TUGAS HUKUM ADAT BALI

TUGAS HUKUM ADAT BALI
EKSISTENSI TANAH ADAT ( TANAH PKD )

NAMA

: ADI SURYA

NIM

: 1316051202

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah merupakan hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Maka dari itulah sangat dibutuhkan pengaturannya lewat hukum
termasuk hukum adat.Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang
sangat penting dalam hukum adat, yaitu :
1. Karena sifatnya

Yaitu karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap, walaupun
mengalami keadaan-keadaan yang bagaimanapun, bahkan menjadi lebih
menguntungkan. Misalnya : sebidang tanah yang di atasnya tumbuh berbagai macam
tumbuh-tumbuhan, jika dibakar dan setelah api padam, tanah tersebut akan muncul
lagi, tetap berwujud tanah seperti semula. Jikalau dilanda banjir, malahan setelah
airnya surut, muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula.
2. Karena fakta
Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu :
Merupakan tempat tinggal dari kelompok orang
Memberikan kehidupan pada kelompok orang
Merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia
dikebumikan
 Merupakan pula tempat tinggal dari roh-roh suci leluhur
Pertalian antara manusia dengan tanahnya, demikian amat erat, karena merupakan unsur yang
berpasangan dan seharusnya dapat dianggap sebagai pertalian hukum umat manusia dengan
tanah.





Melihat kenyataan yang demikian maka antara kelompok orang dengan tanah yang
didiaminya terdapat hubungan yang amat erat, serta bersifat “religius magis“. Hubungan
yang erat dan bersifat religius magis ini menyebabkan kelompok orang, memperoleh hak
untuk menguasai tanah dalam arti memanfaatkan tanah itu memungut hasil dari tumbuhtumbuhan yang hidup di atas tanah itu serta berburu terhadap binatang-binatang yang ada di
situ
Rupa-rupanya dari jaman dahulu tanah yang didiami oleh kelompok orang yang jelas ada
yang sebagai pemimpin kelompok dapat mengatur penggunaan tanah, yang sifatnya turuntemurun, bagaikan sebuah warisan dari leluhurnya, kiranya inilah disebut “tanah adat“.
Maka itu penggunaan tanah adat dapat berlaku ke dalam (kelompok adat) dan dapat juga
berlaku keluar, seperti :
1. Kelompok persekutuan itu beserta warganya yang berhak dengan bebas menggunakan
tanah-tanah adat yang ada di sekitarnya
2. Orang luar hanya boleh menggunakan tanah tersebut, dengan ijin penguasa kelompok
persekutuan tersebut, tanpa ijin itu dianggap melakukan pelanggaran
3. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah kekuasaannya,
untuk kepentingan mereka bersama
4. Persatuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya,
terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan pelanggaran

5. Hak tanah adat tidak dapat dilepaskan atau dipindah tangankan, diasingkan untuk
selamanya.

6. Hak atas tanah adat yang sudah digarap yang sudah diliputi oleh hak perseorangan
Walaupun demikian keberadaannya namun dengan adanya perkembangan jaman, maka perlu
bagi kita masyarakat Hindu di Bali dengan adat-istiadatnya, dapat mempertahan tanah adat,
karena hal itu bersangkut paut dengan kehidupan beragama.

A. JENIS DAN FUNGSI TANAH ADAT BALI
Setelah keluarnya UUPA, maka dalam ketentuan konversinya(pasal II, VI, VII)
ditemukan hak-hak atas tanahsebagai berikut: hak agrarisch eigendom, milik, yasan
andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijen bezitsrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah-tanah partikelir, hak vructgebruik, gebruik, grant
controleur, bruklen, ganggam bauntuik, ang gaduh, bengkok, lungguh, pituas, hak gogolan,
pekulen/sanggau. Baru kemudian setelah keluarnya peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
No. 2 tahun 1962 ditambah dengan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri No.
SK26/DDA/1970 dipastikan bahwa hak-hak tanah sebagaimana diatur oleh ketentuan
konversi pasal II, VI, Vii dari UUPA adalah hak-hak Indonesia atas tanah.
Sebelum keluarnya UUPA yang disebut tanah-tanah adat/tanah-tanah Indonesia
adalah tanah-tanah yang tunduk dan diatur oleh hukum adat. Ternyata konsepsi ini masih
diikuti dalam UUPA, sehingga batasan Tanah adat menurut UUPA lebih dari batasan tanah
adat menurut hukum adat.
Tanah adat Bali sesuai dengan ketentuan konvensi dari UUPA tercantum dalam pasal

II dengan sebutan “tanah hak atas Druwe” atau “tanah hak atas Druwe desa”. Namun di Bali
tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang artinya tanah-tanah
kepunyaan desa adat.
 Tanah Druwe Desa terdiri dari:
1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai atau dikuasi oleh Desa Adat yang bisa didapat
melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya. Kalau tanah desa ini berupa
tanah pertanian ( sawah, ladang ) akan digarap oleh krama desa ( anggota desa ) dan
penggarapannya diatur dengan membagi-bagikan secara perorangan maupun secara
kelompok yang kemudian hasilnya diserahkan oleh penggarap kepada desa
adat. Selain itu yang termasuk tanah adalah: Tanah pasar, tanah lapang, tanah
kuburan, tanah bukti (tanah-tanah yang diberikan kepada pejabat/pengurus Desa Adat
selama memegang jabatan.)
2. Tanah Laba Pura, adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa (dikuasai
oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk keperluan Pura. Tanah Laba Pura ini ada
2 macam yaitu:
-

Tanah yang khusus untuk tempat bangunan Pura

-


Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura

3. Tanah Pekarangan Desa atau tanah PKD adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh
desa yang diberikan kepada karma Desa untuk tempat mendirikan perumahan yang
lazimnya dalam ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban
yang melekat ( yang lebih dikenal dengan “ayahan”) pada karma Desa yang
menempati tanah ialah adanya beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada
Desa Adat.
4. Tanah Ayahan Desa atau Tanah AYDS adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasaai
atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan pada masing-masing Krama
Desa disertai hak untuk menikmati hasil yang disertai kewajiban ayahannya.

Disamping tanah-tanah adat tersebut diatas, dikenal juga tanah-tanah pribadi atau tanahtanah bebas yang merupakan tanah-tanah milik perseorangan yang bebas dari kewajiban
“ayah”. Demikian dalam praktek sehari-hari tidak pernah tanah-tanah bebas ini disebut
sebagai tanah adat.
Untuk tanah AYDS dan tanah PKD secara bersama-sama sering disebut “tanah ayah” saja. Ini
artinya tanah yang diatasnya berisi beban berupa ayahan. Tanah ayah ini dapat diwariskan,
dan jika ingin menjual harus dengan persetujuan Desa Adat demikian juga kalau mau
melakukan transaksi-transaksi tanah lainnya, harus tetap seijin dari Desa Adat.

Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari
tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan. Sebagai
fungsi keagamaan, krama desa memiliki kewajiban ngayahang yang berupa tenaga, yaitu
menyediakan dirinya untuk ngayah atau berkorban ke desa pakraman dan ngayah ke Pura /
Kahyanagan Desa seperti gotong royong membersihkan pura, memperbaiki pura hingga
menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya dan material, yaitu menyediakan uang
atau materi lainnya demi kepentingan desa pakraman dan Kahyangan Desa.

Tanah Adat Di Desa Panglipuran
Diambil contoh dari desa berkembang untuk menjadi desa wisata yaitu Desa
Panglipuran . Tanah adat di panglipuran berupa: 45 hektar hutan bambu, 50 hektar tegalan
(ladang), 9 hektar pemukiman terdiri dari 76 kaplingan, sisa untuk tempat umum seperti bale
banjar, sekolah, dsb. Pengelola tanah adat dilakukan masyarakat adat sendiri, dimana tidak
punya hak milik atas tanah tapi punya hak pakai dan memelihara. Dan diberi kewajiban untuk
keperluan adat berupa iuran pembangunan pura, iuran bulan purnama, dsb.
Tanah Ayahan Desa atau AYDS, adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai atau
dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan pada masing-masing krama Desa disertai
hak untuk menikmati hasil yang disertai kewajiban ayahannya. Kewajiban seperti menjaga
pura, bila pura ada acara, maka yang mempunyai hak pakai ikut membantu terselenggaranya
acara di pura tersebut. Tanah adat panglipuran bisa diperjual belikan kepihak luar, karena

bersatatus AYDS dengan persetujuan bersama.
Tanah laba pura adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa (dikuasai
oleh desa) yang khusus digunakan untuk keperluan pura. Di panglipuran, laba pura terdapat

diberbagai lokasi, salah satunya ada hutan bambu sebagian berstatus laba pura, dusun
buungan desa tiga 8 ha (lahan kering), sidombunut (sawah), sawah cekeng. Tanah laba pura
tersebut bisa diurus warga luar, ada pula yangg diurus warga sendiri
Pewarisan bersifat kolektif, bila ingin menjual warisan harus mendapat persetujuan
bersama ahli waris. Sertifikat tanah di desa panglipuran berupa petok D atas nama leluhur,
petok D dipegang oleh anak tertua. Sertifikat tanah di panglipuran berupa hak guna pakai,
bukan hak milik. Dan tidak boleh menjual tanah kepada warga nonpanglipuran. Semua tanah
terkena pajak kecuali tanah Pekarangan Desa dan laba pura.
Keberadaan desa pakraman tidak terlepas dari segala syarat keberadaan hak ulayat dalam
masyarakat hukum adat. Dalam setiap desa pakraman di Bali, dapat dilihat tiga syarat adanya
hak ulayat dalam masyarakat hukum adat.
1. Ada kelompok orang yang masih terikat oleh hukum adatnya. Dalam desa pakraman,
semua warga desa adat terikat oleh awig-awig yang ditetapkan secara bersama. Aturan-aturan
ini sebagian besar tidak tertulis, tetapi dipahami serta dipatuhi oleh warga desa adat. Namun
sekarang mulai ditulis dikarenakan terbatasnya ingatan manusia.
2. Terdapat tanah ulayatnya, dan dalam desa pakraman yang memiliki kesatuan wilayah

dengan desa dinas, terdapat seluas tanah yang dikuasai oleh desa pakraman tersebut guna
keperluan bersama warga desanya.
3. Terdapat tatanan hukum adatnya segala pengurusan, penguasaan, dan pembagian tanah
adat yang ada di masing-masing desa pakraman diatur oleh kelihan desa dengan mengacu dan
dapat dipertanggung-jawabkan dalam paruman desa. Dapat dikatakan bahwasannya segala
hasil paruman desa yang dihadiri karma desa merupakan tatanan hukum yang digunakan
sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas, terlihat bahwasannya dalam desa pakraman ketiga syarat hak ulayat
tersebut dipenuhi. Hak ulayat masih ada dalam desa pakraman.

B. EKSISTENSI TANAH PKD DAN AYDS MENURUT HUKUM ADAT BALI
Berdasarkan Prasasti Bali Kuna, kelompok orang yang beragama Hindu yang diikat oleh
Sima (dresta) disebut “Karaman”. Wilayah dimana karaman berada dan berkuasa disebut
“Thani atau “wanua” sehingga untuk orang yang tinggal dalam suatu thani atau wanua
disebut “Anak Thani” (Tanayan Thani), “anak wanua”.dalam setiap Thani atau Wanua
terdapat “Kahyangan” (Pura) sebagai tempat pemujaan karaman dan sekaligus sebagai tali
pengikat sebuah karaman. Demi untuk kepentingan komunitas karaman, dan keajegan
kahyangan serta kepentingan, ekonomis anggota karaman, maka tanah-tanah yang berada
diwilayahnya dibagi-bagikan kepada anggota karaman yang sudah membentuk “kurn”
(keluarga). Lambat laun karaman dan Thaninya disebut Desa, kemudian Desa Karaman atau

Desa Pakraman, dan sampai akhirnya disebut Desa Adat. Tanah Pekarangan yang ditempati
oleh masing-masing anggota karaman menjadi tanah Pekarangan Desa (Tanah PKD) dan
tanah-tanah tegalan atau sawah yang menghasilkan disebut tanah ayahan Desa (AYDS). Baik
tanah PKD maupun AYDS adalah merupakan “Beschikkings gebied” (wilayah kekuasaan)
dari Desa Adat. Dasar penguasaan ini adalah “hak ulayat” yakni hak dari persekutuan Desa
adat atas tanah yang didiami.

Pada awalnya anggota Dasa hanya mempunyai hak menggunakan (genotsrecht). Tetapi
kenyataannya kemudian tanah-tanah tersebut dapat dikuasai sepenuhnya (beschikken) maka
muncullah hak penguasaan atas tanah beschikkingsrecht. Berdasarkan asas hukum (legal
principle) bila hak menggunakan dan hak penguasaan bergabung maka itu tidak lain adalah
hak milik orang Belanda menyebutkan “Inlands bezitsrecht”.
Untuk tanah PKD dan AYDS ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban public untuk desa
dan atau pura. Kewajiban ini secara umum dikenal dengan istilah “ayahan”. Jadi ayahan
inilah yang mengekang atau mengikat tanah-tanah ayah diatas. Sehingga tanah-tanah tersebut
menjadi tanah hak milik terkekang (ingeklemd Inlands bezitsrecht).
Bagi tanah-tanah terkekang, menurut Bushar Muhammad, akan sangat tergantung dari kuat
dan lemahnya hak penguasaan Desa (hak ulayat). Kalau hak ulayat kuat maka desa akan
mengklaim bahwa tanah itu milik desa. Demikian sebaliknya bila hak ulayat lemah maka
tanah-tanah akan menjadi milik anggota (karma) desa Adat.

Dari penilitian yang pernah dilakukan ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age) masih
mempertahankan hak ulayat desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali Dataran)
tidak mempersoalkan pemilikan tanah, tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja ini
membuktikan bahwa ulayat semakin melemah.
Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah Adat di Bali adalah melekat pada fungsi tanah adat
yang meliputi: a) Fungsi Keagamaan, b) Fungsi Sosial, c) Fungsi Ekonomis. Pelaksanaan
fungsi sosio-religius dari tanah-tanah adat tersebut, kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan
ayahan ang sekaligus merupakan Yadnya.

TANAH ADAT SETELAH BERLAKUNYA UU NO 5 TAHUN 1960
Berdasarkan bunyi pasal II ketentuan konversi dari UUPA (UU no 5 tahun 1960), kiranya
sudah jelas bahwa bagi tanah-tanah adat yang ada di Bali akan dikonversi menjadi hak milik.
Dikecualikan jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh
pasal 21 UUPA.
Kalau memperhatikan jenis-jenis tanah adat yang ada di Bali sebagaimana tergambar di
depan, maka ada tiga subyek hak yang dapat melakukan permohonan konversi, yaitu:
1.

Desa Adat


Kalau yang mengajukan permohonan konversi DesaAdat, maka perlu dilihat apakah desa
adat itu sudah memenuhi syarat sebagai subyek hak. Menurut pasal 1 dari Peraturan
Pemerintah No. 38 tahun 1963 mengatur mengenai penunjukan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah sebagi berikut:
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara
b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan
UU no 79 th 1958
c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agrarian
setelah mendengar menteri kesejahteaan sosial.

Dari ketentuan ini nampaklah bahwa desa adat belum ditunjuk sebagi subyek hak yang dapat
mempunayi hak milik atas tanah. Oleh karena itu status hak dari tanah desa belum jelas.

2.

Pura

Sesuai dengan surat keputusan Menteri dalam negeri no SK. 556/DJA/1986 tentang
peunjukkan Pura sebagai Badan hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak milik atas
tanah memutuskan:
a. Menunjuk Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai
Hak Milik atas tanah
b. Menegaskan bahwa tanah-tanah palemahan yang merupakam kesatuan fungsi
dengan Pura yang sudah dimiliki pada saat ditetapkannya surat keputusan ini,
dikonversi sebagai hak milik.
Dari ketentuan ini Pura telah ditunjuk sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah.

3.

Krama Desa Adat (anggota desa)

Pasal 6 ayat 1 peraturan menteri Pertanian dan agrarian no. 2 th 1962 (ditambah dengan surat
Keputusan Menteri dalam negeri no SK, 26/DDA/1970) menentukkan: Hak-hak yang
disebutkan dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA ditegaskan dan didaftarkan
menjadi:
a. Hak milik, jika yang mempunyainya tanggal 24 september 1960 memenuhi
syarat untuk mempunyai hak milik.
b. Hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA
jika tidak yang mempunya pada tanggal 24 september 1960 tidak memenuhi
syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah
perumahan.
c. Hak guna usaha dalam jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika
tidka memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan
tanah pertanian.
Dari ketentuan tersebut untuk karma Desa Adat/perseorangan dapat mempunyai hak milik,
setelah memenuhi syarat yakni: 1) Dapat memperlihatkan tanda bukti kewarganegaraan
tunggal; 2) Dan tanda bukti hak atas tanah tersebut.

PENUTUP
KESIMPULAN

Di Bali tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang artinya
tanah-tanah kepunyaan desa adat. Tanah Druwe Desa terdiri dari: Tanah Desa, tanah laba
pura, tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa.Pemanfaatan tanah adat yang dimilik
desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi,
berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan.
Untuk tanah PKD dan AYDS ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban public
untuk desa dan atau pura. Kewajiban ini secara umum dikenal dengan istilah “ayahan”. Jadi
ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah-tanah ayah diatas. Sehingga tanah-tanah
tersebut menjadi tanah hak milik terkekang (ingeklemd Inlands bezitsrecht). Bagi tanah-tanah
terkekang, menurut Bushar Muhammad, akan sangat tergantung dari kuat dan lemahnya hak
penguasaan Desa (hak ulayat). Kalau hak ulayat kuat maka desa akan mengklaim bahwa
tanah itu milik desa. Demikian sebaliknya bila hak ulayat lemah maka tanah-tanah akan
menjadi milik anggota (karma) desa Adat
Ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age) masih mempertahankan hak ulayat
desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali Dataran) tidak mempersoalkan
pemilikan tanah, tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja ini membuktikan bahwa
ulayat semakin melemah. Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah Adat di Bali adalah
melekat pada fungsi tanah adat yang meliputi: a) Fungsi Keagamaan, b) Fungsi Sosial, c)
Fungsi Ekonomis.
Terdapat tiga subyek hak yang dapat melakukan permohonan konversi di bali, yaitu: desa
adat (belum ditunjuk sebagi subyek hak yang dapat mempunayi hak milik atas tanah), pura
(Pura telah ditunjuk sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai hak milik
atas tanah) dan krama desa (dapat mempunyai hak milik setelah memenuhi syarat)

SARAN
1. Bagi para Pangemong Adat/Kelihan Desa Adat/Bendesa Adat, kiranya sudah harus
memulai untuk mengambil langkah-langkah, terhadap pelestarian Ayahan.
2. Untuk pelestarian Ayahan, kiranya dapat diambil langkah, yaitu mewajibkan setiap
orang umat Hindu yang tinggal di wilayah Desa Adat, untuk Tedun Ngayah (sesuai
dengan Dresta).
3. Setiap anggota Krama Desa, yang telah kawin/pernah kawin, hendaknya wajib kena
Ayahan (sesuaikan dengan kebutuhan).
4. Hindari adanya pengalihan hak atau jual beli terhadap Druwe Desa, tetapi juga tidak
tertutup kemungkinan, yakni diperlukan untuk kegiatan-kegiatan sosial, untuk
kepentingan pemerintah dan lain-lainya, tetapi tetap melalui Keputusan Paruman
Desa.