Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa Barat dan Sumatera Selatan.

DETEKSI ANTIBODI RABIES PADA SERUM MONYET EKOR
PANJANG (Macaca fascicularis) DARI LIMA LOKASI YANG
BERBEDA DI JAWA BARAT DAN SUMATERA SELATAN

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Deteksi Antibodi Rabies pada
Serum Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang
Berbeda di Jawa Barat dan Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Agustus 2010

Rahmawati Dwi Prihatiana
NIM B04062992

ABSTRAK
RAHMAWATI DWI PRIHATIANA. Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet
Ekor Panjang ( Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa
Barat dan Sumatera Selatan. Di bawah bimbingan JOKO PAMUNGKAS,
RACHMITASARI NOVIANA.

Rabies merupakan penyakit infeksi viral yang bersifat akut pada susunan
syaraf oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae yang secara
klinis ditandai dengan kelumpuhan progresif dan berakhir dengan kematian.
Sudah sejak berabad-abad penyakit ini dikenal sebagai masalah pada manusia,
hewan liar, dan hewan peliharaan. Rabies ditemukan di sebagian besar dunia
dan setiap negara memiliki vektor-vektor utama sendiri. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeteksi antibodi virus rabies pada monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) dengan menggunakan metode ELISA tidak langsung (indirect

ELISA) pada serum Macaca fascicularis yang dikoleksi dari lima lokasi yang
berbeda di Jawa (Kuningan, Penangkaran Dramaga, Penangkaran Jonggol, dan
Tinjil) dan Sumatera Selatan (Palembang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
antibodi virus rabies tidak terdeteksi pada semua sampel serum Macaca
fascicularis yang berasal dari kelima lokasi. Perlu penyertaan sampel dari
hewan-hewan liar lainnya yang berinteraksi dengan Macaca fascicularis untuk
pembuktian ada atau tidaknya kejadian infeksi silvatik.
Kata kunci: Rabies, Serum, Macaca fascicularis, ELISA tidak langsung.

ABSTRACT

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA. Rabies Antibody Detection in Serum Long Tail
Macaque (Macaca fascicularis) from five different locations in West Java and
South Sumatera. Under Direction of JOKO PAMUNGKAS, RACHMITASARI
NOVIANA.
Rabies is an acute viral infection of the nervous system by Rabies virus, a
Lyssavirus from Rhabdoviridae family, which is clinically characterized by
progressive paralysis and ends with death. It was for centuries known as a
problem of this disease in humans, wild animals, and pets. Rabies is found in
most of the world and every country has a self-major vector. This study aimed to

detect rabies virus antibodies using indirect ELISA in long-tailed macaque
(Macaca fascicularis) serum samples collected from five different locations in
Java (Kuningan, Dramaga Captive Breeding, Jonggol Captive Breeding and Tinjil
semi natural habitat breeding) and South Sumatera (Palembang). The results
showed that the rabies antibody was not detected in any serum samples of
Macaca fascicularis from five locations.Further analyses should be performed to
include samples from other wild life which potentially interacted with Macaca
fascicularis to conclude wether or not sylvatic infection had occurred in the wild.
Key words: Rabies, Serum, Macaca fascicularis, indirect ELISA

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


DETEKSI ANTIBODI RABIES PADA SERUM MONYET EKOR
PANJANG (Macaca fascicularis) DARI LIMA LOKASI YANG
BERBEDA DI JAWA BARAT DAN SUMATERA SELATAN

RAHMAWATI DWI PRIHATIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

Judul Skripsi: Deteksi Antibodi Rabies pada Serum Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis) dari Lima Lokasi yang Berbeda di Jawa
Barat dan Sumatera Selatan.

Nama
: Rahmawati Dwi Prihatiana
NIM
: B04062992

Disetujui,

Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc.
Pembimbing I

Rachmitasari Noviana, S.KH.
Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Tanggal Pengesahan :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tugas akhir ini telah berhasil diselesaikan dengan tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September tahun
2009 adalah uji kekebalan humoral pada serum darah Macaca fascicularis
terhadap virus rabies dengan menggunakan metode indirect ELISA (ELISA tidak
langsung). Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis mendapatkan bantuan
dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.drh.Joko Pamungkas, M.Sc. selaku
dosen pembimbing skripsi I yang telah memberikan arahan, bimbingan dan juga
ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis; Ibu Rachmitasari Noviana, S.KH.
selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah sepenuh hati memberikan
bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; Dr.drh.Deni
Noviana selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan
kepada penulis; Dr.Ir.Etih Sudarnika, M.Si. selaku dosen penilai seminar,
drh.Chaerul Basri selaku moderator seminar dan Dr.drh.Razak Hamzah, M.S.
serta drh.Yudi Riyadi, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan
kepada penulis; seluruh dosen di Fakultas Kedoktaran Hewan IPB yang telah

memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis; Dr.drh.Diah Iskandriati selaku
kepala Laboratarium Mikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata
(PSSP) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian
di di laboratarium tersebut; staf Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP): Pak Uus, Bu Isti, Bu Silmi, Bu Maryati, Ririn, Tri, Iin
dan juga staf-staf yang lain atas bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada
penulis selama periode penelitian dan penyusunan skripsi; keluarga tercinta: Ibu
Takariningsih Dwi Narwiyanti, Bapak Rudi Yulianto Basuki, Eka Puspita
Arumaningtyas, Rizki Teguh Afreeanto atas doa, pengorbanan, dukungan, dan
kasih sayang yang luar biasa kepada penulis; Wawan Gunawan (Mas Wa2n)
yang telah menjadi inspirasi bagi penulis dan yang

telah rela memberikan

pengorbanan, kebaikan, ketulusan, kasih sayang serta selalu sabar dalam
membimbing penulis; teman-teman penelitian ELISA di PSSP: Sri Nofrianti,
Yusnia Purwaningrum dan Ranti Asryyuni yang selalu mendukung dan
memberikan motivasi bagi penulis; Mas Bian alias Ace atas kesabaran dan


kebaikan yang telah diberikan kepada penulis; Aesculapius 43; teman-teman
wisma Kartika: Avi, Mbak Niken, Biah, Dinar, Mbak Denny, Mbak Rofa, Mbak Po,
Mbak Sul, Sara yang selalu memberikan kegembiraan kepada penulis; temanteman wisma Adinda; dan teman-teman di DKM An Nahl FKH IPB; serta seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan
karya ilmiah ini. Namun demikian, penulis tetap berharap semoga karya kecil ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2010
Rahmawati Dwi Prihatiana

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1988 di Jombang Jawa Timur.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rudi
Yulianto Basuki dan Ibu Takariningsih Dwi Narwiyanti.
Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada tahun 2000 di SD
Negeri Sambong Dukuh I Jombang, Pendidikan lanjutan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 2003 di SMP Negeri I Jombang dan pendidikan lanjutan
menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 2 Jombang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) pada
tahun 2006.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Minat Profesi
(HIMPRO) Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

viii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

xi


PENDAHULUAN ......................................................................................

1

Latar Belakang ..............................................................................
Tujuan Penelitian ...........................................................................
Manfaat Penelitian .........................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Rabies (Lyssa, Tollwut, rage, Hydrophobia) ..................................
Patogenesa dan Imunitas Virus Rabies ..........................................
Respon Kekebalan Macaca fascicularis terhadap Virus Rabies .....
dan Mekanisme Proteksinya ..........................................................
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) ...................................
Sejarah Macaca fascicularis ...........................................................

Klasifikasi Macaca fascicularis ......................................................
Macaca fascicularis sebagai Hewan Penyebar Rabies...................
Immunoglobulin .............................................................................
Immunoglobulin G ..........................................................................
Uji Serologis ...................................................................................
EIA (Enzyme Immuno Assay).........................................................
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) .............................

4
4
5
7
8
8
9
10
10
11
11
12
12

BAHAN DAN METODE ............................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................
Materi Penelitian ...........................................................................
Sampel yang Diuji ..........................................................................
Bahan dan Alat ..............................................................................
Metode Penelitian .........................................................................
Interpretasi Hasil Data ...................................................................

14
14
14
14
14
14
16

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
Validasi Hasil Pemeriksaan ...........................................................
Deteksi dan Pengukuran Titer Antibodi Rabies .............................
Macaca fascicularis sebagai Hewan Pembawa Rabies (HPR) .......

17
17
17
20

SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
Simpulan .......................................................................................
Saran .............................................................................................

21
21
21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

22

ix

DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Hasil deteksi antibodi dengan uji ELISA pada serum
Macaca fascicularis dari lima lokasi ...........................................
Persentase hewan antibodi positif rabies dari lima lokasi ............
Nilai titer antibodi sampel Kuningan.............................................
Nilai titer antibodi sampel Dramaga .............................................
Nilai titer antibodi sampel Jonggol ...............................................
Nilai titer antibodi sampel Tinjil ....................................................
Nilai titer antibodi sampel Palembang..........................................
Nilai optical density (OD) sampel Kuningan .................................
Nilai optical density (OD) sampel Dramaga .................................
Nilai optical density (OD) sampel Jonggol ...................................
Nilai optical density (OD) sampel Tinjil ........................................
Nilai optical density (OD) sampel Palembang ..............................
Nilai optical density (OD) dan konsentrasi serum OIE .................

18
18
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

x

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.

Struktur Virus Rabies .................................................................
Potongan Melintang Struktur Virus Rabies .................................
Patogenesa Virus Rabbies ..........................................................
Tahapan Replikasi Virus Rabies..................................................
Kurva regresi linier ......................................................................

5
6
7
8
34

xi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Nilai titer antibodi sampel Kuningan.............................................
Nilai titer antibodi sampel Dramaga .............................................
Nilai titer antibodi sampel Jonggol ...............................................
Nilai titer antibodi sampel Tinjil ....................................................
Nilai titer antibodi sampel Palembang..........................................
Nilai optical density (OD) sampel Kuningan .................................
Nilai optical density (OD) sampel Dramaga .................................
Nilai optical density (OD) sampel Jonggol ...................................
Nilai optical density (OD) sampel Tinjil ........................................
Nilai optical density (OD) sampel Palembang ..............................
Nilai optical density (OD) dan konsentrasi OIE ............................
Kurva regresi linier serum OIE.....................................................

24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
34

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rabies yang juga dikenal sebagai Lyssa, Tollwut, Rage dan Hydrophobia
merupakan infeksi viral yang bersifat akut pada susunan syaraf dan secara klinis
ditandai dengan kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian.
Sudah berabad-abad penyakit ini dikenal sebagai masalah pada manusia, hewan
liar, dan hewan peliharaan.

Rabies ditemukan di sebagian besar dunia dan

setiap negara memiliki vektor-vektor utama sendiri.

Di Amerika Selatan dan

Tengah yang memiliki iklim tropis, hewan karnivora seperti anjing, kucing dan
kelelawar penghisap darah (vampire) serta kelelawar pemakan serangga
memegang peranan penting sebagai vektor rabies. Di seluruh Negara di Afrika,
rabies tersebar secara enzootik dan hewan anjing, kucing, jakal, dan monggus
memegang peranan sebagai vektor.

Di negara-negara Timur Tengah, yang

memegang peranan sebagai vektor ialah anjing dan wolves (anjing hutan).
Kedua hewan tersebut mentransmisikan rabies kepada hewan pemamah biak
seperti sapi dan kerbau. Sedangkan di Negara Asia, yang memegang peranan
sebagai vektor ialah anjing dan kucing (Ressang 1986).
Rabies atau penyakit anjing gila sudah dikenal di Indonesia sejak 1889,
empat belas tahun sebelum Negri menemukan inclusion body yang menjadi ciri
khas penyakit ini. Inclusion body dipakai sebagai pegangan dalam menentukan
suatu diagnosa berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, baik dengan cara
histopatologis maupun Immunofluorescence Assay (IFA) sampai sekarang.
Sudah hampir 100 tahun lebih rabies tidak menghilang dari bumi Indonesia,
tetapi justru sebaliknya, jumlah penggigitan pada manusia oleh hewan tersangka
atau penderita rabies meningkat terus dan daerah rabies meluas ke daerahdaerah yang semula bebas serta jenis hewan penderita rabies juga semakin
bertambah (Hardjosworo 1977).
Menurut Soejoedono (2004) rabies masih dianggap sebagai zoonosis
paling penting di Indonesia. Menurut Hardjosworo (1977) seperti yang dikutip
oleh Sarosa dan Adjid (2002), rabies di Indonesia pertama kali berjangkit tidak
diketahui dengan pasti, mungkin sejak agama Hindu disebarkan, karena sejak
saat itu telah dikenal istilah rabash yang berarti rabies yang berasal dari bahasa
Sansekerta.

2

Menurut laporan Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian,
Departemen Pertanian RI (2009) gambaran sejarah kejadian rabies di Indonesia
dari tahun 1884 sampai dengan 2008 ialah sebagai berikut: pada tahun 1884
terjadi wabah rabies di Jawa Barat, pada tahun 1889 terjadi kasus rabies pada
anjing, pada tahun 1894 terjadi kasus rabies pada manusia di Kalimantan Timur.
Selanjutnya kasus rabies meluas ke Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan. Pada tahun 1997 terjadi kasus rabies di Flores (Larantuka), tahun
2003 terjadi kasus di Ambon, tahun 2004 terjadi kasus di Halmahera Maluku,
tahun 2005 terjadi kasus di Ketapang Kalimantan Barat dan pada bulan
Nopember tahun 2008 terjadi kasus rabies di Bali.
Sampai saat ini, hewan pembawa rabies (HPR) utama rabies di Indonesia
ialah anjing, kucing dan monyet sedangkan rabies pada hewan piara lainnya
hanya kadang-kadang saja dilaporkan (Hardjosworo 1977). Menurut CDC (2007)
rabies dapat ditularkan seperti melalui gigitan oleh hewan liar (hewan reservoar)
ke hewan peliharaan seperti kucing, monyet, kuda, sapi, domba, dan kambing.
Kasus rabies di Indonesia pada masa kini memang gawat dan
memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Seperti telah diketahui bahwa
virus rabies dapat menginfeksi semua makhluk hidup berdarah panas (Greene
1990 dan WHO 2002). Kasus rabies pada monyet belum pernah dilaporkan
namun mengingat monyet merupakan satwa primata liar berdarah panas dan
berpotensi menggigit manusia maka perlu dilakukan survei untuk melihat
kemungkinan monyet dapat terinfeksi virus rabies.
Menurut Siregar (2009) pada tahun 2008 hanya 8 provinsi dari 33 provinsi
di Indonesia yang dinyatakan bebas dari rabies yaitu Papua, Maluku, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta
dan DKI Jakarta.

Sedangkan menurut Cahyono (2009) hingga tahun 2009

dinyatakan 9 propinsi merupakan daerah bebas rabies yaitu Nusa Tenggara
Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,
Jawa Tengah, D I Yogyakarta dan Jawa Timur.
Konsentrasi atau titer antibodi terhadap rabies yang didapatkan harus
kurang dari 0,1 IU/ml. Jika hewan berasal dari daerah bebas rabies dan terdapat
kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama
dengan 0,5 IU/ml untuk sampel individu atau lebih besar 0,1 IU/ml untuk serum
sampel kelompok (Cahyono 2009)

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi

virus rabies pada

monyet ekor panjang dengan menggunakan metode ELISA

tidak langsung

(indirect ELISA) pada serum monyet ekor panjang yang dikoleksi dari lima lokasi
yang berbeda di Jawa Barat (Kuningan, Penangkaran Dramaga, Penangkaran
Jonggol, dan Tinjil) dan Sumatera Selatan (Palembang).

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai ada
atau tidaknya kejadian infeksi silvatik virus rabies pada Macaca fascicularis.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Rabies (Lyssa, Tollwut, Rage, Hydrophobia)
Rabies atau penyakit anjing gila dikenal juga dengan nama Lyssa
(Inggris), Rage (Perancis), Tollwut (Jerman) dan Hydrophobia.

Penyebab

penyakit ini ialah virus golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus
Lyssavirus.

Rhabdovirus ialah virus yang berbentuk selongsong atau peluru

(berasal dari kata Rhabdo) atau mempunyai morfologi menyerupai kerucut,
mempunyai ukuran 70x170 nm (walaupun beberapa spesies lebih panjang dan
beberapa lebih pendek). Virus ini mempunyai struktur yang terdiri dari amplop
berlapis dua mengandung lemak dengan peplomer glikoprotein yang mengelilingi
nukleokapsid yang tertata secara heliks sehingga secara umum, struktur virus ini
ialah inti riboprotein (RNA), lemak dan karbohidrat, seperti terlihat pada gambar 1
(Fenner 1993).

Gambar 1 Struktur virus rabies.
Virus rabies mengandung molekul linier tunggal dari single stranded RNA
(ssRNA) yang berpolaritas minus dengan ukuran 11-12 kb (Fenner 1993). Virion
Rhabdovirus

mempunyai

lima

jenis

protein

yaitu

nucleoprotein

(N),

phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G), dan polymerase (L),
seperti terlihat pada gambar 2 (Wunner 1991). Virus rabies stabil pada pH 3-11
dan dapat hidup beberapa tahun pada suhu -70 oC atau dalam keadaan beku
kering yang disimpan pada suhu -4 oC (Baer 1991; Soedijar dan Dharma 2005 ).
Rabies merupakan penyakit viral encefalomielitis yang berakibat fatal
setelah gejala klinis muncul (Ruprecht 2007). Virus rabies dapat menginfeksi
semua hewan berdarah panas dan hampir semua kejadian akan berakhir dengan
kematian (CDC 2007). Kasus kematiannya mencapai 100% (Cahyono 2009).

5

Gambar 2 Potongan melintang struktur virus rabies.

Patogenesa dan Imunitas Virus Rabies
Penyakit rabies mempunyai masa inkubasi yang bervariasi antara 14
sampai 90 hari, bergantung kepada jenis hewan yang terpapar.

Sedangkan

pada manusia, masa inkubasi bisa lebih lama yaitu mencapai 2 tahun karena
virus tetap terkurung di dalam sel otot rangka sebelum masuk ke syaraf tepi dan
menuju ke otak (Fenner 1993).

Beberapa faktor yang menyebabkan variasi

masa inkubasi penyakit ini selain jenis hewan yang terpapar ialah antara lain 1)
jumlah virus yang masuk melalui luka, 2) letak luka gigitan ke system syaraf
pusat (SSP) ( semakin dekat dengan susunan syaraf pusat maka masa inkubasi
semakin pendek), 3) persyarafan luka gigitan (misalnya gigitan di jari atau genital
biasanya diikuti dengan masa inkubasi yang pendek), dan 4) virulensi dari virus
rabies (Baer 1991).
Virus rabies masuk ke dalam tubuh dapat melalui gigitan atau cakaran
hewan yang tertular atau melalui air liur yang mengenai luka terbuka pada kulit.
Hewan yang tertular rabies akan mengalami hipersalivasi sehingga ketika hewan
tersebut mencakar hewan lain, melalui cakaran tersebut air liur hewan tertular
dapat masuk ke dalam tubuh hewan yang lainnya.

Setelah virus masuk ke

dalam tubuh, virus akan melakukan replikasi terlabih dahulu di sel otot rangka
sampai tercapai konsentrasi yang cukup untuk mencapai ujung syaraf sensoris
atau motoris pada otot atau kulit. Sebelum mencapai ujung syaraf, virus rabies

6

berikatan secara spesifik dengan reseptor asetilkolin atau reseptor lain untuk
selanjutnya menuju ujung syaraf (Fenner 1993).
Virus rabies selanjutnya akan berpindah ke sistem syaraf pusat melalui
gerakan sentripetal (pergerakan ke arah luar secara cepat) dalam sitoplasma dari
akson sistem syaraf tepi. Sebelum mencapai otak, genom virus menuju sumsum
tulang belakang terlebih dahulu.

Setelah mencapai dua lokasi ini, secara

bersamaan akan muncul gejala klinis berupa tidak berfungsinya sistem syaraf
(Fenner 1993). Akibat infeksi virus rabies menyebabkan gejala klinis yang dapat
dikelompokkan dalam tiga fase yaitu fase prodromal, fase excitives dan fase
paralitik. Fase prodromal muncul pada 2-3 hari pasca gigitan dengan ditandai
perubahan tingkah laku hewan menjadi gelisah, sensitif, fotofobia, dan beberapa
menjadi takut suara yang bising. Fase excitives ditandai dengan hipersalivasi
dan hewan menjadi galak dan cenderung ingin menyerang. Pada fase ini terjadi
migrasi virion-virion virus
menuju

secara sentrifugal (pergerakan mundur) dari SSP

berbagai organ seperti korteks adrenal, pankreas dan yang paling

penting ialah syaraf yang terdapat di kelenjar saliva. Fase yang ketiga (paralitik)
terjadi pada hari ke tiga hingga hari ke empat dengan ditandai terjadinya depresi,
paralisa dan koma, dan berakhir dengan kematian akibat kesulitan bernafas yang
disebut sebagai gejala dumb rabies.

Gambar 3 Patogenesa rabies.

7

Hewan yang terpapar virus rabies akan sedikit memperlihatkan respon
imun spesifik karena sebagian besar genom virus terpusat pada sistem syaraf
yang jauh terpisah secara imunologik. Juga karena sebagian besar virus dirakit
di dalam membran sitoplasma sel inang tanpa adanya lisis sel inang tersebut
pada saat terjadi pelepasan virion-virion baru.

Akibat tidak terdapatnya

kerusakan sel inang menyebabkan hanya sedikit antigen virus yang dapat
merangsang mekanisme respon imun inang (Fenner 1993).

Gambar 4 Tahapan replikasi virus rabies.

Respon Kekebalan Macaca fascicularis terhadap Virus Rabies dan
Mekanisme Proteksinya
Tubuh dilindungi dari serangan patogen oleh respon kekebalan spesifik.
Selain itu, respon kekebalan tersebut akan memastikan pertahanan tubuh tidak
berbalik melawan jaringan tubuh sendiri.

Dua sistem berbeda yang dapat

menimbulkan respon kekebalan spesifik adalah imunitas yang diperantarai
antibodi (antibody mediated immunity) atau disebut juga imunitas humoral dan
imunitas yang diperantarai sel (cell mediated) (Soejoedono et al. 2009).

8

Imunitas humoral merupakan respon kekebalan yang diperantarai
antibodi dan tidak melibatkan sel. Antibodi ini dihasilkan oleh sel limfosit B dan
teraktivaMsi bila mengenai antigen yang terdapat di permukaan sel patogen
dengan bantuan sel limfosit T. Sel limfosit B akan memproduksi 5 jenis antibodi
yaitu Ig A, Ig D, Ig E, Ig G dan Ig M (Tizard 2004 dan Soejoedono et al. 2009).
Menurut Tizard (2004), imunitas diperantarai sel merupakan respon
kekebalan yang melibatkan sel-sel yang menyerang secara langsung pada
organism asing. Sel yang terlibat dalam respon kekebalan ini adalah sel limfosit
T yang diproduksi oleh organ timus.
Sel limfosit T akan bereaksi terhadap antigen yang spesifik.

Setiap

antigen yang terdapat pada permukaan sel patogen akan menstimulasi sel
limfosit untuk membelah membentuk klon. Beberapa klon akan menjadi sel-sel
memori yang tetap bertahan dalam tubuh untuk menjadi respon kekebalan
sekunder bila terjadi infeksi patogen yang sama.

Klon yang lainnya akan

berkembang menjadi salah satu dari tiga jenis sel T yaitu sel T pembantu (helper
T cell), sel t pembunuh (killer T cell), sel T sitotoksik (cytoxic T cell), dan sel T
supresor (suppressor T cell). Sel T sitotoksik akan merespon terhadap infeksi
virus dan tumor (Cahyono 2009).
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan menginduksi sel T sitotoksik
dan sel T pembantu meningkatkan kerja sel B untuk menghasilkan antibodi
terhadap virus (Tizard 2004). Antibodi yang dihasilkan oleh sel B ini akan diukur
dalam pengujian laboratorium dengan menggunakan uji ELISA.
Menurut Soedijar dan Dharma (2005) makhluk yang terinfeksi virus rabies
akan memproteksi dirinya melalui reaksi antigen antibodi dan efek inhibisi dari
interferon. Virus rabies dikenal mempunyai 2 antigen struktural yang utama yaitu
protein G dan antigen nucleoprotein (internal nucleoprotein).

Protein G atau

glikoprotein adalah satu-satunya antigen yang mampu menginduksi induk
semang (host) terhadap tantangan virus berikutnya (Cahyono 2009).

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Sejarah Macaca fascicularis
Monyet ekor panjang merupakan salah satu satwa primata yang telah
secara luas digunakan sebagai hewan laboratorium.

Hewan ini pertama kali

9

digunakan dalam penelitian biomedis oleh Galenus, seorang dokter Monyet
Roma dan Marcus Aurelius yang mempelajari anatomi dan fisiologinya pada
abad 1 M. Pada abad 20, hewan ini mulai digunakan secara luas seperti untuk
produksi vaksin, penelitian virologi, farmakologi dan teratologi maupun untuk
penelitian ilmiah lainnya (Putra 2008).
Macaca merupakan genus dari primata bukan manusia yang mempunyai
sebaran paling luas. Mereka dapat ditemukan di Maroko, Algeria, Gibraltar,
Afghanistan, China, Jepang, Filiphina dan Indonesia (Kalimantan, Sumatra, Jawa
dan Sulawesi) (Bennett et al. 1995). Hewan ini merupakan jenis hewan omnivora
dengan makanan yang bervariasi (Ankel & Simons 2000). Ukuran Macaca
bervariasi dari sedang hingga besar dan memiliki warna rambut yang bervariasi
dari abu-abu hingga coklat kehitaman (Bennett et al. 1995).
Klasifikasi Macaca fascicularis
Supriatna (2000) mengklasifikasikan Macaca fascicularis sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrata

Class

: Mammalia

Order

: Primata

Suborder

: Anthropoieda

Infraorder

: Cattarhini

Superfamily

: Cercopithecoidea

Family

: Cercopthecidae

Subfamily

: Cercopithecine

Genus

: Macaca

Species

: Macaca fascicularis

Spesies ini tergolong ke dalam Old World Monkey dan merupakan
populasi terbanyak di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya dengan
habitat umum di teluk dekat pantai atau rawa hutan bakau.
Monyet jenis ini pada umumnya memilki warna bulu kuning kecoklatan
atau abu-abu kecoklatan dengan rambut kepala mengarah ke belakang
walaupun kadang-kadang terbentuk jambul pendek pada garis tengah kepala.
Rambut pipi berbentuk jambang terlebih pada seluruh muka kecuali pada
kelopak mata. Monyet ini memiliki panjang ekor yang sama panjang atau lebih

10

panjang dari badan dan kepala. Panjang tubuh berkisar antara 385-648 mm.
Panjang ekor berkisar antara 385-655 mm (Hendras dan Supriatna 2000).
Status konservasi yang dikeluarkan oleh Convention on International
Trade in Endangered Species of wild Fauna and Flora (CITES), menyatakan
bahwa Macaca fascicularis termasuk ke dalam spesies kelompok Appendix 2
yaitu jenis yang akan terancam keberadaannya jika perdangannya tidak dibatasi
dan dipantau walaupun memiliki tingkat kepunahan yang rendah. Hingga saat
ini, belum terdapat perlindungan secara formal dari undang-undang. Pengadaan
monyet dalam perdagangan diatur dalam SK Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: 26/Kpts-II/94 tentang Pemanfaatan Jenis Monyet Ekor
panjang. Di dalam surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa ekspor Macaca
fascicularis harus dari hasil penangkaran, para eksportir diwajibkan melakukan
usaha penangkaran sendiri serta jumlah satwa primata yang dapat diekspor
harus berdasarkan kuota agar tidak mengganggu populasinya di alam (Hendras
dan Supriatna 2000).

Macaca fascicularis sebagai Hewan Penyebar Penyakit Rabies di Indonesia
Inang dari virus rabies ialah semua hewan berdarah panas dan manusia
(Fenner 1993). Di Indonesia, hewan yang pernah dilaporkan terserang rabies
selain anjing, kucing dan monyet ialah hewan peliharaan seperti sapi, kerbau,
kuda, leopard (macan tutul) , meong conkok (kucing hutan) dan musang.
Menurut Hardjosworo (1977) tiga spesies yang paling potensial sebagai
penyebar penyakit rabies ialah anjing, kucing dan monyet, dengan prevalensi
masing-masing sebesar 90%, 6% dan 3%.
Kasus gigitan hewan monyet telah banyak dilaporkan di beberapa daerah
di Indonesia sehingga

dapat dinyatakan bahwa monyet ialah hewan yang

mengancam dalam peranannya sebagai penyebar penyakit rabies (Hardjosworo
1977).
Imunoglobulin
Antibodi ialah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
akibat interaksi antara limfosit B peka-antigen dan antigen khusus. Antibodi
memiliki kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat
penghancuran dan penyingkirannya. Antibodi terdapat dalam berbagai cairan

11

tubuh dengan konsentrasi tinggi dan mudah diperoleh dalam jumlah banyak saat
digunakan untuk analisis serum darah. Karena molekul antibodi adalah globulin
maka umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (yang dapat disingkat menjadi Ig).
Istilah imunoglobulin dipakai untuk menggambarkan semua protein yang
mempunyai aktivitas antibodi dan beberapa protein yang mempunyai struktur
imunoglobulin yang khas tetapi tak memiliki aktivitas antibodi (Tizard 2004).
Imunoglobulin G
Imunoglobulin G (IgG) memiliki karakteristik rantai berat γ (gamma)
dengan valensinya 2, konsentrasi dalam serum sebanyak 8-16 mg/ml, dan
berfungsi sebagai respon sekunder (respon terhadap paparan antigen yang
kedua atau berikutnya) (Harlow & David 1988). Di dalam serum manusia normal
terdapat lebih dari 70 persen IgG. Imunoglobulin G merupakan bentuk antibodi
paling umum dan dapat diwariskan dari Ibu ke janin sebelum kelahiran
(pemindahan plasental).

Imunoglobulin G dapat dibagi lagi berdasarkan

perbedaan antigeniknya menjadi empat subkelas yang dinamakan IgG 1, IgG2,
IgG3 dan IgG4. Secara umum IgG berfungsi sebagai jalur utama pertahanan diri
terhadap infeksi selama beberapa minggu pertama setelah bayi lahir,
menetralkan toksin bakteri, dan mengikat mikroorganisme untuk meningkatkan
fagositosisnya (Pelczar 1988).
Uji Serologis
Uji serologis merupakan uji yang menggunakan serum atau plasma yang
diduga telah berisi antibodi terhadap antigen penyakit. Uji serologis banyak
dilakukan di laboratorium karena dapat mengukur banyaknya antigen atau
antibodi yang timbul terhadap kasus penyakit tertentu. Menurut Malole (1988), uji
serologis yang sering digunakan untuk identifikasi virus atau antibodi diketahui
terdapat 7 macam uji seperti uji netralisasi virus (virus neutralization test), uji
pengikatan

komplemen

(complement

fixation

test),

uji

hemaglutinasi

(Haemagglutination/HA dan Haemagglutination Inhibition/HI), uji Imunodifusi
(Agar gel presipitation/AGP), uji imunofluoresen (Fluorescence Antibody
Technique/FAT), uji Radioimunoassay (RIA), dan ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay).

12

EIA (Enzyme Immuno Assay)
Enzyme Immuno Assay ialah suatu teknik yang digunakan dalam
mendeteksi kandungan antibodi atau antigen dengan berbagai macam
pengujian. Prinsipnya ialah penggunaan enzim pada reaksi sehingga tahap akhir
suatu zat yang ditambahkan antibodi yang berikatan dengan enzim menjadi
suatu sinyal yang dapat dideteksi. EIA pada dasarnya terdiri atas dua hal yaitu
reaksi imunologis dan reaksi enzimatik. Secara praktis EIA dapat dibagi atas dua
golongan yaitu EIA histokimia dan EIA kuantitatif. Dan yang termasuk ke dalam
EIA kuantitatif ialah ELISA (Burges 1988).
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan uji yang
banyak digunakan pada laboratorium diagnostik. Teknik ini dapat memeriksa
keberadaan antigen (identifikasi Ag) maupun antibodi baik secara kualitatif
(positif/negatif) maupun kuantitatif (titer).

Uji ELISA mempunyai dua fungsi,

yaitu pertama sebagai sarana untuk mengidentifikasi jenis antigen tertentu
dengan mereaksikannya dengan antibodi yang telah diketahui dan yang kedua
ialah untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan cara mereaksikan
serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen standar yáng telah
diketahui. Uji ini dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu Indirect ELISA,
Sandwich ELISA dan Direct ELISA.
Indirect ELISA
Teknik penggunaan dengan Indirect ELISA dapat berfungsi untuk
mengukur titer antibodi. Antigen terabsorbsi pada subtrat padat. Antibodi primer
tidak berlabel dapat diperoleh dari serum atau bermacam cairan tubuh lain.
Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai dan antibodi ini biasanya
disebut sebagai konjugat. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tidak
adanya spesifitas sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni.
Deteksi antibodi yang spesifik ialah dengan cara antigen telah disediakan pada
sumur reaksi (plate). Antigen yang disiapkan dari biakan sel mungkin saja masih
mengandung antigen sel dalam jumlah yang sangat kecil atau dari serum yang
ditambahkan (Burges 1988).

13

Sandwich ELISA
Sandwich ELISA digunakan untuk mendeteksi adanya antigen dengan
cara antibodi penyakit tertentu telah dilekatkan dahulu pada plate. Konfigurasi ini
menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap antigen
secara spesifik. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem indikator, dibuat
konstan dan berubah ialah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. ELISA
penangkap antigen mempunyai potensi untuk meningkatkan spesifisitas ELISA
tidak

langsung

asalkan

antibodi

penangkapnya

dapat

menghindarkan

penempelan antigen yang ada dalam jumlah yang dapat mengganggu
spesifisitas tidak langsung (Burges 1988).

Direct ELISA
Direct ELISA memiliki fungsi yang sama dengan Sandwich ELISA akan
tetapi

berbeda

dalam

hal

penyusunan

zat.

Antigen

secara

langsung

diabsorbsikan ke suatu substrat. Pada permukaan substrat dicuci dan antibodi
yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen. Konfigurasi
ini memerlukan antiserum yang spesifik untuk antigen yang dimaksud.
Kelemahan konfigurasi in berkaitan dengan sifat pengikatan substrat pada dan
kualitas antibodi indikator. Pembatas utama konfigurasi ini ialah tidak adanya
fleksibilitas, keuntungannya ialah kesederhanaan sistem (Burges 1988).

14

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan September
2009 di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata
(PSSP) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

(LPPM)

Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian
Sampel yang Diuji
Penelitian ini melibatkan 131 sampel serum monyet ekor panjang dari
lima lokasi dengan rincian 33 sampel dari Kuningan, 21 sampel dari Sumatera
Selatan, 26 sampel dari Penangkaran Dramaga, 31 sampel dari Penangkaran
Pulau Tinjil dan 20 sampel dari Penangkaran Jonggol.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah air destilasi atau demineralisasi,
30% (v/v) H2O2

larutan

dan bahan yang telah tersedia dari kit ELISA (Synbiotic

Corporation) seperti plate mikro, serum kontrol positif, serum kontrol negatif,
konjugat atau antibodi sekunder protein A yang dilabel dengan enzim
peroksidase, substrat peroksida, larutan penghenti, dan PBS-Tween.
Alat-alat yang digunakan antara lain mikropipet 10 l; 50 l; 100 l; 300
l, multichannel pipet 100

l, vortex, lemari pendingin, inkubator, plastic film,

ELISA washer (automatic washing mechine/immunowash BIO-RAD MODEL
1575), dan ELISA microplate reader (BIO-RAD 3550).

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Indirect Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA tidak langsung) merujuk kepada manual
yang disertakan dalam kit ELISA (Synbiotic Corporation).

15

Penambahan Kontrol
Dilakukan pengenceran 1:10 terhadap kontrol kit positif dan negatif
antibodi rabies dengan cara menambahkan 90

l larutan pengencer (sampel

diluents) dimasukkan ke dalam sumuran A1, A2, B1 dan B2. Selanjutnya10
kontrol kit negatif ke dalam sumuran A1 dan A2 dan 10

l

l kontrol kit positif

dimasukkan ke dalam sumuran B1 dan B2.
Penambahan sampel
Ke dalam semua sumuran dimasukkan 90

l pengencer sampel.

Selanjutnya ditambahkan 10 l serum standar OIE yang telah diencerkan dengan
deret pengenceran 1:10, 1:30, 1:100, 1:150, 1:300, 1:1000 dan 1:3000 ke dalam
sumuran.

Selanjutnya plate mikroELISA ditutup dengan plastic film dan

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam.

Setelah itu dilakukan pencucian

sebanyak 4 kali dengan wash buffer 1:10 (washing solution dalam air destilasi
atau air demineralisasi) untuk membuang sisa cairan sampel.
Konjugat
Preparasi Konjugat
Konjugat diencerkan dengan pengenceran 1:10 dengan menambahkan
200 l konjugat dalam 1,8 ml pengencer konjugat.
Penambahan Konjugat
Sebanyak 100

l konjugat ditambahkan ke dalam setiap sumuran

kemudian kit ditutup dengan plastic film dan kembali diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 1 jam.
Penambahan Substrat
Sebanyak 100 l substrat buffer peroksida ditambahkan ke dalam setiap
sumuran dan harus dipastikan bahwa subtrat telah terhomogenisasi dengan
pengadukan manual atau plate agitator. Kemudian kit diinkubasi dalam ruangan
gelap pada suhu 20 oC selama 30 menit.
Penambahan larutan penghenti (Stop Solution)
Sebanyak 50 l larutan penghenti ditambahkan ke dalam setiap sumuran
dan harus dipastikan bahwa larutan telah terhomogenisasi dengan pengadukan

16

manual atau plate agitator serta dipastikan juga bahwa tidak terdapat gelembung
di dalam sumuran.
Pembacan dengan ELISA reader
Hasil pemeriksaan ELISA akan tervisualisasikan ke dalam bentuk warna
yang merupakan reaksi antara enzim peroksidase dan substrat PS (Peroxidase
Substrat). Warna yang terbentuk akan diolah oleh ELISA plate reader menjadi
data numerik berupa nilai Optical Density (OD) dan akan dikonversikan ke dalam
konsentrasi (titer) antibodi. Nilai OD akan berbanding lurus dengan nilai titer
antibodi. Semakin besar nilai OD maka semakin besar juga nilai titer antibodi
karena nilai OD menunjukkan kandungan antibodi spesifik rabies yang terdapat
di dalam sampel. Pengukuran kepadatan optik (Optical Density, OD) dilakukan
menggunakan ELISA reader dengan lensa filter pada panjang gelombang 450
nm.

Interpretasi Hasil Data
Data OD yang diperoleh dari penelitian ini dikonversi menjadi nilai titer
(konsentrasi antibodi virus rabies) menggunakan perhitungan dari kit ELISA
(Synbiotics Corporation) setelah diperoleh kurva regresi linier yang dibangun
menggunakan imunoglobulin standar dari OIE. Persamaan antilogaritma yang
diperoleh dari kurva regresi linier ialah sebagai berikut:
y = 0,3097 Ln(x) + 1,0915
y = nilai OD
x=nilai titer antibodi.

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji serologis berupa ELISA tidak langsung digunakan untuk mendeteksi
antibodi virus rabies di dalam sampel serum Macaca fascicularis. Seperti telah
dijelaskan di dalam tinjauan pustaka bahwa hewan yang terpapar virus rabies
akan memperlihatkan respon imun spesifik namun hanya sedikit karena sebagian
besar genom virus terpusat pada sistem syaraf yang jauh terpisah secara
imunologik.

Juga karena sebagian besar virus dirakit di dalam membran

sitoplasma sel inang tanpa adanya lisis sel inang tersebut pada saat terjadi
pelepasan virion-virion baru.

Akibat tidak terdapatnya kerusakan sel inang,

menyebabkan hanya sedikit antigen virus yang dapat merangsang mekanisme
respon imun inang (Fenner 1993).
Validasi Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan menggunakan ELISA dinyatakan valid dan tidak
diperlukan lagi pengulangan berdasarkan manual kit (Synbiotics Corporation) jika
nilai OD (Optical Density) serum kontrol ialah

0,300 untuk kontrol positif dan

0,500 (setelah nilai 0,500 dikali dengan OD kontrol positif ) untuk kontrol negatif.
Kevalidan data juga ditentukan oleh nilai koefisien korelasi (r) antara nilai OD dan
nilai antilogaritma (ln) konsentrasi antibodi rabies pada persamaan antilogaritma,
yaitu harus

0,950. Berdasarkan hasil pemeriksaan, nilai OD serum kontrol

positif ialah sebesar 0,917 (

0,300) dan nilai OD serum kontrol negatif ialah

sebesar 0,145 ( 0,500 x 0,917 = 0,458) serta nilai koefisien korelasi (r) sebesar
0,98

0,950 sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ELISA bersifat valid.

Deteksi Antibodi Rabies
Menurut Greene dan Dreesen (1990) deteksi antibodi digunakan untuk
mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang
divaksinasi atau adanya infeksi pada hewan liar. Deteksi antibodi terhadap virus
rabies pada Macaca fascicularis dilakukan dengan menggunakan kit komersial
Synbiotic.

Kit tersebut menetapkan standar untuk titer antibodi protektif

terhadap infeksi virus rabies harus lebih tinggi dari 0,6 EU/ml (ekuivalen dengan
0,5 IU/ml sebagai baku titer antibodi menurut OIE) dan jika titer antibodi kurang

18

dari nilai tersebut maka hewan dinyatakan tidak dalam keadaan terlindungi
apabila terjadi infeksi virus rabies.
Tabel 1 Jumlah sampel hasil deteksi antibodi virus rabies dengan uji ELISA pada
serum Macaca fascicularis dari lima lokasi (Kuningan, Dramaga, Jonggol, Tinjil,
dan Palembang)

No. Asal sampel

Jumlah sampel dengan

Jumlah sampel dengan

serum

titer Ab > 0,6 EU/ml

titer Ab < 0,6 EU/ml

1.

Kuningan

0

33

2.

Dramaga

0

26

3.

Jonggol

0

20

4.

Tinjil

0

31

5.

Palembang

0

21

Tabel 2 Persentase hewan antibodi positif rabies dari lima lokasi (Kuningan,
Dramaga, Jonggol, Tinjil, dan Palembang)

No. Asal sampel

Ukuran sampel

Persentase hewan antibodi positif

serum

(n)

rabies
(%)

1.

Kuningan

33

0

2.

Dramaga

26

0

3.

Jonggol

20

0

4.

Tinjil

31

0

5.

Palembang

21

0

Berdasarkan data dari Tabel 1 dapat disimpulkan semua sampel serum
Macaca fascicularis dari lima lokasi yang dikoleksi memiliki titer antibodi rabies
kurang dari 0,6 EU/ml. Dengan kata lain persentase keberadaan antibodi rabies
pada semua sampel ialah 0% (seperti terlihat pada tabel 2) yang berarti tidak
satupun sampel serum dari kelima lokasi memiliki kandungan antibodi yang
cukup tinggi untuk menyimpulkan telah terjadi infeksi virus rabies pada Macaca
fascicularis yang dikoleksi.

Nilai kontrol positif yang disertakan dalam

pemeriksaan mencapai 1,0915 IU/ml jauh lebih tinggi dari nilai minimum untuk
menyatakan hewan terlindungi (0,6 EU/ml). Nilai tersebut menunjukkan bahwa

19

kontrol positif yang disertakan jatuh pada kisaran true positive di atas nilai
minimum untuk menyatakan hewan terlindungi. Sedangkan nilai kontrol negatif
sebesar 0,285 IU/ml juga jatuh pada kisaran true negative jauh di bawah 0,6
EU/ml. Dua nilai kontrol tersebut (positif dan negatif) mencerminkan bahwa uji
ELISA yang dilaksanakan memiliki validitas yang baik. Menurut Durr et al. (2008)
uji gold standard

yang direkomendasikan oleh WHO sebagai uji untuk

mendeteksi virus rabies ialah uji gold standard direct fluorescent antibody (DFA)
meskipun

berdasarkan

pengujian

di

Tanzania,

uji

direct

rapid

immunohistochemical (dRIT) menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang
mencapai 100% (Soedijar & Dharma 2005). Uji gold standard diperlukan karena
mengingat sebagian besar genom virus rabies terpusat pada sistem syaraf yang
jauh terpisah secara imunologik (Fenner 1993).
Hasil uji yang negatif dapat disebabkan karena sebelumnya kelompok
hewan memang belum pernah terpapar virus rabies sehingga tidak dihasilkan
IgG pada respon imun (Soejoedono et al. 2009). Selain itu, disebabkan oleh
masa inkubasi penyakit rabies yang cukup singkat dan bervariasi antara kurang
dari satu minggu sampai lebih dari satu tahun (pada manusia) (Soeharsono
2007). Lama masa inkubasi akan menentukan kapan gejala klinis rabies akan
muncul. Seperti yang dikemukakan oleh Ruprecht (2007) bahwa penyakit rabies
akan berakhir dengan kematian setelah gejala klinis muncul dengan case fatality
rate sebesar 100%. Sehingga sangat memungkinkan jika tidak ditemukannya
hewan dengan antibodi positif rabies.
Jumlah sampel serum yang terbatas baik dari segi jumlah untuk masingmasing lokasi maupun dari segi jumlah lokasi yang dideteksi dapat juga
mempengarui hasil yang negatif pada pemeriksaan antibodi rabies. Sehingga
untuk lebih bisa merepresentasikan kondisi hewan terhadap paparan virus rabies
sesungguhnya, diperlukan jumlah sampel yang besar dari banyak lokasi di
Indonesia. Selain itu, tidak adanya klasifikasi umur dewasa pada sampel hewan
juga dapat mempengarui. Semakin dewasa, hewan akan mendapat paparan
yang lebih tinggi terhadap virus rabies dibandingkan ketika hewan tersebut masih
belum dewasa (belum disapih oleh induk monyet).

Sehingga selain jumlah

sampel yang besar, klasifikasi umur dewasa juga penting untuk diutamakan dan
dicantumkan ke dalam data sampel.
Menurut Arjuno (1984) untuk kesempurnaan diagnosa rabies perlu
dilakukan dua atau lebih cara diagnosa tergantung kelengkapan peralatan

20

laboratorium yang akan saling membantu mempertegas diagnosa.

Diagnosa

secara reaksi antigen-antibodi jarang dilakukan, kecuali FAT.
Macaca fascicularis sebagai Hewan Pembawa Rabies
Hasil pemeriksaan yang menunjukkan semua sampel serum memiliki
antibodi negatif rabies berbeda dengan pernyataan Hardjosworo (1977), bahwa
monyet ialah salah satu dari tiga hewan pembawa rabies (HPR) utama di
Indonesia.

Namun, jika melihat jumlah sampel yang hanya berasal dari lima

lokasi di Indonesia kurang mewakili bahwa monyet ekor panjang bukanlah hewan
pembawa rabies di Indonesia. Menurut Hardjosworo (1977), spesies Macaca
fascicularis dilaporkan positif terhadap rabies. Juga berdasarkan data statistik
yang dilaporkan oleh WHO (2002) bahwa penyebaran rabies di Indonesia pada
spesies monyet ialah sebesar 3%.
Menurut Soeharsono (2002), dikenal dua macam siklus rabies, yaitu
siklus rabies di lingkungan pemukiman penduduk (urban rabies) dan siklus rabies
di alam bebas (sylvatic rabies). Siklus yang pertama, umumnya terjadi pada
anjing-anjing geladak yang dibiarkan bebas tanpa pemeliharaan khusus (stray
dogs) yang kadang-kadang menyerang kucing, monyet, dan sesekali ruminansia,
babi atau hewan lainnya. Sedangkan siklus yang kedua, terjadi pada hewan liar
seperti rubah, skunk dan kelelawar penghisap darah (vampire) yang dapat
mendekati lingkungan pemukiman dan akan menggigit hewan di lingkungan
tersebut sehingga terjadilah urban rabies.

Penelitian ini menunjukkan bahwa

infeksi silvatik virus rabies pada Macaca fascicularis tidak dapat dibuktikan.
Namun demikian untuk peneguhan simpulan sementara di atas perlu dilakukan
survei tambahan dengan menyertakan sampel serum dari hewan liar lainnya
yang memiliki potensi berinteraksi dengan Macaca fascicularis di alam.

21

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari pelaksanaan penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1 Antibodi rabies tidak terdeteksi pada sampel serum Macaca fascicularis
yang berasal dari lima lokasi yaitu Palembang, Kuningan, Dramaga,
Jonggol dan Tinjil.
2 Adapun titer antibodi rabies pada serum Macaca fascicularis yang
berasal dari lima lokasi tersebut kurang dari titer antibodi standar kit
(0,6 EU/ml) dan kurang dari titer antibodi serum kontrol positif (1,0915
IU/ml).
Saran
Saran yang dapat disampaikan setelah pelaksanaan penelitian ini ialah
sebagai berikut:
1 Diharapkan sampel dapat diperoleh dari semua wi