Tujuan Perkawinan Perkawinan Dalam Islam

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan ...Q.S. An- Nisa‟ 4: 1 2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan penuh kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Alloh dalam Q.S. Ar-Rum ayat 30: 21:                       Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berfikir ”.QS. Ar- Rum 30: 21. Adapun di antara hikmah yang dapat di temukan dalam pekawinan itu adalah menghalangi mata dari melihat hal-hal yang tidak di izinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. 35 d. Hukum Perkawinan Hukum nikah perkawinan, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut. 36 Segolongan Fuqoha’, yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para Ulama Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran kesusahan dirinya. 37 Dilihat dari dasar hukum perkawinan dapat disusun berdasarkan sumber hukum islam yaitu Al- Qur‟an dan Al-Hadist. 1 Berdasarkan Al- Qur‟an Allah SWT, Berfirman dalam Q.S. An- Nisa‟ 4: 1                     35 Amir Syarifuddin, Op. Cit, h. 80 36 Tihami, op.cit, h. 9. 37 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,Jakarta: Kencana, 2006, h. 16          Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu ”.Q.S. An-Nisa‟ 4: 1 Allah SWT. Berfirman Q.S. An-Nur 24 : 32                Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui ”.Q.S. An-Nur 24 : 32 2 Berdasarkan Hadist Rasulullah SAW. Bersabda: Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud berkata, Rasulallah SAW. Bersabda “Hai para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu menanggung beban nikah, maka kwinilah karena sesungguhnya kawn itu lebih dapat menundukan pandangan dan lebih dapat men jaga kemaluan; Dan siapa yang tidak mampu, maka hen daknyalah ia berpuasa karena sesungguhnya berpuasa itu baginya menjadi pengekang syahwat. ‟‟ Muttafaq „alaihi”. Rasulullah SAW. Bersabda: Artinya: “Menikahlah dengan wanita-wanita yang penuh cinta kasih dan banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat kelak ,”hadist yang diriwayatkan Abu Daud Nasa‟I, al- Hakim, dan disahihkan oleh al-Albani. Berdasarkan ayat Al- Qur‟an dan Hadist diatas, maka dapat dikatakan bahwa meskipun perkawinan itu hukum asalnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal- khamsah hukum yang lima sesuai dengan perubahan keadaan orang yang melaksanakannya serta tujuan melaksanakannya. Berikut secara rinci hukum pernikahan: a Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Wajib Bagi orang yang telah mempunnyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak menikah, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut wajib. b Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Sunnah Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkwinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat. c Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. d Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh Bagi orang yang mempunyai kemampun untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. e Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. 38 2. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, 38 Ibid, h. 21. seperti adanya calon pengantin laki-laki perempuan dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi suatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menurut islam calon pengantin laki-laki perempuan itu harus beragama islam. Sah yaitu sesutu pekerjaan ibadah yang memenuhi rukun dan syarat. Rukun perkawinan itu terdiri dari: a. Adanya calon suami dan istri yang akan melangsungkan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali yang akan menikahkannya. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW : Tidak sah menikah kecuali dengan adanya wali dan 2 orang saksi” d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. 39 Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perawinan, apabila syarat- syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua yaitu: a. Calon mempelai perempuannyai halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk selama-lamanya. 39 Abd. Rahman Ghazaly, Op Cit, h. 45. b. Akad nikahnya dihadiri para saksi. Didalam Undang-undang Perkawinan dan KHI syarat-syarat perkawinan adalah sebagai berikut: 1 Syarat- syarat mempelai pria adalah a Beragama Islam b Laki-laki c Jelas orangnya d Dapat memberikan persetujuan e Tidak terdapat halangan perkawinan 2 Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah a Beragama islam. b Perempuan. c Jelas orangnya. d Dapat dimintai persetujuan. e Tidak terdapat halangan perkawinan. 3 Syarat-syarat wali nikah adalah a Laki-laki. b Dewasa. c Mempunyai hak perwalian. d Tidak terdapat halangan perkawinan. 4 Syarat-syarat saksi nikah adalah a Minimal 2 orang laki-laki. b Menghadiri ijab qabul. c Dapat mengerti maksud akad. d Beragama Islam. e Dewasa. 5 Syarat-syarat ijab qabul adalah. a Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. b Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria. c Memakai kata-kata nikah atau semacamnya. d Antara ijab dan qabul bersambung. e Antara ijab dan qabul jelas maksudnya. f Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ihram hajiumrah. g Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal 4 orang yaitu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali dari mempelai wanita atau yang mewakilinya, dan 2 orang saksi. 40 3. Peminangan dalam Perkawinan Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang, yang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut “khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artiya meminta wanita untuk dijadikan istri, menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita, atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara- cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat. 41 Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. 42 Pada dasarnya, suatu perkawinan terjadi apabila saling mencintai, suka sama suka, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Peminangan lamaran dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanita itu. Lamaran sebagai langkah awal dan sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau hanya kenal melalui teman dan sanak keluarga, keterbukaan dan kejujuran sangat diperlukan dalam masa perkenalan itu. Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a memberikan devinisi bahwa peminangan adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan cara- 40 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Idonesia, cet-ke2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 12. 41 Abd. Rahman Ghazaly, Op Cit, h. 73. 42 Ibid, h. 74 cara yang baik ma‟ruf. Oleh karna itu peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang ingin mencari pasangan atau jodoh, dan dapat dilakukan oleh prantara yang dapat dipercaya atau walinya. 43 Peminangan juga dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagai contoh firman allah dalam Q.S. Al- Baqarah 1: 235 sebagai berikut:                                                  Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma´ruf. Dan janganlah kamu berazam bertetap hati untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya.Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa 43 Zainuddin Ali, Op Cit, h. 9 yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada- Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun ”.Q.S. Al- Baqarah 1: 235. Khitbah peminangan merupakan pernyataan yang jelas atas keinginan menikah, ia merupakan langkah- langkah menuju pernikahan, islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya. 44 Syarat peminangan tidak dapat dipisahkan dari halangannya. Karena syarat dan halangan peminangan diuraikan dalam suatu sub pembahasan. Peminangan dalam bahasa al- qur‟an disebut khitbah. Hal ini, diungkapkan oleh Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 253 seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sehingga garis hukum peminangan terinci di dalam pasal 12 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddah – nya. Selain itu, Pasal 12 ayat 2, 3, dan 4 menyebutkan larangan peminangan terhdap wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut. 45 1 Ayat 2: Wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah,, haram dan dilarang untuk dipinang. 44 Ali Yusuf As-Subki, fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, cet- ke1, Jakarta: Amzah, 2010, h. 66. 45 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, h. 81 2 Ayat 3: Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. 3 Ayat 4: Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi atau meninggalkan wanita yang dipinang. 46 Berdasarkan Pasal 12 ayat 2, 3, dan 4 KHI diatas, dapat ditentukan bahwa wanita yang termasuk untuk dipinang dalam Al- Qur‟an adalah sebagai berikut. 1 Wanita yang dipinang bukan istri orang. 2 Wanita yang dipinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain. 3 Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj‟i. Karena perempuan yang sementara menjalani iddah raj’i berarti masih ada hak bekas suami untuk merujukinya. 4 Wanita yang menjalani masa iddah wafat, hanya dapat dipinang dalam bentuk sindiran. 5 Wanita yang menjalani masa iddahbain sugra dari bekas suaminya. 6 Wanita yang menjalani masa iddah bain kubra dapat dipinang oleh bekas suaminya sesudah kawin dengan laki- laki lain ba‟da dukhul kemudian diceraikan. Sementara bekas suami dimaksud juga sudah menikah dengan perumpuan lain. 47 Dapat dipahami bahwa wanita yang mempunyai status dari yang dijelaskan diatas, terhalang untuk dipinang. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, ia berhak melihat wanita yang dipinangnya, hukumnya sunah. Dengan melihat 46 Ibid, h. 18 47 Ibid, h. 19. tersebut, pihak laki-laki dapat mengetahui identitas pribadi wanita yang akan menjadi calon istrinya. 48 a. Orang-orang yang boleh dipinang Pada dasarnya peminangan itu adalah peroses awal dari suatu perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secara hukum sara ‟ boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang-orang yang secara sara tidak boleh ddikawini. Tidak boleh meminang seseorang perempun yang masih punya suami, meskipun dengan sarat akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, baik dengan menggunakan bahasa terus terang atau dengan bahasa sindiran. Perempuan-perempuan yang telah dicerai suminya dan sedang menjalani iddah raj‟i sama kedaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidak bolehannya untuk dipinang baik dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alsannya iyalah bahwa perempuan dalam iddah talak raj‟i setatusnya sama dengan permpuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Perempuan yang sedang menjalani iddah karna kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun dibolehkan meminangnya dengan bahasa sindiran. Kebolehan meminang perempuan yang kematian suami dengan sindiran ini dijelaskan Alloh dalam surat Al-baqoroh ayat 235. Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak bain dalam bentuk faskha atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagai mana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini adalah oleh karna perempun itu 48 Zainudin Ali, Op.Cit, h. 10. dengan talak bain terebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya. b. Melihat Perempuan yang dipinang Waktu berlangsungnya peminangan laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya, meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang di percaya yang bunyinya: Artinya: “Apabila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat, maka ia dapat melihatnya, agar dapat mendorongnya untuk menikahinya maka laksanakanlah ”.Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. c. Batas yang boleh dilihat Meskipun hadis nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas- batasyang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan.Ini adalah batas yang umum aurat seseorang perempuan. Alasan dipadankan dengan muka dan telapak tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak tangan dapat diketahui kesuburan badannya. Ulama lain seperti Al- awza‟iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging. Daud Zahahiri berpendapat boleh melihat semua badan karena hadist nabi yang membolehka melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Adapun waktu meliihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyampaikan pinangan, bukan setelah nya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya. Pinangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah waktu itu dilangsungkan akad perkawinan.Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya selama masa antara peminangan dan perkawinan itu adalah sebagai mana hubungan laki-laki dan perumpuan asing.Oleh karena itu, belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara keduanya haram melakukan saling melihat sebagai mana haramnya saling melihat diantara laki-laki dan perumpuan yang bukan suami atau mahramnya. d. Membatalkan Pinangan Jika salah seorang peminang dan yang dipinang membatalkan pinangan setelah pemberitahuannya, dan jika peminang telah memberikan seluruh mahar atau sebagian maka haruslah dikembalikan menurut kesepakatan ulama fiqh. Karena peminangan seperti akad yang belum sempurna.Adapun jika yang diberikan merupakan hadiah maka baginya berlaku hukum hadiah.Baginya untuk mengembalikan jika tidak ada penghalang yang mencegah pengembalian dalam pemberian itu, seperti kerusakan dan hilangnya barang yang diberiakan tersebut. Jika yang membatalkan pihak peminang, maka tiadalah keharusan baginya untuk mengembalikan sesuatu dari yang diberikannya dan tidak mengembalikan sesuatu yang diinfakkan.Jika dari perempuan yang dipinang maka peminang mengembalikan sesuatu yang telah diinfakkan, dan mengembalikan hadiah yang diberikan kepadanya jika masih ada, atau sebesar nilai dari barang tersebut jika dirusakkan atau telah rusak, selama tidak adanya syarat atau kebiasaan selainnya.Ini merupakan pendapat yang diambil dari mazhab Maliki. 49 Sebagian ulama fiqh berpendapat ketidakbolehannya tuntutan ini karena pembatalan merupakan hak bagi setiap peminang dan yang dipinang. Tiada tanggungan bagi orang yang menggunakan haknya. Sebagian ulama fiqh melihat ada hukum penggantian jika pihak lain mengalami bahaya dengan sebab pembatalan ini, karena dalam hadis disebutkan: “Tiada bahaya dan tiada membuat bahaya” Bahaya telah terjadi dan hilang dengan penggantian. Mengenai pendapat yang terkuat rajih, kami mengatakan bahwa sesungguhnya bahaya dibagi dua, yaitu: 1. Bahaya yang muncul, bagi peminang yang termasuk selain pinangan dan keberpalingan darinya, seakan-akan ia meminta jenis yang jelas sebagai persedian, atau persiapan rumah tangganya kelak atas aturan khusus. Pada keadaan ini harus memberikan ganti karena ia yang mengubah pada keadaan yang lain dan perubahan mewajibkan penanggungan. 2. Bahaya yang muncul dari keterbatasan pinangan dan pembatalan darinya bukan tanpa sebab dan 49 Ali Yusuf Asubki, Op.Cit, h. 95. ini tidak ada penyesatan didalamnya, maka tidak ada keharusan memberi ganti. 50

B. Al- ‘Urf

1. Pengertian „Urf Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang sering diartikan dengan al- ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal. ‘Urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat „urf ini disebut sebagai adat. Kaidah fiqih yang berkaitan dengan ‘urf adalah 51 : “Adat itu dapat menjadi dasar hukum” 2. Macam-macam ‘Urf a. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam 52 : 1 ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlangsung dalam penggunaan kata-kata atau ucapan, kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan yang dipahami yang sering terlintas dalam fikiran masyarakat. 2 ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga dipandang sebagai norma sosial. b. Ditinjau dari segi ruang lingkup penggunaannya ‘Urf terbagi menjadi: 1 ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru 50 Ibid, h. 96. 51 Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, cet- 4, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 128. 52 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, cet- 7, Jakarta: Kencana, 2014, h. 413. dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. 2 ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu dan pada waktu tertentu, tidak berlau di semua tempat dan di sembarang waktu. c. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘Urf terbagi menjadi: 1 ‘Urf yang shahih, yaitu adat yang berulang- ulang dilakukan, diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. 2 ‘Urf yang fasid, yaitu ‘Urf yang berlaku disuatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang- undang negara, dan sopan santun. Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa suatu ‘urf dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat- syarat berikut: 1 ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. 2 ‘Urf berlaku secara umum, yaitu ‘urf tersebut berlaku di semua lapisan masyarakat dan dianut oleh mayoritas masyarakat. 3 „Urf yang termasuk yang shahih, yaitu tidak bertentangan dengan Nash sehingga dapat ditetapkan sebagai hukum atau adat. 4 ‘Urf yang dijadikan sandarandalam penetapan hukum itu telah ada berlaku saat itu bukan ‘urf yang muncul kemudian.

C. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dalam Hukum Adat

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Dalam Hukum Adat Perkawinan dalam arti „perikatan adat‟ adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan „rasan sanak‟ atau „rasan tuha‟.Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan kelanjutannya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat perkawinan. 53 Menurut hukum adat perkawinan itu bersangkut paut dengan urusan famili, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Berbeda dari perkawinan seperti masyarakat barat yang modern yang menganggap perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang kawin itu saja. 54 Dikalangan masyarakat hukum adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan genealogis, maka perkawinan merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, perkawinan juga merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat dan 53 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2000, h. 8. 54 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, h. 23.

Dokumen yang terkait

Prosesi Upacara Perkawinan Dan Makna Gelar Adat Bagi Masyarakat Adat Lampung Saibatin Paksi Benawang Buay Seputih

2 80 86

TRADISI SEBAMBANGAN (LARIAN) PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN DI KAMPUNG SRIMENANTI KABUPATEN WAYKANAN

6 86 62

PROSESI ADAT SEBAMBANGAN PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DI KECAMATAN SUNGKAI JAYA KABUPATEN LAMPUNG UTARA

2 66 70

Tradisi Sebambangan Dalam Adat Lampung Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Kelurahan Sinar Waya Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu Lampung

0 8 75

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SEBAMBANGAN (KAWIN LARI) DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT LAMPUNG PEPADUN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA.

0 0 1

PENYELESAIAN KAWIN LARI (SEBAMBANGAN) PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN DI KECAMATAN GUNUNG ALIP, TANGGAMUS

0 1 8

BAB II HAKIKAT GELAR ADAT LAMPUNG SAIBATIN - MAKNA GELAR ADAT LAMPUNG SAIBATIN (Studi di Pekon Kenali Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat) - Raden Intan Repository

0 2 16

BAB IV MAKNA GELAR ADAT LAMPUNG SAIBATIN - MAKNA GELAR ADAT LAMPUNG SAIBATIN (Studi di Pekon Kenali Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat) - Raden Intan Repository

0 0 8

BAB II HAKIKAT SIGOKH PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN A. Masyarakat adat Lampung saibatin 1. Konsep masyarakat - MAKNA FILOSOFIS SIGOKH PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN (Studi Pada Marga Pugung Penengahan Kecamatan Lemong Kabupaten Pesisir Bara

0 0 32

BAB IV ANALISIS MAKNA FILOSOFIS SIGOKH PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN A. Analisis Simbol Detail Sigokh Pada Masyarakat Adat Lampung Saibatin Di Marga Pugugung Penengahan Kecamatan Lemong Kabupaten Pesisir Barat - MAKNA FILOSOFIS SIGOKH PADA MASYARA

0 0 13