BAB VI MASYARAKAT SUMBA TIMUR : PERGESERAN GELAR KEBANGSAWANAN
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL
Dalam bab ini penulis akan memaparkan analisa kritis terhadap faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran gelar kebangsawanan di Sumba Timur dan implikasinya terhadap
perubahan sosial dalam masyarakat setempat.
A. Tinjauan Kritis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Bergesernya Gelar
Kebangsawanan dari Perspekti Perubahan Sosial.
Masyarakat menurut Georg Simel, muncul melalui interaksi timbal-balik. Dimana pola-pola “sosiasi” sociation, yang adalah terjemahan dari kata Jerman
Vargesellschaftung, yang secara harafiah berarti “proses dimana masyarakat itu
terjadi.” Sosiasi ini meliputi interaksi timbal-balik. Melalui proses inilah masyarakat itu muncul. Di mana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
1
Dengan demikian dapat dilihat bahwa masyarakat Sumba Timur itu sendiri muncul karena adanya saling hubungan dan saling mempengaruhi.
Adanya interaksi timbalik-balik ini disebabkan karena adanya kepentingan individu-individu dalam masyarakat yang kemudian diproyeksikan dalam berbagai
norma, nilai, aturan, pembentukan kerja, dan lain-lain. Gelar kebangsawanan di
Sumba Timur adalah suatu bentuk hasil dari hubungan timbal-balik dalam masyarakat tersebut. Jadi adanya hubungan saling ketergantungan antara bangsawan, orang
merdeka dan hamba. Ketergantungan dalam ikatan pekerjaan, pemerintahan, dan hukum dalam kampung.
Dalam sejarah, gelar ini sarat dengan nilai dan makna yang yakini oleh masyarakat Sumba Timur pada zamannya. Bukan hasil keputusan individu itu sendiri
tetapi hasil kesepakatan untuk mencapai pelbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Hasil kesepakatan pada waktu itu dipelihara terus dengan
diberlakukan berbagai aturan yang akan terus memperkokoh solidaritas dalam masyarakat Sumba pada waktu itu. Nampak dengan diberlakunya pernikahan ana
tuya, dan pernikahan antar strata yang sama. Aturan ini terus diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dari perilaku di atas dapat kita pahami bahwa gelar social tersebut dapat dikatakan budaya masyrakat Sumba.
Dalam teori kebudayaan, Richard Niebuhr, mengatakan:
2
kebudayaan adalah warisan social yang mereka terima dan teruskan.
Clifford Geert, juga memiliki konsep:
3
Kebudayaan suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang berwujud dalam simbol-simbol, suatu konsep-konsep yang
diwariskan yang terungkap dalam bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.
+ ,
3
- ..
+
Gelar tersebut tercermin dalam struktur social yang ada dalam sistem social masyarakat Sumba Timur yang terus diwarisi sebagai warisan budaya. Bagaimana
tidak, gelar-gelar social ini terus diinternalisasikan dari generasi ke generasi dalam segmen kehidupan bermasyarakat di Sumba Timur. Sudah barang tentu, warisan
tersebut memilik makna-makna yang menjadi warisan historis yang terwujud dalam “status kebangsawanan, orang merdeka dan hamba” yang kemudian diterjemahkan
oleh mereka dalam struktur social yang ada dalam sistem social masyarakat Sumba. Bisa saja akan terciptanya keteraturan, tolong-menolong, kerjasama antar struktur
yang menopang stabilitas masyarakat pada waktu itu. Soetomo, mengutip Parrillo:
4
Apa yang bisa disebut sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan
tindak dan aktivitas. Di dalam struktur tersebut terkandung unsur value, status, position dan institution.
Parrillo, 1987: 27. Menurut perpektif ini, masyarakat menjadi organized di samping karena keserasian hubungan antarbagian juga
didukung oleh seperangkat pengharapantujuan dan seperangkat aturan. Julian, 1986: 13.
Sztompka dalam Bab II mengatakan, perubahan sosial adalah gejala yang akan terus terjadi atau proses yang terjadi dalam suatu masyarakat dalam sistem sosialnya,
yang kemudian saling mempengaruhi setiap unsur dalam sistem, yang melibatkan dimensi ruang, waktu yang berbeda dalam masyarakat, sifatnya tidak tetap atau
senantiasa bergerak. Sistem social yang berlaku pada waktu itu di Sumba Timur adalah bentuk
sistem pemerintahan monarki yakni sistem pemerintahan kerajaan, yang terus bergulir dalam satu kerajaan berdasarkan garis keturunan dan akan digantikan saat ajal
menjemput. Terdapat pula struktur dalam sistem tersebut. Struktur dapat digambarkan
+
1 2
3 3
sebagai hierarchy masyarakat yang memuat pengelompokan masyarakat berdasarkan bagian-bagian atau kelas-kelas tertentu elite, middle dan lower class
.
5
Dahulu, sistem pemerintahan seperti ini, diperkuat pada masa penjajahan VOC tepatnya pada tahun 1913, bangsawan inilah yang diakui jadi raja yang memimpin
satu paraingu.
6
Anak-anak dari golongan bangsawan inilah yang boleh mengecap bangku pendidikan yang dibuka oleh pemerintah. Pada masa awal pemerintahan
Republik Indonesia, para raja atau bangsawan tetap diakui kedudukan dan kekuasaannya. Baru pada tahun 1958, kekuasaan para raja berakhir dan raja yang
masih memerintah dimasukkan ke dalam status pegawai negeri.
7
Persinggungan gelar cultural dengan sistem pemerintahan yang baru juga bisa disebabkan karena hal ini.
Ini tidak berlangsung lama karena persyaratan untuk masuk kedalam sistem pemeritahan Negara Indonesia berbeda. Bukan berdasarkan golongan darah
“bangsawan” yang selalu diperlakukan khusus. Hal ini menyebabkan berubahnya fungsional setiap struktur dalam sistem yang lama. Sztompka dalam Bab II
mengatakan, perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu. Berubahnya sistem, struktur pun
dalam sebagian daerah yang dikuasai oleh raja juga mengalami perubahan. Fungsional bangsawan pun mulai bergeser karena ini. Dalam Bab II Sztompka
mengutip, adanya modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat Persell, 1987: 586.
8
Adanya transformasi ini lewat munculnya para pengatur pemerintahan daerah baru, berbagai lembaga pemerintahan, swasta yang masuk ke
Sumba Timur yang kemudian mengatur dan menguasai daerah Sumba Timur.
4 3
5 6 7 3
,
8 7 ,
09 6
Bukan hanya itu saja, fungsional golongan bawah “ata” juga mulai bergeser. Wellem dalam Injil dan Marapu, mengutip K. Hama:
9
feodalisme para bangsawan atau raja makin terpuruk. Pemerintah Hindia Belanda memperluas kekuasaan para bangsawan atau raja.
Kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif berada dalam tangan mereka. Para bangsawan atau raja hidup dari penindasan dan
pemerasan terhadap rakyat.
Terbukti dalam catatan K. Hama di atas bahwa terpuruknya fungsional bangsawan pada saat pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan pada
bangsawan secara penuh. Sistem yang pada awalnya baik, menjadi tidak berfungsi dengan baik. Nampaknya faktor politik yang menjadi faktor pergeseran ini.
Keingingan kolonialisme Belanda untuk mengontrol masyarakat lewat kepemimpinan bangsawan “strategi penguasaan kolonial.” Bangsawan atau raja-raja yang diangkat
untuk berkuasa dalam wilayah-wilayah, memanfaatkan ini untuk menguasai daerah- daerah lainnya untuk ditaklukkan dan orang-orang yang ditaklukkan menjadi
bawahannya.
10
Hal ini diperkuat dengan fakta social yang ada sekarang, di mana strata paling bawah “hamba” banyak yang membebaskan diri dan lari dari tuannya.
11
Para hamba ini mulai memperlihatkan hilangnya fungsionalitas strukturnya dalam sistem tersebut.
Pendukung aliran fungsionalisme bertolak dari pendirian dasar bahwa:
12
masyarakat itu suatu sistem perimbangan, di mana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas melalui pernannya masing-
masing yang telah ditentukan demi lestarinya sistem perimbangan sebagai keseluruhan. Arti dan makna dari sebuah kegitan social hanya
dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan setempatnya
: 8 7 +3
3
0 2 6
6 8 ;
6 6
, 46 3
= ;
6 46
3 8
+3 6
6 5-
,
tempat dan fungsinya dan dalam keseluruhan sistem social. Dalam kerangka pemikiran itu timbul suatu bentrokan dalam organisasi
dipandang berfungsi korektif untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam subbagian baca institusi-institusi yang tidak
berjalan baik.
Faktor pembentukan Negara Indonesia juga merupakan musabab perubahan fungsional bangsawan. Karena Sumba Timur termasuk bagian di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Republik dengan pemerintahan terpusat, memiliki kepala Negara, konstitusi, membuat kerajaan-kerajaan di nusantara, termasuk raja-raja
di Sumba Timur dengan sistem herarkinya, harus tunduk pada consensus bangsa ini yang condong kearah demokratis.
13
Sistem pemerintahan baru oleh pemerintah Negara Indonesia, yang disosialisasikan dalam masyarakat Sumba Timur, diikuti dengan munculnya
pembangungan lembaga-lembaga instansi pemerintahan dan sebagainya, sudah barang tentu mengubah ideologi tradisional sebagian orang Sumba Timur.
Bagaimana untuk terlibat dalam sistem yang baru? yakni dengan memenuhi syarat- syarat yang berlaku dalam ketentuan formal pemerintah.
14
Pendidikan adalah tonggak awal untuk memenuhi persyaratan tersebut. Definisi pendidikan dipaparkan Choirul Mahfud dalam bukunya:
15
Prof. Langevels, Pakar pendidikan dari Belanda ini mengemukakan, bahwa pendidikan ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang
; 2
; 2
33 ?
+
8 ; 6
- -
. 2
3 ? +
dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan.
Dalam Dictionary of Education dikemukakan, bahwa definisi pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan
kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana ia hidup, proses social di mana orang dihadapkan
pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol khususnya yang datang dari sekolah, sehingga ia dapat memperolah atau
mengalami perkembangan kemampuan social dan kemampuan individu yang optimum maksimal.
Darmaningtyas, mendefenisikan:
16
pendidikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik.
Dari berbagai defenisi di atas memperkuat faktor pendidikan sebagai indikasi, bergesernya ideologi tradisional tentang keistimewaan bangsawan. Orang menyadari
bahwa untuk menjadi pionir, mencapai tujuan hidup, mengembangkan kepribadian yang kompeten dalam masyarakat, mengembangkan kemampuan intelektual manusia,
mengetahui nilai-nilai kemanusiaan, sehingga manusia dapat mencapai taraf hidup yang lebih baik itu dengan pendidikan.
Bapak Yohanys A. Praing,
17
mengatakan berdasarkan pendidikan, pragmatisme masyarakat terbentuk. Dengan demikian manusia atau individu itu
sendiri menentukan idealnya menjadi manusia yang berkompeten dalam masyarakat itu seperti apa. Bersekolah, memiliki kecakapan rasio yang matang, memiliki keahlian
di dalam berbagai bidang. Dengan demikian dapat bersaing sedemokratis mungkin untuk menduduki kedudukan yang ada dalam pemerintahan. membangun hubungan
yang kuat antara pengalaman dan pembelajaran, dan menganggap peserta didik
sebagai agen aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Seperti yang dikatakan dalam
33+
,
8 ; 46
3
teori pembelajaran sosial Vygotsky, 1978, pengalaman belajar Kolb, 1984; Kohonen, 1992, pembelajaran partisipatif Gilligan, 1982 dan teori-teori
perkembangan konstruktif Baxtor, 2004, dengan pendidikan dapat membangun hubungan yang kuat antara pengalaman dan pembelajaran, dan menganggap peserta
didik sebagai agen aktif dalam pembelajaran mereka sendiri.
18
Perubahan terjadi karena adanya ketegangan internal
19
yang kemudian mengemukakan persoalan akan adanya kebutuhan mutlak dari individu dalam
masyarakat. Ketegangan yang dimaksudkan bukan ketegangan destruktif, namun lebih kepada keteganan konstruktif. Persinggungan dengan budaya luar, pemikiran
global, perilaku modern, membuat individu dalam masyarakat di segala klasfikasi melakukan transformasi idiologi, tindakan dan perilaku masyarakat Sumba Timur.
Hal ini tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, karena tentunya ada dilema tersendiri dari pengemban agen perubahan sebelum sampai kepada keputusan untuk
bertransformasi. Yang berujung pada perubahan struktur, sikap nilai dan budaya.
20
Ketegangan rentan terjadi dalam masyarakat. Ketika berbenturan dengan jaman dan berbagai kepentingan yang mendasar dalam kehidupan manusia. Seperti
sekarang ini mereka bebas dengan berbagai objektifitas yang harus dilakukan. Orang dengan sendirinya mengambil keputusan untuk memperoleh pendidikan mencari dan
mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan keuntungan sehingga penghargaan pun dapat mereka peroleh. Dengan objektifitas yang hendak dilakukan,
juga dilakukan oleh salah satu nara sumber yang mengatakan, menikah dengan
99 .
- A
. B C
D 0 6 3
: EE
3
2 2
E? 33, +
3
seorang dari golongan mana pun tidak masalah, karena status itu ditentukan dari bagaimana bisa seseorang memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya.
21
Dahulu pemilihan istri atau suami ditentukan oleh keluarga. Sumba Timur terkenal dengan feodalismenya karena sistem ini. Di mana sistem ini sudah sangat
terpolahkan sehingga sudah menjadi tembok besar antara bangsawan dan kelompok lainnya. Menjaga kemurnian darah untuk mempertahankan status quo dalam
masyarakat. Pergeseran status banyak terjadi juga karena kejatuhan dalam perkawinan.
22
Terjadinya kawin campur entah cross-culture dan sesama orang Sumba, sehingga pergeseran akan status yang murni bangsawan menjadi kabur dan
bergeser. Gelar-gelar bangsawan “umbu dan rambu” dengan semaunya disandang. Ada beberapa hal yang menjadikan hal ini sekarang berubah. Pertama, jaman
sudah berubah. Manusia bebas menentukan pilihannya. Jika tidak, fakta membuktikan banyak terjadi kawin lari
23
sehingga orang tua menyadari kalau anak mempunyai pilihan atas hidupnya. Kedua, perjumpaan dengan etnis lain. Perjumpaan
ini terjadi karena adanya migrasi. J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, menyebutnya migrasi masuk misalnya antar daerah yang berdekatan, dan migrasi keluar
perpindahan penduduk dari satu populasi.
24
Jadi adanya penduduk yang masuk dan keluar populasi dalam hal ini lingkungan masyarakat tertentu. Masyarakat yang keluar
bisa saja karena adanya keinginan untuk merantau di negeri orang dan bersosialisasi dengan budaya lain. Biasanya migrasi ini dilakukan mahasiswa-mahasiswi dari
Sumba Timur yang berstudi keluar Sumba. Selain itu ada pula penduduk yang masuk
: EEE
8 ; ?
6 6
8 ;
+
; ; F
33, 3
dalam populasi di daerah Sumba Timur, untuk bekerja dan berbagai kepentingan lainnya sehingga mereka berdomisili di Sumba Timur. Mereka yang melakukan
migrasi keluar dan migrasi masuk tentunya membawa budaya mereka atau budaya yang sudah dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka lahir, bertumbuh, belajar,
bekerja dan lain-lain. Hal ini kemudian menyebabkan adanya interaksi antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian hidup berdampingan dengan berbagai etnis juga
mempengaruhi pergeseran ini. Bagaimana tidak faktanya banyak orang Sumba Timur yang menikah dan menghasilkan keturuan campuran. Bapak Elias Rawambani
mengatakan, sudah tidak asli lagi gelarnya apabila sudah menikah campur. Misalkan menikah dalam tujuh 7 turunan, dan masih mengklaim diri bangsawan. Sedangkan
maramba itu kakek leluhurnya. Dengan hasil keturunannya karena cross culture.
Ketiga, karena kecakapan manusia. Manusia yang cakap dalam hal intelektual,
perilaku dan financial juga menjadi musabab berubahnya sistem pernikahan yang ideal menurut culture masyarakat Sumba.
Kalau mau dibilang sudah menjadi nilai ekonomis. Menikah dengan orang Sumba yang cakap finansialnya tanpa melihat latar belakang “status” darah nenek,
kakek, ayah, ibu, bukan lagi menjadi penghalang dalam sebagian masyarakat Sumba Timur. Walaupun muncul sinisme “menerima tapi mencibir”
25
kecil-kecilan, namun tidak dapat mengubah arah pergeseran.
Dalam menyikapi pergeseran dalam sistem pernikahan yang pada awalnya untuk mempertahankan status quo, Bapak Chris Praing, mengatakan pergeseran
dalam segmen ini harus diperjuangkan.
26
Sistem dalam segmen pernikahan ini masih dalam tahap sederhana ke lebih kompleks. Belum menjadi sempurna karena masih
8 ; 6
4 8 ;
6 -
adanya paradigma orang Sumba Timur yang masih tradisional “melihat statusgelar dalam darah kalau mau menikah.” Pergeseran ini menuju kearah yang lebih baik atau
sempurna dalam bahasa Spenser. Hal ini sesuai dengan bentuk perubahan yang ditawarkan Sztompka dengan latar belakang pemikiran evolusionisme klasik.
Sztompka menguti Spenser, yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Darwin. Spenser, menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan individu.
Dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah proses seleksi alam. Manusia masyarakat termasuk di dalamnya sistem kebudayaan, politik, ekonomi, mengalami
perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam
bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
27
Karena sekarang terjadi pergeseran dengan menikah tanpa melihat suku, golongan atau status atau gelar
social “bangsawan”, semua orang dapat diperlakukan sama tanpa mengkhususkan golongan atau gelar. Walaupun disadari bahwa belum secara menyeluruh orang
Sumba Timur memiliki pemikiran seperti ini. Masyarakat Sumba Timur juga mendapat effect dari globalisasi. Menurut
Ronland Robertson, akan terjadi ketegangan besar ketika globalisasi merambah suatu bangsa, yaitu ketegangan individu versus masyarakat dunia modern.
28
Biasanya muncul keinginan primordial untuk melawan globalisasi. Pertentangan ataupun
perlawanan tidak bisa diartikan secara harafiah, pertentangan bisa berarti adanya keinginan masyarakat local dalam mempertahankan identitasnya “menjaga eksistensi
masyarakat local.” Jadi masyarakat secara individu bebas menyaringnya sesuai dengan nilai dan norma yang dipegangnya. Globalisasi kebudayaan juga bisa
,
09 6
7 G
9 6
H 9
; G
?
memberi dampak terhadap tatanan perekonomian, politik dan berbagai aspek kehidupan suatu bangsa.
29
Giddens mengatakan, globalisasi bukan hanya, atau bahkan terutama, tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan
kita.
30
Diikuti dengan kemajuan teknologi dalam arus globalisasi ini, juga menjadi faktor penting dalam pergeseran ini. Kelompok-kelompok yang hidup dalam
lingkungan yang tradisional semakin pecah dengan akibatnya bahwa masing-masing individu semakin harus menghadapi tantangan-tantangan kehidupan secara individu.
Keadaan demikian memacu individu untuk terus menghadapi tantangan dengan cara mereka.
Di era peradaban baru ini, IPTEK menjadi lokomotif penggerak zaman, dan IPTEK juga menjadi icon yang mewarnai peradaban baru umat manusia, dan Sumba
Timur termasuk di dalamnya dengan cara hidup yang masih tradisional. Revolusi IPTEK telah membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
31
Keterbukaan masyarakat
terhadap hal-hal
baru yang
ditawarkan mencerminkan ciri hidup modern. Keterbukaan tidak begitu saja diperoleh tanpa
aspek pendidikan yang dipaparkan diatas. Perubahan-perubahan ini secara mendasar menyebabkan pula terjadinya perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Perubahan
baru ini membawa gaya hidup baru dalam kehidupan keluarga, cara kerja baru, kegiatan ekonomi baru, konflik-konflik baru, dan diatas semuanya itu adalah sebuah
2 3
3
4 33
4 . ..
4 ;
3
+
kesadaran baru. Peradaban baru ini mengandung implikasi bahwa bagi mereka yang ingin berhasil meraihnya perlu mentransformasi dirinya.
Bapak Yohanys A. Praing mengatakan: “Masyarakat Sumba Timur sendiri bersifat terbuka dan selektif,
karena jika ia bersifat tertutup, bisa saja ia terisolasi dari perkembangan dunia. Orang Sumba dengan bebasnya
menerawang wilayah kehidupan dunia luar dan menilai ini yang baik, ini yang tidak relevan lagi. Orang pake hp, nonton
televisi, internet, bisa melihat hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan zaman lagi. Orang mulai menyadari, untuk dilihat atau
dipandang atau survive orang itu dengan mengikuti perkembangan zaman. Tidak membuang semua nilai budaya
tetapi tidak secara terbuka tanpa filterisasi menerima teknologi yang mungkin saja merugikan.”
P. L Berger mengatakan, untuk dapat mencapai perubahan seperti Negara- negara maju lainnya harus mencontohi langkah-langkah utama yang pernah dilalui
oleh masyarakat-masyarakat Barat dalam pendakiannya dari keadaan miskin menjadi kaya.
32
Bagi mereka “masyarakat Sumba Timur” yang masih sangat tradisional dengan peralatan tradisional yang belum memadai pastinya mempunyai harapan
untuk memiliki taraf hidup yang lebih baik. Dengan terlibat dalam perkembangan jaman dengan berbagai penemuan baru yang dihasilkan, teknologi ini ternyata mampu
membawa masyarakat Sumba Timur, untuk hidup lebih produktif. Banyak toko elektronik, conter-conter handphone, warnet di mana-mana, dan lain sebagainya
: : 0 E
33 +
sebagi respon masyarakat terhadap perkembangan jaman. Dalam Bab II, Mudjia Rahardjo, menyebutkan bahwa teknologi adalah salah satu sumber perubahan sosial.
Menurut penulis, hal ini kemudian menyangkut juga dengan nilai ekonominya. Dengan adanya kemajuan dalam pendidikan, iptek, tentunya memiliki dampak
dalam ekonomi masyarakat. Petani-petani mulai menemukan bagaimana memperoleh kualitas hasil pangan yang bagus, meninggalkan alat tradisional untuk pertanian, dan
orang-orang mulai menciptakan lapangan kerja kewirausahaan yang mandiri untuk bersaing dan survive dalam hidup. Dalam Bab II, mengatakan adanya bentuk
mobilitas sosial. Adanya upaya masyarakat untuk mengorganisasikan kehidupannya
dengan memanfaatkan mobilitas sosial yang ada. Berbicara mengenai ekonomi, berarti menyangkut kepemilikan. Masyarakat
bersaing dalam hal ekonomi. Entah uang, barang, tokoh, conter, hewan dan asset-aset lainnya. Sekarang istilahnya tidak ada orang kaya yang mengikuti orang miskin,
yang ada orang miskin yang mengikuti orang kaya, dan di Sumba itu sekarang sedang berlaku.
33
Pemikiran yang sudah terkonstruksi oleh budaya konstruksi awal bangsawan dalam Bab III, adalah orang yang lihat dalam ekonomi, politik, dan
sebagainya bisa mempengaruhi konsep masyarakat, bahwa tingkat pencapaian ekonomi seseorang bisa disejajarkan dengan bangsawan. Orang Sumba Timur, mulai
berlomba-lomba untuk ini. Menurut penulis, ini gejala umum yang terjadi dalam masyarakat, namun dalam kasus Sumba Timur, ternyata gejala ini memperikan impact
terhadap penilaian akan kriteria bangsawan. Pada hakikatnya terjadinya perubahan social ini juga karena adanya confused
in culture dalam masyarakat Sumba Timur. Seperti umumnya masalah local lainnya
8 ; 6
-
local culture, adalah hal yang tak bisa dilepaskan dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat setempat. Teori perubahan sosial dalam Bab II mengatakan, perubahan yang terjadi adanya keterkaitan antara sistem sebelumnya. Jadi pandangan hidup yang
termasuk segmen dalam sistem sosial masih berpengaruh dalam perhatian masyarakat akan kehidupan masa lalu. Bapak Umbu Hamakonda mengatakan, adanya juga
keterbatasan pemahaman masyarakat akan budayanya. Itulah mengapa status social “bangsawan” dalam system social dahulu, diadopsi kedalam system social
kemasyarakatan sekarang, yang berbeda syaratnya dalam ranah cultural. Itulah mengapa gelar bangsawan disejajarkan ketika seseorang mendapatkan status social
tertentu dalam pemerintahan. Bahkan nama, gelar kebangsawanan dianulir olehnya. Pandangan umum masyarakat Sumba Timur menyebut bangsawan ini dengan istilah
maramba Bidi bangsawan baru.
34
Faktor lainnya adalah agama. Masuknya agama juga membawa pengaruh besar dalam masyarakat Sumba Timur. Weber, dengan Etika Protestan
mengisyaratkan dalam keseluruhan pendekatannya menekankan bahwa hubungan antara ideal dan materil mengatur tindakan orang, bahwa hubungan antara ideal
agama dan kepentingan ekonomi sebenaranya bersifat saling tergantung. Dengan kata lain, hubungan itu bersifat timbal-balik.
35
Agama disini, dan dengan “agama” dimaksudkan di sini setiap sikap terhadap Tuhan, setiap bentuk kepercayaan sejauh
mendapat bentuk dalam kemasyarakatan “bukan individu” adalah salah satu unsur dalam sistem sosial. Dan oleh karena itu perubahan dalam sikap agama pun akan
mempunyai peran dalam proses perubahan sosial.
+
8 ; E
,
Marx dengan ucapannya, bahwa agama itu candu masyarakat. Banyak filsuf Marxis seperti Ernest Bloch dan Milan Machovec pun mengakui, bahwa agama dapat
juga merupakan sesuatu kekuatan yang revolusioner. Agama dapat mempertajam kesadaran, bahwa semua manusia sama-sama ciptaan Tuhan dan oleh karena itu sama
derajatnya. Bahwa segala kekuasaan di dunia terbatas dan harus tunduk pada hukum Tuhan dan moral.
36
Bahwa setiap orang bernilai mutlak dan oleh karena itu berhak atas keadilan.
Agama yang masuk di Sumba Timur juga memberikan kekuatan yang mampu mengubah masyarakat Sumba Timur. Banyaknya orang Sumba yang meninggalkan
kepercayaan aslinya marapu dan memeluk agama impor “”Protestan, katolik dan Islam.”
Kalau mau ditilik dalam sejarah, segala aktivitas keseharian orang Sumba itu merupakan penyembahan kepada marapu. Dengan demikian hubungan antara struktur
“antara raja dengan orang merdeka dan hamba” dalam sistem juga merupakan penyembahan kepada marapu. Berpalingnya masyarakat Sumba Timur dari
kepercayaan marapu, membuktikan pengaruh agama sangat besar dalam masyarakat Sumba Timur. Terkhususnya peran agama Kristen Protestan sebagai agama
masyoritas di Sumba Timur. Agama dapat memberikan semangat dan harapan untuk menghadapi semua
kekuasaan di dunia dengan berani karena orang agama tidak takut mati. Karena wujud penyembahan yang kekal hanya kepada Tuhan bukan kepada bangsawan. Agama
dapat mempengaruhi perubahan sosial, entah untuk memperkuat struktur-struktur yang ada, atau malah meniadakan struktur-struktur yang tidak adil. Sekarang
B 9
F 0 +
mayoritas agama Kristen Protestan, Katolik dan daerah pesisir pantai banyak ditempati oleh orang Islam. Agama dengan berbagai ajaran di dalamnya.
Perubahan Sosial di Sumba Timur masih terus akan mengalami proses perubahan. Karena masyarakat itu tidak statis. Perubahan ini tentu saja memberikan
dampak dalam segala aspek kehidupan masyarakat Sumba Timur. Namun dalam acara adat dalam budaya itu sendiri, misalnya dalam upacara adat kampung yang
masih sangat tradisional, loyalitas terhadap bangsawan masih tampak. Dengan demikian dalam ranah cultural mereka yang dianggap bangsawan karena dalam
lingkungan sosial, ekonomi, politik, tidak diakui. Hal ini karena masih adanya nilai dan norma yang dianut oleh bangsawan
yang masih memelihara statusnya dalam kampungnya. Selain itu ini karena bentuk penolakan terhadap realitas sosial yang ada walaupun pada dasarnya mereka
mengetahui perubahan itu terjadi. Menurut penulis ini mungkin akan menjadi suatu penghambat menghancurkan struktur lama yang masih dianut oleh sebagian
masyarakat Sumba Timur. Sikap feodalitis yang masih dianut oleh sebagaian orang menjadi tolak ukur untuk tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang dalam
rumah “ata” yang masih mengikuti tuannya, untuk tidak meninggalkan tuannya dengan tidak mempersiapkan mereka “ata” untuk memiliki kecakapan dalam
keterampilan atau pendidikan untuk survive dan meningkatkan taraf hidup seperti masyarakat maju lainnya.
Perubahan Sosial yang terjadi dalam masyarakat Sumba Timur terhadap gelar kebangsawanan ini, menurut tipologi arah perubahan, termasuk di dalam tipologi
linear, proses sosial yang mengarah mungkin bertahap, meningkat. Proses perubahan terhadap persyaratan gelar kebangsawanan ini bersifat khaos, di mana pergeseran
gelar kebangsawanan ini dilihat dari terciptanya struktur sosial baru orang biasa yang berpendidikan, jasa politik atau agama dalam masyarakat Sumba Timur. Hilangnya
makna struktur sosialnya “khaos”. Proses perubahan ini terjadi dari dalam individu ini mungkin suatu saat akan
menjadi agen kolektif, di mana adanya individu yang satu dan individu yang lain yang memiliki peran yang sama dalam menyikapi perubahan jaman. Suatu saat ini bisa
menjadi bentuk perubahan yang revolutif yang merubah segala sistem sosial yang masih tradisional. Bentuk perubahan ini bukan dengan cara kekerasan atau
pemberontakan seperti yang dijelaskan oleh perspektif revolusi, namun lebih kepada kesadaran individu secara menyeluruh sebagai agen kolektif, yang kemudian
mengadakan perubahan secara radikal dalam kehidupan mereka secara bersamaan dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur, akibat berubahnya sistem yang lama
menjadi sistem yang baru dengan struktur sosial yang baru sebagai akibat dari perubahan sosial tersebut. Mungkin suatu saat Sumba Timur akan kehilangan gelar
kebangsawanan ini
B. Implikasinya Terhadap Perubahan Sosial di Sumba Timur