REVOLUSI DALAM REVOLUSI DI KESULTANAN SE

REVOLUSI DALAM REVOLUSI
DI KESULTAN SERDANG
OLEH

MUHAMMAD ALAMSYAH

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota
Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral
semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti
nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk lebih
menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada
tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga
menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat
sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur
laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan
bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10
Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang

telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang
diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar
tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah
menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu
melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian
tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat,
Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan
kemerdekaan
Indonesia
pada
tanggal
24
Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air
dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan

kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu
muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada
Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang
anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil
pertemuan di Dalat.

Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal
berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara
Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah
menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak
dan dibagi-bagikan.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan
proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah
yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum
siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak
memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI
adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya
merupakan 'hadiah' dari Jepang.


Evolusi dan Kelahiran Kesultanan Serdang
Berdirinya kerajaan Serdang diawali dari perang suksesi dalam perebutan
tahta di Deli disekitar tahun 1820. Perang suksesi ini merupakan sebagai embrio
terbentuknya bangsawan Melayu Serdang sekaligus telah mewujudkan kerajaan
Serdang. Namun kerajaan yang didirikan oleh permaisuri Tengku Puan Sampali
bersama putranya Tengku Umar Johan Pahlawan Alamsyah dan adiknya Tengku
Tarwar serta mendapat bantuan dari Datuk Sunggal dan Datuk Tanjung Morawa
marga Saragih Dasalah itu bukanlah merupakan tujuan semata – mata , melainkan
hanyalah alat untuk mencapai cita – cita bangsa dan tujuan negara yakni
membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan raja adil raja disembah raja
zalim raja disanggah.
Kerajaan Serdang merupakan perkawinan antara kerajaan Perbaungan asal
Minangkabau, Denai,

Lubuk Pakam, Batang Kuis, Percut Sei Tuan sampai

Selatan, sampai kebatas Sungai Ular melalui Namu Rambe dari Hulu sampai ke
pantai Selat Malaka.
Adapun arti daripada suksesi 1720 itu dalam garis–garis besarnya ialah :
1. Lahirnya bangsawan Melayu Serdang;


2. Puncak perjuangan Tengku Umar Johan Perkasa Alamsyah untuk
memperebutkan tahta kerajaan Deli namun gagal;
3. Titik tolak untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan
raja adil raja disembah raja jalim raja disanggah.
Semenjak suksesi 1720 itu sejarah bangsa Melayu Serdang merupakan
daripada suatu bangsa yang merdeka dan bernegara ; sejarah bangsa Melayu
Serdang yang menyusun pemerintahannya.

Budaya Politik Tradisional Melayu Serdang
Jati diri Melayu umumnya mengajarkan kepada orang–orang Melayu akan
adanya siklus antara daulat dan derhaka. Secara simbolik jati diri ini
diaktualisasikan dalam tiga unsur mendasar yaitu Raja/Sultan, para pembesar dari
berbagai hirarki, dan rakyat yang menjadi wadah untuk menjunjung kedua unsur
terdahulu. Ketiga unsur ini bertalian erat diantara satu dengan lainnya. Bangsawan
Serdang merupakan bagian dari bangsawan Melayu. Seseorang disebut Melayu
apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari–harinya dan beristiadat
Melayu. Dalam adat Melayu terdapat satu ungkapapan yang dipedomani.
Ungkapan ini; “adat bersendi hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah”.
Jadi orang Melayu itu adalah etnis secara kultural ( budaya ) dan tidak mesti secara

genologis ( persamaan darah turunan ). Dalam hukum kekeluargaan orang Melayu
menganut sistem “parental” ( kedudukan pihak ibu dan pihak bapak sama ). Pada
awalnya ketika agama Islam mulai dikembangkan oleh orang Melayu ( pedagang )
ke seantero Nusantara; pengertian Melayu merupakan pengertian suatu wadah
orang Islam dalam menghadapi golongan non–Islam.
Dalam kesadaran Barat kekuasaan merupakan gejala yang khas antarmanusia.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain,

untuk membuat mereka melakukan tindakan–tindakan yang kita kehendaki.
Kekuasaan pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang abstrak yang hanya menjadi
kongkret dalam sebab–sebab dan akibatnya. Kekuasaan terdiri dalam hubungan
tertentu antara orang–orang ataupun kelompok orang dimana salah satu pihak
dapat memenangkan kehendaknya terhadap yang satunya. Kekuasaan muncul
dalam bentuk yang beraneka ragam misalnya sebagai kekuasaan orang tua,
karismatik, politik, fisik, finansial, inteletual, dan tergantung dari dasar
empirisnya.
Dalam paham Melayu kekuasaan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.
Sistem kerajaan–kerajaan Melayu yang tumbuh di Sumatera Timur dan ada sejak
kerajaan Haru di Deli lenyap karena serangan Aceh pada 1539 M merupakan
bersifat kerajaan Islam Mazhab Syafii yang mengutamakan mufakat ( konsensus )

dalam pemerintahan sehari–hari diantara Raja/Sultan yang dianggap sebagai
“zilullah fi’l alam” bayang–bayang Tuhan diatas dunia atau “kalifatullah fi’l
ard” wakil Tuhan di dunia dengan rakyat diwakili oleh para “Orang Besar” telah
diciptakan ketika terjadi “kontrak sosial” antara sang sapurba dengan demang
lebar daun di Bukit Seguntang Maha Meru seperti yang diceritakan oleh sejarah
Melayu. Dalam “kontrak sosial” ini Raja/Sultan ( penguasa ) tidak boleh
menghina dan memperkosa hak rakyat. Raja tidak akan membuat keputusan tanpa
mufakat dan persetujuan segenap Orang Besar. Taatnya orang Melayu kepada
Raja/Sultan yang dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia/kepala pemerintahan
Islam/kepala adat sejak dahulu sebelumnya terungkap dalam pepatah “ada raja
adat berdiri, tiada raja adat mati”. Oleh sebab itu Raja/Sultan mempunyai
“Daulat” selaku penguasa pemerintahan, penguasa Islam dikerajaannya; dan
selaku kepala adat Melayu. Pemberontakan terhadap Raja/Sultan dianggap

merusak keseimbangan kosmos di alam tindakan mana disebut “Durhaka”, yang
hukumnya sangat berat sampai melibatkan keluarga dan harta benda pendurhaka
itu. Oleh sebab itu dapatlah kita lihat didalam sejarah kerajaan–kerajaan Melayu
sebelum penjajahan Barat untuk melenyapkan ketidakadilan rakyat memakai tiga
cara :
1. Cara pertama : Memprotes sesuai pepatah “Raja adil Raja disembah,

Raja zalim Raja disanggah”. Pepatah ini memperlihatkan bahwa hak
azasi manusia sudah lama dipraktekan pada orang Melayu dibandingkan
orang diluar Melayu;
2. Cara kedua; sering kita lihat dengan meracuni raja itu hingga tewas;
3. Cara ketiga; rakyat yang merasa ditekan lalu berangkat pindah dengan
keluarganya ke kerajaan lain sehingga daulat raja itu jadi berkurang.
Dalam hikayat Melayu sering hal itu dilukiskan dengan “negeri itu
menjadi lengang ibarat disambar garuda”. Dengan banyak keluar
rakayatnya maka raja yang zalim itu hilanglah pamornya ( daulatnya ) dan
turunlah derarajat kerajaannya menjadi miskin.
Ketiga unsur; Raja/Sultan, para pembesar dari berbagai hirarki, dan rakyat
yang menjadi wadah untuk menjunjung kedua unsur terdahulu itu merupakan
semacam matarantai yang tidak dapat dipisahkan. Siapa dan apa yang menaikan
martabat seorang raja atau sultan tidaklah terlepas dari rakyat walaupun sekecil
apapun pengikut dan rakyat yang mendaulati beginda dari kerajaan itu.
Sebaliknya tentulah tidak akan terwujud suatu sistem, peraturan, atau organisasi
sesuatu kerajaan atau kesultanan, masyarakat yang teratur, tata cara hidup yang
bernorma dan berbudaya seandainya ketiadaan raja atau sultan yang didaulati
sebagai unsur tertinggi dalam tata cara berkerajaan dan berpemerintahan. Sebagai


pemimpin sebuah masyarakat yang besar dalam tradisi kemepimpinan Melayu–
Islam ia perlu diakui sebagai khalifah di dunia.
Apabila merujuk kepada tradisi pribumi; rakyat suatu kerajaan atau suatu
kesultanan dianggap sebagai tanah. Hanya unsur tanah saja yang boleh
menumbuhkan pohon. Dan apabila mengambil contoh tradisi kepemimpinan
Parsi, raja diibaratkan pohon dan rakyatnya diumpamakan sebagai akarnya.
Hanya apakah ada akar barulah pohonnya boleh tumbuh dan berkembang. Tanah
yang segar, akar yang kuat tentu dapat menghasilkan pohon yang subur dan baik.
Perantaraan diantara raja atau sultan dengan rakyatnya adalah pembesar. Para
pembesar dari pelbagai hirarki melaksakan fungsi–fungsi fiskal dalam
melangsungkan kewibawaan dan berkuasanya seorang raja atau sultan terhadap
seluruh rakyatnya. Tidak mungkin kesemua tanggungjawab itu dilakukan oleh
raja atau sultan. Maka memang sangat diperlukanlah hal-hal yang bersifat
kompleks itu dibagi–bagikan ( pembagian kekuasaan ) kepada para pembesar
tersebut.
Seorang raja atau sultan mempunyai tugas pertama–tama ia harus
mengangkat bendahara, kedua ia juga mengangkat tumenggung, tugas yang ketiga
seorang raja atau sultan yang bijaksana juga harus melakukan pengangkatan
terhadap syahbandar. Demikianlah, betapa raja atau sultan dan pembesar saling
perlu memerlukan ibarat api dengan kayu tidak akan mungkin menyala api

apabila tanpa adanya kayu. Maka wajarlah apabila raja atau sultan, pembesar, dan
rakyat menjadi dasar dalam pandangan hidup perpolitikan Melayu dalam
membentuk sebuah kerajaan dengan berbagai keragaman institusinya. Selanjutnya
apabila dikaitkan seorang raja atau sultan yang berwibawa serta yang pemegang
kekuasaan tertinggi dalam institusi kerajaan yang memakai gelar sultan tersebut

maka wujud dari kerajaan itu berwujud kesultanan. Instutusi inilah yang menjadi
tonggak dari penggagasan, penumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan
daripada suatu kerajaan dan warisan–warisan Melayu berikutnya. Begitu penting
institusi ini dalam menyumbang untuk mewujudkan sebuah kerajaan sehingga
diungkapkan secara falsafah dalam budaya politik Melayu “…negeri ( kerajaan )
kalah , apabila rajanya mati”.
Dari ungkapan ini dapat diyakini bahwa raja atau sultan dalam paham Melayu
memiliki kosmis. Kosmis ialah suatu kekuatan yang dimiliki oleh seorang raja
( penguasa ) berdasarkan keseimbangan dalam berpedomankan akan kestabilan
kosmos ( alam semesta ). Artinya seorang raja atau sultan dapat berkuasa apabila
jumlah total kekuasaan dalam alam semesta tetap sama saja. Individu-individu
yang berkuasa dianggap penuh kekuatan batin dalam arti baik atau buruk. Pada
prinsipnya kekuatan adi dunia itu ada dimana-mana tetapi ada tempat, benda, dan
manusia dengan pemusatan yang lebih tinggi. Raja atau sultan yang dipenuhi oleh

kekuatan ini tidak bisa dikalahkan dan tak dapat dilukai dengan kata lain raja atau
sultan itu sakti kekuatan yang membuat sakti disebut kesaktian. Kekuasaan politik
adalah ungkapan kesaktian maka tidak merupakan sesuatu yang abstrak suatu
nama belakang bagi hubungan antara dua unsur yang kongkret yaitu manusia atau
kelompok manusia. Kekuasaan mempunyai substansi pada dirinya sendiri
( kehendak dari raja atau sultan yang bersangkutan ) berinteraksi pada dirinya
sendiri dan tidak tergantung dari dan mendahului terhadap segala pembawaan
empiris. Dalam kenyataannya kekuasaan hakekat realitas sendiri, dasar ilahinya
dilihat dari segi kekuatan yang menagalir pada dirinya sendiri itu merupakan
sesuatu yang abstrak yang hanya menjadi kongret dalam sebab-sebab dan akibatakibatnya. Kekuasaan terdiri dari hubungan tertentu antara orang-orang atau

kelompok orang tertentu dimana salah satu pihak dapat memenangkan
kehendaknya terhadap satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang beraneka
ragam; misalnya sebagai kekuasaan orang tua yang kharismatik, politik, fisik,
finansial, intelektual; tergantung dari dasar empiriknya. Pada latarbelakang
kekuasaaan itu raja atau sultan dapat dimengerti sebagai orang yang memusatkan
suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri sebagai orang
yang sakti sesaktinya. Kita bisa membayangkan sebagai pintu air yang
menampung seluruh air sungai dan bagi tanah yang lebih rendah merupakan satusatunya sumber air dan kesuburan, atau sebagai lensa pembakar yang
memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya kebawah. Kesaktian sang raja

atau sultan diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang dipegangnya.
Kekuasaan semakin besar semakin luas wilayah kekuasaan yang dipegangnya.
Dari seorang raja atau sultan akan mengalirlah ketenangan dan kesejahteraan
kedaerah sekelingnya. Tidak ada musuh dari luar atau kekacauan didalam yang
menggangu petani pada pekerjaannya di sawah karena kekuasaaan yang berpusat
dalam raja atau sultan sedemikian besar sehingga semua faktor yang bisa
mengganggu kekuatanya seakan-akan dikeringkan daya pengacau dari pihakpihak yang dianggap berbahaya seakan-akan dihisap kedalam raja atau sultan.
Dalam wilayah kekuasaanya akan dapat ketentraman dan keadilan serta setiap
pihak dapat menjalankan usaha-usahanya tanpa perlu takut dan kaget. Kekuasaan
dari raja atau sultan juga nampak dari kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi
bencana - bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi
karena semua peristiwa alam dari kekuatan kosmis yang sama dan dipusatkan
dalam diri raja atau sultan, maka apabila kekuasaannya raja atau sultan itu
menyeluruh maka akan terlepas dari apa yang dikatakan dengan tidak adanya

kekuatan-kekuatan selain kekuatan pusat ( basis kekuasaan ) termasuk kekuatankekuatan alam masih bisa bergerak. Oleh karena itu kekuatan raja atau sultan
terbukti dari akan adanya keteraturan dan kesuburan alam serta masyarakat. Jadi
apabila semuanya tentram, bila tanah memberi panen yang berlimpah-limpah, bila
setiap penduduk dapat makan dan berpakaian secukupnya dan semua orang
merasa puas inilah yang dikatakan bahwa raja atau sultan masih memiliki kosmis
yang direalisasikan sebagai keadaan yang

“…negeri ( kerajaan ) apabila

rajanya mati”. Apabila kosmis itu tidak dimiliki lagi oleh raja atau sultan tersebut
maka akan terjadinya kekacauan, kritikan-kritikan, dan perlawanan–perlawanan.
Apabila tidak ada lagi terdapat pusat-pusat kekuasaan yang belum tergantung
daripadanya atau memberontak terhadap pemerintahan pusat dan apabila terjadi
segala macam ganguan terhadap ketentraman serta keselarasan dalam wilayah
kekuasaanya tersebut.
Dengan demikian, faktor–faktor berikut akan menjadi landasan utama secara
umum dalam menegaskan dan meneruskan kelangsungan institusi kerajaan–
kerajaan Melayu sebagai berikut : Hardinya seorang raja atau sultan yang
didaulati. Baginda harus beragama Islam. Dalam melaksanakan hukum–hukum
dan perundang–undangan kerajaan maka syariat Islam diterapkan bersama–sama
peraturan–peraturan dari adat–istiadat setempat. Landasan kepada penegakan
daulat ialah adil. Baginda menjadi pelindung kepada kesejahteraan rakyat dan
kerajaan. “Memangsai rakyat tanpa dosanya ( melalaikan dosa menderhaka
kepada raja ), alamat kerajaan akan binasa”. Ukuran dari tingginya daulat yang
dimiliki oleh raja atau sultan dapat ditaidai dengan taat dan setianya rakyat serta
kemakmuran seluruh kerajaan. Perdagangan maju dan banyaknya alim ulama
yang masuk ke negeri ini.

Pembesar dan para menteri yang menjalankan tugasnya dan menjunjung
tinggi perintah

raja/sultan dengan setianya. Filsuf mengungkapkan “bahwa

kerja/titah raja dijunjung, kerja sendiri terabaikan, ini adalah idealismenya.
Orang kebanyakan baik yang berada di tanah Melayu sendiri ataupun
kawasan–kawasan yang menjadi taklukan Melayu menjadi rakyat kebawah Duli
Yang Maha Mulia. Secara idealnya mereka melindungi sebaliknya mereka adalah
penegak daulat raja. Interaksi mereka dengan raja adalah renggang tetapi untuk
menyeimbangi kereanggangan tersebut dibarengi dengan kepercayaan dan
pendukungan terhadap daulat secara spiritual, peranan, dan fungsi pembesar ke
atas mereka.
Hadirnya kerjasama , saling topang – menopang , dan dukung–mendukung
secara langsung maupun secara tidak langsung diantara ketiga unsur ( raja/sultan,
pembesar, dan rakayat ) ini. Dengan fenomena ini akan terbentuk suatu konsensus
masyarakat yang diaktualisasikan kepada pegangan dan kepatuahan kepada
wadah ( kontrak sosial ) “sang spurba taram seri tri buana ( pihak yang
diperintah )” dengan “demang selebar daun ( pihak yang diperintah )”. Ini
merupakan suatu tradisi turun–temurun dalam politik Melayu.
Secara historis dalam budaya berpolitik Melayu menjurus kearah terbinanya
sebuah kerajaan, apabila tonggak bernegara ialah institusi kerajaan atau
kesultanan maka unsur yang sangat mendasari akan kedua aspek ini ialah
pemegang dan penguasa dari politik tersebut. Kedaulatan dan usaha–usaha
pembinannya bukan sekedar muncul dari dukungan dan pengakuan dari
kalangan–kalangan seperti pembesar, menteri dan rakyat tetapi harus didukung
juga oleh adanya penguatan dengan mitos–mitos dan kepercayaan diwariskan

oleh pendahulu–pendahulu terdahulu secara turun–temurun mengenai asal usul
dari raja/sultan tersebut.
Dalam bidang pemerintahan kerajaan Melayu pada umumnya, dan di kerajaan
Serdang pada khususnya selalu memakai Orang Besar dalam jumlah astrologi
( mendapat pengaruh dari Hindu ) yaitu : 4, 8, 16, dan kadang–kadang sampai 32
orang. Struktur pemerintahan di Serdang dan negeri–negeri Melayu lainnya di
Sumatera Timur berdasarkan asal struktur perkembangan dari pemerinatahnnya
mula–mula sangat sederhana sekali. Kita dapat membuat hipotesa bahwa
perkampungan – perkampungan kecil disepanjang Selat Malaka yang hampir–
hampir tidak berpengaruh itu mempunyai kepala–kepala kaum dimana penghuni–
penghuni kampung menganggap dirinya sebagai raja mereka yang kadang–
kadang pemerintahannya bersifat despotis dan otokratis, yang kadang – kadang
juga dengan atau tanpa mufakat bersama–sama mengambil saja sesuatu gelar
untuk dirinya dan juga memberikan gelar–gelar kepada kaum–kaum lainnya yang
dengan sukarela menetap didaerahnya ataupun dapat dilakukannya dengan
peperangan. Untuk memperkuat kekuasaannya ia mengangkat pula anggota–
anggota keluarganya atau orang–orang kepercayaannya untuk memegang fungsi–
fungsi tertentu seperti : panglima perang, syahbandar, dan lain–lain. Pemberian
gelar–gelar itu mempunyai arti apa–apa dan pemberian gelar itu hanyalah sebagai
mutan politik untuk mengikat persahabatan guna menjaga stabilitas negerinya.
Penghasilan yang diperoleh dari raja–raja tersebut umumnya dari peradilan, bea–
cuaki, hasil–hasil muara sungai, persembahan–persembahan yang diterima,
barang larangan, pancong alas, bea masuk orang asing yang memasuki
wilayahnya; dan bersamaan dengan daerah–daerah kediaman orang–orang Batak
keuntungan biasanya didapatkan dari monopoli garam, candu, dan sering juga dari

ekspor budak–budak ( biasanya orang–orang kafir ) yang dijual oleh pedagang
Cina ke Malaya didaerah pertambangan timah dan perak di Perak dan Selangor.
Didaerah–daerah yang ditaklukkannya raja–raja itu pada umumnya tidak pernah
meninggalkan pasukan tetap tetapi mengambil salah seorang anak raja yang
dikalahkannya atau pengganti raja untuk dididik di istananya. Sering pula raja
penakluk itu menunggu datangnya utusan–utusan pemberian upeti ( Bunga Emas
dan menerima pendapatan hasil cukai dari raja– raja taklukkan. Intervensi di
daerah–daerah jajahan dalam bidang pemerintahan hampir tidak ada. Mengenai
biaya untuk pemerintahan ditanggung bersama–sama oleh kepala daerah–daerah
taklukkan , dan biaya–biaya untuk peperangan biasanya ditanggung sebagian oleh
mereka.
Orang Besar kerajaan atau Rijsgroten adalah dimaksudkan sebagai para
fungsionaris yang menjadi kepala–kepala daerah di daerah–daerah yang menjadi
bagian dari daerah suatu kerajaan tersebut atau juga mereka berfungsi sebagai
kepala daerah didaerah Sultan ( reechtstreek Sulthansgebied ). Bahwa susunan
dewan kerajaan Serdang umumnya hampir sama dengan negeri Melayu lainnya
yang ada di Sumatera Timur yang didapat dari pengaruh kerajaan Melayu Melaka
dan Johor–Riau serta Siak.
Adapun Menteri yang utama ( Perdana Menteri atau Patih di Jawa ) ialah
yang bertindak sebagai Mangkubumi adalah Datuk Paduka Setia Maharaja yang
mendampingi Raja Muda. Sedangkan Raja Muda itu mempunyai fungsi sebagai
berikut : mengambil keputusan–keputusan atas nama Raja/Sultan mengenai
semua hal tentang Batak Dusun sepanjang wakil Raja/Sultan di Batak Timur atau
Kejuruan Senembah tidak dapat menyelesaikannya; Kepala kantor dan Kepala
polisi raja–raja; pejabat Ketua Kerapatan; hakim tunggal mengenai perkara–

perkara yang dianggap tidak penting; kepala peradilan mengenai keturunan–
keturunan raja atau orang – orang besar ; dan kepala peradilan mengenai
penghuni–penghuni istana atau keraton. Dialah Menteri Tunggal yang sangat
berkuasa dan merupakan kepala pemerintahan sehari–hari. Dibawhnya ada
Tumenggung yang berfungsi sebagai jaksa merangkap kepala kepolisian.
Selanjutnya Laksamana yang berfungsi sebagai panglima angkatan laut dan
merngkap panglima angkatan perang. Hulubalang merupakan panglima perang
yang ditugaskan sebagai panglima perang angkatan darat. Syahbandar fungsinya
sebagai mengurus cukai dipelabuhan, mengurus imigrasi, dan untuk urusan
perdagangan. Betara kanan adalah merupakan ajudan Raja/Sultan. Betara Kiri
merupakan sebagai penghulu istana dan penghulu bangsawan ( Kepala rumah
tangga istana ) yang sering juga disebut sebagai Betara Dalam dan Betara Luar.
Adapun asal kata Wazir di Serdang dan Bendahara dilain negeri Melayu itu
ialah karena ia merupakan sebagai tempat pembendaharaan segala rahasia raja
dan memberikan kebajikan atas bumi yang dilingkari raja itu ( asal kata
Mangkubumi ). Mereka – mereka itu dibawah pimpinan Menteri Utama ( Wazir )
yang mengurus jalannya pemerintahan sehari – hari dalam negara. Disamping itu
ada lagi Dewan Menteri yang terdiri dari Orang Besar Berempat yang merupakan
“inner Council” yang diketuai oleh Wazir dan masing–masing Orang Besar
Berempat mempunyai pula menteri – menteri dibawahnya yang berjumlah
delapan ( Menteri Delapan ). Adapun Orang Besar Berempat itu adalah : Datuk
Paduka Setia Maharaja, Tengku Seri Maharaja, Datuk Mahamenteri, dan Datuk
Paduka Raja. Adapun gelar dari masing–masing Orang Besar Berempat yang
sesuai dengan tingkatan dalam kedudukan hirarki kekuasaan adalah : Datuk
Paduka Setia Maharaja, Tengku Seri Maharaja, Datuk Mahamenteri, dan Datuk

Paduka Raja. Mereka inilah yang membantu raja dalam penentuan pengganti
raja–raja dan penambalan raja–raja baru, membuat perjanjian, menentukan
keadaan perang, dan lain–lain hal yang dianggap penting.
Sewaktu kerajaan Serdang masih kecil dan mulai berkembang dari
Sampali ke Sungai Serdang, keempat Wazir ini belum mempunyai daerah
sendiri. Fungsi Wazir ini sebagai kawan Raja dalam musyawarah untuk
hubungan – hubungan politik.

Bangsawan Serdang Dalam Jaman Kekuasaan
Asing ( 1863 – 1945 )
Pesatnya perkembangan agro–industri dan perdagangan serta ekspor di
Sumatera Timur, maka datanglah berduyun–duyun bangsa asing seperti Cina,
India, Arab, dan bangsa Eropa. Suku–suku dari luar Sumatera Timur seperti
Jawa, Batak Toba,

Mandailing, Minangkabau, dan lain–lain datang untuk

mencari kerja sebagai buruh, guru sekolah, pegawai pemerintah, pegawai
perkebunan, pedagang kecil, dan sebagainya; sehingga Sumatera Timur diberi
gelar “Deli negeri dolar”. Menurut sensus 1940 penduduk asli hanya 39,50 % saja
dari seluruh penduduk di Sumatera Timur ( Melayu 23 % , Karo 9,98 % , dan
Simalungun 6,53 % ) sehingga merupakan minoritas dinegerinya yang kaya itu.
Karena situasi yang tidak berimbang itu tidaklah terdapat budaya yang dominan ,
kecuali dalam bahasa pergaulan yaitu bahasa Melayu. Karena penduduk asli
menguasai pemerintahan kerajaan lokal dan tanah adat yang luas walaupun tidak
dikerjakan sendiri ; maka terjadilah pengkotak–kotakan penduduk ( misalnya
diperkebunan yang dominan ialah suku Jawa, di kota–kota yang dominan “orang
pendatang” dari berbagai etnis yang tidak berhak atas pemilikan tanah karena
mereka warga Hindia Belanda [ Gouverment Onderdanen ] ). Karena “orang
pendatang” lebih terdidik dan lebih berhasil dalam bidang perniagaan, maka

mereka lebih banyak menyekolahkan anaknya kesekolah Belanda bahkan
perguruan tinggi di negeri Belanda atau Betawi. Juga di dalam partai atau
organisasi “pergerakan nasional” mereka dominan dan aktif. Rasa terancam
karena ketidakberdayaan terhadap tekanan pemerintahan Hindia Belanda maupun
karena merasa terdesak oleh “orang pendatang”; sejumlah tokoh dibeberapa
kerajaan Melayu menganggap perlu membentuk persatuan dan menegakan jati
diri Melayu ( Islam mazhab Syafii, budaya dan adat serta bahasa Melayu ) melalui
pendidikan dan organisasi seperti itu di Serdang maka terbentuklah Bangsawan
Sepakat ( 1923 ) Syairus Sulaiman; persatuan raja–raja Melayu seperti Syirkatul
Muluk ( 20 September 1932 ), dan Persatuan Sumatera Timur ( 1941 ). Tetapi
kecurigaan akibat taktik pecah belah kaum penjajah, organisasi itu tidak banyak
artinya dalam mempertahankan hegemoni penduduk asli Melayu. Bahkan karena
perjuangan mempertahankan hak adat tanah jaluran di areal perkebunan
tembakau, pihak kerajaan Melayu mendapat tekanan tiap tahun dari pihak
perkebunan asing dan pemerintah Hindia Belanda.
Sejak permulaan priode ini birokrasi Belanda terus–menerus berusaha secara
berangsur–angsur menggugah raja/sultan yang berada dibawah “politik kontrak”
itu kejurusan situasi yang “normal”, dengan menurunkan penghasilan dan
kekuasaan otonominya ketingkat raja–raja yang berstatus Korte Verklaring.
Akibat dari kebijakan ini di kerajaan Serdang terjadi suatu perubahan besar
yang sedikit demi sedikit mulai berlaku di kerajaan ini. Di dalam kerajaan Melayu
menurut adat seorang raja bergelar Sultan , Yang Dipertuan , dan sebagainya.
Lalu seorang Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda dan sejumlah biasanya 4
yang tergabung dalam Orang–Orang Besar atau Datuk atau Wazir; sebenarnya
Sultan itu bukan penguasa yang absoulut tetapi hanya mewakili kerajaan. Oleh

karena itu menerima penghormatan yang tertinggi dan pendapatan yang besar,
tetapi meskipun demikian tugasnya akan jadi senang saja. Tugas pemerintahan
yang sebenarnya terletak pada Raja Muda yang kadang–kadang kekuasaannya
sering menyamai Sultan dan kadang–kadang melampaui kekuasaan Sultan.
Sejak memasuki tahun 1930 beberapa instutusi kerajaan dihapuskan dan
diganti dengan institusi yang dibuat oleh Belanda dalam tahun 1907 dengan
ikatan politik yang sesungguhnya sangat memberatkan tetapi harus ditaati oleh
karena kerajaan Serdang dalam keadaaan “taklukan” kekuasaan asing. Dengan
keadaan yang sedemikian ini maka bangsawan memamfaatkan keahliannya ini
dalam hubungan–hubungan yang mempunyai pengaruh besar, kalau perlu
membungkuk–membungkuk merendahkan diri dengan harapan agar tidak
memungkinkan Belanda secara langsung mencapai tujuannya. Kesempatan
mendesakan perubahan ini hanya terbuka pada mangkatnya setiap raja/sultan;
dimana kelonggaran–kelonggoran dalam hubungan mereka telah diperketat lagi
dan penghasilan pengganti–penggantinya telah diturunkan. Sasaran tetap politik
Belanda ditujakan kepada eenhoofdig bestuur ( pemerintahan di bawah satu raja );
dimana sejumlah raja kecil yang sudah tunduk secara teori maupun praktek
kepada kekuasaan kolonial Belanda berangsur–angsur hanya berfungsi sebagai
pejabat–pejabat bawahan dari raja–raja/sultan–sultan yang telah mantap pengaruh
dan keberhasilannya. Kebijakan ini dibuat oleh Belanda dengan sasaran agar
kekuasaan “elit pribumi” ini dapat dikontrol melalui satu raja/sultan dan dengan
perantaraan raja / sultan ini pengontrolan birokrasi kepegawaian kepala–kepala
distrik yang bersifat aristokrasi. Tekanan–tekanan kejurusan memperkecil
penghasilan para raja/sultan ternyata menimbulkan “masalah”. Masalah ini
menjadi gawat pada tahun–tahun krisis ekonomi dunia ketika keungan

perkebunan dan kerajaan mengalami kesulitan yang luar biasa. Krisis dunia ini
tidak

mengubah

penghasilan

resmi

para

bangsaawan,

tidak

seperti

raja-raja/sultan–sultan yang tidak berdaya diikat oleh Korte Verklaring yang
penghasilannya dipotong 10 % pada tahun 1932. Dalam keadaan yang suram ini,
para bangsawan masih terus menghambur–hamburkan uang mengikuti nafsu
kemewahan hidupnya yang berlebih–lebihan; membikin Belanda hilang
kesabaranya. Praktek persen–persenan dan pemberian barang–barang berharga
kepada elit Melayu yang berpengaruh untuk menjinakan mereka dalam urusaan
tanah yang dulunya dilakukan oleh perkebunan–perkebunan terhadap bangsawan–
bangsawan ini, sekarang tidak dilakukan lagi. Jika timbul sengketa pihak
perkebunan langsung membawanya ke pengadilan untuk diputuskan; utang–utang
para bangsawan ini mereka tagih tidak mereka hapuskan seperti dulu karena
kepentingan politik mereka. Hubungan antara perkebunan dan kerajaan semakin
putus, sehingga maslah keuangan para bangsawan semakin menjadi parah. Jika
pemborosan raja/sultan dan para kerabat sekitarnya tanpaknya semakin meningkat
selama tahun–tahun krisis ekonomi dunia; demikian juga permohonan–
permohonan akan perlindungan dan bantuan kerajaan semakin meningkat pula.
Persaingan diantara kaum bangsawan Melayu ini dalam perlombaan kemewahan
pesta–pestanya dan kehebatan mobil–mobilnya telah mencapai tingkat yang
sedikit pun tidak lagi memikirkan martabat kekuasaanya. Menjelang tahun 1931
utang istana Serdang sudah sedemikian bertumpuk sehingga pemilik–pemilik
modal Eropa menolak memberi utang selanjutnya sehingga para bangsawan itu
terjerumus

berhutang

kepada

rentenir–rentenir

India.

Seluruh

utangnya

diperkirakan berjumlah 300.000 gulden pada tahun 1933, tetapi di tahun 1935
terungkap utangnya sebanyak lebih dari satu miliun gulden.

Pernyataan seperti ini memang kiranya agak menyesatkan. Namun benar
bahwa tidak semua bangsawan yang berlatarbelakang bangsawan kerjanya hanya
menghambur–hamburkan uang mengikuti nafsu kemewahan hidupnya yang
berlebih–lebihan. Tidak halnya dengan Sultan Sulaiaman yang dengan uang
pribadinya sendiri

dan dari kas

kerajaan

membuka Serdang Kanaal,

melempangkan sungai Serdang untuk mengeringkan air bah dan rawa–rawa.
Tujuan pembangunan ini tidak lain diperuntukan untuk mengairi sawah rakyat
seluas 2000 Ha yang tidak lain untuk mensejahterakan rakyat petani.
Setelah masuknya Jepang, pemerintahan militer Jepang merupakan penguasa
tertinggi atas negara ini. Pmerintahan militer Jepang telah mendomonasi negara
atas rakyat Indonesia khususnya di kerajaan Serdang. Gambaran ini merupakan
ciri utama dari sistem pemerintahan militer yang di terapkan Jepang. Kemampuan
ekonomi dan militer negara sangat besar; kekuasaan negara dilaksanakan melalui
patronanse dan penindasan. Berdiri di atas kaki sendiri dijadikan modal untuk
membangun apa yang disebut perang Asia Timur Raya. Pengawasan negara atas
rakyat dapat berjalan secara efektif; hal ini dapat terlihat dari campur tangannya
pemerintahan militer Jepang atas seluruh wilayah kehidupan rakyat. Aristokrat
diangkat sebagai klien negara dalam tingkat regional yang mengontrol dan
memantau hampir seluruh kegiatan dari rakyat Serdang. Surat rekomendasi dari
berbagai kantor militer dan sipil diperlukan penduduk yang akan melamar
pekerjaan, memasuki pendidikan tinggi, pindahan, menikah, dan lain–lainnya.
Struktur rezim Jepang dengan pengawasan militer pada tingkat nasional, regional,
dan lokal serta lembaga kecamatannya yang sangat kuat.
Gerakan tiga “A” yang dipropagandakan oleh pemerintahan militer Jepang ini
juga digunakan untuk membeli kesetiaan para pembangkang potensial, seperti
kelompok–kelompok intelektual dan tokoh–tokoh agama.-Yang penulis
maksudkan sebagai kelompok – kelompok intelektual dan tokoh – tokoh agama

yang dapat dibeli kesetiaannya untuk tidak berperan sebagai oposisi bagi
pemerintahan militer Jepang ; misalnya pemerintah memberikan jabatan atau
kedudukan untuk menetralisirkan ( setidak – tidaknya tidak menentang atas
kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh negara atau bila perlu mau bergabung
dengan pemerintah untuk bekerja sama ) ; disamping itu juga pemerintah dalam
membeli kesetiaan para pembangkang potensial dari golongan agama dan
golongan intelektual , pemerintah menggunakan cara untuk mengambil hati dari
pemimipin – pemimpinya ; seperti dengan membangunkan rumah – rumah ibadah
dan kebebasan – kebebasn dalam mengeluarkan ide bagi pemimpin – pemimpin
intelektual.
Rezim pemerintahan militer Jepang telah menetapkan sebuah sistem
korporatis yang disambungkan dengan wahana bela negara. Kelompok–kelompok
kepentingan korporatis yang itu bersatu dibawah jaringan PETA; seperti
Persatoean Oelama Soematera Timoer dijadikan sebagai satu–satunya instituisi
keulamaan umat Islam; Persatoean Oelama Kerajaan–Kerajaan Soematera
Timoer, dijadikan sebagai satu–satunya institusi dari bangsawan Melayu, HEIHO
merupakan organisasi dalam ketentaraan yang dibentuk oleh Jepang karena
Jepang kekurangan prajurit dalam angkatan perangnya. GYUGUN ( Tentara
Pembela Tanah Air ), organisasi ini yang akhirnya merupakan sebagai inti dari
TNI sekarang.
Tingkat urbanisasi dan industrialisasi perang ditambah lagi dengan isolasi
dari pihak Sekutu maka di kerajaan Serdang terjadinya multi krisis yang pada
akhir–akhir dari kekalahan Jepang di tahun 1945 merupakan petunjuk bahwa
kelas menengah dan pekerja masih cukup kecil untuk mengerti akan arti
kemerdekaan bangsa. Ini menjadi masalah sebab sejarah membuktikan bahwa
kelas rakyat biasa dan unsur–unsur dari golongan kirilah yang paling mendukung
untuk kemerdekaan bangsa dan berdirinya negara Indonesia.
Struktur kelas di kerajaan Serdang sedang berubah seiring dengan tumbuhnya
kelas menengah dan pekerja. Di balik struktur kelas yang sedang berubah ini

merupakan hasil pembangunan militerlisme yang berlangsung selama masa
pendudukan Jepang di kerajaan Serdang tersebut. Kerajaan Serdang telah
mengalami periode panjang dari pertumbuhan ekonominya dibandingkan negara –
negara tetangganya yang ada di Sumatera Timur tersebut dengan kemungkinan
pertumbuhan pertaniannya yang mampu menjadi lumbung padi semasa
pendudukan Jepang di Sumatera Timur. Pembangunan industri militer ini
menciptakan kelas sosial baru yang bisa jadi menuntut janji–janji kemerdekaan.
Di satu sisi dinyatakan bahwa performasi militer yang berkembang akan
menciptakan tuntutan terhadap partisipasi politik dari kelas menengah yang
sedang tumbuh. Di sisi lain; pembangunan militerlistik yang terjadi di kerajaan
Serdang mengantarkan negara pada standar persiapan menuju revolusi yang baik
bagi kebanyakkan orang tetapi juga pada kesenjangan yang lebih besar antara
kelas atas dan menengah kaya yang jumlahnya terus bertambah dengan golongan
miskin; ini jugalah yang merangsang terjadinya gerakan oposisi yang tidak kalah
dari kelas menengah yang sedang tumbuh tersebut.
Berbeda dari banyak negara; berdirinya negara Indonesia merupakan salah
satu dari sedikit negara yang dilahirkan sebagai negara revolusi rakyat. Hadirnya
negara Indonesia merupakan konsekwensi dari keadaan–keadaan istimewa yang
terjadi di Indonesia. Setelah lebih dari tiga abad kolonialisme Belanda dan
Imprialisme Jepang dari Maret 1942 sampai dengan Agustus 1945. Selama
periode ini rakyat Indonesia harus mengalami banyak penderitaan. Sementara
warisan penderitaan dan dominasi asing meninggalkan bekas yang tidak bisa
dihapuskan pada jiwa orang Indonesia. Secara militer pihak Jepang juga
memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi arah masa depan
politik dan masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari upaya–upaya Jepang

dalam menciptakan berbagai organisasi militer dan kuasi–[ sic ] militer di negara
ini selama peralihan pemerintahan.
Revolusi di Indonesia ( 1945–1950 ) menyisakan banyak masalah diseluruh
daerah–daerah yang termasuk dalam wilayah Hindia Belanda yang akhirnya
menjadi Indonesia. Misalnya Sumatera Timur yang wilayahnya ikut serta
terimbas dalam prahara revolusi; revolusi Indonesia khususnya di kerajaan
Serdang.
Pekik merdeka yang merabah ke kerajaan Serdang megelombang mewarnai
saat – saat akhir dari kejatuhan rezim pemerintahan militer Jepang tanpaknya
membawa petunjuk bahwa masa yang akan datang kerajaan Serdang akan
mengalami transformasi yang sifatnya mendasar. Gejala–gejala yang terjadi
menyertai gelombang kemerdekaan membawa tanda–tanda terjadinya perubahan–
perubahan kualitatif maupun stuktural dalam perkembangan sejarah di kerajaan
Serdang. Motivasi dominasi disertai dengan penindasan yang makin menyatu
dengan politik dan kekerasan terhadap rakyat merupakan arus utama yang amat
kuat mewarnai perubahan–perubahan diakhir rezim pemerintahan militer Jepang.
Dalam konteks seperti itu mempercepat terjadinya revolusi di kerajaan Serdang
itu sendiri yang merupakan sebagai bagian dari gelombang sejarah revolusi
Indonesia pada umumnya dan sejarah di kerajaan Serdang pada khususnya.

Lahirnya Revolusi Indonesia Tahun 1945
Di Jawa, desas–desus bahwa Jepang harus atau akan mengadakan kapitulasi
dengan Sekutu memacu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang telah
bersepakat untuk bangkit melawan Jepang bila sekutu mendarat. Bahkan pada
tanggal 10 Agustus 1945, setelah mendengar siaran radio yang kebetulan tidak
disegel oleh pemerintah militer Jepang bahwa Jepang sudah memutuskan untuk

menyerah, Sjarir mendesak Hatta agar bersama Soekarno, dia segera
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan menyakinkan bahwa Hatta boleh
mengharapkan dukungan dari para gerilyawan dan banyak unit PETA. Takkala
Soekarno dan Hatta baru pulang dari Dalat pada tanggal 14 Agustus 1945, Sjarir
memberitahukan mereka bahwa Jepang sudah minta diadakan gencatan senjata
dan sekali lagi berusaha mendesak memproklamirkan kemerdekaan. Soekarno
dan Hatta belum begitu yakin bahwa Jepang telah menyerah , merasa bahwa para
gerilyawan belum lagi mampu menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Jepang
dan khawatir bila hal ini mengakibatkan pertumpahan darah yang sia – sia.
Namun

demikian,

Sjarir

yang

percaya

bahwa

Soekarno

bersedia

memproklamirkan kemerdekaan dengan deklarasi kemerdekaan berisikan kata–
kata sangat anti–Jepang yang telah disiapkan Sjarir dan kawan – kawannya,
segera mengorganisir para gerilyawan dan pelajar Jakarta untuk mengadakan
demostrasi umum dan kerusuhan – kerusuhan militer. Tembusan dan deklarasi
kemerdekaan mereka yang anti – Jepang itu sudah dikirim ke semua pelosok
pulau Jawa untuk segera diterbitkan begitu Soekarno memproklamirkan
kemerdekaan yang diharapkan bakal terlaksana pada tanggal 15 Agustus 1945.
Setelah persiapan – persiapan mulai dilakukan , menjadi jelas bahwa Soekarno
dan Hatta tidak bersedia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 15
Agustus 1945. Sjarir tidak dapat menghubungi semua pemimpin organisasinya
pada waktu yang tepat untuk memberitahukan pembatalan ini. Revolusi satu –
satunya telah meletus di Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945 dibawah Dr.
Sudarsono , tetapi segera dipadamkan.
Demi menghindarkan pertumpahan darah yang tidak perlu setidak – tidaknya
mereka ingin memastikan dulu sikap para pejabat militer Jepang sebelum

menggerakan pemberontakan rakyat. Lebih – lebih lagi keduanya merasa bahwa
setiap deklarasi harus benar – benar meliputi seluruh penduduk Indonesia , karena
itu harus dilaksanakan lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
mewakili seluruh rakyat Indonesia. Menurut mereka dengan cara itu seluruh
rakyat Indonesia akan bangkit bersama – sama menegaskan kemerdekaan , dan
akan lebih banyak kesempatan menggerakan penduduk secara berhasil melawan
Jepang. Suatu rapat panitia tersebut direncanakan akan diadakan pada tanggal 17
Agustus 1945 jam 10.00 pagi dan kemudian mereka mengusulkan untuk
memproklamirkan kemerdekaan.
Mr. Teuku Moh. Hasan dan Dr. Amir mengikuti acara proklamasi
kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Mereka diangkat oleh Presiden Soekarno
menjadi Gubernur Sumatera dan Menteri Negara tanpa porto polio. Keduanya tiba
di Medan pada tanggal 28 Agustus 1945 dengan letih dan lesu. Dr. Amir yang
menjadi dokter kerajaan Langkat kembali ke Tanjung Pura tempat tinggal
isterinya seorang wanita Belanda ; sementara Mr. Teuku Moh. Hasan hanya
berdiam diri di Medan. Ketika Xarim M.S , yang berpengaruh di kalangan
pemuda mengetahui dari dokter A.K Gani di Palembang tentang proklamasi itu ia
dapat mendesak para pemuda , sehingga Letnan Gyugun Ahmad Tahir berhasil
mengundang para pemuda bekas Gyugun dan Heiho pada tangga 23 September
1945 untuk secara rahasia dan tertutup mengadakan rapat di jalan Istana dan
kemudian di asrama Rensheikei ( Hotel Dirga Surya sekarang ).
Pada mulanya proklamasi kemererdekaan Indonesia tidak diketahui di Medan
karena putusnya hubungan dengan Jawa. Orang hanya kebingungan mendengar
desas – desus bahwa tentara Sekutu ( yang memboncengi Belanda ) akan segera
mendarat. Dr. Tengku Mansyur selaku ketua Shu Shangi Kei ( DPR ) Sumatera

Timur pada 25 Agustus 1945 mengundang beberapa tokoh masyarakat untuk
berunding di rumahnya. Pertemuan itu dihadiri antara lain oleh Mr. Moh. Yusuf ,
Xarim M.S , dan lain – lain. Maka dikeluarkanlah pengumuman untuk menjaga
keamanan dan dibentuklah suatu panitia kecil yang diketuai oleh Sultan Langkat
untuk menjelaskan kepada tentara Sekutu mengapa selama mereka mengadakan
kerjasama dengan Jepang. Panitia inilah yang kemudian diisyukan oleh PKI
sebagai “panitia penyambutan Belanda” ( Comite van ontvangat ) yang antara lain
tugasnya adalah menangkapi orang pergerakan yang bekerjasama dengan Jepang.
Isu Commite Van Ountvangst
Berita akan adanya suatu panitia untuk menyambut kedatangan Belanda yang
dilakukan oleh bangsawan ini Sebenarnya masih sebatas isu. Kebenaran akan
adanya permasalah ini masih sangat diragukan oleh karena apabila masih –
masing pihak diberikan tanggapan atas peristiwa ini masing – masing pihak selalu
membenarkan pernyataan yang mereka perbuat dengan memperkuat penyataan
tersebut oleh masing – masing pihak ; sehingga kebenaran akan peristiwa ini perlu
dikaji lebih mendalam lagi dalam waktu yang mungkin akan membutuhkan waktu
yang lama untuk mengetahui akan peristiwa tersbut.
Menurut salah satu sumber bahwa peristiwa ini terjadi pada 25 Agustus 1945
yang dilakukan oleh beberapa diantara dari bangsawan dari berbagai kerajaan
yang ada di Sumatera Timur dengan mendirikan Comitte van Ontvangst untuk
menerima kedatangan Belanda. Panitia ini diketuai oleh Sultan Langkat dan Dr.
Tengku Mansur.
Sementara alasan Dr. Mansur mengundang dan mengadakan pertemuan
dirumahnya pada tanggal 25 Agustus 1945 oleh karena tanggungjawab ia sebagai
ketua Shu sangi kai untuk membicarakan masalah perihal mengenai kepentingan

untuk mencegah tindakan balas dendam dan mengadukan “kolabultor –
kolabulator” kepada Sekutu yang akan mendarat. Pertimbangan ini diperbuat oleh
Dr. Mansur dengan pertimbangan melihat situasi kelahiran republik yang hanya
beredar dalam desas – desus yang mengakibatkan situasi masyarakat dan negara
( kota – kota di Suamtera Timur) tidak relevan dengan peristiwa besar ini dan
bahwa beberapa orang dari sebagian besar para pemimpin di daerah ini hanya
semata tertumpu kepada akibat – akibat yang dibawa oleh pertukaran rezim
kolonial itu terhadap perimbangan posisi antara kelompok – kelompok di daerah
ini ( orang – orang Indonesia ) yang saling bersaing dan sulit untuk dipersatukan
tersebut. Kenyataannya pertemuan ini bukan semata diadakan dari bangsawan
oleh bangsawan dan untuk bangsawan tetapi pertemuan ini diadakan dengan
mengundang kelompok – kelompok diluar bangsawan itu sendiri tetapi yang hadir
hanya diantaranya seperti Xarim M.S dan Mr. Joesoef.
Sementara itu menurut pendapat salah seorang bangsawan bahwa isu ini
dibuat oleh orang komunis karena kebencian orang – orang komunis ini terhadap
bangsawan tanpa alasan – alasan yang masuk akal. Mereka menggap bangsawan
itu sarang feodal yang banyak menyengsarakan rakyat banyak akibat kebijakan –
kebijakan yang dibuat oleh bangsawan tersebut.
Pemuda Dalam Dunia Bergerak
Para pemuda Indonesia di Sumatera Timur yang telah mendapatkan sekedar
latihan militer dan cara berorganisasi selama zaman pendudukan Jepang juga
dilanda rasa terkejut dan kehilangan arah setelah mengetahui berita tentang
kekalahan Jepang. Giyugun , Heiho , dan Konkukotai telah ditanggalkan
senjatanya dan dibubarkan sejak sekitar 16 Agustus 1945 , jauh mereka sebelum
mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Bagi mereka yang berada di Medan

dan bertugas di kota – kota lainnya tidak ada alat pengangkutan untuk
memulangkan mereka kembali ke kampungnya masing – masing. Sebagian besar
mereka termasuk dalam lapisan masyarakat miskin yang menyedihkan ,
diterlantarkan , dibuang sebagai sampah setelah tidak diperlukan lagi oleh oleh
tentara pendudukan Jepang. Mereka pun menjadi bulan – bulanan pokok
kemarahan masyarakat miskin yang paling mengalami penderitaan dibawah
kekuasaan Jepang.
Situasi inilah yang menjadi pangkal gerak pertama berdirinya organisasi –
organisasi. Menjelang akhir Agustus , beberapa bekas perwira Giyugun
menghubungi Xarim M.S yang dulunya merekrut mereka ke dalam barisan itu dan
melayani mereka lewat Bompa. Xarim juga menjadi pengawas atas milik dan
peralatan bekas Bompa yang sekarang dipakainya untuk menampung para prajurit
– prajurit Indonesia di Sumatera Timur yang terlantar itu. Suatu badan
penyantun , “Pelita penolong penganguran Heiho dan Gyugun” telah dibentuk
untuk mengurus makan mereka dari persediaan beras digudang Bompa dan
sebagian mereka ditempatkan di kantor – kantor Bompa. Kemudian perwira –
perwira Gyugun itu segera mendirikan kelompok yang lebih luas , “Persatuan
Pemuda Latihan” yang menghimpun dan membela mereka yang pernah
mendapatkan latihan Jepang sebagai polisi , pegawai , maupun prajurit terhadap
tuduhan fasis atau kolaborator. Lewat himpunan – himpunan seperti ini , para
pemuda bekas latihan Jepang ini sering berkumpul membicarakan berita dan
kabar – kabar angin tentang maksud – maksud sekutu maupun tentang
perkembangan di pulau Jawa.
Para pemuda yang memiliki potensi militer ini hanya sedikit mempunyai
kontak dengan pemimpin – pemimpin politik atau dengan gerakan”bawah tanah”

yang samar – samar itu yang juga sudah tidak mempunyai kapasitas tujuan lagi.
Adalah Xarim M.S yang menjadi rantai penghubung antara ketiga unsure ini dan
mungkin beralasan jika dia pada minggu – minggu pertama setelah menyerahnya
Jepang bertindak hati – hati sekali. Nyatanya hanya setelah telegram dari Dr. Gani
pada 15 September 1945 itu dia memberitahukan kepada pemuda yang menjadi
pembantunya , Abdul Razak tentang perkembangan gerakan Republik di Jawa.
Secepat mungkin Razak dan beberapa rekan – rekanya dari Giyugun mencoba
menjumpai Mr. Hasan. Gagal menjupainya mereka berangkat ke Tanjung Pura
pada 19 September 1945. Akhirnya dari Dr. Amir mendapat tahu sepenuhnya
tentang apa yang telah terjadi di Jakarta dan mereka berjanji dan menyokong
setiap inisiatif yang diambil pemimpin – pemimpin tua untuk memproklamasikan
Republik.
Sejak itu para pemuda bekas latihan Jepang bergerak menjalankan
tanggungjawabnya sendiri dengan melaksanakan beberapa inisiatif karena
lambatnya yang tua – tua untuk mengadakan pergerakan. Demikianlah sekitar 20
September 1945 bekas opsir senior

Giyugu , Ahmad Tahir mengeluarkan

undangan bagi suatu rapat pemuda yang luas di bekas kantor Bompa di jalan
Istana kota Medan. Sementara itu mereka bergabung dengan kekuatan kelompok
bekas latihan Jepang lainnya yang berpusat di asrama Rhenseikai yang terletak di
hotel Dirga Surya sekarang. Dulunya ini adalah tempat penginapan bagi orang –
orang muda Indonesia yang dilatih Jepang untuk kejuruan kepolisian dan
administrasi pemerintahan serta tempat ini diperuntukan juga tempat penginanpan
bagi pemuda – pemuda yang dilatih dalam Talapeta atau sekolah pertanian Naga
Huta. Pada waktu itu ada sekitar 50 pemuda tinggal disana dan mereka pun sudah
mendengar tentang proklamasi kemeredekaan Indonesia. Ketika Jepang melarang

rapat yang diadakan oleh Ahmad Tahir di jalan Istana , maka diam – di