Perbedaan Postpurchase Dissonance Ditinjau Berdasarkan Tipe Konsep Diri

PERBEDAAN POSTPURCHASE DISSONANCE DITINJAU BERDASARKAN TIPE KONSEP DIRI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Skripsi Oleh:
ASTRI MEGAH KRISTA 081301118
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GANJIL, 2012/2013

Perbedaan Postpurchase Dissonance Ditinjau Berdasarkan
Tipe Konsep Diri
Astri Megah Krista Perangin-angin dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRAK
Ada dua tipe konsep diri yaitu tipe interdependent dan independent. Konsumen interdependent merupakan konsumen yang cenderung bergantung dan menekankan aktifitas sosial, sedangkan konsumen independent merupakan konsumen yang mandiri dan terpisah dari hubungan dengan orang lain. Ketika konsumen menemukan faktor negatif dari alternatif pilihannya maka hal ini dapat menyebabkan keraguan setelah membeli produk tersebut. Hal ini disebut dengan postpurchase dissonance.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif dan bertujuan untuk mengetahui perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen. Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 86 orang konsumen yang terdiri dari 34 subjek termasuk tipe interdependent dan 39 subjek termasuk tipe independent. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan purposive sampling. Data penelitian dikumpulkan menggunakan skala postpurchase dissonance dan skala tipe konsep diri. kemudian data dianalisis menggunakan statistik uji t.
Hasil dari analisa data menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri. Hal ini dikarenakan oleh nilai barang yang tinggi, kurangnya pengetahuan terhadap produk, dan kekurangan atau kelebihan dari alternatif.
Implikasi dari penelitian ini memberikan penjelasan mengenai dampak tipe konsep diri terhadap postpurchase dissonance pada konsumen.
Kata kunci: Postpuchase Dissonance, Interdependent, Independent, konsep diri, konsumen

The Different of Postpourchase Dissonance based on Type of Self Concept
Astri Megah Krista Perangin-angin dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRACT
There are two of self concept namely interdependent and independent. Interdependent consumer is a consumer that more dependent with the similarity to the other people, minimize of social activity, while independent consumer is a self independence consumer and did not depend to the other people. When individuals find the negative factor of their alternatives choices, it cause doubt after purchasing the product. It is known as postpurchase dissonance.

The study was a comparative quantitative and aims to find out the different of postpourchase dissonance based on type of self concept. The number of samples were 86 consumer consisted of 34 interdependent type and 39 independent type. The sampling technique was used purposive sampling. Data was collected using the scale of postpurchase dissonance and self concept scale and statistically analysis using t-test.
The result showed that there was no difference of postpurcahse dissonance based on type of self concept. It is caused by the higher price, the lack of product knowledge, and the lack choice.
The implication of this study could be explained about the impact of self concept towards consumers in postpurchase dissonance.
Keywords : Postpourchase Dissonance, Interdependent, Independent, self concept consumer

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan yang berjudul “Perbedaan Postpurchase Dissonance antara Konsumen yang Interdependent dan Independent Self Concept”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. ALLAH YAHWE yang telah memberikan nafas kehidupan, sukacita dan pengharapan yang luar biasa yang dapat saya terima.
2. Ibu Prof. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
3. Pak Eka Danta Jaya Ginting, S. Psi, Psi. Sebagai dosen pembimbing skripsi yang banyak memberikan bantuan dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.
4. Ibu Fasti Rola, M.psi., psi. selaku dosen pembimbing akademik.
5. Seluruh dosen pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU
6. Mama dan papa yang saya cintai yang telah banyak memberikan doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang yang sangat luar biasa.
7. Suamiku tercinta yang selalu ada diwaktu susah maupun senang yang selalu memberikan perhatian, kasih sayang dan cinta yang sangat luar biasa.

8. Mertua saya, bibik dan kila yang banyak memberikan dukungan, semangat yang tiada henti-hentinya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Kak laura, Bang dipa, Mak kia, Mas roni dan dek andi yang banyak memberikan masukan dan semangat agar dapat menyelsaikan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabatku Ester, Della, Ayu, Ami yang selalu menjadi teman cerita, teman jalan, teman gila-gilaan, dan teman berantam selama masa perkuliahan.
11. Seluruh teman-teman angkatan 2008 yang memberikan kebahagiaan selama masa perkuliahan.

12. Seluruh pihak yang telah memberikan masukan, dukungan, saran, serta bantuan selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Medan, Desember 2012
Penulis

DAFTAR ISI
COVER HALAMAN DEPAN ............................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv ABSTRACT.......................................................................................................... v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI......................................................................................................... viii DAFTAR TABEL................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 10 C. Tujuan Penelitian............................................................................... 10 D. Manfaat Penelitian............................................................................. 10 E. Sistematika Penelitian........................................................................ 12 BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................. 14 A. Postpurchase Dissonance................................................................. 14
A. 1. Definisi Postpurchase.............................................................. 14
A. 2. Definisi Postpurchase Dissonance .......................................... 14 A. 3. Aspek-aspek Pengukuran Postpurchase Dissonance .............. 16
A. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance 17 B. Konsep Diri....................................................................................... 20

B. 1. Definisi Konsep Diri ................................................................ 20 B. 2. Konsep Diri yang Interdependent ............................................ 21 B. 3. Konsep Diri yang Independent ................................................ 23 C. Dinamika Interdependent dan Independent Self Concept Terhadap Postpurchase Dissonance................................................. 24 D. Hipotesa Penelitian ........................................................................... 30 BAB III METODE PENELITIAN....................................................................... 31
A. Identifikasi Variabel Penelitian ....................................................... 31 B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ........................................ 32
1. Postpurchase Dissonance ............................................................ 32 2. Tipe Konsep Diri ......................................................................... 33 C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ...................... 34 1. Populasi dan sampel .................................................................... 34 2. Teknik pengambilan sampel ........................................................ 35 D. Alat Pengumpulan Data................................................................... 35 1. Skala postpurchase dissonance ................................................... 36 2. Skala interdependent/independent............................................... 38 E. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur.......................................... 39 1. Uji validitas.................................................................................. 41 2. Uji reliabilitas alat ukur ............................................................... 41 3. Uji daya beda aitem ..................................................................... 42 F. Hasil uji coba alat ukur .................................................................... 43 1. Skala postpurchase dissonance ................................................... 43 2. Skala tipe konsep diri (interdependent/independent) .................. 43 G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ..................................................... 45

1. Tahap persiapan penelitian .......................................................... 45 2. Tahap pelaksanaan....................................................................... 46 3. Tahap pengolahan data ................................................................ 47 H. Metode Analisa Data ....................................................................... 47 1. Uji Normalitas ............................................................................. 48 2. Uji Homogenitas.......................................................................... 48 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ............................................ 49 A. Analisa Data .................................................................................... 49 1. Gambaran subyek penelitian ....................................................... 49 2. Hasil Penelitian............................................................................ 56 B. Pembahasan ..................................................................................... 60 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 64 A. Kesimpulan ...................................................................................... 64 B. Saran ................................................................................................ 65 1. Saran metodologis ....................................................................... 65 2. Saran Praktis ................................................................................ 66 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68 LAMPIRAN ......................................................................................................... 71

DAFTAR TABEL


Halaman

Tabel 1 Distribusi aitem-aitem dalam skala

postpurchase dissonance

37

Tabel 2 Distribusi aitem-aitem dalam skala

interdependent/independent

38

Tabel 3 Kategorisasi Z skor untuk tipe interdependent/independent

39

Tabel 4 Distribusi aitem-aitem skala interdependent/independent


setelah uji coba

44

Tabel 5 Distribusi aitem-aitem skala interdependent/independent

untuk penelitian

45

Tabel 6 Penyebaran subjek berdasarkan tipe interdependent/independent 49

Tabel 7 Penyebaran subjek untuk tipe interdependent berdasarkan

jenis kelamin

50

Tabel 8 Penyebaran subjek untuk tipe independent berdasarkan


jenis kelamin

51

Tabel 9 Penyebaran subjek untuk tipe interdependent berdasarkan

usia 51

Tabel 10 Penyebaran subjek untuk tipe independent berdasarkan usia

52

Tabel 11 Deskripsi data berdasarkan rentang waktu dissonance

pada konsumen tipe interdependent

53

Tabel 12 Deskripsi data berdasarkan rentang waktu dissonance


pada konsumen tipe independent

54

Tabel 13 Deskripsi berdasarkan alokasi dana pada konsumen

tipe interdependent

55

Tabel 14 Deskripsi berdasarkan alokasi dana pada konsumen

tipe independent

55

Tabel 15 Hasil uji normalitas

56


Tabel 16 Hasil uji homogenitas

57

Tabel 17 Independent samples test

57

Tabel 18 Deskripsi skor postpurchase dissonance

58

Tabel 19 Mean empirik dan mean hipotetik variable

postpurchase dissonance

59

Tabel 20 Kategorisasi data berdasarkan postpurchase dissonance


60

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Interdependent Construal of self Gambar 2 Independent Construal of self Gambar 3 Skema Dinamika Interdependent/Independent
Terhadap Postpurchase Dissonance

22 24
30

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji coba dan Hasil uji coba

71

Tabulasi Skor mentah Uji coba Skala Tipe Konsep Diri 72

1. Tabulasi skor uji coba dan reabilitas tipe interdependent 74

2. Tabulasi skor uji coba dan reabilitas tipe independent 80


Lampiran 2 Penelitian dan hasil penelitian

89

1. Skala postpurchase dissonance dan skala Tipe Konsep

Diri 90

2. Tabulasi skor skala postpurchase dissonance dan

skala Tipe Konsep Diri

97

3. Hasil pengolahan data

102

a. Uji normalitas


102

b. Uji homogenitas

103

c. Hasil perhitungan t-test

103

Perbedaan Postpurchase Dissonance Ditinjau Berdasarkan
Tipe Konsep Diri
Astri Megah Krista Perangin-angin dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRAK
Ada dua tipe konsep diri yaitu tipe interdependent dan independent. Konsumen interdependent merupakan konsumen yang cenderung bergantung dan menekankan aktifitas sosial, sedangkan konsumen independent merupakan konsumen yang mandiri dan terpisah dari hubungan dengan orang lain. Ketika konsumen menemukan faktor negatif dari alternatif pilihannya maka hal ini dapat menyebabkan keraguan setelah membeli produk tersebut. Hal ini disebut dengan postpurchase dissonance.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif dan bertujuan untuk mengetahui perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen. Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 86 orang konsumen yang terdiri dari 34 subjek termasuk tipe interdependent dan 39 subjek termasuk tipe independent. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan purposive sampling. Data penelitian dikumpulkan menggunakan skala postpurchase dissonance dan skala tipe konsep diri. kemudian data dianalisis menggunakan statistik uji t.
Hasil dari analisa data menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri. Hal ini dikarenakan oleh nilai barang yang tinggi, kurangnya pengetahuan terhadap produk, dan kekurangan atau kelebihan dari alternatif.
Implikasi dari penelitian ini memberikan penjelasan mengenai dampak tipe konsep diri terhadap postpurchase dissonance pada konsumen.
Kata kunci: Postpuchase Dissonance, Interdependent, Independent, konsep diri, konsumen


The Different of Postpourchase Dissonance based on Type of Self Concept
Astri Megah Krista Perangin-angin dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRACT
There are two of self concept namely interdependent and independent. Interdependent consumer is a consumer that more dependent with the similarity to the other people, minimize of social activity, while independent consumer is a self independence consumer and did not depend to the other people. When individuals find the negative factor of their alternatives choices, it cause doubt after purchasing the product. It is known as postpurchase dissonance.
The study was a comparative quantitative and aims to find out the different of postpourchase dissonance based on type of self concept. The number of samples were 86 consumer consisted of 34 interdependent type and 39 independent type. The sampling technique was used purposive sampling. Data was collected using the scale of postpurchase dissonance and self concept scale and statistically analysis using t-test.
The result showed that there was no difference of postpurcahse dissonance based on type of self concept. It is caused by the higher price, the lack of product knowledge, and the lack choice.
The implication of this study could be explained about the impact of self concept towards consumers in postpurchase dissonance.
Keywords : Postpourchase Dissonance, Interdependent, Independent, self concept consumer

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan perilaku konsumsi, konsumen harus mampu untuk mengambil keputusan dalam membeli suatu produk. Mengambil keputusan untuk membeli suatu produk tidaklah semudah yang dipikirkan. Konsumen harus benar-benar mengetahui kebutuhan apa yang harus dikonsumsi agar konsumen tidak mengalami keraguan setelah melakukan pembelian. Sejumlah tahapan-tahapan harus dilalui konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk, antara lain pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli, dan tahap akhirnya adalah pembelian (Schiffman & Kanuk, 1994). Tahapan ini harus dilalui agar konsumen puas dengan barang atau jasa yang dikonsumsi.
Konsumen sering sekali mengalami kecemasan setelah melakukan pembelian karena ketidaksesuaian terhadap produk yang telah dibeli. Ketidaksesuaian ini menyebabkan perasaan bersalah atau cemas sehingga umumnya konsumen berusaha untuk mengurangi perasaan tidak nyaman ini dengan mengambil beberapa tindakan, yang mampu mengubah sikap atau memodifikasi perilaku (Solomon, 2007). Konsumen yang mengalami kecemasan ataupun keraguan setelah melakukan pembelian ini dikenal dengan postpurchase dissonance. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) mendefinisikan postpurchase

dissonance sebagai suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen. Keraguan dan kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut berada dalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat keputusan dari pilihan alternatif lainnya yang tidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut. Semakin menarik alternatif yang diabaikan konsumen, maka semakin besar pula disonansi yang dialami konsumen (Stanton, 1996).
Fenomena Postpurchase dissonance merupakan perasaan psikologis yang tidak nyaman sebagai akibat dihadapkannya seseorang pada berbagai alternatif pilihan, di mana setiap alternatif mempunyai atribut yang diinginkan. Hal ini terjadi ketika konsumen dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka mengambil sebuah keputusan untuk membeli suatu produk, sehingga konsumen akan mengalami keraguan setelah membeli produk tersebut. Saat pembelian terjadi, konsumen cenderung meragukan kebijakan yang telah dilakukan untuk membeli barang tersebut. Sehingga berdampak pada perilaku konsumen yang cenderung tidak membeli ulang produk tersebut karena merasa tidak puas (Hawkins, Mothersbaugh, Best 2007).
Postpurchase Dissonance memiliki tiga dimensi yaitu Emotional, Wisdom of Purchase, dan Concern Over Deal. Emotional merupakan ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli setelah orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya sendiri. Wisdom of purchase merupakan kesadaran individu setelah dilakukan pembelian apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau tidak

membutuhkan produk tersebut. Concern over deal merupakan kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual terhadap keyakinan mereka sendiri atas produk yang mereka beli (Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000).
Selain itu, ada juga faktor-faktor penyebab postpurchase dissonance yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor internal adalah kondisi kepribadian individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk yang telah dipilihnya, tingkat pengetahuan dan keberanian mengambil resiko. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi di luar individu, dalam hal ini misalnya adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi (Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993). Kedua faktor tersebut sangat menarik untuk ditelaah karena faktor internal dan eksternal merupakan dua faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan pembelian pada suatu produk.
Sebagai salah satu fenomena yang terkait dengan postpurchase dissonance, dapat dilihat melalui fenomena perkembangan teknologi Honda Brio yang merupakan produk terbaru dari Honda yang sudah di produksi massal di Thailand sejak tahun 2011. Dimana Brio hadir untuk mengisi pasar mobil kategori city car di Negara Asia. Sebelum Honda Indonesia memasarkan Hondra Brio di Indonesia, Honda Indonesia terlebih dahulu melakukan penelitian mendalam di pasar Indonesia, dimana Brio disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di tanah air. Strategi yang dilakukan Honda Indonesia untuk

memasarkan Brio di dalam negeri adalah sejalan dengan konsep Konfirmasi di era New Wave Marketing. Tim Honda masuk ke masyarakat untuk meminta masukan dan konfirmasi dari mereka, hal ini agar tim Honda mengetahui keinginan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri (Marketeers, 2011).
Berdasarkan konfirmasi itulah Brio akan diedarkan di pasaran. Melalui konfirmasi, produsen berupaya mengajak konsumen berbicara sehingga terjadi komunikasi antara produsen dengan calon konsumen. Melalui konfirmasi perusahaan sebenarnya menguji kebenaran yang dianutnya. Perusahaan berupaya menghilangkan semua keraguan yang ada dengan mencari fakta-fakta yang kuat sehingga ketika produk hadir di pasar Honda Brio dapat diterima dengan baik di masyarakat dan menghilangkan kecemasan dan keraguan terhadap produk yang telah dipasarkan (Marketers, 2011).
Dari fenomena diatas bahwa konfirmasi yang dilakukan tim Honda kepada masyarakat untuk melihat bagaimana kepribadian masyarakat Indonesia dapat menerima kehadiran Brio untuk memenuhi kebutuhan konsumen sendiri. Konsumen yang terlibat dalam proses pembelian juga memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda-beda dalam mengambil keputusan untuk melakukan pembelian suatu produk. Kepribadian sering diartikan sebagai karakteristik individual yang merupakan perpaduan dari sifat, temperamental, kemampuan umum dan bakat yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh interaksi individu dengan lingkungan. Kepribadian juga diartikan sebagai karakteristik yang ada dalam diri individu yang melibatkan berbagai proses psikologis yang akan menentukan kecenderungan dan respon terhadap lingkungan. Kepribadian

seorang konsumen itu sifatnya unik karena setiap konsumen tidak sama persis. Terdapat beberapa karakteristik penting yang berkaitan dengan definisi kepribadian, antara lain: (1) Kepribadian antarindividu berbeda; (2) Kepribadian terbentuk karena interaksi dengan lingkungan; (3) Kepribadian bersifat relatif permanen; dan (4) Kepribadian yang berubah (Suryani, 2008).
Meskipun disadari bahwa relatif sulit untuk mengukur kepribadian konsumen, bukan berarti bahwa hal ini menyulitkan pasar dan membuat pemasar tidak dapat membuat apapun. Pada hakekatnya kepribadian adalah suatu kondisi kenyataan yang melekat pada konsumen. Misalnya seorang pemasar mobil mengetahui bahwa dari aspek kepribadian ada konsumen yang memiliki kepribadian cenderung menyukai petualangan namun ada yang menyukai kelembutan. Kondisi ini dimanfaatkan untuk mendisain mobilnya sesuai dengan segmen yang dituju. Seorang pemasar telepon genggam yang menyadari bahwa ada konsumen yang tingkat inovasinya tinggi dan sebaliknya ada yang rendah dapat memilih segmen konsumen yang inovasinya tinggi atau sebaliknya dapat memilih segmen yang tingkat inovasinya rendah. Pemilihan segmen inilah yang nanti akan mempengaruhi strategi bersaing terutama dalam pengembangan produk, disain promosi dan lainnya (Suryani, 2008).
Schultz & Schultz (1994) mengatakan bahwa kepribadian adalah aspekaspek internal dan eksternal yang unik yang relatif menetap dari karakter seseorang yang mempengaruhi tingkah laku dalam berbagai situasi yang berbeda. Allport (dalam Suryabrata, 2010) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya

yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Hall & Lindzey (1985) mengatakan kepribadian merupakan konsep-konsep tertentu yang digunakan oleh para ahli dalam memahami perilaku manusia.
Kepribadian secara jelas akan sangat berpengaruh dalam kehidupan konsumen. Misalnya, individu sering bertemu dengan orang yang cocok dengan kepribadiannya, tetapi individu juga seringkali menjumpai orang yang berbeda kepribadiannya. Begitupun saat berusaha menjual sesuatu kepada konsumen, para produsen seringkali sulit untuk masuk ke hati para konsumen karena kurang mengetahui karakter dan kepribadian dari konsumen. Produsen yang mendekati konsumen pada suatu kondisi “direct response marketing” sangat perlu memahami karakter dan kepribadian konsumennya. Hal ini untuk mencegah suatu kondisi yang tidak nyaman dan akhirnya keberhasilan “marketing” menjadi taruhannya (Andri, 2011).
Salah satu bentuk dari kepribadian adalah konsep diri yang dapat mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan membeli. Konsep diri merupakan akumulasi ide seseorang, pikiran dan perasaan tentang diri sendiri dan hubungannya dengan objek lain dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain konsep diri merupakan bagaimana seseorang berpikir atau melihat dirinya sendiri. Gambaran yang diberikan oleh setiap individu mengenai dirinya sendiri mungkin berbeda dengan gambaran yang dilihat oleh orang lain mengenai indiviu tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa konsep diri merupakan totalitas pikiran dan

perasaan individu yang mengarah kepada diri mereka sebagai objek (Hawkins, Mothersbaugh, Best, 2007).
Konsep diri sangat terkait dengan karakter dan sifat-sifat dari kepribadian yang dapat merefleksikan perilaku konsumsinya. Misalnya, seorang konsumen dapat memandang dirinya sebagai orang yang modern dan dapat dengan mudah menerima inovasi. Menurut Loudon dan Bita (1993) teori utama tentang konsep diri dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Self-Appraisal merupakan diterima atau tidaknya perilaku seseorang di masyarakat; (2) Reflected-Appraisal merupakan konsep diri yang terbentuk karena menerima penghargaan dari orang lain dan cenderung menganggap seseorang pasif; (3) Social-Comparison merupakan seseorang sangat tergantung bagaimana dia memandang dirinya dalam kaitannya dengan orang lain; (4) Biased-Scanning merupakan bagaimana pandangan seseorang terhadap lingkungannya. Berdasarkan keempat uraian di atas diartikan bahwa pengembangan konsep diri sangat tergantung pada aspirasi dan motivasi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.
Disamping itu, Mowen (1995) mengatakan bahwa konsumen juga memiliki kebutuhan untuk bersikap sesuai konsep diri mereka secara konsisten sehingga konsep diri merupakan salah satu faktor pembentuk kepribadian, yaitu pola khusus meliputi pemikiran dan emosi, yang membentuk adaptasi seseorang terhadap situasi di dalam hidupnya. Pola perilaku khusus ini dapat mempengaruhi pola keputusan pembelian suatu produk oleh konsumen. Konsumen seringkali

mengkonsumsi produk yang sesuai dengan konsep dirinya untuk dapat menunjukan siapa sebenarnya dirinya.
Menurut Abe, Bagozzi, & Sadarangani (dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007) konsep diri dibagi ke dalam dua kategori, yaitu konsep diri yang bersifat independent dan interdependent. Konsep diri independent didasarkan pada budaya barat yang menganggap bahwa tiap individu benar-benar terpisah. Konsep diri independent menekankan pada hal-hal seperti tujuan pribadi, karakteristik, pencapaian dan keinginan. Mereka yang memiliki konsep diri kategori ini akan cenderung individualistis, egosentris, dan mengandalkan pada diri sendiri (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007). .
Di sisi yang lain terdapat konsep diri yang bersifat interdependent. Kategori ini di dasarkan pada budaya Asia yang mempercayai adanya keterkaitan antar manusia. Konsep diri ini menekankan pada hal-hal seperti keluarga, budaya, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka yang memiliki konsep diri ini cenderung taat terhadap peraturan, sociocentris, memiliki keterkaitan tinggi dengan lingkungannya, dan berorientasi pada hubungan (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Perbedaan konsep diri telah terbukti mempengaruhi perilaku konsumen, seperti pesan-pesan yang dapat dicerna oleh konsumen, konsumsi produk-produk mewah, dan jenis maupun merek produk yang terpilih dan dibeli oleh konsumen. Para pemasar sering menggunakan pemahaman akan peran konsep diri dalam menerapkan strategi pemasaran. Contohnya, dalam sebuah iklan yang

menampilkan kesan kebersamaan atau kekeluargaan akan lebih efektif bagi konsumen yang memiliki konsep diri yang interdependent, sedangkan konsumen dengan konsep diri yang independent cenderung akan melakukan pembelian tanpa melibatkan pendapat atau kehadiran orang lain dalam mengambil keputusan untuk membeli suatu produk (Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Konsumen yang memiliki konsep diri yang independent cenderung tidak mudah dipengaruhi oleh pemasar atau orang lain dalam membeli suatu produk karena konsumen yakin akan pilihannya sendiri dalam membeli suatu produk. Konsumen yang independent akan mengambil keputusan membeli dengan cepat atas dasar pertimbangannya sendiri dan mereka bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk tanpa melibatkan informasi-informasi dari luar individu. Hal ini karena konsumen yang independent merasa pilihannya selalu benar dan tepat dan tidak membutuhkan informasi dari pihak luar mengenai produk yang hendak dibeli (Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Di sisi lain, Konsumen yang memiliki konsep diri yang interdependent cenderung berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain dalam melakukan pembelian dengan melibatkan pendapat atau kehadiran pemasar atau orang lain dalam membeli suatu produk (Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007). Konsumen yang interdependent sangat percaya diri mengambil keputusan untuk membeli suatu produk jika mendapatkan informasi-informasi yang jelas dan mendukung mengenai produk yang dibeli dari pemasar, atau pihak luar seperti keluarga dan kerabat dan hal ini bertujuan untuk membantu konsumen mengetahui kelebihan dan kekurangan produk yang dibeli oleh konsumen.

Namun, individu yang interdependent akan sulit mengambil keputusan dalam pembelian kebutuhannya karena banyak alternatif-alternatif yang disediakan oleh pemasar ataupun pihak luar yang memberikan kelebihan masing-masing produk lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih (Stanton, 1996).
Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada “Perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi, terlebih mengenai perilaku konsumen yang berkaitan dengan postpurchase dissonance dan hal-hal apa saja yang mempengaruhi

postpurchase dissonance. Diantaranya tentang perbedaan Postpurchase Dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen
2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan sangat bermanfaat bagi: a. Konsumen a.1 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai tipe konsep diri. a.2 Konsumen mengetahui tipe konsep diri seperti apa yang mewakili
dirinya dalam membeli suatu produk. b. Pemasar
b.1 Pemasar harus tanggap akan kebutuhan para konsumen dengan menyediakan berbagai alternatif kebutuhan yang dapat memuaskan konsumen
b.2 Pemasar mampu membaca karakteristik kepribadian konsumen untuk dapat menciptakan kebutuhan sesuai kepribadian konsumen.
b.3 Pemasar mampu membaca tipe konsep diri setiap konsumen yang dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini menjelaskan mengenai berbagai literatur serta beberapa hasil penelitian mengenai postpurchase dissonance yang menjelaskan terjadinya keraguan setelah melakukan pembelian karena alternatif produk sejenis lainnya yang tidak jadi dipilih oleh konsumen.
Bab II Landasan Teori
Bab ini terdiri dari pembahasan mengenai teori-teori yang mendukung masalah penelitian, yaitu mengenai teori postpurchase dissonance,aspekaspek postpurchase dissonance, dan faktor-faktor yang mempengaruhi postpurchase dissonance dan bab ini juga menjelaskan definisi konsep diri dan interdependent maupun independent. setelah itu, dijelaskan pula mengenai hipotesa penelitian sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan perbedaan postpurchase dissonance antara konsumen interdependent dan independent self concept
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji validitas dan reabilitas alat ukur, dan metode analisa data untuk mengolah

hasil penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tipe konsep diri yaitu interdependent dan independent, dan variabel tergantungnya adalah postpurchase dissonance. Alat ukur yang digunakan adalah skala postpurchase dissonance dan skala interdependent/independent.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisikasn uraian mengenai gambaran subjek penelitian berdasarkan penggolongan, usia, jenis kelamin, rentang waktu disonansi, alokasi dana, hasil penelitian utama, hasil tambahan serta pembahasan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan kesimpulan yang mencakup hasil analisa dan interpretasi data penelitian dan saran yang berupa saran metodologis dan saran praktis bagi produsen dan konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI
A. POSTPURCHASE DISSONANCE A.1 Definisi Postpurchase Postpurchase (pasca pembelian) adalah evaluasi setelah pembelian yang
melibatkan sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen, kepuasan, keraguan dan mekanisme umpan balik. Kepuasan merupakan emosi penting dari tahap ini dan merupakan penentu untuk perilaku membeli di masa yang akan datang (Loudon & Bitta, 1993).
Hanna & Wozniak, (2001) mendefinisikan postpurchase consideration adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan perasaan puas atau tidak puas pada konsumen yang akan mempengaruhi untuk membeli ulang suatu produk.
A.2 Definisi Postpurchase Dissonance Postpurchase dissonance merupakan suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seseorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, Best (2007). Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut berada dalam suatu keadaan yang mengharuskan membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan alternatif dari pilihan lainnya yang tidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut.

Schiffman dan Kanuk, (1994) mendefinisikan postpurchase dissonance sebagai suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang terjadi setelah adanya proses pembelian, dimana setelah proses pembelian, konsumen memiliki perasaan yang tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung untuk memecahkannya dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka.
Loudon & Bitta (1993) berpendapat bahwa postpurchase dissonance terjadi sebagai hasil dari perbedaan antara keputusan konsumen dengan evaluasi sebelumnya. Loudon dan Bitta (1984) juga menambahkan bahwa postpurchase dissonance akan semakin tinggi ketika individu memiliki komitmen yang besar terhadap pembeliannya. Komitmen tersebut bukan hanya terhadap sejumlah uang yang telah ia gunakan, tetapi juga waktu, usaha dan ego. Selanjutnya, selama keputusan membeli dibuat, disonansi terjadi ketika konsumen menyadari bahwa produk alternatif tersebut memiliki karakteristik positif dan negatif.
Berdasarkan sejumlah uraian mengenai postpurchase dissonance maka dapat disimpulkan bahwa postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen terhadap suatu produk.
A.3 Dimensi Postpurchase Dissonance
Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) mengemukakan tiga dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu :

1. Emotional Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli. Munculnya keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance.
2. Wisdom of Purchase Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dia lakukan. Apabila individu merasa bahwa keputusan pembelian yang dia lakukan adalah benar, dimana produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.
3. Concern over deal
Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri terhadap produk yang dibeli. Individu yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada

informasi-informasi dari luar diri individu tersebut yang dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance.
A.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance
Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu:
1. The degree of commitment or irrevocability of the decision
Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masingmasing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.
2. The importance of the decision to the consumer
Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami dissonance. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada postpurchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut.

3. The difficulty of choosing among alternatifs
Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seseorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.
4. The individual’s tendency to experience anxiety
Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance.
Halloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) dalam penelitiannya mengenai disonansi yang dialami konsumen menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan postpurchase dissonance adalah :
(1). Adanya sejumlah hal yang menarik dari sejumlah alternatif produk yang tadinya ditolak oleh konsumen
(2). Munculnya faktor negatif dari produk alternatif yang menjadi pilihan utama
(3). Banyaknya alternatif produk yang muncul

(4).Kekacauan kognitif yang muncul pada saat melakukan pemilihan
(5). Keterlibatan kognitif pada produk
(6). Bujukan dan pujian
(7). Ketidaksesuaian atau perilaku yang dipandang negatif pada saat membeli
(8). Ketersediaan informasi
(9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi, dan
(10). Tingkat pengetahuan dan pengenalan produk.
Dari sejumlah faktor yang dikemukakan (Hawkins, Mothersbaugh & Best; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka pada dasarnya faktor penyebab keraguan pasca pembelian (postpurchase dissonance) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari diri individu. Eksternal adalah kondisi diluar individu, dalam hal ini misalnya adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi. Sedangkan faktor internal adalah kondisi kepribadian individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk yang telah dipilihnya, keberanian mengambil resiko dan tingkat pengetahuan yang dimiliki. Hal inilah yang hendak diteliti oleh peneliti dimana variabel bebas dari penelitian ini adalah interdependent dan independent self concept.

B. Konsep Diri
B.1 Definisi Konsep Diri
Konsep diri didefinisikan sebagai totalitas pikiran dan perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri sebagai sebuah objek. Dengan kata lain, konsep diri merupakan bagaimana seseorang berpikir atau melihat dirinya sendiri. Ada dua tipe konsep diri yaitu konsep diri interdependent dan konsep diri independent (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007)
Paik dan Micheal (2002) menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan yang dimiliki mengenai diri sendiri dan hubungannya dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu. Calhoun dan Acocella (1990) mendefiniskan konsep diri sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri.
Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik perepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Sejalan juga dengan definisi Kobal dan Musek (2002) mendefiniskan konsep diri sebagai suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan, evaluasi-evaluasi, dan sikap-sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita sendiri. Loudon dan Della Bitta (1993), mengartikan konsep diri sebagai persepsi seseorang mengenai dirinya sendiri, meliputi kondisi fisik, karakter, dan bahkan mencakup beberapa kepemilikan dan kreasi yang dihasilkan seseorang. Berdasarkan sejumlah uraian mengenai definisi konsep diri maka dapat disimpulakan bahwa konsep diri merupakan bagaimana cara

seseorang memiliki pandangan, penilaian, gambaran, kepercayaan, perasaan, dan pikiran terhadap dirinya sendiri.
B.2 Konsep Diri Interdependent
Konsep diri yang interdependent dibentuk terutama oleh hubungan keluarga, hubungan dengan kebudayaan, hubungan profesional, serta hubungan sosial. Individu yang memiliki konsep diri yang interdependent cenderung patuh, sociocentric, holistic, dan berorientasi pada hubungan dengan sesama individu. Mereka mendefinisikan dirinya dalam konteks peran sosial (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Markus dan Kitayama (dalam Matsumoto & Juang, 2008) mengatakan bahwa konsep diri yang interdependent terdapat pada budaya kolektif yang tidak menganggap adanya keterpisahan atau nilai terbuka. Sebaliknya, budaya ini menekankan apa yang mungkin disebut "keterikatan dasar manusia". Tugas normatif utama adalah untuk menyesuaikan diri dan mempertahankan saling ketergantungan antara individu satu dengan yang lain. Individu-individu dalam budaya ini disosialisasikan untuk mampu menyesuaikan diri untuk dapat membantu suatu hubungan atau kelompok dimana mereka berasal, bersikap simpatik, mampu menempati dan memainkan peran yang ditugaskan kepada mereka dan untuk terlibat pada tindakan yang tepat. Tugas budaya ini telah dirancang dan dipilih sepanjang sejarah untuk mendorong saling ketergantungan diri dengan orang lain.

Menurut Markus dan Kitayama (dalam Matsumoto & Juang, 2008) konsep

diri interdependent dijelaskan pada gambar 1 dibawah ini. Orang yang

interdependent ini tidak terbatas, fleksibel, dan bergantung pada konteks.

Perhatikan substansial yg relevan bertumpang-tindih antara self dan orang lain.

Aspek yang paling menonjol dari self didefinisikan pada hubungan yaitu, fitur-

fitur dari self yang berkaitan dan tidak terpisahkan dari konteks sosial tertentu. Ini

bukan berarti bahwa mereka dengan self yg interdependent tidak memiliki

pengetahuan atribut internal mereka, seperti ciri-ciri kepribadian, kemampuan,

dan sikap. Mereka jelas memilikinya. Namun, sifat-sifat internal relatif kurang

menonjol pada kesadaran dan dengan demikian tidak menjadi perhatian utama

pada pikiran, perasaan, dan tindakan

Mother XX X XX
Friend X X X

Father X

X

Self X X

XX

XX

XX XX X

Sibling

X
X Friend

XX XX

Coworker

Gambar 1 Interdependent Construal of self

B.3 Konsep Diri Independent
Konsep diri independent dibentuk oleh tujuan, karakteristik, prestasi, dan hasrat pribadi. Individu dengan konsep diri ini cenderung menjadi individualistis, egosentris, autonomous, mengandalkan diri sendiri, dan mengacu kepada diri sendiri. Mereka mendefinisikan dirinya berdasarkan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki, dan karakteristik pribadi yang membuat mereka berbeda dengan individu lain (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Markus dan Kitayama (dalam Millan dan Reynolds, 2011) menganggap konsep diri yang independent sebagai konsep diri yang dibatasi, kesatuan, stabil, mandiri, individualis, egosentris, terpisah, dan terlepas dari konteks sosial. konsep diri dianggap sebagai konfigurasi khas dari sifat, pikiran dan perasaan yang mengatur perilaku individu dan mendasari perjuangan individu terhadap pemenuhan tujuan pribadi seperti "mewujudkan diri".
Markus dan Kitayama (dalam Matsumoto & Juang, 2008) mengungkapkan bahwa konsep diri yang independent merupakan individu yang berfokus diri pribadi, kemampuan atribut-internal individu, karakter kepribadian, dan tujuan. Konsep diri yang independent ini digambarkan secara grafis pada gambar 2 dibawah ini. Self adalah entitas yg dibatasi, jelas terpisah dari orang lain yang relevan. Perhatikan bahwa tidak ada tumpang tindih antara self dan orang lain. Selanjutnya, informasi self yang relevan paling menonjol (ditunjukkan dengan Xs

huruf tebal) yg berhubungan dengan atribut yg dianggap stabil, konstan, dan

intrinsik, seperti kemampuan, tujuan, dan hak-hak.

Mother
XX X XX

Father
X X

Friend
XX
X

XSelf

XX
XX X

X X

X X
Friend

X Sibling
X
X X Cowoker X

Gambar 2 Independent Construal of self

C. DINAMIKA INTERDEPENDENT DAN INDEPENDENT SELF CONCEPT TERHADAP POSTPURCHASE DISSONANCE
Postpurchase dissonance merupakan suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seseorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, Best (2007). Keraguan atau kecemasan ini dialami oleh seorang konsumen yang harus membuat keputusan di antara banyak pilihan alternatif. Karena banyaknya pilihan yang dihadapkan pada konsumen sehingga menimbulkan kebingungan untuk memutuskan alternatif mana yang hendak dipilih.

Konsumen yang memiliki konsep diri yang interdependent lebih mudah dipengaruhi oleh orang lain ketika membeli suatu produk dibandingkan konsumen yang independent. Konsumen dengan konsep diri interdependent, memiliki kepercayaan diri untuk melakukan keputusan membeli suatu barang jika mendapat dukungan serta informasi-informasi yang jelas dari lingkungan sosial seperti keluarga, teman, maupun orang lain yang berhubungan dengan barang yang hendak dibeli. Hal ini karena konsumen yang konsep dirinya interdependent tidak bisa lepas dari konteks sosial (Markus dan Kitayama dalam Mats