Pengadilan Agama Bulukumba dan hak-hak kaum perempuan paska perceraian

4. Pengadilan Agama Bulukumba dan hak-hak kaum perempuan paska perceraian

Di atas saya telah tunjukan bahwa Pengadilan Agama adalah sarana penting untuk menempuh proses perceraian di Bulukumba, sidang perceraian memberi kemudahan untuk ditempuh oleh kaum perempuan. Pengadilan Agama sendiri memainkan peran penting dalam melakukan pencatatan sipil dan memberi kaum perempuan dan anak- anaknya status perkawinan yang jelas sebagai bagian dari hak atas identitas hukum. Kemudahan akses ke Pengadilan Agama tidak secara otomatis sebanding lurus terhadap hak-hak paska perceraian juga sama mudahnya untuk diakses kaum perempuan. Seperti telah saya kemukakan di tempat lain, peran Pengadilan Agama Di atas saya telah tunjukan bahwa Pengadilan Agama adalah sarana penting untuk menempuh proses perceraian di Bulukumba, sidang perceraian memberi kemudahan untuk ditempuh oleh kaum perempuan. Pengadilan Agama sendiri memainkan peran penting dalam melakukan pencatatan sipil dan memberi kaum perempuan dan anak- anaknya status perkawinan yang jelas sebagai bagian dari hak atas identitas hukum. Kemudahan akses ke Pengadilan Agama tidak secara otomatis sebanding lurus terhadap hak-hak paska perceraian juga sama mudahnya untuk diakses kaum perempuan. Seperti telah saya kemukakan di tempat lain, peran Pengadilan Agama

Pengadilan Agama Bulukumba dalam menyediakan akses terhadap hak-hak paska perceraian.

Sedang menunggu di luar ruang sidang, Bulukumba

Fokus di sini adalah mengenai jumlah kasus paska perceraian yang telah dibawa ke muka Pengadilan dan alasan-alasan bagi kalangan perempuan untuk membawa atau tidak kasusnya ke Pengadilan. Maka dari itu, bagian ini menyuguhkan hasil penelitian tentang aksesibiltas kaum perempuan terhadap keadilan, bagian ini bukan untuk membahas analisa kasus-kasus hukum yang muncul paska terjadinya perceraian. Untuk memulai kajiaan, jumlah kasus paska perceraian yang telah dibawa ke Pengadilan sulit untuk diketemukan. Sebagian besar kasus yang berhubungan dengan segala hal paska perceraian sendiri ikut diajukan ke Pengadilan sebagai bagian dari, dan diajukan bersama, berkas kasus perceraian. Artinya, segala hal paska perceraian tadi tidak terdaftar sebagai berkas kasus paska perceraian terpisah sendiri

34 A.W. Bed er a d S.C. a Huis, Pluralit of arriage la a d arriage registratio for Musli s i I do esia: a plea for prag atis , Utrecht Law Review, 2010, 6 (2), 175–

191. http://hdl.handle.net/1887/15745.

ketika diajukan ke Pengadilan. Jika mengingat ini, maka dibutuhkan penelusurannya melalui buku daftar kasus perceraian di Pengadilan untuk memetakan kasus per kasus, apakah (untuk menjawab) klaim atas persoalan paska perceraian yang diajukan adalah bagian dari berkas permohonan perceraian. Itu sebabnya, kasus-kasus perceraian yang disidangkan di Pengadilan Agama Bulukumba juga mencakup klaim atas hak-hak paska perceraian pada tahun 2008 dan 2009, sebagaimana sebagai berikut:

4.1 Hak atas tunjangan Pertama dari keseluruhan, hak tunjangan dapat dibagi menjadi tiga bagian: nafkah untuk istri yang belum ditunaikan, biaya penghiburan ( mut’ah), dan biaya nafkah selama masa tunggu selama tiga bulan bagi istri (masa iddah) yang mana istri tidak diperbolehkan menikah guna memastikan apakah dia hamil atau tidak (nafkah iddah). Nafkah iddah sebenarnya merupakan hak istri untuk biaya hidup selama masa iddah berlangsung setelah jatuhnya talak suami. Selama tiga bulan, pernikahan sendiri masih bisa dilakukan rujuk tanpa perlu memperbarui akad nikah asalkan talak tadi adalah talak raj’i (talak yang dijatuhkan oleh suami yang belum untuk ketiga kali dan rujuk masih dalam tempo iddah). 35 Sebaliknya, menurut ketentuan hukum keluarga

Islam di Indonesia, semua perempuan yang dijatuhi talak ba'in, berarti si istri tidak memiliki hak untuk biaya nafkah dalam masa tunggu tiga bulan (berlaku untuk memastikan apakah seorang perempuan telah hamil atau tidak dengan mantan suaminya).

Menurut berkas yang terdaftar di Pengadilan Agama Bulukumba, pada tahun 2008 total ada 14 perempuan yang mengajukan klaim terkait hak-hak perceraian dari total 426 berkas kasus perceraian (3,3 persen). Bagaimanapun, prosentase ini lebih bisa diterima jika dibanding dengan pengajuan berkas berkaitan masalah hak-hak paska perceraian dalam sejumlah kasus Talak Cerai, karena dalam kasus Gugat Cerai pihak perempuan tidak memiliki hak menerima nafkah mut'ah dan nafkah iddah.

35 Talak ketiga yang dilakukan dalam pernikahan yang sama beradampak pada perceraian secara final.

Pada tahun 2009 ada 14 berkas Gugat Cerai, dibagi 81 kasus perceraian talak yang ada, lalu dikalikan dengan 100 persen, artinya, 17,3 persen perempuan mengajukan klaim hak-hak paska perceraian dalam kasus talak. Persentase perempuan mengajukan berkas gugatan atas hak-haknya paska perceraian di Pengadilan Agama pada tahun 2009 ada 3,1 persen dari total keseluruhan kasus perceraian dan 16,9 persen dari total kasus Cerai Talak.

Ketika gugatan hak-hak paska perceraian kepada pihak suami jika dibagi dalam gambar imajiner adalah sebagai berikut: pada tahun 2008 ada 12 kasus dan pada tahun 2009 ada tujuh gugatan hak atas nafkah yang lampau. Terakhir, pada tahun 2008 ada dua, dan pada tahun 2009 ada enam berkaitan gugatan berhubungan hak atas biaya mut'ah. Survei terhadap Perceraian ini juga menemui adanya perilaku perempuan mengajukan gugatan tersebut bersamaan proses perceraian. Dalam perceraian, sebanyak 19 dari 87 responden yang telah bercerai di Pengadilan Agama menjawab bahwa mereka telah mengklaim hak-hak perceraiannya. Enam belas dari

19 klaim yang diajukan oleh responden dikabulkan oleh majelis Hakim, meski hanya lima berkas yang dikabulkan seluruhnya dan 11 klaim dikabulkan sebagiannya. Dengan demikian, survei menunjukan persentase yang cenderung naik (22 persen) terkait jumlah perempuan yang mengajukan klaim hak-hak paska perceraiannya dibanding yang tercatat pada 2008 dan 2009 di Pengadilan (masing- masing, 3,3 dan 3,1 persen). Hal ini menjadi indikasi bahwa di masa lalu hal itu lebih lumrah terjadi dalam melakukan klaim hak-hak paska perceraian. Usia responden dalam Survei Perceraian bervariasi mulai dari 18 hingga 72 tahun (usia rata-rata 33,5 tahun) dan mereka tidak selalu bercerai baru-baru ini. Akan tetapi, penjelasan ini juga kurang memuaskan.

Penjelasan mendasar terkait perbedaan yang lebar antara jumlah klaim yang diajukan secara formal dan jumlah klaim sebagaimana responden katakan secara garis besar dapat menjelaskan adanya kecenderungan majelis Hakim dalam menyelesaikan

sengketa secara informal selama terjadinya proses sidang perceraian. Seperti yang telah saya amati di ruang sidang dalam banyak kesempatan, pelembagaan mediasi secara informal tidak hanya terjadi selama (sejak adanya UU No.1/1974) sesi mediasi sengketa secara informal selama terjadinya proses sidang perceraian. Seperti yang telah saya amati di ruang sidang dalam banyak kesempatan, pelembagaan mediasi secara informal tidak hanya terjadi selama (sejak adanya UU No.1/1974) sesi mediasi

Survei Perceraian ini juga mendapati alasan mengapa responden tidak mengklaim hak-hak paska perceraiannya. Empat puluh enam responden tidak mengklaim hak-haknya dan 35 di antaranya memberi alasan untuk hal tersebut. Alasan untuk tidak mengajukan klaim sendiri dapat dibagi menjadi lima kategori. Kategori pertama adalah ‘tidak membutuhkan tunjangan’. Sembilan belas responden memberikan jawaban yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Tujuh jawaban dapat dimasukkan ke dalam kategori ‘Saya tidak ingin menunda proses perceraian’. Empat jawaban dapat dikategorikan sebagai ‘Aku tidak ingin pergi melalui kesulitan’. Empat respo nden memberi sebagai alasan ‘klaim tidak akan dikabulkan'. Terakhir, dalam kategori ‘lain’, karena salah satu responden in absen selama proses sidang perceraian di Pengadilan.

Seorang responden yang saya wawancarai, sebagai bagian dari penelitian kualitatif membagikan ceritanya mengapa ia tidak mengklaim hak-hak paska perceraian. Menurut dia, salah satu pegawai (panitera) yang telah membantu dirinya selama proses perceraiannya membujuknya dari mengajukan klaim hak-hak paska perceraiannya:

Di sana ada perempuan, seorang panitera, mengatakan akan [butuh proses] lama, karena harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak suami, [untuk tahu] apakah ia menyetujui [klaim] atau tidak. Pertama-tama, kami harus bertemu satu sama lain untuk bersepakat berapa banyak [tunjangan] yang saya inginkan. Jika kita tidak mencapai sepakat maka akan rumit. Jika tidak ada titik kesepakatan, dia ingin memberi 300 dan saya ingin 500, proses akan memakan waktu lebih lama. Ini harus dilakukan terus-menerus hingga tercapai kesepakatan, [dan saya harus pergi] bolak-balik, bolak-balik [ke Pengadilan].

4.2 Kewajiban nafkah terhdap anak Hak kedua berkaitan dengan hak-hak paska perceraian yang akan saya bahas di sini adalah kewajiban nafkah terhadap anak. Di Indonesia, orang tua laki-laki secara hukum tetap memiliki tanggung jawab atas pengasuhan anak yang tercatat secara hukum, tidak peduli siapa yang mendapat hak asuh anak. Pihak perempuan bisa mengajukan klaim biaya nafkah untuk anaknya dalam berkas kasus perceraian yang diaju kan oleh dia sendiri (gugat cerai/khulu’) atau oleh suami mereka (cerai talak).

Pada tahun 2008, ada tujuh perempuan, atau 1,6 persen dari total keseluruhan, yang mengajukan klaim kewajiban nafkah untuk anaknya. Pada tahun 2009, jumlahnya sedikit menurun, ada enam klaim biaya nafkah untuk anak atau 1,3 persen. Salah satu yang harus dipahami di sini bahwa persentase ini didasarkan pada jumlah total keseluruhan pasangan yang melakukan perceraian di Pengadilan Agama Bulukumba. Tentu saja, tidak semua pasangan yang bercerai tersebut memiliki anak. Namun, saya pikir angka-angka di atas akan menjadi indikator yang baik tentang jumlah perempuan yang mengajukan klaim pertanggungjawaban nafkah untuk anak, karena di Indonesia adalah hal umum untuk segera memiliki anak tak berselang lama

setelah pernikahan, biasanya dalam rentang waktu dua tahun setelah menikah. 36 Persentase 1,6 pada tahun 2008 dan 1,3 pada tahun 2009 tidaklah mencerminkan

jumlah yang sebenarnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa ada beberapa perempuan yang mengajukan klaim pertanggungjawaban nafkah untuk anak secara formal di Pengadilan Agama.

Survei Perceraian ini mendapati angka jauh lebih tinggi adanya kaum perempuan yang melakukan klaim hak-hak tunjangan untuk anak. Dua puluh tiga dari 64 responden yang berkas permohonannya telah disidangkan oleh Pengadilan Agama dalam sidang perceraian dengan status memiliki anak menjawab bahwa mereka juga mengajukan klaim tunjangan nafkah untuk anak mereka kepada pihak orang tua laki- laki anak tersebut. Menurut 21 responden, klaim mereka dikabulkan oleh pihak

36 Minja Kim Choe, Shyam Thapa, and Sulistinah Irawati Achmad, Early marriage and childbearing in Indonesia and Nepal (Honolulu, hi: East-West Center, 2001).

Pengadilan, meski dalam 12 kasus di antaranya hanya sebagian dari tuntutan klaim. Perbedaan mencolok antara klaim yang tercatat secara resmi dan klaim-klaim yang digali dari responden dalam survei, yang diyakini mereka juga mengajukan klaim tunjangan tersebut dapat dijelaskan dengan baris kalimat yang sama: mediasi untuk mencapai mufakat, sama seperti halnya perselisihan klaim hak-hak paska perceraian antara suami istri. Majelis Hakim lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa secara informal selama proses perceraian dan berusaha untuk menemukan titik permufakatan antar pihak, karena mereka menganggap bahwa jalur mediasi akan lebih baik untuk ditempuh. Hasil permufakatan sendiri tidak dicantumkan ke dalam berkas Putusan Pengadilan dan bukan bagian dari Putusan resmi Pengadilan.

Dalam survei, juga ada 33 responden memberi alasan kenapa mereka tidak mengajukan klaim atas ha-hak. Delapan responden memberi jawaban yang dapat

dikategorikan sebagai ‘tidak perlu adanya tunjangan’. Empat responden berpikir bahwa klaim ‘tidak akan dikabulkan’. Empat responden ‘tidak ingin mendapat kesulitan’. Tiga responden menjawab ‘tidak ingin memperlambat proses’. Alasan lainnya masuk kategori ‘lain-lain’, tiga responden tidak mengajukan klaim tunjangan terhadap anak karena pihak suami juga memiliki hak asuh anak dan keberadaan si anak tidak disinggung selama proses perceraian.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa rekomendasi dan adanya intervensi dari pihak-pihak dalam Pengadilan Agama memainkan peran penting dalam pengajuan klaim oleh perempuan berkaitan hak-hak paska perceraiannya. Majelis Hakim Pengadilan Agama memiliki preferensi untuk melakukan mediasi informal, dan merekomendasikan klaim perempuan diselesaikan di luar jalur resmi hukum di Pengadilan. Bahkan ketika klaim tersebut diajukan secara resmi ke Pengadilan, majelis Hakim akan berusaha untuk menegosiasikan kemufakatan antara dua belah pihak.

4.3 Harta bersama (harta gono-gini) Hak-hak paska-perceraian ketiga, yang saya telah kaji adalah harta bersama bersama (harta gono-gini). Di Bulukumba Pengadilan Agama terdaftar ada tujuh berkas 4.3 Harta bersama (harta gono-gini) Hak-hak paska-perceraian ketiga, yang saya telah kaji adalah harta bersama bersama (harta gono-gini). Di Bulukumba Pengadilan Agama terdaftar ada tujuh berkas

Mahkamah Agung baru-baru ini berusaha untuk mendorong pihak-pihak yang ingin mengajukan klaim harta bersama untuk mengajukan berkasnya setelah perceraian telah diakuioleh Pengadilan. Instruksi dikeluarkan pada tahun 2010 (Petunjuk Teknis, Juknis) di mana Pengadilan Agama diminta untuk meyakinkan pihak Penggugat untuk mencapai kesepakatan pada tahap mediasi atau mengajukan berkas gugatan secara terpisah setelah terjadinya perceraian. Harta bersama diklaim berpotensi menunda sidang perceraian itu sendiri ketika pengajuan berkasnya menjadi bagian dari sidang perceraian karena masih butuh eksekusi oleh Pengadilan di lapangan. Ditambah lagi, bila jumlah properti yang dipertaruhkan sangat besar, kecenderungan untuk banding sangat besar dan akibatnya Putusan cerai juga tertunda. Entah eksekusi dari personil Pengadilan yang sukses harus dilihat atau tidak. Berkas gugatan yang terpisah setelah terjadinya perceraian berarti kita harus membayar biaya berperkara dua kali. Ketika mediasi gagal, masih harus dipastikan apakah masing- masing pihak bersedia untuk menunda klaimnya atas harta bersama dan menyelesaikan sidang perceraian terlebih dahulu, sebelum melangkah ke hak-hak mereka di persidangan.

Di luar sidang Pengadilan, hanya sebagian kecil dari pasangan yang bercerai di Bulukumba mencapai kesepakatan secara informal dalam masalah harta bersama. Survei Perceraian mengungkapkan bahwa 15 atau 12,5 persen dari total 120 responden telah mencapai kesepakatan dengan suaminya mengenai harta bersama dan

64 tidak (40 responden memilih untuk tidak menjawab pertanyaan ini). Empat puluh enam responden memberi alasan tidak berkeinginan membuat kesepakatan soal harta bersama dengan suaminya. Sembilan belas responden menjawab bahwa mereka ‘tidak membutuhkan bagian harta bersama’. Tiga belas responden mengatakan bahwa ‘tidak

memiliki harta bersama. Tujuh responden memberikan jawaban yang dapat memiliki harta bersama. Tujuh responden memberikan jawaban yang dapat

termasuk alasan responden yang meyakini bahwa anak-anaknya akan mendapat bagian harta bersamanya di masa akan datang.

Model terakhir dari bentuk kesepakatan adalah ilustrasi dari kasus-kasus lainnya di Bulukumba, yang mana hak-hak dari masing-masing pasangan di bawah hak-hak bagi anak-anak. Dalam wawancara dengan responden berikut ini akan menjadi jelas bahwa Hakim terkadang berpihak kepada pihak istri dan mewajibkan pihak suami untuk menahan diri melakukan klaim setengah dari hak atas harta bersama secara formal demi demi anak-anak yang (umumnya) tinggal bersama ibu.

Pewawncara : Lalu dia [mantan suami] berubah pikiran dan ia kemudian meminta, ia mengklaim, harta bersama?

Narasumber : Ya, dia minta dibagi harta bersamanya. Tapi aku nolak, karena hanya aku yang memiliki [hak asuh atas] anak.

Pewawncara : Dan properti, [terdiri dari] rumah atau tanah? :

Rumah itu

Narasumber :

Yang iyu

Pewawncara : Lalu, ia ingin menjual rumah itu dan membagi uangnya? Narasumber

: Ya, dia mengatakan dia ingin membaginya, dia ingin mengambilnya. Tapi saya menolak, mempertahankannya, saya mengasuh anak kami. Dan di Pengadilan, eh, apa itu (bagaimana), hakim, kata dia, hakim mengatakan tidak bisa dibagi karena saya punya anak. Jika kita akan punya anak, maka bisa saja dibagi. ...

Pewawncara : Sebabnya harta bersama tidak dibagi sama sekali? Narasumber

Tidak dibagi sama sekali

Dengan kutipan ini saya bermaksud untuk menggambarkan dua hal: pertama, Pengadilan Agama memperhitungkan kondisi kehidupan anak-anak dalam pertimbangannya, dalam hal ini apakah mereka memiliki tempat tinggal atau tidak; kedua, perempuan dengan anak-anaknya lebih cenderung untuk mempertahankan hak-hak propertialnya. Properti tampaknya dianggap lebih penting bagi masa depan anak-anak dibanding kesepakatan tentang kewajiban nafkah untuk anak.

4.4 Mahar

Keempat dan terakhir dari hak-hak paska perceraian, yang saya ketahui adalah mahar. Mahar adalah mas kawin yang diberikan oleh pengantin pria untuk pengantin wanita. Mahar tetap milik sang istri meski terjadi perceraian, setidaknya jika pernikahan itu

‘terwujud’. Bila hal ini tidak terjadi karena keengganan istri tidur dengan suaminya, maka setengah dari jumlah mahar yang harus dikembalikan. Pada tahun 2008, ada 11 perempuan, atau sekitar 2,6 persen dari semua kasus perceraian, yang mengajukan berkas gugatan terkait mahar. Pada tahun 2009, ada 9 perempuan atau 2 persen yang telah bercerai mengjukan gugatan terkait klaim atas mahar yang belum dibayar.

Bentuk mahar masyarakat Bulukumba dan Sulawesi Selatan pada umumnya sering diberikan dalam bentuk barang non-bergerak (misalnya sebidang tanah beserta, perkebunan yang telah disewa, atau sebuah rumah) bukan dalam bentuk uang atau emas. Hal ini membuat kasus mahar di Sulawesi Selatan lebih rumit.

Sedang mas kawin bentuk barang secara adat akan dihitung dengan kur s ‘Real’, mengacu pada satuan mata uang Arab Saudi. Besaran mas kawin didasarkan pada status pengantin perempuan.Maksudnya, secara tradisional, dikaitkan dengan status

keluhuran 37 yang dimiliki sang istri. Banyak perempuan sering bersikukuh bahwa mahar harus diserahkan kepada mereka, karena mereka beralasan membutuhkan

mahar berupa barang non bergerak tersebut sebagai mahar untuk nikah anak-anak mereka di masa dewasa. Kadang-kadang mantan suami membuat keputusan sendiri, yang mana ia terus menguasai tanah miliknya tetapi berjanji untuk menggunakannya sebagai mahar nikah anak-anak mereka di masa datang.

4.5 Penegakan Putusan Pengadilan Jika Anda melihat dari pelaksanaan dan penegakan Putusan Pengadilan, ada beragam gambaran terjadi. Berkenaan dengan biaya nafkah selama masa tunggu tiga bulan (biaya nafkah iddah), implementasinya difasilitasi oleh Pengadilan Agama, karena pihak suami diwajibkan oleh Pengadilan untuk membayarnya di muka majelis Hakim, setelah itu suami dapat mengucapkan talak yang kemudian disahkan oleh majelis Hakim.

37 Chabot, Kinship, status and gender in South Celebes, 1996.

Sebaliknya, implementasi Putusan hak nafkah anak tergantung pada itikad baik mantan suami. Banyak perempuan mengeluhkan bahwa mantan suaminya tidak memberikan nafkah untuk anak sebagaimana Putusan Pengadilan. Meskipun ada mekanisme hukum untuk mengkalkulasinya sebagai bentuk hutang dalam hukum, Pengadilan Agama Bulukumba tidak (belum) pernah memberlakukan Putusan untuk biaya nafkah anak melalui mekanisme ini. Putusan Pengadilan paling efektif adalah mengenai harta gono-gini, efektif tetapi cukup mahal.

Perkiraan menurut Jurusita Pengadilan, membutuhkan anggaran sekitar 1 juta rupiah untuk biaya berperkara di Pengadilan, dan tergantung pada lamanya persidangan pula, biaya tambahan (ke polisi, kadang-kadang ke aparat militer) minimal 4 juta rupiah. Kepala Jurusita yang memiliki reputasi baik dalam menjalankan Putusan Pengadilan pasti akan menegakan Putusan tersebut. Sebagaimana ujarnya, jaringan ayahnya, yang seorang perwira tinggi di militer, membantunya dalam mendapatkan informasi tentang perlawanan yang bakal terjadi ketika eksekusi. Selain itu, ia menggabungkan penampilan tangguh (dia adalah pria jangkung dan kuat dari wilayah Jeneponto yang terkenal), dan kemampuan memahami suasana medan.

Misalnya, dia mengatakan kepada saya bahwa dalam banyak kasus, pihak yang terlibat akan ditindak dengan tindakan represif dan diancaman akan dilakukan tindakan represif oleh aparat Polisi. Oleh karenanya, ia mengatakan bahwa ia cenderung untuk memberikan orang kesempatan terakhir, meskipun tidak ada keharusan hukum melakukannya. Bersama dengan seorang aparat kepolisian, dia biasanya akan mengunjungi lokasi secara diam-diam dan mencoba untuk meyakinkan pihak yang diperintahkan Pengadilan untuk menyerahkan properti terkait secara sukarela. Dia juga mengatakan bahwa banyak pihak baru sukarela menyerahkannya setelah diberi kesempatan terakhir demi menghindari rasa malu dari adanya eksekusi secara paksa. Dalam kasus lainnya, dia menunda eksekusi dan memberi kesempatan untuk memanen tanaman padi terlebih dahulu. Menurut kepala panitera, pendekatan manusiawi seperti ini sangat memudahkan dalam penegakan Putusan Pengadilan.

4.6 Tingkat kepuasan terhadap tunjangan Dalam melakukan survei mengenai permasalahan perceraian, saya juga telah menanyakan apakah kaum perempuan yang bersangkutan merasa puas dengan kontribusi ayah dari anak-anaknya dalam hal adanya kewajiban nafkah materiil terhadap anak-anaknya atau berkaitan kewajiban pembayaran tunjangan terhadap istri. Cuma 8,5 persen responden yang merasa puas dengan kontribusi ayah anak-anak mereka dan 40 persen menjawab tidak puas. Gambaran berkaitan hak-hak paska perceraian yang tampak di atas sudah menunjukkan kewajiban terhadap biaya nafkah materiil bagi anak oleh orang tua laki-lakinya tidak terlaksana dan ternyata banyak dari mereka yang tidak menunaikan kewajibannya atas kepentingan anak mereka secara memadai di mata mantan istri.

Meski demikian, latar belakang ketidakpuasan ini tampaknya dipicu oleh perilaku dan rasa tanggung jawab/moralitas ketimbang desakan ekonomi: 72 persen responden menyatakan bahwa situasi ekonominya berangsur membaik setelah perceraian. Salah satu alasan utama adanya perbaikan kondisi ekonomi ini dimungkinkan karena pihak perempuan yang bercerai dan anak-anaknya pada

umumnya kembali menjadi tanggungan orang tua mereka. Jika tidak bisa segera menikah kembali, kebanyakan para perempuan yang telah bercerai terdorong untuk meninggalkan kampung halamannya dan mencari pekerjaan menjadi buruh di pabrik- pabrik di kota Makassar atau menjadi Tenaga Kerja Wanita di luar negeri sementara anak-anaknya yang ditinggalkan dalam pengasuhan kakek-nenek. Peluang kerja yang ada bagi perempuan yang telah bercerai memberi berkontribusi pada perbaikan kondisi ekonomi kaum perempuan bersangkutan (dan pembangunan ekonomi regional), bahkan bagi para perempuan yang –jika mereka punya pilihan– cenderung suka untuk terus memainkan peran tradisionalnya: ibu rumah tangga.