Dewan Komisaris Landasan Teori

2008, serta Lanis dan Richardson 2012 menggunakan ETR sebagai proksi untuk mengukur tax aggressiveness . Nilai ETR yang rendah dapat menjadi indikator adanya tindakan agresivitas pajak. Perusahaan-perusahaan yang menghindari pajak perusahan dengan mengurangi penghasilan kena pajak dan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah. Selain itu proksi Book Tax Difference BTD dapat digunakan sebagai proksi alternatif pengukuran agresivitas pajak. Book Tax Difference menggambarkan selisih antara laba akuntansi dengan laba fiskal. Perbedaan yang besar antara laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak di perusahaan umumnya menunjukkan tindakan agresivitas pajak yang lebih besar Desai dan Dharmapala, 2006.

2.1.3 Dewan Komisaris

Dalam menerapkan corporate governance , perusahaan harus menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance di setiap aspek bisnis perusahaan. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance KNKG tahun 2006, terdapat lima asas praktik corporate governance , yaitu: 1. Transparansi transparency, yaitu perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2. Akuntabilitas accountability, yaitu perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. 3. Pertanggungjawaban responsibility, yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen . 4. Kemandirian independency, yaitu perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kewajaran fairness, yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders lainnya yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gambar 2.1 Model Dual Board System di Indonesia Sumber: Forum for Corporate Governance in Indonesia , 2002 Dewan Direksi Rapat Umum Pemegang Saham RUPS Dewan Komisaris Penerapan struktur corporate governance di Indonesia menggunakan Model Dual Board System . Dalam sistem ini perusahaan memiliki dua badan terpisah yaitu Board of Commisioners Dewan Komisaris sebagai dewan pengawas, dan Board of Directors Dewan Direksi sebagai eksekutif perusahaan atau manajemen. Penerapan model dual board system inilah yang menyebabkan dewan komisaris menempati posisi penting dalam pengendalian internal dan pelaksanaan good governance, khususnya dalam pengawasan manajemen. Dewan komisaris bertugas menjamin pelaksanaan operasional perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta memastikan terlaksananya prinsip good corporate governance . Namun demikian, komisaris tidak boleh turut serta dalam pengambilan keputusan operasional. Tugas-tugas utama dewan komisaris meliputi: 1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. 2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil. 3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. 4. Memonitor pelaksanaan governance , dan mengadakan perubahan yang diperlukan. 5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi, yaitu terkait komposisi dewan komisaris yang harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen. Selain itu, dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite. Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance KNKG tahun 2006, perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, sekurang-kurangnya harus membentuk komite audit, sedangkan komite lain dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Bapepam-LK mewajibkan emiten dan perusahaan publik untuk mengungkapkan pelaksanaan corporate governance dalam laporan tahunan, yang mencakup frekuensi rapat dan kehadiran anggota dewan komisaris dan dewan direksi dalam rapat tersebut, frekuensi rapat dan kehadiran anggota komite audit, pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban dewan komisaris dan dewan direksi, serta remunerasi dewan komisaris dan dewan direksi. Rapat dewan komisaris merupakan proses yang dilakukan dewan komisaris dalam pengambilan keputusan. Rapat yang diselenggarakan dewan komisaris dilakukan untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh direksi. Sering dilakukannya pertemuan oleh dewan komisaris menyebabkan anggota dewan komisaris menjadi sering bertemu untuk membicarakan mengenai keputusan yang akan diambil, dan akan lebih sering mengawasi manajemen. Dengan demikian kemampuan pengawasan terhadap manajemen akan meningkat. Cotter et al. 1998 dalam Juwitasari 2008 menyebutkan bahwa frekuensi pertemuan dewan komisaris merupakan sumber penting untuk menciptakan efektivitas dewan komisaris.

2.1.4 Komite Audit