Regional development strategy based on duck farming (Case Study in Hulu Sungai Utara District Kalimantan Selatan Province)

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS

PETERNAKAN ITIK

(Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara

Provinsi Kalimantan Selatan)

ERVA NOORRAHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Erva Noorrahmah


(3)

ERVA NOORRAHMAH. Regional Development Strategy Based on Duck Farming (Case Study in Hulu Sungai Utara District Kalimantan Selatan Province). Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and SETIA HADI

Hulu Sungai Utara District is one of the development area of duck farming in South Kalimantan Province. Duck farming play an important role in increasing revenue, job opportunities and regional development. Regional development planning should consider various aspects such as physical and socio-economic aspects. This study aims to identify land suitability for duck feed and its availability, determine the financial feasibility of duck farming, identify the center of duck farming production and priority directions of development policy. Analytical methods used are spatial analysis using ArcGIS 9.3, carrying capacity analysis, financial feasibility analysis, location quotient (LQ) analysis and strengths-weaknesses-opportunities-threats (SWOT) analysis. The results showed that the duck farming is suitable in this area, but local feed availability is insufficient. Duck farming is considered feasible and profitable by revenue and financial feasibility analysis. Regional development for duck farming in Hulu Sungai Utara District have been planned by considering environmental capacity and zoning of duck farming basis sector. Policy priorities of regional development based on duck farming is the provision and expansion of areas for livestock feed.


(4)

ERVA NOORRAHMAH. Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan SETIA HADI.

Peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Usaha peternakan itik merupakan salah satu usaha peternakan yang mempunyai nilai ekonomis dan potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan. Populasi ternak itik di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan 0,23%. Sekitar 10,39% populasi ternak itik nasional terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2009 populasi ternak itik di Kalimantan Selatan berada pada urutan keempat dari populasi itik di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ditjennak, 2009).

Ternak itik di Kalimantan Selatan sebagian besar dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang merupakan sentra pengembangan itik Alabio. Populasi itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara sekitar 30,16% dari populasi itik di Provinsi Kalimantan Selatan. Ternak itik sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan kondisi lingkungan yang sebagian besar berupa hamparan rawa. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak itik karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan. Beternak itik merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jumlah peternak itik terbanyak dibandingkan peternak lainnya, yaitu sebanyak 4.902 peternak. Kontribusi subsektor peternakan dalam perekonomian Kabupaten Hulu Sungai Utara cukup besar. Sektor pertanian menyumbang 46,26% dari total PDRB Kabupaten dengan peranan subsektor peternakan menempati urutan ketiga setelah tanaman pangan dan perikanan yaitu sebesar 19,15%. Sumbangan dari peternakan itik sekitar 75,97% terhadap subsektor peternakan dan hasilnya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai potensi untuk pengembangan peternakan itik, namun dalam pengembangannya harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama aspek fisik wilayah dan sosial ekonomi.

Penelitian ini bertujuan: 1) mengetahui kesesuaian lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak; 2) menganalisis ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik; 3) mengetahui kelayakan finansial usaha peternakan itik; 4) mengetahui sentra peternakan itik berdasarkan keunggulan komparatif; 5) menentukan arahan pengembangan ternak itik berdasarkan potensi sumberdaya lahan; dan 6) menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik menunjukkan bahwa seluruh areal studi wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara sesuai secara ekologis, karena pada umumnya ternak unggas dapat hidup pada semua kondisi lahan yang ada, baik lahan yang berair maupun kering. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara umumnya memanfaatkan sagu dan dedak sebagai campuran pakan ternak itik. Oleh karena itu, untuk melihat potensi pengembangan ternak


(5)

yang tidak sesuai seluas 43.400 ha (48,30%). Berdasarkan syarat tumbuh tanaman sagu faktor pembatas kesesuaian lahan yang menyebabkan lahan tidak sesuai (N) adalah drainase, jenis tanah dan lama genangan. Pada kesesuaian lahan aktual padi, luas wilayah yang terluas pada kelas N (tidak sesuai) yaitu sekitar 53,83%. Dengan perbaikan kondisi kejenuhan basa, perbaikan keasaman tanah (dengan menaikkan pH), dan kondisi genangan (pembuatan saluran air), maka kesesuaian lahan dapat dinaikkan dari N menjadi S3. Dengan demikian, terjadi pengurangan persentase lahan yang tidak sesuai. Pada hasil kesesuaian lahan padi potensial, luas lahan yang tidak sesuai berkurang menjadi 35,77%.

Hasil perhitungan ketersediaan dedak dengan populasi ternak tahun 2008 berdasarkan penggunaan lahan eksisting sawah pada masing-masing kesesuaian lahan, diperoleh indeks ketersediaan pakan dedak pada semua kecamatan kurang dari 1. Maka berdasarkan ketersediaan pakan dedak, semua wilayah tidak mencukupi kebutuhan untuk ternak itik. Hasil perhitungan daya dukung dedak berdasarkan potensi pengembangan padi diperoleh indeks daya dukung di Kecamatan Paminggir yang mempunyai status aman kecamatan lainnya nilai indeks daya dukungnya sangat kritis (kurang dari 1).

Hasil perhitungan ketersediaan pakan sagu menunjukkan bahwa hanya di Kecamatan Paminggir dan Haur Gading yang memiliki indeks ketersediaan lebih dari 1. Sedangkan perhitungan daya dukung sagu berdasarkan potensi pengembangan sagu menghasilkan status daya dukung sagu aman, pada sebagian besar kecamatan dengan nilai indeks lebih dari 2, kecuali Kecamatan Sungai Pandan dan Amuntai Utara.

Daya dukung pakan dedak pada lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan bahwa Kecamatan Paminggir yang mempunyai status daya dukung aman, sedangkan kecamatan lainnya, status daya dukungnya sangat kritis. Daya dukung sagu berdasarkan lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan kecamatan Paminggir, Danau Panggang dan Amuntai Selatan yang mempunyai status daya dukung aman. Selain pakan dedak dan sagu, peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara memanfaatkan pakan lokal lainnya, yaitu keong rawa (biasa disebut kalambuai) sebagai sumber protein. Berdasarkan perhitungan daya dukung keong, semua wilayah kecamatan mempunyai indeks daya dukung >1. Hal ini berarti Kabupaten Hulu Sungai Utara masih mampu memenuhi kebutuhan keong untuk pakan ternak itik.

Usaha peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara sudah memiliki spesialisasi usaha yang meliputi antara lain penetasan ternak, pembesaran, penghasil telur tetas, dan penghasil telur konsumsi. Hasil analisis pendapatan dan kelayakan finansial pada faktor diskonto 12 % menunjukkan keempat spesialisasi layak dan menguntungkan. Pada spesialisasi usaha penetasan skala 1000 butir telur tetas yang ditetaskan dengan 12 kali periode penetasan dalam satu tahun yaitu Rp. 7.460.000,-, nilai NPV Rp. 36.971.946,-, nilai BCR 1,38 dan IRR 16,50%. Pendapatan rata-rata dari usaha pembesaran itik pada skala 500 ekor yaitu sebesar Rp 19.050.000,- per tahun, nilai NPV Rp. 63.406.243,-, nilai BCR 1,58, nilai IRR 65,25%. Pendapatan yang diperoleh dari usaha penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas selama satu tahun berturut-turut yaitu Rp 25.311.000,- dan Rp 26.358.000,-. Dengan nilai NPV masing-masing sebesar Rp. 41.739.329,- dan Rp. 22.949.982,-, nilai BCR 1,05 dan 1,02, nilai IRR sebesar 19,66% dan 17,88%.

Hasil analisis Location Quotient (LQ) yang diidentifikasi untuk tujuh komoditas ternak, yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, ayam buras, ayam ras,


(6)

Penentuan arahan pengembangan wilayah peternakan itik yaitu skenario pertama berdasarkan potensi pengembangan padi dengan wilayah basis, skenario kedua berdasarkan potensi pengembangan sagu dengan wilayah basis dan skenario ketiga berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu dengan wilayah basis. Dari potensi tersebut pada wilayah yang memiliki status daya dukung aman dan non basis diarahkan sebagai wilayah penyangga penyediaan pakan, kecamatan yang menjadi basis itik diarahkan sebagai wilayah budidaya, pada kecamatan non basis yang status daya dukungnya sangat kritis dan kritis, diarahkan untuk wilayah perdagangan dan pengolahan hasil.

Berdasarkan analisis SWOT (Strengths Weaknesses Opportunities Threats) didapatkan kekuatan utama yaitu terdapat pusat pemasaran, kelemahan utama yaitu sarana prasarana, peluang yang direspon baik yaitu meningkatnya permintaan telur dan daging itik, sedangkan ancaman yang pengaruhnya sangat kuat yaitu ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas untuk pengembangan ternak berdasarkan ancaman utama yaitu kurangnya ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas pengembangan wilayah berbasis peternakan itik yaitu penyediaan dan perluasan areal tanaman budidaya pakan lokal ternak itik untuk menunjang ketersediaan dan keberlanjutan pakan ternak lokal.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

(Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara

Provinsi Kalimantan Selatan)

ERVA NOORRAHMAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Nama : Erva Noorrahmah

NRP : A156090154

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW, sebagai pembelajar sejati tauladan umat. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 ini yaitu Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan).

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus, rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr.Ir. Setia Hadi, M.Si (Anggota Komisi Pembimbing) atas bimbingan, saran perbaikan dan dukungan moril sehingga tesis ini selesai dengan baik, serta kepada Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku penguji luar komisi atas segala sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih pula kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar dan sekretariat. Disamping itu terima kasih pula kepada Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa pascasarjana yang diberikan kepada penulis juga kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drh. H. Suyadi, Ir. Rusnaidy, Drh. I Gusti Putu Susila atas saran dan masukannya, juga kepada M. Taufik Rizani dan Drh. Sagita Rini atas bantuannya ke lapangan, serta rekan-rekan di Dinas Peternakan Kab. HSU dan masyarakat yang telah banyak membantu dan memberi informasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Tak lupa kepada sahabat terbaik penulis Sri Jamiatul Khairah atas persahabatan dan bantuannya selama ini juga kepada Eva Agustina. Akhirnya untuk teman-teman PWL kelas khusus angkatan 2009 atas keakraban dan persaudaraan yang indah kita selama ini, takkan terlupakan dan semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih banyak.

Rasa hormat, terima kasih dan doa penulis teruntuk keluarga tersayang abah (H. Arbain Lukman) dan mama (Hj. Sakdah) atas segala doa, kasih sayang, nasehat, pengorbanan yang diberikan kepada penulis juga kepada kakak (H. Taufiqurrahman, S.TP, M.Si) atas segala doa dan dukungan yang kuat buat penulis serta untuk ading Zulfadilah Fauzi (alm) yang sangat pengertian selama masa hidupnya.

Tidak ada karya manusia yang sempurna, namun harus diusahakan agar sebaik-baiknya. Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, April 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Banua Kupang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Juni 1979 dari ayah H. Arbain Lukman dan ibu Hj. Sakdah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak H. Taufiqurrahman, S.TP, M.Si dan adik Zulfadilah Fauzi (Alm).

Penulis menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan. Lulus dari SMUN 1 Barabai pada tahun 1998. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan selesai tahun 2003. Kesempatan melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah diperoleh pada tahun 2009 melalui program beasiswa dari Bappenas.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak bulan Januari 2005 sebagai staf di Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan.


(13)

Sebuah karya yang kupersembahkan untuk orang-orang yang kusayangi dan

menyayangiku

Abah (H. Arbain Lukman), Mama (Hj. Sakdah)

Kakak (H. Taufiqurrahman, S.TP, M.Si) dan

ading yang telah pergi mendahuluiku Zulfadilah Fauzi


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL………. iii

DAFTAR GAMBAR………. iv

DAFTAR LAMPIRAN………. v

I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 3

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4 Manfaat Penelitian………. 4

1.5 Kerangka Pemikiran……….. 5

II TINJAUAN PUSTAKA………. 7

2.1 Pengembangan Wilayah……….. 7

2.2 Pengembangan Peternakan………. 8

2.3 Ternak Itik……… 9

2.4 Pakan Ternak………. 11

2.5 Daya Dukung Pakan Ternak……… 12

2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan………. 13

2.7 Sektor Basis……… 14

2.8 SWOT……….... 15

III METODE PENELITIAN……… 17

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……… 17

3.2 Pengumpulan Data……… 17

3.3 Analisis Data………... 19

3.3.1. Analisis Kesesuaian Lahan……… 21

3.3.2. Analisis Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan…… 21

3.3.3. Analisis Finansial………. 22

3.3.4. Analisis Ekonomi Basis……….. 25

3.3.5. Arahan Pengembangan Peternakan Itik………. 26


(15)

4.2 Fisik Wilayah………... 30

4.2.1. Topografi……….. 30

4.2.2. Tanah……… 30

4.2.3. Hidrologis dan Drainase……… 31

4.2.4. Penggunaan Lahan………. 33

4.3 Penduduk………. 33

4.4 Ekonomi Wilayah……… 34

4.5 Peternakan………. 37

V HASIL DAN PEMBAHASAN……… 43

5.1 Kesesuaian Lingkungan Ekologis Ternak Itik……… 43

5.2 Kesesuaian Lahan Pakan Ternak Itik………. 45

5.2.1. Kesesuaian Lahan untuk Sagu………. 45

5.2.2. Kesesuaian Lahan untuk Padi……….. 47

5.3 Penggunaan Lahan Eksisting……….. 52

5.4 Potensi Pengembangan Sagu……… 52

5.5 Potensi Pengembangan Padi………... 55

5.6 Potensi Pengembangan Padi dan Sagu………. 57

5.7 Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan Ternak……… 59

5.8 Pendapatan………. 67

5.9 Kelayakan Finansial……….. 69

5.10 Ekonomi Basis……….. 71

5.11 Arahan Pengembangan……… 73

5.12 Strategi Pengembangan……… 79

5.13 Strategi Prioritas………. 92

VI SIMPULAN DAN SARAN……… 93

6.1 Simpulan……….. 93

6.2 Saran……….. 94

DAFTAR PUSTAKA………. 95


(16)

Halaman

1 Tujuan, analisis, data dan keluaran……….. 19

2 Kriteria status daya dukung berdasarkan indeks daya dukung…. 22 3 Matriks SWOT……….………... 27

4 Kecamatan dalam wilayah administrasi Kab. HSU……….. 29

5 Persebaran jenis tanah………. 31

6 Luas kondisi drainase lahan…..……….. 32

7 Luas penggunaan lahan pada setiap kecamatan……… 33

8 Jumlah rumah tangga dan penduduk di Kab. HSU………. 34

9 Pertumbuhan PDRB Kab. HSU tahun 2006-2008………... 35

10 PDRB Kab. HSU tahun 2008 atas dasar harga konstan………… 36

11 Perkembangan populasi ternak di Kab. HSU………... 38

12 Luas kesesuaian lahan padi aktual……… 48

13 Luas kesesuaian lahan padi potensial………... 51

14 Klasifikasi Penggunaan Lahan di Kab. HSU………. 52

15 Potensi Pengembangan Sagu………. 53

16 Potensi Pengembangan Padi……….. 55

17 Potensi Pengembangan Padi dan Sagu……… 57

18 Ketersediaan pakan dedak ………..……….. 60

19 Daya daya dukung pakan dedak berdasarkan potensi pengembangan padi……… 61

20 Rataan komposisis pohon sagu………. 62

21 Ketersediaan sagu……… 62

22 Daya dukung sagu berdasarkan potensi pengembangan sagu… 63 23 Daya dukung pakan dedak dan sagu berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu……… 64 24 Proyeksi daya dukung pakan dedak dan sagu pada populasi itik tahun 2020 berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu. 65 25 Daya dukung keong……….. 66

26 Pendapatan usaha penetasan itik skala 1000 butir telur………… 68

27 Pendapatan usaha pembesaran itik skala 500 ekor……… 68

28 Pendapatan usaha penghasil telur konsumsi dan tetas skala 500 ekor……… 69


(17)

pengembangan sagu dan wilayah basis……….. 32 Potensi pengembangan ternak itik berdasarkan potensi

pengembangan padi dan sagu dengan wilayah

basis………

75

33 Matrik IFE……….. 86

34 Matrik EFE……… 88

35 Alternatif strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik………. 91

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pikir penelitian……….……… 5

2 Peta lokasi penelitian Kab. HSU………. 18

3 Diagram alir penelitian……….. 20

4 Lahan rawa di Kab. HSU………. 30

5 Grafik nilai PDRB Kab. HSU….………. 35

6 Grafik peranan masing-masing subsektor pada sektor pertanian tahun 2008 atas dasar harga konsta………. 37

7 Komoditas unggulan peternakan Kab. HSU……… 38

8 Pola pemeliharaan secara ekstensif dan intensif 40 9 Peta kesesuaian lahan sagu………... 46

10 Peta kesesuaian lahan aktual padi………. 49

11 Peta kesesuaian lahan potensial padi………... 50

12 Persentase kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial padi…. 51 13 Tanaman Sagu di Kec. Sungai Pandan dan Amuntai Utara…….. 53

14 Peta Potensi Pengembangan Sagu di Kab. HSU……… 54

15 Peta Potensi Pengembangan Padi di Kab. HSU………. 56

16 Peta Potensi Pengembangan Padi dan Sagu di Kab. HSU……... 58

17 Pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa……… 61

18 Keong rawa………... 67


(18)

pengembangan sagu dan wilayah basis………..…..

22 Peta arahan pengembangan berdasarkan potensi

pengembangan padi dan sagu dengan wilayah

basis………..……….

78

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisa kelayakan finansial usaha penetasan itik skala 1000 butir telur…………...

99

2 Analisa kelayakan finansial usaha pembesaran itik skala 500

ekor………. 105

3 Analisa kelayakan finansial usaha penghasil telur konsumsi

skala 500 ekor ………. 106

4 Analisa kelayakan finansial usaha penghasil telur tetas skala

500 ekor……….. 107


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Pembangunan peternakan memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis selain untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup peternak juga bertujuan untuk pemenuhan dan peningkatan gizi masyarakat khususnya dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani, penyedia lapangan kerja dan pengembangan potensi wilayah. Oleh karena itu, peranan subsektor peternakan harus dapat dimanfaatkan secara optimal.

Menurut Daryanto (2009) beberapa peluang bisnis dalam mengembangkan agribisnis peternakan diantaranya: 1) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ±220 juta jiwa dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4% pertahun merupakan konsumen yang sangat besar, 2) kondisi geografis dan sumberdaya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan. 3) meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi, dan 4) jika pemulihan ekonomi berjalan baik maka akan meningkatkan pendapatan perkapita yang kemudian akan meningkatkan daya beli masyarakat. Selanjutnya Sudrajat (2001) mengatakan misi dari pembangunan peternakan mencakup penyediaan pangan asal ternak, pemberdayaan SDM, penciptaan peluang ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pelestarian serta pemanfaatan sumberdaya alam pendukung peternakan.

Usaha peternakan itik merupakan salah satu usaha peternakan yang mempunyai nilai ekonomis dan potensi yang cukup tinggi, baik sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan tambahan dalam menunjang kebutuhan keluarga. Itik mempunyai beberapa kelebihan dibanding unggas lainnya, antara lain: itik mampu mempertahankan produksi lebih lama dibandingkan ayam sehingga dapat mengurangi biaya penggantian itik setiap tahunnya, angka kematian itik umumnya kecil karena itik merupakan unggas yang tahan terhadap penyakit (Wasito dan Rohaeni, 1994).

Ternak itik mempunyai peranan yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan daging dan telur di Indonesia. Populasi ternak Itik di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan 0,23% dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, dimana 10,39% populasi ternak itik terdapat


(20)

di Provinsi Kalimantan Selatan. Populasi ternak Itik di Kalimantan Selatan pada tahun 2009 termasuk urutan ke empat dari populasi itik di Indonesia setelah Provinsi Jawab Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ditjennak, 2009). Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) adalah salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan yang merupakan daerah sentra peternakan Itik Alabio. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan (2009) populasi itik di Kalimantan Selatan tahun 2009 sebanyak 4.158.452 ekor, populasi terbesar ada di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebanyak 1.254.252 ekor atau sekitar 30,16% dari populasi itik seluruhnya.

Itik adalah salah satu unggas air yang sangat cocok dikembangkan di Kabupaten HSU dengan kondisi lingkungan berupa hamparan rawa. Berdasarkan pemanfaatan lahan, sebagian besar wilayah di Kabupaten HSU berupa hutan rawa yaitu seluas 29.711 ha (32,52%), sawah 25.492 ha (27,91%), kebun campuran 5.051 ha (5,53%) sedangkan yang dimanfaatkan sebagai pemukiman seluas 4.285 ha (4,69%), selebihnya 26.811 ha (29,35 %) berupa hamparan rumput rawa dan danau (BPS HSU, 2009). Ketersediaan air yang melimpah di rawa merupakan habitat yang paling disukai ternak itik. Jenis itik yang berkembang di lahan rawa lebak adalah jenis itik petelur seperti Itik Alabio (Anas Platyrynchos Borneo) yang merupakan plasma nutfah Kalimantan Selatan. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak ini dibandingkan pada lahan irigasi atau lahan kering karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan yang banyak tersedia secara alami di lahan rawa lebak seperti sagu (Metroxylon spp) dan berbagai sumber pakan berupa gulma air seperti kangkung, enceng gondok, rumput rawa; dan hewan air misalnya siput, gondang/keong mas, ikan-ikan kecil (Noor, 2007).

Beternak itik merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat di Kabupaten HSU. Jumlah peternak itik terbanyak dibandingkan dengan peternak komoditas ternak lain yaitu sebanyak 4.902 orang, peternak ayam sebanyak 465 orang, peternak sapi 150 orang, peternak kerbau 542 orang, peternak kambing 88 orang dan peternak domba 7 orang (Disnak Kab. HSU, 2009).

Kontribusi subsektor peternakan dalam perekenomian Kabupaten HSU cukup besar. Sektor pertanian menyumbang 46,26% dari total PDRB Kabupaten HSU dengan peranan subsektor peternakan menempati urutan ketiga setelah tanaman pangan dan perikanan, dengan sumbangan sebesar 19,15%.


(21)

Sumbangan dari peternakan itik sebesar 75,97% terhadap subsektor peternakan dan hasilnya.

Dengan demikian komoditas itik merupakan salah satu komoditas unggulan yang mempunyai potensi untuk terus dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah di Kabupaten HSU. Melihat potensi tersebut didukung dengan program Pemerintah Kabupaten HSU yaitu program rawa makmur 2020, potensi lahan rawa yang prospektif sebagai sumber kemakmuran bagi masyarakat telah dimanfaatkan dan akan terus dioptimalkan dalam pengembangan peternakan. Untuk pengembangan usaha peternakan itik tersebut harus mempertimbangkan aspek fisik dan sosial ekonomi.

1.2 Perumusan Masalah

Sejalan dengan otonomi daerah Kabupaten HSU yang berpisah dengan Kabupaten Balangan sejak tahun 2003, maka peran pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokal untuk pengembangan wilayah. Usaha peternakan itik yang sudah secara turun temurun menjadi mata pencaharian masyarakat di Kabupaten HSU diharapkan menjadi usaha yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan taraf hidup peternak dan penyerapan tenaga kerja dalam rangka pengembangan wilayah.

Kabupaten HSU yang menjadi sentra usaha peternakan itik memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Populasi ternak itik di Kabupaten HSU secara signifikan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006 populasi ternak itik sebanyak 1.162.262 ekor, tahun 2007 sebanyak 1.203.114 ekor dan tahun 2008 meningkat lagi sebanyak 1.216.917 ekor. Untuk tahun 2009 populasi itik mencapai 1.254.252 ekor.

Usaha peternakan itik di Kabupaten HSU masih sangat tergantung pada lingkungannya yaitu daerah rawa. Sebagian besar peternak memanfaatkan pakan lokal yang tersedia di daerah rawa yaitu dedak padi, sagu, ikan, padi dan keong rawa (kalambuai). Meningkatnya populasi ternak itik membutuhkan pakan ternak yang lebih banyak, sedangkan ketersediaan pakan lokal masih tidak tersedia secara kontinyu. Dalam usaha peternakan, pakan merupakan faktor yang sangat menentukan karena biaya pakan ternak umumnya mencapai 60 sampai 70 % dari seluruh biaya dalam proses produksi peternakan. Penyediaan pakan, baik kuantitas, kualitas maupun kontinuitas sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan peternakan (Syamsul et al., 2006).


(22)

Pengembangan peternakan di Kabupaten HSU diarahkan pada pendekatan komoditas unggulan ternak itik yang menjadi plasma nutfah daerah dengan mempertimbangkan kesesuaian agroklimat, ketersediaan bahan baku, dukungan sosial budaya masyarakat dan pendapatan peternak. Dengan demikian aspek fisik wilayah dan sosial ekonomi menjadi perhatian penting dalam pengembangan peternakan.

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan dapat dirumuskan pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana kesesuaian lingkungan ekologis dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak itik?

2. Bagaimana ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik? 3. Bagaimana kelayakan finansial usaha peternakan itik?

4. Bagaimana arahan dan strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui kesesuaian lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak Itik di Kab. HSU.

2. Menganalisis ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik

3. Menganalisis kelayakan finansial usaha peternakan itik di Kabupaten HSU.

4. Mengetahui sentra peternakan itik berdasarkan keunggulan komparatif 5. Menentukan arahan pengembangan ternak itik berdasarkan potensi

sumberdaya lahan.

6. Menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten HSU

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah :

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten HSU dalam pengembangan peternakan itik untuk pengembangan wilayah 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dan swasta yang bergerak


(23)

1.5 Kerangka Pemikiran

Secara skematik kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Lahan-Lahan yang Berpotensi untuk

Pengembangan Ternak Itik Usaha Peternakan Itik

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Kelayakan Usaha - Ketersediaan Pakan - Daya Dukung Pakan

Strategi Pengembanganan Wilayah Berbasis Peternakan Itik di Kabupaten HSU Pemanfaatan Potensi Daerah untuk

Pengembangan Wilayah

Potensi Lahan untuk Peningkatan Usaha Peternakan Itik

Arahan Pengembangan Usaha Peternakan Itik Wilayah

Basis Penggunaan lahan eksisting


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Wilayah

Alkadri et al., (1999) mengatakan pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Pengembangan wilayah mempunyai dua makna, yaitu: 1) makna sosial ekonomi, yaitu kegiatan pengembangan wilayah dengan jalan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dengan menciptakan sentra-sentra produksi sekaligus membangun prasarana dan adanya layanan logistik; 2) makna ekologis, yaitu pengembangan wilayah bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan akibat terlalu banyaknya campur tangan manusia terhadap lingkungan.

Menurut Mangiri dalam Daryanto (2010) konsep pengembangan wilayah secara garis besar terbagi atas empat yaitu:

1. Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya

Sumber daya merupakan semua potensi yang dimiliki oleh alam dan manusia. Bentuk sumber daya tersebut yaitu tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam maupun aspek sosial budaya. 2. Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan

Motor penggerak pembangunan wilayah pada komoditas yang dinilai dapat menjadi unggulan atau andalan, baik di tingkat domestik dan internasional 3. Pengembangan Wilayah Berbasis Efisiensi

Pembangunan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang mempunyai porsi lebih besar dibandingkan bidang-bidang lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar persaingan sempurna (free market mechanism).

4. Pengembangan Wilayah Menurut Pelaku Pembangunan

Strategi pengembangan wilayah ini mengutamakan peranan setiap pelaku pembangunan ekonomi (rumah tangga, lembaga sosial, lembaga keuangan dan bukan keuangan, pemerintah maupun koperasi).

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) mengatakan sebagaimana disampaikan dalam “Konferensi Nasional Ekonomi Indonesia” bahwa Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas


(25)

terhadap keunikan karakteristik wilayah (ruang). Pemahaman terhadap sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi kegiatan usaha dari masing-masing daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah (termasuk diantara faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan acuan dasar bagi perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan.

2.2 Pengembangan Peternakan

Faktor-faktor kritikal yang menentukan kinerja pembangunan pertanian adalah jumlah dan kualitas: (a) modal manusia (terkait dengan pendidikan dan pelatihan); (b) modal sosial (terkait dengan organisasi/kelompok/petani/peternak dan koperasi); (c) infrastruktur fisik (terkait dengan jalan, fasilitas komunikasi, pasokan energi dan air); (d) infrastruktur kelembagaan (terkait dengan penelitian dan penyuluhan, sistem keuangan perdesaan, peraturan dan kelembagaan termasuk hak-hak kepemilikan/property right) dan (e) modal fisik (terkait dengan ketersediaan lahan, infrastruktur peternakan dan investasi). Oleh karena itu, pembangunan peternakan harus dilakukan dengan cara yang holistik, komprehensif, tidak sektoral dan tidak parsial (Daryanto, 2009)

Kawasan peternakan terdiri atas: 1) kawasan khusus peternakan, merupakan daerah prioritas dengan komoditas unggulan dengan memperhatikan kesesuaian agroekosistem dan agroklimat serta tata ruang wilayah; 2) kawasan terpadu, merupakan sistem integrasi antara ternak dengan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan dan perikanan (program lintas subsektor); 3) kawasan agropolitan, merupakan kota pertanian yang dihela oleh desa-desa hinterland

(Putri, 2003).

Pengembangan peternakan di suatu wilayah perlu diperhatikan dan diukur potensi wilayah tersebut bagi jenis ternak yang akan dikembangkan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan peternakan di suatu wilayah, yaitu 1) persediaan bahan baku; 2) teknologi tepat guna; 3) keahlian yang dibutuhkan atau tenaga terampil; 4) potensi pengembangan peternakan; 5) prioritas pengembangan peternakan di lokasi yang bersangkutan; dan 6) kemungkinan bantuan kredit (Pulungan, 1985).

Menurut Sudrajat (2001) pembangunan peternakan merupakan bagian dari suatu totalitas kinerja agribisnis, yang menjadi suatu kesatuan kinerja yang tidak terlepas dari subsistem agribisnis hulu berupa kegiatan ekonomi input produksi peternakan, informasi dan teknologi. Selain itu produksi peternakan


(26)

merupakan rangkaian yang juga tidak akan lepas dari subsistem agribisnis hilir, yaitu perdagangan, pengolahan dan jasa agribisnis. Pembangunan peternakan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan program yang mengarah pada pemanfaatan sumberdaya lokal untuk membangun peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan serta membangun sistem peternakan nasional yang mampu memenuhi kebutuhan terhadap produk peternakan dan mensejahterakan masyarakat (Bahri, 2008).

2.3 Ternak Itik

Itik merupakan unggas yang senang berkelompok, makan bersama-sama terutama ketika mencari invertebrata bawah permukaan air (Cherry and Morris, 2008). Itik dapat menyebar ke kawasan yang luas karena bersifat aquatik. Selain itu makanan itik bersifat omnivorus (pemakan segala), mulai dari biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian dan makanan yang berasal dari hewan atau binatang-binantang kecil. Sifat spesifik lain dari itik adalah kakinya relatif pendek dibanding tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh selaput renang, serta bulu-bulunya yang tebal dan berminyak sehingga dapat menghalangi air masuk ke dalam tubuhnya ketika berada dalam air. Dengan demikian meskipun sudah dijinakkan, itik cenderung menyukai hidup di air (Suharno dan Amri, 2010).

Beberapa itik lokal diberi nama sesuai dengan lokasinya dan mempunya ciri morphologi yang khas, contohnya Itik Tegal, Itik Alabio, Itik Bali, Itik Magelang, Itik Cirebon (Setioko et al., 1994). Itik Alabio (Anas Platyrynchos Borneo) adalah salah satu komoditas unggulan yang dibudidayakan oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan. Menurut Badan Standar Nasional (2009) persyaratan Itik Alabio jantan muda yaitu sebagai berikut: a) postur tubuh tegak membentuk sudut 70 derajat; b) paruh berwarna kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung; c) terdapat bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai kebagian belakang kepala dan bulu bagian atas berwarna hitam; d) kaki berwarna kuning jingga; e) bulu leher bagian depan berwarna kuning sedangkan bagian belakang berwarna hitam; f) bulu dada berwarna coklat kemerahan; g) bulu punggung dan perut berwarna abu-abu dengan bercak coklat; h) bulu sayap sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap; i) bulu ekor berwarna hitam dan melingkar ke atas; sedangkan persyaratan untuk Itik Alabio betina


(27)

muda yaitu: a) postur tubuh tegak membentuk sudut 70 derajat; b) terdapat bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai ke bagian belakang kepala dan bulu kepala bagian atas berwarna coklat bercak putih; c) paruh berwarna kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung; d) kaki berwarna kuning jingga; e) bulu leher bagian belakang berwarna coklat sedangkan bagian depan berwarna putih; f) bulu dada berwarna coklat; g) bulu perut dan punggung berwarna coklat bercak abu-abu; h) bulu sayap sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap; i) bulu ekor berwarna coklat bercak hitam.

Produktivitas Itik Alabio yaitu mulai bertelur pada umur lebih kurang 6 bulan, produksi telur mencapai 260 butir/ekor/tahun dan berat telur 63,5 gram/butir dengan warna kulit telur hijau kebiruan (Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, 2009). Sedangkan menurut Wasito dan Rohaeni (1994) masa dewasa Itik Alabio betina pada umur 6 bulan dengan masa bertelur 8-10 bulan per tahun sampai mencapai umur 3,5 tahun, setelah itu diafkir. Itik Alabio termasuk itik petelur yang baik produksi telurnya, bisa mencapai 275 butir/ekor/tahun, tetapi berat telurnya rata-rata lebih ringan dari Itik Jawa atau Itik Bali yaitu 50 – 70 gram. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional bibit induk muda harus berasal dari induk yang mempunyai rataan produksi telur minimal 60% selama masa produksi, daya tetas yang dicapai minimal 60% dari telur yang fertil, bobot telur tetas minimal 58 gram dan telur dengan kerabang berwarna hijau kebiruan. Menurut Clayton dalam Cherry dan Morris (2008) tingginya produktivitas Itik Alabio disebabkan pengalaman beternak dan tidak tergantung pada teknologi genetik dari barat.

Itik Alabio termasuk jenis itik petelur yang sejenis dengan Itik Tegal (Jawa Tengah), Itik Mojokerto (Jawa Tengah), Itik Karawang (Jawa Barat), Itik Bali atau Itik Pegagan yang terdapat di Kabupaten Ogan Komiring Ilir Sumatera Selatan. Perbedaan secara fisik antara masing-masing jenis itik petelur tersebut tidak terlalu jauh. Hanya saja, Itik Alabio dikenal cocok dibudidayakan di lahan rawa lebak (Noor, 2007). Cara pemeliharaan Itik Alabio di lahan lebak dibedakan menjadi tiga yaitu ekstensif, intensif dan campuran (semi intensif) (Wasito dan Rohaeni, 1994).

Nama Itik Alabio diambil dari nama kota kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan) yang jaraknya dari Amuntai ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara sekitar 5 km, atau dari Banjarmasin ibukota


(28)

Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 190 km. Alabio dikenal karena sejak lama menjadi tempat perdagangan unggas itik ini. Kota Alabio ini terletak di tengah-tengah aliran DAS Sungai Nagara, anak Sungai Barito yang merupakan salah satu kawasan rawa lebak yang terluas di Kalimantan Selatan (Noor, 2007).

“Itik Banar” adalah sebutan masyarakat peternak itik di Kabupaten Hulu

Sungai Utara untuk itik lokal yang kemudian diberi nama Itik Alabio. Pemberian nama Itik Alabio ini juga berlatar belakang karena peternak itik membeli itik yang baik di Pasar Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, 1992).

Menurut Cherry dan Morris (2008) cara pemeliharaan dan kandang itik sangat bervariasi di dunia, menggambarkan perbedaan iklim, kelerengan, pembangunan ekonomi dan permintaan pasar. Di beberapa daerah tropis dimana daerahnya banyak perairan, kandang itik dibangun panggung di atas sungai atau danau atau mengembang di atas air sehingga kotorannya ke dalam air.

2.4 Pakan Ternak

Menurut Sukria dan Krisnan (2009) biaya pakan bisa mencapai sekitar 70% dari biaya produksi. Oleh karena itu, perlu menerapkan teknologi yang tepat guna yang disertai dengan pemanfaatan lahan dan sumber bahan baku pakan yang efisien, salah satunya melalui optimasi pemanfaatan potensi sumber bahan baku pakan lokal. Pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumberdaya lokal Indonesia yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar.

Makanan itik Alabio biasanya terdiri dari ati (galih) pohon rumbia atau sagu yang dicincang, ikan air tawar yang direbus, keong rawa (kalambuai) atau bekicot baik isinya maupun kulitnya yang ditumbuk halus. Bahan makanan lainnya yaitu dedak atau gabah. Sagu cincang mengandung energi metabolisme sekitar 2650 kkal/kg dan protein 1,5%-2,2%, dan dapat digunakan dalam ransum itik sedang bertumbuh hingga 25% (Wasito dan Rohaeni, 1994).

Selanjutnya menurut Sukria dan Krisnan (2009) dedak padi merupakan bagian dari padi yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi seperti minyak, vitamin, protein dan mineral. Pada kadar air 14%, dedak mengandung pati sebesar 13,8%, serat 23,7-28,6%, pentosan 7,0-8,3%, hemisemiselolusa


(29)

9,5-16,9%, selolusa 5,9-9,0%, asam poliuronat 1,2%, gula bebas 5,5 – 6,9% dan lignin 2,8-3,0%. Dari kandungan ini maka dedak telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber minyak, pakan ternak dan bahan makanan.

Keong mas merupakan hama karena menjadi pemakan tanaman padi di areal persawahan. Pemanfaatan keong untuk pakan itik akan mengurangi hama padi. Itik terbukti efektif dalam pengendalian biologis keong. Kepadatan 5-10 ekor penggembalaan itik per ha di areal persawahan, direkomendasikan dalam pengendalian biologis keong (Teo, 2001). Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2000) keong mas baik digunakan untuk campuran pakan itik, karena hewan air ini banyak mengandung protein dan kalsium. Pemberian dalam bentuk segar dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap ternak karena di dalam lendir keong tersebut terdapat zat anti nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan ternak oleh sebab itu dianjurkan menggunakan keong emas yang sudah direbus, karena zat anti nutrisi yang ada akan berkurang bahkan hilang setelah perebusan selama 15-20 menit.

2.5 Daya Dukung Pakan Ternak

Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan ekosistem untuk menjaga produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaharui (IUCN/UNEP/WWF dalam Thapa et al., 2000). Menurut Rustiadi et al., (2009) daya dukung (carrying capacity) adalah kemampuan dari suatu sistem untuk mendukung (support) suatu aktivitas sampai pada level tertentu. Pada dasarnya terdapat banyak komponen yang akan menentukan daya dukung suatu wilayah, antara lain daya lenting ekosistem (ecosystem resilience), tingkat teknologi, preferensi konsumen, permintaan sumberdaya serta isu-isu distribusi dan pemerataan. Dalam perspektif lingkungan, daya dukung meliputi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung (assimilative capacity).

Di Indonesia konsep daya dukung lingkungan telah didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah


(30)

kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya

.

Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam suatu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungsi lindung (Rustiadi, et al., 2009). Penilaian daya dukung sangat penting untuk mengukur batas produktif pada area tertentu. Daya dukung merupakan metode untuk menentukan batas-batas yang berkelanjutan dalam perencanaan penggunaan lahan yang akan datang (Lane, 2010).

Menurut Sukria dan Krisnan (2009) ketersediaan bahan baku pakan yang terjamin dengan harga yang kompetetitif merupakan salah satu pilar usaha produksi ternak. Pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha, terlebih apabila sumberdaya tersebut bukan merupakan kebutuhan langsung bagi kompetitor lain, yang dalam hal ini adalah manusia dan jenis ternak lain. Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan efisiensi dan kompetisi bahan pakan tersebut, yaitu tersedia secara kontinu, murah dan mudah didapat, mempunyai nilai gizi yang cukup, mudah dicerna serta tidak mengganggu kesehatan ternak.

2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu dan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari.

(

Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman


(31)

dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan dan kehutanan) (Djaenudin et al., 2003).

Menurut Sitorus (1998) evaluasi sumberdaya lahan merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan yang menyangkut tiga aspek utama, yaitu lahan, penggunaan lahan dan aspek ekonomis. Manfaat mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah menilai kesesuaian lahan bagi penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan.

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif. Penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi (Djaenudin et al., 2003).

Hasil penilaian kesesuaian lahan berupa kelas kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survey tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menyatakan keadaan lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhitungkan aspek ekonomisnya. Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi lahan yang diharapkan dalam rangka pengembangan wilayah pertanian

(

Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

2.7 Sektor Basis

Teori basis ekonomi (economic basis theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan eskpor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang


(32)

dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Kegiatan basis pada dasarnya adalah kegiatan ekspor yaitu semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat

exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal). Sedangkan sektor nonbasis adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Karena sifatnya memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005).

Menurut Rustiadi et al., (2009) sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sedangkan sektor nonbasis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor belum berkembang. Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan nonbasis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relative antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.

Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konstentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi (industri). Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan demikian halnya dengan metode LQ. Kelebihan metode LQ dalam mengindentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan yang rumit, sedangkan keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini maka yang dituntut adalah akurasi data (Hendayana, 2003).

2.8 SWOT (Strengths Weaknesess Opportunities Threats)

Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang


(33)

(opportunities) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 1997).

Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength

dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi (Marimin, 2004).

Menurut Umar (2001) Matriks SWOT merupakan matching tool yang penting untuk membantu mengembangkan empat tipe strategi, yaitu Strategi SO (Strength Opportunity), Strategi WO (Weakness Opportunity), Strategi ST (Strength Threat), Strategi WT (Weakness Threat). Strategi SO (Strength Opportunity) menggunakan kekuatan internal untuk meraih peluang-peluang yang ada di luar perusahaan. Perusahaan berusaha melaksanakan strategi-strategi WO, ST atau WT untuk menerapkan strategi-strategi SO. Oleh karena itu, jika perusahaan memiliki banyak kelemahan, maka perusahaan harus mengatasi kelemahan itu agar menjadi kuat. Strategi WO (Weakness Opportunity) bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal perusahaan dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Strategi ST (Strength Threat), melalui strategi ini perusahaan berusaha menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. Strategi WT (Weakness Threat) merupakan taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.


(34)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten HSU Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan September sampai dengan Desember 2010. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Secara geografis Kabupaten HSU terletak pada posisi 2017’-2033’ Lintang Selatan dan 1140 52’- 115024’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Tengah - Sebelah Timur : Kabupaten Balangan

- Sebelah Selatan : Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan - Sebelah Barat : Kabupaten Barito Selatan (Provinsi Kalimantan Tengah)

3.2 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara :

a. Data sekunder terdiri dari data tabulasi yang diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Dinas Peternakan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perikanan, Bappeda, Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan, Badan Pusat Statistik dan instansi lain yang berkompeten. Sementara peta administrasi dan peta tanah diperoleh dari Bappeda HSU. b. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara dengan

stakeholder, yaitu Kepala Dinas Peternakan, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan dan Perkebunan, Kepala Bidang (Kabid) Usaha Tani, Kabid Kesehatan Hewan, Kabid Pengolahan dan Pemasaran Dinas Peternakan HSU, Kabid Fisik Sarana Prasarana Bappeda HSU dan peternak. Pengambilan sampel untuk penentuan faktor pengendali analisis SWOT dilakukan dengan metode purposive sampling. Jumlah responden yang dipilih dengan sengaja sebanyak 9 (sembilan) orang dari instansi terkait dan peternak. Untuk penentuan sampel peternak di lokasi sampel yang ditentukan secara sengaja (purposive) pada lokasi peternakan itik yang sudah berspesialisasi usaha yaitu pada spesialisasi usaha penetasan, usaha pembesaran, penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas.


(35)

18

Lokasi Penelitian


(36)

3.3 Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis sesuai dengan tujuan untuk menjawab permasalahan yang diangkat. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), analisis ketersediaan dan daya dukung pakan, analisis pendapatan dan kelayakan finansial, analisis Location Qoutient (LQ). Hubungan antara data, analisis, tujuan dan keluaran disajikan dalam Tabel 1, sedangkan diagram alir disajikan pada Gambar 3.

Tabel 1 Tujuan, Analisis, Data, dan Keluaran

No Tujuan Analisis Data Keluaran

1 Mengetahui

kesesuaian

lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak

Kesesuaian lahan

- Peta tanah - Peta administrasi - Syarat hidup

ternak itik - Syarat tumbuh

tanaman pakan ternak (sagu & padi)

Lahan yang sesuai untuk lingkungan ekologis ternak dan pakan ternak (padi dan sagu)

2 Menganalisis

ketersediaan & daya dukung pakan lokal ternak itik

Ketersediaan, daya dukung

- Produksi pakan - Populasi ternak - Kebutuhan pakan

Potensi pakan ternak

3 Menganalisis

kelayakan finansial

Pendapatan & kelayakan finansial

- Kuesioner - wawancara

Bahan

pertimbangan untuk pengembangan ternak itik

4 Mengetahui sentra

peternakan itik

LQ - Populasi ternak Wilayah basis

peternakan itik

5 Menentukan arahan

pengembangan peternakan itik

Potensi

pengembangan & wilayah basis

- Indeks daya dukung pakan potensial - Wilayah basis

Bahan rekomendasi pengembangan peternakan itik

6 Menyusun strategi

pengembangan wilayah berbasis peternakan itik

SWOT - Kuesioner

- Wawancara - Daya dukung

Bahan rekomendasi untuk strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik


(37)

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian Data karakteristik

kesesuaian lahan

Peta Tanah Peta Administrasi

Peta Kesesuaian lahan

Produksi Pakan Populasi Ternak Itik

Kebutuhan Pakan

- Ketersediaan Pakan - Daya dukung Pakan

Peta Potensi Pengembangan

Arahan Pengembangan

Analisis SWOT Survei Responden

Kelayakan Finansial

Strategi Pengembangan Wilayah

Wilayah Basis Itik (Analisis LQ) Kelas Kesesuaian

Lahan Sagu

Kelas Kesesuaian Lahan Padi Aktual

Kelas Kesesuaian Lahan Padi Potensial Peta Penggunaan


(38)

3.3.1 Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik dilakukan dengan cara mencari kriteria lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan ternak itik. Kriteria lingkungan ekologis ternak itik menggunakan parameter dari studi pustaka dan survey di lapangan.

Penilaian kesesuaian lahan untuk pakan ternak yaitu untuk beberapa jenis pakan yang dominan digunakan pada usaha peternakan itik di Kabupaten HSU dan berpotensi dikembangkan di lokasi penelitian. Pada penelitian ini penilaian kesesuaian lahan dilakukan terhadap tanaman sagu dan padi. Penilaian kesesuaian lahan dengan cara matching antara kualitas/ karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Untuk kriteria syarat tumbuh tanaman sagu diperoleh dari studi pustaka karena belum ada yang membuat kriteria kesesuaian untuk tanaman sagu. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk sagu pada ditetapkan pada tingkat ordo. Ordo merupakan tingkat keadaan kesesuaian secara global. Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). Adapun kesesuaian lahan untuk padi berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah lebak mengacu pada kriteria dari Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian Balai Besar Penelitian Tanah Departemen Pertanian. Peta yang digunakan yaitu peta jenis tanah tingkat sub group dengan skala 1 : 50.000 dan peta administrasi skala 1 : 50.000.

3.3.2 Analisis Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan

Analisis tingkat ketersediaan pakan ternak dilakukan dengan menghitung ketersediaan pakan ternak aktual dan daya dukung pakan ternak. Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan ekosistem yang dapat menjaga produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaharui (IUCN/UNEF/WWF

dalam Thapa el al,. 2000). Daya dukung wilayah terhadap ternak adalah kemampuan wilayah untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal (Ardhani, 2008). Sumberdaya lokal yang umumnya digunakan untuk pakan ternak itik yaitu ati (galih) pohon rumbia atau sagu yang dicincang, ikan air tawar yang direbus, dedak padi, dan keong air tawar (kalambuai) baik isinya maupun kulitnya yang ditumbuk halus.


(39)

Jumlah ternak dengan sumberdaya lahan yang dapat didukung dianggap sebagai daya dukung, yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Sumanto dan Juarini, 2006).

Indeks ketersediaan dan daya dukung dihitung dengan cara sebagai berikut :

Berdasarkan nilai indeks daya dukung diperoleh kriteria status daya dukung seperti pada tabel 2.

Tabel 2 Kriteria Status Daya Dukung Berdasarkan Indeks Daya Dukung

No Indeks daya

dukung Kriteria Keterangan

1 ≤ 1 Sangat kritis - Ternak tidak mempunyai pilihan dalam

memanfaatkan sumberdaya yang tersedia

- Terjadi pengurasan dalam agroekosistemnya

2 1-1,5 Kritis - Ternak telah mempunyai pilihan untuk

memanfaatkan sumberdaya tetapi belum terpenuhi aspek konservasi

3 1,5-2 Rawan - Pengembalian bahan organik ke alam

pas-pasan

4 2 Aman - Ketersediaan sumberdaya pakan secara

fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien

Sumber : kriteria Sumanto dan Juarini (2006)

Proyeksi ketersediaan dedak dihitung dari konversi produksi padi dengan asumsi produksi dedak sebesar 10% dari produksi padi (Rahayu, 2008).

3.3.3 Analisis Finansial

Untuk mengetahui tingkat keuntungan peternak per spesialisasi usaha maka dilakukan analisis pendapatan berdasarkan harga yang berlaku pada saat penelitian. Pada keempat spesialisasi usaha yang mana yang paling menguntungkan. yaitu dengan menganalisis biaya, penerimaan dan keuntungan


(40)

usaha ternak itik. Pendapatan usaha ternak itik merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya (Soekartawi,1995).

Pdi = TRi - TCi

Yaitu : Pdi = pendapatan usaha ternak itik TRi = penerimaan usaha ternak itik TCi = biaya total usaha ternak itik Dimana i = 1,2,3,4

1 = usaha ternak penetasan itik 2 = usaha ternak pembesaran itik

3 = usaha ternak penghasil telur konsumsi 4 = usaha ternak penghasil telur tetas

Kelayakan usaha ternak itik ditentukan dengan analisis finansial yaitu dengan menghitung NPV (Net Present Value), Net BCR (Net Benefit Cost Ratio), dan IRR (Internal Rate of Return) (Rustiadi, et al., 2009).

a. Net Present Value (NPV)

NPV merupakan nilai sekarang dari suatu usaha dikurangi dengan biaya sekarang dari suatu usaha pada tahun tertentu. NPV menghitung nilai sekarang dari aliran kas yaitu merupakan selisih antara Present Value (PV) manfaat dan Present Value (Biaya).

dimana:

Bt : manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha atau proyek pada time series (tahun, bulan, dan sebagainya).

Ct : biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proyek pada time series ke t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian, peralatan, tanah, konstruksi dan sebagainya)

i : merupakan tingkat suku bunga yang relevan


(41)

dengan kriteria yaitu:

1). Apabila nilai NPV > 0, maka pengembangan usaha ternak itik layak untuk dikembangkan

2). Apabila NPV = 0, maka pengembangan usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi

3). Apabila NPV < 0, maka pengembangan usaha ternak itik tidak layak dikembangkan

b. Net Benefit Cost Ratio (Net BCR)

Net BCR adalah perbandingan antara Present Value manfaat bersih positif dengan Present Value biaya bersih negatif. Dengan demikian Benefit Cost Ratio merupakan tingkat besarnya tambahan manfaat setiap penambahan satu satuan rupiah biaya yang digunakan.

Net BCR dirumuskan sebagai berikut:

atau

Dengan kriteria yaitu:

1) Apabila nilai B/C > 1, maka pengembangan usaha ternak itik layak untuk dikembangkan.

2) Apabila nilai B/C = 1, maka pengembangan usaha ternak Itik Alabio tidak untung dan tidak rugi

3) Apabila nilai B/C < 1, maka pengembangan usaha ternak Itik Alabio tidak layak untuk dikembangkan

c. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol, dan benefit cost ratio sama dengan satu. IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk untuk sumberdaya yang digunakan. IRR merupakan tingkat suku bunga yang membuat suatu usaha atau Industri akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha atau industri. Suatu usaha akan diterima bila IRR nya lebih besar dari suku bunga yang didiskonto


(42)

yang telah ditetapkan dan pada kondisi sebaliknya maka usaha akan ditolak. (Rustiadi et al., 2009).

Perhitungan IRR

Dimana:

i : tingkat discount rate pada saat NPV positif ii : tingkat discount rate pada saat NPV negatif

NPV’ : nilai NPV positif

NPV” : nilai NPV negatif

3.3.4 Analisis Ekonomi Basis

Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis dapat digunakan metode location quotient (LQ). (Rustiadi, et al., 2009). Pada penelitian ini analisis LQ digunakan untuk menentukan komoditas unggulan berdasarkan jumlah populasi ternak menurut wilayah kecamatan yang ada dalam satu kabupaten.

Nilai LQ diketahui dengan rumus:

.. .

.

/

/

X

X

X

X

LQ

j i ij ij

Keterangan:

LQij = indeks lokasi/wilayah ke-i untuk aktivitas ke-j

Xij = derajat pada wilayah ke-i untuk aktivitas ke-j

Xi. = derajat aktivitas total pada wilayah ke-i

X.j = derajat aktivitas ke-j pada total wilayah

X.. = derajat aktivitas total wilayah

i = wilayah yang diteliti (kecamatan atau kabupaten)

j = aktivitas ekonomi yang dilakukan (komoditas pertanian atau sektor ekonomi)

Hasil perhitungan LQ menghasilkan 3 (tiga) kriteria yaitu:

Apabila LQij > 1; artinya komoditas itu menjadi basis atau menjadi sumber


(43)

dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah

Apabila LQij = 1; artinya komoditas itu tergolong non basis, tidak memiliki

keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor,

Apabila LQij < 1; artinya komoditas ini termasuk non basis. Produksi komoditas di

suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar.

3.3.5 Arahan Pengembangan Peternakan Itik

Arahan pengembangan ternak itik dilakukan berdasarkan wilayah potensi pengembangan yang ditentukan dari luas lahan potensial padi dan lahan potensial sagu, indeks daya dukung pakan dedak padi, sagu dan wilayah basis.

Berdasarkan wilayah potensial tersebut diperoleh wilayah yang memiliki status daya dukung aman/rawan/kritis/sangat kritis dan wilayah basis atau non basis. Arahan pengembangan peternakan itik berdasarkan status daya dukung dan wilayah basis.

3.3.6 Analisis SWOT

Analisis SWOT dilakukan untuk menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik. Analisis Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) (Rangkuti, 1997).

Menurut Marimin (2004) proses yang dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan sebagai berikut:

1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks SWOT


(44)

Tahapan pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal a. Faktor Strategi Internal

Faktor strategi internal ditentukan dengan cara membuat daftar kekuatan dan kelemahan, kemudian diberi bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Selanjutnya menghitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 1 sampai dengan 4. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik), sedangkan variabel yang bersifat negatif kebalikannya. Selanjutnya untuk menentukan skor pembobotan dengan mengalikan bobot dengan rating. b. Faktor Strategi Eksternal

Faktor strategi eksternal ditentukan dengan cara membuat daftar peluang dan ancaman, kemudian diberi bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Selanjutnya menghitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 1 sampai dengan 4 (1 = jawaban jelek, 2 = jawaban rata, 3 = jawaban di atas rata-rata, 4 = jawaban superior), selanjutnya untuk menentukan skor pembobotan dengan mengalikan bobot dengan rating.

Matrik SWOT digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis yang menggambarkan peluang dan ancaman eskternal yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis sebagai berikut:

Tabel 3 Matriks SWOT

INTERNAL EKSTERNAL STRENGTHS (S) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal WEAKNESSES (S) Tentukan faktor-faktor

kelemahan internal OPPORTUNIES (P) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang THREATHS (T)

Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal

STRATEGI ST

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

STRATEGI WT Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman


(1)

Lampiran 3 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Telur Konsumsi Skala 500 Ekor

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Benefit

Penjualan telur - 148,281,000 148,281,000 148,281,000 148,281,000 148,281,000 148,281,000 148,281,000 148,281,000 148,281,000 Penjualan itik afkir - 13,580,000 13,580,000 13,580,000 13,580,000 13,580,000 13,580,000 13,580,000 13,580,000 13,580,000

Total Benefit - 161,861,000 161,861,000 161,861,000 161,861,000 161,861,000 161,861,000 161,861,000 161,861,000 161,861,000 Discount Rate (12%/tahun) 1.0000 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523 0.4039 0.3606 Present Value Benefit - 144,518,750 129,034,598 115,209,463 102,865,592 91,844,278 82,003,820 73,217,696 65,372,943 58,368,699 Cost

1. Peralatan 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 2. Bibit Itik Dara 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 30,000,000 3. Pakan dan Vitamin 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 4. Kandang 8,000,000 - - - - - - - - -5. Penyusutan kandang 800,000 800,000 800,000 800,000 800,000 800,000 800,000 800,000 800,000

Total Cost 135,750,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 128,550,000 Discount Rate (12%/tahun) 1.0000 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523 0.4039 0.3606 Present Value Cost 135,750,000 114,776,786 102,479,273 91,499,351 81,695,849 72,942,722 65,127,431 58,149,492 51,919,189 46,356,419

Net Benefit (135,750,000) 33,311,000 33,311,000 33,311,000 33,311,000 33,311,000 33,311,000 33,311,000 33,311,000 33,311,000 Present Value Net Benefit (135,750,000) 29,741,964 26,555,325 23,710,112 21,169,743 18,901,556 16,876,389 15,068,205 13,453,754 12,012,281 Net Benefit Kumulatif (135,750,000) (106,008,036) (79,452,710) (55,742,599) (34,572,856) (15,671,300) 1,205,089 16,273,294 29,727,048 41,739,329

Net Present Value (NPV) 41,739,329

Net B/C Ratio 1.05

I R R 19.66%


(2)

Lampiran 4 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Telur Tetas

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Benefit

Penjualan telur - 164,250,000 164,250,000 164,250,000 164,250,000 164,250,000 164,250,000 164,250,000 164,250,000 164,250,000 Penjualan itik afkir - 13,168,000 13,168,000 13,168,000 13,168,000 13,168,000 13,168,000 13,168,000 13,168,000 13,168,000

Total Benefit - 177,418,000 177,418,000 177,418,000 177,418,000 177,418,000 177,418,000 177,418,000 177,418,000 177,418,000 Discount Rate (12%/tahun) 1.0000 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523 0.4039 0.3606 Present Value Benefit - 158,408,929 141,436,543 126,282,628 112,752,346 100,671,738 89,885,480 80,254,893 71,656,155 63,978,709 Cost

1. Peralatan 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 2. Bibit itik betina 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 3. Bibit itik jantan 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 3. Pakan dan Vitamin 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 115,310,000 4. Kandang 7,000,000 - - - - - - - - -5. Penyusutan kandang - 700,000 700,000 700,000 700,000 700,000 700,000 700,000 700,000 700,000

Total Cost 151,060,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 144,760,000 Discount Rate (12%/tahun) 1.0000 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523 0.4039 0.3606 Present Value Cost 151,060,000 129,250,000 115,401,786 103,037,309 91,997,597 82,140,712 73,339,921 65,482,072 58,466,136 52,201,907

Net Benefit (151,060,000) 32,658,000 32,658,000 32,658,000 32,658,000 32,658,000 32,658,000 32,658,000 32,658,000 32,658,000 Present Value Net Benefit (151,060,000) 29,158,929 26,034,758 23,245,319 20,754,749 18,531,026 16,545,559 14,772,821 13,190,018 11,776,802 Net Benefit Kumulatif (151,060,000) (121,901,071) (95,866,314) (72,620,994) (51,866,245) (33,335,219) (16,789,660) (2,016,839) 11,173,180 22,949,982

Net Present Value (NPV) 22,949,982

Net B/C Ratio 1.02

I R R 15.88%


(3)

Lampiran 5 Penggunaan Lahan di Kabupaten HSU

Lokasi Penelitian


(4)

RINGKASAN

ERVA NOORRAHMAH. Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan SETIA HADI.

Peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Usaha peternakan itik merupakan salah satu usaha peternakan yang mempunyai nilai ekonomis dan potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan. Populasi ternak itik di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan 0,23%. Sekitar 10,39% populasi ternak itik nasional terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2009 populasi ternak itik di Kalimantan Selatan berada pada urutan keempat dari populasi itik di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ditjennak, 2009).

Ternak itik di Kalimantan Selatan sebagian besar dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang merupakan sentra pengembangan itik Alabio. Populasi itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara sekitar 30,16% dari populasi itik di Provinsi Kalimantan Selatan. Ternak itik sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan kondisi lingkungan yang sebagian besar berupa hamparan rawa. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak itik karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan. Beternak itik merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jumlah peternak itik terbanyak dibandingkan peternak lainnya, yaitu sebanyak 4.902 peternak. Kontribusi subsektor peternakan dalam perekonomian Kabupaten Hulu Sungai Utara cukup besar. Sektor pertanian menyumbang 46,26% dari total PDRB Kabupaten dengan peranan subsektor peternakan menempati urutan ketiga setelah tanaman pangan dan perikanan yaitu sebesar 19,15%. Sumbangan dari peternakan itik sekitar 75,97% terhadap subsektor peternakan dan hasilnya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai potensi untuk pengembangan peternakan itik, namun dalam pengembangannya harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama aspek fisik wilayah dan sosial ekonomi.

Penelitian ini bertujuan: 1) mengetahui kesesuaian lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak; 2) menganalisis ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik; 3) mengetahui kelayakan finansial usaha peternakan itik; 4) mengetahui sentra peternakan itik berdasarkan keunggulan komparatif; 5) menentukan arahan pengembangan ternak itik berdasarkan potensi sumberdaya lahan; dan 6) menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik menunjukkan bahwa seluruh areal studi wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara sesuai secara ekologis, karena pada umumnya ternak unggas dapat hidup pada semua kondisi lahan yang ada, baik lahan yang berair maupun kering. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara umumnya memanfaatkan sagu dan dedak sebagai campuran pakan ternak itik. Oleh karena itu, untuk melihat potensi pengembangan ternak


(5)

itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara, kesesuaian lahan tanaman sagu dan padi dianalisis. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman sagu menunjukkan luas wilayah yang sesuai sagu sekitar 46.452 ha (51,70%), sedangkan lahan yang tidak sesuai seluas 43.400 ha (48,30%). Berdasarkan syarat tumbuh tanaman sagu faktor pembatas kesesuaian lahan yang menyebabkan lahan tidak sesuai (N) adalah drainase, jenis tanah dan lama genangan. Pada kesesuaian lahan aktual padi, luas wilayah yang terluas pada kelas N (tidak sesuai) yaitu sekitar 53,83%. Dengan perbaikan kondisi kejenuhan basa, perbaikan keasaman tanah (dengan menaikkan pH), dan kondisi genangan (pembuatan saluran air), maka kesesuaian lahan dapat dinaikkan dari N menjadi S3. Dengan demikian, terjadi pengurangan persentase lahan yang tidak sesuai. Pada hasil kesesuaian lahan padi potensial, luas lahan yang tidak sesuai berkurang menjadi 35,77%.

Hasil perhitungan ketersediaan dedak dengan populasi ternak tahun 2008 berdasarkan penggunaan lahan eksisting sawah pada masing-masing kesesuaian lahan, diperoleh indeks ketersediaan pakan dedak pada semua kecamatan kurang dari 1. Maka berdasarkan ketersediaan pakan dedak, semua wilayah tidak mencukupi kebutuhan untuk ternak itik. Hasil perhitungan daya dukung dedak berdasarkan potensi pengembangan padi diperoleh indeks daya dukung di Kecamatan Paminggir yang mempunyai status aman kecamatan lainnya nilai indeks daya dukungnya sangat kritis (kurang dari 1).

Hasil perhitungan ketersediaan pakan sagu menunjukkan bahwa hanya di Kecamatan Paminggir dan Haur Gading yang memiliki indeks ketersediaan lebih dari 1. Sedangkan perhitungan daya dukung sagu berdasarkan potensi pengembangan sagu menghasilkan status daya dukung sagu aman, pada sebagian besar kecamatan dengan nilai indeks lebih dari 2, kecuali Kecamatan Sungai Pandan dan Amuntai Utara.

Daya dukung pakan dedak pada lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan bahwa Kecamatan Paminggir yang mempunyai status daya dukung aman, sedangkan kecamatan lainnya, status daya dukungnya sangat kritis. Daya dukung sagu berdasarkan lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan kecamatan Paminggir, Danau Panggang dan Amuntai Selatan yang mempunyai status daya dukung aman. Selain pakan dedak dan sagu, peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara memanfaatkan pakan lokal

lainnya, yaitu keong rawa (biasa disebut kalambuai) sebagai sumber protein.

Berdasarkan perhitungan daya dukung keong, semua wilayah kecamatan mempunyai indeks daya dukung >1. Hal ini berarti Kabupaten Hulu Sungai Utara masih mampu memenuhi kebutuhan keong untuk pakan ternak itik.

Usaha peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara sudah memiliki spesialisasi usaha yang meliputi antara lain penetasan ternak, pembesaran, penghasil telur tetas, dan penghasil telur konsumsi. Hasil analisis pendapatan dan kelayakan finansial pada faktor diskonto 12 % menunjukkan keempat spesialisasi layak dan menguntungkan. Pada spesialisasi usaha penetasan skala 1000 butir telur tetas yang ditetaskan dengan 12 kali periode penetasan dalam satu tahun yaitu Rp. 7.460.000,-, nilai NPV Rp. 36.971.946,-, nilai BCR 1,38 dan IRR 16,50%. Pendapatan rata-rata dari usaha pembesaran itik pada skala 500 ekor yaitu sebesar Rp 19.050.000,- per tahun, nilai NPV Rp. 63.406.243,-, nilai BCR 1,58, nilai IRR 65,25%. Pendapatan yang diperoleh dari usaha penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas selama satu tahun berturut-turut yaitu Rp 25.311.000,- dan Rp 26.358.000,-. Dengan nilai NPV masing-masing sebesar Rp. 41.739.329,- dan Rp. 22.949.982,-, nilai BCR 1,05 dan 1,02, nilai IRR sebesar 19,66% dan 17,88%.

Hasil analisis Location Quotient (LQ) yang diidentifikasi untuk tujuh


(6)

dan itik, menunjukkan bahwa peternakan itik memusat di Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Amuntai Selatan. Nilai LQ paling tinggi di Kecamatan Sungai Tabukan.

Penentuan arahan pengembangan wilayah peternakan itik yaitu skenario pertama berdasarkan potensi pengembangan padi dengan wilayah basis, skenario kedua berdasarkan potensi pengembangan sagu dengan wilayah basis dan skenario ketiga berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu dengan wilayah basis. Dari potensi tersebut pada wilayah yang memiliki status daya dukung aman dan non basis diarahkan sebagai wilayah penyangga penyediaan pakan, kecamatan yang menjadi basis itik diarahkan sebagai wilayah budidaya, pada kecamatan non basis yang status daya dukungnya sangat kritis dan kritis, diarahkan untuk wilayah perdagangan dan pengolahan hasil.

Berdasarkan analisis SWOT (Strengths Weaknesses Opportunities

Threats) didapatkan kekuatan utama yaitu terdapat pusat pemasaran, kelemahan

utama yaitu sarana prasarana, peluang yang direspon baik yaitu meningkatnya permintaan telur dan daging itik, sedangkan ancaman yang pengaruhnya sangat kuat yaitu ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas untuk pengembangan ternak berdasarkan ancaman utama yaitu kurangnya ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas pengembangan wilayah berbasis peternakan itik yaitu penyediaan dan perluasan areal tanaman budidaya pakan lokal ternak itik untuk menunjang ketersediaan dan keberlanjutan pakan ternak lokal.


Dokumen yang terkait

Prevealence of Salmonella sp. on Hatched Failure of Eggs and One Week's Duckling at The Hatchery Center for Alabio Duck in The District of Hulu Sungai Utara South Kalimantan Selatan

0 5 6

Regional sustainable development in the Kepulauan Bangka Belitung Province (case studies regional economic transformation tin based mining)

3 71 349

Natural resource conflicts on iron sand mining area: an implication study of regional autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province)

0 14 255

Regional Development Planning based on Rubber Plantation : Case Studies in two Sub-districts in Cianjur District.

3 15 236

Regional sustainable development in the Kepulauan Bangka Belitung Province (case studies regional economic transformation tin-based mining)

0 3 683

Development strategy for community based park in Pontianak Kota District, West Kalimantan

0 12 107

Regional development strategy based on duck farming (Case Study in Hulu Sungai Utara District Kalimantan Selatan Province)

3 13 124

Study On Mangrove Potentials Of Silvofishery Development In Tulang Bawang District, Lampung Province

1 10 78

MAINTENANCE STRATEGY BASED ON RELIABILITY(CASE STUDY IN COOPERATIVA CAFÉ TIMOR, EAST TIMOR MAINTENANCE STRATEGY BASED ON RELIABILITY (CASE STUDY IN COOPERATIVA CAFÉ TIMOR, EAST TIMOR).

0 4 12

Kontaminasi Enterobacteriaceae pada telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Contamination of Enterobacteriacea on Alabio duck eggs in Hulu Sungai Utara District, South Kalimantan

0 0 7