Reaksi Kusta Tipe 1 Pada Penderita Kusta Tipe Multibasiler Yang Telah Release From Treatment

(1)

LAPORAN KASUS

REAKSI KUSTA TIPE 1 PADA PENDERITA

KUSTA TIPE MULTIBASILER YANG TELAH

RELEASE FROM TREATMENT

DERYNE ANGGIA PARAMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... 1

I. Pendahuluan ... 2

II. Laporan Kasus ... 5

III. Diskusi ... 9


(3)

I. PENDAHULUAN

Kusta atau yang juga dikenal dengan penyakit Hansen’s adalah penyakit granulomatos kronik yang menyerang saraf tepi dan kulit. Penyebabnya adalah bakteri tahan asam Mycobacterium

leprae yang pertama sekali ditemukan oleh peneliti dari Jerman, Gerhard Henrik Armauer

Hansen pada tahun 1873.1,2 WHO membagi kusta menjadi dua klasifikasi untuk kepentingan pengobatan dan pengontrolan penyebaran. Pada tahun 1981 oleh kelompok studi kusta di WHO, klasifikasi dibagi dua yaitu kusta tipe Multibasiler (MB) dan Pausibasiler (PB).1

Kusta endemis pada beberapa benua kecuali Antartika. Populasi terbanyak terdapat di India dengan hampir duapertiga dari populasi kusta dunia. Menurut data regional WHO pada tahun 2007 prevalensi di Afrika adalah 29.548, di Asia Tenggara 116.663, di Pasifik Barat 9.805. Pada semua penelitian populasi kusta, penyakit ini lebih umum pada pria dibandingkan wanita dengan rasio 1:2. Umur rata rata penderita kusta tipe tuberkuloid lebih rendah dibandingkan tipe lepromatous, tetapi pada kedua grup ini, kusta predominan pada usia muda dengan umur rata rata adalah 35 tahun.

1

Kusta adalah penyakit kronik dengan periode inkubasi yang panjang. Rata-rata masa inkubasi adalah 2-5 tahun untuk kasus tuberkuloid, dan 8-12 tahun atau sampai 20 tahun untuk kasus lepromatos.

Diagnosis dari kusta berdasarkan gejala klinis dimana dijumpainya satu atau lebih dari satu atau lebih tiga tanda kardinal : yaitu lesi kulit eritem atau hipopigmentasi yang anestesi; penebalan saraf tepi dengan hilangnya sensasi pada daerah distribusi; dan pewarnaan kulit yang positif untuk bakteri tahan asam.

1,3

4,5

Pada daerah endemis lesi kulit selalu konsisten dengan kusta jika terdapat kehilangan sensori saraf dengan atau tanpa penebalan saraf dan pewarnaan slit kulit yang positif.

Menurut WHO, kusta diklasifikasikan menjadi PB (pausibasiler) dan MB (multibasiler) yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1982 sebagai dasar untuk pengobatan dan meminimalkan tingkat relaps.

4

5

Klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan pewarnaan kulit. Dimana pada pasien dengan pewarnaan kulit yang negatif dimasukkan kedalam grup PB, sedangkan pasien dengan pewarnaan kulit positif akan dimasukkan kedalam grup MB.5,6 Namun pewarnaan kulit tidak selalu nya tersedia sehingga untuk kepraktisan pengobatan klasifikasi didasarkan pada bentuk klinis dan jumlah saraf yang terlibat. Pada sistem ini, jika terdapat 1-5 lesi kulit dan keterlibatan saraf hanya satu akan dimasukkan kedalam lesi PB, sedangkan apabila terdapat lesi kulit lebih dari 5 dan keterlibatan saraf lebih dari satu akan masuk kedalam lesi MB.6,7 Klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling adalah berdasarkan


(4)

klinis, perubahan histopatologi dan status imunitas. Dibagi menjadi 5 bentuk yaitu kusta tipe TT (Tuberkuloid), BT (Borderline tuberkuloid), BB (Borderline), BL (Borderline lepromatos), dan LL(Lepromatos).

Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab terjadinya cacat adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf. Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (respon selular) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral). Reaksi dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Gambaran klinis sangat khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan dapat disertai gangguan fungsi saraf. Sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting. Diantaranya; Penderita dalam kondisi stres fisik karena kehamilan, setelah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi, penyakit infeksi, anemia, kurang gizi, kelelahan ; Penderita dalam kondisi stres mental karena malu, takut. Ditinjau dari proses terjadinya maka reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe. Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan reaksi tipe 2 atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe 1 terutama terjadi selama pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba mengakibatkan terjadinya respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. Gejala reaksi tipe 1 ini dilihat perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit merah, bengkak, nyeri dan panas. Pada saraf manifestasi yang terjadi berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf. Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum seperti demam dan lain. Reaksi tipe 2 terjadi pada penderita MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya respon imun humoral, dimana tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik. Antigen yang ada akan bereaksi dengan antibodi dan akan mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Oleh karena itu reaksi yang tejadi tampak sebagai kumpulan nodul merah maka disebut

Erythema Nodosum Leprosum (ENL) dengan konsistensi lunak dan nyeri. Umumnya

menghilang dalam 10 hari atau lebih dan bekasnya kadang menimbulkan hiperpigmentasi. 1

8 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 :


(5)

No Gejala / Tanda Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2 1 Keadaan umum Umumnya baik, demam

ringan (subfebris) atau tanpa demam

Ringan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam tinggi

2 Peradangan di kulit

Bercak kulit lama menjadi meradang (merah), dapat timbul bercak baru

Timbul nodul kemerahan, lunak dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)

3 Saraf Sering terjadi, umumnya berupa nyeri tekan saraf dan/atau gangguan fungsi saraf

Dapat terjadi

4 Peradangan pada organ lain

Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar getah bening, sendi, ginjal, testis, dll. 5 Waktu

timbulnya

Biasanya segera setelah pengobatan

Biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan.

6 Tipe Kusta Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB

Hanya pada kusta tipe MB

Tbl 1. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2

Sebelum memulai penanganan reaksi terlebih dahulu lakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Obat anti reaksi terdiri dari prednison, lamprene. Penanganan reaksi ringan 1) Berobat jalan, istirahat dirumah 2) Pemberian analgetik/antipiretik 3) MDT diberikan terus dengan dosis tetap 4) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus. Penanganan reaksi berat sama seperti reaksi ringan namun diberikan obat anti reaksi. 8 Skema pemberian prednison dapat dilihat pada gambar 1 :

Gbr 1. Skema pemberian prednison 2 minggu pertama 40 mg/hari 2 minggu kedua 30 mg/hari 2 minggu ketiga 20 mg/hari 2 minggu keempat 15 mg/hari 2 minggu kelima 10 mg/hari 2 minggu keenam 5 mg/hari


(6)

II. LAPORAN KASUS

Seorang wanita, usia 34 tahun, wiraswasta, datang ke poliklinik kusta RSUP Haji Adam Malik Medan dengan keluhan utama timbul pembengkakan kemerahan pada pipi kiri dan bercak kemerahan pada pipi kanan yang disertai nyeri sejak 1 minggu sebelum datang berobat. Awalnya hanya berupa bercak merah yang timbul pada daerah bekas penyakitkusta yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak dan bertambah nyeri. Satu minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi terutama pada siku. Riwayat stress tidak dijumpai. Pasien mengatakan bahwa dalam 1 bulan terakhir sering merasa letih akibat faktor pekerjaan. Sebelumnya pasien telah berobat ke dokter umum dan mendapat obat makan dan salep namun tidak ada perbaikan. Pada tahun 2008, pasien didiagnosis menderita kusta tipe MB dan telah menyelesaikan pengobatan dengan MDT-MB secara teratur dalam 12 bulan. Pasien dinyatakan RFT (release from treatment) sejak bulan Agustus 2009.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi pernafasan 24 x/menit, dan suhu 37,8o

Pasien kemudian didiagnosis banding dengan reaksi kusta tipe 1, kusta relaps, dan reaksi kusta tipe 2, dengan diagnosis sementara reaksi kusta tipe 1.

C, status gizi baik, dan konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, tonsil tidak hiperemis. Berdasarkan pemeriksaan dermatologis didapatkan makula eritematosa yang edematous anular dengan ukuran plakat, pada regio maksilaris sinistra dan makula eritematosa anular dengan ukuran plakat pada regio maksilaris dekstra (Gambar 1). Pada pemeriksaan neurologis ditemukan pembesaran saraf pada N. Ulnaris +/+ disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan fungsi sensibilitas didapatkan rasa raba berkurang pada daerah lesi dan pada kedua telapak tangan. Pada telapak kaki dijumpai normal. Pada pemeriksaan fungsi saraf motorik didapatkan kekuatan otot pada regio manus dan pedis dekstra dan sinistra kuat.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan bateriologis (BTA) dari kedua cuping telinga dan lesi namun tidak didapatkan adanya BTA. Kemudian diagnosis kerja menjadi reaksi kusta tipe 1 pada penderita kusta tipe MB yang telah RFT.

Kepada penderita di anjurkan untuk istirahat yang cukup serta mengurangi intensitas pekerjaan kemudian diberikan pengobatan untuk reaksi kusta berupa prednison 40 mg/hari (diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah makan) yang dosisnya diturunkan secara


(7)

bertahap setiap 2 minggu sebesar 5-10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, antasida 3 x 1 tab dan roboransia 1x1 tab.

Gbr

2. Foto pasien saat pertama datang, tampak makula eritematosa yang edematous pada regio maksilaris sinistra dan makula eritem pada regio maksilaris dekstra

Pada kontrol kedua, 2 minggu setelah pengobatan, tampak makula eritematosa yang edematous sudah mulai menyusut (Gambar 3). Keluhan demam dan nyeri sudah tidak dijumpai. Kemudian prednison diturunkan menjadi 30 mg/ hari (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab, dan roboransi 1x 1 tab.

Gbr 3. Foto pasien saat kontrol ke 2


(8)

Pada kontrol ke 4, didapati makula eritem semakin susut dan eritem semakin berkurang (Gambar 4). Dosis prednison semakin berkurang menjadi 15 mg /hari (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab, dan roboransia 1x1 tab.

Gbr 4. Foto pasien kontrol ke 4

Pada kontrol ke 6, didapati makula eritematosa yang edematous pada regio maksilaris sinistra telah menghilang dan ruam hanya berupa makula eritem, sedangkan pada regio maksilaris dekstra tidak tampak kelainan (Gambar 5). Dosis prednison adalah 5 mg/ hari selama 2 minggu (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab dan roboransia 1x1 tab. Dan kepada pasien dianjurkan untuk menghentikan pengobatan setelah 2 minggu kemudian.


(9)

Gba 4. Foto pasien kontrol ke 6, makula eritem pada kedua regio maksilaris dekstra sinistra Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam.

III. DISKUSI

Diagnosis reaksi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Berdasarkan anamnesis diketahui pembengkakan kulit berwarna merah yang disertai nyeri pada pipi sejak 1 minggu sebelum datang berobat. Awalnya hanya berupa bercak merah yang timbul pada daerah bekas kusta yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak dan bertambah nyeri. Satu minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi terutama pada siku. Kepustakaan menyebutkan pada riwayatnya reaksi kusta mempunyai gambaran khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan dapat disertai gangguan fungsi saraf.8 Kemudian dari anamnesis riwayat stress tidak dijumpai namun pasien mengatakan bahwa dalam 1 bulan terakhir sering merasa letih akibat faktor pekerjaan. Dari kepustakaan dikatakan bahwa penyebab pasti terjadinya reaksi adalah belum jelas, beberapa faktor pencetus antara lain; penderita dalam kondisi stress fisik karena kehamilan, anemia, kurang gizi dan kelelahan.8

Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, pada saat, maupun setelah pasien mendapatkan pengobatan. Pada reaksi kusta tipe 1, lesi kulit yang sebelumnya menjadi lebih eritematosa, atau dapat timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai demam dan malaise, dapat disertai ulserasi, atau edema pada tangan/kaki, saraf membesar, nyeri dan fungsinya dapat terganggu Diduga, reaksi kusta pada pasien ini timbul akibat faktor kelelahan fisik oleh karena pekerjaan, yang dialami oleh pasien sejak 1 bulan terakhir.


(10)

atau tidak.8

Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai makula eritematosa yang edematous anular dengan ukuran plakat pada regio maksilaris sinistra dan makula eritem anular dengan ukuran plakat pada regio maksilaris dekstra. Dan letak kelainan berada pada ruam penyakit kusta yang lama. Hal ini sesuai dengan pada riwayatnya reaksi kusta tipe 1 mempunyai gambaran khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan peradangan terletak pada bercak kusta yang lama.

Keadaan yang ditemukan pada pasien berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa keluhan awalnya berupa bercak kemerahan, timbul pada daerah bekas kusta yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak dan bertambah nyeri. Satu minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi terutama pada siku. Ini sesuai dengan teori mengenai gambaran fisik pada pasien reaksi kusta tipe 1.

8

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan pembesaran syaraf pada N. Ulnaris +/+ disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan fungsi sensibilitas didapatkan rasa raba berkurang pada daerah lesi dan pada telapak tangan. Ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa pada reaksi kusta tipe 1 umumnya terdapat nyeri tekan saraf dan/atau gangguan fungsi saraf.

Pasien didiagnosis banding dengan kusta relaps reaksi dan kusta tipe 2. Kusta relaps dapat disingkirkan dari pemeriksaan BTA pada cuping telinga dan lesi yang menunjukkan BTA (-) serta tidak dijumpainya lesi baru selain lesi lama yang kembali meradang.

8

8

Reaksi kusta tipe 2 dapat disingkirkan karena gambaran klinis pada ENL terdapat nodul-nodul eritematosa yang terasa nyeri dan lunak pada perabaan, dengan lokasi seringkali pada permukaan ekstensor lengan dan tungkai, punggung, wajah, atau dimana saja dengan distribusi cenderung bilateral dan simetris.8

Prinsip penatalaksanaan reaksi kusta antara lain pemberian obat antireaksi, istirahat atau imobilisasi, pemberian analgetik dan sedatif untuk mengatasi rasa nyeri.

8

Pada kontrol kunjungan ke 2, terlihat plak mulai menipis, sehingga kemudian dosis prednison diturunkan dan pemberian parasetamol dihentikan karena keluhan nyeri dan demam sudah tidak ada. Setelah pemberian prednison selama 12 minggu terlihat ruam menyusut dan yang terlihat hanya makula eritem.

Pada kasus ini, diberikan analgetik berupa parasetamol 3 x 500 mg/hari dan prednison sebagai obat anti reaksi kusta. Pemberian prednison pada reaksi harus dimulai dengan dosis tinggi 40-80 mg/hari tergantung pada tingkat keparahan reaksi. Obat diminum pada pagi hari dan dosis diturunkan secara bertahap sebanyak 5-10 mg setiap 2 minggu hingga mencapai dosis 5 mg.


(11)

Penatalaksanaan reaksi tipe 1 pada pasien ini memberikan hasil yang baik. Setelah mendapatkan prednison selama 12 minggu pasien dinyatakan bebas dari reaksi. Dan edukasi mengenai faktor pencetus diberikan kepada pasien untuk mencegah terjadinya reaksi kembali.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th

2. Zulkifli. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya. Available from :

ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1786-96

3. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology 7th ed. Italy: Blackwell Science; 2004. p. 29.1-29.21

4. Charles D, Stoppler MC. Leprosy (Hansen’s Disease). Available from :

6/11/2009

5. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Treatment. In Leprosy 3rd ed. Singapore: Longman; 1990. p. 77-91

6. Gautam VP. Treatment of Leprosy in India. J Postgrad Med July 2009;55:3:220-224 7. Sehgal NV, Sardana K, Dogra S. The Imperative of Leprosy Treatment in The Pre-

and Post- Global Leprosy Elimination Era: Appraisal of Changing The Scenario To Current Status. Journal of Dermatological Treatment 2008;19:82-91


(1)

bertahap setiap 2 minggu sebesar 5-10 mg, parasetamol 3 x 500 mg, antasida 3 x 1 tab dan roboransia 1x1 tab.

Gbr

2. Foto pasien saat pertama datang, tampak makula eritematosa yang edematous pada regio maksilaris sinistra dan makula eritem pada regio maksilaris dekstra

Pada kontrol kedua, 2 minggu setelah pengobatan, tampak makula eritematosa yang edematous sudah mulai menyusut (Gambar 3). Keluhan demam dan nyeri sudah tidak dijumpai. Kemudian prednison diturunkan menjadi 30 mg/ hari (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab, dan roboransi 1x 1 tab.


(2)

Pada kontrol ke 4, didapati makula eritem semakin susut dan eritem semakin berkurang (Gambar 4). Dosis prednison semakin berkurang menjadi 15 mg /hari (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab, dan roboransia 1x1 tab.

Gbr 4. Foto pasien kontrol ke 4

Pada kontrol ke 6, didapati makula eritematosa yang edematous pada regio maksilaris sinistra telah menghilang dan ruam hanya berupa makula eritem, sedangkan pada regio maksilaris dekstra tidak tampak kelainan (Gambar 5). Dosis prednison adalah 5 mg/ hari selama 2 minggu (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab dan roboransia 1x1 tab. Dan kepada pasien dianjurkan untuk menghentikan pengobatan setelah 2 minggu kemudian.


(3)

Gba 4. Foto pasien kontrol ke 6, makula eritem pada kedua regio maksilaris dekstra sinistra

Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam.

III. DISKUSI

Diagnosis reaksi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Berdasarkan anamnesis diketahui pembengkakan kulit berwarna merah yang disertai nyeri pada pipi sejak 1 minggu sebelum datang berobat. Awalnya hanya berupa bercak merah yang timbul pada daerah bekas kusta yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak dan bertambah nyeri. Satu minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi terutama pada siku. Kepustakaan menyebutkan pada riwayatnya reaksi kusta mempunyai gambaran khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan dapat disertai gangguan fungsi saraf.8 Kemudian dari anamnesis riwayat stress tidak dijumpai namun pasien mengatakan bahwa dalam 1 bulan terakhir sering merasa letih akibat faktor pekerjaan. Dari kepustakaan dikatakan bahwa penyebab pasti terjadinya reaksi adalah belum jelas, beberapa faktor pencetus antara lain; penderita dalam kondisi stress fisik karena kehamilan, anemia, kurang gizi dan kelelahan.8

Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, pada saat, maupun setelah pasien mendapatkan pengobatan. Pada reaksi kusta tipe 1, lesi kulit yang sebelumnya menjadi lebih eritematosa, atau dapat timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai demam dan malaise, dapat disertai Diduga, reaksi kusta pada pasien ini timbul akibat faktor kelelahan fisik oleh karena pekerjaan, yang dialami oleh pasien sejak 1 bulan terakhir.


(4)

atau tidak.8

Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai makula eritematosa yang edematous anular dengan ukuran plakat pada regio maksilaris sinistra dan makula eritem anular dengan ukuran plakat pada regio maksilaris dekstra. Dan letak kelainan berada pada ruam penyakit kusta yang lama. Hal ini sesuai dengan pada riwayatnya reaksi kusta tipe 1 mempunyai gambaran khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan peradangan terletak pada bercak kusta yang lama.

Keadaan yang ditemukan pada pasien berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa keluhan awalnya berupa bercak kemerahan, timbul pada daerah bekas kusta yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak dan bertambah nyeri. Satu minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi terutama pada siku. Ini sesuai dengan teori mengenai gambaran fisik pada pasien reaksi kusta tipe 1.

8

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan pembesaran syaraf pada N. Ulnaris +/+ disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan fungsi sensibilitas didapatkan rasa raba berkurang pada daerah lesi dan pada telapak tangan. Ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa pada reaksi kusta tipe 1 umumnya terdapat nyeri tekan saraf dan/atau gangguan fungsi saraf.

Pasien didiagnosis banding dengan kusta relaps reaksi dan kusta tipe 2. Kusta relaps dapat disingkirkan dari pemeriksaan BTA pada cuping telinga dan lesi yang menunjukkan BTA (-) serta tidak dijumpainya lesi baru selain lesi lama yang kembali meradang.

8

8

Reaksi kusta tipe 2 dapat disingkirkan karena gambaran klinis pada ENL terdapat nodul-nodul eritematosa yang terasa nyeri dan lunak pada perabaan, dengan lokasi seringkali pada permukaan ekstensor lengan dan tungkai, punggung, wajah, atau dimana saja dengan distribusi cenderung bilateral dan simetris.8

Prinsip penatalaksanaan reaksi kusta antara lain pemberian obat antireaksi, istirahat atau imobilisasi, pemberian analgetik dan sedatif untuk mengatasi rasa nyeri.

8

Pada kontrol kunjungan ke 2, terlihat plak mulai menipis, sehingga kemudian dosis prednison diturunkan dan pemberian parasetamol dihentikan karena keluhan nyeri dan demam sudah tidak ada. Setelah pemberian prednison selama 12 minggu terlihat ruam menyusut dan yang terlihat hanya makula eritem.

Pada kasus ini, diberikan analgetik berupa parasetamol 3 x 500 mg/hari dan prednison sebagai obat anti reaksi kusta. Pemberian prednison pada reaksi harus dimulai dengan dosis tinggi 40-80 mg/hari tergantung pada tingkat keparahan reaksi. Obat diminum pada pagi hari dan dosis diturunkan secara bertahap sebanyak 5-10 mg setiap 2 minggu hingga mencapai dosis 5 mg.


(5)

Penatalaksanaan reaksi tipe 1 pada pasien ini memberikan hasil yang baik. Setelah mendapatkan prednison selama 12 minggu pasien dinyatakan bebas dari reaksi. Dan edukasi mengenai faktor pencetus diberikan kepada pasien untuk mencegah terjadinya reaksi kembali.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th

2. Zulkifli. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya. Available from :

ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1786-96

3. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology 7th ed. Italy: Blackwell Science; 2004. p. 29.1-29.21

4. Charles D, Stoppler MC. Leprosy (Hansen’s Disease). Available from :

6/11/2009

5. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Treatment. In Leprosy 3rd ed. Singapore: Longman; 1990. p. 77-91

6. Gautam VP. Treatment of Leprosy in India. J Postgrad Med July 2009;55:3:220-224 7. Sehgal NV, Sardana K, Dogra S. The Imperative of Leprosy Treatment in The Pre-

and Post- Global Leprosy Elimination Era: Appraisal of Changing The Scenario To Current Status. Journal of Dermatological Treatment 2008;19:82-91