Natural resource conflicts on iron sand mining area: an implication study of regional autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province)

(1)

(STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)

KUS SRI ANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Kus Sri Antoro P052080041


(3)

KUS SRI ANTORO. Natural Resource Conflicts on Iron Sand Mining Area: An Implication Study of Regional Autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and ARIF SATRIA.

The social transformation of coastal community in Kulon Progo District, Yogyakarta Province, as a result of ecosystem transformation, has occurred since 1980. These processes take place gradually as the progress of indigenous knowledge and supported by the subsistent local livelihood activities. The local government publishes the mining policy on the coastal area to earn native local income. The impacts of the policy not only triggers the natural resource conflicts between local community; local government; and private sector, but also threaten the sustainability of community’s knowledge evolution; ecosystem; and the local community existence. A qualitative research was conducted to analyzed the natural resource conflicts, power relation, and develop conflicts resolution, used Theory of Decentralization, Theory of Property Rights, Theory of Conflict, and Theory of Human Ecology on the political ecology perspective as conceptual analysis. The concept of Governmentality was used to analyzed the empirical dimensions i.e. : 1) the agrarian structure, 2) the political processes of natural resource policy, 3) the structure of conflict, and 4) the relation of power on natural resource control. The results are that 1) natural resource conflicts are caused by both of material grounds (agrarian structure, decentralization) and immaterial grounds (political economy, partiality), its existence are manifest and latent, 2) the political processes of natural resource policy indicate the involvement of political economy of global economic actor in the context of agrarian changes, 3) the complexity of structure of conflicts are on the level of power, policy, and community, and 4) the power relations of conflicting actors are mutual, conflictual, and neutral. The conclusions are 1) the structure of natural resource conflicts in Kulon Progo District could characterize as multi actors, multi dimensions, multi arenas, and multi matters, manifest and latent, perennial and temporal conflicts, 2) the web of power relations of natural resource in Kulon Progo district are an articulation of agrarian structure, political process of natural resource policy, and the structure of conflicts that occur on decentralized political system, 3) the ecological crisis in Kulon Progo District is connected to social political crisis, and 4) the alternative of natural resource policy in Kulon Progo district is difficult to develop due to the absence of equality, transparency, and trust on the conflicting actors.

Keywords: agrarianstructure, policy processes, conflicts, power relation, governmentality


(4)

Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN AND ARIF SATRIA

Perubahan sosial, sebagai akibat dari perubahan ekosistem, telah terjadi pada masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1980. Proses-proses ini terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan setempat yang didukung oleh aktivitas matapencaharian secara subsisten. Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Kebijakan tersebut tidak hanya memicu konflik antara pemerintah, masyarakat, dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan evolusi pengetahuan, ekosistem, dan eksistensi masyarakat. Penelitian ini bertujuan 1) menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, 2) menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam, 3) menganalisis hubungan konflik sumberdaya alam dan krisis-krisis sumberdaya alam dan sosial politik, 4) merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya alam. Metodologi yang digunakan ialah kualitatif intersubyektif, dengan menggunakan konsep Governmentality sebagai alat analisis bagi 1) struktur penguasaan sumberdaya alam, 2) proses politik kebijakan sumberdaya alam, 3) struktur konflik sumberdaya alam, dan relasi kekuasaan atas sumberdaya alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) konflik sumberdaya alam disebabkan oleh faktor yang berdimensi material, yaitu sistem politik dan struktur agraria, dan faktor yang berdimensi immaterial, yaitu politik ekonomi dan ketidakadilan, konflik bersifat laten dan manifest, 2) proses politik kebijakan menunjukkan keterlibatan kepentingan ekonomi politik dari agen ekonomi global dalam konteks perubahan-perubahan agraria, 3) struktur konflik bersifat kompleks dan terjadi pada aras kekuasaan, kebijakan, dan komunitas, dan 4) relasi-relasi kekuasaan atas sumberdaya alam dari pemerintah, masyarakat, dan swasta bersifat mutual, konfliktual, dan netral. Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) struktur konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo bersifat multiaktor, multidimensi, multidimensi, multimateri, manifest dan laten, serta sementara dan berlangsung terus-menerus, 2) jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo terbentuk melalui artikulasi struktur penguasaan sumberdaya alam, proses politik kebijakan, dan struktur konflik sumberdaya alam, 3) konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo berhubungan secara sinergis dengan krisis sumberdaya alam dan krisis sosial politik setempat, dan 4) alternative pengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo sulit


(5)

Kata kunci: struktur agraria, proses politik kebijakan, struktur konflik, relasi kekuasaan, governmentality


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan kritik, atau tinjauan

suatu masalah.

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(7)

(STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)

KUS SRI ANTORO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

(10)

Karya tulis ini dipersembahkan khususnya untuk Paguyuban Petani

Lahan Pantai Kulon Progo, semoga menjadi bagian dari semangat

kebangkitan perjuangan kaum tani di Indonesia menuju keadilan

agraria.


(11)

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah konflik-konflik sumberdaya alam, dengan judul Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah membimbing penulis dalam proses belajar di IPB.

2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua Komisi Pembimbing penulis, sehingga penyusunan tesis dapat terselesaikan sebaik-baiknya. 3. Dr. Arif Satria, SP., MSi. Anggota Komisi Pembimbing yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Satyawan Sunito, Penguji Luar Komisi Pembimbing yang telah menguji dan memberi masukan yang sangat berarti bagi penyempurnaan tesis ini.

5. Dr. Ir. Lailan Syufina, MSc. Ketua Tim Penguji Tesis yang telah memberi masukan dalam ujian tesis penulis.

6. Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman teori dan metodologi ekologi politik.

7. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman konsep kelembagaan dan kebijakan sumberdaya alam.

8. The Indonesian International Education Foundation (IIEF) penyelenggara

International Fellowship Program-Ford Foundation yang penulis ikuti dan penyandang dana penulis selama studi di IPB.

9. Segenap pihak yang telah berkenan menjadi sumber informasi bagi penelitian ini.

10.Kedua orang tua penulis yang begitu sabar dan penuh dedikasi mendidik penulis dalam kesederhanaan. Kedua saudara penulis yang telah mendukung kelancaran proses belajar penulis. Anak-anak yang penulis asuh, yang mengubah tanggungjawab menjadi daya gerak dan semangat hidup bagi penulis.

11.Para sejawat, kerabat, dan sahabat penulis yang senantiasa menyemangati dengan doa.

Dengan segala keterbatasannya, penulis menyadari karya ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik yang membangun atas karya ini akan sangat berarti. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2010 Kus Sri Antoro


(12)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Oktober 1979 dari ayah Samidjan dan ibu Sunarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 10 Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi.

Pada tahun 2001-2004 penulis belajar secara informal kepada komunitas-komunitas gerakan organik di Jawa (khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta); hingga pada 2004-2008, bersama beberapa kolega, penulis memfasilitasi pelatihan –pelatihan pertanian berkelanjutan secara independen di beberapa daerah di Jawa.

Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan studi strata satu dan pada saat yang sama penulis lolos seleksi dalam International Fellowship Program untuk melanjutkan jenjang pendidikan magister yang diselenggarakan oleh The Indonesian International Education Foundaton (IIEF) dan dibiayai oleh Ford Foundation.

Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Beberapa aktivitas di luar akademik yang pernah penulis ikuti adalah

Working Group of Yogyakarta-Central Java Postdisaster Rehabilitation 2006-2007 di bawah koordinasi Food and Agriculture Organization.


(13)

Judul Tesis : Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Nama : Kus Sri Antoro

NIM : P052080041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua

Dr. Arif Satria, SP. MSi. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, MS. Tanggal Ujian: 16 Agustus 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS..


(14)

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

DAFTAR

SINGKATAN

x

1.

PENDAHULUAN

1

1.1

Latar Belakang

1

1.2

Perumusan Masalah

4

1.3

Tujuan

5

1.4

Ruang

Lingkup

Penelitian

5

2.

TINJAUAN PUSTAKA

7

2.1.

Sejarah Ekonomi Politik Sumberdaya Alam

7

2.2.

Teori Desentralisasi

10

2.3.

Teori

Penguasaan

Sumberdaya

Alam 12

2.4.

Teori

Konflik 17

2.5.

Teori

Ekologi

Manusia

19

2.6.

Kerangka

Konseptua

l 29

3.

METODOLOGI

PENELITIAN

32

3.1.

Sifat

dan

Jenis

Penelitian

32

3.2.

Tempat

dan

Waktu

Penelitian 32

3.3.

Tahapan

Penelitian

33

3.4.

Rancangan

Penelitian 34

4.

HASIL

DAN

PEMBAHASAN

37

4.1.

Kondisi

Umum

Lokasi

Penelitian

37

4.1.1.

Profil

wilayah

37

4.1.2.

Sejarah Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

42

4.1.3.

Kultur

Politik

49

4.1.4.

Konstelasi

Ekonomi

Politik

52

4.1.5.

Ikhtisar

53

4.2.

Struktur

Penguasaan

Sumberdaya

Alam

54

4.2.1.

Sejarah Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta


(15)

vi 

64

4.2.4.

Ikhtisar

70

4.3.

Proses

Politik

Kebijakan

Sumberdaya

Alam 73

4.3.1.

Proses-proses di Aras Internasional

73

4.3.2.

Proses-proses di Aras Nasional dan Lokal

75

4.3.3.

Proses-proses Legalisasi Pertambangan Pasir Besi

80

4.3.4.

Ikhtisar

94

4.4.

Struktur

Konflik

Sumberdaya

Alam

100

4.4.1.

Aras Konflik

100

4.4.2.

Aktor-aktor

yang

Berkonflik

105

4.4.3.

Materi

Konflik

106

4.4.4.

Arena Konflik

108

4.4.5.

Eksistensi dan Dinamika Konflik

108

4.4.6.

Ikhtisar

110

4.5.

Relasi

Kekuasaan

atas

Sumberdaya

Alam

115

4.5.1.

Aktor-aktor

115

4.5.2.

Peran Aktor

116

4.5.3.

Sifat

Hubungan

Interaksi

116

4.5.4.

Ikhtisar

118

4.6.

Konsep

Governmentality

121

4.6.1.

Pengertian

Governmentality

121

4.6.2.

Perbedaan Hegemoni dan

Governmentality

122

4.6.3.

Governmentality

pada Struktur Penguasaan

Sumberdaya Alam di lokasi penelitian

123

4.6.4.

Governmentality

pada Proses Politik Kebijakan


(16)

vii 

4.6.6.

Governmentality

pada Relasi Kekuasaan

atas Sumberdaya Alam di lokasi penelitian

124

4.6.7.

Ikhtisar

124

4.7.

Keterbatasan

Penelitian

124

5.

KESIMPULAN

DAN

SARAN

127


(17)

viii 

Halaman

Tabel 1. Perbedaan

Theory of Property Rights

dan

Theory of Access

17

Tabel 2. Perbedaan antara ekologi politik dan politik ekologi

21

Tabel

3.

Batasan-batasan

ekologi

politik

24

Tabel

4.

Batas

wilayah

Kabupaten

Kulon

Progo

38

Tabel 5. Karakteristik topografi Kabupaten Kulon Progo

39

Tabel 6. Kependudukan kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo

39

Tabel 7. Identifikasi status tanah dan luasannya di kawasan pesisir

Kabupaten

Kulon

Progo

63

Tabel 8. Struktur penguasaan sumberdaya alam

di

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

72

Tabel 9. Proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian

96

Tabel 10. Perbandingan materi produk hukum dan implikasinya

dalam proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian

98

Tabel 11. Struktur konflik sumberdaya alam di lokasi penelitian

113

Tabel 12.Perbedaan perspektif dalam Teori

Modernisasi

Ekologi

114

Tabel 13. Relasi kekuasaan atas sumberdaya alam di lokasi

penelitian

120


(18)

ix 

Halaman

Gambar 1. Struktur Penguasaan sumberdaya

empirik 10

Gambar 2. Ginealogi evolusi pengetahuan

ekologi

politik

22

Gambar

3.

Bagan

alir

kerangka

konseptual

31

Gambar

4.

Peta

Kabupaten

Kulon

Progo

38

Gambar 5. Peta rencana tata ruang wilayah

Kabupaten

Kulon

Progo

kawasan

budidaya

41

Gambar 6. Peta rencana tata ruang wilayah

Kabupaten

Kulon

Progo

kawasan

lindung 42

Gambar

7.

Wilayah

swapraja

1830

44

Gambar

8.

Wilayah

swapraja

1945

44

Gambar 9. Struktur penguasaan sumberdaya alam

di

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

71

Gambar 10. Lokasi konsesi pertambangan pasir besi

di

Kabupaten

Kulon

Progo

82

Gambar 11. Proses politik kebijakan sumberdaya alam


(19)

Halaman

Lampiran 1. Surat perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda

dan Kasultanan Yogyakarta 18 Maret 1940

137

Lampiran 2. Letter of Intent International Monetary Fund

15

Januari

1998

154

Lampiran 3. Surat kontrak politik Bupati Kulon Progo dan

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten

Kulon

Progo

tahun

2007

171

.Lampiran 4. Surat Kanjeng Gusti Paku Alam IX tahun 2003

172

Lampiran 5. Hasil perbandingan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

2009-2029

dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029

173

Lampiran 6 Hasil Evaluasi Menteri Dalam Negeri

atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029

191

Lampiran 7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

No

5

Tahun

1954 205

Lampiran 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia

No

33

Tahun

1984

217

Lampiran 9. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


(20)

xi 

ADB

Asian Development Bank

AMDAL

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

BAKESBANGPOL

Badan Kesatuan Kebangsaan Politik

BAPPEDA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Bappedal

Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan

BLH

Badan

Lingkungan

Hidup

BPN

Badan

Pertanahan

Nasional

DIY

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

DPR

Dewan

Perwakilan

Rakyat

DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

ESDM

Energi dan Sumber Daya Mineral

FAO

Food and Agriculture Organization

HB

Hamengku

Buwono

IMF

International Monetary Fund

JLSJ

Jalan Lintas Selatan Jawa

JORC

Joint Ore Reserves Committee

KA ANDAL

Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan

KK

Kontrak

Karya

KOMNAS HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

LANTAMAL

Pangkalan Utama Angkatan Laut

LINMAS Perlindungan

Masyarakat

LSM

Lembaga

Swadaya

Masyarakat


(21)

xii 

MoU

Memorandum of Understanding

NKRI

Negara

Kesatuan Republik Indonesia

ORBA

Orde

Baru

OTDA

Otonomi

Daerah

PAG

Paku Alamanaat Ground

PEMDA

Pemerintah

Daerah

PERDA

Peraturan

Daerah

PERDA

Peraturan

Daerah

PP

Peraturan

Pemerintah

PU

Pekerjaan

Umum

RPERDA Rancangan

Peraturan

Daerah

RTRWK

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

RTRWN

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

RTRWP

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

RUUK

Rancangan

Undang-undang

Keistimewaan

SDA

Sumberdaya

Alam

SG

Sultanaat Ground

TNC

Transnational Corporation

TNI

AL

Tentara

Nasional Indonesia Angkatan Laut

UGM

Universitas

Gadjah

Mada

UNDP

United Nations Development Programme


(22)

xiii 

VOC

Vereenigde Oostindische Compagnie


(23)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses perubahan sosial telah terjadi pada masyarakat pesisir Kulon Progo sebagai akibat dari perubahan ekosistem sejak tahun 1980. Proses perubahan sosial tersebut terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan komunitas lokal yang didukung oleh semangat bertahan hidup secara subsisten. Pertama, mereka memunculkan gagasan untuk mengubah lahan pasir pantai menjadi lahan hortikultura yang produktif dengan memanfaatkan potensi air tawar yang tersimpan pada kedalaman 3-6 m. Kedua, mereka memasuki era agribisnis dengan didukung oleh penguatan kelembagaan setempat.

Sistem politik desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola sumberdaya daerah secara otonom. Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemda Kabupaten Kulon Progo menggulirkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut tak hanya menimbulkan konflik sumberdaya alam (SDA) antara komunitas lokal; Pemda; dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi komunitas lokal. Butir-butir yang menjadi isu dalam konflik tersebut antara lain:

a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir

Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia yang mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami. Rencana pertambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2) erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka (Kompas, April 2008d).


(24)

b. Penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman

Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan, dan jaringan). Rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan pemukiman (Mulyono, 2008).

c. Penghapusan lapangan kerja

Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008c).

d. Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokok

Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara 17.548 ton/ bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok harian, yaitu cabai.

e. Remarjinalisasi secara sistematis

Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa remarginalisasi kawasan baik secara sosial maupun lingkungan, karena komunitas telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena:

1. Pesisir Kulon Progo merupakan ekosistem unik karena mempunyai fungsi ekologi (benteng tsunami dan cadangan air tawar) dan fungsi sosial ekonomi (faktor bagi perubahan sosial).

2. Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kulon Progo terjadi dalam struktur sosial, politik, dan budaya yang khas dan lebih rumit daripada daerah lain di Indonesia, sehingga hasil penelitian diharapkan memberi manfaat bagi upaya penyelesaian konflik serupa di daerah lain.


(25)

3. OTDA dan pembangunan berkelanjutan layak diuji untuk menemukan bentuk yang adaptif terhadap kepentingan multipihak, terutama dalam hal akses SDA sehingga keadilan lingkungan dan keadilan sosial terdekati. 4. Produksi pengetahuan tentang hubungan manusia dengan alam yang

mampu menerangkan akar dan situasi masalah—dalam hal ini adalah konflik pemanfaatan ruang dan SDA dan relasi kekuasaan antarpihak atas SDA, belum banyak dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kabupaten Kulon Progo merupakan manifestasi empirik dari jejaring kekuasaan atas SDA yang dapat diamati. Penelitian ini diawali dari dugaan bahwa kebijakan pertambangan pasir besi hanya sebagai pemicu konflik, sedangkan akar konflik dan arena konflik secara potensial telah ada secara laten. Akar konflik dan arena konflik berjalinan membentuk jejaring kekuasaan yang selalu diperbaharui oleh setiap pihak yang terlibat. Dengan demikian, penjelasan ekonomi politik atas relasi-relasi kekuasaan atas SDA yang terbentuk di aras lokal, regional, dan nasional perlu ditemukan. Beberapa pertanyaan pemandu untuk menemukan masalah di lokasi penelitian adalah:

1. Apa makna ekologis, sosial, dan ekonomi politik kebijakan pertambangan pasir besi bagi negara, rakyat, dan pasar?

2. Bagaimana situasi penguasaan SDA dari masa ke masa?

3. Bagaimana kekuasaan dioperasikan oleh kelompok dominan terhadap kelompok subordinat untuk menciptakan hegemoni?

4. Apakah ketiga hal tersebut di atas dapat mendorong rekayasa menuju bentuk pengelolaan SDA yang relatif adil untuk negara, rakyat, dan pasar? 

         


(26)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA 2. Menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas SDA.

3. Menganalisis hubungan konflik SDA dan krisis-krisis SDA dan sosial politik.

4. Merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan SDA.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Perubahan ekosistem, dalam konteks ekologi manusia, lebih disebabkan oleh keputusan-keputusan politik daripada proses-proses alami. Kekuasaan baik itu dalam struktur maupun jejaring kekuasaan atas SDA menjadi faktor yang menentukan arah perubahan ekosistem. Struktur kekuasaan atas SDA tampak sebagai struktur penguasaan SDA dan sistem politik (dalam penelitian ini, penggunaan istilah SDA dan Agraria mengacu pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya berbasis tanah, istilah SDA dipilih semata-mata untuk menjaga konsistensi penulisan). Jejaring kekuasaan atas SDA tampak sebagai proses politik kebijakan dan relasi kekuasaan dalam mengatur pemanfaatan SDA. Konflik-konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo akan dibatasi dengan mengkaji:

1. Struktur penguasaan SDA. 2. Proses politik kebijakan SDA. 3. Struktur konflik pemanfaatan SDA. 4. Relasi kekuasaan atas SDA.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA

Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan Wiradi, 1999).

Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman, 1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi (dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan karena kepentingan (mutualistik atau konflik).

Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban administrasi oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelangsungan perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000). Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat       

1 Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaituhak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial.

2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).


(28)

sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA) melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro, 1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi, seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan Setiawan, 2004).

Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal, keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA.

Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar (developmentalism). Pertentangan antara pusat dan daerah; kewenangan yang tumpang tindih; kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan penurunan


(29)

kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia (Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah:

1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak atas tanah dan SDA lain.

2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA.

3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA yang dimaksud.

4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA.

Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe (mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan investasi US $ 600 juta untuk pertambangan dan US $ 1,1 M untuk infrastruktur5.

Relasi kekuasaan di masa OTDA secara teoritis membuka kesempatan kepada negara, pasar, dan masyarakat untuk berposisi relatif setara satu sama lain. Akan tetapi, relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang muncul justru penguatan watak hubungan mutualistik antara negara dan pasar       

3 Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di PTS Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta.

4 Proyek Pertambangan Pasir Besi, PT JM, 2008

5 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10 tahun pertama, dan sebesar 2 % pada periode selanjutnya diberikan untuk Regional Development

dan Community Development senilai US $9.6 juta/tahun (dengan asumsi harga pig iron tahun 2007, yaitu US $320/ton). Pembagian keuntungan antara pemerintah Indonesia dengan TNC (investor) ialah 30 % : 70 % (Sumber: Anonim, 2008).


(30)

sebagai agen kapitalisme (negara-kapitalis), sejalan dengan marjinalisasi masyarakat (Gambar 1). Meskipun struktur penguasaan SDA empiris mengarah pada hegemoni negara-kapitalis (kelompok dominan) kepada rakyat, namun sesungguhnya kekuasaan tidaklah dimiliki oleh kelompok dominan secara mutlak, kekuasaan tidak terpusat melainkan tersebar. Hal ini tampak sebagai bentuk-bentuk perlawanan rakyat pada kebijakan pertambangan pasir besi itu dengan membentuk organisasi akar rumput (Grass Root Organization, GRO) dengan agenda politis.

Gambar 1. Struktur Penguasaan SDA Empiris (sumber Sitorus dan Wiradi, 1999)

Keterangan:

Hubungan interaksi Negara dengan Pasar yang mutualistik. Hubungan interaksi Negara-kapitalis dengan Masyarakat yang bersifat hegemonik, melalui marjinalisasi.

Hubungan produksi Negara-kapitalis dengan SDA yang berorientasi pasar.

Hubungan produksi Masyarakat dengan SDA yang melemah.

2.2 Teori Desentralisasi

Friedman membatasi desentralisasi6 sebagai pembagian kewenangan; tanggungjawab; atau fungsi oleh pemerintah di level lebih tinggi (pusat) kepada       

6 Desentralisasi dibedakan dengan devolusi (desentralisasi politik) dan dekonsentrasi (desentralisasi administrasi) dalam hal sifat otonomi dari daerah otonom secara politik dan administrasi. Devolusi menuntut pelimpahan otoritas politik secara penuh, sedangkan dekonsentrasi pelimpahan administrasi tanpa otoritas politik. Desentralisasi di Indonesia berada di antara kedua kutub kepentingan devolusi dan dekonsentrasi, sehingga ada pembatasan otoritas daerah secara politik maupun administrasi (Imawan, 2005: 41-43). Pemilihan bentuk pemerintahan

Negara Pasar


(31)

pemerintah di level lebih rendah (daerah)7 (Imawan, 2005: 40). Definisi serupa dikemukakan oleh Litvack dan Seddon8 serta Rondinelli dengan penekanan pada pengalihan kekuasaan politik (transfer of political power), sehingga desentralisasi bertujuan politik sebagai bagian dari demokratisasi untuk pencapaian efisiensi dan efektivitas secara administratif (Wasistiono, 2005: 61).

Demokratisasi dibatasi sebagai proses perubahan struktur politik otoriter menjadi struktur politik yang memungkinkan diversifikasi kekuasaan (Imawan, 2005:43). Demokratisasi muncul sebagai reaksi atas kesenjangan kekuasaan dalam tata negara, yang ditandai dengan penyempitan partisipasi rakyat oleh pemerintah9. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, bentuk demokratisasi muncul sebagai gagasan good governance10.

Good governance dipopulerkan secara efektif oleh oleh World Bank dalam

Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth (1989) (Pratikno, 2005).

Governance dibatasi oleh World Bank sebagai cara pemerintah (the act of government) menggunakan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya dalam pembangunan11, dan oleh UNDP sebagai penggerakan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara pada semua level12. Konsekuensi dari penerimaan gagasan governance ini adalah 1) ruang pemerintahan tidak didominasi oleh pemerintah, tetapi membuka keterlibatan civil        

sebagai Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan, bukan Negara Federal, merupakan bukti pemaknaan desentralisasi di Indonesia yang berbeda dengan konsep devolusi dan dekonsentrasi. 7…a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit that is assumed to have some degree of authority (Freidman dalam Shabbir 1983:35 cit.

Imawan, 2005:40).

8 The transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private sector (Litvack dan Seddon, 1992: 2 cit. Wasistiono, 2005:61).

9 Laporan Johannen dan Gomez (Democratic Transition in Asia, 2001) mengenai demokratisasi di Asia, dan Gunther et al. (The Politics of Democratic Consolidation, 1995) mengenai demokratisasi di Eropa Selatan menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi nasional untuk menampung aktor-aktor baru (non pemerintah) dalam politik menjadi awal gelombang demokratisasi (Imawan, 2005: 44).

10 Pemahaman atas good governance dimudahkan oleh Thompson dengan menghadirkan istilah kebalikannya, yaitu bad governance yang dicirikan dengan 1) ketiadaan batas yang tegas antara sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi, 2) ketiadaan aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang kondusif bagi pembangunan,3) regulasi yang berisiko pada ekonomi berbiaya tinggi, 4) ketiadaan prioritas pembangunan yang konsisten, dan 5) ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan (Ibid: 46).

11 The way state power is used in managing economic and social resources for development society (Wasistiono,2005: 54).

12 The exercise of political , economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels (Ibid).


(32)

society dan private sector, 2) peran negara tidak lagi regulatif, melainkan fasilitatif, 3) pembangunan berkelanjutan dilaksanakan atas prasyarat legitimasi politik dan konsensus, dan 4) perampingan birokrasi. Dengan demikian, desentralisasi merupakan sistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya

governance menurut definisi World Bank maupun UNDP. Pelibatan sektor swasta dan masyarakat sipil dibangun atas asumsi bahwa pemerintah merupakan sumber kegagalan pembangunan, sehingga pemerintahan yang baik (good governance)13 adalah yang less government14(Praktikno, 2005).

Pemaknaan good governance oleh World Bank sebagai sound development management dirumusan melalui Washington Consensus15 yang memengaruhi kebijakan pembangunan Indonesia di akhir 1990an. Good governance versi sound development management dikatakan oleh Peters (2001:21) cit. Praktino (2005) sebagai pemerintahan model deregulasi (deregulated government) atau pemerintahan model pasar (market government). Demokratisasi dijalankan dengan memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara.

2.3 Teori Penguasaan SDA (Land Tenure)

Jaminan atas hak kepemilikan (property rights) menjadi salah satu butir dalam good governance. Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral

      

13 UNDP mengajukan 9 kriteria good governance sebagai berikut: 1) partisipasi (participation), 2) penegakan hukum (rule of law), 3) transparansi (transparency), 4) daya tanggap (responsiveness), 5) berorientasi pada consensus (consensus orientation), 6) kesetaraan (equity), 7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness and efficiency), 8) akuntabilitas (accountability), dan 9) visi strategis (strategic vision).

14 Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber bagi kepemerintahan yang buruk (bad governance) karena dalam operasionalisasi World Bank tidak representatif dan merupakan sistem non pasar yang tidak efisien (Weiss, 2000:801 cit. Pratikno, 2005: 235).

15 Zhang (2003:127) cit. Pratikno (2005: 238) mengemukakan bahwa Washington Consensus merupakan ideologi neoliberlisme Amerika Serikat yang sejak 1980an mengendalikan kekuatan globalisasi (US-originated ideology of neo-liberalism, which, since 1980s, has been the driving force for globalization). Washington Consensus dihasilkan dari pertemuan tiga lembaga keuangan raksasa (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS) dengan butir-butir good governance

sebagai berikut:1) disiplin fiskal, 2) konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), 3) reformasi perpajakan dengan perluasan basis pajak dan tarif pajak moderat, 4) bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, 5) liberalisasi perdagangan, 6) nilai mata uang yang kompetitif, 7) keterbukaan pada intervensi asing, 8) privatisasi perusahaan negara dan daerah, 9) deregulasi , dan 10) jaminan hukum untuk hak kepemilikan (property rights).


(33)

atas hak-hak yang muncul dari pencampuran buruh dan tanah16, sedangkan pendapat oposannya, Marx17, memandang bahwa kepemilikan adalah pemberian. Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon (1849)18 dan MacPherson (1978)19 memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Maine (1917) cit. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada pihak lain. Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights

itu sebagai berikut:

1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners).

2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.

5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan       

16 …property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156).

17 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157)

18One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155).

19 …a right in the sense of an enforceable and supported by society through law, custom, or convention (Ibid).


(34)

merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

Menurut sifat kepemilikan dan aktornya, FAO (2002) membagi kepemilikan SDA menjadi empat kategori, yaitu:

1. Kepemilikan privat

Hak atas sesuatu yang melekat pada seseorang, sekelompok orang, atau badan hukum, pemilik dapat mengambil manfaat sepenuhnya atas apa yang dimilikinya. Contoh: pekarangan yang dimilki oleh sebuah rumah tangga.

2. Kepemilikan komunal

Hak atas sesuatu melekat pada sekelompok masyarakat tertentu di suatu kawasan secara bersama-sama, anggota masyarakat lain dapat turut mengambil menfaat jika diijinkan oleh masyarakat yang terlekati hak tersebut. Contoh: hutan adat suatu kelompok masyarakat.

3. Kepemilikan negara

Hak atas sesuatu yang melekat pada negara dan pertanggungjawabannya diserahkan pada aparat negara sektoral. Kewenangan negara dalam mengakses sesuatu mengatasi kewenangan pribadi atau komunal. Contoh: hutan negara.

4. Open acces

Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat mengambil manfaat atas sesuatu itu. Contoh: udara.

Ellsworth (2002) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan (property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)20. Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian tenurial, yaitu:

      

20 Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah

property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya,


(35)

a. Aliran Property Rights

Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah:

1) Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital. 2) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan

hak kepemilikan.

3) Ketimpangan kepemilikan tidak akan terjadi sejauh dilakukan kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya.

4) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk dilakukan.

Aliran pemikiran ini digerakkan oleh ekonomi pasar bebas dan banyak dianut oleh pakar hukum dan ekonomi di Indonesia.

b. Aliran Agrarian Structure Tradition

Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini.

c. Aliran Common Property Advocates

Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan

open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa :

1) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan.

2) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut.


(36)

3) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan hukum positif.

4) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat ekonomi.

Pengelolaan secara adat/berbasis masyarakat atas suatu sumberdaya adalah contoh dari penganutan aliran ini, misalnya sasi.

d. Aliran Institutionalist

Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro pada rejim-rejim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami bentuk rejim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini, kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk menegakkan dan mempertahankan klaim. Rejim Agrarian Structure Tradition dan

Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rejim penguasaan.

Jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers) (Peluso dan Ribot, 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung.


(37)

2.4 Teori Konflik

Kekuasaan dan konflik SDA dijelaskan oleh Teori Konflik Dahrendorf yang menyatakan bahwa konflik bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan (Vago, 1989). Kekuasaan tidak tercermin pada pemilikan alat produksi semata, tetapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam kontrol perilaku dan wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran (legitimate).

Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Otoritas tidak bersifat stabil, hal ini karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative (mutlak), masyarakat tampak sebagai asosiasi yang dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Suatu ketika seseorang berada pada posisi superordinat, di suatu ketika yang lain ia berada di posisi subordinat. Kepentingan menjadi konsep kunci untuk memahami posisi aktor sosial dan berikut otoritasnya. Kepentingan dikategorikan oleh Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (kepentingan tersembunyi yang telah disadari). Berdasarkan kesamaan kepentingannya, Dahrendorf membagi kelompok menjadi 1) kelompok semu (quasi group), yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan sama, 2) kelompok kepentingan, yaitu agen riil dari konflik kelompok, dan 3) kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Kategorisasi kelompok ini berguna untuk memetakan aktor berdasarkan kepentingannya, terutama pada konflik di berbagai aras (multilevel conflict), baik pada ranah material maupun ranah proses kebijakan.

Dahrendorf mengemukakan bahwa konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan, akan tetapi penjelasan yang cukup baik mengenai fungsi konflik dijelaskan oleh Coser, The Function of Social Conflict (1956). Coser menyatakan bahwa 1) konflik dapat mempererat kelompok yang semula


(38)

terstruktur secara longgar, 2) konflik dapat membantu dalam pembangunan kohesi sosial melalui aliansi, 3) konflik dapat meningkatkan peran individu yang semula terisolasi, dan 4) konflik dapat membantu fungsi komunikasi pihak yang berkonflik demi suatu solusi.

Kelemahan metodologis Teori Konflik Dahrendorf adalah bersifat makroskopik, sehingga konflik-konflik di tingkat individu atau yang bersifat internal terabaikan. Randall Collins, dalam Conflict Sociology (1975), mencoba membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif dengan mengamati tingkat mikro karena menurutnya stratifikasi dan organisasi didasarkan atas hubungan timbal balik dari hidup keseharian21. Berdasarkan pemikiran Marx mengenai keterlibatan kondisi material dalam pencarian nafkah masyarakat modern, Collins berpendapat bahwa 1) aktor yang mempunyai kontrol atas sumberdaya akan lebih mampu menafkahi hidupnya secara lebih memuaskan daripada aktor yang tidak memiliki kontrol sehingga ia menjual tenaganya untuk dapat mengakses alat produksi, 2) kelas sosial dominan lebih mampu mengembangkan kelompok sosial ketimbang kelas sosial subordinat, dan 3) kelas dominan lebih mampu mengembangkan simbol dan sistem ideologi yang dipaksakan kepada kelas subordinat.

Menilik kembali bagian sebelumnya tentang pembentukan struktur penguasaan SDA, kekuasaan (otoritas), posisi, dan kepentingan sebagai konsep-konsep kunci dalam Teori Konflik Dahrendorf digunakan untuk memahami hubungan interaksi aktor-aktor sosial dalam struktur penguasan sumber-sumber agraria. Sedangkan dalam perspektif Marxian, hubungan aktor-aktor sosial (material forces of production: capital, technology, human) dengan sumber agraria tersebut berupa hubungan produksi (relations of productions) yang dapat membentuk kerangka kesadaran sosial (superstructures and the ideas). Di dalam kerangka pemikiran seperti apakah hubungan manusia-alam itu terbentuk berikut sifatnya, diuraikan lebih lanjut dalam Teori Ekologi Manusia.

      

21 Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya (Collins) terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari (Collins, 1990:72 cit. Ritzer dan Goodman, 2003: 160).


(39)

2.5 Teori Ekologi Manusia A.Sejarah Disiplin Ekologi Politik

Ekologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan (Odum, 1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi komponen-komponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya SDA, biologi menyebutnya lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Teori Ekologi Manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik22.

Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi manusia dengan lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam mengubah karakteristik suatu lingkungan (Moran, 2006)23. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas, teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria, konflik pemanfaatan SDA, gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007). Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan (Dharmawan, 2007), yang menekankan pada ekonomi politik SDA dan hubungan-      

22 Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis lingkungan penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetik, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia.

23 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia karya Clifford Geertz (1983) merupakan karya klasik mengenai antropologi ekologi yang banyak dikenal di Indonesia.


(40)

hubungan kekuasaan atas SDA (Blaikie, 1985; Bryant, 1998; Forsyth, 2003; dan Peluso, 2006). Ginealogi evolusi pengetahuan yang melahirkan ekologi politik tersaji pada Gambar 2.

Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan metodologi24. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi kepastian hukum (Garner, 1999). Perbedaan utama antara ekologi politik (political ecology) dan politik ekologi (ecological politics/environmental politics) adalah sebagai berikut:

      

24 Environmental politics is a research field within political science that applies traditional political question to environmental matters…political ecology encompasses a wider understanding of politics than is traditionally found in environmental politics. Political ecology assesses the implications of a politicised environment (Bryant and Bailey, 2000:17)


(41)

Tabel 1. Perbedaan antara Ekologi Politik dan Politik Ekologi

Pembeda Ekologi Politik

Politik Ekologi

Tema sentral Ekologi Politik

Ranah kajian dominan Ilmu

Lingkungan dan pembangunan, geografi, sosiologi

Ilmu politik

Fokus Manajemen kekuasaan atas SDA

Manajemen SDA

Hasil Kelembagaan SDA

Kebijakan SDA


(42)

Keterangan: interaksi, hasil, cabang

Gambar 2. Ginealogi Evolusi Pengetahuan Ekologi Politik

Biologi‐Kimia‐Fisika

Antropologi  Ekologi 

Antropologi Ekologi Sosiologi 

Sosiologi Lingkungan 

Ekologi Politik  (Political Ecology) 

Ekonomi Politik 

Politik

Politik Lingkungan  (Environmental Politics


(43)

B.Definisi Ekologi Politik

Batasan ekologi politik mengacu pada tujuan pengkajian obyek formal. Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitikberatkan pada interaksi antara ekologi dan ekonomi politik25, Russet (1967) memberi batasan ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan lingkungan fisik26, Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan pencermatan pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya27. Beberapa batasan ekologi politik berikut tujuannya disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini merujuk pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu ekologi politik sebagai pendekatan untuk memahami hubungan-hubungan yang kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan matapencaharian.

      

25 The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ). 26As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3).

27Political ecology, like the Marxist-inspired workers’ movement, is based on a critique—and thus an analysis, a theorized understanding, of the “order of things”. More specifically, Marx and the greens focus on a very precise sector of the real world: the humanity-nature relationship, and even more precisely, relations among people that pertain to nature (or what Marxists call the productive forces)(Ibid: 4 ).


(44)

Tabel 2. Batasan-batasan Ekologi Politik

Sumber Batasan Tujuan

Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Dharmawan (2007)

Combines the concerns of ecology and a broadly defined political

economy.

Explain environmental change in terms of constrained local and regional production choices within global political economic forces largely within a third world and rural context.

Watts (2000) dalam Robbins (2004)

An approach to

understand the complex relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for

environmental health and sustainable livelihoods

Explain environmental conflict especially in terms of struggles over

“knowledge, power, and practice” and “politics, justice, and governance”.

Bryant dan Bailey (1997) dalam Forsyth (2003)

A debate focuses on interactions between the state, non state aktors, and the physical environment.

Assesses the implications of a politicized environment.


(45)

C.Pendekatan-pendekatan Ekologi Politik

Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi sehingga melahirkan rantai penjelasan (Neomarxian)28, 2) fase kedua, yaitu pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan29 sehingga melahirkan jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas SDA (Neoweberian), 3) fase ketiga ialah pendekatan post-strukturalis30 yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan (Foucauldian)31. Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis. Lebih lanjut, Bryant menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie       

28 Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Blaikie (1985)

29 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan

Perlawanan di Jawa karya Peluso (2006).

30 Post-strukturalisme sebagai bagian dari Postmodernisme memfokuskan diri dalam kerja pewacanaan pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Bahasa atau narasi sebagai pintu masuk sistem pengetahuan, selanjutnya sistem pengetahuan membentuk kesadaran (kerangka pemikiran, paradigma, ideologi). Sistem pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Struktur bahasa tertentu merefleksikan struktur kekuasaan tertentu, misalnya dalam struktur Bahasa Jawa ada hirarki Kromo Inggil, Kromo Madya, dan Ngoko yang digunakan oleh pengguna dari struktur sosial yang berbeda-beda. Kromo Inggil digunakan oleh bawahan kepada majikan, atau kepada orang yang dituakan atau dihormati, Kromo Madya digunakan dalam relasi yang lebih setara, dan Ngoko digunakan oleh majikan kepada bawahan, atau sesama bawahan sebagai ciri bahasa kelas rendah. Kosakata dalam Kromo Inggil tidak menyediakan kata-kata umpatan, sedangkan dalam Ngoko kata-kata itu tersedia, sehingga seorang bawahan tidak dapat melakukan protes secara lugas atau mengemukakan kekecewaannya kepada majikan. Perbedaan Postmodernisme dan Post-strukturalisme adalah Postmodernisme berorientasi pada kritik kebudayaan, sedangkan Post-strukturalisme berkonsentrasi pada metodologi dan epistemologinya, dapat berupa dekonstruksi, penggalian makna dan simbol/narasi, atau analisis wacana (discourse analysis). Post-strukturalisme merupakan kritik sekaligus lanjutan dari Strukturalisme (dalam kerangka menemukan struktur). Strukturalisme membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara oposisi (oposisi biner, seperti: borjuis-proletar, penindas-tertindas, manusia-non manusia, lelaki-perempuan). Kritik utama Post-strukturalisme terhadap Strukturalisme 1) tentang makna adalah bahwa makna tidaklah bersifat stabil, melainkan dalam proses, 2) tentang kebenaran bahwa setiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran yang direproduksi melalui a) wacana yang diterima, b) mekanisme penyalahan, dan c) alat sanksi, dan d) dialektika yang mengukuhkan rezim dengan proses-proses pendisiplinan atau rutinisasi.

31 Whose Knowledge, Whose nature? Biodiversity, Conservation, and The Political Ecology of Social Movements karya Escobar (1998) adalah contoh dari tradisi ini.


(46)

dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial.

Penelitian ini secara metodologis lebih dekat pada tradisi dari fase ketiga, dengan menekankan pada bentuk-bentuk hegemoni yang berangkat dari penggalian makna dan narasi (tidak sampai pada analisis wacana dan dekonstruksi). Hegemoni menurut Gramsci adalah penguasaan moral dan intelektual kelompok dominan terhadap kelompok subordinat secara konsensual, muara hegemoni adalah kontrol ideologi (Patria dan Arif, 1999; Roger, 1999; dan Sugiono, 1999). Relasi pengetahuan dan kekuasaan dijelaskan oleh Foucault sebagai dua sisi yang saling melengkapi32 keduanya (pengetahuan dan kekuasaan) pada akhirnya direproduksi dalam rangka menciptakan hegemoni namun dalam konteks post-struktural. Hegemoni dengan pendekatan Gramsci mempunyai keterbatasan untuk diterapkan pada kekuasaan yang tersebar, sementara gagasan knowledge/power Foucault terlampau jauh untuk mewadahi praktik-praktik yang mengarah pada hegemoni.

Transisi metodologi dari hegemoni struktural Gramsci menuju relasi kekuasaan post-struktural Foucault diperlukan. Alur tersebut akan dibangun melalui Teori Kelas Dahrendorf, Teori Akses Peluso, hingga kemunculan gagasan Governmentality33.

      

32Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault. Discipline and Punishment, London, Tavistock, 1977, p27.)

33 Governmentality berbeda konsep dengan Government, Governance, dan Governability. Government (pemerintah) adalah aktor penyelenggara pemerintahan. Governance

(kepemerintahan) adalah tata laksana penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah, lebih mengacu pada tatakelola. Governability (the capacity of government to govern) adalah kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan. Government, Governance, dan

Governability merupakan istilah-istilah dalam administrasi publik dan ilmu kepemerintahan yang berkaitan dengan bagaimana suatu pengelolaan institusi bernama negaradiselenggarakan oleh aktornya (lihat Praktikno, 2005; Wasistiono, 2005; dan Imawan, 2005). Governmentality adalah konsep yang diturunkan dari filsafat kekuasaan Foucault menyangkut ‘conduct of conduct’, dapat dipahami sebagai (www.wikipedia.org):


(47)

Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan sebagai pembeda kelas sosial dan sumber konflik34, teori konflik Dahrendorf memungkinkan perluasan kajian menuju relasi-relasi kekuasaan dibandingkan dengan teori konflik Marx yang membatasi pada penguasaan alat produksi.

Kelembagaan SDA merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum mengenai hak-hak atas SDA. Hak atas SDA di Indonesia mengacu pada teori kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan permasalahan utama konflik sumberdaya bukanlah hak, melainkan akses yang menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers)35. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang         1) The way governments try to produce the citizen best suited to fulfill those governments'

policies,

2) The organized practices (mentalities, rationalities, and techniques) through which subjects are governed

3) The "art of government" (Burchell 78), 4) "Governmental Rationality" (Gordon 1991: 1),

5) A ‘guideline’ for the analysis [Foucault] offers by way of historical reconstructions embracing a period starting from Ancient Greece (sic) through to modern neoliberalism”(Lemke 2) 

6) “The Techniques and strategies by which a society is rendered governable” (Jones 174) 

Li (2007) menggali makna Governmentality melalui penelusurannya atas asumsi-asumsi Foucault tentang kekuasaan, yaitu:1) Pemerintahan diterapkan pada tubuh sosial (populasi, masyarakat) dengan jalan pendisiplinan berupa pendidikan, penataan kebiasaan; aspirasi; dan kepercayaan, hal ini dikarenakan tidak mungkin mendisiplinkan tubuh sosial dengan alat-alat pendisiplinan bagi tubuh individu (sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara). 2) Tujuan pendisiplinan adalah agar tubuh sosial mengikuti kehendak pengendali dengan cara mengikuti kehendak diri sendiri (yang telah disesuaikan dengan kehendak penguasa). 3) Kehendak untuk memerintah (the will to govern), lebih khusus lagi kehendak untuk merekayasa (the will to improve) bersifat ekspansif. 4) Tujuan dari pemerintahan bukan tunggal dan dogmatis dan diselenggarakan dengan berbagai bentuk taktik yang melahirkan pembenaran (a way of thinking about government as the “right manner of disposing things” in pursuit not of one dogmatics goal , but “a whole series of specific finalties” to be achieved through “multiform tactics” [Foucault, 1991:95] dan 5) Pertanyaan analitis dari

governmentality adalah bagaimana kekuasaan dioperasikan sehingga pengendalian berjalan tanpa ada perasaan terkendali pada yang dikendalikan.

34 Lihat Vago (1989:39)


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Laporan Baseline Survey: Optimalisasi Lahan Pasir Pantai Bugel Kulon Progo untuk Pengembagan Tanaman Hortikultura dengan

Teknologi Inovatif Berwawasan Agribisnis. Fakultas Pertanian UGM,

Yogyakarta

_______, 1940. Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan

Kesultanan Yogyakarta Tertanggal 18 Maret 1940

_______.2008. Application for Contract of Works from The Government of the

Republic of Indonesia by PT JM and IM Limited.

________, 2008.. Industri Baja Terpadu Kulon Progo Jogyakarta: Aktivitas

Pertambangan Berwawasan Lingkungan, dari Pasir Besi ke Pig Iron.

Materi presentasi

Buroway, M. 1998. The extended case method. Sosiological Theory 16 (1), 4-33. Blaikie, P. 1985. The Polical Economy of Soil Erosion. Longman.New York Bryant, R. L. 1998. Power, knowledge, and political ecology in the third world: a

review. Progress in Physical Geography , 22 (1), 79-94.

Bryant, R.L. and Bailey, S.2000. Third World Political Ecology. Routledge. London

Berger, G., A.Flynn, F. Hines, and R.Johns. 2001. Ecological Modernization as a Basis for Environmental Policy: Current Environmental Discourse and Policy and The Implication on Environmental Suply Chain Management.

Innovation, Vol 14 (1). 55-72

Beck, U.. 2005. Risk Society Towards a New Modenity (Mark Ritter, Translator). SAGE Publications. London

Dharmawan, A.H. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik. Sodality Vol 1, No 1, April 2007. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, 1-40 .


(2)

Darmosugito. 1956. Sedjarah Kota Yogyakarta Dalam Kota Yogyakarta 200

Tahun, 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Jogjakarta: Panitya Peringatan

Kota Jogjakarta 200 Tahun.

Ellsworth, L.. 2002. A Place in The World: Tenure Security and Community

Livelihoods, a Literature Review. Forest Trends and Ford Foundation.

Escobar, A. 1998. Whose knowledge, whose nature? biodiversity, conservation, and the political ecology of social movements. Journal of Political

Ecology 5, p 53-82. jpe.library.arizona.edu

FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. Roma

Fisher, D. and William R. Freudenburg. 2001. Insights and Applications, Ecological Modernization and Its Critics: Assesing The Past and Lookng Toward The Future. Society and Natural Resources, 14: 701-709

Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology The Politics of Environmental

Science. Routledge. London.

________2008. Political ecology and the epistemology of social justice.

Geoforum 39, pp 756-764

Foucault, M., 1977. Discipline and Punishment, Tavistock, London Garner, R. 1999. Environmental Politics. MacMillan. London

Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta

Hardiman, Fx.B. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat,

Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius.

Yogyakarta

IMF. 1997. Letter of Intent October 17, 1997. _____, 1998. Letter of Intent January 15, 1998

Iman Rejo, 1996. Laporan Perintis Lingkungan Hidup Gisik Wana Tara Dusun Bugel Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo Propinsi DI

Yogyakarta. Tanpa Penerbit.

_________, 1999.Teknologi Pertanian dan Agroindustri: Sumur Renteng. tanpa penerbit, Yogyakarta.


(3)

Imawan, R.. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 40-51

Kartodiharjo, H. Politik Lingkungan dan Kekuasaan. Equinox. Jakarta

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 Tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY

Kontan Weekly (2008). No 10 XIII. Amri, Asnil Bambani. “Pembayun: Itu Bukan Tanah Warga”. Minggu 14 Desember 2008.

Kompas (2008a). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Yang Muda, Yang Bertani” Jumat, 11 April 2008

__________ (2008b). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Berguru Hidup pada Gumuk Pasir”. Jumat, 11 April 2008

___________ (2008c). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan” Jumat, 11 April 2008

___________ (2008d). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo” Jumat, 11 April 2008

____________ (2009a). Kristanto, T.A. “Sejarah Panjang Pengaturan Otonomi” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 43 (kolom 1-7)

___________(2009b). Isworo, B. “Kacamata Kuda dan Hancurnya SDA” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 42 (kolom 1-7)

____________ (2009c). Sumantri,B.S. “Hubungan Pusat-Daerah: Kewenangan Tumpang Tindih Menjadi Tidak Produktif”. Jumat, 22 Mei 2009 hal 41:(kolom 1-5)

Li, T. M. 2002. Engaging Simplification: Community-Based Resource Management (CBNRM) , Market Processes and State Agendas in Upland Southeast Asia. World Development Vol 30 (2) pp265-283.

_______. 2007. Governmentality. Anthropologica 49 (2) 275-281

________. 2003. Situating resource struggles concepts for empirical analysis.

Economic and Political Weekly, November 29, 2003. Pp 5120-5128

Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar Candra T. 2009.


(4)

Mol, A.P.J. and Gert Spaargaren. 2000. Ecological Modernization Theory in Debate: A Review. Environmental Politics 9 (1) 17-49

Moran, E. F. 2006. People and Nature. Blackwell. Oxford

Mulyono, 2006. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon

Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa

Depan Aset Bangsa”, di UMY Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta

Menteri Dalam Negeri, 2010. Hasil Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029,

tertanggal 16 Februari 2010.

Odum, E. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders. Philadelphia

Poerwokoesoemo, S. 1985. Kadipaten Paku Alaman, Gadjah Mada Univerity Press, Yogyakarta

Patria, N. dan A. Arief. 1999. Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan

Perlawanan di Jawa. Konpahlindo. Jakarta

________, and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) , pp 153-181

Praktikno. 2005. Good Governance dan Goernability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik 8 (3) Maret 2005. p 231-248

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 4 Tahun 1954 Tentang Hak atas Tanah di DIY Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984 Pelaksanaan Berlaku

Sepenuhnya UUU No 5 Tahun 1960 Di Propinsi DIY

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2010

Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029

Ritzer, G. dan D. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.(Terjemahan). MacGrawHill

Robbins, P. (2004). Political Ecology A Critical Introduction. Blacwell. Malden Roger, S.. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Insist dan Pustaka Pelajar.


(5)

Schlager, E. and E. Ostrom. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conseptual Analysis, Land Economics 68(3), p 249-262 Setiawan, U. 2004. Menemukan pintu masuk untuk keluar (Relevansi Tap MPR

No 9/MPR/2001, UUPA No 5/1960, dan Keppres 34/2003 bagi pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia). Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004. pp 65-83

Soemarjan, S. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Shiddieq, D., Tohari, B. Djadmo, D. Kastono, Saparso, Sulakhudin, dan Y.G. Bulu. 2008. Pertanian Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai Selatan DIY. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

Sitorus, F.M.T. (1998). Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. IPB: Bogor

______ dan Wiradi (1999) “Kata Pengantar” dalam SMP Tjondronegoro.

Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung

Sugiono, M. 1999. Krtitik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia

Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Sumarti, T. 2007. Sosiologi Lingkungan Dalam Ekologi Manusia (Suryo Adiwibowo Ed.) Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor

Suryo, D. 2004. Penduduk dan PErkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. The 1st International Conference on Urban History Surabaya, August 23-25 2004.

Surjomihardjo, A. 1989. Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tahun ke-3 No 1.p 17-27.

UU No 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta UU No 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria

UU No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(6)

UU No 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Batubara

UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup Vago, S. 1989. Social Change, Prentice Hall

Wasistiono, S. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 51-63 Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. AKATIGA,

SAINS, KPA.

www. wikipedia.org/governmentality diakses 21 Januari 2010. _________./social_constructionism. diakses 21 Januari 2010

Ya’kub, A. 2004. Agenda Neoliberal menyusup melalui kebijakan agraria di Indonesia. Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004, pp 47-64