9 Adanya program Stop with me ternyata cukup bagus untuk diterapkan. Tahapan
rehabilitasi juga penting untuk dilakukan, dengan model partisipasi keterlibatan semua pihak. LSM Balata selama ini yang mendukung program ini. Rencananya,
pendanaan akan mengakses dana CSR. Untuk itu, perlu menggerakkan massa untuk dapat beraudiensi dengan DPR. Pengerahan komunitas ini, perlu membangun dulu
koalisi dengan lembaga atau komunitas yang lain lagi. Goalnya akan sampai pada pendanaan. Untuk merealisasikan hal tersebut, perlu menyiapkan nomenklatur atau
institusi, perlu terobosan rehabilitasi partisipasi berbasis komunitas, perlu membangun jaringan yang strategis dengan media. Dengan demikian, integrasi perlu
dibangun dengan adanya interkoneksitas. 8.
Terkait dengan membangun jaringan dengan pihak media, peserta dari RRI menyatakan bahwa pengalaman beliau selama ini telah membawa isu disabilitasi
dalam program siaran yang dilakukan oleh RRI. Untuk itu, dari hasil pertemuan ini, akan diupayakan untuk mendekatkan isu penanggulangan HIV dan AIDS kepada
pimpinan RRI agar menjadi perhatian. 9.
Salah satu peserta memberikan apresiasianya atas penelitian yang telah dilakukan ini, karena hasil penelitian ini bisa sebagai materi advokasi bagi para LSM. Keberadaan
buddies, KDS, keberadaan pendamping untuk menutup gap akses di layanan. Sebenarnya sudah ada komitmen dari pemerintah kepada para pendamping ini,
meskipun masih kecil, baru kepada 12 orang saja. Pendamping ini dimaksudkan untuk meminimalisir loss of follow up, melakukan konseling, dll. Akan tetapi kendala yang
masih dihadapi adalah isu stock out obat ARV dari pusat. Menurut informasi, baru pada bulan Juni stok tersedia.
2. Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS
Sesi ini terkait dengan pelaksanaan penelitian tahap 3 dari beberapa tahapan penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia. Tujuan utama dari
sesi ini adalah untuk mendapatkan konsensus dari para peserta sebagai perwakilan dari praktisi terkait dengan model integrasi kebijakan dan program PMTS. Konsensus atas
permodelan yang telah dikembangkan, dilakukan dengan metode delphi dalam dua putaran. Putaran pertama untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan persepsi dari para
10 informan terhadap program PMTS selama ini dan putaran kedua dilakukan setelah model
dipaparkan oleh peneliti. Hasil dari dua putaran delphi tersebut, dianalisis untuk melihat sejauh mana dan kemungkinannya model yang dikembangkan tersebut dapat
diimplementasikan pada tingkat layanan primer. Diskusi atas model ini kemudian dilakukan pada hari kedua, namun hasil diskusi ini tidak
memengaruhi konsensus yang telah tercapai pada hari pertama. Dalam kesempatan ini diawali dahulu dengan penyajian hasil pengisian kuesioner yang telah dilakukan pada hari
sebelumnya. Hasil analisis ini yang menjadi materi pemantik diskusi bersama dengan para peserta yang telah hadir kembali pada hari kedua. Beberapa poin diskusi yang muncul pada
sesi ini, antara lain : 1.
Pokja PMTS sudah di set up mulai dari tingkat kota hingga ke tingkat kecamatan, sudah ada SK nya tapi tidak pernah ada pertemuan. Perlu dievaluasi kinerjanya selama ini.
Di Pare-pare, Pokja PMTS belum melibatkan para pemangku kepentingan setempat. Pembentukan pokja sebenarnya perlu ada kesepemahaman dulu antar beberapa
pihak, bukan pada ada atau tidaknya SK. 2.
Di Makassar tidak ada lokalisasi tapi lokasi, tempat transaksi seks dengan WPSL maupun WPSTL. Belum pernah ada pembubaran lokasi, baru sekedar rencana tapi
belum terealisir. Kalau memang hal ini terjadi, maka memang pasti akan membubarkan pokja PMTS.
3. Terkait dengan pernyataan bahwa pengadaan dan distribusi kondom yang dikoordinir
oleh KPAN tidak akan berkelanjutan, pernyataan ini mendapatkan konsensus dari para peserta. Menurut mereka, mandat utama KPA tidak sesuai untuk ikut tender
pengadaan kondom. Mandat KPA lebih kepada mempersiapkan sumber dayanya, misalnya pengelola logistik. Tetapi faktanya selama ini peran tersebut digabung-
gabung, sehingga tidak berkelanjutan kalau tidak ada dana donor. 4.
Dalam hal distribusi kondom, selama ini tidak ada SOP yang sama sebagai acuan untuk KPA, LSM dan Dinkes, sehingga pelaporan distribusi kondom seringkali masih menjadi
kendala tersendiri. Selain itu, pengelola outlet di bawah tidak pernah diapresiasi. Tetapi ketika ada masalah, merekalah yang paling sering didatangi untuk menanyakan
apa masalahnya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk dilihat permasalahan ini secara komprehensif, karena selama ini distribusi kondom belum pernah dievaluasi.
11 5.
Menurut peserta dari Bappeda, dalam hal penganggaran untuk pengadaan kondom, Dinkes tidak pernah menganggarkan, hanya dari BKKN tetapi tidak secara specifik
untuk pencegahan HIV dan AIDS, tetapi untuk kontrasepsi. 6.
Menurut DKK Makassar, selama ini distribusi kondom oleh BKKBN memang sebagai alat kontrasepsi, tetapi ada beberapa puskesmas yang sudah ada MoU dengan BKKBN,
menerima kondom dari BKKBN untuk KIA. Dan dalam pelaporannya, distribusi kondom yang dari BKKBN ini tidak bisa dilaporkan sebagai program pencegahan HIV.
7. Dari Puskesmas Makassar menambahkan bahwa sebenarnya kondom dari BKKBN
jumlahnya cukup banyak, tetapi aseptor kondomnya kurang, daripada kadaluarsa kemudian dibagi-bagikan ke panti pijat atau lokalisasi. Pelaporannya hanya cukup
disampaikan ke pengawas BKKBN. 8.
Lain halnya dengan pengalaman di Pare-pare, jika ketersediaan kondom kurang, ada inisiatif dari LSM untuk bersurat ke BKKBN meminta kondom, tetapi ternyata ada isu
terkait dengan kualitas kondom yang berasal dari BKKBN. 9.
Karena kondom yang ada di BKKBN difokuskan bagi aseptor KB, maka ketika ada permintaan dari LSM atau puskesmas untuk program pencegahan HIV, tidak masuk
dalam rencana BKKBN. 10.
Tidak adanya SDM yang khusus untuk distribusi kondom, mencapai konsensus dari para peserta. Kondom hanya sampai di outlet saja. Bahkan, BKKBN pun masih
mempergunakan tangan puskesmas untuk pendistribusiannya. Distribusi kondom ke populasi kunci masih sangat bergantung pada petugas lapangan LSM
11. Semua peserta setuju bahwa selama ini masih ada hambatan sosial, budaya, agama
dalam pendistribusian kondom, bahkan di populasi kunci juga masih ada, khususnya LSL karena mereka biasanya masih tertutup, tetapi kalau di WPS sudah cukup terbuka.
Pengalaman dari Pare-pare terkait dengan kampanye kondom, ketika ada program dari KPAN dan DKT untuk memberikan papan nama outlet, ada penolakan karena
tidak perlu memakai cara yang terlalu terbuka, karena pasti akan ada penolakan dari sekitar. Padahal apa bedanya outlet kondom dengan apotik, alfamart, dll. Hal ini
terkait dengan ketidakadilan publik dalam memberikan perspektif tentang kondom. Pengelola outlet tidak perlu ditonjol-tonjolkan.
12. Distribusi kondom di dalam gedung puskesmas sudah dapat dilakukan dan tidak ada
hambatan yang berarti dalam hal ini.
12 13.
Menurut para peserta, harga kondom yang dijual bebas di pasaran tidak terlalu mahal bagi masyarakat Indonesia dan populasi kunci, yang mahal adalah nilai sosialnya,
seringkali masih ada perasaan malu-malu pada saat membelinya. 14.
Para peserta menyatakan persetujuannya, bahwa kondom bisa menjadi barang bukti prostitusi sehingga dapat menghambat pencegahan melalui transmisi seksual. Di
Sulawesi Selatan, hal ini memang sering terjadi. 15.
Peserta menyatakan ketidakyakinannya bahwa kebutuhan kondom dipenuhi melalui jalur BKKBN, tidak ada nomenklaturnya di BKKBN, kecuali memang ada permintaan-
permintaan. 16.
Menurut puskesmas, penggunaan dana BOK sudah ada ketentuannya, jadi tidak bisa seenaknya dipergunakan untuk keperluan lainnya selain yang ada di dalam ketentuan-
ketentuan tersebut. Saat ini, karena kondom belum dianggap prioritas maka dipergunakan untuk kegiatan lain yang lebih prioritas.
17. Sama halnya yang dinyatakan oleh Bappeda bahwa dana BOK sudah ada ketentuan
penggunaannya Permenkes No. 21. DAK non fisik dipergunakan untuk dana transport, sosialisasi, PMT dan dibatasi per posyandu. Pengadaan kondom atau spuit
sebenarnya merupakan tanggung jawab Dinkes karena bisa dimasukkan dalam belanja daerah. Puskesmas tidak boleh belanja bahan, ada perda yang mengatur hal
ini. Ada kebijakan buffer stock untuk diberikan ke kabupaten-kabupaten lain yang membutuhkan.
18. Peserta juga tidak yakin bahwa puskesmas dapat mengadakan kondom dan lubrikan
dengan dana kapitasi JKN, karena puskesmas memerlukan dana ini untuk operasional puskesmas.
19. Di Sulawesi Selatan, belum ada puskesmas yang BLUD, hanya rumah sakit Balai
Layanan Daerah. 20.
Di puskesmas belum ada alokasi untuk gaji petugas lapangan, yang ada adalah anggaran rutin untuk pendamping ODHA dan penjangkuan ke layanan. Selama ini
program HIV sebatas reagen dan masih nyangkut di YanFar termasuk kondom. Ada juga kondom di binkesmas, bagian KIA tetapi tidak tahu apakah dianggarkan untuk
pengadaannya atau tidak. 21.
Peserta menyatakan ketidaksetujuannya pada pernyataan pengobatan presumtif berkala memicu penurunan pemakaian kondom pada pekerja seks sehingga perlu
13 dihentikan. Pengalaman di Pare-pare, PPB dilanjutkan dengan pemakaian kondom
secara konsisten dapat menurunkan kasus IMS dengan cukup signifikan. 22.
Peserta setuju bahwa layanan IMS pada kelompok LSL belum dilakukan secara maksimal oleh puskesmas, karena masih ada puskesmas yang favorit yang diakses
oleh LSL. Di Sulawesi Selatan belum ada klinik khusus LSL. Pernah ada petugas khusus LSL ketika ada donor, tetapi sekarang semua sudah diarahkan ke puskesmas. Sudah
ada upaya pelibatan klinik dokter swasta dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi terkadang setelah diundang tidak semua mau datang, apalagi untuk
pelaporan. Sudah pernah ada pelatihan SIHA tapi belum terealisir sampai ke pelaporan. Pengalaman Dinkes Pare-pare, upaya ini juga sudah dilakukan, misalnya
dengan RS Fatima. Mereka pernah diundang di pelatihan tetapi kemudian tidak ada inisiatif lebih lanjut. Namun, adanya akreditasi rumah sakit, sekarang mulai mengarah
ke situ. 23.
Peserta merasa kurang yakin atas pernyataan : akses langsung populasi kunci ke layanan tes HIV di dalam gedung puskesmas masih belum optimal. Hal ini lebih
disebabkan karena keterbatasan jam layanan puskesmas. Jam layanan puskesmas mulai pagi sampai siang. Untuk mengatasi hal ini, puskesmas melakukan mobile klinik
di sore atau malam. Tetapi yang datang secara langsung ke puskesmas bersama dengan penjangkau sebenarnya sudah banyak.
24. Terkait dengan pendanaan, Dinkes Pare-pare menyatakan bahwa anggarannya justru
berasal dari dana APBD dan BOK. Tetapi memang secara proporsi jumlah, masih lebih banyak besar dana dari donor. Namun, secara frekuensi lebih banyak yang dari dana
APBD atau BOK, 60 kali per tahun untuk 6 puskesmas di Pare-pare. GF hanya menanggung 2 puskesmas saja. Potensi sumber pendanaan lain adalah dari CSR, di
Pare-pare sudah ada Forum Pendanaan CSR Daerah tetapi masih nyangkut di bagian ekonomi.
25. Pengalaman di Pare-pare, perlu ada one day one service, khususnya ketika ditemukan
kasus di mobile klinik, sering kali susah melacaknya kembali karena WPS sering berpindah. Menurut Dinkes Pare-pare, konseling dilakukan pasca tes oleh konselor
kemudian dilanjutkan oleh penjangkau. Protabnya demikian. 26.
Sudah pernah ada dana BLM dari Kemsos, melalui provinsi dalam bentuk UEP Usaha Ekonomi Produktif.
14
F. Tindak Lanjut Diskusi