Shalat dan Revolusi Moral

Shalat dan Revolusi Moral
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta dan UMJ
Peristiwa Isra’-Mi’raj Rasulullah Saw merupakan peristiwa yang luar biasa
revolusioner sekaligus merupakan salah satu mukjizatnya. Tujuan Isra’-Mi’raj adalah
untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt yang luar bisa agung dan indah
(QS. al-Isra’ [17]: 1). Demonstrasi tanda-tanda kekuasaan Allah itu tidak semata-mata
untuk “menghibur” Rasul-Nya yang saat itu sedang berduka cita (’am al-huzni), tetapi
juga dalam rangka reformasi iman dan revolusi moral dan mental-spiritual.
Perjalanan malam hari yang bersifat horizontal dari al-Masjidil Haram hingga alMasjidil Aqsha (isra’) menyiratkan pesan spiritual: kebeningan jiwa, kekhusyukan, dan
kedalaman spiritual. Sedangkan perjalanan vertikal, lintas dunia, lintas langit, dan lintas
alam hingga Sidratul Muntaha (mi’raj) menunjukkan betapa revolusi moral dan mental
spiritual itu mudah, karena memerlukan sebuah “pendakian dan perjuangan” mahaberat
yang harus ditapaki hingga bisa “bertemu dan diterima” oleh Allah Swt, sebagai puncak
derajat kedekatan beliau dengan-Nya. Bagaimana perjalanan horizontal-vertikal yang
mendaki itu dapat menginpsirasi dan membuahkan spiritualitas yang teruji dan moralitas
yang terpuji?
Pendakian spiritual itu akhirnya dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban shalat
lima waktu. Sabda Nabi Saw: “as-Shalatu mi’rajul mu’min.” (HR. Ahmad). Sebagai
mi’raj, idealnya shalat dapat memi’rajkan pelakunya hingga mampu berkomunikasi dan
berdialog langsung dengan Allah Swt. Revolusi mental-spiritual dan moral melalui shalat

itu menuntut kekhusyukan hati dan pikiran, sekaligus menghendaki komitmen suci untuk
menjadi shalat sebagai solusi kehidupan. “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 45). Dengan shalat, Mukmin sejatinya dilatih untuk terus
menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah hingga sedekat-dekat-Nya.
Mengawal Shalat, Memadu Revolusi Moral
Shalat merupakan ibadah ritual yang sangat sentral dalam Islam. Selain menjadi
tolok ukur (barometer) diterima tidaknya amal perbuatan kita di akhirat kelak, shalat
menurut al-Qur’an setidak-tidaknya “dikawal” dengan empat hal yang harus merupakan
kesatuan integral, yaitu: (1) aqimu as-shalah (laksanakan shalat dengan istikamah) (QS.
al-Baqarah [2]: 43), (2) hafizhu ‘ala as-shalawat was shalatil wustha (Peliharalah semua
shalat dan shalat wusṭā. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk) (QS.
al-Baqarah [2]: 238), (3) walladzinahum ‘ala shalatihim daimun (mereka yang tetap setia
melaksanakan shalatnya) (QS. al-Ma’arij [70]: 23), dan (4) walladzhina hum fi shalatihim
khasyi’un (orang yang khusyuk dalam salatnya) (QS. al-Mu’minun [23]: 2)
Kata kunci pengintegrasian keempat pengawal shalat tersebut adalah memi’rajkan
shalat itu sendiri. Artinya, ketika shalat, kita harus menyadari bahwa orientasi
spiritualitas dan moralitas kita sedang dihadirkan, difokuskan, dan “dinaikkan” menuju
“dialog intim” dengan Sang Kekasih, Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda:
"Ingatlah mati dalam shalatmu, karena apabila seseorang mengingat mati dalam


shalatnya, niscaya ia akan bersusah payah memperbaiki shalatnya. Dan shalatlah seperti
shalatnya seseorang yang tidak mengira akan shalat lagi." (HR Ibn Majah).
Hadis tersebut menunjukkan urgensi pemi’rajan shalat sekaligus pentingnya
“menikmati” shalat yang khusyuk dengan cara mengingat mati. Shalat yang dilaksanakan
itu seolah-olah merupakan shalat terakhirnya. Dengan kata lain, memi’rajkan shalat
semestinya menyadarkan pelakunya (muqimis shalah) bahwa ia tidak lama lagi akan mati
dan kini sedang melakukan "shalat wada'" (shalat pamitan, shalat selamat jalan, shalat
pamungkas). Shalat yang demikian itu meniscayakan adanya revolusi mental-spiritual
dan moral, yaitu shalat yang tanha ‘an al-fakhsya’ wa al-munkar (shalat yang
membuahkan praksis moral substansial berupa pencegahan diri dari berbuat keji dan
munkar).
Kesadaran spiritual semacam itu pada gilirannya menghendaki sang pelaku untuk
tazkiyatun nafs (penyucian diri, lahir dan batin), sehingga shalat yang dikerjakannya juga
dapat membersihkan sifat-sifat dan penyakit hati yang tercela. Jika ritualitas shalat hanya
dikerjakan sebagai rutinitas tanpa spiritualitas, maka shalat itu menjadi tidak bermakna.
Nabi Saw bersabda: “Tidak dinilai shalat, orang yang shalatnya tidak dapat mencegah
dirinya dari perbuatan keji dan munkar.” (HR. Ahmad). Artinya, jika seseorang misalnya
melakukan shalat sekaligus korupsi, maka ia belum dianggap shalat secara bermakna.
Menshalatkan Hati dan Pikiran

Shalat bukan semata-mata ucapan dan gerakan. Hati dan pikiran harus dihadirkan
dan dishalatkan dengan ikhlas. Karena itu, khusyuk yang hakiki, menurut Ibn Qayyim alJauziyah, adalah kekhusyukan iman yang ada dalam hati Muslim, sehingga memancarkan
kekhusyukan perkataan dan perbuatan anggota badan. Iman yang khusyuk ditandai oleh
sikap hati yang penuh pengagungan, ketundukan, kepasrahan, takut, dan malu kepada
Allah, sehingga hatinya dipenuhi rasa cinta dan rindu kepada-Nya.
Dalam konteks ini, Alquran menegaskan, "Sungguh beruntung orang-orang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka." (QS. al-Mu’minun [23]: 1-2).
Keberuntungan spiritual ini hanya dapat diwujudkan oleh Mukmin yang shalatnya
mampu menghadirkan "dialog spiritual" dengan Allah SWT, dan mampu menghentikan
"komunikasi" dengan segala urusan dunia. Itulah shalat yang menenteramkan jiwa dan
menjadikan shalat itu bermakna: bermuara pada penjauhan diri dari perbuatan keji dan
munkar (QS al-Ankabut [29]: 45).
Khusyuk dalam shalat itu nikmat, karena hamba dapat "curhat langsung" dengan Sang
Kekasih. Sayangnya, shalat khusyuk tidak selamanya dapat dinikmati oleh semua orang
yang shalat, karena berbagai sebab. Di antaranya adalah orang yang shalat tidak
menyempurnakan wudhunya, pakaian dan tempatnya tidak suci, isi perutnya tidak halal,
fisiknya shalat tapi hatinya ingat selain Allah, shalatnya terburu-buru, tidak konsentrasi,
dan tidak dibarengi pemahaman terhadap pesan-pesan moral dan sosial shalat.
"Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya." (QS. al-Ma’un [107]: 4-5). Dalam hal ini, orang yang tidak dapat merasakan

nikmatnya khusyuk berarti termasuk orang yang mendustakan agama. Pendusta agama
itu hanya menjadikan agama sekedar formalitas, tanpa spiritualitas dan moralitas luhur
yang termanifestasikan dalam amal sosial yang nyata.
Jika nikmatnya khusyuk sudah dapat dirasakan oleh setiap orang yang shalat, maka
dengan sendirinya ia tidak akan pernah tergoda untuk melakukan perilaku yang amoral,

seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, miras, pornoaksi, dan pembalakan liar.
Nikmatnya khusyuk memandu jalan hidup orang yang shalat untuk selalu membersihkan
diri (tazkiyatun nafs), memaksimalkan dedikasi, dan meningkatkan integritas diri di
manapun dan kapanpun.
Karena itu, evaluasi terus-menerus terhadap kualitas shalat kita menjadi sangat
penting. Merasakan nikmatnya khusyuk dalam shalat perlu dimulai dari kesiapan hati kita
untuk mau mendengar dan meresponi "panggilan" Allah (azan) dengan penuh rasa
syukur, rasa rindu, dan rasa cinta bertemu dengan Sang Kekasih. Sabda Nabi SAW:
"Tiada seseorang yang merasa dipanggil untuk menunaikan shalat wajib, lalu ia
memperbaiki wudhu, khusyuk dan rukuknya, melainkan shalatnya itu menjadi penghapus
dosa setahun sebelumnya, selama ia tidak mempunyai dosa besar." (HR Muslim). Jadi,
kebermaknaan kehidupan Muslim itu harus dimulai dan dikawal secara terus-menerus
dengan shalat sebagai revolusi mental-spiritual dan moral. Wallahu a’lam bi as-shawab!
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI REPUBLIKA, 28 Mei 2014