentuk pertunjukan Topeng Sidhakarya yang paling sering disajikan itu, terbagi menjadi tiga babak, yaitu babak I pengawit, babak II petangkilan, dan babak III penyuwud. Babak I pengawit terdiri dari sajian dua atau tiga sajian topeng panglembar. Panglembar adalah tarian topeng pembuka, yang biasanya ditampilkan Topeng Keras dan Topeng Tua. Babak II petangkilan adalah babak pertemuan antara raja Dalem Waturenggong dengan abdinya. Peran Dalem Waturenggong disajikan dengan Topeng Arsawijaya dan abdinya dengan topeng penasar. Babak itu dilanjutkan dengan adanya konflik kacaunya proses upacara Nanggluk Merana. Di tengah- tengah konflik hadir Danghyang Nirarta sebagai penasihat. Tokoh itu disajikan dengan Topeng Peranda yang membawa tongkat. Babak petangkilan itu diakhiri dengan penampilan babondresan, yaitu penyajian masyarakat dengan berbagai karakter yang cenderung melawak. Babak III penyuwud berisi penyajian Topeng Sidhakarya sebagai pemuput yaitu topeng penuntas acara. Topeng itu menari pada awalnya dengan gerak-gerak yang menakutkan dan mencekam, seperti gerak mengintai, menakut-nakuti, mengejar dan lain-lain. Berikutnya gerak memantrani sesaji. Pada bagian ini penari topeng benar-benar berfungsi sebagai pendeta yang melantunkan doa-doa upacara, oleh karena itu syarat sebagai penari Topeng Sidhakarya telah melalui proses pawintenan pemangku penyucian sebagai pinandita. Penyajian selanjutnya penari topeng menaburkan beras kuning ke segala penjuru. Babak III ini diakhiri dengan mengajak anak kecil mendekati sajen untuk diberi uang dan menirukan kata-kata yang diucapkan topeng. Untuk mengtahui bentuk Topeng Sidhakarya memantrani sajen dalam sebuah pertunjukan dapat dilihat pada gambar berikut ini. 7 Gambar 1. Topeng Sidhakarya sedang memantrani sajen yang ada di depannya. Topeng Sidhakarya merupakan tari tunggal, yaitu tari topeng yang dimainkan oleh seorang penari. Tapelnya memiliki ciri danawa setengah raksasa, gigi sengoh menonjol ke depan, memakai taring atas, mulut terbuka, mata sipit, sedangkan pipi, dahi, dan dagu cembung. Ekspresinya aeng menakutkan yang terpancar dari garis-garis raut hitam di dahi dan pipi. I Wayan Dana, 1993: 50 Topeng Sidhakarya menggunakan busana topeng dengan kepala berambut putih dan wajah setengah raksasa. Untuk lebih jelas bentuk tapel dan kepala Topeng Sidhakarya dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut. 8 Gambar 2. Wajah tapel dan kepala Topeng Sidhakarya

E. Topeng Sidhakarya sebagai Simbol dan Ikon Abstraksi