Pola Hubungan Produksi dan Periiaku Pemasaran pada Industri Kecil Tapioka di Pedesaan (Studi Kasus Sentra Industri Kecil Tapioka Kasar di Kampung Tarikolot, Desa Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor, Propinsi Jawa Barat).

RINGKASAN
Kampoi Naibaho. Pola Hubungan Produksi dan Periiaku Pemasaran pada
Industri Kecil Tapioka di Pedesaan (Studi Kasus Sentra Industri Kecil Tapioka
Kasar di Kampung Tarikolot, Desa Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya
Bogor, Propinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan Titik Sumarti.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola hubungan produksi (dalam ha1
hubungan ketenagakerjaan, pengadaan modal dan bahan baku), perilaku pemasaran,
kaitan pola hubungan produksi dengan perilaku pemasaran, serta kaitan pola
hubungan produksi dan intervensi pemerintah pada industri kecil tapioka di pedesaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Strategi penelitian kualitatif
yang digunakan adalah studi kasus. Subjek kasus penelitia~i dipilih dengan cara
snowballing,yaitu mengalur mulai dengan wawancara dengan Pak Jais yans dikenal
sebagai tokoh masyarakat Tarikolot, sekaligus yang paling lama menjadi pengusaha
tapioka kasar. Kemudian, dari subjek kasus ini dicari subjek kasus lain sesuai dengan
data yang dibutuhkan. Informan yang diwawancarai, yakni pekerja industri kecil,
petugas Koptar, pedagang tapioka, aparat pemerintahan Desa Ciluar dan tokoh
masyarakat yang mengerti isu permasalahan.
Pola hubungan produksi antara pekerja dengan pengusaha industri kecil
bersifat hubungan patron-klien. Pekerja berperan sebagai klien, perhitungannya tidak
semata-mata hanya upah. Ia bahkan rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk
peningkatan produksi. Sebaliknya, pengusaha yang berperan sebagai patron berusaha

menjamin kebutuhan subsistensi pekerja dengan memberi pinjaman, nienanibah upali
dan bahkan membantu mendirikan industri kecil bagi pekerja.
Pentingnya keberadaan singkong untuk kontinuitas produksi mengakibatkan
perlunya ada penjalinan hubungan yang baik dengan pedagang singkong. Agen
pengumpul mau menjual bahan baku singkong dengan metnberi utang dulu kepada
pengusaha, dan baru dibayar setelah tapioka terjual Sehal~knya.prtlgusal~a tidaL
menyia-nyiakan kepercayaan agen, terutariia dalani membapar si~igko~ig.Jtka
pengusaha selalu melunasi tagihan pembayaran singkong tepat waktu, ageri akan tetap
menjadi langganan seterusnya. Ini berarti agen pengumpul aka11 terus menjamin
kontinuitas bahan baku--kontinuitas usaha. Jadi, pola hubungan antara pengusaha dan
agen pengumpul dapat dikatakan bersifat hubungan patron klien. Tetapi, pola
hubungan antara pengusaha dengan petani belum dapat dikatakan bersifat hubungan
patron klien. Petani hanya menjamin kebutuhan bahan baku pada saat panen saja-tidak kontinu. Meskipun demikian, pengusaha tetap menjalin hubungan kepercayaan
dengan petani, supaya petani tersebut tetap menjadi langganannya pada saat panen
singkong berikutnya.
Di saat produksi berhenti karena singkong tidak ada, cuaca yang tidak
mendukung (hujan terus) padahal pekerjalpengusaha pengrajin ada kebutuhan uang
mendadak dan atau untuk memperbaiki peralatan, peran pemberi modal sangat
dibutuhkan. Tanpa adanya pemberi pinjaman, maka kebutuhan subsistensi pekerja dan
pengusaha akan terancam. Jadi, pedagang tapioka sebagai pemberi pinjaman berperan

sebagai patron karena memberi jaminan subsistensi. Sebaliknya, pengusaha berperan

sebagai klien karena secara moral ia membalas budi dengan menjual tapioka kasar ke
suatu pabriklkoperasi, jika ia meminjam uang.
Adanya kebutuhan untuk membayar upah pekerja, pembayaran singkong dan
kebutuhan sehari-hari keluarga pengusaha (memenuhi batas subsistensi pengusahal
pekerja pengrajin), serta tidak adanya alternatif penghasilan keluarga mengakibatkan
tapioka diusahakan dijual semuanya setiap hari dengan harga yang ditentukan oleh
pedagang tapioka. Jadi dapat dikatakan, perilaku pemasaran didasari pada motif nilai
untuk menjamin subsistensi pengusahdpekerja dan keluarganya. Periode pemasaran
tapioka setiap hari (perilaku pemasaran) merupakan tuntutan (pengaruh) dari pola
hubungan produksi antara pengusaha dengan pekerja, pedagang singkong serta
pemberi modal. Jadi, ada kaitan antara pala hubungan produksi denyan perilaku
pemasaran. Kemudian, pengusaha akan malu dan dianggap tidak etis jika menjual
tapioka ke orang lain, padahal ia meminjam uang dari pedagang tersebut. Jadi dapat
dikatakan, perilaku pemasaran didasari oleh motif nilai moralistik pengusaha.
Sehingga, pola hubungan antara pengusaha dengan pemberi modal mempengamhi
juga perilaku pemasaran (kepada siapa tapioka dijual).
Ide pembentukan Koptar (Koperasi Pengrajin Tapioka Kasar) berasal dari elit
desa. Adanya Koptar mengakibatkan ada alternatif lain untuk penjualan tapioka kasar.

Ini berarti, mengurangi ketergantungan pengusaha terhadap pedagang tapioka (pabrik
tapioka halus) di bidang pemasaran. Penumnan ketergantungan di bidang pemasaran
diikuti juga penurunan ketergantungan pengusaha dalam peminjaman uang.
Pengusaha sudah mempunyai alternatif untuk meminjam uang di Koptar. Sedangkan,
pengamhnya terhadap pola hubungan produksi dengan pedagang singkong dan
pekerja menyangkut kelancaran pembayaran singkong dan upah pekerja. Pengusaha
tidak hanya tergantung pada ketersediaan uang di pabrik. Lancarnya pembayaran
singkong akan lebih mempererat hubungan antara pengusaha dengan pedagang
singkong. Begitu juga hubungannya dengan pekerja. Lancarnya pembayaran upah
pekerja akan lebih menjamin kebutuhan subsistensi pekerja dan keluarganya. 1n1
berarti, akan lebih mempererat hubungan antara pekerja dengan pengusaha. Dengan
demikian, adanya intervensi pemerintah tidak mengakibatkan semua pola hubungan
produksi makin lemah. Keberadaan Koptar tersebut mengakibatkan pola hubungan
produksi antara pengusaha dengan pekerja, dan dengan pedagang singkong makin
erat. Perenggangan pola hubungan produksi hanya pada pedagang tapioka, yang
sekaligus sebagai pemberi pinjaman. Jadi, pada kasus industri kecil di Kampung
Tarikolot, intervensi pemerintah di bidang pemasaran cenderung diterima para
pengusaha pengrajin (komunitas desa) karena tidak mengganggu hubungan produksi
serta dapat lebih menjamin kontinuitas usaha.
Maka, dalam pengembangan sentra industri kecil tapioka kasar Kampung

Tarikolof pemerintah disarankan perlu menerapkan pendekatan yang bisa menjamin
kontinuitas usaha. Salah satunya dengan memperbanyak alternatif pemasaran produk
industri tersebut. Bagi pihak Koptar, pendekatan hubungan patron-klien yang
diterapkan selama ini, untuk mensosialisasikan maksud dan tujuan koperasi kepada
para pengusaha pada tahap awal perlu dipertahankan, sampai para pengusaha sadar
akan pentingnya arti dan peranan ICoptar tersebut. Kemudian selanjutnya, Koptar
tersebut diserahkan sepenuhnya dikelola oleh para pengusaha tapioka kasar.

POLA HUBUNGAN PRODUKSI DAN PERILAKU PEMASARAN
PADA INDUSTRI KECIL TAPIOKA DI PEDESAAN
(Kasus Sentra Industri Kecil Tapioka Kasar di Kampung Tarikolot, Desa
Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor, Propinsi Jawa Barat)

OLEH :
KAMPOI NAIBAHO
A09496020

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian

Pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

JURUSAN IJJMU-ILMU SOSlAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2000