5. Pengadilan Agama Bulukumba dan Aksesi

5. Pengadilan Agama Bulukumba dan Aksesibilitas Perempuan terhadap

Perceraian dan Hak-Hak Paska Perceraian

Stijn Cornelis van Huis

Bulukumba adalah sebuah kabupaten yang terletak di sebelah tenggara Propinsi Sulawesi Selatan. 1 Kantor Pengadilan Agamanya terletak di kecamatan Ujung Bulu.

Dari Makassar, ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, berjarak 153 km atau empat jam perjalanan menuju arah timur yang sepanjang jalannya kadang berlubang-lubang. Populasi Bulukumba 394.746 orang, di antara 394.397 orang terdaftar sebagai pemeluk Islam. Saat ini, luas Bulukumba adalah 1.155 km terdiri dari sepuluh kecamatan, 27 kelurahan dan 99 desa. Sebagian besar wilayah Bulukumba adalah sentra agraria: 67 persen dari jumlah penduduknya berprofesi petani; 14 persen menggeluti perdagangan; 8 persen bekerja di pelayanan publik (PNS); dan 5 persen di

bidang industri. 2

1. Pendahuluan

Studi kasus di Pengadilan Agama Bulukumba Sulawesi Selatan, merupakan bagian dari penelitian yang lebih luas tentang hubungan antara negara, Islam dan masyarakat di Indonesia. Penelitian atas hal tersebut dilakukan oleh Dr Nurlaelawati, menyangkut peran serta Pengadilan Agama dalam memainkan peran berhubungan hak-hak perempuan dan anak. Berdasarkan studi lapangan yang kami lakukan dari Mei hingga Agustus 2011 di Bulukumba, didapati adanya peran Pengadilan Agama (negara) dalam sosial-kemasyarakatan di Bulukumba, dan adanya penelitian ini memfokuskan diri pada masalah: sejauh manakah akses yang dilakukan kaum perempuan dalam proses perceraian ke Pengadilan Agama dan aksesibilitas atas hak-haknya paska perceraian, seperti apa kasusnya dan kenapa (tidak)?

1 Kabupaten Bulukumba memiliki sejarah panjang di bawah pemerintahan Belanda, dimulai sejak tahun setelah terjadi perjanjian Bungaya tahun 1667. Tak lama setelah itu,

VOC mendirikan benteng Boele Comba. 2 Bulukumba dalam Angka 2010, Pemerintah Kabupaten Bulukumba, 2011.

Seperti halnya di bagian Indonesia dan dunia muslim lainnya, di Bulukumba terdapat sebuah isu yang jamak dikenal syariat yang mana mengatur persoalan moral publik dan khususnya persoalan berbusana perempuan (muslim). Dengan menengok instansi-instansi yang memiliki kaitan persoalan perempuan dalam hal perceraian, kami akan menilai apakah regulasi-regulasi berhubungan dengan ruang publik terindikasi memiliki kontrol kuat bagi kaum perempuan dalam ranah privat juga. Kedua fokus dalam penelitian ini adalah (i) hubungan antara aturan dan praktiknya, atau berkaitan segala persoalan tentang hak-hak perempuan dan praktek nyatanya. Apakah fakta yang menurut ketentuan hukum keluarga Indonesia diakatakan bahwa perempuan muslim dan anak-anaknya memiliki hak atas tunjangan dan hak atas harta gono-gini sebanding lurus dengan adanya aksesibiltas mereka terhadap hak-hak tersebut dalam praktek? Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang dikumpulkan selama periode studi lapangan empat bulan, saya akan mencoba menjawab pertanyaan di atas dan menempatkan jawaban persoalan perempuan dalam

konteks sosial dan budaya. Akhir kesimpulannya, studi kasus ini memperlihatkan adanya peran kehakiman, dan (ii) apakah penggunaan diskresi hukum secara khusus menguntungkan atau tidak untuk kalangan perempuan dan anak-anak yang terdampak perceraian.

Pertama-tama, sebelum beranjak ke subjek utama dari apa yang dikaji dalam studi ini, saya akan menceritakan latar belakang sejarah Bulukumba sebagaimana akan dijelaskan di bawah, sejarah Pengadilan Agama dan regulasi-regulasi syariahnya; mengulas Pengadilan Agama Bulukumba dewasa ini dan peranannya dalam melayani proses perceraian dan hak-hak perempuan paska perceraian.

2. Bulukumba, Pengadilan Agama dan regulasi-regulasi syariahnya

2.1 Sejarah formal keberadaan Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan berdirinya Republik Indonesia. Muncul kekecewaan beberapa kelompok Islam atas Konstitusi Indonesia yang tidak berdasarkan Syariat tetapi berdasar pada Pancasila yang salah satu Silanya dirumuskan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, yang tidak secara 2.1 Sejarah formal keberadaan Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan berdirinya Republik Indonesia. Muncul kekecewaan beberapa kelompok Islam atas Konstitusi Indonesia yang tidak berdasarkan Syariat tetapi berdasar pada Pancasila yang salah satu Silanya dirumuskan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, yang tidak secara

pengadilan agama. 3 Meski faksi-faksi kuat dari partai-partai politik non Islam [sekuler; pen] di Parlemen pusat ingin menghapuskan keberadaan pengadilan agama,

faksi muslim berhasil mencegah terjadi. Akhirnya sistem pengadilan syariah nasional diberlakukan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta. Pada akhir masa penjajahan, Belanda hanya mengakui pengadilan keagamaan untuk wilayah Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, inilah alasan mengapa pengadilan keagamaan juga terdapat di Sulawesi

Selatan 4 –yang mana Pengadilan Agama saat ini ada, tetapi sistem pengadilan keagamaan ini tidak diakui secara formal oleh Belanda; hanya dianggap sebagai

pengadilan adat yang wilayah kewenangannya untuk mengadili kasus-kasus pernikahan dan perceraian. Peraturan Pemerintan (PP) Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‘iyah di luar Jawa-Madura, telah melegitimasi pendirian Pengadilan Agama –termasuk di wilayah yang sebelumnya tidak ada Pengadilan Agama – dengan kompetensi bidang kasus pernikahan dan perceraian. Undang-Undang Nomor 1/1974 secara legal menetapkan kompetensi Pengadilan Agama bagi perkawinan pemeluk Islam dan perceraiannya. Kompetensi ini juga diperluas untuk menangani masalah waris dan wakaf pada tahun 1989, dan ekonomi syariah pada tahun 2006. Sebagai konsekuensi dari lahirnya PP 45/1957, Pengadilan Agama didirikan di setiap Kabupaten di seluruh Sulawesi Selatan.

2.2 Darul Islam dan penyatuan angkatan bersenjata dengan aristokrat tradisional Ketika Belanda memutuskan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, perang gerilya menjadi salah satu ciri perjuangan untuk mencapai kemerdekaan

3 Daniel S. Levi, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions (Berkeley: University of California Press, 1972).

4 Regeeringsrapporten over de Mohammedaansche Rechtspraak op de Buitenbezittin gen commissioned by circulair 1876 No. 7276/8576 of the Department of Justice.

Adatrechtbundel i: 225 –234.

di Sulawesi Selatan saat itu masih jauh dari kata selesai. Angkatan bersenjata Indonesia (saat itu disebut Tentara Rakyat Indonesia/TRI) tidak memasukkan semua gerilyawan yang telah berjuang melawan Belanda ke dalam angkatan bersenjata nasional menyebabkan banyak pejuang kecewa dan bergerak minggir memasuki

wilayah-wilayah pedalaman Sulawesi Selatan. Pada tahun 1951, Soekarno mengumumkan sistem negara federal yang dianut kembali pada sistem negara kesatuan, yang mana –terutama di luar pulau Jawa– mendapat tentangan kuat. Selain itu, sistem negara bertentangan dengan apa yang kelompok gerilyawan Islamis harapkan: negara Indonesia tidak berbentuk negara Islam berdasarkan syariah. Ketika Kahar Muzakkar memutuskan untuk bergabung dengan pemberontak Darul Islam dan menjadi pemimpinnya di Sulawesi Selatan, ia mendapat dukungan besar dari kelompok gerilyawan yang tidak puas.

Singkatnya, angkatan bersenjata Indonesia butuh 14 tahun untuk menumpas pemberontakan Darul Islam di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1965, Kahar Muzakkar terbunuh oleh pasukan Indonesia dalam penyergapan. Pada tahun yang sama juga, terjadi kudeta oleh kaum komunis yang gagal total, yang kemudian diikuti dengan pencekalan Partai Komunis Indonesia, dan kemudian muncul kekuasaan Jenderal

Suharto. Secara bertahap, tatanan militer baru diperkenalkan di Indonesia. Di Sulawesi Selatan kesatuan elit militer baru disatukan dengan tokoh-tokoh bangsawan tradisional. Akibatnya, muncullah hubungan patron-klien lama antara kaum aristokrat/bangsawan dan para pengikutnya dan menyelamatkan mereka dari tangan Orde Baru, dan tetap memegang kendali berbasis kekuatan klan-klan yang berkuasa di Sulawesi Selatan. Meski begitu, bayangan sejarah lokal tentang Darul Islam tetap menarik minat bagi kelompok Islamis di daerah tersebut untuk melakukan penentangan dengan berbasis adat serta berbasis kedaerahan terhadap sentralisme kekuasaan di Jakarta.

Hasilnya, nilai-nilai keislaman tumbuh kembang menjadi bagian identitas lokal masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan dan ketika rezim Orde Baru berakhir, maka identitas kedaerahan menyembul ke permukaan, nilai-nilai keislaman menjadi bagian dari wacana politik lokal.

2.3 Islamisasi politik di Sulawesi paska 1998 Paska lengsernya Suharto pada tahun 1998, gagasan keislaman yang selama ini direpresi mengapung ke permukaan. Pada tahun 2000, Komite Persiapan Penerapan Syariah se-Indonesi/KPPSI didirikan selama pertemuan yang diselenggarakan di Makassar yang dihadiri oleh wakil-wakil dari semua organisasi Islam arus utama (NU, Muhammadiyah, MUI, ICMI, HMI, DDI dan lain-lain) dan berbagai tokoh termasuk Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia antara tahun 2004-2009, 2014-219), Presiden Partai Islam se-Malaysia (PAS), para dekan dari universitas-universitas Islam di Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan tokoh terkenal Abu Bakar Ba’asyir.

Tidak mengejutkan, fokus utama dalam agenda KPPSI adalah memasukkan regulasi yang terinspirasi-syariah (incorporation of sharia-inspired regulations) ke dalam aturan hukum di Sulawesi Selatan. Secara politik, pendekatan yang dilakukan KPPSI masih menggunakan retorika anti Orde Baru, dan anti korupsi. Syariah akan menghadirkan keadilan dan kesejahteraan, semacam itu argumen yang selalu diutarakan. Selain itu, KPPSI berpendapat bahwa kebijakan syariah untuk Aceh telah membuka kemungkinan hukum untuk ‘syariatisme’ lebih lanjut bagi daerah-daerah yang secara tradisional terdapat corak keislaman kuat. 5

Para pihak yang menghadiri pertemuan pertama sepakat untuk membentuk Laskar Jundullah , organisasi paramiliter yang dapat dikerahkan guna menekan para politisi untuk mengadopsi hukum terinspirasi-syariah dalam setiap regulasi dan untuk mengawasi pelaksanaannya. Selanjutnya, sebagai tindakan simbolik, Abdul Azis Kahar Muzakkar, putra pemimpin Darul Islam yang dieksekusi dari Sulawesi Selatan,

terpilih sebagai kepala dewan eksekutif KPPSI tersebut. KPPSI sendiri kehilangan legitimasi politiknya karena tuduhan tindak terorisme terhadap beberapa anggota Laskar Jundullahnya setelah muncul beberapa serangan bom yang menghantam

5 Michael Buehler, De ocratizatio a d Isla izatio : I do esia’s o fu da e talist sources of Shariʾa law. Makalah dipresentasikan dalam pertemuan tahunan AAS,

Atlanta,USA, 3 –6 April 2008.

Makassar di rentang tahun 2000 sampai 2004, serta keterlibatan kelompok itu dalam konflik antaragama di Poso pada periode yang sama. 6 Agenda syariah KPPSI,

bagaimanapun, diusung oleh partai-partai politik arus utama di Sulawesi Selatan yang biasanya dikepalai oleh kelompok aristokrat lokal.

Michael Buehler menyoroti motif politik yang kemungkinan telah melatarbelakangi kaum aristokrat untuk menoleh kelmbali kepada Islam. 7 Pertama,

adanya agenda syariah meliputi pengaturan tentang pengelolaan zakat (sedekah wajib). Pengaturan zakat ini akan mewajibkan potongan zakat secara pasti dari setiap gaji PNS, yang tentu menjamin adanya aliran dana yang dimaksud ke lembaga amal

Islam. Melalui pengucuran dana amal Islam ini, para elit daerah dapat memainkan peran tradisionalnya sebagai tokoh kunci melalui cara penciptaan aturan dan pengumpulan zakat secara hirarki-piramidikal dalam jaringan umat Islam. Imbal balik dari diprioritaskannya masalah-masalah keagamaan tentu adalah kucuran dana untuk tokoh agama (ustadz/ustadzah dan ulama) adalah pola yang dikehendaki, caranya dengan bertindak sebagai brokers bagi siapa saja yang memegang tampuk kekuasaan. Pada tahun 2007, semua orang Bugis dan Kabupaten/Kota yang mayoritas berpenduduk orang Makassar telah memberlakukan peraturan terinspirasi-syariah ini,

Bulukumba adalah salah satu yang pertama. 8

2.4. Perda-Perda Syariah Bupati Bulukumba periode tahun 1995-2005, Patabai Pabokori, adalah figur terkemuka dan jajaran elit anggota KPPSI sejak berdirinya pada tahun 2000 secara aktif mempromosikan dan memperkenalkan regulasi terinspirasi-syariah di Bulukumba. Sejak tahun 2002, regulasi terinspirasi-syariah telah memperkenalkan

adanya larangan minuman alkohol, 9 pengelolaan amal Islam (zakat, infaq dan

6 Ibid. 7 Mi hael Buehler, The rise of shariʾa -laws in Indonesian districts: an indication for

ha gi g patter s of po er a u ulatio a d politi al orruptio , South East Asia Research, 2008, 16 (2): 255

Ibid. 9 Perda No. 3/2002.

10 sedekah), 11 aturan-aturan untuk berbaju muslim di kantor-kantor pemerintahan dan kemampuan untuk membaca Al-Qur'an ditetapkan sebagai persyaratan menikah,

masuk sekolah menengah dan menduduki posisi tertentu di dalam birokrasi. 12 Selain itu, 12 desa percontohan atau desa Muslim didirikan (setidaknya satu di

setiap kecamatan), aparat desa diharapkan untuk mendorong ‘kepatuhan terhadap syariah dalam kehidupan sehari-hari bagi penduduk desanya ’ dan menjadikannya

sebagai desa percontohan bagi desa-desa lain di kecamatan setempat. Penerapan hukum syariah di Bulukumba telah menarik perhatian media massa, 13

dan keinginan dewan desa Muslim di Padang, Bulukumba –sebagai salah satu tempat pertama di luar Aceh – untuk melaksanakan sanksi hukum cambuk sebagai hukuman bagi yang berduaan antara dua orang lawan jenis (khalwat) pada tahun 2005, bahkan sampai membuat Komisi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turun tangan pada tahun 2009.

Pada tahun 2007, politisasi syariah di Bulukumba menjadi sorotan surat kabar nasional, untuk sekali lagi, ketika desa Padang ingin menerapkan sanksi hukum potong tangan untuk kasus pencurian. Kali ini, Pemerintah Kabupaten turut turun tangan dan menyatakan bahwa hukuman cambuk dan amputasi adalah ilegal berdasarkan hukum Indonesia, sedangkan Wakil Bupatinya menyatakan ‘Bulukumba bukanlah republik yang berdiri sendiri’, maka praktik itu adalah ilegal di Bulukumba. 14 Menurut seorang aktivis perempuan dari desa tersebut yang telah

memberi kesaksian kepada Komnas Perempuan berkaitan salah satu kasus hukuman

10 Perda No. 2/2003. 11 Perda No. 5/2003 dan Perda No. 6/2005. 12 Perda No. 6/2005.

13 Lihat se agai o toh Ga al Ferdhi, Nurul H. Maarif, Depa asilaisasi Le at Perdasi , The Wahid I stitute edisi ii, dala : Gatra, edisi / ii, 29 April 2006; Subair

U a , For alisasi S arat Isla Perjua ga Ahistori: Belajar dari Buluku a da Lu u , the Wahid Institute, Edisi 1, November 2005

14 –February 2006.

A dul Ma a da Ir a ati, Buka Repu lik Buluku a , Te po, Edisi / i/ , 3 –9 Desember 2007.

cambuk yang terjadi, menyatakan tidak ada hukuman cambuk terjadi lagi sejak saat itu. 15

Mahasiswa-mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Gazali, yang telah membantu saya merampungkan penelitian ini, mengatakan kepada saya bahwa Bupati suksesor Patabai Pabokori bernama Sukri Sappewali (2005-2010) dan Zainuddin Hasan (2010-2015) memang lebih moderat berkaitan dengan kebijakan syariah, bahkan ketika Perda Syariah masih tetap diberlakukan.

Mereka menjelaskan kepada saya bahwa sikap mereka sebagian disebabkan oleh runtuhnya Laskar Jundullah yang selama ini bergerak sebagai pengawas, semacam

‘polisi syariah’. Karena saya belum pernah ke Bulukumba sebelum tahun 2010, maka saya tidak bisa membandingkan situasinya dengan tahun 2005. Tetapi yang saya temui, ada satu desa Muslim yang mana seorang penduduk perempuannya yang beragama Islam tidak memakai jilbab di depan umum dan terlebih lagi merasa tidak keberatan untuk diwawancarai oleh seorang peneliti laki-laki Bule dan seorang asisten peneliti laki-lakinya tanpa seorang kerabat laki-lakinya (muhrim) yang mendampingi –tindakan yang dapat dianggap bertentangan dengan tujuan penciptaan desa Muslim guna menerapkan nilai-nilai Syariah dalam kehidupan sehari-hari warga

desa. 16 Pengalaman tersebut memberi kesan bahwa puncak tertinggi syariatisasi

(shariatisation) di Bulukumba ada di belakang kami. Selain itu, jika analisa Michael Buehler ini benar, maka keketertarikan elit lokal sebenarnya tidak begitu menggebu pada proses syariatisasi itu sendiri, melainkan akan adanya jaringan patronase mereka yang bisa dibangun melalui proses syariatisasi tersebut. Ini bukan untuk mengatakan bahwa regulasi syariah tanpa efek. Kantor-kantor pemerintahan sendiri menerapkan kewajiban berjilbab di kantor-kantor pemerintahan dan menolak untuk membantu

15 Wawancara dengan Bu Esse, anggota organisasi lokal Sipakatua Sipakalebbi, 9 November 2010, Bulukumba.

16 Observasi saya pribadi ketika melakukan wawancara dengan Ibu berinisial M di desa Muslim Balong, kecamatan Ujung Loe, Bulukumba, 23 Juli 2011.

wanita muslim yang datang tidak berjilbab. 17 Karena adanya tekanan publik, aktivis perempuan yang disebut di atas tadi dari desa Muslim Padang, saat ini selalu

memakai kerudung di depan umum, sementara itu sebelum tahun 2003 dia tidak pernah melakukannya.

2.5 Pengadilan Agama dan Perda Syariah Pengadilan Agama Bulukumba juga menerapkan aturan untuk berjilbab, meski tidak ada peraturan tertulis yang secara eksplisit memerintahkan kaum perempuan untuk melakukannya. Pak Muhammad Rusydi Thahir, Ketua Pengadilan Agama Bulukumba pada 2010-2011, adalah seorang pendukung vokal regulasi syariah. Menurutnya, hal ini akan membawa manfaat (kemaslahatan) bagi masyarakat karena Allah akan memberi pahala bagi yang berperilaku baik. Sikapnya juga memperlihatkan ketidaksukaan kepada aktivis gender dan para tim peneliti dari Komnas Perempuan, yang menurutnya, telah datang ke Bulukumba selama beberapa hari pada tahun 2009, dan berdasarkan sedikit pengetahuan menulis laporan panjang

lebar dan cenderung menghakimi. 18 Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemakaian jilbab, perempuan yang tidak

memakai jilbab kesehariannya akan mengenakannya sebelum masuk ke Pengadilan dan melepasnya lagi saat meninggalkannya. Ada 100 lebih proses persidangan dikaji untuk keperluan penelitian ini, saya mengamati hanya dalam satu kesempatan aja ketika seorang wanita tanpa penutup kepala diperbolehkan memasuki ruang sidang. Ini dilakukan oleh seorang perempuan di lingkaran tinggi kepegawaian, (dan hakim) jelas tidak ada keberanian untuk menegurnya. Pada kesempatan lain, seorang perempuan tak berjilbab hadir ke Pengadilan Agama sebagai saksi dan tidak membawa jilbab, ia diminta oleh asisten petugas untuk mengenakan mukena sebagai gantinya sebelum masuk ruang sidang.

17 Wawancara dengan Nurlaila Umat, pegawai Kemenag Bulukumba, Urusan Agama Islam, 3 Agustus 2011.

18 Wawancara dengan Pak Muhammad Rusydi Thahrir, Ketua Pengadilan Agama Bulukumba, 9 November 2010.

Kantor Pengadilan Agama Bulukumba.

3. Pengadilan Agama Bulukumba dan hak-hak perempuan dalam perceraian

3.1. Perceraian di Bulukumba: kepedulian perempuan atas haknya dan instansi yang menangani persoalan perceraian Mungkin, kajian ini akan tampak masuk akal dengan mengkaji kasus perkawinan dan perceraian. Pertama kali, saya akan fokus pada kasus perceraian di Bulukumba, perceraian adalah objek penelitian yang melalui kedudukan dan fungsi Pengadilan Agama akan dikaji. Di sisi lain, adanya pernikahan akan menciptakan sub turunan permasalahan berupa kemungkinan terjadinya perceraian, dan perceraian hanya bisa dijelaskan sejauh corak karakter budaya lokal yang ada, yang bersangkupaut pula dengan hak-hak dalam perceraian dan paska perceraian di Bulukumba.

Tidak ada statistik tentang angka perceraian yang terjadi di Bulukumba dan periode kerja lapangan yang singkat tidak memberi cukup data untuk mengkalkulasi probabilitas pada suatu tahun tertentu perihal masalah pernikahan akan berakhir

dengan perceraian. Oleh karena itu saya menggunakan pendekatan alternatif untuk menghitung tingkat perceraian, yaitu dengan menjadikan pembagi jumlah perceraian yang terjadi pada satu tahun tertentu terhadap jumlah pernikahan di tahun yang sama.

Menurut laporan tahunan Pengadilan Agama Bulukumba pada tahun 2008, ada 426 pengajuan berkas perceraian yang terdaftar. Pada tahun yang sama, juga ada 3700 perkawinan dilaksanakan. Dengan demikian, tingkat perceraian di Bulukumba pada tahun 2008 adalah sekitar 11,5 persen, sedikit lebih tinggi dari angka perceraian nasional, yaitu 10 persen pada tahun yang sama.

Pada tahun 2008, 345 dari 426 kasus perceraian yang diajukan adalah kasus gugat cerai, yaitu kasus perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Ini artinya, 81 persen dari kasus perceraian diajukan oleh pihak istri, prosentase kasus gugat cerai tersebut merupakan tertinggi se-Indonesia, mengingat fakta bahwa UU No.1/1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa perceraian yang dimohonkan pihak laki-laki juga memerlukan izin Pengadilan dan talak harus dijatuhkan dihadapan majelis Hakim. Bahkan UU Perkawinan mengubah ketentuan penjatuhan talak oleh laki-laki yang harus dilakukan di muka persidangan. Artinya, baik pria maupun wanita harus mengajukan berkas permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mendapatkan status hukum dan adanya kewajiban menyertakan alasan perceraian yang sama-sama berlaku bagi keduanya. Pada tahun 2009, 447 kasus perceraian yang terjadi, 364 (atau 81,4 persen) di antaranya diajukan oleh pihak istri. Ada 3.982 pernikahan juga yang terjadi pada tahun itu, ini menunjukan tingkat perceraian adalah 11,2 persen. Pada tahun 2010, jumlah kasus perceraian ada 519 kasus, dimana 392 berkas kasus diajukan oleh pihak istri (75,5 persen).

Dalam kenyataannya, instansi-instansi yang bersinggungan dengan masalah perempuan di Sulawesi Selatan dalam menangani kasus perceraian tampaknya tertinggal jauh di belakang . Mengulang perkataan Matthes, hoofdpriester atau sejenis penghulu (pejabat tinggi daerah yang menangani persoalan penduduk Muslim di zaman kolonial) di Makassar mengatakan bahwa selama karirnya ia telah menerima puluhan pengaduan cerai, namun ada ratusan perempuan yang datang kepadanya

ingin bercerai. 19 Bisa dimungkinkan, banyak pihak pada waktu itu tidak pergi ke penghulu, karena menurut hukum Islam [klasik], laki-laki memiliki hak secara

19 B.F. Matthes, Bijdragen tot de ethnologie van Zuid- Cele es ( s Gra e hage: Gebroeders Belinfante, 1875), 45.

independen untuk menceraikan istrinya tanpa melibatkan pihak lain, perbedaan mendasar antara laki-laki dan klien perempuannya dalam anekdot di atas menunjukkan bahwa, tentu saja, lebih banyak perempuan diceraikan oleh pihak suaminya dibanding vice in versa (sebaliknya).

Hasil dari survei menyangkut angka perceraian di sini menunjukkan bahwa perempuan di Bulukumba memang tidak menganggap perceraian menjadi milik kaum

laki-laki saja. 20 Berkaitan statmen yang menyatakan ‘hak untuk menceraikan ada pada pihak suami’, ada 76 persen responden tidak setuju dengan statmen tersebut, dan

10 persennya lagi menyatakan sangat tidak setuju, dibanding sebaliknya yang hanya 8 persen saja yang setuju dengan statmen ini. Sebaliknya, perempuan di Bulukumba menyadari bahwa mereka juga punya hak untuk menceraikan suaminya sebanyak 60,8 persen yang setuju, dan ada 36,7 persen yang sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Sebagian besar perempuan (66,7 persen) berpendapat bahwa mereka tidak seharusnya ‘membeli’ perceraian melalui prosedur khul (prosedur perceraian konsensual yang diakui dalam hukum Islam yang mana caranya kaum perempuan menawarkan (pengembalian) mahar kepada suaminya agar bisa bercerai), dibanding dengan 16,6 persen yang berpendapat pengembalian (setengah) dari mahar adalah cara yang benar bagi perempuan untuk menggolkan keinginan cerai jika suami pada

awalnya menolak untuk mengakhiri pernikahan. Dengan demikian, sebenarnya kaum

20 Survei tentang perceraian dan hak-hak perceraian ini dilakukan kepada 120 responden di empat kecamatan. Responden adalah masyarakat di bawah wilayah kerja

Pengadilan Agama setempat: Kecamatan Ujung Bulu, Gantarang, Bonto Bahari dan Bulukumpa, yang tersebar di empat desa dan empat kampung (wilayah-wilayah di seputaran kota). Sampel penelitian menargetkan para perempuan Muslim yang telah bercerai, utamanya yang telah memiliki keturunan, tetapi perceraiannya tidak harus bercerai secara resmi di Pengadilan Agama. Sayangnya, di beberapa desa di Bulukumba tersebut, sulit untuk tim peneliti menemukan angka perempuan cerai yang ditargetkan, perempuan yang bercerai dengan memiliki anak (15 responden per desa atau kelurahan). Untuk mencapai target 15 responden perdesa, sejumlah perempuan pernah menikah (21) dan sudah bercerai dari pernikahan sebelumnya dimasukkan ke dalam sampel beserta sejumlah perempuan yang bercerai tanpa/belum memiliki anak. Responden yang disebut terakhir terpaksa dilewatkan dalam beberapa pertanyaan tentang permasalahan terkait biaya nafkah/dukungan terhadap anak.

perempuan memiliki pemahaman cukup baik terhadap hukum bahwasanya mereka dapat menceraikan suaminya dengan menempuh prosedur Islam atau adat.

Gambaran di atas menunjukkan adanya kesadaran kuat kalangan perempuan akan hak-haknya dalam perceraian. Namun, adanya kesadaran ini tidak berkorelasi dengan persepsi kesetaraan gender. Patriarki adalah norma. Yang mencengangkan adalah 97 persen dari (semua perempuan) responden setuju dengan pernyataan bahwa suami adalah pemimpin keluarga. Urusan publik tanggung jawab laki-laki, termasuk sebagai kepala dan tulang punggung keluarga, bagaimanapun, ini dapat menjadi bumerang, karena contoh berikut akan menunjukkan.

Salah seorang perempuan yang telah bercerai, yang saya wawancarai, sebagai bagian dari penelitian kualitatif, sangat membenci perilaku pasif dan ambisi rendah suaminya. Setelah menikah ia dan suaminya masih tinggal di rumah mertua padahal mereka mampu untuk mandiri. Dia berkeinginan keluar dari rumah mertua suatu hari, tetapi suaminya tidak banyak upaya untuk mewujudkan kemandirian finansial. Sebagian besar kebutuhan pasangan suami istri ini masih mengandalkan dukungan orang tua suaminya, dan yang lebih buruk lagi suaminya suka berjudi dan minenggak ballo (tuak lokal). Dia sering menegur suaminya jika ia tidak menghentikan

kebiasaan menghambur-hamburkan uang tersebut, dia akan meninggalkannya. Pada satu malam, suaminya pulang larut malam dan ada tercium bau alkohol, sang istri

meledak kemarahannya. ‘Saya cambuk dia pake tongkat’ kata si istri bangga. Tidak lama setelah kejadian itu, si istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.

Cerita di atas menunjukkan bahwasanya perempuan Bulukumba memiliki otoritas besar dan kemandirian dalam keluarga, meski pembagian peran dalam keluarga jelas masih menjadi norma. Seorang suami Bugis atau Makassar yang baik diharapkan memiliki ambisi dan melakukan semua hal yang bisa dia kerjakan untuk

meningkatkan derajat keluarga dan kedudukannya di mata masyarakat. 21 Di sisi lain, perempuan memiliki kewenangan sebagai pengambil keputusan urusan rumah tangga

21 Nurul Il i Idrus, To take ea h other : Bugis practices of gender, sexuality and marriage, Tesis PhD, Australian National University, 2003; H.Th. Chabot, Kinship, status

and gender in South Celebes (Leiden: KITLV Press, 1996).

dan keluarga, terutama dalam situasi konflik intern keluarga. 22 Jika suami tidak bertindak seperti yang seharusnya diharapkan, si istri akan mengambil peran

suaminya, dan seringkali hal ini didukung oleh kerabatnya, bahkan pada akhirnya si istri tidak segan-segan meninggalkan suaminya.

Selain itu, orang Bugis Makassar menganut sistem kekerabatan assiajingeng (bilateral), perempuan tidak harus bergantung secara ekonomi kepada suaminya ketika bercerai karena mereka selalu bisa mengandalkan dukungan dari kerabat

mereka sendiri dan bagian warisannya. Karena perempuan dianggap penerus nama baik keluarga, dalam kelas menengah ke atas, status dan posisi suami mungkin juga rentan oleh perceraian sebagai akibat status dan karirnya, kondisi seperti ini sebagian

besar tercipta dari status sang istri dan keluarga besarnya. 23 Munculnya ketergantungan terhadap keluarga istri hanya terjadi bila suami bukan

dari golongan keluarga sederajat. Meskipun saya tidak dapat menghadirkan angka- angka dalam fenomena ini, tapi saya telah melakukan pengamatan selama melakukan sesi wawancara dan observasi persidangan, bahwa yang terjadi hari ini pada sejumlah besar kasus pernikahan di Bulukumba adalah perkawinan antar sepupu (dari kerabat), yang biasanya diatur oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya. Perkawinan dengan kelompok kerabat secara tradisional akan member keyakinan orang tua bahwa tidak ada perbedaan derajat antara pasangan, artinya penguasaan tanah masih dalam lingkup keluarga. Menurut istilah H.Th. Chabot, tujuan dari pernikahan antar sepupu

adalah ‘menjaga kemurnian darah keturunan dan kepentingan bersama’. 24 Selain itu, adanya perjodohan menunjukkan bahwa orang tua memiliki anak yang patuh, cara

pandang menilai watak baik atau tidaknya seseorang dianggap. 25 Ada yang mengatakan, penjodohan antarkeluarga di Sulawesi Selatan tampaknya masih lestari

22 Birgitt Röttger- Rössler, Shared respo si ilit : Some aspects of gender and authority i Makassar society’, Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 2000, 156 (3): 521–

538. 23 Ibid.

24 Chabot, Kinship, Status and Gender in South Celebes, 1996: 230.

25 Idrus, To take ea h other, :

ketimbang model pernikahan yang sama di tempat lain. 26 Pada abad kesembilanbelas,

B.F. Matthes memberikan catatan dalam tugas kepenghuluannya di Makassar setelah melakukan observasi, bahwa perjodohan tanpa persetujuan dari pasangan mempelai

seringkali menyebabkan pernikahan yang bahagia, perselingkuhan dan perceraian. 27 Cara pernikahan yang dijodohkan yang saya amati mendapati kesimpulan bahwa

terjadinya pada rentang usia yang sangat muda, sehingga meningkatkan ketidakstabilan biduk rumah tangga. Salah seorang perempuan yang saya wawancarai yang pernikahan pertamanya dengan sepupu sendiri dilangsungkan sejak ia lulus

Sekolah Dasar. Suaminya hanya beberapa tahun lebih tua usianya. Meski jelas-jelas dia masih seorang anak-anak pada saat pernikahan dilangsungkan, imam desa /Penghulu memberinya surat nikah resmi. P ernikahan sendiri hanya berumur setahun. Menurut dia, karena suaminya ‘masih bersikap kekanak-kanakan dan selalu keluar dengan teman- temannya meninggalkan dia sendirian di rumah’. Dia sendiri masih berumur 13 tahun, ia dan keluarganya memutuskan untuk pergi ke Pengadilan Agama untuk mengajukan berkas gugat cerai. Dia sendiri tidak bisa mengembalikan setengah nominal dari mahar yang telah diberikan pihak suami saat pernikahan, sebagaimana yang diwajibkan oleh hukum Islam klasik dalam pernikahan yang berujung adanya permohonan cerai dari pihak istri. Memang, suaminya tidak meminta untuk pengembalian setengah mahar, karena ‘dia masih keluarga’.

Ringkasnya, dalam masyarakat sistem patriarki sebagaimana di Bulukumba, instansi yang menangani perceraian perempuan, tampak terlihat dalam hasil survei yang dapat dijelaskan melalui faktor-faktor budaya. Faktor-faktor budaya sendiri juga menciptakan adanya kemandirian perempuan yang menikah secara lebih luas di bidang sosial-ekonomi dari adanya dorongan-dorongan peranan tradisionalnya yang diemban oleh kaum perempuan pada umumnya –bahkan menyangkut perjodohan anak sekalipun.

3.2 Beberapa alasan kaum perempuan melakukan perceraian

26 Ibid. 27 Matthes, Bijdragen tot de ethnologie van Zuid-Celebes, 1875.

Sekarang izinkan kami berpindah membahas alasan-alasan yang melatarbelakangi perceraian. Alasan perempuan untuk melakukan perceraian tidak selalu sesuai dengan dasar hukum dalam mengajukan perceraian sebagaimana statistik yang terdapat di Pengadilan Agama. Statistik yang dibuat oleh pegawai Pengadilan sendiri berdasar

pada ulasan singkat dari proses Persidangan. ‘Perselisihan terus-menerus’ adalah dasar hukum yang paling mudah dijumpai dalam permohonan perceraian yang disidangkan. 28 Kasus hukum perceraian sering juga dikatakan bahwa adanya

pengajuan permohonan perceraian itu sendiri merupakan bukti dari adanya keretakan rumah tangga. Karenanya, sebagian besar pegawai tidak perlu repot-repot untuk mencari alasan lain bagi perempuan yang mengajukan berkas permohonan gugat cerai, meski tidak terdapat alasan hukum yang sah untuk melakukannya (dalam pengajuan kasus yang terakhir ini juga acapkali mempermasalahkan tindakan dan moralitas suami dalam mempermasalahkan sengketa hak asuh anak). Oleh karena itu

dalam statistik di Pengadilan, dasar hukum ‘bertengkar terus-menerus’ menjadi alasan bagi banyak perempuan lainnya untuk mengajukan berkas perceraian.

Survei yang saya lakukan terhadap 120 responden memberikan gambaran yang lebih akurat terkait alasan utama perceraian. Saya mengadopsi serangkaian alasan perceraian dalam kuesioner yang dibagikan, mirip dengan alasan-alasan yang jamak ditemui dalam laporan tahunan Pengadilan Agama. Di antaranya ‘tidak ada keharmonisan’, ‘suami saya memiliki perempuan atau istri lain’, ‘alasan ekonomi’, ‘kekerasan dalam rumah tangga’, ‘tidak memiliki keturunan’ dan ‘adanya tekanan dari pihak ketiga’. Para responden diminta memilih alasan apa sebenarnya yang

melatarbelakangi perceraiannya. Alasan-alasan yang mendasarinya ternyata tidak seperti dalam laporan statistik tahunan Pengadilan Agama, responden memberikan ragam jawaban yang bisa memastikan bahwa alasan perempuan memilih bercerai secara spesifik tidak hanya alasan-alasan yang jamak dipakai untuk mengajukan berkas perceraian ke Pengadilan.

Hasilnya menunjukkan, banyak perempuan memilih lebih dari satu jawaban yang tersedia (multiple answers), dan khususnya, beberapa di antara mereka

28 Pasal 19 huruf (f) PP No. 45/1975.

mengkombinasikan jawabannya dengan jawaban ‘tidak adanya hubungan yang harmonis’. ‘Tidak ada hubungan yang harmonis’ sendiri menempati urutan pertama

dari daftar pilihan yang dipilih secara tunggal (single answer), tepatnya 36,7 persen dipilih para responden yang memberi jawaban tunggal, 40 persen lebih memilihnya se bagai salah satu alasan dari jawaban multipel mereka. ‘Suami saya memiliki wanita atau istri lain’ dipilih hanya oleh 5 persen responden sebagai alasan tunggal (single answer ) yang melatarbelakangi perceraian. Lainnya, 26,7 persen menyebutnya sebagai salah satu alasan dalam jawaban multipel mereka, utamanya dikombinasikan dengan ‘tidak ada hubungan yang harmonis’. ‘Kekerasan dalam rumah tangga’ dipilih sebesar 8.3 persen. Menunjuk angka yang sama juga dalam ‘alasan ekonomi’ dan ‘tekanan dari pihak ketiga’. Terakhir, ‘tidak punya keturunan’ menempati urutan

paling bawah di antara alasan yang dipilih, hanya dipilih oleh 7,5 persen responden. Dengan demikian, alasan utama perceraian adalah kurangnya keharmonisan antara pasangan, diikuti oleh perselingkuhan.

Penelitian di Indonesia dan di tempat lain telah menunjukkan bahwa perkawinan usia dini meningkatkan resiko perceraian terjadi. 29 Karena hal tersebut, survei juga

mencoba mengamati usia responden ketika mereka melakukan pernikahan untuk pertama kalinya. Di Bulukumba, 12,5 persen responden melakukan pernikahan sebelum usia yang disyaratkan hukum bagi perempuan untuk melaksanakan menikah, yaitu 16 tahun. Lebih dari separuh responden menikah sebelum menginjak usia 20. Hampir 90 persen dari responden menikah pada usia 25 tahun atau lebih muda. Usia rata-rata untuk pernikahan untuk pertama kalinya dari seluruh responden di Bulukumba adalah 22,4 tahun, lebih rendah dari usia rata-rata di Sulawesi Selatan

(23,6 tahun). 30 Ketika masyarakat Bulukumba melakukan pernikahan di bawah usia legal,

mereka tampaknya juga tidak pergi ke Pengadilan Agama untuk meminta dispensasi

29 Ga i W. Jo es, Whi h I do esia o e arr ou gest, a d h ? , Journal of Southeast Asian Studies, 2001, 32 (1): 67 – ; Philip Guest, Marital dissolutio and

de elop e t i I do esia , Jour al of Co parati e Fa ily Studies, 1992, 23 (1): 95–113. 30 Gavin W. Jones, Marriage and divorce in Islamic South-East Asia (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1994), 80.

kawin. Pada tahun 2010 sendiri tidak ada kasus pernikahan bawah umur yang tercatat. Ini cukup mengejutkan karena 12,5 persen masyarakat Bulukumba melakukan pernikahan di bawah usia legal, sementara 98,3 persen responden menjawab bahwa pernikahannya sudah teregistrasi secara resmi. Ada tiga penjelasan yang mungkin bisa diajukan: (i) pernikahan di bawah umur tidak didaftarkan hingga terpenuhinya usia menurut hukum, (ii) pernikahan di daftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA), lembaga di bawah Departemen Agama yang bertanggung jawab untuk mencatat pernikahan umat Muslim akan tetapi tanpa mengajukan dispensasi terlebih dahulu ke Pengadilan Agama, atau (iii) mereka menerima surat nikah palsu tapi tidak menyadarinya.

Isbat nikah (konfirmasi Pengadilan atas legalitas suatu pernikahan) menyediakan sarana legal untuk mencatatkan pernikahan informal yang telah dilangsungkan sesuai dengan persyaratan nikah menururt Agama. Pada tahun 2010, Pengadilan Agama Bulukumba menerima 43 kasus permintaan isbat nikah (lebih sedikit dibanding dengan 499 berkas kasus perceraian yang diajukan). Kebanyakan kasus isbat nikah dilakukan untuk maksud berkaitan hak-hak istri seorang PNS: tunjangan pasangan setelah perceraian atau dana pensiun bagi janda bersuami PNS setelah suaminya

meninggal. Sebagian besar pernikahan informal ini bisa juga disimpulkan bahwa terjadinya sebelum UU Perkawinan 1974 mulai diberlakukan. Tetapi perlu digarisbawahi, dengan menilik peregistrasian perkawinan informal ini dapat disimpulkan juga pernikahan dilaksanakan setelah tahun 1974, dan dalam beberapa kasus pernikahan di bawah umur kenapa dilegalkan ke Pengadilan, agar memiliki konsekuensi hukum berupa diperbolehkannya menempuh perceraian secara formal, dan lebih khusus lagi diakuinya hak-hak hukum istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tadinya tidak tercatat.

Selain pernikahan muda, praktek merantau, atau suami mencari lapangan pekerjaan keluar daerah, tampaknya juga berkontribusi pada angka perceraian. Dalam wawancara yang saya lakukan di desa Tamatto di Kecamatan Ujung Loe, beberapa perempuan yang telah bercerai menyampaikan kepada saya bahwa alasan perceraiannya adalah suaminya bekerja di luar daerah Sulawesi Selatan dan tidak Selain pernikahan muda, praktek merantau, atau suami mencari lapangan pekerjaan keluar daerah, tampaknya juga berkontribusi pada angka perceraian. Dalam wawancara yang saya lakukan di desa Tamatto di Kecamatan Ujung Loe, beberapa perempuan yang telah bercerai menyampaikan kepada saya bahwa alasan perceraiannya adalah suaminya bekerja di luar daerah Sulawesi Selatan dan tidak

Jika sudah seperti ilustrasi di atas, maka pihak-pihak yang bersinggungan dengan persoalan perempuan dalam masalah perceraian mungkin juga memiliki andil

terhadap siri 31 (kehormatan, derajat, rasa malu). Dihadapkan dengan tingginya persentase perempuan yang mengajukan gugat cerai, Prof. Nuril Ilmi Idrus dari

Universitas Hasanuddin di Makassar menjelaskan kepada saya bahwa memang sudah menjadi keumuman pengajuan gugat cerai kaum perempuan, karena dalam tradisi masyarakat Bugis, perempuan dianggap memegang kehormatan keluarga. Jika suami tidak bisa memenuhi standar dari si istri, si suami akan diceraikan. Selain itu menurut Prof. Idrus, perempuan Bugis akan menghindari untuk diceraikan suaminya dan mencoba untuk meyakinkan suaminya agar dia saja menceraikan suaminya, sehingga siri dan harga diri keluarga besarnya tetap terjaga.

Ringkasnya, kita telah melihat bahwa di Bulukumba, 75-80 persen dari adanya perceraian diajukan oleh kaum perempuan. Perceraian biasanya disebabkan oleh alasan intim, bukan materi atau ekonomi. Alasan yang mendasari perceraian yang dilatarbelakangi persoalan intim mungkin pernikahan usia dini, meski rata-rata usia perkawinan di Bulukumba berada di atas rata-rata nasional. Kebanyakan penyebab perceraian terjadi karena adanya fakta di antara pasangan tidak terjalin komunikasi dengan baik, sehingga memunculkan pertengkaran. Adanya pertengkaran dalam banyak kasus diperburuk lagi oleh perselingkuhan, poligami (yang ditempuh secara informal) atau kondisi ekonomi yang bahkan bisa berujung kekerasan. Namun, dalam contoh cambuk menunjukkan, sikap pasif dan perilaku negatif suami memiliki dampak ekonomi keluarga. Minum dan berjudi yang dilakukan suami membutuhkan biaya dan ujungnya memiliki dampak terhadap keuangan keluarga. Perempuan di Bulukumba, yang ditugaskan memikul kehormatan keluarga, manajer rumah tangga/ Adanya dukungan kerabat mereka, umumnya perempuan terberdayakan untuk keluar

31 Yang dimaksud siri di sini bukan nikah sirri, siri menurut adat orang Bugis adalah harga diri atau martabat tertinggi yang ada dalam diri seorang manusia.

dari lingkaran perkawinan yang tidak membahagiakan atau [dianggap] memalukan/aib.

3.3 Perceraian melalui Pengadilan: hanya perceraian secara sosial-kemasyarakatan yang diterima di Bulukumba Dengan diberlakukannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, bisa diartikan bahwa perceraian harus diajukan ke Pengadilan untuk mendapat legitimasi secara hukum. Dengan melakukan survei, kami bisa menilai sejauh mana negara telah berhasil menerapkan aturan hukum ke warga masyarakat di Bulukumba. Hasil penelitian menunjukkan, di Bulukumba ada kesadaran yang lumayan soal perceraian, yang memang seharusnya dilakukan melalui proses hukum negara dan tentu saja yang paling berhak menyimpulkan serta memutuskan adalah Pengadilan.

Ada tujuh puluh dua persen dari responden memilih perceraian melalui mekanisme Pengadilan dibandingkan dengan 25 persen yang tidak. Tim survei telah menunjukkan bahwa setidaknya terdapat sekitar 25 persen responden yang tidak melakukan perceraian melalui proses Pengadilan Agama, akan tetapi suami merekalah yang melakukan perceraian secara sepihak, yang kadang-kadang tanpa

sepengetahuan mereka. Sekilas, persentase perceraian yang ditempuh secara formal bisa jadi angkanya lebih tinggi, yang tentu saja akan mejadi formulasi jawaban ambigu atas apa yang dipertanyakan di sini: untuk menjadi jawaban apakah perempuan itu sendiri yang secara suka rela pergi ke Pengadilan untuk bercerai. Yang pasti, angka 72,5 persen telah menunjukkan bahwa di Bulukumba jumlah perceraian informal lebih rendah dibandingkan dengan angka 50 persen kasus perceraian secara

informal yang diperkirakan terjadi di seluruh Indonesia. 32 Untuk bisa melakukan perceraian secara formal, pertama-tama Anda harus menikah secara resmi terlebih

dulu. Di Bulukumba, pernikahan secara formal sudah menjadi norma masyarakat.

32 R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic law in contemporary Indonesia: ideas and institutions (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 2007).

Sebanyak 98,3 persen responden menjawab bahwa mereka telah mendaftarkan perkawinan pertamanya di Kantor Urusan Agama (KUA). 33

Angka-angka di atas menunjukkan adanya pemahaman hak pererceraian dan fakta adanya perubahan orientasi proses perceraian yang beralih melalui prosedur hukum sudah dikenal publik. Hal ini tercermin dalam angka 91,7 persen dari responden yang menjawab, bahwa salah satu yang menjadi kebutuhan mereka adalah untuk mendapatkan akta cerai secara resmi jika bercerai. Uniknya, ada dua puluh lima persen responden yang berpikir bahwa proses perceraian secara legal juga bisa dilakukan di KUA. Mungkin hal ini menggambarkan realitas lokal yang mana KUA atau aparat desa setempat juga melakukan mediasi dan layanan ‘bantuan hukum’ dan

membuatkan keterangan tertulis proses perceraian. Sumber informasi utama masyarakat dalam mengetahui tentang keberadaan Pengadilan Agama sebagai tempat untuk mengajukan proses perceraian adalah keluarga dan teman-teman (38 responden), kepala lingkungan (Ketua RT/RW) dan aparat desa (14 responden), informasi dari KUA (12 responden) , atau mereka tahu dengan sendirinya (sepuluh responden).

Wawancara semi-formal dengan 15 perempuan yang telah bercerai juga menegaskan adanya tingkat kesadaran yang tinggi. Membawa kasus perceraian ke Pengadilan Agama dianggap satu-satunya cara untuk bercerai oleh sebagian besar

narasumber. Hal ini merfleksikan jawaban turunan atas pertanyaan mengapa para narasumber memilih pergi ke Pengadilan Agama untuk melakukan proses perceraian dan tidak menempuh perceraian secara informal: ‘alasan [untuk bercerai] adalah aku

ingin bersih (tidak memiliki ikatan lagi), jika Anda hanya berpisah begitu saja, Anda tidak akan bersih’. Perceraian itu harus dilakukan ‘hitam di atas putih’. Jika tidak begitu, ‘maka akan sulit untuk menikah lagi’. Perempuan lainnya memberi

keterangan perihal perceraian melalui Pengadilan Agama dan melalui cara adat:

Peneliti : Kenapa Anda memilih cerai melalui Pengadilan Agama

33 Penduduk non muslim mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil yang mana di bawah naungan Kemenkumham.

dan tidak dengan cara lain? Saya menanyakan hal ini karena pada kenyataannya di wilayah Indonesia, perceraian informal cukup umum [seperti tempat lainnya], tidak perlu dilakukan di Pengadilan Agama.

Narasumber : Maksud Anda cerai di kampung saja (cerai yang berlaku

di desa tersebut)?

Peneliti

: Ya.

Narasumber : Karena biasanya adatnya juga begitu. Di sini Anda bisa bercerai dulu sebelum [melakukan proses cerai secara formal] ke Pengadilan….

Peneliti : Jadi di desa tidak ada orang yang bersedia menceraikan

pasangan (suami-istri)?

Narasumber

: Gak mau, takut.

Bahkan jika pernikahan berstatus tidak resmi, kaum perempuan lebih memilih perceraian resmi untuk mendapatkan status bersih. Bu Karmila telah menikah selama sembilan tahun dan dikaruniai dua anak dari perkawinan. Pernikahan tersebut berstatus informal karena KUA menolak untuk memberikan akta nikah bagi pasangan tersebut, karena suaminya masih terdaftar menikah dengan perempuan orang lain. Bu Karmila menjelaskan bahwa mantan suaminya memang telah menikah sebelumnya, tetapi telah bercerai dengan istri pertamanya melalui proses Pengadilan Agama. Menurut Bu Karmila, istri pertamanya tidak mau bekerja sama bagi pernikahannya dengan mantan suaminya dan tetap menyimpan akta cerai untuk dirinya sendiri. S etelah sembilan tahun perjalanan pernikahannya, Bu Karmila mendapati suaminya telah berselingkuh dan dia ingin melakukan gugat cerai ke suaminya secara formal sehingga ia bisa mendapatkan akta cerai resmi dan bebas untuk menikah kembali secara resmi di waktu berikutnya. Pengadilan Agama menyarankan prosedur isbat nikah , yang mana pernikahan pertama-tama harus diakui secara resmi terlebih dahulu, baru kemudian perceraian dapat dilakukan.