Firdiyono, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku, Nurhayati Indah Ciptasari, Anton Suryantoro

PERCOBAAN PEMBUATAN FASA INTERMETALIK Nb 3 Sn DENGAN PROSES SINTERING LOGAM NIOBIUM Nb DAN TIMAH Sn

F. Firdiyono, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku, Nurhayati Indah Ciptasari, Anton Suryantoro

Pusat Penelitian Metalurgi LIPI Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Intisari Penentuan kondisi optimum meliputi waktu milling Nb dan Sn dengan HEM High Energy Milling, perbandingan jumlah Nb dan Sn, waktu dan temperatur pemanasan campuran Nb dan Sn. Pengamatan karakterisasi Nb 3 Sn yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan DTA Differential Thermal Analyzer, XRD X-Ray Diffraction, SEM Scanning Electron Microscope dan EDS Enegy Dispersive x-ray Spectroscopy. Analisis dengan menggunakan SEM dan XRD menunjukkan waktu minimum yang diperlukan untuk milling campuran Nb dan Sn adalah 3 jam, sedangkan hasil dari analisis DTA menunjukkan pembentukan Nb 3 Sn terjadi pada temperatur sekitar 700 °C. Analisis XRD terhadap campuran Nb dan Sn menunjukkan bahwa makin lama waktu pemanasan maka fasa intermetalik Nb 3 Sn yang terbentuk akan semakin banyak. Kata kunci : MRI, NMR, Maglev, Superkonduktor Cu-Nb-Sn, Nano dalam tabung, Superkonduktor temperatur rendah , Nb 3 Sn Abstract Determination of optimum conditions include milling time of Nb and Sn with HEM, ratio of Nb and Sn, heating time and heating temperature of mixed Nb and Sn. Characterization of Nb 3 Sn produced from the process was performed using DTA, XRD, SEM and EDS. The results of SEM and XRD analysis showed the minimum time needed for milling Nb and Sn are 3 hours, and the result of DTA analysis showed the intermetalic phase of Nb 3 Sn was occured at the temparetuir around 700 °C. The result of XRD analysis for mixed Nb and Sn showed that by the increasing of heating time will produced more intermetalic phase of Nb 3 Sn. Keywords : MRI, NMR, Maglev, Superkonduktor Cu-Nb-Sn, Nano-powder-in-tube, Low temperature superconductor, Nb 3 Sn PENDAHULUAN Nb 3 Sn merupakan bahan paduan utama dalam pembuatan kawat superkonduktor jenis Cu-Nb-Sn. Kawat superkonduktor jenis Cu-Nb-Sn ini dikategorikan sebagai superkonduktor suhu rendah. Aplikasi superkonduktor ini banyak digunakan dalam pembuatan alat MRI magnetic resonance imaging , NMR nuclear Magnetic resonance dan Mag-lev magnetic levitation [1-3] . Alat-alat tersebut sangat berguna bagi kehidupan manusia. Pemakaian MRI sangat membantu di bidang kesehatan karena alat ini dapat memindai dan mengobservasi otak, tulang belakang, daerah pelvis, bahkan pembuluh darah. NMR sangat membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan karena NMR dapat menentukan struktur molekul, sedangkan Mag-lev sangat membantu dalam bidang transportasi. LATAR BELAKANG MRI, NMR dan Mag-lev adalah beberapa alat yang komponen utamanya adalah kawat superkonduktor. Salah satu bahan superkonduktor yang cocok untuk aplikasi alat-alat tersebut adalah paduan Cu-Nb-Sn, yang dikategorikan sebagai superkonduktor suhu rendah low temperature superconductor = LTS [1] . LTS adalah tipe superkonduktor yang suhu kritisnya Tc berada di bawah -196 °C 77 K atau setara dengan titik didih nitrogen 138 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 137-148 cair. Tc adalah suhu transisi, di mana pada kondisi lebih rendah dari suhu tersebut suatu material akan kehilangan tahanan listriknya, atau dengan kata lain menjadi superkonduktor [2] . Karena duktilitas yang rendah serta harganya yang cukup tinggi, Cu-Nb-Sn lebih tidak populer dibandingkan dengan Cu-Nb-Ti Ti = titanium. Akan tetapi Cu-Nb-Sn memiliki kepadatan arus listrik kritis tertinggi, yang merupakan aspek penting dalam implementasi superkonduktor. Jepang merupakan satu-satunya negara Asia yang mengembangkan superkonduktor Cu-Nb-Sn dan secara komersil memproduksinya. Nb 3 Sn merupakan bahan paduan kunci dalam kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn. Bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi salah satu produsen timah besar dunia melalui cadangan timah di Pulau Bangka. Tidak seperti tembaga dari Papua, timah Bangka belum sepenuhnya diimplementasikan menjadi berbagai produk komoditas. Sejauh ini, bijih timah dari Pulau Bangka utamanya diproses menjadi balok-balok timah sebelum dijual dan diekspor. Dengan datangnya era pasar bebas, sangat penting untuk memberi nilai tambah kepada sumber daya timah ini dengan cara mengembangkan produk berbasis timah yang terdiversifikasi. Kegiatan ini mendukung aspek tersebut dengan mengembangkan superkonduktor Cu-Nb-Sn berbasis cadangan timah yang melimpah di Pulau Bangka. Penelitian dan pengembangan kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn, yang merupakan infrastruktur utama dari alat- alat maju diatas, dengan biaya rendah tetapi tetap memiliki fitur superkonduktifitas yang baik dan optimal akan dapat menurunkan harga peralatan- peralatan tersebut. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kadar dan kemurnian timah serta menurunkan kadar niobium di dalam kawat superkonduktor tersebut. Timah yang dipakai adalah hasil olahan dari Pulau Bangka sehingga dapat memberi nilai tambah sekaligus diversifikasi komoditas timah Indonesia. Fenomena superkonduktivitas pertama kali diamati pada tahun 1912 di Laboratorium Heike Kamerlingh Onnes, Universitas Leiden – Belanda [3,5] . Saat itu beberapa jenis material secara tiba-tiba kehilangan ketahanan mereka terhadap aliran listrik saat didinginkan pada suhu yang sangat rendah. Fenomena tersebut tetap menjadi kuriositas sampai tahun 1954, ketika G. B. Yntema dari Universitas Illinois, Chicago – USA dengan sukses membuat magnet superkonduktor pertama di dunia, di mana pada saat itu sifat-sifat magnet biasa masih berada jauh dari sifat- sifat superkonduktor yang diinginkan. Kemajuan riset dan pengembangan superkonduktor setelah itu cukup lambat akibat: a. Kesulitan dalam menyediakan kebutuhan suhu yang sangat rendah cryogenic condition b. Kurangnya pengetahuan perihal bagaimana membuat kabel yang stabil dari bahan superkonduktor. Bahan-bahan superkonduktor awal seperti timbal Pb, indium In, dan merkuri Hg dikategorikan sebagai superkonduktor tipe I [3-5] . Pada superkonduktor tipe I ini: a. Fluks magnet magnetic flux tidak dapat mempenetrasi bulk material. b. Kepadatan arus listrik kritis critical curent density terbatas hanya berada pada permukaan material dengan kedalaman sekitar 110 mikron 10 -7 meter. c. Medan magnet maksimum maximum magnetic field yang dapat beroperasi pada jenis superkonduktor ini biasanya kurang dari 0,1 T 0,1 tesla, yang setara dengan kepadatan fluks antara dua kutub dari magnet permanen tapal kuda yang kita kenal. Superkonduktor yang siap difabrikasi menjadi kawat, kumparan dan kabel untuk aplikasi arus listrik tinggi disebut superkonduktor tipe II [3-5] . Percobaan Pembuatan Fasa …..F.Firdiyono | 139 Pada superkonduktor tipe II, fluks magnet dapat mempenetrasi material. Contoh superkonduktor tipe II yang populer: 1. Nb-Ti niobium – titanium − Medan magnet maksimum: 13 T tesla − Kepadatan arus listrik maksimum: 1000 Amperemm 2 − Suhu kritis critical temperature: 10 K -263°C 2. Nb 3 Sn niobium – timah − Medan magnet maksimum: 27 T tesla − Kepadatan arus listrik maksimum: 1000 Amperemm 2 − Suhu kritis critical temperature: 18 K -255 °C Pada superkonduktor, kendala utama dari fenomena superkonduktivitas tidak hanya pada suhu yang sangat rendah, tetapi juga pada kepadatan arus listrik dan medan magnet yang terbatas. Di sini, nilai maksimum dari suhu T, kepadatan arus listrik J, dan kuat medan magnet B saling ber-ketergantungan satu sama lain apabila mereka diplot pada sumbu 3-dimensi, seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 2 menunjukkan interdependensi antara kepadatan arus listrik kritis dan medan magnet. BEBERAPA TEKNIK PEMBUATAN KAWAT SUPERKONDUKTOR Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Perunggu Bronze Process Niobium Nb rod pertama dicladding ke dalam paduan perunggu Cu-Sn murni untuk membentuk sub-element assembly. Beberapa sub-element assembly kemudian disusun kembali dalam tabung perunggu Cu-Sn. Kumpulan sub-element assembly dalam perunggu ini kemudian dicladding dengan Nb atau Ta tantalum, yang berfungsi sebagai penahan proses difusi dari timah di perunggu ke lapisan tembaga di sisi paling luar. Lapisan tembaga Cu paling luar berfungsi untuk menghantar panas dan listrik, sehingga harus murni dan tidak boleh terkontaminasi timah dari perunggu di bagian dalam. Material kemudian di-heat treatment pada suhu 650 – 700 °C agar terjadi interdifusi antara Nb dengan Sn di perunggu untuk membentuk Nb 3 Sn superkonduktor. Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 3 Gambar 1. Interdependensi dari suhu T, medan magnet B, dan kepadatan arus listrik J [3-5] Gambar 2. Perbandingan kepadatan arus listrik kritis pada suhu 4,2 K -268,8 °C dari berbagai jenis Nb-Ti dan Nb3Sn dalam bentuk helaian strands dan tapes [4] 140 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 137-148 Gambar 3 . Skema proses perunggu Gambar 4. Skema proses internal Sn Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Timah Internal Internal Sn Prinsip dari proses ini yaitu meningkatkan kepadatan arus listrik kritis, dengan meningkatkan kandungan Sn dan membuat Sn terpisah dari Cu selama fabrikasi helaian. Rod Sn dibungkus dengan lembaran selang-seling antara Cu dan Nb seperti sosis di dalam dadar gulung untuk membentuk sub-element assembly . Sub-element assembly ini kemudian dicladding dengan Nb atau Ta sebagai penahan proses difusi diffusion barrier . Kumpulan sub-element assembly yang telah dicladding Nb atau Ta ini kemudian disusun dan dicladding ke dalam tabung Cu murni. Material kemudian di- heat treatment pada suhu 650 - 700°C agar terjadi interdifusi antara Nb dengan Sn di perunggu untuk membentuk Nb 3 Sn superkonduktor. Karena kandungan Sn meningkat dan Sn mudah mengalami pengerasan kerja, maka material harus secukupnya dianil. Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 4. Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Serbuk dalam Tabung Powder in Tube Serbuk intermetalik Nb 6 Sn 5 atau NbSn 2 yang memiliki kadar Sn lebih tinggi dimasukkan ke dalam tabung Nb dan dipanaskan pada 650 °C sampai 700 °C untuk membentuk Nb 3 Sn. Setelah dipanaskan, kemudian dicladding ke dalam tabung Cu. Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Skema proses serbuk dalam tabung PERMASALAHAN Percobaan pembuatan paduan Nb 3 Sn akan dilakukan dengan menggunakan campuran serbuk logam niobium dan timah. Metoda ini dipilih karena dengan menggunakan bubuk Sn dan Nb maka luas permukaan unsur-unsur tersebut menjadi sangat luas sehingga luas permukaan kontak antara Nb dan Sn juga sangat besar yang mengakibatkan kesempatan pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn menjadi besar pula. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn antara lain : temperatur pemanasan, waktu pemanasan dan besar butir unsur. Keseluruhan faktor tersebut akan menambah kecepatan reaksi penetrasi unsur Sn ke dalam unsur Nb dan sebaliknya. Metoda-metoda ini perlu dilakukan karena tantangan dalam pembuatan kawat superkonduktor ini Percobaan Pembuatan Fasa …..F.Firdiyono | 141 adalah mendapatkan fasa intermetalik Nb 3 Sn yang merupakan bahan yang sangat rapuh dan mudah hancur. Kegiatan penelitian akan memfokuskan pada karakterisasi material campuran serbuk Nb-Sn untuk melihat optimalisasi temperatur dan waktu pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn yang menjadi dasar utama pembuatan kawat superkonduktor. Semua cara tersebut diatas dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh fasa intermetalik Nb 3 Sn dengan cara yang efisien, yaitu paling mudah, paling banyak diperoleh fasa intermetalik Nb 3 Sn dan paling cepat prosesnya. Sehingga dari proses tersebut dapat diperoleh kawat superkonduktor Nb 3 Sn yang murah tetapi tetap berkualitas tinggi. PROSEDUR DAN METODOLOGI Persiapan bahan yang utama adalah bubuk logam niobium Nb murni dengan ukuran butir -325 mesh. Bahan ini harus diimpor karena Indonesia tidak memproduksi logam niobium ini. Untuk keperluan percobaan bahan bubuk niobium ini telah diimpor dari China dengan kondisi sebagai berikut: Ukuran bijih -325 mesh, tingkat kemurnian : 99.9 dengan kandungan unsur pengotor seperti terlihat pada Tabel 1. Bubuk logam timah Sn yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari dalam negeri yaitu produksi PT. Timah dengan kemurnian 99,92 Sn. Bubuk logam Sn yang digunakan dalam percobaan ini dibuat dari balok timah dengan cara 2 tahap, yaitu pembuatan bubuk Sn dengan ukuran masih kasar dan selanjutnya bubuk hasil pengerjaan pada tahap pertama dilanjutkan ketahap pengecilan ukuran hingga -325 mesh dengan menggunakan alat planetary grinding. Selanjutnya bubuk Sn dan bubuk Nb dengan komposisi tertentu digerus dalam HEM untuk waktu tertentu yang disesuaikan dengan kondisivariabel percobaan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan temperatur optimum pembentukan Nb 3 Sn yang merupakan bahan utama pembuatan kawat superkonduktor melalui karakterisasi material campuran serbuk Nb-Sn. Pada penelitian ini, yang dilakukan adalah pembuatan komposisi campuran bahan baku Nb dan Sn, selanjutnya karakterisasi sampel hasil pencampuran dengan menggunakan XRD. Pengamatan temperatur pembentukan fasa intermetalik terhadap serbuk hasil pencampuran dilakukan dengan menggunakan DTA dan karakterisasi serbuk hasil pemanasan dengan menggunakan XRD. Pengamatan tekstur dan morfologi material Nb 3 Sn dilakukan dengan SEM dan EDS. Penelitian yang dilakukan dapat dilihat dalam diagram alir penelitian pada Gambar 6. Tabel 1. Komposisi kimia bubuk logam niobium Preparasi sampel bubuk Nb dan Sn, proses pencampuran bubuk Nb dan Sn dengan perbandingan tertentu dilakukan dengan HEM dengan variabel waktu pencampuran tertentu. Pengerjaan karakterisasi serbuk hasil milling tersebut dilakukan dengan menggunakan XRD dan DTA untuk melihat temperatur terjadinya perubahan fasa intermetalik campuran Nb dan Sn. Campuran serbuk hasil pemanasan pada temperatur perubahan fasa intermetalik selanjutnya akan dikarakterisasi dengan menggunakan XRD untuk melihat fasa-fasa yang terbentuk akibat pemanasan tersebut. Selain itu akan dilakukan kegiatan pengamatan tekstur dan morfologi fasa-fasa intermetalik yang terbentuk dengan menggunakan SEM dan EDS. 142 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 137-148 Gambar 6. Diagram alir kegiatan penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan SEM dan XRD terhadap hasil milling paduan Nb dan Sn dapat dilihat masing-masing pada Gambar 7 dan Gambar 8. Dari hasil pengamatan dengan SEM dan XRD terhadap hasil proses milling dapat dilihat bahwa proses milling tersebut selain mengakibatkan pengecilan ukuran juga membuat permukaan Sn akan terselimuti oleh Nb, hal ini terjadi karena Nb mempunyai struktur BCC dan lebih getas daripada Sn, sehingga selama milling, Nb yang getas ini akan lebih mudah hancur daripada Sn, dan akan melapisi permukaan Sn yang lebih lunak [7] . Kondisi ini akan membantu pembentukan paduan Nb-Sn sehingga akan mempermudah terjadinya proses substitusi antara Nb dan Sn untuk membentuk fasa intermetalik Nb 3 Sn. Gambar 7a memperlihatkan sampel hasil milling pada perbesaran 500 kali, Gambar 7b memperlihatkan besaran rata- rata ukuran butir sampel hasil milling, sedangkan Gambar 7c memperlihatkan posisi sampel yang dianalisis dengan EDS. Gambar 7d memperlihatkan grafik hasil analisis EDS dan tabel di bawahnya memperlihatkan besarnya persentase unsur Nb dan Sn, yaitu sebesar 97,63 untuk Nb dan 2,37 untuk Sn. Hal ini menunjukkan bahwa unsur Nb secara sempurna dapat melapisi seluruh permukaan unsur Sn. Keadaan ini diperkuat dengan hasil analisis XRD yang dilakukan terhadap sampel hasil milling dengan variabel waktu dari 1 hingga 5 jam. Gambar XRD memperlihatkan bahwa makin lama waktu milling maka grafik unsur Sn makin tidak terlihat. Dari hasil kedua pengamatan tersebut terlihat bahwa waktu milling yang diperlukan minimal 3 jam. Percobaan Pembuatan Fasa …..F.Firdiyono | 143 Gambar 7. Analisis dengan SEM terhadap sampel hasil milling selama 3 jam Gambar 8. Analisis dengan XRD terhadap sampel hasil milling selama 1 hingga 5 jam 144 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 137-148 Gambar 9. Kurva DTA terhadap sampel hasil milling selama 3 jam Analisis DTA dilakukan terhadap sampel hasil milling dengan variabel persen atom Sn sebesar 18, 22 dan 26 dan waktu yang digunakan untuk milling masing-masing selama 3 jam. Hasil pengamatan DTA dapat dilihat pada Gambar 9. Dari hasil pengamatan ini diketahui bahwa logam Sn akan melebur pada temperatur 237 °C sedangkan pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn akan terjadi pada temperatur sekitar 700 °C. Kondisi di atas diperkuat oleh hasil pengamatan XRD yang dilakukan terhadap sampel hasil pemanasan dengan variabel proses yaitu: temperatur pemanasan, waktu pemanasan, dan komposisi jumlah Nb dan Sn. Gambar 10 merupakan foto campuran logam Nb dan Sn dengan komposisi 22 atom Sn sebelum dipanaskan dan telah dikompaksi dengan tekanan sebesar 625 kgcm 2 . Campuran logam hasil kompaksi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung kuarsa dan divakum. Sampel dalam tabung vakum selanjutnya dipanaskan pada temperatur dan waktu tertentu. Selanjutnya sampel dianalisis dengan XRD, SEM dan EDS. Tabel 2 menunjukkan pengaruh temperatur terhadap pembentukan fasa intermetalik Nb x Sn y yang dilakukan terhadap sampel dengan komposisi 22 Sn, pemanasan 400 °C; 18 Sn, pemanasan 500 °C dan 18 Sn, pemanasan 700 °C dengan waktu pemanasan masing-masing selama 72 jam. Dari tabel terlihat pemanasan pada temperatur 400 °C tidak menunjukkan adanya pembentukan fasa intermetalik Nb x Sn y dan pada pemanasan 500 °C terlihat mulai adanya pembentukan fasa intermetalik NbSn 2 dengan unsur Nb dan Sn masih terlihat. Pada pemanasan 700 °C terlihat mulai adanya pembentukkan fasa intermetalik Nb 3 Sn selain NbSn 2 [6]. Disini terlihat bahwa temperatur proses pemanggangan memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukkan fasa intermetalik Nb 3 Sn. Gambar 10. Foto pellet campuran logam Nb dan Sn sebelum proses pemanggangan Percobaan Pembuatan Fasa …..F.Firdiyono | 145 Tabel 2. Hasil analisis XRD pada pembentukan fasa intermetalik Nb x Sn y dengan variabel persen jumlah Sn dan temperatur heat treatment Tabel 3 menunjukkan pengaruh waktu pemanasan terhadap pembentukan fasa intermetalik Nb x Sn y yang dilakukan terhadap sampel dengan komposisi 24 Sn, pemanasan 700 °C dengan waktu pemanasan masing-masing selama 48 jam, 72 jam dan 96 jam. Dari tabel tersebut terlihat bahwa dengan waktu pemanasan selama 48 jam fasa intermetalik yang terbentuk adalah NbSn 2 sedangkan Nb 3 Sn belum terlihat sama sekali. Fasa intermetalik Nb 3 Sn mulai terlihat bersama- sama dengan NbSn 2 pada waktu pemanasan diatas 72 jam. Hasil XRD pada proses pemanasan selama 96 jam menunjukkan bahwa selain terbentuk fasa intermetalik Nb 3 Sn dan NbSn 2 , ternyata puncak unsur Nb masih terlihat dalam chart XRD yang ada, hal ini menunjukkan bahwa waktu pemanasan selama 96 jam masih belum cukup untuk mereaksikan seluruh unsur Nb dan Sn. Hal yang serupa terjadi pula pada proses pemanasan dengan menggunakan campuran Sn yang lebih tinggi yaitu 26 dengan waktu dan temperatur pemanasan yang sama dengan di atas seperti diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 3. Hasil analisis XRD pada pembentukan fasa intermetalik Nb x Sn y dengan variabel waktu heat treatment pada komposisi 24 Sn Tabel 4. Hasil analisis XRD pada pembentukan fasa intermetalik Nb x Sn y dengan variabel waktu heat treatment pada komposisi Sn 26 Gambar 11 merupakan foto hasil proses pemanggangan terhadap sampel dengan komposisi Sn sebesar 24 dan 26 , temperatur pemanasan 700 °C selama 96 jam. Dari Gambar 11 terlihat bahwa setelah proses pemanggangan maka di permukaan sampel akan terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang mengkilat logam dan bagian yang tidak mengkilat. Gambar 12 menunjukkan titik-titik posisi dilakukannya analisis EDS. Analisis EDS dilakukan terhadap terhadap bagian yang mengkilat putih dan tidak mengkilat abu-abu. Analisis dilakukan mulai dari bagian yang tidak mengkilat yaitu pada titik LG1, terus bergerak ke bagian yang mengkilat melalui 7 titik analisis. Titik ke-4 merupakan daerah perbatasan antara bagian mengkilat dan bagian yang tidak mengkilat. Dari analisis tersebut diketahui perbandingan persen atom, komposisi Nb dan Sn pada titik LG1 adalah 64,09 berbanding 18,67 atau sekitar 3 : 1, yang berarti merupakan senyawa intermetalik Nb 3 Sn. Pada titik ke-2 dan 3, perbandingan persen atom Nb dan Sn masih lebih besar nilai persen atom Nb sedangkan pada titik 4 atau titik peralihan dari bagian yang tidak mengkilat ke bagian mengkilat, perbandingan persen atomnya 22,95 dengan 17,03 atau sekitar 1 : 1. Memasuki daerah mengkilat maka perbandingan persen atom Nb dan Sn mulai terbalik dengan di atas yaitu persen Nb lebih kecil dari pada persen Sn. Pada titik 6 dan 7 di bagian mengkilat perbandingan persen atom Nb dan Sn 146 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 137-148 adalah 24,00 berbanding 55,80 dan 26,14 berbanding 42,46 atau sekitar 1 : 2 yang berarti merupakan senyawa intermetalik NbSn 2 . Hasil diatas memperkuat hasil analisa XRD yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu terbentuknya fasa intermetalik NbSn 2 dan Nb 3 Sn. Hasil analisis EDS untuk tiap-tiap titiknya dirangkum dalam Tabel 5 berikut ini. Gambar 11. Foto pellet campuran logam Nb dan Sn setelah proses pemanggangan Gambar 12. Hasil analisis EDS dengan komposisi 24Sn, 700 °C, 96 jam Tabel 5. Rangkuman hasil analisis EDS dengan komposisi 24Sn, 700 °C, 96 jam Percobaan Pembuatan Fasa …..F.Firdiyono | 147 Gambar 13. Hasil mapping dengan komposisi 24Sn, 700 °C, 96 jam Analisa mapping seperti terlihat pada Gambar 13 menunjukkan semakin jelas pembentukan fasa intermetalik tersebut yaitu pada bagian tidak mengkilat akan lebih didominasi oleh Nb yang membentuk fasa intermetalik Nb 3 Sn, sedangkan pada bagian yang mengkilat akan didominasi oleh Sn yang membentuk fasa intermetalik NbSn 2 KESIMPULAN 1. Analisis dengan menggunakan SEM dan XRD terhadap sampel hasil proses milling campuran bubuk Nb dan Sn dengan alat HEM menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk milling minimum 3 jam. 2. Hasil analisis dengan DTA, XRD, SEM dan EDS menunjukkan bahwa temperatur pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn terjadi pada temperatur sekitar 700 °C. 3. Dari proses yang dilakukan terlihat bahwa temperatur dan waktu pemanasan memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn. 4. Pemanasan campuran bubuk Nb dan Sn pada temperatur 400 °C selama 72 jam tidak menghasilkan fasa intermetalik Nb x Sn y sedangkan pada temperatur 500 °C selama 72 jam menghasilkan fasa intermetalik NbSn 2 , dan pada temperatur 700 °C selama 72 jam menunjukkan mulai terbentuknya fasa intermetalik Nb 3 Sn. 5. Pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn akan makin banyak bila waktu dan temperatur proses pemanggangan diperpanjang. Waktu proses yang dilakukan selama 96 jam belum memberikan hasil yang optimum terhadap pembentukan fasa intermetalik Nb 3 Sn. 148 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 137-148 UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dengan judul: Pembuatan Kawat Superkonduktor Nb 3 Sn dengan Metoda Nano-Powder-In-Tube untuk Aplikasi Kumparan Magnet, yang dibiayai melalui Program Kompetitif LIPI tahun anggaran 2010 dengan Sub Program Advenced Materials dan Nanoteknologi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andika W. Pramono, Anton Suryantoro dan Ibu Nurhayati Indah Ciptasari atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis baik dalam melakukan percobaan maupun dalam penulisan naskah ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Brochure “Superconductivity: Present and future Applications” by Coalation for the Commercial Application of Superconductors CCAS and IEEE council on Superconductivity, 2008. [2] Smith, W.F., Principles of Materials Science and Engineering, 3 nd Edition, McGraw-Hill, 1996, p. 855. [3] Larbalesteir, D., Superconductors for superconducting magnets, Applied superconductivity Center, National High Magnetic Field Laboratory, Florida State University, May 20, 2010. [4] Lee, P. J. : “Superconductor: WIRES AND CABLES: MATERIALS AND PROCESSES”, The Applied Superconductivity Center, University of Wisconsin, Madison, USA. [5] Hopkins, S. C., Optimisation, Characterisation and Synthesis of Low Temperaturs Supercoductors by Current-Voltage Techniques, PhD Thesis, Sidney Sussex College, Department of Materials Science and Metalurgy, 2007.Fischer, C. M., Investigation of the Relationships Between Superconducting Properties and Nb 3 Sn Reaction Conditions in Powder-In-Tube Nb 3 Sn Conductors, Master of Science Thesis, University of Wisconsin-Madison, 2002. [6] Patankar, S. N and Froes, F. H. Formation of Nb 3 Sn Using Mechanically Alloyed Nb-Sn Powder. Institute for Materials and Advanced Processes, University of Idaho, Moscow. RIWAYAT PENULIS F. Firdiyono , lahir di Jakarta, 14 Februari 1956. Sarjana Tambang Metalurgi ITB, lulus tahun 1981. S2 Pengolahan Mineral, Universitas Kyoto Jepang, lulus tahun 1987. S3 Pengolahan Mineral, Universitas Kyoto Jepang, lulus tahun 1992. Sejak tahun 2001 sampai 2006 menjabat sebagai Kepala Bidang Metalurgi Ekstraksi, Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI. PENGUATAN TEMBAGA MURNI DENGAN TEKNIK EQUAL CHANNEL ANGULAR PRESSING Solihin, Efendi Mabruri, I Nyoman Gede PA Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Metalurgi Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan E-mail : solihinlipi.go.id Intisari Penguatan tembaga murni dengan metode Equal Angular Channel Pressing telah dilakukan terhadap tembaga murni. Hasil pengerjaan ECAP dengan jalur ekstrusi ECAP rute Bc, dimana benda kerja diputar 90 ° setiap pass, menghasilkan pembelahan grain menjadi sub-grain yang memiliki ukuran yang menurun drastis dengan sudut butir yang lebih kecil. Seiring dengan penurunan besar butir, kekerasan tembaga tersebut meningkat drastis. Kata kunci: Equal Angular Channel Pressing, Severe Plastic Deformation, Sub-Grain, Tembaga Abstract The hardness of high purity copper has been increased through Equal Angular Channel Pressing method. The application of ECAP method with extrution rute Bc , in which the sample was rotated 90° for each pass, result in the generation of sub-grain within the grain. The size of new grain sub –grain is drastically smaller than initial grain and also has low angle. With the decreasing of grain size, the hardness drastically increases. Keywords : Equal Angular Channel Pressing, Severe Plastic Deformation, Sub-Grain, Copper PENDAHULUAN Proses penguatan umumnya dilakukan dengan metode solid solution strengthening dimana terhadap struktur logam yang akan dikuatkan ditambahkan atom-atom lain, baik dalam posisi sebagai selipan interstition ataupun pengganti substitution. Penambahan atom-atom lain ke dalam struktur level atom dari logam induknya tersebut dalam level struktur mikro akan terlihat sebagai fasa-fasa paduan yang akan meningkatkan kekuatan logam [1] . Alternatif lain penguatan logam adalah dengan merubah ukuran butiran dari logam bersangkutan. Proses-proses reduksi dalam skala makro seperti rolling pada slab akan berpengaruh secara mikro, yakni terjadi perubahan mikrostruktur berupa pengecilan ukuran butiran. Penghalusan butiran dengan memecah butiran menjadi ukuran yang lebih kecil umumnya diklasifikasikan sebagai cara top-down [2-4] , sebagai lawan dari cara bottom-up dimana pembentukan butir dilakukan melalui pembentukan atom per atom [5-7] Model pembentukan sub-grain diperlihatkan dalam Gambar 1. Tegangan per satuan luas yang sangat tinggi akan menyebabkan disklinasi yang akhirnya akan menghasilkan sub-sub grain yang bisa dianggap sebagai butir baru . [8] . Gambar 1. Ilustrasi transformasi cacat struktur yang diakibatkan oleh transmisi energi yang besar 150 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 149-152 Gambar 2. Ilustrasi dies yang digunakan dalam teknik ECAP Ukuran dan bentuk butiran dari material yang dikenai pengerjaan ECAP tergantung dari variabel-variabel proses seperti jenis rute pass, jumlah pass, sudut belokan, dan komposisi material. Semua variabel proses tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap sifat mekanis material bersangkutan, sehingga dengan demikian sifat mekanis material dapat dikontrol dengan cara mengendalikan variabel- variabel tersebut. Terdapat 4 empat jenis pass yang umum digunakan, yakni: 1. Rute A : Benda kerja tidak diputar setiap pergantian pass θ = 0° 2. Rute B A 3. Rute B : Benda kerja diputar 90° setiap pergantian pass kemudian dikembalikan lagi pada posisi semula θ, θ’ = 9° C 4. Rute C : Benda kerja diputar 180° setiap pergantian pass θ = 180° : Benda kerja diputar 90° setiap pergantian pass θ = 90° Jenis rute-rute ECAP tersebut berpengaruh dalam pembentukan geometri butiran. Rute A akan menghasilkan geomertri butiran yang eliptik sehingga kekuatan material akan terkonsentrasi pada satu sisi, sedangkan rute Bc akan menghasilkan geometri butiran yang relatif bulat dan kekuatannya bersifat equiaxial. Jumlah pass berpengaruh terhadap kemajuan pembentukan sub grain. Secara umum, semakin banyak jumlah pass akan semakin aktif pembentukan sub grain, tetapi karena karena pembentukan sub grain dipengaruhi juga dengan gaya tegangan dari butiran sekitarnya maka akan terdapat jumlah pass maximum dimana di atas jumlah tersebut tidak terdapat lagi pembentukan sub grain. Sudut belokan berpengaruh dalam distribusi tekanan untuk menghasilkan efek severe plastic deformation. Sudut belokan 90° akan memberikan distribusi tekanan yang lebih terkonsentrasi pada area belokan dibanding sudut belokan120°. Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk mempelajari prilaku proses ECAP terhadap material. Diharapkan akan dihasilkan material yang memiliki ukuran butir dalam skala ultra fine grain yang memiliki kekuatan lebih tinggi dari material awal. PERCOBAAN Bahan untuk pembuatan dies adalah tool steel ASSAB yang telah mengalami proses heat treatment dan nitriding. Proses heat treatment dan nitriding dilakukan untuk memperbaiki ketahanan material dies terhadap gesekan selama ekstrusi benda kerja selama pengerjaan ECAP. Dies yang digunakan dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 3. Sudut belokan dies ditentukan sebesar 120°. Penentuan sudut ini mempertimbangkan optimasi kualitatif antara kelancaran gerak dies dan distribusi tekanan untuk menghasilkan efek severe plastic deformation. Benda kerja yang digunakan adalah tembaga murni. Hasil analisa dengan SEM-EDS-X telah menunjukan tidak adanya unsur-unsur lain selain tembaga. Sebelum pengerjaan dengan ECAP, tembaga murni tersebut dipotong dan dimachining sampai memiliki bentuk dan ukuran yang sesuai dengan ukuran lubang jalur ekstrusi pada dies. Pengerjaan ECAP dilakukan dengan menggunakan peralatan press dengan kecepatan penekanan yang relatif lambat. Karakterisasi benda kerja sebelum dan sesudah pengerjaan ECAP dilakukan melalui SEM-EDS-X untuk menentukan morfologi, struktur mikro serta komposisi kasar; dan uji kekerasan dalam skala vicker untuk menentukan nilai kekerasan. Dalam Penguatan Tembaga Murni …..Solihin | 151 hal ini, dengan mempertimbangkan keterbatasan tertentu, nilai kekerasan mewakili kekuatan. Gambar 3 . Dies yang digunakan dalam pengerjaan ECAP HASIL PERCOBAAN DAN DISKUSI Struktur mikro dari sampel bisa memberikan gambaran kekuatan material bersangkutan. Pada percobaan akan diselidiki pengaruh jumlah pass terhadap struktur mikro. Pada Gambar 4 diperlihatkan struktur mikro dari benda kerja mulai dari as received sampai yang telah mengalami ekstruksi ECAP 8 pass. Dari struktur mikro sample yang telah dikenai proses ECAP, terlihat perubahan struktur mikro dengan jelas. Ukuran butiran terlihat lebih kecil dan orientasi butiran pun berubah. Sesuai dengan penelusuran literatur terlihat bahwa selama proses ECAP terjadi pemecahan butiran menjadi sub-sub butir karena efek severe plastic deformation. Terbentuknya sub butir yang bisa dianggap butir baru ini terjadi melalui tahapan slip dislokasi menuju batas butir, perpindahan batas butir, twin deformation, sliding batas butir [8] Pergerakan dan penumpukan dislokasi pada batas butir akan membentuk dinding dislokasi yang kemudian bergeser menyebabkan terbentuknya sub-grain. Sub-sub grain ini karena memiiki orientasi yang berbeda dengan butir induknya maka bisa dipandang sebagai butiran baru yang lebih kecil. Dan umumnya sub grain yang terbentuk memiliki sudut butir yang kecil . [9] Terbentuknya sub grain ini akan membuat permukaan spesifik total butiran menjadi besar sehingga mampu menahan beban lebih berat. Selain itu, dengan mengecilnya ukuran butiran, pergerakan dislokasi selanjutnya menjadi lebih tidak bebas sehingga memberi efek menambah kekuatan. Itulah sebabnya benda kerja yang dikenai proses ECAP ini akan naik kekuatannya, dan hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya menggunakan material lain . [10] Sifat mekanis benda kerja dapat diwakili oleh nilai kekerasan, walaupun memerlukan faktor konversi jika dikaitkan dengan kekuatan sesungguhnya. Dari pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa perubahan struktur mikro berupa pengecilan ukuran butiran akibat pembentukan sub grain akan menaikkan kekuatan benda bersangkutan, sesuai dengan persamaan Hall-Petch: . dimana, σ y σ = yield stress setelah penguatan o ky = konstanta = yield stress awal d = ukuran butiran Pengujian kekerasan terhadap benda kerja menunjukan kesesuaian antara perubahan struktur mikro tersebut dengan penambahan kekuatan, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5. Sampai dengan proses ECAP 2 pass tidak terjadi perubahan nilai kekerasan yang signifikan. Hal ini karena baru dalam tahap awal pembelahan masih dalam skala mikron, tetapi pada proses ECAP 4 dan 8 pass terlihat kenaikan kekerasan yang cukup signifikan. Hal ini sesuai dengan perubahan pada struktur mikro dimana jumlah dislokasi semakin banyak kemudian bermigrasi dan terkonsentrasi yang diakhiri dengan pembentukan sub- butir, yang secara otomatis berpengaruh dalam menaikkan kekuatan dalam hal ini diwakili kekerasan secara drastis. 152 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 149-152 Gambar 4. Struktur Mikro dari tembaga yang telah mengalami proses ECAP pada jumlah pass yang berbeda 100 105 110 115 120 125 130 135 2 4 6 8 10 Jumlah Pass kali H ar d n ess V icker Copper, ECAP, Rute 0-90-180-360- Gambar 5. Pengaruh proses ECAP jumlah pass terhadap kekerasan benda kerja KESIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan: 1. Proses ECAP terbukti mampu mengadakan efek severe plastic deformation pada logam. 2. Rute B c 3. Sudur belokan 120° memiliki kemoderatan dalam hal kemudahan pergerakan benda kerja dan derajat efek severe plastic deformation . dimana setiap pass benda kerja diputar 90° merupakan rute yang memberikan grain geometry yang equi- axial. 4. Proses ECAP berpengaruh dalam memperkecil ukuran butiran melalui pembentukan sub-grain. 5. Berubahnya ukuran butiran menaikkan kekuatan benda kerja. Kenaikan kekuatan secara drastis terjadi pada proses ECAP pass 4 dan 8. DAFTAR PUSTAKA [1] Callister Jr WD, Fundamentals of Materials Science and Engineering, Jon Wiley and Son, 2001. [2] Langdon, TG, Rev. Adv. Matter.Sci. 13 2006 15. [3] Zrinc J, Dobatkin SV, Mamuzic I, Metalurgija 47 2008 3. [4] V. M. Segal, V. I. Rezhnikov, A. E. Dobryshevsky, V. I.Kopylov, Russ. Metall. Engl. Transl. 1 1981 99. [5] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 5 2003 91. [6] Koch, CC, Rev. Adv. Matter.Sci. 42 2007 1403. [7] Koch, CC, Ovidko IA, Seal S, Structural Nanocrystalline Materials: Fundamentals and Applications, Cambridge U. Press, 2007. [8] Bobylev SV, Ovidko IA, Rev. Adv. Mater. Sci. 17 2008 76-79. [9] Rodak K, Pawlicki, Arch. Mat. Sci. Eng. 28 2007 7. [10] Molodova X, Berghammer R, Gottstein G, Hellmig RJ, Int. J. Mat. Res. 98 2007 3. RIWAYAT PENULIS Solihin , alumni program studi Metalurgi jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung dan program studi ecomaterial Graduate School of Environmental Studies Tohoku University. Pernah melakukan penelitian berdurasi pendek di Advanced Industrial Science and Technology AIST, Miyagi, Jepang 2000-2001, dan juga pernah terlibat dalam kerjasama penelitian antara JFE Mineral Company dengan Institute of Multidisciplinary Research for Advanced Materials, Jepang 2004-2006. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Metalurgi LIPI. PENGARUH KOMPOSISI LARUTAN TERHADAP KANDUNGAN Mo DALAM LAPISAN PADUAN Ni-Mo SECARA ELEKTROPLATING Sri Mulyaningsih dan Budi Priyono Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI E-mail : srim006lipi.go.id Intisari Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan lapisan paduan Ni-Mo yang akan digunakan sebagai lapisan bond coat untuk lapisan tahan temperatur tinggi TBC. Penelitian dilakukan dengan menggunakan bahan dasar plat nikel 99 yang diroll dan dibentuk sampel berukuran 25 x 50 x 2 mm. Sampel kemudian diberi lapisan dengan cara elektroplating menggunakan larutan yang terdiri dari NiSO 4 , Na 2 MoO 4 , C 8 H 8 O 7 . Komposisi larutan divarisikan menjadi 5 jenis larutan dengan perbandingan; I. 0,1 : 0,1: 0,1 mol, II. 0,075 : 0,125 : 0,1 mol, III. 0,050 : 0,100 , 0,1 mol, IV. 0,025 : 0,125: 0,1 moll dan V. 0,001 : 0,2 : 0,1 mol. Proses dilakukan pada suhu ruang dengan rapt arus 0,1 Adm 2 . Dari hasil percobaan diperoleh bahwa larutan III menghasilkan lapisan dengan kadar Mo terbaik yaitu 21,19. Kata kunci: Elektroplating, Paduan Ni-Mo, Lapisan tahan temperatur tinggi Abstract There has been done the experiment about electro deposition Ni-Mo alloy as a bond coat layer for high temperature resistance coating, known as Thermal barrier coating TBC. The sample is made from Nickel 99. Roll process was done to thinning the samples and then cut the material into 25 x 50 x 2 mm shape. Electroplating process was done on the surface of materials by mixed NiSO 4 , Na 2 MoO 4 and C 8 H 8 O 7 for the solution. Electroplating process was carried out at 0,1-0,6 Adm 2 at room temperature. Composition of the solution was varied within I. 0.1 : 0.1: 0.1 mol, II. 0.075 : 0.125 : 0.1 mol, III. 0.050 : 0.100 , 0.1 mol, IV. 0.025 : 0.125: 0.1 moll and V. 0.001 : 0.2 : 0.1 mol. The best Mo content from the experiment is NiMo coating from solution III, it was 21.19 . Keywords : Electroplating, Ni-Mo alloy, Thermal barrier coating PENDAHULUAN Penelitian ini merupakan awal dari rangkaian proses penelitian tentang lapisan Tahan Temperatur Tinggi atau lebih sering disebut sebagai Thermal Barrier Coating TBC. Karakter dari lapisan TBC biasanya adalah lapisan duplex system yang terdiri dari dua lapisan yaitu ceramic top coat dan lapisan metalic bond coat. Lapisan paling luar adalah lapisan top coat yang bersifat tahan panas dan lapisan berikutnya adalah lapisan bond coat yang bertujuan untuk melindungi material dari bahaya oksidasi dan korosi. Lapisan ini juga sekaligus berfungsi sebagai perekat lapisan keramik diatasnya. Skema dari model lapisan ini dapat dilihat pada Gambar 1 [1] Penelitian ini lebih menitik beratkan pada pembuatan lapisan bond coat. Dimana lapisan bond coat ini sekaligus berfungsi sebagai sumber pembentuk lapisan oksida thermal grown oxide Al . 2 O 3 . Lapisan Al 2 O 3 ini akibat siklus termal akan terus berdifusi kedalam benda kerja sehingga dapat merubah sifat mekanik benda kerja. Untuk mengatasi hal tersebut telah banyak dilakukan penelitian tentang lapisan oxigen diffusion barrier yaitu lapisan yang dapat menahan difusi Al 2 O 3 ke dalam benda benda kerja misalnya dengan memberikan lapisan ALN, TiN, W, Ni3Hf dan juga Re. 154 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 153-160 Gambar 1. Skema model lapisan thermal barrier coating DASAR TEORI Lapisan tahan temperatur tinggi biasanya digunakan untuk baling-baling dan blade pada turbin. Dimana, pada komponen tersebut biasanya mengalir udara sangat panas sehingga dibutuhkan material yang tahan temperatur tinggi. Permasalahan terjadi ketika udara panas yang mengalir melebihi ketahanan panas dari material blade, maka blade akan rusak atau gagal sehingga diperlukan blade yang mempunyai permukaan tahan temperatur tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu lapisan lebih tahan panas dari material untuk blade atau superalloy. Disamping itu, karena aliran udara sangat panas tersebut juga membawa sisa-sisa hasil pembakaran sehingga rawan terhadap terjadinya bahaya korosi. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diperlukan lapisan yang tahan terhadap temperatur tinggi sekaligus juga tahan terhadap oksidasi dan korosi. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan untuk membuat lapisan TBC masih mempunyai kekurangan pada lapisan bond coat. Dimana lapisan ini bersifat kurang stabil karena lapisan ini juga sekaligus sebagai sumber thermal ground oxide yang biasanya berbentuk Al 2 O 3. Senyawa Al 2 O 3 ini sangat halus sehingga dengan siklus termal akan berdifusi ke dalam material dasar yang akhirnya dapat merubah sifat material itu sendiri. Untuk itu diperlukan unsursenyawa dalam lapisan yang dapat menghambat laju difusi Al 2 O 3 atau barrier coating . Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi laju difusi lapisan Al 2 O 3 antara lain menggunakan lapisan ALN, TiN, W, Ni 3 Hf, namun hasil yang dicapai belum memuaskan [2] . Tahun 2003 Narita dkk, telah menemukan bahwa Re dapat berfungsi sebagai barrier yang dapat menghambat laju difusi Al 2 O 3. Re dilapiskan secara elektroplating diatas material dasar nikel superalloy kemudian dilanjutkan dengan memberikan lapisan berikutnya [3] Pada penelitian ini digunakan Mo sebagai barrier karena Mo mempunyai sifat yang paling mirip dengan Re dan garam Mo lebih murah dan mudah ditemukan dipasaran. Akan tetapi Mo tidak dapat dilapiskan dalam bentuk lapisan Mo, dan hanya bisa terdeposisi sebagai paduan bersama dengan logam grup besi untuk itu dilakukan elektrodeposisi dengan memadukan Ni dengan Mo mengingat material dasar yang digunakan adalah Nikel . [4] . Larutan yang digunakan mengacu pada percobaan yang dilakukan Narita dkk yaitu dengan mengganti Re dengan Mo sehingga digunakan NiSO 4 , Na 2 MoO 4 and C 8 H 8 O 7 sebagai penyusun larutan. PERCOBAAN Kerangka Analitik Proses percobaan pada penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur proses seperti terlihat pada Gambar 3 dibawah ini. Benda kerja yang digunakan sebagai bahan dasar terbuat dari Nikel 99 dari INCO yang terlebih dahulu diroll dan dianneal untuk mendapatkan benda kerja dengan ukuran 50 x 25 x 2 mm. Bahan kimia untuk pembuatan larutan diperoleh dari Merck. Percobaan dilakukan dengan memvariasikan komposisi larutan dan menggunakan rapat arus dari 0,1 Adm 2 . Pengaruh Komposisi Larutan ….. Sri Mulyaningsih | 155 Gambar 2. Diagram Alir Percobaan HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan dilakukan dengan menggunakan komposisi larutan pada Tabel 1. Hasil percobaan menghasilkan lapisan paduan Ni-Mo pada permukaan sampel. Gambar 3 adalah gambar sampel sebelum dilakukan pelapisan tengah dan yang sudah dilapisi Ni-Mo alloy kanan. Gambar 3. Sampel sebelum dan sesudah diberi lapisan Ni-Mo Percobaan menghasilkan lapisan Ni-Mo alloy yang merata diseluruh permukaan dan berwarna seperti pelangi cenderung agak kemerahan dan kelabu. Adapun hasil lapisan dilihat secara visual dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi bahan larutan yang digunakan untuk percobaan Bahan Larutan Komposisi molL Larutan I Larutan II Larutan III Larutan IV LarutanV NiSO Na 4 2 MoO C 4 8 H 8 O 0,1 7 0,1 0,1 0,075 0,125 0,1 0,050 0,150 0,1 0,025 0,175 0,1 0,001 0,2 0,1 Roll dan potong ukuran sampel 25 x 50 x 2 mm Start Plat Nikel Pickling Degrasing Mild acid Lapisan paduan Ni Mo Finish Electroplating paduan NiMo 156 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 153-160 Tabel 2. Hasil percobaan menggunakan larutan I dilihat secara visual No Sampel Ampere Temperatur Waktu Hasil lapisan visual I 0,1 Temperatur ruang 10 detik Rata, warna pelangi kemerahan II 0,1 Temperatur ruang 10 detik Rata, warna pelangi kemerahan III 0,1 Temperatur ruang 10 detik Rata, warna pelangi kemerahan IV 0,1 Temperatur ruang 10 detik Rata, warna pelangi kelabu V 0,1 Temperatur ruang 10 detik Rata, warna pelangi kelabu Komposisi Mo pada Lapisan 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 Larutan K ad ar M o Gambar 4 . Grafik kadar Mo yang dihasilkan terhadap larutan yang digunakan Sampel hasil pelapisan kemudian dianalisa menggunakan SEM EDS untuk mengetahui morfologi dan komposisi lapisan secara semi kuantitatif. SEM EDS hanya dapat memberikan data komposisi secara semi kuantitatif, karena hanya dengan memperbandingkan unsur yang terdapat dalam lapisan. Hasil analisa SEM EDS dapat dilihat pada Tabel 3-7. Dari tabel hasil analisa SEM EDS dapat dilihat kandungan Mo dari masing-masing sampel, kandungan Mo pada lapisan dari larutan I sebesar 6,17, semakin naik pada lapisan dari larutan II sebesar 7,83 dan kandungan Mo terbesar dihasilkan dari lapisan dari larutan III yaitu sebesar 21,19. Larutan IV menghasilkan lapisan dengan kandungan Mo yang turun drastis ke 1,72 dan larutan V juga menghasilkan kadar Mo yang hampir sama yaitu 1,36 Mo. Dari komposisi larutan yang digunakan larutan dengan kandungan NiSO 4 0,50 molL , Na 2 MoO 4 0,150 molL dan C 8 H 8 O 7 molL merupakan larutan dengan komposisi yang paling optimal. Sehingga, pada larutan IV dan V yang mengalami penurunan sekalipun kandungan Na 2 MoO 4 semakin banyak. Adapun hasil SEM EDS terhadap sampel dapat dilihat pada Tabel 3-7. Sedangkan Gambar 4 menjelaskan tentang pengaruh komposisi larutan terhadap kadar Mo yang terdapat dalam lapisan. Pengaruh Komposisi Larutan ….. Sri Mulyaningsih | 157 Tabel 3. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan I Tabel 4. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan II Tabel 5. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan III Tabel 6. Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan IV Tabel 7 . Hasil analisa komposisi kimia secara semi kuantitatif pada lapisan dari larutan V ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2401 Element keV Mass Error Atom Compound Mass Cation K O K 0.525 13.45 0.12 34.65 14.9791 Al K 1.486 5.14 0.15 7.85 2.0316 Si K 1.739 0.93 0.13 1.36 0.4794 Cr K 5.411 0.48 0.18 0.38 0.5156 Fe K 6.398 3.06 0.20 2.25 3.7521 Ni K 7.471 73.31 0.38 51.45 75.0993 Cu K 8.040 2.27 0.50 1.47 2.2173 Mo L 2.293 1.36 0.27 0.58 0.9256 Total 100.00 100.00 ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2597 Element keV Mass Error Atom Compound Mass Cation K O K 0.525 10.99 0.12 30.20 11.9942 Al K 1.486 3.64 0.17 5.93 1.4002 Si K 1.739 0.75 0.15 1.17 0.3807 Fe K 6.398 2.47 0.21 1.95 3.0635 Ni K 7.471 76.39 0.40 57.18 78.0756 Cu K 8.040 4.03 0.53 2.79 3.9288 Mo L 2.293 1.72 0.29 0.79 1.1570 Total 100.00 100.00 ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2574 Element keV Mass Error Atom Compound Mass Cation K O K 0.525 15.76 0.12 43.09 12.9045 Al K 1.486 1.29 0.11 2.10 0.6105 Fe K 6.398 1.34 0.17 1.05 1.6422 Ni K 7.471 47.24 0.29 35.21 54.1046 Cu K 8.040 3.27 0.38 2.25 3.5228 Zn K 8.630 9.91 0.52 6.63 10.1887 Mo L 2.293 21.19 0.19 9.67 17.0267 Total 100.00 100.00 ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2326 Element keV Mass Error Atom Compound Mass Cation K C K 0.277 7.67 0.13 23.15 1.4093 O K 0.525 13.08 0.11 29.65 12.0369 Al K 1.486 2.73 0.11 3.67 1.2893 Fe K 6.398 0.98 0.16 0.64 1.2831 Ni K 7.471 56.90 0.27 35.15 66.7271 Zn K 8.630 7.60 0.50 4.22 7.9114 Mo L 2.293 7.83 0.29 2.96 6.3430 Tl M 2.267 3.22 0.41 0.57 3.0000 Total 100.00 100.00 ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2398 Element keV Mass Error Atom Compound Mass Cation K O K 0.525 13.17 0.10 36.43 13.2053 Al K 1.486 1.23 0.13 2.01 0.4759 Fe K 6.398 0.76 0.16 0.60 0.9229 Ni K 7.471 60.59 0.30 45.66 63.6169 Cu K 8.040 11.10 0.40 7.73 11.0023 Zn K 8.630 6.98 0.54 4.73 6.4913 Mo L 2.293 6.17 0.21 2.85 4.2854 Total 100.00 100.00 158 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 153-160 Gambar 5. Morfologi permukaan hasil pelapisan menggunakan larutan I - V Sedangkan gambar struktur mikro permukaan lapisan hasil elektroplating menggunakan larutan I sampai dengan V dapat dilihat pada Gambar 5a - 5d diatas. Dari Gambar 5a - 5e dapat dilihat bahwa morfologi hasil lapisan untuk lapisan dari larutan I dan II Gambar 5a dan 5b masih terdapat pengelompokan Ni beberapa daerah warna putih. Untuk e d c b a Pengaruh Komposisi Larutan ….. Sri Mulyaningsih | 159 Gambar 5d - 5e yang merupakan hasil pelapisan dari larutan IV dan V, terlihat bahwa warna lapisan cenderung lebih terang, hal ini menunjukan pada lapisan ini kandungan Mo semakin menurun. Sedang pada Gambar 5c lapisan dari larutan III, lapisan terlihat lebih merata antara warna hitam dan putih dan tidak ada pengelompokan Nikel pada daerah tertentu. Lapisan ini merupakan laisan dengan kandungan Mo tertinggi. Hal ini seperti yang ditunjukan hasil analisa EDS pada Tabel 3 – 7. Grafik pengaruh komposisi larutan terhadap kandungan Mo pada lapisan paduan Ni-Mo dapat dilihat pada Gambar 4. KESIMPULAN Dari hasil analisa terhadap lapisan didapatkan bahwa lapisan yang terjadi adalah merupakan lapisan paduan Ni-Mo. Kandungan Mo untuk masing-masing larutan berbeda dan larutan dengan komposisi terbaik yang menghasilkan kandungan Mo paling tinggi adalah larutan III yaitu sebesar 21,19. Pada lapisan dari hasil larutan I dan II kecenderungannya naik dari 6,17 menjadi 7,83. Sedang pada larutan IV dan V kandungan Mo menurun drastis ke 1,72 dan 1,36. Dari data kandungan Mo tersebut dapat diketahui bahwa larutan yang menghasilkan lapisan dengan kandungan Mo tertinggi adalah larutan III. DAFTAR PUSTAKA [1] Karin Carlsson, 2007. A study of Failure Development in Thick Thermal Barrier Coatings, theses master Linkőpings Universitet. [2] Pedro de Lima-Neto dkk, 2010. Morphological, structural, microhardness and corrosion characterisation of electrodeposited Ni- Mo and Cr coating, Journal of the Brazilian Chemical Sosiety vol.21 No.10. [3] T. Narita dkk, 2005. The roll of Bond coat in advance thermal Barrier coating, Material Science Forum vol. 502. [4] S. Franz, Marlot dkk, 2003. Pulse plating of Ni-M alloys, The Electrochemical Sosiety, 204 th RIWAYAT PENULIS Meeting. Sri Mulyaningsih, menyelesaikan pendidikan Strata 1 Jurusan Teknik Metalurgi di Jenderal Akhmad Yani pada tahun 1997. Lulus pendidikan Strata 2 Program Studi Ilmu Bahan Universitas Indonesia pada tahun 2006. Sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang bekerja di Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI. 160 | Majalah Metalurgi, V 26.3.2011, ISSN 0126-3188 hal 153-160 PEMBUATAN KOMPOSIT AC8ASICP DENGAN METODE HOT PRESS METALURGI SERBUK

T. Mustika