8
Gambar 2. Wajah tapel dan kepala Topeng Sidhakarya
E. Topeng Sidhakarya sebagai Simbol dan Ikon Abstraksi
Pertunjukan Topeng Sidhakarya merupakan sebuah tanda non verbal yang dapat dikaji. Topeng itu sebagai tanda dipahami sebagai sebuah teks.
Pertunjukan Topeng Sidhakarya adalah pertunjukan ritual yang bentuk pertunjukannya seperti yang tercantum dalam babak III penyuwud tersebut di
atas. Tanda itu dimulai dari hadirnya topeng menari di atas pentas, kemudian memantrani sajen, menari menaburkan beras kuning ke segala penjuru, sampai
akhirnya menari mengajak anak kecil mendekati sajen untuk diberi uang dan menirukan kata-kata yang diucapkan topeng.
Bentuk pertunjukan topeng itu dapat dibagi menjadi lima bagian tanda yang saling terkait, yaitu pertama penampilan figur tari, kedua karakter gerak tari,
ketiga sajen dan hubungannya dengan figur tari, keempat aktivitas menabur beras kuning, dan kelima hadirnya anak kecil di pentas. Figur tari yang dimaksud
adalah peran atau tokoh siapa tari topeng itu, dan siapa nama tokoh itu. Karakter gerak tari adalah watak gerak atau kesan-kesan gerak yang ditampilkan. Sajen
tari dan hubungannya dengan figur tari merupakan satu kesatuan bentuk yaitu sajen dalam kondisi dimantrani. Aktivitas menabur beras kuning merupakan
gerak tari topeng menabur beras kuning. Hadirnya anak kecil di pentas adalah
9
kesatuan aktivitas gerak, sikap, dan kata-kata yang ada dari topeng dan anak kecil.
Figur tari Topeng Sidhakarya adalah sosok seorang pendeta. Ini dapat dibuktikan dengan adanya lontar Bebali Sidhakarya. Dalam lontar itu tertulis
bahwa Sidhakarya adalah seorang brahmana keturunan Sakya dari Keling. Beliau adalah putra dari Danghyang Kayumanis yang bersaudara dengan Empu
Tantular, keturunan dari Empu Baradah dari Jawa Timur. I Wayan Dana, 1993: 85
Beliau bertapa di gunung Bromo Tengger Jawa Timur. Brahmana Keling pergi ke Keraton Madura dari pertapaannya untuk menegakkan kembali upacara
sesaji pajegan. Selanjutnya beliau pergi ke Bali ingin bertemu dengan Raja Gelgel Dalem Waturenggong. Seperti cerita upacara Nanggluk Merana yang
telah disebutkan di atas, Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya dan memberi gelar Dalem Sidhakarya. Peristiwa itu terjadi
pada tahun 1615 Caka atau 1693 Masehi. I Wayan Dana, 1993: 30-31 Ditinjau dari cerita itu figur Topeng Sidhakarya adalah sebuah tanda yang
merupakan ikon. Topeng itu adalah ikon dari Brahmana Keling. Ikon yang ada sebenarnya merupakan tiruan bentuk brahmana, tetapi ada sebuah perubahan
yang dapat disebut sebagai abstraksi. Topeng yang dibuat merupakan abstraksi dari bentuk awal yang ditiru. Hal itu dapat dijelaskan dalam lanjutan cerita
Brahmana Keling sebagai berikut. Pada hari Rabu Kliwon Pahang tahun 1703, Dalem Waturenggong
menyuruh I Pasek Akoluh Luhandalah membuat tiga buah tapel yang menggam- barkan tiga tokoh penting, yaitu Dalem Sidhakarya, Dalem Waturenggong, dan
Danghyang Nirarta. Selanjutnya tapel-tapel itu dihadirkan dalam tari topeng wali, yaitu pertunjukan Topeng Sidhakarya I Wayan Dana, 1993: 31 Figur Topeng
Sidhakarya merupakan abstraksi, baik dari busana maupun bentuk tapel yang disajikan. Busana topeng merupakan abstraksi yang sangat jauh dari asalnya.
Bentuk dan desain busana menyesuaikan busana tari topeng dengan gaya Bali. Demikian pula wajah tapel yang dibuat cendrung abstraksi jauh. Bentuk tapel
danawa, mulut terbuka gigi sengoh, mata sipit, pipi-dahi dan dagu cembung, serta ekspresinya menakutkan merupakan abstraksi jauh.
Nama topeng itu mengandung makna yang jelas. Pada umumnya umat Hindu di Bali telah mengenal arti kata sidhakarya itu. Kata sidhakarya terdiri dari
10
dua kata sidha yang berarti jadi, atau berhasil, dan karya berarti pekerjaan. Sidhakarya adalah simbol keberhasilan sebuah pekerjaan. Itu merupakan idam-
idaman umat Hindu. Mereka mengharapkan keberhasilan jika melaksanakan upacara atau pekerjaan besar. Mereka yakin sebuah upacara akan tuntas, akan
tercapai tujuannya jika mementaskan Topeng Sidhakarya. Makna simbolis itu tidak hanya terdapat pada arti kata nama topeng, tetapi pada rangkaian tanda-
tanda pertunjukannya. Gerak-gerak tari topeng merupakan kelanjutan dari figur topeng yang
merupakan ikon abstraksi. Kita bisa memaknai bahwa Brahmana Keling sedang beraktivitas. Aktivitasnya ternyata didistorsi dan distilisasi ke dalam sebuah
bentuk gerak-gerak topeng. Karakter gerak yang menakutkan, dengan penampilan danawa adalah sebuah distorsi, sedangkan gerak-gerak lain yang
murni adalah stilisasi. Tiga tanda yang lain yaitu sajen dimantrani topeng, penaburan beras
kuning, dan aktivitas anak kecil menjawab pertanyaan topeng adalah simbol. Topeng menggunakan sajen sesayut Kasturi Bhatara Maisora. Sajen yang
disepakati oleh umat Hindu di Bali sebagai sajen Topeng Sidhakarya itu merupakan simbol yan penuh makna. Secara garis besar sajen itu mendukung
makna sidhakarya, terlebih lagi jika sajen dimantrani sebagai ikon Bhrahmana Keling berdoa.
Topeng menaburkan beras kuning ke segala penjuru merupakan simbol kesejahteraan. Biasanya sebelum penari menaburkan beras ke segala penjuru,
ia menaburkannya ke empat arah mata angin. Beras adalah bahan makanan, warna kuning berwatak dunia Mahadewa yang jika itu ditaburkan ke empat arah
merupakan simbol kuat mendatangkan kesejahteraan di dunia. I Nengah Mariasa, 2015: 297
Kehadiran anak kecil di atas pentas terjadi karena penari topeng memilih, mengajaknya mendekati sajen. Setelah kegiatan menabur beras penari topeng
menari berjalan ke wilayah penonton. Ia menggendong salah satu anak kecil biasanya pria mendekati sajen. Tidak semua anak kecil mau diajak, pada
umumnya mereka takut pada wajah topeng yang serem. Dengan menawarinya bahwa ia akan diberi uang, maka anak kecil mau digendong. Setelah anak kecil
mendekati sajen penari topeng menyuruhnya menjawab pertanyaan. Kata-kata yang biasa digunakan topeng pada awalnya
adalah “Om awignam astu namo
11
sidham” doa pembuka. Selanjutnya bertanya kepada anak kecil “apa karyane ene suba praga
t” artinya: apa upacara ini sudah selesai, anak kecil disuruh menjawab
“sampun.” Ditanya kembali “sida rahayu” artinya: apakah jadi selamat, anak kecil disuruh menjawab
“rahayu.” Selesai menjawab pertanyaan anak kecil biasanya diberi uang Rp. 20.000,00 atau Rp. 50.000,00, bahkan ada
yang memberi Rp. 100.000,00. Aktivitas anak kecil menjawab pertanyaan adalah simbol pendukung sidhakarya.
F. Simpulan