Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu
PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN MINERAL
SELENIUM DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA
AYAM PETELUR UMUR 46-51 MINGGU
RIFQI WALUYO DJATI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Suplementasi
Vitamin E dan Mineral Selenium Dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur
Umur 46-51 Minggu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Rifqi Waluyo Djati
NIM D24100056
ABSTRAK
RIFQI WALUYO DJATI. Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral
Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu
Dibimbing oleh SUMIATI dan RITA MUTIA.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis dengan temperatur lingkungan dan
kelembaban udara relatif tinggi menyebabkan cekaman panas pada ayam petelur
sehingga menurunkan performa. Suplementasi sumber antioksidan dalam ransum
dapat mengurangi dampak negatif cekaman panas. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh suplementasi vitamin E, dan selenium dalam ransum
terhadap performa ayam petelur strain ISA-Brown umur 46-51 minggu. Penelitian
ini menggunakan 96 ekor ayam petelur umur 46 minggu. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4
ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 6 ekor ayam. Ransum perlakuan yaitu
P1 ransum kontrol (tanpa suplementasi), P2 (Ransum kontrol + suplementasi
selenium 0.8 ppm), P3 (Ransum kontrol + suplementasi vitamin E 300 ppm), dan
P4 (Ransum kontrol + suplementasi kombinasi selenium 0.8 ppm + vitamin E 300
ppm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi selenium dan
vitamin E maupun kombinasi dari keduanya dalam ransum tidak berbeda nyata
(P>0.05) terhadap parameter. Pengaruh kombinasi selenium dan vitamin E dalam
ransum mampu menngkatkan bobot telur dan menurunkan angka konversi pakan.
Kata kunci: ayam petelur, cekaman panas, performa, selenium, vitamin E
ABSTRACT
RIFQI WALUYO DJATI. Effects of Vitamin E and Selenium Supplementation in
Diets on Performances of Laying Hens age 46-51 weeks. Supervised by SUMIATI
and RITA MUTIA.
Indonesia as a tropical country with high ambient temperature and relatively
humidity cause heat stress-related decreases in laying hen performance.
Supplementation of antioxidants in the diet can reduce the negative effect of heat
stress. This study was aimed to determine the effects of Vitamin E, and Selenium
supplementation in the diets on the performances of Isa-Brown laying hens aged
46-51 weeks. Ninety six 46-weeks-old of laying hens were randomly assigned to 4
treatments, 4 replications of 6 birds each. The birds were fed either P1 = control
diet or P2 = control diet supplemented with Selenium (0.8 ppm Se optimin), P3 =
control diet supplemented with vitamin E (300 mg DL-α-tocopherol-acetate/kg
diet), or P4 = control diet supplemented with combination of Vitamin E and
Selenium (300 mg DL-α-tocopherol-acetate plus 0.8 mg Se optimin). Statistical
analysis results showed that the treatments did not influence (P>0.05) the
parameters observed. However, the result showed that combination of Vitamin E
and Selenium supplementation tend to increase the egg weight and decrease the
feed conversion.
Keywords: heat stress, laying hen, performance, selenium, vitamin E
PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN MINERAL
SELENIUM DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA
AYAM PETELUR UMUR 45-51 MINGGU
RIFQI WALUYO DJATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum
terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu
Nama
: Rifqi Waluyo Djati
NIM
: D24100056
Disetujui oleh
Dr Ir Sumiati, M Sc
Pembimbing I
Dr Ir Rita Mutia, M Agr
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Panca Dewi MHK M Si
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: (
)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul “Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral Selenium
Dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu”
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bulan Mei hingga Juli 2013 di
Laboratorium Lapang Blok C Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Suplementasi vitamin E,
Selenium maupun kombinasi keduanya sebagai sumber antioksidan terhadap
performa ayam petelur untuk mengatasi pengaruh negatif cekaman panas yang
dapat terjadi akibat suhu lingkungan yang tinggi di Indonesia. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana
Peternakan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, namun
demikian semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Bogor, Juli 2014
Rifqi Waluyo Djati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Alat
Kandang dan peralatan
Bahan
Ternak
Ransum
Lokasi dan waktu penelitian
Prosedur Penelitian
Persiapan kandang dan peralatan
Pemeliharaan
Peubah yang diamati
Bobot Telur
Produksi Telur Harian (Hen day)
Produksi Massa Telur
Konsumsi Pakan
Konversi Pakan
Analisis Ekonomi IOFC (Income Over Feed Cost)
Mortalitas
Rancangan Percobaan dan Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temperatur Kandang Penelitian
Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa Ayam Petelur
Bobot Telur
Konsumsi Ransum
Produksi Telur
Konversi Ransum
Analisis Ekonomi IOFC (Income Over Feed Cost)
Mortalitas
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
UCAPAN TERIMA KASIH
vi
vi
vi
1
2
2
2
2
2
2
3
4
4
4
5
5
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
7
8
10
11
11
11
13
13
13
13
15
17
18
DAFTAR TABEL
1 Susunan dan kandungan nutrient ransum penelitian
2 Komposisi Premix (Top Mix)
3 Performa ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu
(pemeliharaan umur 46-51 minggu)
4 Konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51
5 Kekurangan konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 minggu
per ekor dibandingkan standar ISA-Brown
6 Perhitungan ekonomi nilai Income Over Feed Cost per 1 kg
telur ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu
pemeliharaan (umur 46-51 minggu)
3
4
7
9
9
12
DAFTAR GAMBAR
1 Rataan bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown umur 46-51 minggu
2 Produksi telur hen day ayam petelur strain ISA-Brown umur
46-51 minggu
8
10
DAFTAR LAMPIRAN
1 ANOVA bobot telur ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
2 ANOVA produksi telur henday ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
3 ANOVA produksi telur massa ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
4 ANOVA konsumsi ransum harian ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
5 ANOVA konsumsi ransum kumulatif ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
6 ANOVA konsumsi energi metabolis ayam petelur
strain ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
7 ANOVA konsumsi protein kasar ayam petelur
strain ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
8 ANOVA konversi ransum ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
15
15
15
15
16
16
16
16
PENDAHULUAN
Pembangunan peternakan merupakan salah satu aspek penting dalam
menunjang pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraan peternak. Permintaan akan produk peternakan semakin meningkat
setiap tahunnya. Salah satu produk peternakan yang sangat digemari dan memiliki
nilai gizi yang tinggi serta mudah untuk didapatkan adalah telur ayam. Sebagian
besar telur ayam yang dikonsumsi masyarakat berasal dari ayam ras petelur. Ayam
ras petelur merupakan ternak unggul karena merupakan ternak persilangan dan
telah mengalami proses seleksi ketat sampai pada ”final stock” yang siap dipasarkan.
Ternak jenis unggul memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) pertumbuhan
cepat, (2) produksi tinggi, (3) efisiensi produksi tinggi. Dibalik sifat yang superior
tersebut ternak jenis unggul juga memiliki kelemahan yaitu sangat peka terhadap
perubahan lingkungan.
Pengaruh suhu lingkungan yang tinggi menjadi perhatian utama untuk
industri unggas khususnya yang berada di daerah tropis. Indonesia yang beriklim
tropis dengan rataan suhu cukup tinggi, yaitu berkisar antara 22 oC – 33 oC, dengan
kelembapan antara 55 % - 95 % (BMKG 2013) kurang ideal untuk pengembangan
ternak unggas. Pemeliharaan ayam petelur pada suhu udara kandang yang lebih
tinggi dari kebutuhan optimal akan menyebabkan ternak mengalami heat stress atau
hipertermia (Nuriyasa 2003). Menurut Daghir (2009), suhu nyaman untuk ayam
agar dapat berproduksi secara optimal yaitu berada pada kisaran 10 °C sampai 27 °C.
Suhu lingkungan di atas 30 °C dapat menyebabkan stres pada ayam petelur dewasa
(Daghir 1995). Yuwanta (2010) menambahkan temperatur ideal untuk
pemeliharaan ayam adalah 20 oC - 28 oC. Beberapa metode dapat diterapkan untuk
mengurangi pengaruh negatif dari heat stress, salah satunya adalah dengan
suplementasi mikronutrien yang berfungsi sebagai sumber antioksidan. Fungsi
antioksidan adalah mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan ikatan yang
aman sehingga menghentikan proses lipid peroksida. Selain itu, antioksidan
diperlukan dalam kondisi heat stress yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif
yaitu aktivitas radikal bebas tinggi (Sahin dan Kucuk 2003 ). Mujahid et al. (2007)
menyatakan bahwa stres oksidatif yaitu kondisi aktivitas radikal bebas yang
melebihi antioksidan. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan
reaktif sehingga dapat merusak molekul biologis seperti DNA, protein, lemak, dan
karbohidrat (Surai 2003).
Vitamin E dan selenium merupakan salah satu antioksidan utama yang dapat
menangkal masuknya radikal bebas kedalam tubuh akibat dari konsisi stres
lingkungan (Akil et al. 2009) menyatakan Vitamin E merupakan komponen
antioksidan utama dalam sistem biologis dan berperan penting dalam pengaturan
metabolisme, melindungi struktur seluler dan menjaga stabilitas membran biologi
dari kerusakan dan juga merupakan bagian penting dari reaksi reduksi oksidasi sel.
Selenium (Se) merupakan komponen fungsional berbagai selenoprotein tubuh yang
penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. MacPherson (1994) menyatakan
bahwa peranan selenium sangat penting pada ternak, terutama dalam aktivitas
selenoenzim, Gluthatione peroksidase (GSH-Px). Enzim tersebut mampu
melindungi sel dari berbagai kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Ternak
unggas yang mengalami defisiensi Se, pertumbuhan dan produktivitasnya akan
2
terganggu. Menurut Surai (2003), defisiensi Se dapat menurunkan produksi telur
dan meningkatkan mortalitas embrio. MacPherson (1994) menyatakan bahwa
aktivitas Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama
yang dapat menghilangkan radikal bebas, keduanya merupakan antioksidan yang
berperan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas.
Oleh karena itu system antioksidan ini diharapkan mampu mengurangi stress
oksidatif pada ayam petelur sehingga menghasilkan performa yang baik
Berdasarkan hal-hal di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji
pengaruh suplementasi vitamin E dan mineral Se maupun kombinasi dari keduanya
sebagai antioksidan terhadap performa ayam petelur.
METODE PENELITIAN
Alat
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang baterai sebanyak 48 petak yang
terbuat dari kawat dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Tiap
petak berisi 2 ekor ayam. Ukuran setiap petak kandang adalah panjang 92 cm, lebar
47 cm dan tinggi 44 cm. Peralatan yang digunakan adalah lampu sebagai alat
penerangan, timbangan, plastik ransum, termometer ruang, egg-tray dan ember
plastik.
Bahan
Ternak
Penelitian ini menggunakan ayam petelur strain Isa Brown sebanyak 96 ekor
berumur 46 minggu dengan bobot badan rata-rata 1.53 ± 0.05 kg dengan masa
adaptasi selama 1 minggu. Ternak tersebut diperoleh dari PT. Ciomas Adisatwa,
Ciomas Bogor.
Ransum
Ransum diberikan dalam bentuk mash. Bahan pakan penyusun ransum yang
digunakan adalah jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai, CGM, tepung MBM,
NaCl, CaCO3, premix, dan DL-Methionin. Ransum disusun berdasarkan
rekomendasi Leeson dan Summers (2005). Sumber Vitamin E yang digunakan
dalam penelitian ini adalah vitamin E 50 (kandungan vitamin E 50 %) dan sumber
mineral selenium optimin 0.3 %. Vitamin E dan mineral selenium yang digunakan
berbentuk serbuk sehingga langsung dicampurkan dengan ransum menggunakan
mixer. Susunan ransum yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1. Komposisi premix yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Unggas. Analisis energi
bruto, kalsium, phosphor dan NaCl dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi
Pakan, analisis kandungan selenium telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak
Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, penelitian dilakukan selama 3 bulan pada bulan Juni sampai
dengan Agustus 2013.
Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien ransum penelitian
Bahan Pakan
Jagung kuning
Dedak halus
Bungkil kedelai
Meat bone meal
Corn gluten meal
Minyak
Dicalcium phosphate
CaCO3
Dl-Methionine
NaCl
Premix
Total
Selenium (ppm)
Vitamin E (ppm)
Kandungan Nutrien :
Energi bruto (kkal kg-1) 2)
Energi metabolis (kkal kg1 4)
)
Bahan kering (%)2)
Kadar air (%)1)
Abu (%)1)
Protein kasar (%)1)
Serat kasar (%)1)
Lemak kasar (%)1)
Ca (%)2)
P total (%)2)
NaCl (%)2) 3)
Selenium (ppm)
Vitamin E (ppm)4
P1 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
-
P2 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
0.8
-
P3 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
300
P4 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
0.8
300
3,358
2,857
3,358
2,857
3,358
2,857
3,358
2,857
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.00435
18.045
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.80435
18.045
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.00435
318.045
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.8435
318,045
1)
Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut
Pertanian Bogor (2013); 2) Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan (2013); 3) Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah,
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2013); 4) Hasil perhitungan
4
Tabel 2 Komposisi premix (Top Mix)
Kandungan Nutrien tiap 10 kg :
Vitamin A
Vitamin D3
Vitamin E
Vitamin K
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B6
Vitamin B12
Vitamin C
Calcium-D-panthothenate
Niacin
Choline chloride
Methionine
Lysine
Manganese
Iron
Iodine
Zinc
Cobalt
Copper
Zinc bacitracin
Excipient q.s
12 000 000 IU
2 000 000 IU
8 000 IU
2 000 mg
2 000 mg
5 000 mg
500 mg
12 000 µg
25 000 mg
6 000 mg
40 000 mg
10 000 mg
30 000 mg
30 000 mg
120 000 mg
20 000 mg
200 mg
100 000 mg
200 mg
4000 mg
21 000 mg
10 000 mg
Sumber : PT Medion
Prosedur Penelitian
Persiapan Kandang dan Peralatan
Persiapan kandang dimulai dengan memasang kandang berupa kandang
baterai yang terbuat dari kawat sebanyak 48 buah, setiap kandang berisi 2 ekor
ayam. Sebelum kandang dan peralatan digunakan maka dibersihkan terlebih dahulu,
setelah itu dilakukan pengapuran pada kandang dan diberi disinfektan, masingmasing ulangan terdiri dari 6 ekor. Sebelum masuk pada perlakuan ayam-ayam
tersebut ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot badan awal kemudian
dilakukan pengacakan.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilaksanakan selama 6 minggu dengan masa adaptasi pakan
selama 1 minggu. Masa adaptasi ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh
pakan sebelumnya, dengan memberikan pakan perlakuan secara bertahap. Ayam
sebanyak 96 ekor dibagi dalam 4 perlakuan dengan 4 ulangan. Selama penelitian
pakan dan air minum diberikan ad libitum dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi
(jam 07.00) dan sore (17.00). Pengukuran suhu dilakukan sebanyak 3 kali, pada
saat pagi (jam 08.00), siang (12.00), dan sore (16.00) sedangkan pengukuran
kelembaban dilakukan sekali sehari (jam 08.00). Telur yang diproduksi setiap
5
harinya ditimbang menggunakan timbangan digital. Penimbangan
penghitungan pakan yang dikonsumsi dilakukan setiap minggu.
dan
Peubah yang Diamati
Bobot Telur (g butir-1)
Bobot telur diperoleh dari pembagian antara jumlah bobot telur (gram) yang
diproduksi dengan jumlah telur (butir) yang dihasilkan.
Produksi Telur Harian Hen day (%)
Produksi telur harian adalah produksi telur dalam suatu kelompok ayam
petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur terhadap jumlah ayam
petelur yang hidup selama pencatatan. Produksi telur hen day (%), diukur dengan
mencatat produksi telur harian selama 6 minggu.
Hen day (%) =
Jumlah telur pada hari itu (butir)
Jumlah ayam hidup (ekor)
x 100%
Produksi Massa Telur (g ekor-1)
Produksi massa telur adalah jumlah bobot telur yang dihasilkan oleh setiap
ekor ayam selama 7 minggu. Produksi massa telur diperoleh dari penimbangan
bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam pada setiap harinya, kemudian
dijumlahkan selama 7 minggu.
Konsumsi Pakan (g ekor-1 hari-1)
Konsumsi pakan diperoleh dari selisih jumlah pakan yang diberi pada awal
minggu dengan sisa pakan pada akhir minggu. Pengukuran konsumsi pakan
dilakukan dengan rumus.
Konsumsi pakan =
Jumlah pakan yang dikonsumsi selama 7 hari
Jumlah ayam x 7 hari
Konversi Pakan
Konversi Pakan, dihitung dengan cara membagi jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan produksi massa telur.
Konversi Pakan =
Jumlah ransum yang dikonsumsi (g ekor-1 hari-1)
Produksi massa telur (g ekor-1 hari-1)
Analisis Ekonomi Income Over Feed Cost (IOFC)
IOFC dihitung dengan mengetahui harga pakan perlakuan dengan
banyaknya konsumsi pakan dan harga jual telur dengan produksi telur.
Perhitungan IOFC untuk ayam petelur adalah sebagai berikut :
Pendapatan = (Produksi telur per kg x harga telur per kg),
Biaya Produksi = (Konsumsi pakan x harga pakan perlakuan per kg)
IOFC = Pendapatan – Biaya produksi
6
Mortalitas (%)
Mortalitas adalah jumlah ayam petelur yang mati selama penelitian.
Mortalitas diperoleh dari membandingkan jumlah ayam yang mati dengan jumlah
ayam pada awal pemeliharaan.
Rancangan Percobaan dan Analisa Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, masing-masing ulangaan menggunakan 6 ekor
ayam. Model matematika yang digunakan adalah (Steel dan Torrie 1993):
Yij = μ + τi + εij
Keterangan:
Yij
= Pengaruh respon perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Error (galat) perlakuan ke-i ulangan ke-j
Perlakuan yang diberikan adalah :
P1 = ransum kontrol
P2 = ransum kontrol + 0.8 mg Se kg-1 ransum
P3 = ransum kontrol + 300 mg vitamin E kg-1 ransum
P4 = ransum kontrol + 300 mg vitamin E kg-1 ransum + 0.8 mg Se kg-1 ransum
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat
perbedaan nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temperatur Kandang Penelitian
Rataan temperatur kandang penelitian pada pagi hari 24.8 oC, siang hari 31
C, serta sore hari 28.8 oC. Kisaran temperatur tersebut relatif lebih tinggi dari yang
direkomendasikan Leeson dan Summer (2001) untuk lingkungan pemeliharaan
ayam petelur yang optimum, yaitu berkisar antara 22 oC sampai 27 oC.
o
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Petelur
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi 0.8 mg kg-1 Se (P2),
300 mg kg-1 vitamin E (P3) dan 300 mg kg-1 vitamin E + 0.8 mg kg-1 Se (P4) dalam
ransum tidak mempengaruhi bobot telur,produksi telur hen day, produksi massa
telur, konsumsi kumulatif, konsumsi harian, konversi ransum dan nilai IOFC
dibandingkan dengan kontrol (P1).
Pengaruh suplementasi vitamin E dan Se maupun kombinasi keduanya pada
ransum terhadap performa (bobot telur, produksi telur hen day, produksi massa telur,
konsumsi kumulatif, konsumsi harian, konversi ransum) ayam petelur strain Brown
selama pemeliharaan 6 minggu (umur 46-51 minggu) disajikan pada Tabel 3.
7
Tabel 3 Performa ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu penelitian
(umur 46-51 minggu)
Peubah
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
53.94 ± 0.59
54.70 ± 1.06
54.94 ± 1.69
55.85 ± 0.98
78.97 ± 5.47
76.05 ± 7.43
72.32 ± 4.22
74.89 ± 7.17
Produksi massa telur
(g ekor-1)
1788.23 ± 111.92
1761.08 ± 191.05
1658.62 ± 114.56
1744.71 ± 161.21
Konsumsi kumulatif
(g ekor-1)
4236.96 ± 22.35
4217.78 ± 22.43
4266.59 ± 16.06
4195.99 ± 15.48
Konsumsi harian
(g ekor-1 hari-1)
100.88 ± 3.19
100.42 ± 3.2
101.59 ± 2.29
99.90 ± 2.21
Konversi ransum
2.41 ± 0.29
2.47 ± 0.39
2.63 ± 0.25
2.49 ± 0.31
Bobot telur (g butir-1)
Produksi
telur
henday %
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E).
Bobot Telur
Analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E dan selenium
maupun kombinasi keduanya dalam ransum ayam tidak mempengaruhi bobot telur
ayam pada penelitian ini. Hal ini karena konsumsi protein, strain ayam, temperature
lingkungan dan ukuran pullet pada suatu kelompok relatif sama. Bobot telur tidak
dipengaruhi oleh peningkatan energi metabolis, tetapi lebih dipengaruhi oleh
kandungan protein ransum. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Wu et
al. (2005), menjelaskan bahwa strain ayam dan kandungan energi tidak
mempengaruhi bobot telur tetapi peningkatan kandungan protein sebesar 12 % 18 % dapat meningkatkan bobot telur.
Rataan bobot telur dari semua perlakuan adalah berkisar 53.93 - 55.81 g butir1
. Bobot telur dari hasil penelitian tergolong ukuran sedang sesuai dengan
ketentuan (SNI 2008). Klasifikasi telur konsumsi berdasarkan bobotnya dibedakan
menjadi tiga kategori yaitu kecil (kurang dari 50 gram), sedang (50 - 60 gram), dan
besar (lebih dari 60 gram). Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan
standar rataan bobot telur ISA Brown umur 46 - 51 minggu yaitu 63.6 - 63.8 g butir1
(ISA 2011). Menurut Leeson dan Summers (2001), disamping faktor genetik dan
ukuran tubuh unggas, protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat
makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur. Setiap perlakuan
menggunakan strain, kandungan nutrien dan temperatur lingkungan yang relatif
sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran telur yaitu bobot badan baik
saat dewasa kelamin dan periode bertelur, untuk awal masa produksi yang ideal
dibutuhkan bobot badan bertelur sesuai dengan kriteria (Leeson dan Summers
2001). Rataan bobot ayam penelitian (umur 46 minggu) adalah 1.530 kg, bobot
tersebut tidak sesuai dengan standar ISA-A Hendrix Genetic Company (2011)
dimana bobot badan ayam petelur strain ISA-Brown pada fase produksi kedua
(umur 46 minggu) sebesar 1.945 kg.
Hasil penelitian menunjukkan bobot telur yang paling tinggi dicapai oleh
perlakuan dengan suplementasi kombinasi vitamin E dan selenium yakni sebesar
55.81 g butir-1 terjadi kenaikan 3.4 % dari bobot telur kontrol. Hal ini diduga bahwa
8
Rataan bobot telur (g/butir)
sistem antioksidan yang dihasilkan dari kombinasi vitamin E dan selenium
memberikan pengaruh dalam melindungi oksidasi lemak dari pakan sehingga
meningkatkan bobot telur. Asam lemak mengandung sumber energi yang tinggi dan
dapat digunakan sebagai sumber energi yang efisien untuk meningkatkan bobot
telur. Pakan yang kekurangan asam lemak yaitu linoleic menurunkan bobot telur
secara signifikan khususnya kuning telur serta menurunkan produksi telur (Lesson
dan Summers 1983). Bobot telur akan meningkat seiring dengan meningkatnya
umur ayam. Menurut Amrullah (2003) ukuran dan bobot telur dipengaruhi oleh
umur ayam, komponen pakan dan suhu atau cuaca. Menurut Leeson dan Summers
(2001), disamping ukuran tubuh unggas, protein dan asam amino (terutama
metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran
telur. Amrullah (2004) menyatakan bahwa protein yang akan digunakan pada
proses pembentukan telur sebesar 55 % - 60 % dari protein yang dikonsumsi. Grafik
bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
58.00
57.00
56.00
55.00
54.00
53.00
52.00
51.00
46
47
48
49
50
51
Umur (minggu)
Gambar 1 Rataan bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown (umur 45-51 minggu)
P1 Kontrol
P2 Se
P3 Vit E
P4 Se + Vit E
Grafik rataan bobot telur pada Gambar 1 menunjukkan adanya penurunan
produksi hingga minggu ke 3 pemeliharaan dan terjadi peningkatan bobot telur
pada minggu ke 4 dan seterusnya. Pada awal produksi cenderung menghasilkan
telur yang berukuran lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah besar seiring
dengan bertambahnya umur ayam dan perkembangan saluran reproduksi.
Konsumsi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin
E dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum.
Namun demikian ransum perlakuan dengan penambahan 300 ppm vitamin E tidak
nyata meningkatkan konsumsi ransum dibanding kontrol. Meningkatnya konsumsi
ransum pada ayam yang diberi ransum dengan suplementasi vitamin E 300 ppm
menyebabkan meningkatnya konsumsi energi metabolis dan protein kasar
(Tabel 4).
9
Tabel 4 Konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 minggu
Perlakuan
Konsumsi
-1
Energi Metabolis (kkal Protein Kasar
Ransum (g ekor
-1
ekor-1 hari-1)
(g ekor-1 hari-1)
hari )
P1
100.88
288.21
18.18
P2
100.42
286.90
18.10
P3
101.59
290.24
18.31
P4
99.9
285.41
18
Konsumsi
105
288.75
17.5
1)
standar
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E). 1) Hendrix_genetics (2011)
Meskipun demikian, konsumsi zat nutrisi lebih rendah jika dibandingkan
dengan standar ISA-Brown, sehingga terlihat kekurangan konsumsi zat nutrisi pada
setiap perlakuan (Tabel 5)
Tabel 5 Kekurangan konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur
ekor dibandingkan standar ISA-brown
Perlakuan
Konsumsi
Ransum
Energi Metabolisme
(kkal ekor-1 hari-1)
(g ekor-1 hari-1)
P1
-4.12
-0.54
P2
-4.58
-1.85
P3
-3.41
1.49
P4
-5.1
-3.34
46-51 minggu per
Protein Kasar
(g ekor-1 hari-1)
0.68
0.6
0.81
0.5
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E).
Rataan konsumsi ransum ayam selama 6 minggu penelitian (umur 46-51
minggu) pada semua perlakuan berkisar 99.90-101.59 g ekor-1 hari-1 (Tabel 2).
Rataan konsumsi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan standar konsumsi
ransum ayam petelur coklat sebanyak 102 - 105 g ekor-1 hari-1 dengan kandungan
protein 17.5 % dan energi metabolis 2850 kkal kg-1 (Leeson dan Summer 2005).
Hal ini disebabkan suhu lingkungan pemeliharaan yang tinggi, sehingga tidak
optimum untuk pemeliharaan ayam petelur. Leeson dan Summers (2001)
menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bangsa ayam, temperatur
lingkungan, banyaknya massa telur yang dihasilkan dan kandungan energi ransum
apabila faktor manajemen telah dikontrol dengan baik.
Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan pada
ayam petelur yang sedang tumbuh dan presentasi penurunan konsumsi pakan
bervariasi dari 1.3 % setiap kenaikan 1 oC pada 21 oC hingga 3 % penurunan mulai
pada 38 oC (Daghir 2008). Pada saat suhu lingkungan pemeliharaan relatif tinggi
ayam diduga mengalami cekaman panas (heat stress) dimana aktivitas radikal bebas
yang tinggi dan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif pada ayam petelur
tersebut dapat menurunkan konsumsi ransum (Mashaly et al. 2004). Kandungan
nutrien ransum kontrol maupun perlakuan hampir sama, perbedaannya hanya pada
suplementasi vitamin E atau Se maupun kombinasi dari keduanya.
10
Produksi Telur
Rataan produksi telur henday yang dihasilkan selama penelitian ini adalah
72.32 % - 78.97 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan suplementasi
vitamin E dan selenium dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata pada
produksi telur harian dan produksi massa telur ayam. Ransum kontrol
menunjukkan hasil peningkatan produksi telur tertinggi hingga 78.97 %,
suplementasi selenium dapat menghasilkan 76.05 %, produksi telur tersebut lebih
besar dibandingkan perlakuan dengan kombinasi suplementasi vitamin E dan
selenium dan suplementasi vitamin E saja yang masing masing sebesar 74.89 %
dan 72.32 %. Standar henday strain ISA Brown umur 46 - 51 minggu berkisar 91 %
- 89 % (ISA 2011). Produksi telur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti strain
ayam, ransum yang diberikan, mortalitas, culling, kesehatan dan manajemen
pemeliharaan, umur pertama bertelur, puncak produksi telur serta persistensi
bertelur (Farooq et al. 2002). Mashaly (2004) menyatakan bahwa produksi telur
dipengaruhi oleh temperatur lingkungan pemeliharaan yang tinggi. Penurunan
produksi telur dapat terjadi akibat penuruan konsumsi ransum, sehingga kebutuhan
nutrisi yang essensial untuk produksi telur tidak terpenuhi. Ciftci et al. (2005)
menjelaskan bahwa pada saat terjadi cekaman panas konversi norepinephrine
menjadi epinephrine meningkat dan menyebabkan degradasi folikel-folikel telur
pada ovarium.
Produksi telur hen day (%)
Rataan produksi telur hen day selama 6 minggu penelitian disajikan pada
Gambar 2.
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
46
47
48
49
50
51
Umur (minggu)
Gambar 2 Produksi telur hen day perlakuan dibandingkan standar ayam petelur
strain ISA-Brown Umur 46-51 minggu
P1 Kontrol
P2 Se
P3 Vit E
P4 Se + Vit E
Standar ISA-Brown
Terlihat bahwa secara umum grafik produksi telur harian ayam selama
penelitian semakin menurun seiring dengan pertambahan umur ayam. Romanoff
dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara umur ayam
dengan produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin
bertambahnya umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap.
Hal ini erat hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada
organ-organ tubuh dan jaringan. Puncak produksi telur ayam petelur strain ISA-
11
Brown berada pada kisaran umur ayam antara 26 sampai 28 minggu (ISA-A
Hendrix Genetic Company 2011).
Konversi Ransum
Berdasarkan sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin E 300 ppm dan selenium 0.8 ppm tidak berpengaruh nyata terhadap
konversi ransum ayam petelur ISA-Brown (umur 46-51 minggu). Tidak adanya
pengaruh perlakuan secara statistik terhadap konversi ransum disebabkan karena
data konversi ransum yang diperoleh setiap perlakuan hampir sama. Rataan
konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.41 – 2.63. rataan
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan standar ISA Hendrix Genetic Company
(2011) yang menyatakan ayam petelur strain ISA-Brown yang berumur 46-51
minggu memiliki konversi ransum 2.13. Tingginya konversi ransum ini
dibandingkan standar disebabkan ayam petelur yang digunakan dalam penelitian
ini berada pada fase kedua produksi telur sehingga produksi telurnya menurun dan
konsumsi zat nutrisi untuk pembentukan sebutir telur kurang tercukupi dari ransum
yang digunakan.
Data konversi ransum yang paling rendah adalah perlakuan kontrol dan paling
tinggi adalah perlakuan P3 ransum dengan penambahan Vitamin E Rataan konversi
ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.41-2.63, berdasarkan rataan
tersebut ransum perlakuan kontrol yang paling efisien karena pada perlakuan ini
ayam petelur memiliki produksi telur yang diimbangi dengan konsumsi ransum
yang lebih tinggi diantara ayam yang diberi suplementasi lainnya. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur lingkungan, daya
cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi ransum (Anggorodi 1995).
Mortalitas
Pada penelitian total kematian ada 6 ekor dari 96 ekor ayam dengan
presentase mortalitas 6.25% dari total populasi keseluruhan. Hal ini sedikit lebih
tinggi jika dibandingkan dengan standar persentase mortalitas strain ISA Brown
umur 46-51 minggu berkisar 2.2% - 2.7%. Total kematian tersebut dihitung mulai
dari minggu pertama perlakuan pada hari kedua yang merupakan kematian pertama.
Perlakuan P4 yang merupakan persentase mortalitas tertinggi kematian ayam
disebabkan karena mengalami prolapsus dan ukuran telur jumbo (70 g butir-1). Hal
ini diketahui dari ciri ciri pada saat ayam mati anus membengkak, ayam berada pada
posisi jongkok terlihat seperti ingin bertelur. Prolapsus disebabkan oleh kondisi
ayam yang sulit bertelur karena ukuran telurnya yang terlalu besar. Hal ini diduga
dengan suplementasi kombinasi Se dan vitamin E efisiensi penggunaan protein
meningkat sehingga menghasilkan telur dengan ukuran besar yang mengakibatkan
ayam sulit bertelur dan berujung kematian.
Analisis Ekonomi Income Over Feed Cost (IOFC)
Analisis perhitungan ekonomi Income Over Feed Cost 1 kg-1 telur ayam ISABrown berdasarkan koefisien teknis (FCR) dan harga pakan serta harga jual telur
yang disajikan pada Tabel 6.
12
Tabel 6 Perhitungan ekonomi nilai Income Over Feed Cost per 1 kg telur ayam
petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu pemeliharaan (umur 46-51
minggu)
Uraian
Konsumsi pakan
(kg ekor-1)
Harga pakan (Rp
kg-1)
Biaya pakan (Rp
ekor-1)
Produksi
telur
massa (kg ekor-1)
Harga telur (Rp
kg-1)
Pendapatan (Rp
ekor-1)
IOFC (Rp ekor-1
6 minggu-1)
Keterangan
a
P1
P2
P3
P4
4.237
4.218
4.267
4.196
6 098
6 359.34
6 383
6 644.34
25 836.98
26 822
27 234
27 880
1.78823
1.76108
1.65862
1.74471
20 000
20 000
20 000
20 000
35 764.6
35 221.6
33 172.4
34 894.2
9 927.62
8 399.30
5 939
7 015
b
(a x b) = A
c
d
(c x d) = B
B–A
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E). Perhitungan berdasarkan harga telur Rp.
20.000/kg
Harga pakan untuk ransum Kontrol/P1, P2, P3 dan P4 masing-masing adalah
Rp 6 098 kg-1, Rp 6 359,34 kg-1, Rp 6 383 kg-1 dan Rp 6 644,34 kg-1. Harga jual
telur Rp 20 000 kg-1. Perhitungan tambahan biaya pada ransum perlakuan yang
diberi suplementasi selenium dan vitamin E adalah untuk setiap penambahan 1 g
selenium dalam 1 kg pakan diperlukan biaya Rp 261 dan Rp 285 untuk 1 g vitamin
E dalam 1 kg pakan . Secara garis besarnya dapat digambarkan bahwa dari data
koefisien teknis (Tabel 3), maka untuk menghasilkan 1 kg telur, biaya pakan yang
diperlukan sebanyak Rp 25 837 dengan produksi massa 1.79 kg ekor-1 untuk ransum
kontrol, biaya pakan Rp 26 822 dengan produksi massa 1.76 kg ekor-1 untuk ransum
P2, biaya pakan Rp 27 234 dengan produksi massa 1,66 kg ekor-1 untuk ransum P3
dan biaya pakan Rp 27 880 dengan produksi massa 1.75 kg ekor-1 untuk ransum P4.
Sehingga IOFC yang diperoleh/kg telur dari ayam yang diberi pakan ransum
kontrol lebih banyak (Rp 9 927,62) dibandingkan dengan IOFC ransum P2 (Rp 8
399,3). Pada ransum P4 diperoleh IOFC (Rp 7 015) lebih tinggi daripada ransum
P3 (Rp 5 939). Hasil perhitungan IOFC dari kontrol adalah paling tinggi, sedangkan
pemberian suplementasi selenium dan vitamin E maupun kombinasi dari keduanya
lebih rendah. Rendahnya pendapatan IOFC pada ayam yang mendapat ransum
perlakuan ini adalah disebabkan oleh karena harga ransumnya yang cukup mahal
ditambah lagi efisiensi penggunaan ransumnya yang rendah. Lain halnya dengan
ransum kontrol yang harganya lebih murah karena tanpa penambahan biaya
suplementasi perlakuan dan efisiensi pengunaan ransumnya lebih tinggi.
Berdasarkan hal tersebut maka didapatkan bahwa pemberian ransum dengan
suplementasi selenium 0.8 ppm dan vitamin e 300 ppm maupun kombinasi
keduanya pada ayam petelur kurang efisien karena nilai IOFC yang lebih rendah
dibandingkan dengan tanpa suplementasi.
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Suplementasi vitamin E 300 ppm dan selenium 0.8 ppm dalam ransum dapat
maningkatkan ukuran telur namun tidak mempengaruhi performa ayam petelur
strain ISA-Brown umur 46-51 minggu seperti bobot telur, produksi hen day,
produksi massa telur, konsumsi ransum, konversi ransum, nilai IOFC dan belum
mampu mengurangi heat stress yang terjadi pada ayam selama pemeliharaan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suplementasi Selenium dan
vitamin E dengan konsentrasi yang berbeda pada fase umur ayam petelur yang lebih
muda.
DAFTAR PUSTAKA
Akil S, Piliang WG, Wijaya CH, Utomo DB, Wiryawan IKG. 2009. Pengkayaan
Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Pakan Puyuh Terhadap
Performa serta Potensi Telur Puyuh sebagai Sumber Antioksidan. JITV
14(1):1-10.
Anggorodi R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas : Kemajuan Mutakhir. Jakarta
(ID) : UI Pr.
Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke-3. Bogor (ID): Seri Beternak
Mandiri. Lembaga Satu Gunung Budi.
Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor (ID) : Lembaga Satu Gunung Budi.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Prakiraan Cuaca
Indonesia 2013. Jakarta (ID): Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Ciftci M, Ertas ON, Guler T. 2005. Effects of vitamin E and vitamin C dietary
supplementation on egg production and egg quality of laying hens exposep to
a chronic heat stress. Reveu de Medecine Veterinaire 156, 107-111.
Daghir NJ. 1995. Nutrient Requirements of Poultry at High Temperatures. Page
112 in: Poultry Production in Hot Climates. Daghir NJ ed. Cambridge (UK):
University Pr.
Daghir NJ. 2008. Poultry Production in Hot Climates 2nd Ed. Cambridge (UK):
CABI
Daghir NJ. 2009. Nutritional strategies to reduce heat stress in broilers and broiler
breeders. Lohman Inf. 44:6-15.
14
Farooq M, Mian MA, Durrani FR, Syed M. 2002. Egg production performance of
commercial laying hens in Chakwal district, Pakistan. Livest Res Rural Dev.
14 (2) 2002 [Internet]. [diunduh 25 Mei 2014]. Tersedia pada:
http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd14/2/faro142.htm
ISA, A Hendrix Genetics Company. 2011. ISA Brown Comercial Stock Product
Performances. ISAPoultry [internet]. Boxmeer (NL). [diunduh 20 Jan 2014].
Tersedia
pada:
http://www.isapoultry.com/products/isa/isabrown/~/media/Files
/ISA/ISA%20product%20information/ISA/Commercials/201112%20ISA%
20Brown%20FP%20product%20performance.pdf
Lesson S, Summers JD. 1983. Factors influencing early egg size. Poult Sci. 62:
1155-1159
Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. Ontarion, Canada
(CA): Univ Books.
Lesson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. Nottingham
(UK): Nottingham Univ Pr.
MacPherson A. 1994. Selenium, Vitamin E and Biological Oxidation. In: Recent
Advances in Animal Nutrition. P.C. Garnsworthy and DJA Cole, eds.
Notthingham (UK): Nottingham Univ Pr.
Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH.
2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses
of commercial laying hens. Poult Sci. 83:889–894.
Mujahid A, Akiba Y, Toyomizu M. 2007. Acute heat stress incudes oxidative stress
and decreases adaption in young white leg-horn cockerels by down regulation
of avian uncoupling protein. Poult Sci. 86:364-371.
Nuriyasa IM. 2003. The performance of cockerels housed in tile, zinc and coconut
leaf roof at the low altitude. Majalah Ilmiah Peternakan 2(1) 20-24
Romanoff AL, Romanoff AJ. 1963. The Avian Egg. New York (US): John Wiley
and Sons.
Sahin K, Kucuk O. 2003. Heat stress and dietary vitamin supplementation of
poultry diets. Nutr Abstr Rev Ser.B Livest Feeds Feed. 73: 41R-50R.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. Telur Ayam Konsumsi SNI-3926:2008.
Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Geometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka.
Surai PF. 2003. Natural Antioxidants In Avian Nutrition and Reproduction.
Nottingham (UK): Nottingham Univ Pr.
Wu G, Bryant MM, Voitle RA, Roland DA. 2005. Effect of dietary energy on
performance and egg composition of Bovans White hens during phase 1. Poult
Sci 84: 1610-1615.
Yuwanta T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ
Pr.
15
Lampiran 1 ANOVA bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown (umur 46-51
minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
7.446
15.883
23.329
KT
2.482
1.324
Fhit
1.875
Sig
.188
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 2 ANOVA produksi telur henday ayam petelur strain ISA-Brown (umur
46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
91.175
462.913
554.088
KT
30.392
38.576
Fhit
.788
Sig
.524
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 3 ANOVA produksi telur massa ayam petelur strain ISA-Brown (umur
46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
37607.035
264407.675
302014.710
KT
12535.678
22033.973
Fhit
.569
Sig
.646
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 4 ANOVA Konsumsi ransum harian ayam petelur strain ISA-Brown
(umur 46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
6.081
92.419
98.499
KT
2.027
7.702
Fhit
.263
Sig
.851
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
16
Lampiran 5 ANOVA Konsumsi ransum kumulatif ayam petelur strain ISA-Brown
(umur 46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
10765.647
163000.350
173765.997
KT
3588.549
13583.362
Fhit
.264
Sig
.850
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 6 ANOVA Konsumsi energi metabolis ayam petelur strain ISA-Brown
(umur 46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
49.803
754.251
804.068
KT
16.606
62.854
Fhit
.264
Sig
.850
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 7 ANOVA Konsumsi protein kasar ayam petelur strain ISA-Brown (umur
46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
.198
3.001
3.199
KT
.066
.250
Fhit
.264
Sig
.850
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 8 ANOVA konversi ransum ayam petelur strain ISA-Brown (umur 46-51
minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
.219
.737
.956
KT
.073
.061
Fhit
1.185
Sig
.356
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur
pada tanggal 25 Juli 1992. Penulis merupakan anak kedua
dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Timbul Suwarno
dan Ibu Sri Wulandari. Penulis menempuh pendidikan dasar
di SDN 2 Sriwulan pada tahun 1998-2004. Pendidikan
dilanjutkan di SMPN 1 Demak pada tahun 2004-2007
kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Demak pada
tahun 2007-2010.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB
(USMI). Selama kuliah, penulis aktif dalam beberapa organisasi dan kepanitiaan
diantaranya penulis pernah menjadi Ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Patra Atlas Semarang IPB periode 2010/2012. Selain itu penulis juga menjadi staff
koordinator divisi pengabdian masyarakat BEM Fakultas Peternakan dan sekaligus
menjadi Ketua Bina Desa Fakultas Peternakan IPB 2011/2012. Selain di BEM
penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak
(HIMASITER) IPB sebagai Ketua Biro KOMINFO 2012/2013. Sampai skripsi ini
ditulis penulis masih aktif terlibat dalam organisasi Klub Sekolah Peternakan
Rakyat (KSPR) IPB sebagai Ketua Divisi KOMINFO 2013/2014 dan terlibat
langsung dalam Program Pengabdian Masyarakat SPR di peternakan rakyat
Bojonegoro. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan internship program South East
Asia Animal Science Student Networking (SEAASS-Net) di UiTM Perlis Malaysia
selama 2 minggu pada tahun 2012. Beberapa prestasi akademik yang pernah penulis
raih diantaranya penulis menjadi juara ke-2 Olimpiade Sains Nasional SMA
Tingkat Kabupaten Demak bidang Komputer. Penulis memperoleh dana hibah
DIKTI untuk pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang
Penelitian (2011), bidang Kewirausahaan (2012), bidang Penelitian (2013), dalam
bidang non akademik penulis juga pernah menjadi juara 2 pada lomba 2 lomba
paduan suara tingkat Fakultas Peternakan 2013 dan juara 2 lomba akustik tingkat
Fakultas Peternakan 2014 . Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum mata
kuliah Teknik dan Formulasi Ransum pada semester 8 tahun akademik 2013/2014.
18
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirobil`alamin. Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak
terhingga sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan
terimakasih dengan penuh rasa hormat dan cinta kepada kedua orang tua ayah
tercinta Timbul Suwarno dan ibunda tercinta Sri Wulandari serta kakak tersayang
Adry Waskito Nugroho atas segala doa, dukungan moral, materi, perhatian dan
kasih sayangnya. Kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc Sebagai Dosen Pembimbing Utama
dan dosen Pembimbing Akademik, dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr sebagai Dosen
Pembimbing Anggota yang telah membimbing penelitian atas segala kemudahan,
kesabaran, nasehatnya untuk memberikan tuntunan, serta pengorbanan waktu dan
pikirannya dari mulai penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini. Kepada Ir. Dwi
Margi Suci, M.S selaku dosen penguji seminar terimakasih banyak masukan
ilmunya serta Dr. Ir. Iwan Prihantoro, M.Si selaku panitia seminar pada tanggal 13
Februari 2014. Kepada Dosen penguji sidang Dr. Ir. Widya Hermana, M.Si dan Dr.
Ir. Rukmiasih M.Si terima kasih atas saran dan masukan ilmu selama ujian sidang
berlangsung pada tanggal 11 Juni 2014.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff dan karyawan
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, atas bantuannya kepada Penulis. Kepada Teguh Cahya Gumilar
selaku teman satu dosen Pembimbing Akademik dan satu penelitian selama
pengumpulan data atas semua dukungan, suka duka, bantuan dan semangatnya.
Kepada kakak kelas penulis Mas Reymun dan Mas Robi terima kasih atas bantuan
dan ilmu yang telah diajarkan selama menjalani masa kritis skripsi. Kepada rekanrekan INTP yang telah membantu pelaksanaan penelitian di kandang bersama
Penulis (Eka Rachmi, Ichsan, Ikhwan, Achmad Zainuri/Somad, Gandha, Amalia
dan yang lainnya), serta temen-teman Nutrisi 47 (D.Net), Kost Bumi Alit atas
semua bantuan dan dukungannya. terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis maupun
Pembaca.
SELENIUM DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA
AYAM PETELUR UMUR 46-51 MINGGU
RIFQI WALUYO DJATI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Suplementasi
Vitamin E dan Mineral Selenium Dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur
Umur 46-51 Minggu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Rifqi Waluyo Djati
NIM D24100056
ABSTRAK
RIFQI WALUYO DJATI. Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral
Selenium dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu
Dibimbing oleh SUMIATI dan RITA MUTIA.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis dengan temperatur lingkungan dan
kelembaban udara relatif tinggi menyebabkan cekaman panas pada ayam petelur
sehingga menurunkan performa. Suplementasi sumber antioksidan dalam ransum
dapat mengurangi dampak negatif cekaman panas. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh suplementasi vitamin E, dan selenium dalam ransum
terhadap performa ayam petelur strain ISA-Brown umur 46-51 minggu. Penelitian
ini menggunakan 96 ekor ayam petelur umur 46 minggu. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4
ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 6 ekor ayam. Ransum perlakuan yaitu
P1 ransum kontrol (tanpa suplementasi), P2 (Ransum kontrol + suplementasi
selenium 0.8 ppm), P3 (Ransum kontrol + suplementasi vitamin E 300 ppm), dan
P4 (Ransum kontrol + suplementasi kombinasi selenium 0.8 ppm + vitamin E 300
ppm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi selenium dan
vitamin E maupun kombinasi dari keduanya dalam ransum tidak berbeda nyata
(P>0.05) terhadap parameter. Pengaruh kombinasi selenium dan vitamin E dalam
ransum mampu menngkatkan bobot telur dan menurunkan angka konversi pakan.
Kata kunci: ayam petelur, cekaman panas, performa, selenium, vitamin E
ABSTRACT
RIFQI WALUYO DJATI. Effects of Vitamin E and Selenium Supplementation in
Diets on Performances of Laying Hens age 46-51 weeks. Supervised by SUMIATI
and RITA MUTIA.
Indonesia as a tropical country with high ambient temperature and relatively
humidity cause heat stress-related decreases in laying hen performance.
Supplementation of antioxidants in the diet can reduce the negative effect of heat
stress. This study was aimed to determine the effects of Vitamin E, and Selenium
supplementation in the diets on the performances of Isa-Brown laying hens aged
46-51 weeks. Ninety six 46-weeks-old of laying hens were randomly assigned to 4
treatments, 4 replications of 6 birds each. The birds were fed either P1 = control
diet or P2 = control diet supplemented with Selenium (0.8 ppm Se optimin), P3 =
control diet supplemented with vitamin E (300 mg DL-α-tocopherol-acetate/kg
diet), or P4 = control diet supplemented with combination of Vitamin E and
Selenium (300 mg DL-α-tocopherol-acetate plus 0.8 mg Se optimin). Statistical
analysis results showed that the treatments did not influence (P>0.05) the
parameters observed. However, the result showed that combination of Vitamin E
and Selenium supplementation tend to increase the egg weight and decrease the
feed conversion.
Keywords: heat stress, laying hen, performance, selenium, vitamin E
PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN MINERAL
SELENIUM DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA
AYAM PETELUR UMUR 45-51 MINGGU
RIFQI WALUYO DJATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum
terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu
Nama
: Rifqi Waluyo Djati
NIM
: D24100056
Disetujui oleh
Dr Ir Sumiati, M Sc
Pembimbing I
Dr Ir Rita Mutia, M Agr
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Panca Dewi MHK M Si
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: (
)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul “Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan Mineral Selenium
Dalam Ransum terhadap Performa Ayam Petelur Umur 46-51 Minggu”
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bulan Mei hingga Juli 2013 di
Laboratorium Lapang Blok C Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Suplementasi vitamin E,
Selenium maupun kombinasi keduanya sebagai sumber antioksidan terhadap
performa ayam petelur untuk mengatasi pengaruh negatif cekaman panas yang
dapat terjadi akibat suhu lingkungan yang tinggi di Indonesia. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana
Peternakan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, namun
demikian semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Bogor, Juli 2014
Rifqi Waluyo Djati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Alat
Kandang dan peralatan
Bahan
Ternak
Ransum
Lokasi dan waktu penelitian
Prosedur Penelitian
Persiapan kandang dan peralatan
Pemeliharaan
Peubah yang diamati
Bobot Telur
Produksi Telur Harian (Hen day)
Produksi Massa Telur
Konsumsi Pakan
Konversi Pakan
Analisis Ekonomi IOFC (Income Over Feed Cost)
Mortalitas
Rancangan Percobaan dan Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temperatur Kandang Penelitian
Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa Ayam Petelur
Bobot Telur
Konsumsi Ransum
Produksi Telur
Konversi Ransum
Analisis Ekonomi IOFC (Income Over Feed Cost)
Mortalitas
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
UCAPAN TERIMA KASIH
vi
vi
vi
1
2
2
2
2
2
2
3
4
4
4
5
5
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
7
8
10
11
11
11
13
13
13
13
15
17
18
DAFTAR TABEL
1 Susunan dan kandungan nutrient ransum penelitian
2 Komposisi Premix (Top Mix)
3 Performa ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu
(pemeliharaan umur 46-51 minggu)
4 Konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51
5 Kekurangan konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 minggu
per ekor dibandingkan standar ISA-Brown
6 Perhitungan ekonomi nilai Income Over Feed Cost per 1 kg
telur ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu
pemeliharaan (umur 46-51 minggu)
3
4
7
9
9
12
DAFTAR GAMBAR
1 Rataan bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown umur 46-51 minggu
2 Produksi telur hen day ayam petelur strain ISA-Brown umur
46-51 minggu
8
10
DAFTAR LAMPIRAN
1 ANOVA bobot telur ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
2 ANOVA produksi telur henday ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
3 ANOVA produksi telur massa ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
4 ANOVA konsumsi ransum harian ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
5 ANOVA konsumsi ransum kumulatif ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
6 ANOVA konsumsi energi metabolis ayam petelur
strain ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
7 ANOVA konsumsi protein kasar ayam petelur
strain ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
8 ANOVA konversi ransum ayam petelur strain
ISA-Brown (umur 46-51 minggu)
15
15
15
15
16
16
16
16
PENDAHULUAN
Pembangunan peternakan merupakan salah satu aspek penting dalam
menunjang pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraan peternak. Permintaan akan produk peternakan semakin meningkat
setiap tahunnya. Salah satu produk peternakan yang sangat digemari dan memiliki
nilai gizi yang tinggi serta mudah untuk didapatkan adalah telur ayam. Sebagian
besar telur ayam yang dikonsumsi masyarakat berasal dari ayam ras petelur. Ayam
ras petelur merupakan ternak unggul karena merupakan ternak persilangan dan
telah mengalami proses seleksi ketat sampai pada ”final stock” yang siap dipasarkan.
Ternak jenis unggul memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) pertumbuhan
cepat, (2) produksi tinggi, (3) efisiensi produksi tinggi. Dibalik sifat yang superior
tersebut ternak jenis unggul juga memiliki kelemahan yaitu sangat peka terhadap
perubahan lingkungan.
Pengaruh suhu lingkungan yang tinggi menjadi perhatian utama untuk
industri unggas khususnya yang berada di daerah tropis. Indonesia yang beriklim
tropis dengan rataan suhu cukup tinggi, yaitu berkisar antara 22 oC – 33 oC, dengan
kelembapan antara 55 % - 95 % (BMKG 2013) kurang ideal untuk pengembangan
ternak unggas. Pemeliharaan ayam petelur pada suhu udara kandang yang lebih
tinggi dari kebutuhan optimal akan menyebabkan ternak mengalami heat stress atau
hipertermia (Nuriyasa 2003). Menurut Daghir (2009), suhu nyaman untuk ayam
agar dapat berproduksi secara optimal yaitu berada pada kisaran 10 °C sampai 27 °C.
Suhu lingkungan di atas 30 °C dapat menyebabkan stres pada ayam petelur dewasa
(Daghir 1995). Yuwanta (2010) menambahkan temperatur ideal untuk
pemeliharaan ayam adalah 20 oC - 28 oC. Beberapa metode dapat diterapkan untuk
mengurangi pengaruh negatif dari heat stress, salah satunya adalah dengan
suplementasi mikronutrien yang berfungsi sebagai sumber antioksidan. Fungsi
antioksidan adalah mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan ikatan yang
aman sehingga menghentikan proses lipid peroksida. Selain itu, antioksidan
diperlukan dalam kondisi heat stress yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif
yaitu aktivitas radikal bebas tinggi (Sahin dan Kucuk 2003 ). Mujahid et al. (2007)
menyatakan bahwa stres oksidatif yaitu kondisi aktivitas radikal bebas yang
melebihi antioksidan. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan
reaktif sehingga dapat merusak molekul biologis seperti DNA, protein, lemak, dan
karbohidrat (Surai 2003).
Vitamin E dan selenium merupakan salah satu antioksidan utama yang dapat
menangkal masuknya radikal bebas kedalam tubuh akibat dari konsisi stres
lingkungan (Akil et al. 2009) menyatakan Vitamin E merupakan komponen
antioksidan utama dalam sistem biologis dan berperan penting dalam pengaturan
metabolisme, melindungi struktur seluler dan menjaga stabilitas membran biologi
dari kerusakan dan juga merupakan bagian penting dari reaksi reduksi oksidasi sel.
Selenium (Se) merupakan komponen fungsional berbagai selenoprotein tubuh yang
penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. MacPherson (1994) menyatakan
bahwa peranan selenium sangat penting pada ternak, terutama dalam aktivitas
selenoenzim, Gluthatione peroksidase (GSH-Px). Enzim tersebut mampu
melindungi sel dari berbagai kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Ternak
unggas yang mengalami defisiensi Se, pertumbuhan dan produktivitasnya akan
2
terganggu. Menurut Surai (2003), defisiensi Se dapat menurunkan produksi telur
dan meningkatkan mortalitas embrio. MacPherson (1994) menyatakan bahwa
aktivitas Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama
yang dapat menghilangkan radikal bebas, keduanya merupakan antioksidan yang
berperan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas.
Oleh karena itu system antioksidan ini diharapkan mampu mengurangi stress
oksidatif pada ayam petelur sehingga menghasilkan performa yang baik
Berdasarkan hal-hal di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji
pengaruh suplementasi vitamin E dan mineral Se maupun kombinasi dari keduanya
sebagai antioksidan terhadap performa ayam petelur.
METODE PENELITIAN
Alat
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang baterai sebanyak 48 petak yang
terbuat dari kawat dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Tiap
petak berisi 2 ekor ayam. Ukuran setiap petak kandang adalah panjang 92 cm, lebar
47 cm dan tinggi 44 cm. Peralatan yang digunakan adalah lampu sebagai alat
penerangan, timbangan, plastik ransum, termometer ruang, egg-tray dan ember
plastik.
Bahan
Ternak
Penelitian ini menggunakan ayam petelur strain Isa Brown sebanyak 96 ekor
berumur 46 minggu dengan bobot badan rata-rata 1.53 ± 0.05 kg dengan masa
adaptasi selama 1 minggu. Ternak tersebut diperoleh dari PT. Ciomas Adisatwa,
Ciomas Bogor.
Ransum
Ransum diberikan dalam bentuk mash. Bahan pakan penyusun ransum yang
digunakan adalah jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai, CGM, tepung MBM,
NaCl, CaCO3, premix, dan DL-Methionin. Ransum disusun berdasarkan
rekomendasi Leeson dan Summers (2005). Sumber Vitamin E yang digunakan
dalam penelitian ini adalah vitamin E 50 (kandungan vitamin E 50 %) dan sumber
mineral selenium optimin 0.3 %. Vitamin E dan mineral selenium yang digunakan
berbentuk serbuk sehingga langsung dicampurkan dengan ransum menggunakan
mixer. Susunan ransum yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1. Komposisi premix yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Unggas. Analisis energi
bruto, kalsium, phosphor dan NaCl dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi
Pakan, analisis kandungan selenium telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak
Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, penelitian dilakukan selama 3 bulan pada bulan Juni sampai
dengan Agustus 2013.
Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien ransum penelitian
Bahan Pakan
Jagung kuning
Dedak halus
Bungkil kedelai
Meat bone meal
Corn gluten meal
Minyak
Dicalcium phosphate
CaCO3
Dl-Methionine
NaCl
Premix
Total
Selenium (ppm)
Vitamin E (ppm)
Kandungan Nutrien :
Energi bruto (kkal kg-1) 2)
Energi metabolis (kkal kg1 4)
)
Bahan kering (%)2)
Kadar air (%)1)
Abu (%)1)
Protein kasar (%)1)
Serat kasar (%)1)
Lemak kasar (%)1)
Ca (%)2)
P total (%)2)
NaCl (%)2) 3)
Selenium (ppm)
Vitamin E (ppm)4
P1 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
-
P2 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
0.8
-
P3 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
300
P4 (%)
44
10.8
18
8.5
3
5.2
1
9
0.1
0.2
0.2
100
0.8
300
3,358
2,857
3,358
2,857
3,358
2,857
3,358
2,857
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.00435
18.045
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.80435
18.045
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.00435
318.045
86
14
11.7
18.02
3.07
0.97
4.07
1.16
0.39
0.8435
318,045
1)
Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut
Pertanian Bogor (2013); 2) Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan (2013); 3) Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah,
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2013); 4) Hasil perhitungan
4
Tabel 2 Komposisi premix (Top Mix)
Kandungan Nutrien tiap 10 kg :
Vitamin A
Vitamin D3
Vitamin E
Vitamin K
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B6
Vitamin B12
Vitamin C
Calcium-D-panthothenate
Niacin
Choline chloride
Methionine
Lysine
Manganese
Iron
Iodine
Zinc
Cobalt
Copper
Zinc bacitracin
Excipient q.s
12 000 000 IU
2 000 000 IU
8 000 IU
2 000 mg
2 000 mg
5 000 mg
500 mg
12 000 µg
25 000 mg
6 000 mg
40 000 mg
10 000 mg
30 000 mg
30 000 mg
120 000 mg
20 000 mg
200 mg
100 000 mg
200 mg
4000 mg
21 000 mg
10 000 mg
Sumber : PT Medion
Prosedur Penelitian
Persiapan Kandang dan Peralatan
Persiapan kandang dimulai dengan memasang kandang berupa kandang
baterai yang terbuat dari kawat sebanyak 48 buah, setiap kandang berisi 2 ekor
ayam. Sebelum kandang dan peralatan digunakan maka dibersihkan terlebih dahulu,
setelah itu dilakukan pengapuran pada kandang dan diberi disinfektan, masingmasing ulangan terdiri dari 6 ekor. Sebelum masuk pada perlakuan ayam-ayam
tersebut ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot badan awal kemudian
dilakukan pengacakan.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilaksanakan selama 6 minggu dengan masa adaptasi pakan
selama 1 minggu. Masa adaptasi ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh
pakan sebelumnya, dengan memberikan pakan perlakuan secara bertahap. Ayam
sebanyak 96 ekor dibagi dalam 4 perlakuan dengan 4 ulangan. Selama penelitian
pakan dan air minum diberikan ad libitum dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi
(jam 07.00) dan sore (17.00). Pengukuran suhu dilakukan sebanyak 3 kali, pada
saat pagi (jam 08.00), siang (12.00), dan sore (16.00) sedangkan pengukuran
kelembaban dilakukan sekali sehari (jam 08.00). Telur yang diproduksi setiap
5
harinya ditimbang menggunakan timbangan digital. Penimbangan
penghitungan pakan yang dikonsumsi dilakukan setiap minggu.
dan
Peubah yang Diamati
Bobot Telur (g butir-1)
Bobot telur diperoleh dari pembagian antara jumlah bobot telur (gram) yang
diproduksi dengan jumlah telur (butir) yang dihasilkan.
Produksi Telur Harian Hen day (%)
Produksi telur harian adalah produksi telur dalam suatu kelompok ayam
petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur terhadap jumlah ayam
petelur yang hidup selama pencatatan. Produksi telur hen day (%), diukur dengan
mencatat produksi telur harian selama 6 minggu.
Hen day (%) =
Jumlah telur pada hari itu (butir)
Jumlah ayam hidup (ekor)
x 100%
Produksi Massa Telur (g ekor-1)
Produksi massa telur adalah jumlah bobot telur yang dihasilkan oleh setiap
ekor ayam selama 7 minggu. Produksi massa telur diperoleh dari penimbangan
bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam pada setiap harinya, kemudian
dijumlahkan selama 7 minggu.
Konsumsi Pakan (g ekor-1 hari-1)
Konsumsi pakan diperoleh dari selisih jumlah pakan yang diberi pada awal
minggu dengan sisa pakan pada akhir minggu. Pengukuran konsumsi pakan
dilakukan dengan rumus.
Konsumsi pakan =
Jumlah pakan yang dikonsumsi selama 7 hari
Jumlah ayam x 7 hari
Konversi Pakan
Konversi Pakan, dihitung dengan cara membagi jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan produksi massa telur.
Konversi Pakan =
Jumlah ransum yang dikonsumsi (g ekor-1 hari-1)
Produksi massa telur (g ekor-1 hari-1)
Analisis Ekonomi Income Over Feed Cost (IOFC)
IOFC dihitung dengan mengetahui harga pakan perlakuan dengan
banyaknya konsumsi pakan dan harga jual telur dengan produksi telur.
Perhitungan IOFC untuk ayam petelur adalah sebagai berikut :
Pendapatan = (Produksi telur per kg x harga telur per kg),
Biaya Produksi = (Konsumsi pakan x harga pakan perlakuan per kg)
IOFC = Pendapatan – Biaya produksi
6
Mortalitas (%)
Mortalitas adalah jumlah ayam petelur yang mati selama penelitian.
Mortalitas diperoleh dari membandingkan jumlah ayam yang mati dengan jumlah
ayam pada awal pemeliharaan.
Rancangan Percobaan dan Analisa Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, masing-masing ulangaan menggunakan 6 ekor
ayam. Model matematika yang digunakan adalah (Steel dan Torrie 1993):
Yij = μ + τi + εij
Keterangan:
Yij
= Pengaruh respon perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Error (galat) perlakuan ke-i ulangan ke-j
Perlakuan yang diberikan adalah :
P1 = ransum kontrol
P2 = ransum kontrol + 0.8 mg Se kg-1 ransum
P3 = ransum kontrol + 300 mg vitamin E kg-1 ransum
P4 = ransum kontrol + 300 mg vitamin E kg-1 ransum + 0.8 mg Se kg-1 ransum
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat
perbedaan nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temperatur Kandang Penelitian
Rataan temperatur kandang penelitian pada pagi hari 24.8 oC, siang hari 31
C, serta sore hari 28.8 oC. Kisaran temperatur tersebut relatif lebih tinggi dari yang
direkomendasikan Leeson dan Summer (2001) untuk lingkungan pemeliharaan
ayam petelur yang optimum, yaitu berkisar antara 22 oC sampai 27 oC.
o
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Petelur
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi 0.8 mg kg-1 Se (P2),
300 mg kg-1 vitamin E (P3) dan 300 mg kg-1 vitamin E + 0.8 mg kg-1 Se (P4) dalam
ransum tidak mempengaruhi bobot telur,produksi telur hen day, produksi massa
telur, konsumsi kumulatif, konsumsi harian, konversi ransum dan nilai IOFC
dibandingkan dengan kontrol (P1).
Pengaruh suplementasi vitamin E dan Se maupun kombinasi keduanya pada
ransum terhadap performa (bobot telur, produksi telur hen day, produksi massa telur,
konsumsi kumulatif, konsumsi harian, konversi ransum) ayam petelur strain Brown
selama pemeliharaan 6 minggu (umur 46-51 minggu) disajikan pada Tabel 3.
7
Tabel 3 Performa ayam petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu penelitian
(umur 46-51 minggu)
Peubah
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
53.94 ± 0.59
54.70 ± 1.06
54.94 ± 1.69
55.85 ± 0.98
78.97 ± 5.47
76.05 ± 7.43
72.32 ± 4.22
74.89 ± 7.17
Produksi massa telur
(g ekor-1)
1788.23 ± 111.92
1761.08 ± 191.05
1658.62 ± 114.56
1744.71 ± 161.21
Konsumsi kumulatif
(g ekor-1)
4236.96 ± 22.35
4217.78 ± 22.43
4266.59 ± 16.06
4195.99 ± 15.48
Konsumsi harian
(g ekor-1 hari-1)
100.88 ± 3.19
100.42 ± 3.2
101.59 ± 2.29
99.90 ± 2.21
Konversi ransum
2.41 ± 0.29
2.47 ± 0.39
2.63 ± 0.25
2.49 ± 0.31
Bobot telur (g butir-1)
Produksi
telur
henday %
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E).
Bobot Telur
Analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E dan selenium
maupun kombinasi keduanya dalam ransum ayam tidak mempengaruhi bobot telur
ayam pada penelitian ini. Hal ini karena konsumsi protein, strain ayam, temperature
lingkungan dan ukuran pullet pada suatu kelompok relatif sama. Bobot telur tidak
dipengaruhi oleh peningkatan energi metabolis, tetapi lebih dipengaruhi oleh
kandungan protein ransum. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Wu et
al. (2005), menjelaskan bahwa strain ayam dan kandungan energi tidak
mempengaruhi bobot telur tetapi peningkatan kandungan protein sebesar 12 % 18 % dapat meningkatkan bobot telur.
Rataan bobot telur dari semua perlakuan adalah berkisar 53.93 - 55.81 g butir1
. Bobot telur dari hasil penelitian tergolong ukuran sedang sesuai dengan
ketentuan (SNI 2008). Klasifikasi telur konsumsi berdasarkan bobotnya dibedakan
menjadi tiga kategori yaitu kecil (kurang dari 50 gram), sedang (50 - 60 gram), dan
besar (lebih dari 60 gram). Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan
standar rataan bobot telur ISA Brown umur 46 - 51 minggu yaitu 63.6 - 63.8 g butir1
(ISA 2011). Menurut Leeson dan Summers (2001), disamping faktor genetik dan
ukuran tubuh unggas, protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat
makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur. Setiap perlakuan
menggunakan strain, kandungan nutrien dan temperatur lingkungan yang relatif
sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran telur yaitu bobot badan baik
saat dewasa kelamin dan periode bertelur, untuk awal masa produksi yang ideal
dibutuhkan bobot badan bertelur sesuai dengan kriteria (Leeson dan Summers
2001). Rataan bobot ayam penelitian (umur 46 minggu) adalah 1.530 kg, bobot
tersebut tidak sesuai dengan standar ISA-A Hendrix Genetic Company (2011)
dimana bobot badan ayam petelur strain ISA-Brown pada fase produksi kedua
(umur 46 minggu) sebesar 1.945 kg.
Hasil penelitian menunjukkan bobot telur yang paling tinggi dicapai oleh
perlakuan dengan suplementasi kombinasi vitamin E dan selenium yakni sebesar
55.81 g butir-1 terjadi kenaikan 3.4 % dari bobot telur kontrol. Hal ini diduga bahwa
8
Rataan bobot telur (g/butir)
sistem antioksidan yang dihasilkan dari kombinasi vitamin E dan selenium
memberikan pengaruh dalam melindungi oksidasi lemak dari pakan sehingga
meningkatkan bobot telur. Asam lemak mengandung sumber energi yang tinggi dan
dapat digunakan sebagai sumber energi yang efisien untuk meningkatkan bobot
telur. Pakan yang kekurangan asam lemak yaitu linoleic menurunkan bobot telur
secara signifikan khususnya kuning telur serta menurunkan produksi telur (Lesson
dan Summers 1983). Bobot telur akan meningkat seiring dengan meningkatnya
umur ayam. Menurut Amrullah (2003) ukuran dan bobot telur dipengaruhi oleh
umur ayam, komponen pakan dan suhu atau cuaca. Menurut Leeson dan Summers
(2001), disamping ukuran tubuh unggas, protein dan asam amino (terutama
metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran
telur. Amrullah (2004) menyatakan bahwa protein yang akan digunakan pada
proses pembentukan telur sebesar 55 % - 60 % dari protein yang dikonsumsi. Grafik
bobot telur selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
58.00
57.00
56.00
55.00
54.00
53.00
52.00
51.00
46
47
48
49
50
51
Umur (minggu)
Gambar 1 Rataan bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown (umur 45-51 minggu)
P1 Kontrol
P2 Se
P3 Vit E
P4 Se + Vit E
Grafik rataan bobot telur pada Gambar 1 menunjukkan adanya penurunan
produksi hingga minggu ke 3 pemeliharaan dan terjadi peningkatan bobot telur
pada minggu ke 4 dan seterusnya. Pada awal produksi cenderung menghasilkan
telur yang berukuran lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah besar seiring
dengan bertambahnya umur ayam dan perkembangan saluran reproduksi.
Konsumsi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin
E dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum.
Namun demikian ransum perlakuan dengan penambahan 300 ppm vitamin E tidak
nyata meningkatkan konsumsi ransum dibanding kontrol. Meningkatnya konsumsi
ransum pada ayam yang diberi ransum dengan suplementasi vitamin E 300 ppm
menyebabkan meningkatnya konsumsi energi metabolis dan protein kasar
(Tabel 4).
9
Tabel 4 Konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur 46-51 minggu
Perlakuan
Konsumsi
-1
Energi Metabolis (kkal Protein Kasar
Ransum (g ekor
-1
ekor-1 hari-1)
(g ekor-1 hari-1)
hari )
P1
100.88
288.21
18.18
P2
100.42
286.90
18.10
P3
101.59
290.24
18.31
P4
99.9
285.41
18
Konsumsi
105
288.75
17.5
1)
standar
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E). 1) Hendrix_genetics (2011)
Meskipun demikian, konsumsi zat nutrisi lebih rendah jika dibandingkan
dengan standar ISA-Brown, sehingga terlihat kekurangan konsumsi zat nutrisi pada
setiap perlakuan (Tabel 5)
Tabel 5 Kekurangan konsumsi zat nutrisi ayam petelur umur
ekor dibandingkan standar ISA-brown
Perlakuan
Konsumsi
Ransum
Energi Metabolisme
(kkal ekor-1 hari-1)
(g ekor-1 hari-1)
P1
-4.12
-0.54
P2
-4.58
-1.85
P3
-3.41
1.49
P4
-5.1
-3.34
46-51 minggu per
Protein Kasar
(g ekor-1 hari-1)
0.68
0.6
0.81
0.5
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E).
Rataan konsumsi ransum ayam selama 6 minggu penelitian (umur 46-51
minggu) pada semua perlakuan berkisar 99.90-101.59 g ekor-1 hari-1 (Tabel 2).
Rataan konsumsi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan standar konsumsi
ransum ayam petelur coklat sebanyak 102 - 105 g ekor-1 hari-1 dengan kandungan
protein 17.5 % dan energi metabolis 2850 kkal kg-1 (Leeson dan Summer 2005).
Hal ini disebabkan suhu lingkungan pemeliharaan yang tinggi, sehingga tidak
optimum untuk pemeliharaan ayam petelur. Leeson dan Summers (2001)
menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bangsa ayam, temperatur
lingkungan, banyaknya massa telur yang dihasilkan dan kandungan energi ransum
apabila faktor manajemen telah dikontrol dengan baik.
Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan pada
ayam petelur yang sedang tumbuh dan presentasi penurunan konsumsi pakan
bervariasi dari 1.3 % setiap kenaikan 1 oC pada 21 oC hingga 3 % penurunan mulai
pada 38 oC (Daghir 2008). Pada saat suhu lingkungan pemeliharaan relatif tinggi
ayam diduga mengalami cekaman panas (heat stress) dimana aktivitas radikal bebas
yang tinggi dan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif pada ayam petelur
tersebut dapat menurunkan konsumsi ransum (Mashaly et al. 2004). Kandungan
nutrien ransum kontrol maupun perlakuan hampir sama, perbedaannya hanya pada
suplementasi vitamin E atau Se maupun kombinasi dari keduanya.
10
Produksi Telur
Rataan produksi telur henday yang dihasilkan selama penelitian ini adalah
72.32 % - 78.97 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan suplementasi
vitamin E dan selenium dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata pada
produksi telur harian dan produksi massa telur ayam. Ransum kontrol
menunjukkan hasil peningkatan produksi telur tertinggi hingga 78.97 %,
suplementasi selenium dapat menghasilkan 76.05 %, produksi telur tersebut lebih
besar dibandingkan perlakuan dengan kombinasi suplementasi vitamin E dan
selenium dan suplementasi vitamin E saja yang masing masing sebesar 74.89 %
dan 72.32 %. Standar henday strain ISA Brown umur 46 - 51 minggu berkisar 91 %
- 89 % (ISA 2011). Produksi telur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti strain
ayam, ransum yang diberikan, mortalitas, culling, kesehatan dan manajemen
pemeliharaan, umur pertama bertelur, puncak produksi telur serta persistensi
bertelur (Farooq et al. 2002). Mashaly (2004) menyatakan bahwa produksi telur
dipengaruhi oleh temperatur lingkungan pemeliharaan yang tinggi. Penurunan
produksi telur dapat terjadi akibat penuruan konsumsi ransum, sehingga kebutuhan
nutrisi yang essensial untuk produksi telur tidak terpenuhi. Ciftci et al. (2005)
menjelaskan bahwa pada saat terjadi cekaman panas konversi norepinephrine
menjadi epinephrine meningkat dan menyebabkan degradasi folikel-folikel telur
pada ovarium.
Produksi telur hen day (%)
Rataan produksi telur hen day selama 6 minggu penelitian disajikan pada
Gambar 2.
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
46
47
48
49
50
51
Umur (minggu)
Gambar 2 Produksi telur hen day perlakuan dibandingkan standar ayam petelur
strain ISA-Brown Umur 46-51 minggu
P1 Kontrol
P2 Se
P3 Vit E
P4 Se + Vit E
Standar ISA-Brown
Terlihat bahwa secara umum grafik produksi telur harian ayam selama
penelitian semakin menurun seiring dengan pertambahan umur ayam. Romanoff
dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara umur ayam
dengan produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin
bertambahnya umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap.
Hal ini erat hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada
organ-organ tubuh dan jaringan. Puncak produksi telur ayam petelur strain ISA-
11
Brown berada pada kisaran umur ayam antara 26 sampai 28 minggu (ISA-A
Hendrix Genetic Company 2011).
Konversi Ransum
Berdasarkan sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa suplementasi
vitamin E 300 ppm dan selenium 0.8 ppm tidak berpengaruh nyata terhadap
konversi ransum ayam petelur ISA-Brown (umur 46-51 minggu). Tidak adanya
pengaruh perlakuan secara statistik terhadap konversi ransum disebabkan karena
data konversi ransum yang diperoleh setiap perlakuan hampir sama. Rataan
konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.41 – 2.63. rataan
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan standar ISA Hendrix Genetic Company
(2011) yang menyatakan ayam petelur strain ISA-Brown yang berumur 46-51
minggu memiliki konversi ransum 2.13. Tingginya konversi ransum ini
dibandingkan standar disebabkan ayam petelur yang digunakan dalam penelitian
ini berada pada fase kedua produksi telur sehingga produksi telurnya menurun dan
konsumsi zat nutrisi untuk pembentukan sebutir telur kurang tercukupi dari ransum
yang digunakan.
Data konversi ransum yang paling rendah adalah perlakuan kontrol dan paling
tinggi adalah perlakuan P3 ransum dengan penambahan Vitamin E Rataan konversi
ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.41-2.63, berdasarkan rataan
tersebut ransum perlakuan kontrol yang paling efisien karena pada perlakuan ini
ayam petelur memiliki produksi telur yang diimbangi dengan konsumsi ransum
yang lebih tinggi diantara ayam yang diberi suplementasi lainnya. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur lingkungan, daya
cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi ransum (Anggorodi 1995).
Mortalitas
Pada penelitian total kematian ada 6 ekor dari 96 ekor ayam dengan
presentase mortalitas 6.25% dari total populasi keseluruhan. Hal ini sedikit lebih
tinggi jika dibandingkan dengan standar persentase mortalitas strain ISA Brown
umur 46-51 minggu berkisar 2.2% - 2.7%. Total kematian tersebut dihitung mulai
dari minggu pertama perlakuan pada hari kedua yang merupakan kematian pertama.
Perlakuan P4 yang merupakan persentase mortalitas tertinggi kematian ayam
disebabkan karena mengalami prolapsus dan ukuran telur jumbo (70 g butir-1). Hal
ini diketahui dari ciri ciri pada saat ayam mati anus membengkak, ayam berada pada
posisi jongkok terlihat seperti ingin bertelur. Prolapsus disebabkan oleh kondisi
ayam yang sulit bertelur karena ukuran telurnya yang terlalu besar. Hal ini diduga
dengan suplementasi kombinasi Se dan vitamin E efisiensi penggunaan protein
meningkat sehingga menghasilkan telur dengan ukuran besar yang mengakibatkan
ayam sulit bertelur dan berujung kematian.
Analisis Ekonomi Income Over Feed Cost (IOFC)
Analisis perhitungan ekonomi Income Over Feed Cost 1 kg-1 telur ayam ISABrown berdasarkan koefisien teknis (FCR) dan harga pakan serta harga jual telur
yang disajikan pada Tabel 6.
12
Tabel 6 Perhitungan ekonomi nilai Income Over Feed Cost per 1 kg telur ayam
petelur strain ISA-Brown selama 6 minggu pemeliharaan (umur 46-51
minggu)
Uraian
Konsumsi pakan
(kg ekor-1)
Harga pakan (Rp
kg-1)
Biaya pakan (Rp
ekor-1)
Produksi
telur
massa (kg ekor-1)
Harga telur (Rp
kg-1)
Pendapatan (Rp
ekor-1)
IOFC (Rp ekor-1
6 minggu-1)
Keterangan
a
P1
P2
P3
P4
4.237
4.218
4.267
4.196
6 098
6 359.34
6 383
6 644.34
25 836.98
26 822
27 234
27 880
1.78823
1.76108
1.65862
1.74471
20 000
20 000
20 000
20 000
35 764.6
35 221.6
33 172.4
34 894.2
9 927.62
8 399.30
5 939
7 015
b
(a x b) = A
c
d
(c x d) = B
B–A
P1 (ransum kontrol), P2 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se), P3 (ransum kontrol + 300 ppm Vitamin E),
P4 (ransum kontrol + 0.8 ppm Se + 300 ppm Vitamin E). Perhitungan berdasarkan harga telur Rp.
20.000/kg
Harga pakan untuk ransum Kontrol/P1, P2, P3 dan P4 masing-masing adalah
Rp 6 098 kg-1, Rp 6 359,34 kg-1, Rp 6 383 kg-1 dan Rp 6 644,34 kg-1. Harga jual
telur Rp 20 000 kg-1. Perhitungan tambahan biaya pada ransum perlakuan yang
diberi suplementasi selenium dan vitamin E adalah untuk setiap penambahan 1 g
selenium dalam 1 kg pakan diperlukan biaya Rp 261 dan Rp 285 untuk 1 g vitamin
E dalam 1 kg pakan . Secara garis besarnya dapat digambarkan bahwa dari data
koefisien teknis (Tabel 3), maka untuk menghasilkan 1 kg telur, biaya pakan yang
diperlukan sebanyak Rp 25 837 dengan produksi massa 1.79 kg ekor-1 untuk ransum
kontrol, biaya pakan Rp 26 822 dengan produksi massa 1.76 kg ekor-1 untuk ransum
P2, biaya pakan Rp 27 234 dengan produksi massa 1,66 kg ekor-1 untuk ransum P3
dan biaya pakan Rp 27 880 dengan produksi massa 1.75 kg ekor-1 untuk ransum P4.
Sehingga IOFC yang diperoleh/kg telur dari ayam yang diberi pakan ransum
kontrol lebih banyak (Rp 9 927,62) dibandingkan dengan IOFC ransum P2 (Rp 8
399,3). Pada ransum P4 diperoleh IOFC (Rp 7 015) lebih tinggi daripada ransum
P3 (Rp 5 939). Hasil perhitungan IOFC dari kontrol adalah paling tinggi, sedangkan
pemberian suplementasi selenium dan vitamin E maupun kombinasi dari keduanya
lebih rendah. Rendahnya pendapatan IOFC pada ayam yang mendapat ransum
perlakuan ini adalah disebabkan oleh karena harga ransumnya yang cukup mahal
ditambah lagi efisiensi penggunaan ransumnya yang rendah. Lain halnya dengan
ransum kontrol yang harganya lebih murah karena tanpa penambahan biaya
suplementasi perlakuan dan efisiensi pengunaan ransumnya lebih tinggi.
Berdasarkan hal tersebut maka didapatkan bahwa pemberian ransum dengan
suplementasi selenium 0.8 ppm dan vitamin e 300 ppm maupun kombinasi
keduanya pada ayam petelur kurang efisien karena nilai IOFC yang lebih rendah
dibandingkan dengan tanpa suplementasi.
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Suplementasi vitamin E 300 ppm dan selenium 0.8 ppm dalam ransum dapat
maningkatkan ukuran telur namun tidak mempengaruhi performa ayam petelur
strain ISA-Brown umur 46-51 minggu seperti bobot telur, produksi hen day,
produksi massa telur, konsumsi ransum, konversi ransum, nilai IOFC dan belum
mampu mengurangi heat stress yang terjadi pada ayam selama pemeliharaan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suplementasi Selenium dan
vitamin E dengan konsentrasi yang berbeda pada fase umur ayam petelur yang lebih
muda.
DAFTAR PUSTAKA
Akil S, Piliang WG, Wijaya CH, Utomo DB, Wiryawan IKG. 2009. Pengkayaan
Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Pakan Puyuh Terhadap
Performa serta Potensi Telur Puyuh sebagai Sumber Antioksidan. JITV
14(1):1-10.
Anggorodi R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas : Kemajuan Mutakhir. Jakarta
(ID) : UI Pr.
Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke-3. Bogor (ID): Seri Beternak
Mandiri. Lembaga Satu Gunung Budi.
Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor (ID) : Lembaga Satu Gunung Budi.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Prakiraan Cuaca
Indonesia 2013. Jakarta (ID): Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Ciftci M, Ertas ON, Guler T. 2005. Effects of vitamin E and vitamin C dietary
supplementation on egg production and egg quality of laying hens exposep to
a chronic heat stress. Reveu de Medecine Veterinaire 156, 107-111.
Daghir NJ. 1995. Nutrient Requirements of Poultry at High Temperatures. Page
112 in: Poultry Production in Hot Climates. Daghir NJ ed. Cambridge (UK):
University Pr.
Daghir NJ. 2008. Poultry Production in Hot Climates 2nd Ed. Cambridge (UK):
CABI
Daghir NJ. 2009. Nutritional strategies to reduce heat stress in broilers and broiler
breeders. Lohman Inf. 44:6-15.
14
Farooq M, Mian MA, Durrani FR, Syed M. 2002. Egg production performance of
commercial laying hens in Chakwal district, Pakistan. Livest Res Rural Dev.
14 (2) 2002 [Internet]. [diunduh 25 Mei 2014]. Tersedia pada:
http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd14/2/faro142.htm
ISA, A Hendrix Genetics Company. 2011. ISA Brown Comercial Stock Product
Performances. ISAPoultry [internet]. Boxmeer (NL). [diunduh 20 Jan 2014].
Tersedia
pada:
http://www.isapoultry.com/products/isa/isabrown/~/media/Files
/ISA/ISA%20product%20information/ISA/Commercials/201112%20ISA%
20Brown%20FP%20product%20performance.pdf
Lesson S, Summers JD. 1983. Factors influencing early egg size. Poult Sci. 62:
1155-1159
Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. Ontarion, Canada
(CA): Univ Books.
Lesson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. Nottingham
(UK): Nottingham Univ Pr.
MacPherson A. 1994. Selenium, Vitamin E and Biological Oxidation. In: Recent
Advances in Animal Nutrition. P.C. Garnsworthy and DJA Cole, eds.
Notthingham (UK): Nottingham Univ Pr.
Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH.
2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses
of commercial laying hens. Poult Sci. 83:889–894.
Mujahid A, Akiba Y, Toyomizu M. 2007. Acute heat stress incudes oxidative stress
and decreases adaption in young white leg-horn cockerels by down regulation
of avian uncoupling protein. Poult Sci. 86:364-371.
Nuriyasa IM. 2003. The performance of cockerels housed in tile, zinc and coconut
leaf roof at the low altitude. Majalah Ilmiah Peternakan 2(1) 20-24
Romanoff AL, Romanoff AJ. 1963. The Avian Egg. New York (US): John Wiley
and Sons.
Sahin K, Kucuk O. 2003. Heat stress and dietary vitamin supplementation of
poultry diets. Nutr Abstr Rev Ser.B Livest Feeds Feed. 73: 41R-50R.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. Telur Ayam Konsumsi SNI-3926:2008.
Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Geometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka.
Surai PF. 2003. Natural Antioxidants In Avian Nutrition and Reproduction.
Nottingham (UK): Nottingham Univ Pr.
Wu G, Bryant MM, Voitle RA, Roland DA. 2005. Effect of dietary energy on
performance and egg composition of Bovans White hens during phase 1. Poult
Sci 84: 1610-1615.
Yuwanta T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ
Pr.
15
Lampiran 1 ANOVA bobot telur ayam petelur strain ISA-Brown (umur 46-51
minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
7.446
15.883
23.329
KT
2.482
1.324
Fhit
1.875
Sig
.188
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 2 ANOVA produksi telur henday ayam petelur strain ISA-Brown (umur
46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
91.175
462.913
554.088
KT
30.392
38.576
Fhit
.788
Sig
.524
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 3 ANOVA produksi telur massa ayam petelur strain ISA-Brown (umur
46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
37607.035
264407.675
302014.710
KT
12535.678
22033.973
Fhit
.569
Sig
.646
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 4 ANOVA Konsumsi ransum harian ayam petelur strain ISA-Brown
(umur 46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
6.081
92.419
98.499
KT
2.027
7.702
Fhit
.263
Sig
.851
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
16
Lampiran 5 ANOVA Konsumsi ransum kumulatif ayam petelur strain ISA-Brown
(umur 46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
10765.647
163000.350
173765.997
KT
3588.549
13583.362
Fhit
.264
Sig
.850
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 6 ANOVA Konsumsi energi metabolis ayam petelur strain ISA-Brown
(umur 46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
49.803
754.251
804.068
KT
16.606
62.854
Fhit
.264
Sig
.850
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 7 ANOVA Konsumsi protein kasar ayam petelur strain ISA-Brown (umur
46-51 minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
.198
3.001
3.199
KT
.066
.250
Fhit
.264
Sig
.850
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
Lampiran 8 ANOVA konversi ransum ayam petelur strain ISA-Brown (umur 46-51
minggu)
SK
Perlakuan
Galat
Total
db
3
12
15
JK
.219
.737
.956
KT
.073
.061
Fhit
1.185
Sig
.356
SK: sumber keragaman, db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F,
Sig: signifikansi.
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur
pada tanggal 25 Juli 1992. Penulis merupakan anak kedua
dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Timbul Suwarno
dan Ibu Sri Wulandari. Penulis menempuh pendidikan dasar
di SDN 2 Sriwulan pada tahun 1998-2004. Pendidikan
dilanjutkan di SMPN 1 Demak pada tahun 2004-2007
kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Demak pada
tahun 2007-2010.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB
(USMI). Selama kuliah, penulis aktif dalam beberapa organisasi dan kepanitiaan
diantaranya penulis pernah menjadi Ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Patra Atlas Semarang IPB periode 2010/2012. Selain itu penulis juga menjadi staff
koordinator divisi pengabdian masyarakat BEM Fakultas Peternakan dan sekaligus
menjadi Ketua Bina Desa Fakultas Peternakan IPB 2011/2012. Selain di BEM
penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak
(HIMASITER) IPB sebagai Ketua Biro KOMINFO 2012/2013. Sampai skripsi ini
ditulis penulis masih aktif terlibat dalam organisasi Klub Sekolah Peternakan
Rakyat (KSPR) IPB sebagai Ketua Divisi KOMINFO 2013/2014 dan terlibat
langsung dalam Program Pengabdian Masyarakat SPR di peternakan rakyat
Bojonegoro. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan internship program South East
Asia Animal Science Student Networking (SEAASS-Net) di UiTM Perlis Malaysia
selama 2 minggu pada tahun 2012. Beberapa prestasi akademik yang pernah penulis
raih diantaranya penulis menjadi juara ke-2 Olimpiade Sains Nasional SMA
Tingkat Kabupaten Demak bidang Komputer. Penulis memperoleh dana hibah
DIKTI untuk pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang
Penelitian (2011), bidang Kewirausahaan (2012), bidang Penelitian (2013), dalam
bidang non akademik penulis juga pernah menjadi juara 2 pada lomba 2 lomba
paduan suara tingkat Fakultas Peternakan 2013 dan juara 2 lomba akustik tingkat
Fakultas Peternakan 2014 . Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum mata
kuliah Teknik dan Formulasi Ransum pada semester 8 tahun akademik 2013/2014.
18
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirobil`alamin. Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak
terhingga sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan
terimakasih dengan penuh rasa hormat dan cinta kepada kedua orang tua ayah
tercinta Timbul Suwarno dan ibunda tercinta Sri Wulandari serta kakak tersayang
Adry Waskito Nugroho atas segala doa, dukungan moral, materi, perhatian dan
kasih sayangnya. Kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc Sebagai Dosen Pembimbing Utama
dan dosen Pembimbing Akademik, dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr sebagai Dosen
Pembimbing Anggota yang telah membimbing penelitian atas segala kemudahan,
kesabaran, nasehatnya untuk memberikan tuntunan, serta pengorbanan waktu dan
pikirannya dari mulai penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini. Kepada Ir. Dwi
Margi Suci, M.S selaku dosen penguji seminar terimakasih banyak masukan
ilmunya serta Dr. Ir. Iwan Prihantoro, M.Si selaku panitia seminar pada tanggal 13
Februari 2014. Kepada Dosen penguji sidang Dr. Ir. Widya Hermana, M.Si dan Dr.
Ir. Rukmiasih M.Si terima kasih atas saran dan masukan ilmu selama ujian sidang
berlangsung pada tanggal 11 Juni 2014.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff dan karyawan
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, atas bantuannya kepada Penulis. Kepada Teguh Cahya Gumilar
selaku teman satu dosen Pembimbing Akademik dan satu penelitian selama
pengumpulan data atas semua dukungan, suka duka, bantuan dan semangatnya.
Kepada kakak kelas penulis Mas Reymun dan Mas Robi terima kasih atas bantuan
dan ilmu yang telah diajarkan selama menjalani masa kritis skripsi. Kepada rekanrekan INTP yang telah membantu pelaksanaan penelitian di kandang bersama
Penulis (Eka Rachmi, Ichsan, Ikhwan, Achmad Zainuri/Somad, Gandha, Amalia
dan yang lainnya), serta temen-teman Nutrisi 47 (D.Net), Kost Bumi Alit atas
semua bantuan dan dukungannya. terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis maupun
Pembaca.