T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan Islam Tradisional di Pekalongan: Respon Jaringan terhadap Perubahan Sosial T2 BAB IV

BAB IV
PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGAN

Bagian ini akan memuat beberapa indikator historis yang dianggap
penting untuk memahami realitas Pekalongan saat ini. Beberapa
indikator historis tersebut antara lain adalah peran bandar dimasa lalu;
pertumbuhan infrastruktur wilayah dan pemerintahan; munculnya
komunitas Arab dan Tionghoa; perkembangan Islam; dan dinamika
politik di awal reformasi. Indikator-indikator historis tersebut
merupakan faktor-faktor penting yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan masyarakat Pekalongan.

Pekalongan di Masa Lalu: Geografi Sosial dan Peran Bandar
Dalam sejarah sosial Jawa, Pekalongan merupakan salah satu
diantara bandar-bandar pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa yang
menjadi tempat bersinggah kapal-kapal dari jazirah Arab. Mereka
berlayar melalui semenanjung Hadramaut di India ke berbagai penjuru
Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota
bandar di pantai utara Jawa seperti Indramayu, Cirebon, Tegal,
Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban dan Gresik
menjadi tempat singgah untuk mengisi bahan bakar dan perbekalan.

Kedatangan para pedangan dari Jazira Arab semakin berkembang sejak
dibukanya Terusan Suez. Tak jarang sebagian dari para pedagang itu
kemudian menetap dan kawin dengan penduduk pribumi sehingga
lambat laun terbentuklah komunitas-komunitas Islam (Van Leur 1983,
Berg 1989,).

33

Namun demikian sumber-sumber sejarah lokal1 menceritakan
bahwa sebenarnya selain kapal-kapal dagang dari Jazirah Arab, bandar
Pekalongan juga disinggahi oleh pedagang-pedangang dari Cina.
Bahkan kedatangan kapal-kapal dagang Cina tersebut sudah jauh
sebelum pedagang Arab sampai di daerah ini. Keberadaan sebagai
Bandar tua ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pelabuhan dan
perkembangan geomorfologi daerah Pekalongan sekitar abad pertama,
dimana garis pantai wilayah Pekalongan kuno meliputi desa-desa di
daerah pegunungan Selatan (Kusnin Aza 2008). Desa-desa tersebut
antara lain adalah Kajen, Petungkriono, Linggo Asri, Doro, Bandar, dan
Wonopringgo yang saat ini merupakan wilayah administrasi
Kabupaten Pekalongan. Sedangkan dataran pantai yang kini menjadi

kota Pekalongan saat itu belum ada dan masih berupa lautan. Pada saat
itu pelabuhan Pekalongan terletak di daerah Doro dan Bandar2 yang
dilaui oleh sungai yang dapat dipergunakan oleh kapal-kapal untuk
berlabuh dan menghindar dari ombak. Kedua daerah tersebut sekarang
telah berada jauh dari lautan.
Menurut Naskah Wai Tai Ta dua daerah ini berada dibawah
kekuasaan raja-raja keturunan Sanjaya dan Syailendra dari kerajaan
Mataram Hindu.3 Kedua daerah ini telah ramai dengan lalulintas
perdagangan, baik dari Cina, India, Melayu, dan Arab yang sengaja
mencari rempah-rempah atau berdagang. Dalam naskah tersebut
dikemukakan juga bahwa pada masa Dinasti Tsung, daerah pelabuhan
di pantai utara jawa ini diberi nama Poe Chua Lung yang dalam laval
masyarakat pribumi menjadi Pekalongan.
Proses sedimentasi yang berlangsung selama beberapa abad telah
membentuk dataran pantai yang pada sekitar abad 14 mulai

Dapat ditemukan pada beberapa buku yang ditulis oleh penulis lokal Pekalongan.
Diantaranya yaitu: Aka, Emirul Chaq, dkk, “Pekalongan: Inspirasi Indonesia”, Tahun
2008; Dirhamsyah, Moch, “Pekalongan yang (Tak) Terlupakan: Subuah Katolog
Warisan Budaya Pekalongan”, Tahun 2004; Oethomo, “Rasa Swarga Gapuraning Bumi:

Menelusuri Berdirinya Kota Pekalongan”, Tahun 1985.
2 Aka, Emirul Chaq, dkk, Tahun 2008.
3 Aka, Emirul Chaq, dkk, Tahun 2008.

1

34

berkembang menjadi tempat hunian baru dan mendorong
berpindahnya pelabuhan kemuara sungai Kupang4 seperti yang kita
jumpai sekarang ini.

Perkembangan Infrasturktur Wilayah dan Pemerintahan
Dimasa VOC mulai berkuasa, Pekalongan dijadikan pusat
penangkapan Ikan. Sementara itu Pekalongan juga berkembang
menjadi pusat pemukiman dan perdagangan. Oleh pemerintah Belanda
sejak tahun 1850 an pelabuhan Pekalongan semakin dikembangkan
dan pada tahun 1859 diresmikan sebagai pelabuhan import terbatas.
Barang yang diimport utamanya adalah tekstil yang menjadi bahan
utama bagi industri batik. Dengan demikian dapat diduga bahwa pada

masa itu industri batik tradisional yang menggunakan cara-cara
pembatikan tanpa mesin di Pekalongan sudah cukup maju dan meluas.
Kegiatan pembatikan itu dilakukan oleh penduduk sebagai industri
rumahan atau dalam kelompok-kelompok kecil.
Selain melalui jalur laut, pada awal abad 19 jalan darat yang
menghubungkan Pekalongan dengan kota lain di Jawa juga mulai
terbuka. Pada tahun 1808 Daendels, Gubernur Jendaral Hindia Belanda
membangun jalan raya (dikenal juga dengan Jalan Raya Pos) yang
menghubungan kota-kota penting di Jawa dari Anyer sampai
Panarukan melalui pantai Utara Jawa, melintasi kota Pekalongan. Ini
ditunjukkan dengan adanya tonggak penanda jarak (meilpaal) masih
terdapat di kota ini. Sedangkan jalur kereta api mulai terbuka pada
awal abad ke 20. Tepatnya pada tahun 1919 ketika dibukanya Stasiun
Pekalongan yang pada awalnya dimiliki oleh Semarang – Cheribon
Stoomtram Maatschappij (SCS).
Perlu dicatat bahwa menurut cerita dikalangan masyarakat
Tionghoa Bupati Pertama Pekalongan adalah seorang Tionghoa
bernama Tan Kwee Djan tahun 1741 yang diangkat oleh Sultan Agung.
Hasil wawancara dengan Moch. Dirhamsyah (wartawan serta pemerhati sejarah yang
menulis buku “Pekalongan yang Tak Terlupakan”) pada bulan Juni 2015.


4

35

Pada masa sebelumnya Pekalongan tidak memiliki kepala atau
penguasa daerah hingga untuk pengaturan pelabuhan/bandar pada
jaman Dinasti Ming pada abad ke 14 Masehi,Laksamana Chengho yang
tiba di tempat ini mengangkat kepala Bandar. Dalam legenda Bau
Rekso5 diceriterakan bahwa pengangkatan Tan Kwee Djan sebagai
Bupati adalah karena jasanya membatalkan pertapaan Ki Bau Rekso
untuk menghadap Sultan Agung. Apabila cerita ini benar maka dapat
diduga bahwa pada abad 18 Masehi, masyarakat etnis Tionghoa telah
menempati kedudukan dalam bidang pemerintahan di Pekalongan.
Untuk penghargaan terhadap jasa Bupati Pertama ini maka jalan di
dekat alun-alun kota diberi nama Jl. Kwee Djan. Hanya saja perlu di
catat bahwa dari sumber lain mengatakan bahwa bupati pertama adalah
Kyai Adipati Mandurareja (Kusnin Asa, 2008).
Tersedianya infrastrukur diatas memungkinkan Pekalongan sejak
jaman Hindia Belanda menjadi pusat perkembangan ekonomi

dikawasan ini, utamanya dibidang perikanan, perdagangan, industri
tekstil dan batik. Perkembangan ini menempatkan Pekalongan menjadi
daerah otonom yang oleh Pemeritah Hindia Belanda diperbolehkan
mengurus rumah tangganya sendiri. Sehingga pada saat itu (1906-1918)
misalnya dibentuklah Dewan Kota Praja Pekalongan yang anggotanya
terdiri dari delapan orang golongan Belanda, empat orang wakil
golongan pribumi, dan satu orang wakil Gologan Timur Asing. 6
Pada masa Kolonial Belanda, Pekalongan merupakan sebuah
karesidenan dengan wilayah yang meliputi Kabupaten Pekalongan,
Dalam versi cerita yang lain tentang legenda Bau Rekso, diceritakan bahwa di
kerajaan Mataram ada patih yang sangat sakti bernama Patih Bau Rekso, tetapi raja
tidak menyukainya. Supaya tersingkir tetapi dengan cara yang tersamar, ditugaskan
patih itu untuk membuka Alas Roban yang dikenal dengan adanya banyak demit dan
mahluk-mahluk penunggunya. Patih Bau Rekso melihat situasi Alas Roban ini
kemudian bertapa dengan cara seperti Kalong. Usaha ini berhasil, tetapi Mataram tidak
senang dengan itu lalu diadakan syembara siapa yang bisa mengalahkan Bau Rekso
dijanjikan akan diangkat menjadi bupati diwilayah baru ini. Ada seroang Patih
keturunan Tionghoa bernama Tan Kwie Djan yang berhasil mengalahkan Bau Rekso,
sehingga kemudian diangkat menjadi Bupati Pertama Pekalongan dengan gelas
Jayadiningrat.

6 Dirhamsyah, 2004; 161
5

36

Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes.7 Namun
pada perkembangannya kemudian Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Tegal, dan Kabupaten Brebes menjadi Karesidenan tersendiri dengan
Tegal sebagai ibukotanya. (Anton Lucas 1989 hal 9). Dalam statistic
tahun 1820 Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di pecah
menjadi 15 devisi dan 14 distrik. Namun menjelang culturstasel devisidevisi tersebut dihapuskan, sedangkan jumlah distrik diserderhanakan
menjadi 12 distrik.
Berdasarkan Undang-undang no 16 tahun 1950 yang diubah
menjadi undang-undang no 13 tahun 1954, Pekalongan memperoleh
status menjadi Kota Besar sehingga lebih berpeluang untuk
berkembang secara luas. Di bidang tata pemerintahan dengan
keluarnya Undang-undang no 1 tahun 1957 tentang pokok
pemerintahan di Daerah, Kota Pekalongan di pimpin oleh seorang
Walikota yang bernama M. Soehartono Slamet Poespopranata dimana
peran walikota adalah sebagai pejabat pemerintah pusat dan sekaligus

sebagai kepala daerah.
Dewasa ini Kota Pekalongan memiliki luas wilayah 45.25 km2
terdiri dari 4 kecamatan dan 27 Kelurahan8, dengan batas wilayah:
disebelah Utara merupakan Laut Jawa, di sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Batang, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, dan di sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan. Kota Pekalongan memiliki
jumlah penduduk sebanyak 296.533 jiwa yang berarti kepadatan
penduduknya mencapai 6,554 per km2.

7 Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif pemerintahan yang dipakai sejak
jaman Hindia Belanda hingga tahun 1950-an. Sebuah karesidenan (regentschappen)
terdiri atas beberapa afdeeling (Kabupaten). Semenjak tahun 1950-an, struktur
admintstrasi pemerintahan yang dinamai karesidenan tidak dipakai lagi.Karesidenan
kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur" (istilah ini pun sekarang tidak
digunakan lagi). Namun, sebutan "eks-karesidenan" masih dipakai secara informal.

27 Kelurahan merupakan hasil penggabungan kelurahan yang semula 47 Kelurahan
dilakukan pada akhir masa jabatan Walikota dr. H. Muhammad Basyir tahun 2015.


8

37

Sumber Pekalongan dalam Angka 2014, BPS Pekalongan

Gambar 4.1. Peta Pekalongan Tahun 2014

Pengamatan selama penelitian terhadap wilayah Kota
Pekalongan dan wilayah Kabupaten Pekalongan memberi kesan
bersatunya dua wilayah. Sebab berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial,
budaya dan bahkan politik berbaur sedemikian rupa, sehingga tidak
mudah untuk dipisahkan berdasarkan katagori wilayah adminisatratif.
Di bagian barat, misalnya, antara Kota Pekalongan dan Wiradesa
(kabupaten Pekalongan) dapat dikatakan secara fisik sudah menyatu,
dengan jenis kegiatan perdagangan, jasa dan industri kecil yang
berkembang. Di bagian Selatan, beberapa ibukota kecamatan
Kabupaten Pekalongan (Kecamatan Buaran, Kecamatan Kedungwuni)
juga sudah “menyatu” dengan Kota Pekalongan. Tidak berlebih jika ada
yang mengatakan dalam kegiatan sosial ekonomi wilayah Kabupaten

Pekalongan adalah hinterland dari Kota Pekalongan9.
Lihat Ir. MM. Sumarni, M.M., “Orientasi Ruang Kota Pekalongan: Kecenderungan
Perkembangan Ruang Kota Pekalongan”, dalam Emirul Chaq Aka (eds), “Pekalongan

9

38

Perkembangan terakhir, misalnya, di awal masa pemisahan
karisidenan Pekalongan menjadi tujuh kota/kabupaten10 di era pasca
kemerdekaan sekitar tahun 1950 an hingga tahun 2004. Pusat
pemerintahan Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan tetap
menjadi satu di Kota Pekalongan. Aset daerah Kabupaten Pekalongan
pun masih menjadi satu di Kota Pekalongan, seperti kantor
pemerintahan, kantor dinas atau instansi, kantor DPRD, rumah sakit,
gedung pertemuan, alun-alun, dll masih menjadi satu ditempat milik
kabupaten yang berada di Kota Pekalongan. Baru tahun 2001 rencana
pemindahan aset kabupaten ke wilayah Kajen mulai di rintis.
Pembangunan kompleks pemerintahan baik Kota maupun Kabupaten
mulai dilaksankan tahun ini. Di tahun 2004 pemindahan pemerintahan

baru terlaksana.

Pecinan dan Kampung Arab: dua komunitas esklusif di
Pekalongan
Peran penting sungai sebagai sarana transportasi dimasa lalu
menyebabkan munculnya pemukiman-pemukinmman dekat sungai
dari para pedagang yang datang dari tempat yang jauh. Kecenderungan
untuk tinggal bersama dari kelompok migran seasal menjadi latar
belakang terbentuknya perkampungan etnis yang ada sakarang ini dan
menjadi basis perkembangan landscape Pekalongan. Para pendatang
dari Cina banyak yang kemudian tinggal dan mendiami kampung
Sampangan yang berada di tepi muara Sungai Kupang. Begitu juga
pendatang dari Arab/Hedramawut yang datang sekitar abad ke 18 juga
tinggal dan mendiami wilayah disebelah timurnya. Mereka tinggal dan
membangun pusat perdagangan dan budaya disitu hingga terbentuklah
Kampung Cina yang dikenal dengan sebutan “Pecinan”, dan juga
Inspirasi Indonesia”, Pemda Kota Pekalongan, The Pekalongan Institute, Kirana
Pustaka Indonesia, Pekalongan 2008.
10 Karisidenan Pekalongan meliputi: Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan,
Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten
Batang.

39

Kampung Arab yang secara fisik bisa dikenali secara mudah hingga saat
ini dan seakan-akan secara simbolis merepresentasikan kehadiran dua
komunitas pendatang yang memiliki peran dan kedudukan penting
dalam perkembangan ekonomi kota pekalongan.

Komunitas Pecinan, di Pekalongan
Memasuki kampung Pecinan di Sampangan (Jln Blimbing) atau
disekitar pasar Banjarsari yang terletak tidak jauh dari tepian sungai
Kupang,11 kita akan dikesankan oleh bau hio, toko2 cina, klenteng, dan
dibelakang toko-toko terdapat rumah hunian dengan bangunan khas
Cina. Warung dan restoran yang menjual daging babi serta masakan
cina dengan mudah dapat kita temukan disini. Sekalipun Pekalongan
dikenal sebagai kota batik, namun kita tidak menjumpai toko-toko
batik di kampung ini.
Kedatangan para migran Tionghoa ke Pekalongan sesungguhnya
tidak hanya terjadi melalui Bandar; perdagangan yang singgah dan
kemudian menetap.
Secara berangsur-angsur banyak pula para
pendatang dari daratan Cina itu datang secara berantai tidak langsung
datang ketempat tujuan (transito) yaitu melalui jalur memanfaatkan
hubungan keluarga dan kenalan. Banyak dari mereka meninggalkan
tanah leluhur dan merantau mencari tempat yang baru karena faktor
keamanan, bencana alam serta adanya keinginan untuk mencari
sumber penghidupan baru. Untuk sampai ke suatu tempat di Indonesia
yang kemudian menjadi tempat mereka menetap umumnya melalui
mata rantai migrasi yang panjang. Mata rantai itu berupa relasi-relasi
keluarga dan teman yang datang dan menetap sebelumnya untuk
menjadi tempat menumpang dan mendapatkan berbagai pertolongan

11 Menurut ceritera penduduk pada masa lalu saat sungai masih menjadi jalur utama
untuk transportasi, maka tedapat bayak bangunan dengan pintu-pintu menghadap ke
sungai Kupang.

40

bagi para migran yang baru seperti yang diceritakan oleh Heru
Wijayanto12.
... kakek Heru datang ke Indonesia dibawa oleh orang tuanya di
tahun 1917 saat kakeknya itu masih berumur 3 tahun. Konon
mereka meninggalkan daratan Cina karena situasi di daerah asal
mereka banyak terjadi peperangan dan perampokan. Mereka
melalui jalur laut untuk tiba di Batavia. Mereka datang ke
Indonesia tanpa membawa modal sehingga saat tiba di Indonesia
mereka di tampung oleh para pendatang dari Cina yang sudah
lebih dulu datang dan menetap di Batavia sebelumnya. Ikatan
kesetiakawanan sangat kuat diantara perantauan sehingga orang
Tionghoa yang telah maju13 dalam usaha akan membantu mereka
yang masih berusaha dan lemah, apa lagi bila masih ada ikatan
keluarga atau asal daerah. Dari Batavia mereka pindah ke Yogya
menumpang di rumah kakaknya yang telah punya usaha barang
klontong di sana. Setelah mampu sang kakek membuka usaha
kelontong sendiri di Wonasari, Gunung Kidul, Disanalah eyang
pak Heru lahir pada tahun 1941. Setelah dewasa ayah pak Heru
bekerja di perusahaan teh Bandulan di Pekalongan dan menjadi
menantu dari pengusaha Teh Bandulan tersebut. Perusahaan teh
Bandulan, kini dipegang oleh adik pak Heru , sedangkan pak
Heru mengelola perkebunan bunga melati guna disetor kepabrik
teh. Pak Heru dan keluarganya kini tinggal di daerah Pecinan.

Kampung Pecinan di daerah Sampang tersebut tidak hanya
menjadi tempat tinggal dan mengembangkan ekonomi namun juga
mengembangkan kebudayaan, tradisi dan agama mereka. Mereka
membangun klenteng di tengah perkampungan sebagai tempat
peribadatan, berkumpul dan bersembahyang berdasar kepercayaam
Tao, Budha dan Konghucu. Klenteng ini diberi nama Po An Thian yang
artinya Istana Keselamatan. Tidak diketahui secara pasti kapan
klenteng tersebut didirikannya, hanya saja diketahui bahwa pemugaran
telah dilakukan pada tahun 1885. Tradisi-tradisi Implek, Cap Go Meh,
Pek Chun, dll masih mereka selenggarakan di klenteng hingga
sekarang.
12 Wawancara dengan Heru Wijayanto (Ketua Pengurus Tempat Ibadah Tridarma
Yayasan Klenteng Po An Thian Pekalongan) pada bulan Juni 2015.
13 Digambarkan oleh Heru bahwa pada masa itu tidak ada orang Tionghoa yang kaya.

41

Di era orde baru, posisi etnis Tionghoa menjadi sulit ketika pada
tahun 1967 muncul Impres 14 tahun 1967 tentang Adat Istiadat dan
Kepercayaan Cina. Impres
14/67 ini walaupun tidak secara
eksplisit
melarang
orang
Tionghoa memeluk agama
leluhurnya
namun
dalam
praktek
berdampak
pada
pelarangan semua agama yang
berasal dari Cina14. Pelarangan
Keterlibatan jaringan Islam tradisional dalam
ini disebabkan karena pada
ritual Pek Chun
tahun 1967, gerakan anti
komunis menguat. Pengaruh yang kuat dirasakan masyarakat etnis
Tionghoa dalam pelaksanaan ibadah di Klenteng, mengembangkan
sekolah Tionghoa, menggunakan bahasa Cina, menggunakan nama
Cina, adanya kesulitan untuk menikah, tidak bisa menjadi PNS atau
Polisi atau tentara, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Beberapa
sekolahan Tionghoa dalam berbagai tingkat SD, SMP, dan SMA di
tutup dan diambil alih pengelolaannya menjadi sekolah Negeri.
Di era Presiden Soeharto, dengan tidak diakuinya klenteng sebagai
agama membawa kesulitan bagi mereka untuk mengurus KTP
utamanya karena adanya keharusan mengisi kolom agama. Untuk
mengatasi ini sekitar tahun 1968 masyarakat etnis keturunan Tionghoa
yang kebanyakan beragama Konghucu membentuk Majelis Agama
Konghucu Indonesia (MAKIN) ditingkat daerah dan ditingkat Pusat
membentuk Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN).
Dalam Impres 14 tahun 1967 tentang Adat Istiadat dan Kepercayaan Cina, ada
beberapa hal pokok yang diatur diantaranya yaitu: PERTAMA, Tanpa mengurangi
jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina
yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya,
pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau
perorangan; KEDUA, Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan
secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan
keluarga; KETIGA, Penentuan katagori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan
cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri Agama
setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM).

14

42

Pembentukan Makin dan Matakin ini dimaksudkan agar ada
pengakuan dari pemerintah. Tetapi ternyata pemerintah tidak
mensahkan Konghucu menjadi sebuah agama bahkan kemudian di
bubarkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Komunitas Klenteng kemudian mendirikan Tridarma pada tahun
1969 untuk menaungi tiga ajaran/keyakinan yang ada di Klenteng yaitu
Tao, Budha dan Konghucu. Tridarma berdiri secara serentak dibanyak
klenteng di Indonesia yang kemudian terciptalah PITD (Perhimpunan
Tempat Ibadah Tridarma). Dan sebagai usaha lanjutan agar dapat
memperoleh pengakuan dari pemerintah orde baru dan
menyelamatkan Klenteng dari penutupan/pelarangan pemerintah,
PITD kemudian masuk menjadi aliran dalam Agama Budha yang telah
diakui oleh Pemerintah. Masyarakat Klentengpun kemudian
mencantumkan agama Budha dalam KTP mereka. Lebih lanjut agar
keberadaan Klenteng bisa dipertahankan maka Perhimpunan Tempat
Ibadah Tridarma (PTITD) pun menginduk pada Walubi (Perhimpunan
Umat Budha Indonesia) yang telah diakui oleh pemerintah sebagai
agama resmi.
Berbagai kesulitan diatas dan adanya kebutuhan akan
perlindungan politik maka banyak warga Tionghoa berpindah agama
menjadi Kristen, Perpindahan agama ini berakibat lanjut pada
berkurangnya secara signifikan jumlah warga Tionghoa yang masih
beribadah di Klenteng. Pada tahun 2015 jumlah warga Tionghoa yang
masih beribadah di Kelenteng itu tinggal 10% saja bahkan kurang dari
itu.15 Dilain pihak usaha untuk menyelamatkan keberadaan Klenteng
sebagai tempat ibadah ternyata tidak terbebas dari konflik perpecahan
internal terutama berkenaan dengan perebutan kepemilikan asset.16
Perpecahan itu muncul dipermukaan dalam berbagai wujud seperti
umat Tridarma tidak ada yang hadir dalam perayaan Pehcun
(konghucu). Begitu juga ketika ada perayaan yang diselenggarakan oleh
15 Wawancara dengan Herman Mulyanto selaku Pengurus Makin (Majelis Konghucu
Indonesia) pada bulan Juni 2015.
16 Wawancara dengan Kyai Marzuki pada bulan Juni 2015.

43

Tridarma, seperti ketika peringatan hari renovasi Klenteng yang ke 130
tahun. Umat Konghucu dan Tao tidak datang, hanya pandita Konghucu
beserta anak dan Istri yang datang untuk bersembahyang dan tidak ikut
dalam rangkaian acara yang disusun oleh Tridharma.
Komunitas Kampung Arab, di Pekalongan
Kampung Arab terletak disebelah Timur Pecinan, berada dalam
wilayah administrasi tiga kelurahan di Kecamatan Pekalongan Timur,
yaitu Klego, Krapyak, dan Sugih Waras. Dari tiga kelurahan ini,
keberadaan komunitas keturanan Arab terbesar ada di Kelurahan Sugih
Waras, dan walau mayoritas di kelurahan ini adalah orang Arab,
namun mereka juga tinggal berdampingan dengan masyarakat pribumi.
Perlu di catat bahwa Keturunan Arab memiliki kecenderungan tinggal
di Kampung Arab. Hanya segelintir keturunan Arab yang tinggal di
luar tiga kelurahan ini atau kecamatan Pekalongan Timur.
Memasuki kampung Arab suasana Islami sangat terasa kuat. Masjid
Jami, salah satu masjid tua di Pekalongan terletak disini. Toko-toko
Arab yang menjual tekstil, menjual baju-baju muslimin, parfum kas
Timur Tengah, souvenir haji dengan mudah kita jumpai di kampung
Arab ini. Demikian juga restoran yang menjual nasi kebuli, kebab, sate
kambing dan berbagai masakan khas timur tengah ada disini.
Dikampung ini juga terdapat bangunan fisik dari lembaga-lembaga,
sekolah-sekolahan, dan rumah sakit Islam milik Al-Irsyad yang
sebagian besar pengelolanya adalah orang-orang keturunan Arab.
Menambah suasana islami, dikampung arab ini juga terdapat pondok
pesantren Al-Hadi yang di kelola oleh orang-orang Arab dan
merupakan salah satu dari lima poros utama perkembangan Syiah di
Indonesia.
Ulama Arab yang ada di Indonesia ada dua golongan. Golongan
pertama yaitu Habaib (kata majemuk dari Habib) atau Shyaid yang
merupakan keturunan dari Nabi. Habaib di Pekalongan mayoritas

44

adalah keturuan dari Syaid Ali Kumaidi, dan pada umumnya mereka
ini keturuan ke 36 sampai ke 42 dari Nabi.17
Dari golongan Habaib juga terbagi dalam dua kelompok yang
memiliki paham ke Islaman yang berbeda. Kelompok yang pertama
adalah habaib yang menganut paham Suni, dan kelompok yang kedua
adalah habaib yang menganut pemahaman Syiah. Kedua kelompok ini
sebenarnya memiliki budaya yang sama seperti budaya Haul, Ziarah
Kubur, Tahlilan,dll. Perbedaan yang paling utama terkait dengan
pengakuan terhadap kalifahnya. Kalau Suni atau yang di Indonesia
kelompok terbesanya adalah Nahdlatul Ulama, ada empat kalifah yang
diakui yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sedangkan ke kalifahan
Syiah hanya mengakui Ali.
Dengan adanya persamaan dan perbedaan antara Suni dan Syiah,
di Pekalongan antara tokoh agamanya ada yang bisa berrelasi dengan
baik, tetapi ada yang menutup diri. Sedangkan relasi antara Syiah
dengan kelompok Al-Irzad tidak mungkin terjadi, karena kelompok
Syiah dipandang sebagai aliran sesat.
Perlu dikemukakan bahwa keturanan Arab di Pekalongan tidak
hanya dari golongan shyaid atau habaib, namun juga banyak yang
merupakan keturunan non habaib. Kebanyakan dari mereka yang
bukan habaib ini berafiliasi pada Al-Irsyad, yang merupakan gerakan
pembaharuan Islam dimana kelompok ini tidak senangan terhadap
tradisi mengagungkan keturunan Nabi yang dijaga kuat oleh golongan
Habaib.

Perkembangan Islam di Pekalongan
Seperti halnya di kebanyakan kantong-kantong Islam di pesisir
Utara pulau Jawa, Islam yang berkembang di Pekalongan adalah Islam
tradsional. Islam pada awalnya masuk ke Pekalongan dibawa oleh para

17

Wawancara dengan Habib Ridho pada bulan Mei 2015.

45

pedagang dari Jazirah Arab yang melewati India, mereka singgah.
kawin dan menetap di Pekalongan.
Proses masuknya Islam yang
dibawa oleh kaum awam, dan
bukan oleh guru dakwah atau
ahli agama semcam itu,
menjadikan Islam
yang
berkembang
cenderung
bersifat lentur, adaptif dan
akomodatif,
bercampur
Makam Habib Ahmad Bin Abdullah Bin
dengan tradisi Hindu, atau pun
Tholib Al Athas di Sapuro Pekalongan
tradisi lokal yang hidup
dikalangan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain proses
Islamisasi Jawa di Pekalongan melalui praktek keseharian secara alami
terjadi bersamaan dengan Jawanisasi Islam, Islam yang di Jawakan.
(Pradjarta Dirdjosanjoto hal 24) Dalam buku Dhofier tentang Tradisi
Pesantren, Pekalongan tidak memiliki pesantren besar yang masuk
kedalam jaringan pesantren-pesantren besar di Jawa. Di Jawa jaringan
pesantren besar itu meliputi: Pesantren Tambakberas, Pesantren
Gedang, Pesantren Keras, Pesantren Sewulan, Pesantren Tebuireng,
Pesantren
Denanyar,
Pesantren
Peterongan,
Pesantren
Maskumambang, Pesantren Seblak, Pesantren Cukir, Pesantren
Lirboyo, Pesantren Paculgowang, Pesantren Singosari, dan Pesantren
Tremas.
Menurut data yang dihimpun oleh Dhofier dari Van der Chys,
“Bijdragen tot de Geschiedenis van het Inlandsch Onderwijs in
Nerderlandsch- Indie, in Tijdschrischrift voor Indische Taal”, tahun
1864, tidak tercatat adanya lembaga pendidikan Islam tradisional
(pesantren) di Pekalongan. Menurut data tersebut, kota-kota di Jawa
Tengah, yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional

46

adalah Cirebon, Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, Kedu, dan
Jepara. 18
Perlu di catat bahwa NU sebagai sebagai wadah organisasi
keagamaan Islam tradisional terbesar di Inosesia telah menancapkan
kakinya di Pekalongan sejak masa-masa awal kelahiran organisasi tsb.
Bahkan menurut cerita lokal yang berkembang dikalangan para warga
NU di Pekalongan bahwa terdapat keterlibatan tokoh-tokoh lokal
Pekalongan didalam proses kelahiran NU. Menurut ceritanya19 KH
Hasyim Al Asy'ari, tokoh pendiri NU, sebelum pembentukan NU Kyai
Hasyim mendapat petunjuk untuk melakukan silahturami pada Habib
Hasyim20 yang tinggal di Pekalongan dan meminta masukan untuk
pembentukan NU ini. Oleh karena itu lah dalam cerita lokal
selanjutnya ada cerita bahwa konon paska silahturami tersebut,
Muktamar NU pertama dilakukan di Pekalongan. 21 Namun menurut
jurnal Risalah Edisi 55/ Tahun 2015 yang di terbitkan oleh PBNU
(Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Muktamar NU pertama pada
tanggal 21 Oktober 1926 diselenggarakan di Kota Surabaya. Muktamar
NU di Pekalongan terjadi pada tahun 1930 atau pada Muktamar NU ke
V.
Di Pekalongan kelompok Aliran Rifa‟iyah merupakan kelompok
yang cukup besar dan merupakan pusat dari penyebaran ajaran
keberbagai daerah lainnya. Rifa‟iyah merupakan kelompok Islam yang
mengikuti ajaran dari Kyai Ahmad Rifa‟i22. Aliran Rifa‟iyah ini
Lihat Dhofier, 1982, hal 35.
Wawancara dengan Mas Fauzin, Kyai Zakaria dan Kyai Marzuqi, di bulan November
2015.
20 Habib Hasyim adalah kakek dari Habib Luthfi bin Yahya salah seorang tokoh NU
Jawa Tengah yang tinggal dan berasal dari Pekalongan.
21 Dalam versi yang lain Muktamar NU pertama berlangsung di Surabaya.
22 Dalam wawancara dengan Agus Syaefudin, Ketua Harian DPD (Dewan Pengurus
Daerah) Kota Pekalongan didapat informasi tentang Kyai Ahmad Rifa‟i. Kyai Ahmad
Rifa‟i merupakan seorang ulama di abad ke 19. Beliau berasal dari Kaliwungu
Kabupaten Kendal. Setelah pulang dari menimba ilmu agama Islam di Mekah bersama
Kyai Kholil Bangkalan (guru dari KH. Hasyim Asy'ari pendiri NU dan Ahmad Dahlan
pendiri Muhamadiyah) dan Kyai Nawawi dari Batang, Kyai Ahmad Rifa‟i mengajarkan
kepada umatnya dengan cara yang berbeda untuk memudahkan pemahaman orang
18
19

47

mengacu pada kitab Tarojumah23 yang ditulis oleh Kyai Rifa‟i dalam
bahasa jawa. Saat ini Aliran Rifa‟iyah memiliki tempat pendidikan
tradisional yang berupa pesantren maupun moderen seperti Paud, TK
Rifa‟iyah, MI Rifa‟iyah, Mts Rifa‟iyah, Aliyah Rifa‟iyah, dan SMA
Rifa‟iyah. Pesantren Rifa‟iyah sebagian besar ada di Kabupaten
Pekalongan, khususnya di daerah Kedungwuni, Paesan dan Kesesi.
Khusus di daerah Kedungwuni, terdapat Pesantren Anirsad yang
menjadi pusat awal penyebaran Rifa‟iyah di Pekalongan. Sedangkan
kantong terbesar kelompok ini ada di Paesan24.
Dalam perjalanan waktu berbagai aliran dan organisasi keagamaan
Islam modern juga berkembang di Pekalongan. Organisasi Serikat
Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi SI sudah ada di
Pekalongan yaitu sejak tahun 1913 atau satu tahun setelah SDI berdiri
di Solo oleh Haji Samanhudi. Di bawah kepemimpinan HOS
jawa. Cara yang digunakan adalah dengan penyampaian dengan bahasa jawa tetapi
secara fiqih, Touhid dan Sufinya. Pengikut ajaran dari Kyai Ahmad Rifa‟i kemudian
disebut Aliran Rifa‟iyah. Perbedaan cara penyampaian dapat dilihat dari contoh seperti
Kyai Rifa‟i menyampaikan bahwa rukun Islam ada satu, sedangkan kalau NU ada lima.
Satu rukun Islam ini adalah mengucapkan dua kalimat shahadat yang berbunyi
Waashadu
anna
Muhammadarrosulullah‟.
Dengan
„Ashadualailahaillallah
mengucapkan dua kalimat shahadat tersebut dan disaksikan oleh dua orang ahli yang
bersikap adil maka seseorang sudah tunduk pada hukum Islam. Lalu orang yang telah
tunduk pada hukum Islam atau menjadi Muslim, wajib melaksanakan 4 kewajiban
yaitu menjalankan Sholat, Zakat, Puasa di bulan Rahmadan, dan berangkat Haji bila
mampu. Jadi menurut pengikut Kyai Rifa‟i, rukunnya ada satu tetapi kewajiban yang
mengikuti ada empat.
23 Kitab Tarojumah merupakan hasil tulisan dari Kyai Rifa‟i. Kitab ini berbahasa jawa
kromo, tetapi kitab yang beredar di luar jawa (Menado khususnya) menggunakan
bahasa Melayu. Penggunaan bahasa Melayu terjadi ketika Kyai Rifa‟i diasingkan di
Menado. Kitabnya sama Cuma berbeda bahasa. Kitab Tarojumah ini berisi nadhom
(syair-syair) disusun dengan referensi dari Al‟quran, Hadis, dan kitab-kitab fiqih dari
para ulama salaf. Kitab ini menjelaskan 3 perkara yaitu usuludin (keimanan), fiqih
(ibadah) dan tasawuf (metode). Dalam fiqih terdiri dari dua, yaitu fiqih muamalah
(dengan sesama manusia) dan fiqih ibadah (dengan Tuhan). Kitab ini tidak di jual
bebas, karena untuk mempelajari kitab ini perlu pendampingan dari seorang guru.
Aliran Rifa‟iyah meyakini bahwa jika mempelajari kitab ini tanpa pendampingan
seorang guru, walau berbahasa jawa apa yang di pelajari tidak muthasil (tidak
utuh/menyatu antara teks dan makna). Menurut Mas Agus, dalam kitab yang berbahasa
jawa ini banyak kata-kata yang mengandung makna-makna yang khusus.
24 Wawancara dengan Agus pada bulan Juni 2015.

48

Tjokroaminoto, SDI berkembang di Pekalongan sebagai sebuah gerakan
pembaharuhan Islam yang memilih bidang politik sebagai basis
kegiatannya. Pada tahun 1927 SI menyelenggarakan Konggres AlIslam ke-8 di Pekalongan. Dalam konggres tersebut Muhammadiayah
dan NU secara bersama-sama menolak terjemahan Al-Quran yang di
lakukan HOS Tjokoaminto.
Sementara Al-Irsyad berkembang di Pekalongan sejak tahun 1917.
Berkembangnya Al-Irsyad di Pekalongan dilakukan kebanyakan oleh
orang arab dari golongan non Shyaid25. Berkembang setelah pada
kisaran tahun 1913 di Jakarta sekelompok orang Arab keluar dari
Jamiat Kheir dan mendirikan Al-Irsyad. Al-Irsyad yang pada tahun
awalnya berkembang hanya di Jakarta dengan dibukanya sekolah guru
serta sekolah-sekolah dasar, menengah dan atas. Kemudian mulai
berkembang ke daerah yang banyak terdapat orang-orang Arab seperti
Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang.
Perkembangan Al-Irsyad di Pekalongan tidak lepas dari upaya tokoh
pendiri Al-Irsyad yaitu Syaikh Ahmad Soorkatti yang pernah menetap
beberapa tahun di Pekalongan sebelum kembali ke Jakarta hingga akhir
hayatnya. Sejarawan Deliar Noer menyatakan bahwa Syaikh Ahmad
Surkati memainkan peran penting sebagai mufti di Indonesia. Begitu
pula sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut Ahmad Sukarti sebagai
seorang pembaharu Islam di Indonesia. Pijper juga menyebut Al-Irsyad
sebagai gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan
reformasi di Mesir. Pada masa ini Lembaga pendidikan Al-Irsyad
memberi warna pada cara pendidikan moderen dan memberikan warna
fundamentalis menurut beberapa ahli sejarah lainnya.
Muhamadiyah yang merupakan kelompok puritan dan modern
mulai berkembang di Pekalongan sejak tahun 1923.26 Gerakan yang
disemangati oleh pembaharuan dan pemurnian Islam ini di Pekalongan
banyak bergerak di bidang pendidikan/persekolahan, panti asuhan dan
Wawancara dengan Habib Rido pada bulan Mei 2015.
Secara resmi pengurus pertama Muhamadiyah Cabang Pekalongan diketuai oleh
Sutan Mansyur dan disyahkan tanggal 1 Juli 1928.
25
26

49

rumah sakit. Di Pekalongan gerakan Muhamadiyah berkembang
terutama di daerah Pekajangan yang merupakan salah satu pusat
Industri tekstil di pekalongan.
Semantara itu aliran Syi‟ah mulai berkembang di Pekalongan pada
sekitar tahun 1989 setelah Ustadz Ahmad Baraghbah mendirikan
pesantren Al Hadi di kampung Arab. Di Pekalongan, perkembangan
komunitas Syi‟ah di Pekalongan kurang menggembirakan bahkan
mendapat penolakan dan tekanan. Pada tahun 1999 pada saat pesantren
Al Hadi mengembangkan sayapnya dengan mendirikan pondok
pesantren di desa Brokoh, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten
Batang. Pesantren baru ini dibubarkan secara paksa oleh gerakan massa
karena dituduh menyebarkan ajaran yang tidak lazim dan bertentang
dengan ajaran Islam.
Di era reformasi, organisasi-organisasi Islam baru juga mulai
berkembang di Pekalongan. Seperti Organisasi FPI (Fron Pembela
Islam) yang mulai berdiri pada tahun 2000. Organisasi ini mendapat
dukungan oleh 17 elemen organisasi masyarakat dan partai politik27.
Salah satu tokoh yang mengemuka di Pekalongan adalah Said Sungkar.
Said Sungkar merupakan salah satu tokoh penting yang menjabat
sebagai ketua Dewan Syuro FPI Pekalongan. Dia juga merupakan salah
satu orang penting dalam gerakan Islam di Indonesia. Dia diduga
memiliki kedekatan dengan jaringan Jamaah Islamiyah Indonesia dan
memiliki keterkaitan dengan kasus kerusuhan Temanggung, meski
tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas perannya itu.

Wong Kaji dan Pronggok: pertumbuhan kelas menengah
Islam di Pekalongan
Selain kota santri, Pekalongan dikenal dengan kota batik. Kalau
kita berkunjung ke Pekalongan suasana yang menunjukkan hal
tersebut mulai tampak ketika memasuki kota Pekalongan. Jika dari
27

Studi Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, 2012, halaman 59-63

50

arah Semarang kita akan menemukan baliho-baliho berukuran besar
mengiklankan produk batik. Selain itu kita mendapati pasar atau tokotoko grosir batik. Bila dari arah Jakarta di kanan jalan setelah pasar
Wiradesa kita dapat jumpai
pasar
batik
yaitu
IBS
(Internasional Batik Center).
Jalan-jalan didalam kota pun
sering
dipadati
banyak
pengendara motor atau becak
yang lalu lalang membawa mori
atau kain batik yang telah jadi
Industri batik tradisional rumahan
untuk dibawa ke pasar. Jika
lebih masuk kedalam kampungkampung akan kita temukan pemandangan yang khas kampong batik:
rumah-rumah pengrajin batik, yang sedang melakuan kegiatan
membatik tulis dan cap, maupun yang menjahit bahan batik menjadi
pakaian siap pakai. Di lingkungan rumah-rumah akan nampak orang
yang lalu lalang melakukan aktivitas perbatikan seperti menstempel
kain, menyelup kain untuk memberi warna, mencuci, dan menjemur.
Didekat rumah-rumah ini akan tampak tiang-tiang bambu tempat
menjemur kain yang telah selesai diberi warna dan di cuci.
Kegiatan perdagangan dan industri batik tradisional telah
berlangsung cukup lama di Pekalongan.28 Industri batik tradisional
tersebut merupakan industri rumah tangga yang tersebar di kampungkampung. Bahan bakunya terutama kain mori dan gundo rukem di
diimport. Itu sebabnya sebagaimana telah disinggung terdahulu pada
tahun 1850 an pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan
Pekalongan sebagai pelabuhan import tebatas. Apabila para pengrajin
batik tradisional kebanyakan adalah penduduk pribumi Jawa, maka
para pemasok bahan baku dan juga pemasaran berada di tangan para
pedagang Cina dan Arab.

Beberapa penulis memperkirakan industry batik sudah ada sejak awal abad XVI; M.
Dirhamsyah, 2014
28

51

Batik tradisional, merupakan batik yang dihasilkan melalui proses
manual tanpa mesin Batik jenis tulis dihasilkan melalui kerajinan
tangan dengan menggambar ornament-ornament yang dikehendaki
dengan dengan lilin memakai canting pada selembar kain mori. Baru
sesudahnya proses memberi warna dilakukan. Itu sebabnya satu lembar
kain membutuhkan waktu pengerjaan 4-6 bulan.
Perkembangan batik tradisional ini semakin meningkat di sekitar
tahun 1940, dengan dipakainya teknik cap. Tehnik membatik ini
menggunakan alat sederhana untuk menempelkan ornamen-ornamen
pada kain. Pengerjaan dengan tehnik ini lebih cepat dari pada cara
membatik dengan canting karena ornamen sudah siap. Sehingga
dengan teknik cap kain batik yang dapat dihasilkan sekitar 100 potong
perminggu29.
Usaha industri rumah tangga batik tradisional ini dikelola dengan
managemen “satu dompet” yang artinya tidak ada pemisahan keuangan
antara usaha dan pengeluaran rumah tangga (Amalinda Savirani, 2008).
Dalam situasi itu industri tradisional yang berbasis rumah tangga ini
cenderung untuk tetap menjadi industri kecil-kecil. Studi Lance Castle
tentang pengusaha muslim pribumi dilingkungan industry rokok di
Kudus menemukan adanya kecenderungan dari pengusaha mulsim
untuk memecah perusahaannya untuk dibagikan kepada anak-anaknya
dengan akibat mengecilnya secara terus manerus daya perusahaan
pribumi muslim.30
Dalam penelitan di Pekalongan diperoleh informasi bahwa strategi
untuk memecah perusahaan itu sebenarnya juga dilakukan dengan
maksud justru menjaga agar perusahaannya tetap kecil (namun banyak)
untuk menghindari ketentuan hukum yang rumit, antara lain
menyangkut perpajakan, perijinan, perburuhan dsb bila statusnya
menjadi perusahaan besar. Sebelum mereka mampu memenuhi
Baca artikel berjudul “Kota Batik di Pekalongan, Bukan Jogja eh bukan Solo” yang
dimuat diweb LKiS oleh Linda (Staf peneliti LKiS).
30 Lihat buku Castles, Lance, “Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa:
Industri Rokok Kudus”, Sinar Harapan, 1982.
29

52

persyaratan-persyaratan yang ada mereka merasa lebih nyaman
menjadi perusahaan kecil.31 Menurut Arbi Sanit perusahaanperusahaan batik tradisional di Pekalongan itu memiliki sifat
kemandirian yang tinggi. 32
Usaha batik tradisional yang berbasis rumah tangga dalam istilah
lokal dinamai Pranggok. Pranggok merupakan istilah bagi rumah
usaha batik tradisional baik itu batik tulis maupun batik cap. Para
pengusaha pranggok bisa memiliki 1-5 pranggok. Tiap pranggok
memiliki seorang atau lebih mandor yang bertugas mengawasi dan
mengatur para pegawai yang berjumlah sekitar 50-100 orang, selain
juga mengatur jalannya produksi.
Semakin banyaknya pengusaha pronggok yang berhasil
mengembangkan usahanya sehingga memiliki modal dan relative kaya
sehingga berpeluang untuk naik haji nampaknya merupakan salah satu
indikasi berkembangnya kelas menengah dikalangan pengrajin batik
tradisional. Mereka itu dilingkungan masyarakat Pekalongan dikenal
dengan sebutan „wong kaji‟ walaupun tidak semua mereka telah naik
haji ke Mekah.
Perkembangan usaha perbatikan tradisional itu kemudian
meningkat lagi di era tahun 1950 dengan dikeluarkannya “program
benteng”33 oleh Soekarno untuk mengembangkan usaha perekonomian
pribumi. Sayangnya kebijakan ekonomi ini hanya berlangsung hingga
tahun 1957. Untuk menunjang infrastruktur Batik yang menjadi ikon
penting pekalongan, sejak tahun 1960 koperasi batik dibawah
Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP) diberi hak
monopoli impor kapas dan kain putih selain memproduksi benang serta

Hasil wawancara dengan Kartolo pada bulan November 2015.
Lihat Arbi Sanit dalam bukunya Samsuddin Haris, tahun 1999, hal 28
33 Program Benteng adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia
bulan April 1950 dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Tujuannya adalah membina
pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia "pribumi" (dalam arti "non-Tionghoa).
31
32

53

kain mori bersama pendistribusiannya untuk kota tersebut dan wilayah
pedalaman.34
Namun walaupun demikian para pengusaha batik tradisional juga
di perhadapkan pada proses konglomerasi, dengan jaringan ekonomi
kuat dari para pemilik pabrik. Ketimpangan dalam persaingan juga
dirasakan ketika order-order dalam skala besar seperti batik seragam
PNS (korpri) pada tahun 1995 dari pemerintah diberikan kepada
perusahaan batik printing, sehingga semakin berkurang daya tahan dari
pengusaha tradisional.35
Perlu dicatat bahwa industri Kota Pekalongan pada kisaran tahun
1995 dikuasai oleh usaha kecil. Ini dapat dilihat dari data tahun 1995
bahwa terdapat 22 buah industri batik moderen yang menampung
sekitar 5.849 orang tenaga kerja, yang jika dibandingkan dengan
industri kecil yang berjumlah 3.884 buah yang memberi lapangan kerja
bagi 29.802 orang. (Arbi Sanit, 1998)
Sebagian pengusaha batik tradisional dapat bertahan, dengan cara
menjadi sub perusahaan dari para konglomerat atau mencari pasar yang
berbeda seperti pasar diluar negeri. Akan tetapi banyak yang harus
gulung tikar karena tidak mampu untuk bersaing dipasar batik lokal.
Tercatat 50 industri batik tradisional pada tahun 1995 gulung tikar,
yang berakibat pada meningkatnya jumlah pengangguaran. PT
Panisatex yang memiliki 245 orang karyawan terpaksa merumahkan
karyawannya selama 1 tahun. PHK juga dilakukan oleh tiga perusahaan
yang memilki 518 orang pekerja.
Kondisi persaingan ini juga mempengaruhi relasi antar etnis yang
kemudian menjadi salah satu akar berbagai konflik kepentingan dan
perebutan penguasaan sumber ekonomi. Persaiangan ini juga meluas
menjadi persoalan etnis, dengan adanya kebijakan pemerintah diatas
yang dianggap oleh para pengerajin tradisional lebih memihak etnis
China yang memiliki modal besar. Sebenarnya kelembagaan industri
34
35

Lihat Arbi Sanit, 1999, hal 18.
Arbi Sanit, 1999, hal 26.

54

batik cukup kuat dalam hal relasi antar etnis. Etnis Tionghoa (China)
menjadi pemilik toko bahan baku kain/pewarna, etnis arab mengambil
pembagian produksi dan marketing, dan etnis jawa sebagai penggarap
(buruh) dan produsen. Relasi antar etnis menjadi terganggu, karena
kolomerasi yang begitu kuat dari industri modern.
Kejatuhan pengusaha-pengusaha batik tradisional ini kemudian
ikut memicu timbulnya ketegangan-ketegangan sosial hingga
kemudian terjadi beberapa kali kerusuhan di Pekalongan antara tahun
1997-1998 yang walau tidak terkait persoalan antar perusaahn
tradisional dan modern, namun kalau milihat korban dari etnis cina
dan fasilitas negara disetiap kerusuhan dapat diduga bahwa salah satu
faktor yang mendukung terjadi kerusuhan adalah karena kesenjangan
ekonomi, pengangguran, dan menurunnya industri batik tradisional.
Namun walaupun demikian, tren batik tidak selalu menurun. Tern
batik mulai naik kembali setelah di nobatkannya batik sebagai warisan
budaya dunia pada tahun 2010 oleh UNESCO36, kemudian juga ada
usaha dari pemerintah daerah pekalongan untuk menaikkan tren batik
ini melalui berbagai kegiatan vestival, karnaval, pembukaan musium,
dll. Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro,
Kecil dan Menenngah (UMKM) Kota Pekalongan, menunjukkan,
hingga tahun 2012, jumlah industri batik didaerah ini sebanyak 634
unit usaha, dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, juga
terdapat ratusan industri lain yang mendukung industri batik, antara
lain industri tenun, aksesori tekstil, dan bordir.

Dinamika sosial politik di era reformasi di Pekalongan
Di kota Pekalongan dinamika politik pada awal era reformasi
ditandai oleh gejala berikut: (1) ketegangan dan konflik yang
diakibatkan oleh liberalisasi politik; (2) dampak dari pembangunan

36

Baca artikel Kompas, “Dari Batik Pekalongan Mendunia”, Rabu, 17 Juli 2013.

55

daerah yang tidak merata; dan (3) koflik kepentingan sebagai dampak
modernisasi.
Dampak dari liberalisasi politik
Untuk waktu yang cukup lama sejak masa Orde Baru, pemilu di
Pekalongan selalu dimenangkan oleh PPP sebagai representasi partaipartai Islam. Hanya sekali saja di era Orde Baru tersebut golkar
memenangkannya yaitu pada perolehan kursi DPRD II pada tahun
1987. Kekalahan PPP tersebut merupakan dampak dari seruan NU di
tahun 1984 untuk kembali ke Khittah yang artinya kembali kepada
hakekad NU sebagai lembaga atau organisasi keagamaan (Ormas)
seperti saat kalahirannya di tahun 1926, bukan atau tidak lagi sebagai
organisasi politik. Perlu dicatat bahwa Pada tahun 1952 NU telah
memutuskan untuk masuk ke ranah politik praktis, bahkan pada
Pemilu 1955 menjadi partai politik peserta pamilu dan menang.37
Salah satu arti kembali ke kittah adalah bahwa warga NU bebas
untuk memilih partai politik yang dikehendaki. Akibatnya seruan
kembali ke Khittah merupakan ancaman bagi kekuatan PPP. Banyak
kyai yang loyal ke PPP menentang keras seruan kembali ke Kittah. Di
lain pihak kebebasan ini mengakibatkan banyak kyai atau habaib yang
memiliki pengaruh dirangkul oleh Golkar. Baru pada pemilu 1992,
PPP kembali memenangkan pemilu.
Pada masa Orde Baru ketegangan antara PPP dan Golkar dari
pemilu ke pemilu cenderung semakin meningkat.38 Di daerah-daerah
basis PPP tersebut masyarakat memiliki kecenderungan mengambil
posisi berhadapan dengan pemerintah. Konon tidak ada orang yang
berani memakai kaos selain PPP di wilayah ini. Makanan Bakso, kalau
mienya dibiarkan kuning tidak akan laris, sehingga mienya akan diberi
warna hijau. Toko-toko di sepanjang jalan Urip Sumoharjo hingga ke
Baca Pradjarta, 1994, hal 160.
Ketengangan tersebut sangat di rasakan terutama di daerah basis PPP seperti Jenggot,
Buaran, Banyuurip Alit, Banyuurip Ageng, Ponolawen, Pringlangu, Simbangkulon dan
Kelurahan Kradenan di wilayah kecamatan Pekalongan Selatan, dan memasuki Desa
Kertijayan hingga ke Kedungwuni atau wilayah Kabupaten Pekalongan.
37
38

56

Kedungwuni semuanya di cat hijau, termasuk toko milik warga etnis
Tionghoa. Demikian juga dengan Pegawai Negeri Sipil yang tinggal di
daerah-daerah ini, mereka harus menyembunyikan identitas
kepegawainegriannya agar aman. Salah seorang sumber informasi
menceriterakan bahwa ia sebagai seorang PNS yang tinggal di Buaran
bila hendak pergi kekantor dia harus memakai pakaian biasa terlebih
dahulu dan menggantinya dengan seragam Korpri di Pom Bensin.39
Menjelang Pemilu 1997, Kota Pekalongan diwarnai bentrok massa
antara massa pendukung PPP dan para pendukung Golkar. Peristiwa
bentrok massa ini terkait penolakan massa pendukung PPP terhadap
upaya-upaya Golkar dalam rangka mendongkrak suara perolehan pada
Pemilu 1997. Salah satu cara Golkar mendongkrak suara yaitu dengan
mengadakan tabliq akbar yang menghadirkan Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana (Ketua DPP Golkar), KH Zaenuddin MZ, Rhoma Irama dan
Ustad Choril Amar. Panggung tabliq akbar yang dipersiapkan untuk
mereka dimuka Pesantren Alquran menjadi sasaran amuk massa hingga
hangus dibakar. Hal ini dipicu oleh penurunan bendera OPP PPP
disekitar pondok pesantren Alquran pada tanggal 24 Maret 1997, sehari
sebelum tabliq akbar di selenggarakan. Kerusuhan ini berlangsung tiga
hari dan meluas hingga ke pusat pertokoan hingga terjadi penjarahan,
perusakan dan mengeluarkan barang-barang dari toko untuk di bakar
di jalan. 40
Pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu multi partai pertama di
era reformasi, pemilu di Kota Pekalongan diwarnai bentrok antara
massa pendukung PPP dan massa pendukung PKB. Peristiwa bentrok
massa itu terjadi di wilayah kelurahan Jenggot, Buaran, Simbang,
Banyu Urip, dan Pringlangu. Peristiwa saling lempar batu, merusak
rumah-rumah penduduk, penjarahan massa terhadap toko-toko Cina
sempat terjadi kala itu. Karena terbelahnya pemilih Islam dalam
mendukung PPP dan PKB, maka PDIP justru bisa meraih kemenangan
Wawancara dengan Marzuki, tanggal 2 Juli 2015.
Analisa terhadap kasus kerusuhan politik ini lihat artikel Arbi Sanit dalam bukunya
Samsuddin Haris, tahun 1999, hal 12-17.
39

40

57

di Kota Pekalongan.
memudarnya loyalitas
didominasi oleh PPP,
pemilu. Pada Pemilu
Golkar.

Kemenangan PDIP ini bisa dilihat sebagai
aliran dilingkungan partai islam yang dulunya
diikuti dengan menguatnya pragmatism dalam
2004 Kota Pekalongan dimenangkan Partai

Selain berlakunya sistem multi partai yang menyebabkan
terbelahnya warga partai-partai yang telah mapan seperti dalam kasus
PPP dan PKB, dinamika politik di Pekalongan menjadi semakin
kompleks dengan diberlakukan pilkada langsung dalam pemilihan
kepala daerah. Dalam pilkada langsung para calon akan terdorong
untuk memiliki kedekatan langsung dengan para pemilih dengan atau
tanpa melalui jalur partai. Dalam hal ini kualitas calon, tim sukses dan
aktor-aktor politik didalamnya acap kali mengalahkan peran partaipartai pengusung.
Liberalisasi politik di Pekalongan nampak membawa perubahanperubahan aliansi politik baru yang tidak terkungkung pada kerangka
partai-partai yang telah mapan. Ini nampak dari adanya aktor-aktor
politik yang dengan mudah bisa berpindah dari satu partai ke partai
yang lain. Para calon tidak selalu mencari dukungan dalam pilkada dari
partai “asal”nya namun juga maju pilkada dengan menggunakan partai
politik lain sebagai kendaraannya.
Dampak Pembangunan Ekonomi
Potensi strategis yang dimiliki oleh Pekalongan untuk tumbuh
menjadi pusat perkembangan ekonomi regional mendapat dukungan
penuh dari Pemerintah Kota. Pembangunan infrastuktur ekonomi
mendapat perhatian. Disektor industri batik seperti yang telah di
uraikan diata