TUGAS HUKUM ADAT LANJUTAN

TUGAS HUKUM ADAT LANJUTAN
TUTORIAL 2,3 DAN 4
DISCUSSION TASK – STUDY TASK – PROBLEM TASK

NAMA

:

IMELDA SUTOYO

NIM

:

1203005132

KELAS

:

C


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2013/2014

TUTORIAL 2
A. DISCUSSION TASK – STUDY TASK.
1. Apakah saja system atau garis keturunan yang dikenal di Indonesia dan apakah arti penting
kita mengetahui prinsip garis keturunan itu?
a) Sistem Patrilineal yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari
keturunan pihak laki-laki yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan
bertanggungjawab.
b) Sistem Matrilineal yakni sistem garis keturunan yang menarik garis keturunan dari garis
keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu pihak ibu yang bertanggungjawab.
c) Sistem Parental yakni system yang tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan
perempuan.
2. Bagaimanakah halnya apabila satu keluarga tidak mempunyai keturunan, dan adakah upaya
yang bisa dilakukan untuk mengatasi ketidakhadiran anak dalam satu keluarga? Apakah
untuk seluruh Indonesia dapat melakukan hal yang sama jika tidak ada keturunan?
a) Bila satu keluarga tidak mempunyai keturunan , jika terjadi sesuatu, yang berhak

mewarisi adalah saudara atau kerabat daripada keluarga tersebut.
b) Ya ada yakni mengadopsi atau mengangkat anak yang biasanya untuk mendapatkan
pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari
adopsi yang demikian itu adalah bahwa anak yang diadopsi kemudian memiliki status
sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melakukan
adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat
menjamin kesejahteraan bagi anak.
c) Ya jika keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No. 54 Tahun 2007 yakni tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, syaratsyarat mengangkat anak meliputi:
-

Pasal 12 yang berbunyi:
(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.

(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
-

Pasal 13 yang berbunyi:
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a.

Sehat jasmani dan rohani;

b.

Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;

c.

Beragama sama dengan agama calon anak angkat;


d.

Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e.

Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f.

Tidak merupakan pasangan sejenis;

g.

Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h.

Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;


i.

Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;

j.

Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k.

Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

l.

Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan

m.


Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

B.

STUDY TASK – PROBLEM TASK

1.

Bagaimanakah sikap Hakim dalam menangani kasus seperti itu? Hukum apakah yang
akan diterapkan oleh Hakim? Apakah permohonan itu akan dikabulkan atau tidak?

2.

Bagaimana pula halnya apabila pengangkatan anak terjadi di Jawa, Minangkabau
maupun Batak?

TUTORIAL 3
A.


DISCUSSION TASK

1.

Mengapa UU No.1 Tahun 1974 disebut unifikasi yang unik dan luas?
a) Karena menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan
yang Berketuhanan Yang Maha Esa, lagi pula unifikasi tersebut bertujuan hendak
memperlengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan,
karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman.
b) Karena perkawinan menurut UU No.1 Tahun 74 Tentang Perkawinan di Indonesia bukan
hanya meliputi aspek keperdatan saja akan tetapi juga merupakan aspek keagamaan, oleh
karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum
agama dan kepercayaan masing-masing rakyat Indonesia, sesuai Pasal 2 ayat (1) UU
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”.
Adanya Pasal 2 ayat (1) ini menyebabkan Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dapat disebut tidak merupakan unifikasi secara penuh karena hanya mengatur
hal-hal yang bersifat umum, artinya masih terdapat diferensiasi dalam hal yang spesifik

seperti masalah keabsahan perkawinan. Diferensiasi ini tidak dapat di elakan karena
negara Indonesia memiliki 5 agama yang dilindungi oleh hukum negara dan mengenai
perkawinan ini adalah hal yang sensitif sebab berkaitan dengan keyakinan. Khusus bagi
yang beragama Islam di atur tersendiri dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2.

Bagaimanakah kedudukan hokum adat tentang perkawinan setelah berlakunya UU No.1
tahun 1974 tersebut?
a)

Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada
Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan
timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam
pembinaan hukum.

b)

Pengambilan bahan-bahan dari hukum adatadalam penyusunan Hukum Nasional

pada dasarnya berarti:

- Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa
kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.
- Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan
kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
- Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga
hukum

dari

hukum

asing

yang

dipergunakan


untuk

memperkaya

dan

memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
c)

Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan
salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum
kewarisan nasional merupakan intinya.

d)

Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat,
maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum
nasional.


B.

STUDY TASK – PROBLEM TASK.

1.

Mengapa “Syeik Puji yang mengawini Ulfa” harus berurusan dulu dengan polisi dan
penjara?
Karena melanggar Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan
terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh
pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria
maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2). Ulfa yang saat kawin dengan Syeik Puji
masih berumur 12 tahun sama sekali tidak memenuhi pasal 7 UU No.1 tahun 1974.

2.

Sahkah perkawinan tersebut?
Tidak, karena melanggar Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3.

Dapatkah perkawinan itu dibatalkan?
Ya, seperti yang tercantum dalam KHI bahwa perkawinan dapat dibatalkan antara lain
bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1
Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan adalah: (1) para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau isteri; (2) suami atau isteri; (3) pejabat yang berwenang mengawasi
pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang; (4) para pihak berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73). Perlu diperhatikan, dapat dibatalkan
apabila ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas
perkawinan. Apabila pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan
yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan
Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak
tercatat di lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum,
kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan.
Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa
pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari
ketentuan batas umur minimum pernikahan.

4.

Bagaimanakah halnya dengan mereka yang kawin beda agama dan masing-masing pihak
tetap memeluk agamanya masing-masing, sedangkan mereka kemudian melangsungkan
perkawinan di luar negeri? Sahkah perkawinan seperti itu menurut hokum perkawinan
Indonesia?
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan
Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor
Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan
untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan
perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan
tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu

perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan
pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam
kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus
mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti
halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa
terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini
bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan
administrative.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa perkawinan tersebut tidak lah sah menurut
hokum perkawinan Indonesia.
5.

Bolehkah orang berpoligami?
sebagaimana dapat kita lihat Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mana Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat
[1] UU Perkawinan). Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut
bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari
satu jika:
a.

isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b.

isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c.

isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari
satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat [1] UU
Perkawinan):
a.

adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b.

adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-

isteri dan anak-anak mereka;
c.

adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak

mereka.
Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat
[2] UU Perkawinan).
Dalam Hukum Islam pengaturan tentang poligami merujuk pada Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”). Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda dengan UU
Perkawinan. Hanya saja di dalam KHI dijelaskan antara lain bahwa pria beristeri lebih
dari satu diberikan pembatasan, yaitu seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari 4
(empat) orang. Selain itu, syarat utama seorang pria untuk mempunyai isteri lebih dari
satu adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anakanaknya (Pasal 55 KHI).
Menurut KHI, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama. Jika perkawinan berikutnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan
Agama, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).
Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan
Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
jika:
a.

istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

b.

istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c.

istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan
syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut juga
merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu: (Pasal 58 KHI)
a.
b.

adanya persetujuan istri;
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan

anak-anak mereka.
Pasal 58 KHI ini juga merujuk pada Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“PP
9/1975”), yang mengatakan bahwa persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan
secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
Jika si isteri tidak mau memberikan persetujuan, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI).
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP 9/1975 yang menyatakan bahwa:
”Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih
dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri
lebih dari seorang”.

TUTORIAL 3
A.

DISCUSSION TASK- STUDY TASK

1. Apa pengertian, unsur-unsur maupun system kewarisan yang dikenal dalam hokum adat
waris?
a) Hukum waris adat adalah hukum waris yang memuat tentang harta warisan, siapa
pewaris dan ahli waris, serta cara bagaimana harta warisan (hak dan kewajiban) itu
dialihkan dari pewaris kepada ahli waris. Jadi, hukum waris adat adalah penerusan dan
peralihan hak dan kewajiban yang obyeknya berwujud atau tidak berwujud dari pewaris
ke ahli waris atau dari satu generasi kepada keturunannya.
b) Unsur-unsur adanya pewarisan :
i)

Ada pewaris, yaitu orang yang mempunyai harta benda yang akan
diwariskan atau diteruskan ahli waris atau keturunannya.

ii)

Ahli waris, yaitu orang yang akan menerima harta warisan dari pewaris
atau meneruskan segala macam bentuk warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris.

iii)

Harta warisan, yaitu segala macam harta benda baik yang berwujud
maupun tidak berwujud yang dimiliki oleh pewaris yang akan
diwariskan kepada ahli waris.

c) Sistem kewarisan dalam hokum adat waris :
i)

Sistem kewarisan individual
Cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara para ahli waris.

ii)

System kewarisan kolektif
Cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersamasama merupakan semacam badan hokum

iii)

System kewarisan mayorat
Cirinya harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar oleh
seorang anak saja.

2. Bagaimanakah kedudukan anak wanita dalam mewarisi dari ketiga system kekeluargaan
yang dikenal di Indonesia?
a) Menurut system patrilineal, kedudukan anak wanita adalah tidak berhak dalam
mewarisi, alias anak wanita tidak berhak menjadi ahli waris.

b) Menurut system matrilineal, kedudukan anak wanita adalah berhak dalam mewarisi
dan menjadi ahli waris.
c) Menurut system parental, kedudukan anak wanita adalah bisa saja berhak dan bisa
juga tidak berhak.

3. Apakah orang yang tidak ada hubungan darah dapat atau tidak sebagai ahli waris?
Tidak dapat, karena Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1.

Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu
kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2.

Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau

isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat
dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai
pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli
waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung
maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya.
Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat
golongan besar, yaitu:
1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852
KUHPerdata).
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari
kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.