Sebuah Pemikiran Tentang Diseminasi Kary
2
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
GAGASAN
SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG DISEMINASI KARYA PENGABDIAN
KEPADA MASYARAKAT PERGURUAN TINGGI INDONESIA
Sundani Nurono Soewandhi1
1
Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132,
[email protected]
Ringkasan Eksekutif
Media untuk mendiseminasikan karya unggul pengabdian kepada masyarakat (PPM)
masih sangat terbatas. Teknik mendiseminasikannya baik dalam jurnal ataupun
prosiding masih beragam. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena selama ini
tulisan PPM diarahkan untuk mengikuti pola artikel riset yang sebenarnya memiliki
karakter berbeda. Kesulitan lain adalah belum dikenalnya metode pengabdian yang
bersifat universal dan berlaku untuk seluruh bidang keilmuan. Tulisan ini
menyampaikan struktur dasar artikel yang berkarakter sesuai bagi karya PPM
sekaligus menjadi petunjuk penulisan bagi majalah Ngayah. Disamping itu, metode
PPM juga dirumuskan secara sederhana, dengan penamaan mirip aktivitas, bersifat
universal untuk seluruh bidang studi tetapi berbeda dengan prosedur pelaksanaan
kegiatan.
Kata kunci: Ngayah, metode PPM, struktur dasar artikel PPM
Executive Summary
Media for disseminating of community services (CS) master product still have strictly
limitation. Dissemination techniques either on journals or proceedings still also have
variation. Such condition can be caused by false directing of CS article to follow the
research articles style that actually has different character. The other difficulty is that
because the universal methods of CS and valid for all discipline of study has not been
known. This article gives the basic structure of CS manuscript that has appropriate
character for CS product, and at the same time to be instructions for authors for
Ngayah journals. Besides, the CS methods has simple resumed, and named activitylike, universally for all discipline of study but differ to application procedure of the
CS activities.
3
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
Key words: Ngayah, CS methods, basic structure of CS articles
A. PENDAHULUAN
Seluruh entitas Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia sudah tentu paham
tentang Tri Darma yang terdiri dari 1) Pendidikan, 2) Penelitian dan 3) Pengabdian
kepada Masyarakat(1). Undang Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mewajibkan
PT menyelenggarakan ketiga darma tersebut. Meskipun demikian, di lingkungan PT
umumnya, hanya darma Pendidikan dan Penelitian terbebas dari interpretasi yang
ambigu. Keduanya sudah dapat dipahami, diterapkan dan diupayakan untuk saling
bersinergi dengan baik. Tetapi tidak demikian halnya dengan darma ketiga, yakni
Pengabdian kepada Masyarakat (PPM). Pada umumnya PPM dihubungkan dengan
arti harfiah pengabdian, yaitu pengerahan keterampilan dan kemampuan akademik
(PT) secara tulus tanpa pamrih untuk kesentosaan (masyarakat). Jadi PPM identik
dengan aktivitas PT yang ditujukan untuk masyarakat miskin, terkebelakang dan
kurang beruntung. Bagaimana dengan kegiatan akademik bagi masyarakat eksternal
PT lainnya? Selama ini di banyak PT masih belum menggolongkannya ke dalam
PPM, tetapi diistilahkan sebagai proyek, kerjasama, kemitraan atau istilah-istilah
sejenis lainnya. Tidak jelas benar mengapa PT melakukannya. Mungkin karena PPM
diartikan sebagai kegiatan yang tidak mendatangkan uang, sedangkan proyek,
kemitraan dan lainnya mampu mendatangkan pendapatan bagi PT. Bahkan
pemerintahpun mengapresiasi kegiatan PPM yang luar biasa berat dengan skor yang
sangat minimalis. Tidak ada keseimbangan antara karya PPM dan apreasiasi yang
diterimakan.
Sebagaimana bisa dibayangkan bersama, pada awal masa kemerdekaan
Indonesia, kehidupan sosial, ekonomi masyarakat begitu sulit, sehingga entitas PT
pada saat itu, yang menaruh empati kepada kehidupan masyarakat,
merealisasikannya dalam wujud “pengabdian” kepada masyarakat secara mandiri.
Istilah yang identik dengan pengertian community development, yaitu kegiatan yang
membawa nilai-nilai dan juga keterampilan atau kemampuan baru untuk membangun
harkat kemanusiaan dan juga kehidupan sosial ekonomi seorang atau sekelompok
orang. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa perbaikan kinerja
perorangan ataupun kelompok harus mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat
secara keseluruhan di wilayah itu(2). Belum terciptanya berbagai strata sosial dan
juga infrastruktur industri di masyarakat pada masa itu, memberi tuntutan yang
relatif homogen bagi PPM PT. Akan tetapi, di era tahun 1970an, atau mungkin lebih
awal lagi, strata sosial masyarakat Indonesia sudah mulai tegas terbentuk berlapislapis, mulai dari kategori termiskin sampai terkaya. Demikian pula klasifikasi atas
dasar pekerjaan masyarakat, mulai dari individu sampai korporat yang masingmasingnya memiliki persoalan, tantangan atau kebutuhan sendiri, sampai kepada
kemampuan finansialnya. Kondisi sosial semacam itu secara nyata memberi
4
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
persoalan, tantangan dan pola pemenuhan kebutuhan yang juga berbeda dan semakin
spesial. Dengan demikian, PT segera saja dihadapkan dan beradaptasi dengan
berbagai macam persoalan serta kinerja ekonomi masyarakat yang variatif. Artinya,
ada persoalan yang dapat diselesaikan secara spesifik, tetapi ada yang tidak dapat
diatasi secara parsial dan harus sinergistik dari berbagai bidang keilmuan. Di
samping itu, kalangan berpunya umumnya lebih menyadari PT sebagai sumber solusi
persoalan. Kelompok ini akan secara aktif datang atau menghubungi PT untuk
membantu menemukan solusi atas persoalan, kebutuhan atau bahkan tantangan dan
sekaligus siap membiayainya. Tetapi kalangan tak berpunya masih memiliki persepsi
bahwa PT itu ada untuk memikirkan hal-hal futuristik bangsa dan bukan kondisi
realistik seperti yang mereka alami dalam kesehariannya. Masyarakat ini baru
memahami adanya kewajiban PT untuk membantu mereka, setelah entitas PT
berbaur melalui kegiatan PPM. Bahwa PT kemudian membuat slot-slot berbeda
untuk mengantisipasi permintaan yang ada, hal itu tentu dapat dipahami. Oleh karena
itu, banyak kalangan bertanya-tanya, mengapa perubahan ekonomi dan sosial di
masyarakat yang sudah demikian signifikan, belum mengubah pengertian dan
program PPM?
B. LAYANAN MASYARAKAT
Perkembangan tatanan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia
telah membawa perubahan pola kebijakan dan program PPM di DP2M Ditjen Dikti
sejak tahun 2009. Perubahan itu tampak pada berbagai ragam program yang dinilai
telah mengantisipasi dan mengakomodasi seluruh jenis persoalan atau kebutuhan
masyarakat, kecuali masyarakat industri multinasional. Program PPM DP2M 2009
yang tercantum dalam Buku Pedoman(3) adalah: 1) Program Ipteks bagi Masyarakat
(IbM) untuk kalangan masyarakat kebanyakan baik yang secara ekonomis produktif
maupun tidak; 2) Ipteks bagi Wilayah (IbW) untuk kegiatan pembangunan wilayah
dan masyarakatnya bersinergi dengan kebijakan pembangunan Pemerintah Kota atau
Pemerintah Kabupaten; 3) Ipteks bagi Kewirausahaan (I bK) akses untuk mahasiswa
dan alumni PT menjadi wirausaha baru; 4) Ipteks bagi Produk Ekspor (I bPE) untuk
meningkatkan kinerja usaha kecil atau menengah dengan produk berpotensi atau
sudah diekspor; 5) Ipteks bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus (I bIKK)
diperuntukkan bagi dosen untuk mensosialisasikan produk intelektualnya ke
masyarakat. Ke 5 program tersebut menuntut tercapai dan terpeliharanya budaya
baru yang dikembangkan entitas PT bagi masyarakat mitranya.
Pada hakekatnya, PPM menjadi media sosialisasi produk-produk intelektual
entitas PT yang dihasilkan melalui kedua darma lainnya, yaitu Pendidikan dan
Penelitian. Kriterianya tentu harus sesuai dengan kebutuhan atau persoalan
masyarakat. Jadi belum tentu seluruh produk kedua darma dapat langsung
5
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
disosialisasikan, terlebih lagi jika dari sejak awal pelaksanaan tidak terpikirkan untuk
dimanfaatkan masyarakat. Bahkan, cukup dengan berbekal pengetahuan yang
dimiliki, entitas PT dapat melakukan PPM dengan baik. Empirik menunjukkan
bahwa produk penelitian PT umumnya sukar diimplementasikan atau
disosialisasikan ke masyarakat karena terkendala berbagai kondisi. Pertama, karena
ipteks yang terkandung di dalam produk atau teknik manufakturingnya belum
mampu diterimakan dan diadopsi masyarakat; kedua, topik penelitian seringkali
tidak terinspirasi persoalan atau kebutuhan masyarakat; ketiga, penelitian umumnya
bersifat spesial sesuai bidang keilmuan, sementara kebutuhan atau persoalan
masyarakat bersifat kompleks; keempat, skala produk masih sebatas laboratorium;
kelima, fasilitas atau infrastruktur yang diperlukan untuk menkonstruksikan produk
penelitian dan mensosialisasikannya ke masyarakat sulit diwujudkan; atau kendalakendala lainnya. Oleh karena itu, produk penelitian yang memiliki peluang besar
untuk disosialisasikan ke masyarakat umumnya dihasilkan bidang keilmuan
pertanian, peternakan, rekayasa, sosial humaniora, keperawatan atau bidang ilmu lain
yang kerap berhubungan dengan masyarakat.
Di Jepang dan Amerika Serikat, ada koneksitas yang menarik dan saling
menguntungkan antara PT dan industri dalam merealisasikan transfer teknologi(4).
Dalam hal ini, produk-produk riset PT segera dimanfaatkan industri dan keinginan
atau kebutuhan industri akan produk-produk masa depan menjadi topik-topik riset
PT. Fenomena sejenis, meskipun pasti dengan skala yang jauh lebih kecil,
seharusnya dapat dilakukan di tanah air antara PT dengan usaha kecil atau menengah
bahkan multi nasional. Namun karena koneksitas PT-industri belum terbangun
dengan benar, maka peran aktif pemerintah sementara waktu dalam menyediakan
dana PPM yang lebih besar masih sangat diperlukan dan mendesak. Fenomena
transfer teknologi semacam itu, tergolong ke dalam PPM. Dengan demikian PPM PT
juga memiliki peluang besar dalam membentuk siklus transfer teknologi dari PT
masyarakat PT. Transfer ipteks atau transfer teknologi PT bagi masyarakat belum
dapat dikatakan sempurna jika PT belum mampu mengambil alih persoalan atau
kebutuhan masyarakat untuk dijadikan topik penelitian atau kajian. Siklus terjadi jika
hasil penelitian atau kajian tersebut disampaikan kembali kepada masyarakat.
Pemahaman semacam itu belum banyak dimiliki entitas PT dalam
melaksanakan PPM. Kebanyakan masih berasumsi bahwa PPM adalah gerakan
memenuhi kebutuhan atau mengatasi persoalan masyarakat, belum berupaya
merekrut persoalan atau kebutuhan selanjutnya bagi keperluan penelitian. Akibatnya,
selesai pelaksanaan PPM selesai juga aktivitas transfer ipteksnya. Padahal umumnya
yang terjadi di PPM PT, begitu satu persoalan atau kebutuhan masyarakat terpenuhi,
akan segera datang persoalan-persoalan atau kebutuhan-kebutuhan esensial lainnya.
Jika kondisi tersebut terjadi, itu pertanda bahwa kepercayaan masyarakat kepada PT
sudah tumbuh dan transfer ipteks sudah berlangsung.
6
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, beragam istilah diberikan entitas
PT pada kegiatannya bekerjasama dengan pihak eksternal. Ada istilah proyek,
training, pendidikan berkelanjutan, konsultasi, sosialisasi produk, studi atau kajian,
kerjasama, in-house training, kemitraan industri dan PPM. Jadi masih ada pemisahan
antara kegiatan PPM dan bukan PPM. Untuk meletakkan kegiatan PPM secara
proporsional sebagai darma PT, dirasa perlu adanya perubahan paradigma pada arti
PPM. Jika paradigma lama mengartikan PPM sebagai kegiatan entitas PT yang
melembaga bagi masyarakat yang tidak beruntung, maka paradigma baru seharusnya
mencakup kegiatan akademik yang lebih luas namun tidak tergolong ke dalam dua
darma PT lainnya. Secara universal aktivitas entitas PT bagi masyarakat dikenal
sebagai community services. Mungkin hanya di Indonesia istilah itu menjadi PPM.
Jika menuruti istilah yang lebih universal, maka PPM selayaknya digantikan dengan
istilah Layanan Masyarakat. Meskipun untuk melegitimasi istilah Layanan
Masyarakat juga tidak sederhana, karena UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 masih
mencantumkan istilah PPM.
Paradigma baru PPM dirumuskan mengacu kepada pengertian layanan
masyarakat, yaitu aktivitas akademik entitas PT dalam merespons langsung ataupun
tidak, persoalan, kebutuhan ataupun tantangan masyarakat dengan membawa nilainilai intelektual dan perilaku pembaharu yang arif pada kehidupan lingkungan. Jika
mengacu kepada pengertian tersebut, maka seluruh kegiatan kerjasama dengan pihak
eksternal (perorangan atau kelompok masyarakat, industri, institusi pemerintah)
ataupun sosialisasi produk yang berdampak langsung ataupun tidak bagi masyarakat,
dapat diklasifikasikan sebagai PPM. Melalui paradigma baru tersebut, kategorisasi
kegiatan tri darma di PT diharapkan menjadi lebih jelas. Dengan demikian, setiap PT
akan dengan mudah menginformasikan kelompok masyarakat mana yang menjadi
primadona PPMnya, termasuk berapa total biaya PPM per tahunnya. Hal ini juga
akan memudahkan DP2M Ditjen Dikti dalam mengevaluasi kinerja PPM PT setiap
tahunnya. Hasil evaluasi Kinerja PPM 2004-2008(5) menunjukkan bahwa 80-90%
mitra masyarakat PT BHMN, adalah institusi bisnis. Dari sumber yang sama
diketahui bahwa beberapa PT sudah mengalokasikan dana PPM yang nilai
nominalnya bervariasi dari Rp 25 sampai Rp 750 juta per tahun. Namun faktanya,
ada PT yang mampu menyerap 100% alokasi dana PPM tersebut, dan ada yang
masih menyisakannya 100%. Yang menarik adalah bahwa PT sudah secara sadar
mengalokasikan dana PPM per tahunnya, meskipun masih sekitar 20-30% dari
alokasi dana riset. Ada PT yang sudah memiliki Buku Pedoman PPM dan umumnya
mengacu kepada kebijakan program PPM DP2M, akan tetapi masih banyak yang
melaksanakan PPM tanpa pedoman. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara
PT mengalokasikan anggaran PPM tahunannya, sementara LPM atau LPPM PT
belum memiliki rencana strategis lima tahunan?
Jika dibuat klasifikasi atas jenis masyarakat mitranya, maka paling tidak ada
7
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
5 (lima) jenis PPM PT bagi masyarakat, antara lain: 1) Layanan BAGI Dunia Usaha; 2)
LayananBAGI Instansi Pemerintah; 3) LayananBAGI Perorangan atau Kelompok
Masyarakat; 4) LayananBAGI Perguruan Tinggi lain dan 5) LayananBAGI Institusi Luar
Negeri. Klasifikasi semacam ini diharapkan dapat membantu administrasi Lembaga
Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) atau Lembaga Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat (LPPM) atau Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat
(DRPM) PT dalam mengevaluasi kinerja PPM di PT masing-masing termasuk pada
upaya perimbangannya.
PPM meliputi 6 (enam) aspek utama, yaitu: sosial, ekonomi, politik, budaya,
lingkungan dan personal/spiritual(2). Oleh karena itu, PPM secara prinsip terbuka
untuk seluruh bidang keilmuan. Meskipun ada 6 aspek yang umumnya ditangani
dalam kegiatan PPM secara universal, namun hanya dua aspek yang menonjol dan
paling banyak dilakukan, yaitu: aspek sosial dan ekonomi. Respons PT terhadap
program PPM DP2M Ditjen Dikti juga didominasi kedua aspek tersebut. Belum
diketahui benar mengapa pelaksanaan PPM dengan aspek lain seperti lingkungan,
politik, budaya dan spiritual masih terbilang langka. Coba tengok pertikaian antar
pendukung parpol dalam pilkada, antar mazhab muslim di Lombok, antar hukum
adat dan hukum positif di Bali, menjaga kelestarian adat budaya nusantara, banjir
dan longsor di banyak daerah di tanah air yang belum tertangani sebagaimana
mestinya. Mungkin adanya asumsi PT bahwa PPM yang diprioritaskan harus selalu
terkait dengan aspek ekonomi, turut berkontribusi pada rendahnya PPM politik,
budaya, spiritual dan lingkungan.
C. PPM PT
Langkah awal dan paling sulit dalam upaya melakukan PPM adalah
mengidentifikasi, menemukan dan memperoleh data lengkap calon masyarakat mitra
termasuk persoalan atau kebutuhannya. Kondisi tersebut menuntut entitas PT untuk
datang dan berdiskusi dengan calon mitranya. Hal inilah yang menyebabkan entitas
PT menghadapi kesulitan lebih besar pada saat menyusun proposal PPM daripada
penelitian. Oleh karena itu, jumlah proposal PPM per tahun akan selalu lebih sedikit
daripada penelitian. Tahapan berikutnya adalah mengidentifikasi dan menemukan
penyandang dana untuk menyesuaikan format dan isi proposal. Dilanjutkan dengan
pelaksanaan PPM di lapangan dan yang paling krusial adalah menjaga agar seluruh
upaya akademis dan nilai-nilai intelektual yang telah disampaikan melalui PPM
menjadi tradisi atau budaya baru bagi masyarakat mitra.
Tahap paling menentukan keberhasilan kegiatan PPM terletak pada kemampuan
entitas PT untuk mencari tahu dan menemukan persoalan yang menurut masyarakat
mitra adalah prioritas. Kemudian memperoleh kesepakatan masyarakat untuk
8
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
diselesaikan bersama. Tanpa kesepakatan, umumnya kegiatan PPM akan mengalami
kegagalan sehingga tidak memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu,
sebelum melakukan kegiatan PPM, PT direkomendasikan untuk bertemu dan
berdiskusi dengan masyarakat mitra atau masyarakat yang menjadi target PPM. Pada
kesempatan tersebut dilakukan pembahasan mengenai persoalan, tantangan dan
kebutuhan masyarakat dari sudut pandang masyarakat sendiri. Jangan dilupakan
bahwa di masyarakat sendiri sudah tumbuh pengetahuan yang mereka peroleh dari
empirik kesehariannya atau kearifan lokal yang dijaga turun temurun. PT dapat
memberi masukan hasil evaluasi lapangan kepada masyarakat terutama yang relevan
dengan kebijakan memanfaatkan sumder daya yang ada dil lingkungan masyarakat
itu sendiri. Keduanya dipertemukan kemudian disepakati persoalan mana yang akan
ditangani paling awal sesuai jangka waktu dan biaya kegiatan yang dialokasikan.
Pemaksaan kehendak sendiri meskipun dilandasi hasil survei lapangan, seringkali
tidak disambut baik. Sebab apa yang terlihat sesaat bersifat mendesak dan harus
segera ditangani, seringkali tidak menjadi persoalan serius bagi masyarakat.
Misalnya, hasil survei entitas PT menunjukkan 90% penduduk suatu desa menderita
penyakit kulit (panu, kadas, kurap dll) sehingga tim memutuskan untuk melakukan
kegiatan PPM hidup bersih tanpa panu. Sementara penduduk desa itu justru semakin
bangga dengan semakin lebarnya diameter panu di tubuhnya. Kasus lain, terjadi di
suatu kampung melayan. Kebutuhan nelayan akan alat pengering sudah terdengar
klasik dan memang itu yang benar-benar diperlukan untuk membantu kehidupan
mereka. Tetapi tak ada satupun entitas PT yang mampu memenuhinya dengan pas.
PT seringkali membuatkan lemari pengering bertenaga surya atau api untuk
membantu proses pengeringan ikan hasil tangkapan nelayan. Kapasitas lemari
pengering yang dibuat hanya mampu mengeringkan ikan sebanyak 40 kg dan
memerlukan waktu 8-10 jam, sementara ikan tangkapan nelayan bisa mencapai 3 ton
per hari. Bisa diperkirakan berapa besarkah manfaat yang diperoleh nelayan?
Mengapa tidak terpikirkan untuk membuatkan lemari pengering berukuran lapangan
sepakbola yang dapat dioperasikan baik cuaca hujan ataupun terik? Pada kasus ini
PT sudah mengantisipasi kebutuhan masyarakat nelayan dengan benar tetapi dampak
dan manfaat PPM yang dirasakan, masih sangat terbatas.
Perbedaan antara PPM dan penelitian, disamping pada saat penyusunan
proposal, pola kerja, metode yang digunakan, juga pada apresiasi hasilnya.
Kegagalan dalam penelitian masih memperoleh apresiasi yang layak, sebab
kegagalan termasuk hasil suatu penelitian. Akan tetapi kegagalan dalam PPM akan
direspons dan dikomentari keras oleh masyarakat. Sebaliknya, jika PPM PT
dirasakan betul manfaatnya, maka masyarakat tak pernah putus menginspirasi
munculnya produk-produk intelektual baru dan mendoakan kebaikan bagi para
pelaksana PPM.
9
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
D. DISEMINASI
Persoalan lain yang harus dihadapi masyarakat pelaksana PPM di Indonesia,
yaitu diseminasi karya. Tidak seperti kedua darma lain dalam mendiseminasikan
karya-karyanya, karya PPM justru belum menemukan wadah yang cocok. Meskipun
tidak seluruh karya PPM dapat dipublikasikan, khususnya jika terkait pada
kerahasiaan mitra yang harus dijaga. Tetapi cukup banyak jumlah karya PPM yang
layak dipublikasikan secara meluas namun forum mendiseminasikannya sangat
terbatas. Jika penelitian mengenal muaranya dalam bentuk jurnal dan seminar ilmiah
maka darma PPM belum memilikinya. Untuk mencoba mengatasi keterbatasan
tersebut beberapa PT sudah mencoba menerbitkan Majalah atau Jurnal PPM,
meskipun isi artikelnya masih terbatas pada model pelaporan. Tetapi secara garis
besarnya Majalah PPM semacam itu menunjukkan adanya “pemaksaan” publisitas
hasil kegiatan PPM ke dalam struktur dasar artikel riset. Hasilnya adalah suatu
kejanggalan. Apakah kondisi semacam ini menjadi alasan bagi pemerintah
menetapkan peraturan perhitungan skor akademik yang rendah bagi karya-karya
PPM?
Sejak tahun 2009, bagi pelaksana program PPM yang dananya bersumber
dari DIPA DP2M Ditjen Dikti, berlaku kewajiban untuk menuliskan artikel ilmiah
berskala nasional (untuk biaya program senilai Rp 50 juta/tahun) dan internasional
(senilai Rp 100 juta/tahun). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jurnal ataupun
forum pertemuan masyarakat PPM belum tersedia. Kewajiban menuliskan artikel
ilmiah bagi kegiatan PPM terasa janggal, apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan
bahwa yang disampaikan kepada masyarakat adalah hasil penelitian. Bukankah hasil
penelitian sudah dipublikasikan melalui jurnal-jurnal atau seminar-seminar ilmiah?
Jika PPM merupakan wujud implementasi hasil penelitian, maka
pertanggungjawaban akademik di dalamnya sejatinya adalah dampak dan manfaat
kegiatan. Jika dampak dan manfaat yang harus dipertanggungjawabkan, maka
substansinya adalah seberapa kuat dampak dan seberapa besar manfaat yang
diperoleh masyarakat. Untuk keperluan itu harus ditetapkan dahulu indikator kinerja
PPM. Dampak dan manfaat PPM sekaligus merupakan dampak dan manfaat produk
penelitian yang diimplementasikan. Dalam kasus ini yang ditulis sebagai artikel
adalah bagian hilir suatu hasil penelitian. Artikel semacam ini dinilai kurang tepat
jika diposisikan sebagai artikel dalam jurnal ilmiah. Kasus ini menjadi lebih spesial
dan jelas, jika pelaksana PPM mengimplementasikan hasil penelitian orang lain.
Bagian ilmiah mana yang menjadi haknya untuk dituliskan dalam sebuah artikel
nasional bahkan internasional?
Dalam hiruk pikuk kebingungan banyak pihak khususnya pelaksana program
PPM DP2M, bersama entitas NGAYAH Bali mencoba menyusun struktur artikel
yang cocok bagi karya PPM. Entitas NGAYAH sendiri berarti suatu komunitas yang
10
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
berkarya tanpa pamrih dan terdiri dari entitas PT seluruh Bali dengan dukungan
penuh Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat PT. Pada awal pendiriannya 25
April 2010, entitas NGAYAH diwujudkan melalui kerjasama 4 (empat) PT, yaitu:
Universitas Udayana, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Mahasaraswati
Denpasar dan Institut Seni Indonesia Denpasar. Entitas NGAYAH berfungsi sebagai
penata karya PPM PT se Bali bagi masyarakat Bali, berkewajiban menerbitkan
majalah aplikasi ipteks yang berjudul NGAYAH, mengelola pelatihan PPM dan
menyelenggarakan pameran karya-karya PPM se Bali.
Majalah NGAYAH yang diterbitkan entitas NGAYAH bertujuan untuk
menyampaikan sebanyak mungkin kegiatan PPM di Indonesia yang memberi
dampak dan manfaat signifikan bagi masyarakat kepada para birokrat, entitas PT dan
masyarakat luas. Majalah NGAYAH sebagai media komunikasi para pelaksana PPM
PT sifatnya bukan sebagai jurnal ilmiah dan bukan pula kumpulan laporan
pelaksanaan PPM. Yang tak kalah pentingnya, di samping penerbitan majalah
aplikasi ipteks NGAYAH, adalah penyelenggaraan pertemuan PPM secara reguler
sebagai bentuk lain diseminasi hasil PPM. Entitas NGAYAH dapat mencoba
memprakarsai acara yang belum pernah ada di tanah air tetapi diyakini banyak
memberi manfaat bagi penyempurnaan metode, program hingga pada dampak dan
manfaat PPM untuk kemajuan bangsa Indonesia.
E. METODE PPM
Tidak seperti halnya metode riset yang telah banyak dikuasai dan dapat
dituliskan secara spesifik bagi setiap bidang keimuan, metode PPM lebih rumit dan
bahkan mungkin tidak spesifik. Beberapa metode PPM yang selama ini dikenal
antara lain: pelatihan, penyuluhan, pembimbingan, pembinaan, pendampingan,
demplot, participation rural appraisal, continuing education, penerapan ipteks dan
lain-lain, pada hakekatnya agak sukar dibedakan apakah benar suatu metode ataukah
aktivitas? Metode sejatinya adalah teknik atau cara. Teknik mengukur, menetapkan,
menghitung suatu parameter dari suatu hubungan sebab akibat atau perlakuan. Untuk
PPM yang berada jauh di hilir terhadap riset, metodenya tidak bermakna teknik atau
cara mengukur, menetapkan atau menghitung melainkan teknik atau cara
penyampaian atau pengaplikasian suatu produk riset atau ipteks yang sudah dikuasai
kepada masyarakat. Dengan demikian, penamaan metode PPM besar
kemungkinannya identik dengan suatu aktivitas tetapi tetap harus dapat dibedakan
dengan prosedur kerja. Untuk mengevaluasi apakah suatu metode berfungsi dengan
benar sehingga hasil riset dapat dipercaya, maka dalam riset dikenal istilah
metodologi. Dalam hal PPM, metodologi juga berarti evaluasi terhadap metode yang
diterapkan dengan menentukan level dampak dan manfaat kegiatan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, berbeda dengan riset yang fokus pada produk; maka PPM fokus
11
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
pada dampak dan manfaat sosial, seni budaya atau ekonomi.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penulisan proposal
ataupun manuskrip PPM dengan memilih salah satu atau kombinasi dua atau
beberapa metode berikut:
Pendidikan Masyarakat
Digunakan untuk kegiatan berupa a) training seperti in-house training; b)
continuing education; c) training penyegaran keilmuan, d) penyuluhan yang
bertujuan meningkatkan pemahaman (misalnya dalam bidang hukum, agama,
peraturan) sehingga menyadarkan masyarakat akan adanya kemungkinan
kesalahpahaman di antara mereka
Konsultasi
Untuk kegiatan dimana persoalan atau kebutuhan usaha kecil/menengah atau
masyarakat diselesaikan melalui diskusi atau dialog dengan PT
Difusi Ipteks
Untuk kegiatan yang menghasilkan produk bagi konsumen baik internal maupun
eksternal PT
Pelatihan
Untuk kegiatan yang melibatkan a) penyuluhan tentang substansi kegiatan, diikuti
dengan demonstrasi untuk mengkonstruksikan atau merealisasikannya; b) melatih
mengoperasikan sistem atau peralatan yang dihibahkan; c) atau kegiatan untuk
membentuk kelompok wirausaha baru, d) PT yang menawarkan jasa layanan
bersertifikat kepada masyarakat
Mediasi
Untuk kegiatan seperti: a) pelaksana PPM dalam kegiatannya menempatkan diri
sebagai penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bertikai atau bersengketa;
b) atau bersama-sama masyarakat menyelesaikan persoalan yang memerlukan
kebijakan dan keputusan instansi pemerintah atau swasta
Simulasi Ipteks
Untuk kegiatan dimana karya utamanya adalah sistem informasi atau sejenisnya
yang bertujuan guna menjelaskan tentang sesuatu yang tidak dapat dilakukan
sebagaimana seharusnya secara fisik atau nyata
Substitusi Ipteks
Untuk kegiatan yang membawakan ipteks baru, lebih modern dan efisien kepada
usaha kecil/ menengah, masyarakat dengan menggantikan penguasaan ipteks lama
12
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
F. PENUTUP
Upaya untuk meningkatkan kegiatan PPM di PT masih harus terus dilakukan.
Dukungan tidak hanya diharapkan dari pemerintah (dalam hal ini DP2M Ditjen
Dikti) dengan cara meningkatkan biaya dan alokasi tahunan program PPM,
Pemerintah Kabupaten/Kota, Industri melalui dana Corporate Social Responsibility,
CSR, melainkan juga dari entitas dan pimpinan PT serta masyarakat. Fakta di
lapangan menunjukkan peningkatan kegiatan PPM baik kualitatif maupun kuantitatif
secara signifikan, jika Rektor dan/atau Ketua LPM PT menaruh atensi luar biasa
kepada PPM. Di samping itu, koneksitas yang baik antara PT dengan Pemerintah
Kabupaten atau Pemerintah Kota sangat membantu dalam penyediaan informasi
tentang dunia usaha kecil/menengah atau kondisi masyarakat di sekitar wilayah PT.
Suatu hal yang masih jarang dijumpai padahal kesulitan awal entitas PT adalah
dalam mengidentifikasi calon mitranya.
Entitas NGAYAH sudah memulai upaya penerbitan majalah PPM dengan
harapan bahwa akan bermunculan entitas-entitas PPM baru di berbagai wilayah
tanah air dengan majalah-majalah PPM baru pula. Oleh karena jumlah PPM yang
telah dan sedang dilaksanakan dengan dampak dan manfaat positif yang dijumpai,
terbilang cukup banyak sehingga keperluan akan majalah PPM diperkirakan lebih
dari satu. Ini tantangan berat untuk direalisasikan. Ada satu hal lagi yang menarik,
yakni tekad kuat entitas NGAYAH untuk membawa majalah NGAYAH ke level
regional atau bahkan internasional. Tekad ini cukup realistis, mengingat segala
sesuatu yang terjadi di masyarakat Bali atau bahkan mungkin Indonesia, selalu
atraktif bagi dunia internasional. Kemunculan entitas-entitas PPM di tanah air sangat
diharapkan, untuk membuka peluang bagi dilaksanakannya seminar PPM berskala
nasional. Pada kesempatan lain akan dicoba untuk menyusun indikator kinerja yang
relevan dengan kegiatan PPM, paling tidak untuk seluruh program PPM DP2M tahun
2009.
G. BAHAN BACAAN
Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, 2003
Ife JW. Community Development: Creating community alternatives –vision,
analysis and practice, Longman Australia Pty. Ltd., Melbourne 3205
Australia, 1995
DP2M Ditjen Dikti. Buku Pedoman Pengabdian kepada Masyarakat, 2009
Branscomb LM, Kodama F, and Florida R. University-Industry Linkages in
Japan and the United States in: Industrializing Knowledge, The President and
Fellows of Harvard College, 1999
Sundani N. Profil Kinerja Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2004 –
2008, LPPM ITB, 2009
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
GAGASAN
SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG DISEMINASI KARYA PENGABDIAN
KEPADA MASYARAKAT PERGURUAN TINGGI INDONESIA
Sundani Nurono Soewandhi1
1
Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132,
[email protected]
Ringkasan Eksekutif
Media untuk mendiseminasikan karya unggul pengabdian kepada masyarakat (PPM)
masih sangat terbatas. Teknik mendiseminasikannya baik dalam jurnal ataupun
prosiding masih beragam. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena selama ini
tulisan PPM diarahkan untuk mengikuti pola artikel riset yang sebenarnya memiliki
karakter berbeda. Kesulitan lain adalah belum dikenalnya metode pengabdian yang
bersifat universal dan berlaku untuk seluruh bidang keilmuan. Tulisan ini
menyampaikan struktur dasar artikel yang berkarakter sesuai bagi karya PPM
sekaligus menjadi petunjuk penulisan bagi majalah Ngayah. Disamping itu, metode
PPM juga dirumuskan secara sederhana, dengan penamaan mirip aktivitas, bersifat
universal untuk seluruh bidang studi tetapi berbeda dengan prosedur pelaksanaan
kegiatan.
Kata kunci: Ngayah, metode PPM, struktur dasar artikel PPM
Executive Summary
Media for disseminating of community services (CS) master product still have strictly
limitation. Dissemination techniques either on journals or proceedings still also have
variation. Such condition can be caused by false directing of CS article to follow the
research articles style that actually has different character. The other difficulty is that
because the universal methods of CS and valid for all discipline of study has not been
known. This article gives the basic structure of CS manuscript that has appropriate
character for CS product, and at the same time to be instructions for authors for
Ngayah journals. Besides, the CS methods has simple resumed, and named activitylike, universally for all discipline of study but differ to application procedure of the
CS activities.
3
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
Key words: Ngayah, CS methods, basic structure of CS articles
A. PENDAHULUAN
Seluruh entitas Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia sudah tentu paham
tentang Tri Darma yang terdiri dari 1) Pendidikan, 2) Penelitian dan 3) Pengabdian
kepada Masyarakat(1). Undang Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mewajibkan
PT menyelenggarakan ketiga darma tersebut. Meskipun demikian, di lingkungan PT
umumnya, hanya darma Pendidikan dan Penelitian terbebas dari interpretasi yang
ambigu. Keduanya sudah dapat dipahami, diterapkan dan diupayakan untuk saling
bersinergi dengan baik. Tetapi tidak demikian halnya dengan darma ketiga, yakni
Pengabdian kepada Masyarakat (PPM). Pada umumnya PPM dihubungkan dengan
arti harfiah pengabdian, yaitu pengerahan keterampilan dan kemampuan akademik
(PT) secara tulus tanpa pamrih untuk kesentosaan (masyarakat). Jadi PPM identik
dengan aktivitas PT yang ditujukan untuk masyarakat miskin, terkebelakang dan
kurang beruntung. Bagaimana dengan kegiatan akademik bagi masyarakat eksternal
PT lainnya? Selama ini di banyak PT masih belum menggolongkannya ke dalam
PPM, tetapi diistilahkan sebagai proyek, kerjasama, kemitraan atau istilah-istilah
sejenis lainnya. Tidak jelas benar mengapa PT melakukannya. Mungkin karena PPM
diartikan sebagai kegiatan yang tidak mendatangkan uang, sedangkan proyek,
kemitraan dan lainnya mampu mendatangkan pendapatan bagi PT. Bahkan
pemerintahpun mengapresiasi kegiatan PPM yang luar biasa berat dengan skor yang
sangat minimalis. Tidak ada keseimbangan antara karya PPM dan apreasiasi yang
diterimakan.
Sebagaimana bisa dibayangkan bersama, pada awal masa kemerdekaan
Indonesia, kehidupan sosial, ekonomi masyarakat begitu sulit, sehingga entitas PT
pada saat itu, yang menaruh empati kepada kehidupan masyarakat,
merealisasikannya dalam wujud “pengabdian” kepada masyarakat secara mandiri.
Istilah yang identik dengan pengertian community development, yaitu kegiatan yang
membawa nilai-nilai dan juga keterampilan atau kemampuan baru untuk membangun
harkat kemanusiaan dan juga kehidupan sosial ekonomi seorang atau sekelompok
orang. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa perbaikan kinerja
perorangan ataupun kelompok harus mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat
secara keseluruhan di wilayah itu(2). Belum terciptanya berbagai strata sosial dan
juga infrastruktur industri di masyarakat pada masa itu, memberi tuntutan yang
relatif homogen bagi PPM PT. Akan tetapi, di era tahun 1970an, atau mungkin lebih
awal lagi, strata sosial masyarakat Indonesia sudah mulai tegas terbentuk berlapislapis, mulai dari kategori termiskin sampai terkaya. Demikian pula klasifikasi atas
dasar pekerjaan masyarakat, mulai dari individu sampai korporat yang masingmasingnya memiliki persoalan, tantangan atau kebutuhan sendiri, sampai kepada
kemampuan finansialnya. Kondisi sosial semacam itu secara nyata memberi
4
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
persoalan, tantangan dan pola pemenuhan kebutuhan yang juga berbeda dan semakin
spesial. Dengan demikian, PT segera saja dihadapkan dan beradaptasi dengan
berbagai macam persoalan serta kinerja ekonomi masyarakat yang variatif. Artinya,
ada persoalan yang dapat diselesaikan secara spesifik, tetapi ada yang tidak dapat
diatasi secara parsial dan harus sinergistik dari berbagai bidang keilmuan. Di
samping itu, kalangan berpunya umumnya lebih menyadari PT sebagai sumber solusi
persoalan. Kelompok ini akan secara aktif datang atau menghubungi PT untuk
membantu menemukan solusi atas persoalan, kebutuhan atau bahkan tantangan dan
sekaligus siap membiayainya. Tetapi kalangan tak berpunya masih memiliki persepsi
bahwa PT itu ada untuk memikirkan hal-hal futuristik bangsa dan bukan kondisi
realistik seperti yang mereka alami dalam kesehariannya. Masyarakat ini baru
memahami adanya kewajiban PT untuk membantu mereka, setelah entitas PT
berbaur melalui kegiatan PPM. Bahwa PT kemudian membuat slot-slot berbeda
untuk mengantisipasi permintaan yang ada, hal itu tentu dapat dipahami. Oleh karena
itu, banyak kalangan bertanya-tanya, mengapa perubahan ekonomi dan sosial di
masyarakat yang sudah demikian signifikan, belum mengubah pengertian dan
program PPM?
B. LAYANAN MASYARAKAT
Perkembangan tatanan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia
telah membawa perubahan pola kebijakan dan program PPM di DP2M Ditjen Dikti
sejak tahun 2009. Perubahan itu tampak pada berbagai ragam program yang dinilai
telah mengantisipasi dan mengakomodasi seluruh jenis persoalan atau kebutuhan
masyarakat, kecuali masyarakat industri multinasional. Program PPM DP2M 2009
yang tercantum dalam Buku Pedoman(3) adalah: 1) Program Ipteks bagi Masyarakat
(IbM) untuk kalangan masyarakat kebanyakan baik yang secara ekonomis produktif
maupun tidak; 2) Ipteks bagi Wilayah (IbW) untuk kegiatan pembangunan wilayah
dan masyarakatnya bersinergi dengan kebijakan pembangunan Pemerintah Kota atau
Pemerintah Kabupaten; 3) Ipteks bagi Kewirausahaan (I bK) akses untuk mahasiswa
dan alumni PT menjadi wirausaha baru; 4) Ipteks bagi Produk Ekspor (I bPE) untuk
meningkatkan kinerja usaha kecil atau menengah dengan produk berpotensi atau
sudah diekspor; 5) Ipteks bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus (I bIKK)
diperuntukkan bagi dosen untuk mensosialisasikan produk intelektualnya ke
masyarakat. Ke 5 program tersebut menuntut tercapai dan terpeliharanya budaya
baru yang dikembangkan entitas PT bagi masyarakat mitranya.
Pada hakekatnya, PPM menjadi media sosialisasi produk-produk intelektual
entitas PT yang dihasilkan melalui kedua darma lainnya, yaitu Pendidikan dan
Penelitian. Kriterianya tentu harus sesuai dengan kebutuhan atau persoalan
masyarakat. Jadi belum tentu seluruh produk kedua darma dapat langsung
5
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
disosialisasikan, terlebih lagi jika dari sejak awal pelaksanaan tidak terpikirkan untuk
dimanfaatkan masyarakat. Bahkan, cukup dengan berbekal pengetahuan yang
dimiliki, entitas PT dapat melakukan PPM dengan baik. Empirik menunjukkan
bahwa produk penelitian PT umumnya sukar diimplementasikan atau
disosialisasikan ke masyarakat karena terkendala berbagai kondisi. Pertama, karena
ipteks yang terkandung di dalam produk atau teknik manufakturingnya belum
mampu diterimakan dan diadopsi masyarakat; kedua, topik penelitian seringkali
tidak terinspirasi persoalan atau kebutuhan masyarakat; ketiga, penelitian umumnya
bersifat spesial sesuai bidang keilmuan, sementara kebutuhan atau persoalan
masyarakat bersifat kompleks; keempat, skala produk masih sebatas laboratorium;
kelima, fasilitas atau infrastruktur yang diperlukan untuk menkonstruksikan produk
penelitian dan mensosialisasikannya ke masyarakat sulit diwujudkan; atau kendalakendala lainnya. Oleh karena itu, produk penelitian yang memiliki peluang besar
untuk disosialisasikan ke masyarakat umumnya dihasilkan bidang keilmuan
pertanian, peternakan, rekayasa, sosial humaniora, keperawatan atau bidang ilmu lain
yang kerap berhubungan dengan masyarakat.
Di Jepang dan Amerika Serikat, ada koneksitas yang menarik dan saling
menguntungkan antara PT dan industri dalam merealisasikan transfer teknologi(4).
Dalam hal ini, produk-produk riset PT segera dimanfaatkan industri dan keinginan
atau kebutuhan industri akan produk-produk masa depan menjadi topik-topik riset
PT. Fenomena sejenis, meskipun pasti dengan skala yang jauh lebih kecil,
seharusnya dapat dilakukan di tanah air antara PT dengan usaha kecil atau menengah
bahkan multi nasional. Namun karena koneksitas PT-industri belum terbangun
dengan benar, maka peran aktif pemerintah sementara waktu dalam menyediakan
dana PPM yang lebih besar masih sangat diperlukan dan mendesak. Fenomena
transfer teknologi semacam itu, tergolong ke dalam PPM. Dengan demikian PPM PT
juga memiliki peluang besar dalam membentuk siklus transfer teknologi dari PT
masyarakat PT. Transfer ipteks atau transfer teknologi PT bagi masyarakat belum
dapat dikatakan sempurna jika PT belum mampu mengambil alih persoalan atau
kebutuhan masyarakat untuk dijadikan topik penelitian atau kajian. Siklus terjadi jika
hasil penelitian atau kajian tersebut disampaikan kembali kepada masyarakat.
Pemahaman semacam itu belum banyak dimiliki entitas PT dalam
melaksanakan PPM. Kebanyakan masih berasumsi bahwa PPM adalah gerakan
memenuhi kebutuhan atau mengatasi persoalan masyarakat, belum berupaya
merekrut persoalan atau kebutuhan selanjutnya bagi keperluan penelitian. Akibatnya,
selesai pelaksanaan PPM selesai juga aktivitas transfer ipteksnya. Padahal umumnya
yang terjadi di PPM PT, begitu satu persoalan atau kebutuhan masyarakat terpenuhi,
akan segera datang persoalan-persoalan atau kebutuhan-kebutuhan esensial lainnya.
Jika kondisi tersebut terjadi, itu pertanda bahwa kepercayaan masyarakat kepada PT
sudah tumbuh dan transfer ipteks sudah berlangsung.
6
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, beragam istilah diberikan entitas
PT pada kegiatannya bekerjasama dengan pihak eksternal. Ada istilah proyek,
training, pendidikan berkelanjutan, konsultasi, sosialisasi produk, studi atau kajian,
kerjasama, in-house training, kemitraan industri dan PPM. Jadi masih ada pemisahan
antara kegiatan PPM dan bukan PPM. Untuk meletakkan kegiatan PPM secara
proporsional sebagai darma PT, dirasa perlu adanya perubahan paradigma pada arti
PPM. Jika paradigma lama mengartikan PPM sebagai kegiatan entitas PT yang
melembaga bagi masyarakat yang tidak beruntung, maka paradigma baru seharusnya
mencakup kegiatan akademik yang lebih luas namun tidak tergolong ke dalam dua
darma PT lainnya. Secara universal aktivitas entitas PT bagi masyarakat dikenal
sebagai community services. Mungkin hanya di Indonesia istilah itu menjadi PPM.
Jika menuruti istilah yang lebih universal, maka PPM selayaknya digantikan dengan
istilah Layanan Masyarakat. Meskipun untuk melegitimasi istilah Layanan
Masyarakat juga tidak sederhana, karena UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 masih
mencantumkan istilah PPM.
Paradigma baru PPM dirumuskan mengacu kepada pengertian layanan
masyarakat, yaitu aktivitas akademik entitas PT dalam merespons langsung ataupun
tidak, persoalan, kebutuhan ataupun tantangan masyarakat dengan membawa nilainilai intelektual dan perilaku pembaharu yang arif pada kehidupan lingkungan. Jika
mengacu kepada pengertian tersebut, maka seluruh kegiatan kerjasama dengan pihak
eksternal (perorangan atau kelompok masyarakat, industri, institusi pemerintah)
ataupun sosialisasi produk yang berdampak langsung ataupun tidak bagi masyarakat,
dapat diklasifikasikan sebagai PPM. Melalui paradigma baru tersebut, kategorisasi
kegiatan tri darma di PT diharapkan menjadi lebih jelas. Dengan demikian, setiap PT
akan dengan mudah menginformasikan kelompok masyarakat mana yang menjadi
primadona PPMnya, termasuk berapa total biaya PPM per tahunnya. Hal ini juga
akan memudahkan DP2M Ditjen Dikti dalam mengevaluasi kinerja PPM PT setiap
tahunnya. Hasil evaluasi Kinerja PPM 2004-2008(5) menunjukkan bahwa 80-90%
mitra masyarakat PT BHMN, adalah institusi bisnis. Dari sumber yang sama
diketahui bahwa beberapa PT sudah mengalokasikan dana PPM yang nilai
nominalnya bervariasi dari Rp 25 sampai Rp 750 juta per tahun. Namun faktanya,
ada PT yang mampu menyerap 100% alokasi dana PPM tersebut, dan ada yang
masih menyisakannya 100%. Yang menarik adalah bahwa PT sudah secara sadar
mengalokasikan dana PPM per tahunnya, meskipun masih sekitar 20-30% dari
alokasi dana riset. Ada PT yang sudah memiliki Buku Pedoman PPM dan umumnya
mengacu kepada kebijakan program PPM DP2M, akan tetapi masih banyak yang
melaksanakan PPM tanpa pedoman. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara
PT mengalokasikan anggaran PPM tahunannya, sementara LPM atau LPPM PT
belum memiliki rencana strategis lima tahunan?
Jika dibuat klasifikasi atas jenis masyarakat mitranya, maka paling tidak ada
7
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
5 (lima) jenis PPM PT bagi masyarakat, antara lain: 1) Layanan BAGI Dunia Usaha; 2)
LayananBAGI Instansi Pemerintah; 3) LayananBAGI Perorangan atau Kelompok
Masyarakat; 4) LayananBAGI Perguruan Tinggi lain dan 5) LayananBAGI Institusi Luar
Negeri. Klasifikasi semacam ini diharapkan dapat membantu administrasi Lembaga
Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) atau Lembaga Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat (LPPM) atau Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat
(DRPM) PT dalam mengevaluasi kinerja PPM di PT masing-masing termasuk pada
upaya perimbangannya.
PPM meliputi 6 (enam) aspek utama, yaitu: sosial, ekonomi, politik, budaya,
lingkungan dan personal/spiritual(2). Oleh karena itu, PPM secara prinsip terbuka
untuk seluruh bidang keilmuan. Meskipun ada 6 aspek yang umumnya ditangani
dalam kegiatan PPM secara universal, namun hanya dua aspek yang menonjol dan
paling banyak dilakukan, yaitu: aspek sosial dan ekonomi. Respons PT terhadap
program PPM DP2M Ditjen Dikti juga didominasi kedua aspek tersebut. Belum
diketahui benar mengapa pelaksanaan PPM dengan aspek lain seperti lingkungan,
politik, budaya dan spiritual masih terbilang langka. Coba tengok pertikaian antar
pendukung parpol dalam pilkada, antar mazhab muslim di Lombok, antar hukum
adat dan hukum positif di Bali, menjaga kelestarian adat budaya nusantara, banjir
dan longsor di banyak daerah di tanah air yang belum tertangani sebagaimana
mestinya. Mungkin adanya asumsi PT bahwa PPM yang diprioritaskan harus selalu
terkait dengan aspek ekonomi, turut berkontribusi pada rendahnya PPM politik,
budaya, spiritual dan lingkungan.
C. PPM PT
Langkah awal dan paling sulit dalam upaya melakukan PPM adalah
mengidentifikasi, menemukan dan memperoleh data lengkap calon masyarakat mitra
termasuk persoalan atau kebutuhannya. Kondisi tersebut menuntut entitas PT untuk
datang dan berdiskusi dengan calon mitranya. Hal inilah yang menyebabkan entitas
PT menghadapi kesulitan lebih besar pada saat menyusun proposal PPM daripada
penelitian. Oleh karena itu, jumlah proposal PPM per tahun akan selalu lebih sedikit
daripada penelitian. Tahapan berikutnya adalah mengidentifikasi dan menemukan
penyandang dana untuk menyesuaikan format dan isi proposal. Dilanjutkan dengan
pelaksanaan PPM di lapangan dan yang paling krusial adalah menjaga agar seluruh
upaya akademis dan nilai-nilai intelektual yang telah disampaikan melalui PPM
menjadi tradisi atau budaya baru bagi masyarakat mitra.
Tahap paling menentukan keberhasilan kegiatan PPM terletak pada kemampuan
entitas PT untuk mencari tahu dan menemukan persoalan yang menurut masyarakat
mitra adalah prioritas. Kemudian memperoleh kesepakatan masyarakat untuk
8
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
diselesaikan bersama. Tanpa kesepakatan, umumnya kegiatan PPM akan mengalami
kegagalan sehingga tidak memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu,
sebelum melakukan kegiatan PPM, PT direkomendasikan untuk bertemu dan
berdiskusi dengan masyarakat mitra atau masyarakat yang menjadi target PPM. Pada
kesempatan tersebut dilakukan pembahasan mengenai persoalan, tantangan dan
kebutuhan masyarakat dari sudut pandang masyarakat sendiri. Jangan dilupakan
bahwa di masyarakat sendiri sudah tumbuh pengetahuan yang mereka peroleh dari
empirik kesehariannya atau kearifan lokal yang dijaga turun temurun. PT dapat
memberi masukan hasil evaluasi lapangan kepada masyarakat terutama yang relevan
dengan kebijakan memanfaatkan sumder daya yang ada dil lingkungan masyarakat
itu sendiri. Keduanya dipertemukan kemudian disepakati persoalan mana yang akan
ditangani paling awal sesuai jangka waktu dan biaya kegiatan yang dialokasikan.
Pemaksaan kehendak sendiri meskipun dilandasi hasil survei lapangan, seringkali
tidak disambut baik. Sebab apa yang terlihat sesaat bersifat mendesak dan harus
segera ditangani, seringkali tidak menjadi persoalan serius bagi masyarakat.
Misalnya, hasil survei entitas PT menunjukkan 90% penduduk suatu desa menderita
penyakit kulit (panu, kadas, kurap dll) sehingga tim memutuskan untuk melakukan
kegiatan PPM hidup bersih tanpa panu. Sementara penduduk desa itu justru semakin
bangga dengan semakin lebarnya diameter panu di tubuhnya. Kasus lain, terjadi di
suatu kampung melayan. Kebutuhan nelayan akan alat pengering sudah terdengar
klasik dan memang itu yang benar-benar diperlukan untuk membantu kehidupan
mereka. Tetapi tak ada satupun entitas PT yang mampu memenuhinya dengan pas.
PT seringkali membuatkan lemari pengering bertenaga surya atau api untuk
membantu proses pengeringan ikan hasil tangkapan nelayan. Kapasitas lemari
pengering yang dibuat hanya mampu mengeringkan ikan sebanyak 40 kg dan
memerlukan waktu 8-10 jam, sementara ikan tangkapan nelayan bisa mencapai 3 ton
per hari. Bisa diperkirakan berapa besarkah manfaat yang diperoleh nelayan?
Mengapa tidak terpikirkan untuk membuatkan lemari pengering berukuran lapangan
sepakbola yang dapat dioperasikan baik cuaca hujan ataupun terik? Pada kasus ini
PT sudah mengantisipasi kebutuhan masyarakat nelayan dengan benar tetapi dampak
dan manfaat PPM yang dirasakan, masih sangat terbatas.
Perbedaan antara PPM dan penelitian, disamping pada saat penyusunan
proposal, pola kerja, metode yang digunakan, juga pada apresiasi hasilnya.
Kegagalan dalam penelitian masih memperoleh apresiasi yang layak, sebab
kegagalan termasuk hasil suatu penelitian. Akan tetapi kegagalan dalam PPM akan
direspons dan dikomentari keras oleh masyarakat. Sebaliknya, jika PPM PT
dirasakan betul manfaatnya, maka masyarakat tak pernah putus menginspirasi
munculnya produk-produk intelektual baru dan mendoakan kebaikan bagi para
pelaksana PPM.
9
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
D. DISEMINASI
Persoalan lain yang harus dihadapi masyarakat pelaksana PPM di Indonesia,
yaitu diseminasi karya. Tidak seperti kedua darma lain dalam mendiseminasikan
karya-karyanya, karya PPM justru belum menemukan wadah yang cocok. Meskipun
tidak seluruh karya PPM dapat dipublikasikan, khususnya jika terkait pada
kerahasiaan mitra yang harus dijaga. Tetapi cukup banyak jumlah karya PPM yang
layak dipublikasikan secara meluas namun forum mendiseminasikannya sangat
terbatas. Jika penelitian mengenal muaranya dalam bentuk jurnal dan seminar ilmiah
maka darma PPM belum memilikinya. Untuk mencoba mengatasi keterbatasan
tersebut beberapa PT sudah mencoba menerbitkan Majalah atau Jurnal PPM,
meskipun isi artikelnya masih terbatas pada model pelaporan. Tetapi secara garis
besarnya Majalah PPM semacam itu menunjukkan adanya “pemaksaan” publisitas
hasil kegiatan PPM ke dalam struktur dasar artikel riset. Hasilnya adalah suatu
kejanggalan. Apakah kondisi semacam ini menjadi alasan bagi pemerintah
menetapkan peraturan perhitungan skor akademik yang rendah bagi karya-karya
PPM?
Sejak tahun 2009, bagi pelaksana program PPM yang dananya bersumber
dari DIPA DP2M Ditjen Dikti, berlaku kewajiban untuk menuliskan artikel ilmiah
berskala nasional (untuk biaya program senilai Rp 50 juta/tahun) dan internasional
(senilai Rp 100 juta/tahun). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jurnal ataupun
forum pertemuan masyarakat PPM belum tersedia. Kewajiban menuliskan artikel
ilmiah bagi kegiatan PPM terasa janggal, apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan
bahwa yang disampaikan kepada masyarakat adalah hasil penelitian. Bukankah hasil
penelitian sudah dipublikasikan melalui jurnal-jurnal atau seminar-seminar ilmiah?
Jika PPM merupakan wujud implementasi hasil penelitian, maka
pertanggungjawaban akademik di dalamnya sejatinya adalah dampak dan manfaat
kegiatan. Jika dampak dan manfaat yang harus dipertanggungjawabkan, maka
substansinya adalah seberapa kuat dampak dan seberapa besar manfaat yang
diperoleh masyarakat. Untuk keperluan itu harus ditetapkan dahulu indikator kinerja
PPM. Dampak dan manfaat PPM sekaligus merupakan dampak dan manfaat produk
penelitian yang diimplementasikan. Dalam kasus ini yang ditulis sebagai artikel
adalah bagian hilir suatu hasil penelitian. Artikel semacam ini dinilai kurang tepat
jika diposisikan sebagai artikel dalam jurnal ilmiah. Kasus ini menjadi lebih spesial
dan jelas, jika pelaksana PPM mengimplementasikan hasil penelitian orang lain.
Bagian ilmiah mana yang menjadi haknya untuk dituliskan dalam sebuah artikel
nasional bahkan internasional?
Dalam hiruk pikuk kebingungan banyak pihak khususnya pelaksana program
PPM DP2M, bersama entitas NGAYAH Bali mencoba menyusun struktur artikel
yang cocok bagi karya PPM. Entitas NGAYAH sendiri berarti suatu komunitas yang
10
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
berkarya tanpa pamrih dan terdiri dari entitas PT seluruh Bali dengan dukungan
penuh Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat PT. Pada awal pendiriannya 25
April 2010, entitas NGAYAH diwujudkan melalui kerjasama 4 (empat) PT, yaitu:
Universitas Udayana, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Mahasaraswati
Denpasar dan Institut Seni Indonesia Denpasar. Entitas NGAYAH berfungsi sebagai
penata karya PPM PT se Bali bagi masyarakat Bali, berkewajiban menerbitkan
majalah aplikasi ipteks yang berjudul NGAYAH, mengelola pelatihan PPM dan
menyelenggarakan pameran karya-karya PPM se Bali.
Majalah NGAYAH yang diterbitkan entitas NGAYAH bertujuan untuk
menyampaikan sebanyak mungkin kegiatan PPM di Indonesia yang memberi
dampak dan manfaat signifikan bagi masyarakat kepada para birokrat, entitas PT dan
masyarakat luas. Majalah NGAYAH sebagai media komunikasi para pelaksana PPM
PT sifatnya bukan sebagai jurnal ilmiah dan bukan pula kumpulan laporan
pelaksanaan PPM. Yang tak kalah pentingnya, di samping penerbitan majalah
aplikasi ipteks NGAYAH, adalah penyelenggaraan pertemuan PPM secara reguler
sebagai bentuk lain diseminasi hasil PPM. Entitas NGAYAH dapat mencoba
memprakarsai acara yang belum pernah ada di tanah air tetapi diyakini banyak
memberi manfaat bagi penyempurnaan metode, program hingga pada dampak dan
manfaat PPM untuk kemajuan bangsa Indonesia.
E. METODE PPM
Tidak seperti halnya metode riset yang telah banyak dikuasai dan dapat
dituliskan secara spesifik bagi setiap bidang keimuan, metode PPM lebih rumit dan
bahkan mungkin tidak spesifik. Beberapa metode PPM yang selama ini dikenal
antara lain: pelatihan, penyuluhan, pembimbingan, pembinaan, pendampingan,
demplot, participation rural appraisal, continuing education, penerapan ipteks dan
lain-lain, pada hakekatnya agak sukar dibedakan apakah benar suatu metode ataukah
aktivitas? Metode sejatinya adalah teknik atau cara. Teknik mengukur, menetapkan,
menghitung suatu parameter dari suatu hubungan sebab akibat atau perlakuan. Untuk
PPM yang berada jauh di hilir terhadap riset, metodenya tidak bermakna teknik atau
cara mengukur, menetapkan atau menghitung melainkan teknik atau cara
penyampaian atau pengaplikasian suatu produk riset atau ipteks yang sudah dikuasai
kepada masyarakat. Dengan demikian, penamaan metode PPM besar
kemungkinannya identik dengan suatu aktivitas tetapi tetap harus dapat dibedakan
dengan prosedur kerja. Untuk mengevaluasi apakah suatu metode berfungsi dengan
benar sehingga hasil riset dapat dipercaya, maka dalam riset dikenal istilah
metodologi. Dalam hal PPM, metodologi juga berarti evaluasi terhadap metode yang
diterapkan dengan menentukan level dampak dan manfaat kegiatan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, berbeda dengan riset yang fokus pada produk; maka PPM fokus
11
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
pada dampak dan manfaat sosial, seni budaya atau ekonomi.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penulisan proposal
ataupun manuskrip PPM dengan memilih salah satu atau kombinasi dua atau
beberapa metode berikut:
Pendidikan Masyarakat
Digunakan untuk kegiatan berupa a) training seperti in-house training; b)
continuing education; c) training penyegaran keilmuan, d) penyuluhan yang
bertujuan meningkatkan pemahaman (misalnya dalam bidang hukum, agama,
peraturan) sehingga menyadarkan masyarakat akan adanya kemungkinan
kesalahpahaman di antara mereka
Konsultasi
Untuk kegiatan dimana persoalan atau kebutuhan usaha kecil/menengah atau
masyarakat diselesaikan melalui diskusi atau dialog dengan PT
Difusi Ipteks
Untuk kegiatan yang menghasilkan produk bagi konsumen baik internal maupun
eksternal PT
Pelatihan
Untuk kegiatan yang melibatkan a) penyuluhan tentang substansi kegiatan, diikuti
dengan demonstrasi untuk mengkonstruksikan atau merealisasikannya; b) melatih
mengoperasikan sistem atau peralatan yang dihibahkan; c) atau kegiatan untuk
membentuk kelompok wirausaha baru, d) PT yang menawarkan jasa layanan
bersertifikat kepada masyarakat
Mediasi
Untuk kegiatan seperti: a) pelaksana PPM dalam kegiatannya menempatkan diri
sebagai penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bertikai atau bersengketa;
b) atau bersama-sama masyarakat menyelesaikan persoalan yang memerlukan
kebijakan dan keputusan instansi pemerintah atau swasta
Simulasi Ipteks
Untuk kegiatan dimana karya utamanya adalah sistem informasi atau sejenisnya
yang bertujuan guna menjelaskan tentang sesuatu yang tidak dapat dilakukan
sebagaimana seharusnya secara fisik atau nyata
Substitusi Ipteks
Untuk kegiatan yang membawakan ipteks baru, lebih modern dan efisien kepada
usaha kecil/ menengah, masyarakat dengan menggantikan penguasaan ipteks lama
12
Sundani Nurono Soewandhi, Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, 1(1), 2010, 2–12
F. PENUTUP
Upaya untuk meningkatkan kegiatan PPM di PT masih harus terus dilakukan.
Dukungan tidak hanya diharapkan dari pemerintah (dalam hal ini DP2M Ditjen
Dikti) dengan cara meningkatkan biaya dan alokasi tahunan program PPM,
Pemerintah Kabupaten/Kota, Industri melalui dana Corporate Social Responsibility,
CSR, melainkan juga dari entitas dan pimpinan PT serta masyarakat. Fakta di
lapangan menunjukkan peningkatan kegiatan PPM baik kualitatif maupun kuantitatif
secara signifikan, jika Rektor dan/atau Ketua LPM PT menaruh atensi luar biasa
kepada PPM. Di samping itu, koneksitas yang baik antara PT dengan Pemerintah
Kabupaten atau Pemerintah Kota sangat membantu dalam penyediaan informasi
tentang dunia usaha kecil/menengah atau kondisi masyarakat di sekitar wilayah PT.
Suatu hal yang masih jarang dijumpai padahal kesulitan awal entitas PT adalah
dalam mengidentifikasi calon mitranya.
Entitas NGAYAH sudah memulai upaya penerbitan majalah PPM dengan
harapan bahwa akan bermunculan entitas-entitas PPM baru di berbagai wilayah
tanah air dengan majalah-majalah PPM baru pula. Oleh karena jumlah PPM yang
telah dan sedang dilaksanakan dengan dampak dan manfaat positif yang dijumpai,
terbilang cukup banyak sehingga keperluan akan majalah PPM diperkirakan lebih
dari satu. Ini tantangan berat untuk direalisasikan. Ada satu hal lagi yang menarik,
yakni tekad kuat entitas NGAYAH untuk membawa majalah NGAYAH ke level
regional atau bahkan internasional. Tekad ini cukup realistis, mengingat segala
sesuatu yang terjadi di masyarakat Bali atau bahkan mungkin Indonesia, selalu
atraktif bagi dunia internasional. Kemunculan entitas-entitas PPM di tanah air sangat
diharapkan, untuk membuka peluang bagi dilaksanakannya seminar PPM berskala
nasional. Pada kesempatan lain akan dicoba untuk menyusun indikator kinerja yang
relevan dengan kegiatan PPM, paling tidak untuk seluruh program PPM DP2M tahun
2009.
G. BAHAN BACAAN
Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, 2003
Ife JW. Community Development: Creating community alternatives –vision,
analysis and practice, Longman Australia Pty. Ltd., Melbourne 3205
Australia, 1995
DP2M Ditjen Dikti. Buku Pedoman Pengabdian kepada Masyarakat, 2009
Branscomb LM, Kodama F, and Florida R. University-Industry Linkages in
Japan and the United States in: Industrializing Knowledge, The President and
Fellows of Harvard College, 1999
Sundani N. Profil Kinerja Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2004 –
2008, LPPM ITB, 2009