Laporan Akhir FEASIBILITY STUDY KLASTER

Laporan Akhir

FEASIBILITY STUDY

KLASTER INDUSTRI BERBASIS PERTANIAN DAN

OLEOKIMIA DI KUALA ENOK

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS ISLAM RIAU Bekerjasama BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI RIAU

Puji dan syukur dipersembahkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya jualah maka laporan feasibility study klaster industri berasaskan pertanian dan oleokimia di Kabupaten Indragiri Hilir di Kecamatan Tanah Merah Kuala Enok kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Riau dengan Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau Pekanbaru Tahun Anggaran 2010 telah dapat diselesaikan dengan baik. Semoga hasil kajian ini dapat menjadi pedoman dan dasar Pengembangan Kawasan Indusri Kuala Enok yang lebih baik untuk masa yang akan datang.

Laporan ini disusun dengan melibatkan berbagai pihak baik dari Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Daerah maupun masyarakat di sekitar kawasan. Untuk itu kami mengucapakan terima kasih atas bantuan baik berupa administrasi, data maupun informasi lainnya yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan laporan ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Provinsi Riau yang telah memberikan kepercayaan kepada Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau untuk melaksanakan kegiatan ini .

Laporan ini telah disusun dengan sebaik mungkin dan apabila terdapat kekurangan ataupun kesalahan itu diluar kemampuan kami. Untuk itu tim penulis sangat mengharapkan kritikan dan sumbang saran untuk perbaikan dan kesempurnaan kajian ini. Akhir kata kami ucapkan semoga data dan informasi yang tertuang dalam laporan akhir ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Pekanbaru, Desember 2010

Tim Peneliti

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 3.1. Pola Penggunaan Lahan Pada Kawasan Industri ............................

54 3.2. Alokasi Lahan Pada Kawasan Industri .............................................

55 3.3. Standar Teknis Pelayanan Umum di Kawasan Industri ................

56 4.1. Jenis Data dan Cara Pengumpulannya Dalam Studi Kelayakan

Penentuan Kawasan Calon Lokasi Industri Di Kuala Enok …........ 66 5.1. Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Tanah Merah ………

71 5.2. Luas Wilayah Kecamatan Tanah Merah …………………..……….

73 5.3. Jumlah Penduduk Kecamatan Tanah Merah 2010 ………………...

75 5.4. Jumlah Sarana dan Tenaga Kesehatan di Kecamatan Tanah Merah

76 5.5. Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kecamatan Tanah

Merah ............................................................................................... 77 5.6. Jumlah Koperasi di Kecamatan Tanah Merah ................................

78 5.7. Pengendalian Lingkunan Hidup di Kecamatan Tanah Merah ......

79 5.8. Pelayanan Administrasi Umum Kecamatan Tanah Merah ……….

79 5.9 Perkembangan Penanaman Modal Kecamatan Tanah Merah ……

80 5.10. Sarana dan Prasarana Umum di Kecamatan Tanah Merah ….

80 5.11. Perindustrian di Kecamatan Tanah Merah …………………………

81 5.12. Luas Wilayah Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 ………..…..

83 2.13. Panjang Jalan Kabupaten dan Jembatan Menurut Jenis Permukaan

di Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 …………………………. 83 5.14. Jarak antara Ibukota Kecamatan ke Desa/Kelurahan Kabupaten tahun 2008 ……………………………………………………………...

84 5.15. Jumlah Rumah Tangga dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 ……………………………..

85 5.16. Jumlah Sarana Pendidikan menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 ………………..……………

87 5.17 Jumlah Guru Menurut Desa/Kelurahan dan Jenjang Pendidikan Di Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 …………………………….

87 5.18. Jumlah MDI, MTsN, MDA menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 …………..………………...

5.19. Jumlah Tenaga Medis Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 ……………………………………………

89 5.20. Banyaknya Sarana dan Prasarana Kesehatan Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 ………………………………………….………….

89 5.21. Banyaknya Sarana Ibadah di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008

90 5.22. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 …..

91 5.23. Ekspor dan imporKelapa Sawit, Minyak Kacang Kedelai dan

Kelapa (Kopra) .......................................................................................... 92 5.24. Export CPO Provinsi Riau 2005-2009 …………………………………

97 5.25. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit

Di Kabupaten Indragiri Hilir dan Provinsi Riau, 1975 – 2007 ……. 99 5.26. Jumlah Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) Provinsi Riau, 2010

100 5.27. Export dan Import Produk Eleokimia Indonesia, 2005-2009 .............

105 5.28. Penggunaan Lahan di Kawasan Klaster Industri Kuala Enok ….

112 5.29. Perbandingan Perkiraan Biaya Pembangunan Jalan dengan

Per kerasan Lentur (Flexible) dan Perkerasan Kaku (Rigid) ……….. 119 5.30. Panjang dan Kondisi Jalan di Kuala Enok ……………………………

119 5.31. Jenis dan Kapasitas Instruktur di Pelabuhan Kuala Enok ………….

121 5.32. Nama Anak-anak Sungai yang Bermuaraa ke Sungai Enok dan

Sungai Patah Parang …………………………………………………… 129 5.33. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan Kecamatan Sungai Batang dan Kecamatan Tanah Merah Pada Tahun 2008 …………….

131 5.34. Palm Biomassa Generated in Year 2005 ………………………………

135 5.35. Ultimate Analysis of Solid Oil Palm Residues ……………………….

136 5.36. Nilai Energy Thermal Limbah Sawit di Beberapa Daerah Riau …...

137 5.37. Energi yang Dihasilkan dari Limbah sawit …………………………..

137 5.38. Evaluasi Lokasi Lahan Industri Di Kuala Enok Kabupaten

Indragiri Hilir ………………………………………………………….. 140 5.39. Kriteria Keyakan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

143 Kriteria Kelayakan Pabrik Inti Kelapa Sawit

5.41. Kriteria Kelayakan Pabrik Biodiesel dari Olein .......................... 144

5.42. Kriteria Kelayakan Pabrik Biodiesel dari Stearin ……………… 144

5.43. Kriteria Kelayakan Industri Olein (Minyak Goreng)-Stearin … 145

5.44. Kriteria Kelayakan Pabrik Fatty Acid………………………….. 145

5.45. Kriteria Kelayakan Industri Fatty Alcohol……………………. 146

5.46. Kriteria Kelayakan Industri Surfaktan MES (Metil Ester 146 Sulfonat) ............................................................................................

5.47. Kriteria Kelayakan Industri Sabun……………………………... 147

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 3.1. Kerangka Strategi Pengembangan IHKS di Indonesia ...................

9 3.2. Model Berlian Porter …………………………………………………

12 3.3. Rangkuman Konsep Klaster Industri ……………………………….

15 3.4. Neraca Massa Pengolahan Kelapa Sawit ……………………………

22 3.5. Contoh Produk IHKS …………………………………………………

23 3.6. Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Produk

25 Pangan ………………………………………………………………….

3.7. Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Biodisel …… 27 3.8. Teknologi Proses Pengolahan Minyak Kelapa Sawit Menjadi

29 Produk Oleokimia …………………………………………………… 3.9. Ilustrasi Kasus Penurunan Muatan .....................................................

37 3.10. Keuntungan Lokasi Industri berdekatan dengan Pasar ...................

38 4.1. Kawasan Industri Kuala Enok ..............................................................

63 5.1. Pelabuhan Agro Industri Kelapa PT. Pulau Sambu Kuala Enok ....

70 5.2. Pelabuhan Agro Industri Kelapa PT. Pulau sambu Kuala Enok …..

72 5.3. Po hon Nipah Sepanjang Sungai……………………………………….

82 5.4. Jumlah Ekspor Minyak Nabati Tahun 2009 ……………………….....

93 5.5. Jumlah Impor Minyak Nabati Tahun 2009 …………………………..

94 5.6. Jumlah Ekspor Kelapa Sawit Indonesia tahun 2009 ……………….

95 5.7. Jumlah Ekspor K elapa Sawit Malaysia tahun 2009 …………………

96 5.8. Ekspor CPO Propinsi Riau tahun 2005- 2009 ………………………...

97 5.9 Peata Pembangunan Kawasan Industri Kuala Enok ……………….

109 5.10. Peta Penggunaan Lahan di KAwasan Industri Kuala Enok ………

111 5.11. Peta Aksesi bilitas Lokasi Kawasan Kluster Industri ………………

114 5.12. Pelabuhan Samudra Kuala Enok ……………………………………

120 5.13. Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan …………………………………

125 5.14. Preserpoil PDAM Kuala Enok yang dibangun oleh PT. Pulau

127 Sambu ………………………………………………………………….. 5.15. Instalasi Air Bersih dari Waduk PT. Pulau Sambu …………………

128 5.16. Gambar Tandan Buah Segar (TBS) …………………………………..

132

1.1 Latar Belakang

Provinsi Riau memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar dan beragam mencakup sumberdaya lahan, hutan, air dan mineral. Sumberdaya alam ini merupakan modal utama dan fundamental untuk pelaksanaan aktivitas pembangunan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya alam yang dieksploitasi secara terus menerus akan mengalami penyusutan dan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungannya. Penyusutan sumberdaya alam tersebut secara kuantitatif akan mengurangi cadangan (stok), namun demikian apabila sumberdaya alam tersebut dioptimal fungsikan dapat menciptakan cadangan baru.

Sebagai wilayah yang memiliki potensi sumberdaya lahan yang cukup luas, Provinsi Riau juga merupakan daerah yang mempunyai perkembangan peratanian khususnya perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat peningkatannya dari aspek luas areal tanam, yakni hampir mencapai 40 (empat puluh) persen dari luas total perkebunan kelapa sawit nasional. Peningkatan luas areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari adanya peningkatan permintaan pasar ekspor minyak kelapa sawit disamping untuk pemenuhan dan penggunaan industri dalam negeri. Kondisi ini mendorong semakin luasnya upaya ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau dan jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan persoalan-persoalan ketimpangan pasar serta masalah lingkungan lainnya.

Berdasarkan fakta dan kondisi di atas, maka dirasa perlu untuk dilakukan pengkajian kelayakan pembangunan klaster industri berbasis pertanian dan oleochemical di Provinsi Riau. Hal ini baik secara langsung Berdasarkan fakta dan kondisi di atas, maka dirasa perlu untuk dilakukan pengkajian kelayakan pembangunan klaster industri berbasis pertanian dan oleochemical di Provinsi Riau. Hal ini baik secara langsung

1.2. Tujuan, Sasaran dan Manfaat

1.2.1. Tujuan Kegiatan ini bertujuan:

a. Melakukan kajian kelayakan klaster industri berbasis pertanian dan olechemical di Kawasan Industri Kuala Enok.

b. Mengetahui kelayakan pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit baik industri inti, terkait maupun penunjang.

1.2.2. Sasaran Tersusunnya detail rencana kawasan industri hilir kelapa sawit serta kelayakan klasterisasi industri inti, terkait dan penunjang terutama dari ketersediaan bahan baku.

1.2.3. Manfaat

a. Terwujudnya klaster industri hilir kelapa sawit di Kawasan Industri Kuala Enok.

b. Diketahunya kelayakan industri hilir kelapa sawit dari aspek potensi ketersediaan bahan baku, potensi pengembangan industri lanjutan, aspek sarana dan prasarana pendukung, kesesuaian lokasi, ketersediaan sumerdaya manusia/tenaga kerja, pendanaan, aspek ekonomi/pasar, sosial dan budaya serta kelayakan lingkungan di Provinsi Riau.

c. Terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis industri hilir kelapa sawit yang dapat diturunkan menjadi berbagai produk bernilai tambah guna meningkatkan perekonomian masyarakat di Provinsi Riau.

d. Meningkat penerimaan negara dan daerah, terserapnya tenaga kerja, serta sebagai upaya pengendalian harga TBS dan CPO sehingga dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat di Provinsi Riau.

1.3. Luaran Kegiatan (output)

Luaran (output) dari Kegiatan ini berupa:

a. Dokumen kelayakan klaster industri hilir kelapa sawit pada kawasan industri Kuala Enok Provinsi Riau dalam bentuk cetakan (Hard copy) dan dalam bentuk Digital (Soft copy).

b. Album Peta (detail rencana) lokasi dalam bentuk cetakan ukuran A-3 dan dalam bentuk soft copy.

c. Dokumen data-data lapangan dan hasil analisis pengolahan data berikut image processing pemetaan.

2.1. Lingkup Wilayah

Wilayah studi mencakup lokasi yang dicadangkan sebagai kawasan industri di Kuala Enok.

2.2. Lingkup Materi

Lingkup materi Feasibility Study Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit yaitu penilaian kelayakan kawasan untuk dijadikan sebagai klaster industri berbasis industri hilir kelapa sawit dan ketersediaan bahan baku.

2.3. Pemetaan Kawasan

Identifikasi luasan kawasan untuk dijadikan sebagai klaster industri hilir kelapa sawit serta melakukan penyusunan site plan.

2.4. Analisis Pemanfaatan Produk Kelapa Sawit.

Dilakukan untuk mengetahui besarnya cadangan/stok produk kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai bahan baku yang dapat diturunkan, antara lain:

a. Produk Turunan (CPO) (industri inti): produk turunan CPO selain minyak goreng kelapa sawit dapat menghasilkan margarine, shortenings, vanaspati (vegetable ghee), ice creams, bakery fats, instant noodle, sabun dan detergen, cocoa butter extender, chocolate dan coatings, specialty fats, dry soap mixes, sugar confectionary, biscuit cream fats, filled milk, lubrication, textiles oil dan bio diesel. Khusus untuk biodiesel permintaan akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan semakin meningkat, terutama dengan diterapkannya kebijaksanaan di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk menggunakan renewable energy.

b. Produk turunan minyak inti sawit (inustri terkait): Dari produk turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan shortenings, cocoa butter substitute, b. Produk turunan minyak inti sawit (inustri terkait): Dari produk turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan shortenings, cocoa butter substitute,

c. Produk Turunan Oleochemicals kelapa sawit (industri terkait): dari produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleochemical dapat dihasilkan methyl esters, plastic, textile processing, metal processing, lubricant, emulsifers, detergent, glicerine, cosmetic, explosives, pharmaceutical products dan food protective coatings.

3.1 Konsep Klaster Industri

3.1.1 Definisi Klaster

Dalam Undang –Undang RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), pemerintah secara eksplisit merumuskan kebijakan pembangunan industri jangka panjang yang salah satunya diarahkan pada pembentukan klaster industri nasional. Filosofi yang melatarbelakangi pembentukan klaster industri tersebut adalah dalam rangka meningkatkan daya saing, mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan serta mendorong pemanfaatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Dengan demikian, industri nasional diharapkan semakin efisien, mandiri, kuat dan memiliki keunggulan bersaing dalam menghadapi era persaingan bebas.

Istilah ―klaster (cluster)‖ mempunyai pengertian harfiah sebagai kumpulan, kelompok, himpunan, atau gabungan obyek tertentu yang memiliki keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu. Dalam konteks ekonomi/bisnis, ―klaster industri (industrial cluster)‖ merupakan terminologi yang mempunyai pengertian khusus tertentu. Walaupun begitu, dalam literatur, ist ilah ―klaster industri‖ diartikan dan digunakan secara beragam. Berikut adalah beberapa contoh definisi klaster industri,yaitu :

1. Kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa, atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD, 2000);

2. Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry (Deperindag, 2000);

3. Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis satu dengan 3. Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis satu dengan

4. Aglomerasi dari industri yang bersaing dan berkolaborasi di suatu daerah, yang berjaringan dalam hubungan vertikal maupun horizontal, melibatkan keterkaitan pembeli-pemasok umum, dan mengandalkan landasan bersama atas lembaga-lembaga ekonomi yang terspesialisasi (EDA, 1997);

5. Kelompok/kumpulan secara sektoral dan geografis dari perusahaan yang meningkatkan eksternalitas ekonomi (seperti munculnya pemasok spesialis bahan baku dan komponen, atau pertumbuhan kelompok keterampilan spesifik sektor) dan mendorong peningkatan jasa-jasa yang terspesialisasi dalam bidang teknis, administratif, dan keuangan (Ceglie dan Dini, 1999);

6. Hubungan erat yang mengikat perusahaan-perusahaan dan industri tertentu secara bersama dalam beragam aspek perilaku umum, seperti misalnya lokasi geografis, sumber-sumber inovasi, pemasok dan faktor produksi bersama, dan lainnya (Bergman dan Feser, 1999);

7. Michael Porter mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena ―kebersamaan (commonalities) dan komplementaritas‖ (Porter, 1990);

8. Klaster merupakan jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi), agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara/bridging institution (broker, konsultan) dan pelanggan, yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah (Roelandt dan den Hertog, 1998);

9. Klaster merupakan suatu sistem dari keterkaitan pasar dan non pasar antara (a system of market and nonmarket links) perusahaan-perusahaan dan lembaga yang terkonsentrasi secara geografis (Abramson, 1998);

10. Klaster merupakan konsentrasi perusahaan dan lembaga yang bersaing, berkolaborasi dan saling bergantung yang dihubungkan dengan suatu sistem keterkaitan pasar dan non pasar (UK DTI, 1998b, 2001).

Klaster industri bersifat macro level, less detail dan strategic level dimana banyak terdapat kebijakan-kebijakan, serta faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi klaster industri sehingga diperlukan sebuah pendekatan yang mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dalam sistem. Pengembangan klaster industri seharusnya tidak dari nol, melainkan diawali dengan upaya identifikasi sejauh mana kondisi calon klaster industri yang ada saat ini, seperti bagaimana kelengkapan komponen klaster disepanjang rantai nilai mulai industri hulu hingga industri hilir, serta sejauhmana stakeholder atau pelaku yang telah ada telah menjalankan fungsi dan peranannya dalam penciptaan nilai tambah secara keseluruhan.

Klaster industri dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan perusahaan dan institusi yang saling terkait dan bergantung satu dengan lainnya dan benar-benar dapat melakukan interaksi sinergis dalam suatu jaringan mata rantai proses penciptaan nilai tambah dengan faktor kedekatan geografis. Porter (1980) juga mengembangkan definisi klaster industri sebagai sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang tertentu yang secara geografis berdekatan, bekerjasama karena kesamaan dan saling memerlukan. Klaster industri tidak hanya sekedar untuk tujuan lobby atau sekumpulan perusahaan dan institusi yang bekerja sama karena kedekatan lokasinya, akan tetapi yang penting adalah pembentukan klaster industri karena memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan daya saing produknya.

Klaster industri merupakan mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan industri terutama dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan industri kecil dan perusahaan besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional, akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster industri. Kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan klaster industri di daerahnya akan mendukung keberhasilan suatu klaster Klaster industri merupakan mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan industri terutama dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan industri kecil dan perusahaan besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional, akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster industri. Kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan klaster industri di daerahnya akan mendukung keberhasilan suatu klaster

Sumber: Biosurfactant IPB, 2009 Gambar 3.1 Kerangka Strategi Pengembangan IHKS di Indonesia

Pemanfaatan hasil industri kelapa sawit tidak hanya berbentuk CPO dan PKO yang sebagian besar masih diekspor saat ini. Untuk meningkatkan utilitas Pemanfaatan hasil industri kelapa sawit tidak hanya berbentuk CPO dan PKO yang sebagian besar masih diekspor saat ini. Untuk meningkatkan utilitas

Antara efek yang dapat diperoleh dari pengembangan IHKS adalah:

a. Meningkatkan daya saing IHKS. Semakin banyaknya IHKS yang dibangun di Indonesia dengan CPO/PKO 70 persen akan menambah daya saing di pasaran internasional. Hal ini disebabkan oleh komoditas yang diekspor berupa barang jadi seperti minyak goreng, kosmetik, pupuk dan produk turunan lainnya.

b. Peningkatan tanaman pangan dan energi nasional. Ransangan terhadap pengembangan perkebunan sangat dirasakan apabila sektor pemasaran Tandan buah segar (TBS) maupun CPO domestik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pasaran dunia, disamping adanya dukungan pemerintah terhadap sektor ini. Kemudahan ini dapat memacu pertumbuhan tanaman pangan nasional baik secara kuantitas dan kualitas. Disamping peningkatan ketahanan pangan asional juga pada peningkatan ketersediaan energi nasional sejalan dengan peningkatan ketersediaan energi yang terbarukan terutama yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit, seperti tandan kosong, cangkang sawit dan serat dapat dimanfaatkan sebagai sumber energy untuk pembangkit listrik. Disamping energi yang dimanfaatkan untuk produksi IHKS juga menjadi pasokan energi bagi masyarakat.

c. Peningkatan perolehan devisa. Keterlibatan sektor swasta dalam dan luar negeri dalam industri ini dapat memberikan sumbangan pendapatan negara. Diantaranya ialah pendapatan pajak pendapatan perusahaan dan pajak ekspor – impor dan peningkatan penerimaan dari pajak c. Peningkatan perolehan devisa. Keterlibatan sektor swasta dalam dan luar negeri dalam industri ini dapat memberikan sumbangan pendapatan negara. Diantaranya ialah pendapatan pajak pendapatan perusahaan dan pajak ekspor – impor dan peningkatan penerimaan dari pajak

d. Peningkatan nilai tanbah (value added). Fatty acid, fatty alcohol, margarine, mayonais, sabun, surfaktan, dan PLTBS merupakan output dari IHKS yang mempunyai nilai tambah yang besar. Bentuk nilai tambah tersebut telah meningkatkan utilitas dan harga jual lebih tinggi. Hal ini merupakan indikator adanya kemampuan suatu negara dalam memanfaatkan teknologi produksi.

e. Penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan IHKS akan berkorelasi positif dengan penyerapan tenaga kerja. Untuk mengantisipasi peningkatan permintaan tenaga kerja dalam IHKS maka perlu adanya kebijakan untuk meningkatkan kemampuan (skill) mereka, ini bertujuan supaya tenaga kerja yang terlibat dalam IHKS tidak lagi tenaga kerja dari luar negeri. Maka lembaga pendidikan dan pelatihan mempunyai peranan penting dan harus melakukan peningkatan kemampuan dalam rangka memenuhi kebutuhan permintaan tenaga kerja di IHKS kedepan.

3.1.2 Model Klaster Industri

Berbagai model untuk mempelajari klaster industri telah dikembangkan oleh berbagai peneliti dan pakar selama beberapa dekade terakhir ini. Salah satu model yang sering dijadikan acuan dan rujukan dalam pengembangan klaster industri adalah Model Berlian Porter ( Porter’s Diamond Model). Konsep ―the four diamond ‖ Porter ini mengajukan empat faktor yang saling terkait dan merupakan penentu keunggulan daya saing suatu industri, yaitu:  Strategi perusahaan, struktur dan persaingan,  Kondisi permintaan,  Kondisi faktor,  Industri terkait dan pendukung.

Porter juga menambahkan faktor chance dan government dalam model berlian tersebut, dimana kedua faktor tambahan ini bukanlah determinan tetapi berpengaruh terhadap keempat determinan di atas. Keenam faktor tersebut secara bersamaan membentuk sebuah sistem yang berbeda dari suatu lokasi dengan lokasi yang lain, dan hal ini menjelaskan mengapa beberapa perusahaan (industri) hanya berhasil di suatu lokasi tertentu saja. Tidak semua faktor harus optimal dalam menjamin keberhasilan sebuah perusahaan atau industri.

Chance

Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan (Firm Strategy, Structure, and Rivalry)

Kondisi Faktor Kondisi Permintaan (Factors Condistions)

(Demand Factors)

Industri Terkait dan Pendukung (Related and

Pemerintah

Supporting Industries )

Gambar 3.2 Model Berlian Porter

Lebih detail, masing-masing faktor dari model berlian Porter dapat dijelaskan sebagai berikut.  Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan (firm strategy, structure, and

rivalry ) merupakan suatu kondisi yang menentukan bagaimana perusahaan rivalry ) merupakan suatu kondisi yang menentukan bagaimana perusahaan

 Kondisi permintaan (demand conditions) merupakan sifat permintaan domestik (home demand) untuk produk (barang dan/atau jasa) dari industri

yang bersangkutan. Porter mengemukakan bahwa inti penting dari faktor ini adalah komposisi permintaan domestik merupakan ―akar‖ bagi keunggulan daya saing, sementara ukuran dan pola pertumbuhannya dapat memperkuat keunggulan tersebut dengan mempengaruhi perilaku investasi, timing , dan motivasi. Hal lain yang juga turut berkontribusi adalah mekanisme internasionalisasi ―penarikan‖ permintaan domestik ke luar negeri.

 Kondisi faktor (factor conditions) kondisi yang menggambarkan posisi suatu negara dalam ―faktor-faktor produksi‖ (input yang dibutuhkan untuk bersaing), seperti tenaga kerja atau infrastruktur, yang diperlukan untuk bersaing dalam suatu industri.

 Industri terkait dan pendukung (related and supporting industries), kehadiran industri-industri pendukung dan yang terkait di negara yang bersangkutan

yang memiliki daya saing (kompetitif) secara internasional. Kunci paling signifikan dalam hal ini adalah industri pendukung dan terkait yang dinilai penting bagi inovasi suatu industri, atau yang memberikan kesempatan/peluang untuk berbagi aktivitas kritis suatu industri.

Dalam model berlian tersebut, ―kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan‖ (chance events) dan pemerintah terkait dengan hal-hal di luar kemampuan perusahaan, seperti adanya penemuan murni, diskontinuitas teknologi yang besar, diskontinuitas dalam biaya input, perubahan yang signifikan dalam pasar keuangan dunia atau nilai tukar, berkembangnya permintaan regional atau dunia, keputusan politik pemerintah asing, dan peperangan.

Lyon dan Atherton selanjutnya mengatakan bahwa terdapat tiga hal mendasar yang dicirikan oleh klaster industri, terlepas dari perbedaan struktur, ukuran ataupun sektornya, yaitu:

1. Komunalitas, Keserupaan, Kebersamaan, Kesatuan (Commonality) Bisnis-bisnis beroperasi dalam bidang- bidang ―serupa‖ atau terkait satu dengan lainnya dengan fokus pasar bersama atau suatu rentang aktivitas bersama.

2. Konsentrasi (Concentration) Terdapat pengelompokan bisnis-bisnis yang dapat dan benar-benar melakukan interaksi.

3. Konektivitas (Connectivity) Terdapat organisasi yang saling terkait/bergantung (interconnected/linked /interdependent organizations) dengan beragam jenis hubungan yang berbeda.

Esensi klaster industri terletak bukan hanya pada keberhasilan mencapai ‖hasil akhir‖ tetapi juga proses penciptaan nilai (value creation) dan kekuatan rantai nilai (value chain) dari ‖keseluruhan‖ rantai nilai relevannya. Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum terdapat dua pendekatan klaster industri, yaitu: Aglomerasi, merupakan pendekatan berdasarkan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai ―keserupaan‖ aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri. Dan Michael Porter mengembangkan pola pendekatan yang lebih menyoroti ―keterkaitan‖ (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri.

Pendekatan rantai nilai dinilai ―lebih sesuai‖ terutama dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah), Pendekatan rantai nilai dinilai ―lebih sesuai‖ terutama dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah),

yang serupa. Hal yang penting dari pendekatan kedua ini adalah asumsi bahwa untuk berhasil, perusahaan tidak dapat bekerja sendiri secara terisolasi. Identik dengan ini adalah bahwa inovasi seringkali muncul dari interaksi multi pihak.

Bergman dan Feser (1999) mengungkapkan setidaknya ada 5 (lima) konsep utama yang mendukung literatur klaster industri daerah, yaitu: external economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence. Selain itu, pendekatan yang keenam adalah yang dikenal dengan efisiensi kolektif (collective efficiency). Hubungan keterkaitan antara keenam teori tersebut akan dijelaskan sebagai berikut dan seperti ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 3.3 Rangkuman Konsep Klaster Industri Gambar 3.3 Rangkuman Konsep Klaster Industri

memahami manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis tertentu, yaitu: Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan Hoover di tahun 1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut ekonomi aglomerasi, dan Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas ekonomi dan kehadirannya dalam ―kawasan industri (industrial district)‖

Teori lokasi industri Weber mengidentifikasi ekonomi aglomerasi, yaitu penghematan biaya yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan akibat dari meningkatnya konsentrasi secara spasial, sebagai salah satu dari tiga sebab utama pengelompokan spasial atau aglomerasi. Sebab-sebab tersebut merupakan eksternalitas ekonomi yang bersifat internal. Hoover selanjutnya memperkenalkan ekonomi lokalisasi dan urbanisasi. Belakangan penekanan atas keuntungan dari jarak kedekatan (proximity) antar perusahaan, ketersediaan dan penggunaan fasilitas perbaikan yang terspesialisasi, infrastruktur bersama, berkurangnya resiko dan ketidakpastian bagi para wirausahawan, dan informasi yang lebih baik, diidentifikasi sebagai faktor penting dari aglomerasi.

Sementara itu, teori Marshall mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai penghematan biaya bagi perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan output dalam industri secara umum. Eksternalitas ekonomi yang bersifat eksternal ini merupakan eksternalitas spasial, yaitu dampak samping ekonomi dari kedekatan jarak antara para pelaku ekonomi. Bentuknya bisa bersifat positif atau negatif, statik ataupun dinamik, keuangan ataupun teknologis. Faktor statik bersifat dua arah (peningkatan atau pengurangan), sementara yang dinamik adalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, meningkatnya spesialisasi, dan pembagian kerja yang menyertai atau mendorong pertumbuhan dan pembangunan.

Krugman (1991) menelaah lokalisasi produksi industri dan mengidentifikasi tiga alasan lokalisasi tersebut, yaitu:

Penghimpunan pasar tenaga kerja (labour market pooling): konsentrasi sektoral dan geografis menciptakan sehimpunan keterampilan yang terspesialisasi yang menguntungkan baik bagi tenaga kerja maupun perusahaan.

Input antara (intermediate inputs): klaster perusahaan memungkinkan adanya dukungan dari pemasok input dan jasa-jasa yang lebih terspesialisasi.

Spillover teknologi (technological spillovers) : ―klasterisasi/pengklasteran‖ memfasilitasi difusi know how dan gagasan secara cepat.

b) Lingkungan Inovasi Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999), dalam

perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan, dan interaksi serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga- lembaga riset, perguruan tinggi dan lemb aga lainnya telah menjadi ―pusat‖ dari analisis proses inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif dipandang sebagai suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil berkembang dalam suatu jaringan di mana interaksi intensif terjadi antara pelaku yang ―menghasilkan/menyediakan‖ pengetahuan dan pelaku yang ―membeli dan menggunakan‖ pengetahuan. Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional. Pandangan Lundvall (1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas pembelajaran (learning capability) dari perusahaan, lembaga-lembaga dan masyarakat pengetahuan.

Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya

Pandangan lain tentang ini adalah ―teori‖ tentang ―lingkungan inovatif (innovative milieu)‖ Maillat (lihat misalnya Fromhold-Eisebith, 2002).

Lingkungan (milieu) lebih merupakan tatanan yang mampu memprakarsai suatu proses sinergis. Pendekatan innovative/creative milieu mengasumsikan suatu endowment (anugerah) kelembagaan daerah yang baik dalam bentuk perguruan tinggi, laboratorium riset, lembaga-lembaga pendukung publik, beberapa perusahaan dan faktor lainnya sebagai prasyarat perlu, berfokus pada kekuatan-kekuatan utama yang mendorong lembaga-lembaga tersebut benar- benar berinteraksi dan terkoordinasi sedemikian sehingga membawa kepada hasil yang positif di daerah, utamanya perusahaan-perusahaan yang inovatif.

Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991), GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs) mendefinisikan innovative milieu sebagai ―sehimpunan atau jaringan komplek terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis terbatas, yang seringkali menentukan ―citra‖ khusus tertentu di luar (eksternal) dan suatu ―perwakilan/representasi‖ khusus serta rasa kepemilikan (sense of belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat (lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991), GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs) mendefinisikan innovative milieu sebagai ―sehimpunan atau jaringan komplek terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis terbatas, yang seringkali menentukan ―citra‖ khusus tertentu di luar (eksternal) dan suatu ―perwakilan/representasi‖ khusus serta rasa kepemilikan (sense of belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat (lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku

c) Kompetisi Kooperatif Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya

akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness) nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang lama (turun- temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan ―keterikatan‖ sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari komunitas sentra.

d) Persaingan/Rivalitas (Rivalry) Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang

bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah.

e) Path Dependence Model-model polarisasi, core-periphery, dan kausalitas kumulatif

semuanya merujuk kepada kecenderungan yang akan lebih memperkuat bagi daerah untuk terus maju atau mundur.

Jika teori neoklasik mengasumsikan constant returns, yang tidak memberi ruang bagi eksternalitas (mendominasi pandangan atas pandangan mainstream pertumbuhan daerah hingga tahun 1980-an), maka teori pertumbuhan baru

(new growth theory) mengasumsikan kemungkinan peran increasing returns. Teori pertumbuhan baru memandang bahwa suatu keunggulan komparatif yang terbentuk di suatu daerah atau negara (apakah karena faktor ―kebetulan,‖ distribusi sumber daya alam, ataupun fenomena yang bersifat non perilaku) akan sangat mungkin menguat sebagai akibat dari eksternalitas ekonomi.

Dalam ekonomi internasional yang ―baru‖ pun, faktor increasing returns dalam perdagangan berimplikasi pada kemungkinan pola perkembangan yang sangat terkonsentrasi secara geografis, termasuk perbedaan dalam pendapatan dan penyerapan kerja antar daerah. Eksternalitas yang berkaitan dengan pengetahuan sangat mungkin menjadi fenomena lock-in effect, yang membuat suatu daerah mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu (yang didukung oleh pengetahuan terkait yang berkembang) dibanding dengan daerah lainnya. Bagaimana kemungkinan hal ini terjadi ataupun berlanjut nampaknya lebih merupakan persoalan empiris.

Istilah path dependence dalam hal ini mengacu kepada keadaan umum di mana pilihan teknologi, walaupun nampaknya tidak efisien, inferior, ataupun yang suboptimal, akan mendominasi alternatif/pilihan lainnya dan akan ―memperkuat‖ terus (self-reinforcing), walaupun ini tak berarti bahwa dengan upaya intervensi yang cukup signifikan, hal tersebut tak dapat diubah.

Beberapa bukti empiris di Tanah Air juga mengindikasikan bahwa daerah-daerah tertentu mempunyai kelebihan dari daerah lainnya dalam bidang tertentu, yang dilandasi oleh pengetahuan/keterampilan spesifik terkait, yang berkembang dari waktu ke waktu. Walaupun, karena proses inovasi yang relatif lambat (misalnya karena relatif rendahnya tingkat pendidikan) dan/atau faktor lainnya, hal ini tak selalu menjadi keunggulan daerah yang terus terpelihara. Daerah lain seringkali dapat ―meniru‖ dan bahkan mengungguli apa yang sebelumnya menjadi kelebihan suatu daerah (yang ditirunya).

f) Efisiensi Kolektif (Collective Efficiency) Selain kelima hal yang telah disampaikan, Schmitz (1997) adalah di

antara yang menelaah faktor/isu ―lain‖ sehubungan dengan klaster industri. Ia menekankan adanya ―efisiensi kolektif‖ (collective efficiency) dari suatu klaster industri yang berkontribusi pada keunggulan daya saing perusahaan. Artinya, perusahaan-perusahan dan organisasi terkait lainnya dapat termotivasi oleh ekspektasi adanya efisiensi kolektif yang dapat/akan diperolehnya jika ―bergabung‖ dalam suatu klaster industri tertentu.

Efisiensi kolektif ini teridiri atas dua aspek dan kombinasi dari keduanya akan beragam antara suatu klaster dengan lainnya dan juga berkembang dari waktu ke waktu, yaitu: Ekonomi eksternal lokal/setempat (local external economies) : yang berkaitan dengan manfaat ekonomi yang muncul dari terkonsentrasinya perusahaan di suatu tempat/wilayah geografis. Ini bersifat insidental (tidak direncanakan), dan ―pasif.‖ Dan Tindakan/aktivitas bersama (joint action) : yang berkaitan dengan manfaat yang diperoleh akibat upaya yang dengan sadar direncanakan dan dilakukan bersama oleh anggota klaster. Elemen ini merupakan elemen yang sengaja direncanakan dan adakalanya disebut elemen ―aktif.‖

Kedua aspek tersebut dapat memberikan dampak, baik yang bersifat statik maupun dinamik, yang akan mempengaruhi bagaimana perkembangan suatu klaster dari waktu ke waktu.

3.2 Teknologi Pengolahan

Komposisi hasil pengolahan tandan buah segar (TBS) ditampilkan pada diagram berikut:

Gambar 3.4 Neraca Massa Pengolahan Kelapa Sawit

Tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dapat menghasilkan 65 persen buah, 13.5 persen kondensat dan 21 persen tandan kosong. 65 persen buah dapat dihasilkan biji (11,9%) dan mesocarp (53,4%). Cara pneumatis dan mekanis dapat digunakan dalam pemisahan biji dengan serabut. Pemisahan biji dengan menggunakan tarikan atau hisapan udara pada sebuah kolom pemisah di sebut Pneumatis. Pemecahan ampas pengempaan dengan cake breaker conveyor . Biji yang bersih dibawa ke kernel recovery station, sedangkan serabut dibawa ke shell/fibre conveyor.

Biji yang telah terbebas ampas dibawa melalui nut grading drum untuk dipisahkan dalam tiga ukuran. Biji yang masih basah dimasukkan ke dalam nut Biji yang telah terbebas ampas dibawa melalui nut grading drum untuk dipisahkan dalam tiga ukuran. Biji yang masih basah dimasukkan ke dalam nut

Seterusnya mesocarp dapat mengasilkan tiga pecahan yaitu CPO (24%), fiber (14,4%), dan POME (53,5%). CPO dapat dikembangkan menjadi produk Olein/Stearin, Palm mid fraction (PMF), PFAD, Biodiesel dan Asam lemak, semntara PKO menghasilkan asam lemak.

Gambar 3.5 Contoh Produk IHKS

Salah satu turunan produk adalah minyak makan yang berkualitas baik melalui proses refinery (Industri Olein, Stearin, PFAD). Ada dua rute pemurnian CPO yaitu secara kimia (basic refining) dan fisik (physical refining). Perbedaan kedua rute ini terletak pada cara asam lemak dipisahkan dari minyak. Cara kimia dilakukan dengan memisahkan asam lemak bebas dengan pada minyak dengan cara mereaksikannya dengan soda api sehingga terbentuk soap stock sebagai hasil samping. Sedangkan cara fisik dapat dilakukan dengan Salah satu turunan produk adalah minyak makan yang berkualitas baik melalui proses refinery (Industri Olein, Stearin, PFAD). Ada dua rute pemurnian CPO yaitu secara kimia (basic refining) dan fisik (physical refining). Perbedaan kedua rute ini terletak pada cara asam lemak dipisahkan dari minyak. Cara kimia dilakukan dengan memisahkan asam lemak bebas dengan pada minyak dengan cara mereaksikannya dengan soda api sehingga terbentuk soap stock sebagai hasil samping. Sedangkan cara fisik dapat dilakukan dengan

Proses pemurnian CPO secara fisik terdiri dari beberapa komposisi yaitu: bahan baku (CPO) dari storage tank masuk ke umpan dengan laju alir 35-60 ton per jam. Suhu awal CPO  40 – 60 o

C. CPO dipompakan melewati sistem recovery panas untuk meningkatkan suhu hingga mencapai 60-90 o C. Selanjutnya 20% CPO diumpan ke slurry tank dan dicampur dengan bleaching earth (6-12 kg/ton CPO) membentuk slurry, slurry terbentuk dimasukkan ke bagian bleacher. Pada saat yang sama sekitar 80% CPO dipompakan melalui plat heat exchanger (PHE) dan steam heater untuk meningkatkan suhu CPO hingga 90-130 o

C, yaitu seuhu yang diperlukan agar terjadi reaksi antara CPO dan asam fosfat. Kemudian CPO dipompakan ke static mixer dan ditambah asam fosfat dengan dosis 0,35-0,45 kg/ton CPO.

Proses pengadukan dengan minyak kasar untuk presipitasi gum. Kemudian hasil degumming proses dialirkan menuju bleacher section. Bagi mendapatkan hasil maksimum pada saat bleacher 20% slurry dan 80% degummed CPO dicampur dan proses bleaching terjadi pada suhu 100-130 o C selama 30 menit. Membantu mengatasi masalah yang akan timbul perlu dibuang kotoran (pigman, trace metal, produk oksidasi) melalui proses bleaching earth.

Niagara filter berfungsi untuk melewatkan slurry dan bleaching earth untuk mendapatkan minyak yang bersih dengan stabilitas suhu 80 – 120 o C. minyak hasil penyaringan tersebut dipompakan menuju buffer tank sebelum proses selanjutnya. BPO (bleached palm oil) keluar di filter dan melewati serangkaian pemanas (Schmidt plate heat exchanger and Spiral) untuk memanaskan CPO dari suhu 80-12 o C.

Proses selanjutnya ialah deasidifikasi dan deodarisasi yang terjadi secara bersamaan pada kolom pre-stripping dan deodarisasi. Pemanasan minyak dalam kolom tersebut pada suhu 240-280 o

C dibawah kondisi vakum kurang C dibawah kondisi vakum kurang

Seterusnya asam lemak didinginkan dan disebar ke tanki storage asam lemak pada suhu 60-80 o

C sebagai PFAD. Produk yang dihasilkan berupa refined, Bleached, Deodorized Palm Oil (RBDPO) dipompakan melalui Schmidt PHE pada suhu 250-280 o

C untuk mentransfer panasnya ke BPO bersuhu rendah, kemudian melewati filter lain pada suhu 120 – 140 o

C. Kemudian dipompakan menuju penyimpanan dengan suhu 50-80 o

C. Proses fraksinasi dilakukan untuk memisahkan RBDPO (stearin dan olein) berdasarkan titik cair. Proses ini akan menghasilkan 73% olein, 21% stearin, dan 5% palm fatty acid distillate (PFAD) dan 0,5% limbah.

Minyak sawit dapat juga menghasilkan beberapa produk pangan seperti yang tertera pada diagram dibawah ini:

Gambar 3.6 Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Produk Pangan

Pengolahan minyak sawit menjadi produk pangan setelah proses refining kemudian dilakukan lima proses berikutnya, yaitu esterifikasi, interesterifikasi, hidrogenasi, blending, dan distilasi molekuler. Produk pangan dari minyak sawit memalui proses esterifikasi dan distilasi molekuler menghasilkan vitamin

E dan vitamin A. Melalui proses interesterifikasi dan blending menghasilkan vegetable ghee, dan proses hidrogenasi menghasilkan frying fat, margarine, shorterning, coating fat, confectioneries fat, coffe whitener, dan biscuit creamer. Selanjutnya proses hidrogenasi mengeluarkan CBE/CBS/CBX dan proses interesterifikasi menghasilkan Food Emulsifier.

Beberapa produk pangan berasal daripada minyak sawit dapat dijelaskan berikut ini:

a. Margarine Bahan baku utama margarine adalah minyak dan lemak. Lemak yang digunakan berdasarkan pada pertimbangan pengaruhnya terhadap karakteristik kristalisasi selama produk margarine berlangsung dan juga pemilihan peralatan yang digunakan dalam line produksi margarine. Bahan tambahan lain yang diperlukan adalah bahan tambahan yang larut minyak (fat solube) dan larut air (water solube) seperti pewarna, lesitin, garam, emulsifier, potassium sorbet, asam sitrat, susu skim bubuk.

b. Mayonaise Komponen utama Mayonaise adalah minyak nabati, air, kuning telur (emulsifier lainnya), garam, gula, cuka dan asam sitrat, untuk jenis tertentu ditambah bumbu. Kandungan lemak Mayonaise berbeda-beda, yaitu dari 15% (dressing) hingga 50-65% (salad mayonnaise), lebioh dari 80% (full fat mayonnaise). Kadar lemak dibawah 50%, perlu ditambahkan stabilizer seperti hidrokoloid pada komponen utama. Komposisi mayonnaise terdiri dari :

- Minyak

: 70 - 80%

- Spice (essential oil)