Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert

(1)

DINAMIKA POSTPURCHASE DISSONANCE PADA

WANITA DENGAN TIPE KEPRIBADIAN

INTROVERT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Skripsi

Oleh :

FEBRI JAYANTI

101301106

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian

Introvert

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2014

Febri Jayanti Nim 101301106


(4)

Dinamika Postpurchase Dissonance pada Wanita dengan Tipe Kepribadian Introvert

Febri Jayanti dan Eka Danta Jaya Ginting ABSTRAK

Postpurchase dissonance (PPD) adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Berdasarkan fenomena yang ditemui di lapangan, kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam melakukan kegiatan pembelian sehingga merasakan postpurchase dissonance.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika terjadinya postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Dinamika postpurchase dissonance tersebut akan digambarkan melalui dimensi yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dengan jumlah responden sebanyak 2 (dua) orang. Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode purposive yang terstratifikasi. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode wawancara mendalam dengan menggunakan metode umum.

Hasil penelitian menunjukkan bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh kedua responden dengan tipe kepribadian introvert. Dimana ditemukannya dimensi emotional dan wisdom of purchase pada keduanya. Sementara dimensi concern over deal tidak ditemukan pada kedua responden.

Sebagai implikasinya, hendaklah konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert dapat lebih terbuka dalam proses pembelian untuk mengurangi kecenderungan merasakan dissonance setelah pembelian. Proses setelah pembelian dapat sangat mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk dimasa depan. Maka bagi marketers, pentingnya untuk lebih peka terhadap ragam konsumen dengan berbagai tipe agar dapat menyesuaikan pemberian informasi mengenai produk untuk mengurangi kecenderungan evaluasi negatif konsumen terhadap pembelian yang tidak memuaskan.

Kata Kunci: Postpurchase dissonance, Konsumen wanita tipe kepribadian introvert


(5)

Dynamics of Postpurchase Dissonance in Women with Introverted Personality Types

Febri Jayanti and Eka Danta Jaya Ginting ABSTRACT

Postpurchase dissonance (PPD) is a doubt or anxiety experienced by a consumer after making a hard decision and relatively permanent (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Based on the phenomena encountered in the field, personality is one of the internal factors that influence the behavior of consumers in making purchasing activities which led them to postpurchase dissonance.

This study aims to look at the dynamics of the consumer postpurchase dissonance in women with introverted personality types. The dynamics of postpurchase dissonance will be described by the dimensions proposed by Sweeney, Hausknecht and Soutar (2000). This study used a qualitative approach with case study methods and takes 2 (two) respondents. The technique of selecting the respondents uses purposive stratified sampling. The data collection method used is depth interviews by common method.

The results shows how the dynamics of postpurchase dissonance experienced by both respondent with introverted personality types. Where the dimensions of emotional and wisdom of purchase found on both respondent. While the dimensions of concern over the deal was not found.

As the implication, female consumers with a more introverted personality type are expected to be more open up themselves in the purchasing process to reduce the tendency to feel dissonance. The process of purchase can greatly affect consumer attitudes toward the product in the future. So for marketers, the need to be more sensitive to a variety of consumers with different types in order to adjust the provision of information about the product is quiet important to be considered to reduce the tendency of consumers negative evaluation to the product of unsatisfactory purchases.

Keywords: Postpurchase dissonance, woman consumer with introverted personality types


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul penelitian adalah “Dinamika Postpurchase Dissonance pada Wanita dengan Tipe Kepribadian Introvert“. Guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang turut membantu penyelesaian penelitian ini, antara lain :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A., psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membimbing, memberikan waktu, tenaga, dan pemikiran, serta memberikan semangat dan saran mulai dari awal penyusunan proposal penelitian ini hingga selesai menjadi suatu skripsi. 3. Bapak Ari Widyanta., M.Si, Psikolog dan Kak Siti Zahreni., M.Psi,

Psikolog selaku penguji sidang skripsi penulis. Terimakasih atas masukannya hingga penelitian ini dapat menjadi lebih baik.

4. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik. 5. Seluruh dosen-dosen pengajar dan staf pegawai Fakultas Psikologi yang

telah membagikan segala ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.


(7)

6. Kedua orangtua yang sudah mendukung dalam bentuk moril maupun materil. Serta untuk semua pengharapannya dan kepercayaannya. Kalian yang terbaik.

7. Abangda Deni Syahputra dan Iqbal Saputra, kakak ku Eni Kamara juga Desi Kamara. Each of you are my inspiration.

8. Seluruh Keluarga besar, kakak dan abang ipar serta keponakan tersayang Alifia, Ifando, Rafa Dani, Quinsha, dan Rihoney.

9. Sahabatku Fithra Runisya Simamora, Terimakasih banyak atas persahabatan yang istimewa. I’ve learn so much new things from you. 10.Dila, Dini, Mariyah makasih supportnya dari SMA sampe sekarang.

Semoga tak kan hambar dimakan waktu :D

11.UF (Cici, Ica, Olin, Anis, Nanda) yang selalu ada mewarnai hari-hari selama perkuliahan, tetap unyu ya girls.

12.Seluruh teman-teman angkatan 2010, terimakasih atas semua canda tawa, sedih, kegilaan, dan memori selama masa perkuliahan.

13.Abang dan kakak senior yang telah memberikan informasi, masukan, dukungan selama pengerjaan skripsi.

14.Kedua responden yang sudah bersedia meluangkan waktunya dan berbagi informasi kepada penulis. Semoga kebaikannya mendapat balasan oleh yang Maha Kuasa.

15.Seluruh pihak yang tidak disebutkan diatas. Atas masukan dukungan, saran serta bantuan selama proses penyelesaian skripsi ini. And for you who must not be named, Thankyou.


(8)

Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 08 Mei 2014


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

D.1. Manfaat Teoritis... 14

D.2. Manfaat Praktis ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Postpurchase Dissonance ... 16

A.1 Pengertian Postpurchase Dissonance ... 16


(10)

B. Kepribadian ... 19

B.1 Tipe Kepribadian ... 20

B.2 Tipe Kepribadian Introvert ... 21

C. Perilaku membeli pada konsumen wanita ... 22

D. Dinamika Postpurchase Dissonance pada konsumen Tipe Kepribadian Introvert ... 24

KERANGKA BERFIKIR ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Pendekatan Kualitatif ... 30

B. Responden Penelitian ... 31

B.1. Karakteristik Responden ... 31

B.2. Jumlah Responden ... 32

B.3. Prosedur Pengambilan Responden ... 32

C. Metode Pengambilan Data ... 33

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 35

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ... 36

F. Prosedur Penelitian ... 37

G. Teknik dan Prosedur Analisa ... 41

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Responden I ... 45


(11)

A.2. Data Wawancara ... 53

A.3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 53

B. Responden II ... 74

B.1. Gambaran Pembelian Responden II ... 74

B.2. Data Wawancara ... 80

B.3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 80

C. PEMBAHASAN ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. KESIMPULAN ... 117

B. SARAN ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Wawancara Responden I Tabel 2. Jadwal Wawancara Responden II


(13)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Berfikir

Skema 2. Gambaran pembelian produk sweater A Skema 3. Gambaran pembelian produk dress Skema 4. Gambaran pembelian produk sweater B Skema 5. Gambaran pembelian produk laptop Resp I Skema 6. Gambaran pembelian produk sepatu flat

Skema 7. Gambaran pembelian produk handphone Resp I Skema 8. Gambaran pembelian produk sepatu croccs

Skema 9. Dinamika Postpurchase Dissonance pada wanita dengan tipe Kepribadian Introvert Responden I

Skema 10. Gambaran pembelian produk lipbalm

Skema 11. Gambaran pembelian produk handphone Resp II Skema 12. Gambaran pembelian produk Tas

Skema 13. Gambaran pembelian produk Laptop Resp II

Skema 14. Dinamika Postpurchase Dissonance pada wanita dengan tipe Kepribadian Introvert Responden II


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Pedoman Wawancara

LAMPIRAN 2 Informed Consent

LAMPIRAN 3 Verbatim Wawancara


(15)

Dinamika Postpurchase Dissonance pada Wanita dengan Tipe Kepribadian Introvert

Febri Jayanti dan Eka Danta Jaya Ginting ABSTRAK

Postpurchase dissonance (PPD) adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Berdasarkan fenomena yang ditemui di lapangan, kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam melakukan kegiatan pembelian sehingga merasakan postpurchase dissonance.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika terjadinya postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Dinamika postpurchase dissonance tersebut akan digambarkan melalui dimensi yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht, dan Soutar (2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dengan jumlah responden sebanyak 2 (dua) orang. Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode purposive yang terstratifikasi. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode wawancara mendalam dengan menggunakan metode umum.

Hasil penelitian menunjukkan bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh kedua responden dengan tipe kepribadian introvert. Dimana ditemukannya dimensi emotional dan wisdom of purchase pada keduanya. Sementara dimensi concern over deal tidak ditemukan pada kedua responden.

Sebagai implikasinya, hendaklah konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert dapat lebih terbuka dalam proses pembelian untuk mengurangi kecenderungan merasakan dissonance setelah pembelian. Proses setelah pembelian dapat sangat mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk dimasa depan. Maka bagi marketers, pentingnya untuk lebih peka terhadap ragam konsumen dengan berbagai tipe agar dapat menyesuaikan pemberian informasi mengenai produk untuk mengurangi kecenderungan evaluasi negatif konsumen terhadap pembelian yang tidak memuaskan.

Kata Kunci: Postpurchase dissonance, Konsumen wanita tipe kepribadian introvert


(16)

Dynamics of Postpurchase Dissonance in Women with Introverted Personality Types

Febri Jayanti and Eka Danta Jaya Ginting ABSTRACT

Postpurchase dissonance (PPD) is a doubt or anxiety experienced by a consumer after making a hard decision and relatively permanent (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Based on the phenomena encountered in the field, personality is one of the internal factors that influence the behavior of consumers in making purchasing activities which led them to postpurchase dissonance.

This study aims to look at the dynamics of the consumer postpurchase dissonance in women with introverted personality types. The dynamics of postpurchase dissonance will be described by the dimensions proposed by Sweeney, Hausknecht and Soutar (2000). This study used a qualitative approach with case study methods and takes 2 (two) respondents. The technique of selecting the respondents uses purposive stratified sampling. The data collection method used is depth interviews by common method.

The results shows how the dynamics of postpurchase dissonance experienced by both respondent with introverted personality types. Where the dimensions of emotional and wisdom of purchase found on both respondent. While the dimensions of concern over the deal was not found.

As the implication, female consumers with a more introverted personality type are expected to be more open up themselves in the purchasing process to reduce the tendency to feel dissonance. The process of purchase can greatly affect consumer attitudes toward the product in the future. So for marketers, the need to be more sensitive to a variety of consumers with different types in order to adjust the provision of information about the product is quiet important to be considered to reduce the tendency of consumers negative evaluation to the product of unsatisfactory purchases.

Keywords: Postpurchase dissonance, woman consumer with introverted personality types


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku konsumen merupakan proses yang berdinamika. Dari waktu ke waktu perubahan yang luas terjadi dalam perilaku konsumen. Sebagai contohnya, lima puluh tahun yang lalu, konsumen memiliki pilihan merek yang jauh lebih sedikit dan pengaruh iklan yang diberikan juga lebih sedikit. Sebaliknya, saat ini akses komunikasi yang mudah memungkinkan mereka dapat lebih terhubung dan dengan mudah dapat mencari penawaran produk secara online, melihat promosi produk di beberapa media, dan memeriksa apa yang orang lain pikirkan mengenai merek tersebut dengan mencarinya dalam website atau dalam media sosial (Hoyer, Maclnnis & Pieters, 2008)

Dalam perilaku konsumen, ditemukan beberapa tahapan proses pembelian. Tahapan tersebut, dikonseptualisasikan dalam model lima tahap proses membeli. Tahap pertama ialah tahap pengenalan masalah, timbulnya masalah dari dalam diri konsumen yang berupa kebutuhan. Kedua ialah tahap pencarian informasi, konsumen mencari informasi tentang objek yang bisa memenuhi keinginannya. Tahap ketiga adalah penilaian alternatif, digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai alternatif yang dihadapi serta daya tarik masing-masing alternatif. Tahap keempat merupakan keputusan membeli dan tahap terakhir ialah perilaku setelah pembelian, setelah melakukan pembelian konsumen akan


(18)

merasakan kepuasan atau mungkin ketidakpuasan (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

Penting bagi produsen untuk memperhatikan tindakan konsumen setelah melakukan pembelian, karena evaluasi negatif konsumen dapat berakibat buruk terhadap reputasi produk. Konsumen dalam memenuhi keinginannya mempunyai pengharapan agar bisa terpuaskan (Sunyoto, 2012).

Dengan kata lain, tidak semua pembelian akan disusul oleh kepuasan dari konsumen. Terdapat beberapa pembelian yang mengundang ketidakpuasan konsumen, ketidakpuasan ini dapat diwujudkan dengan bentuk kecemasan psikologis atau disonansi kognitif atau disebut dengan postpurchase dissonance. Fenomena postpurchase dissonance diperlihatkan melalui potongan wawancara berikut dengan S (23 tahun) :

“Iya aku pernah abis beli itu kayak gak puas.. ada rasa cemas apa yang aku beli ini benar-benar aku perluin… kalo udah ngerasain itu aku sering nanya-nanya sendiri dalam hati kenapa aku jadi beli ini ya .. padahal aku udah punya produk yang sama tapi modelnya aja beda..” (Wawancara personal April, 2013)

Reaksi tersebut adalah reaksi konsumen setelah membuat keputusan yang sulit, keraguan dan kecemasan ini yang disebut postpurchase dissonance. Dalam buku consumers, Arnould, Prince serta Zinkhan (dalam Bowo, 2010) berpendapat bahwa disonansi kognitif adalah :

“that when a costumers beliefs and behavior don’t agree, in procedures discomfort and the person is motivated to alter something in order to bring them into digment”.


(19)

Ketidaknyamanan yang dirasakan konsumen terjadi ketika kepercayaan konsumen tidak sejalan dengan perilakunya dan kemudian termotifasi untuk mengubah suatu agar dapat sejalan dengan harapannya.

Simamora (2003) juga berpendapat bahwa atas produk yang dibelinya konsumen memiliki semacam keraguan (postpurchase dissonance). Keragu-raguan ini rendah jika banyak informasi yang dipakai dalam mengevaluasi, baik melalui pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, maupun media massa. Kecemasan atau keraguan akan produk yang telah dibeli juga disebabkan oleh beberapa faktor. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance adalah the importance of the decision to the consumer yakni, semakin penting suatu keputusan dibuat oleh konsumen maka akan lebih besar kemungkinan mengalami dissonance. Hal Ini tergantung pada prinsip kepentingan yang dimiliki konsumen. Bila kepentingannya adalah mengenai harga, semakin tinggi harga barang yang akan dibeli maka semakin penting tingkat keputusan yang akan diambil serta besar kemungkinan konsumen mengalami dissonance. Ini dapat diihat dari wawancara dengan N (21 tahun)

“Jelaslah kalo misalnya aku beli barang yang agak mahal terus nyesel pasti aku lebih nyesek.. contohnya aja kayak aku beli HP kmaren, tapi kalo misalnya beli makanan biasa atau barang yang gak mahal-mahal kali paling nyeselnya bentar aja ..” (Wawancara personal Maret, 2013)

Selain itu faktor pilihan akan alternatif yang banyak juga merupakan salah satu faktor penyebab postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak


(20)

alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Begitu banyaknya pilihan alternatif yang ditawarkan pasar. Sebagai contoh, belakangan begitu banyak merek handphone yang ditawarkan pasar, dimana masing-masing merek sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangan yang relatif sama. Sulit dibandingkan mana yang seharusnya lebih diunggulkan dari yang lainnya. Misalnya saja pada pembelian handphone dengan merek Blackberry atau I-phone seorang konsumen akan sangat sulit memilih dari salah satu dari kedua merek ini karena masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan yang relatif sama. Semakin sulit keputusan itu dibuat, semakin besar pula kemungkinan dissonance yang dirasakan konsumen.

Menurut Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000) cognitive dissonance merupakan suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang mendorong seseorang untuk mengurangi keraguan (disonansi) atas keputusan yang telah terjadi. Disini Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000) menyebutkan postpurchase dissonance dengan istilah cognitive dissonance. Sementara Loudon & Bitta (1993) menyatakan postpurchase dissonance merupakan hasil dari perbedaan keputusan konsumen dengan evaluasi sebelumya. Setelah pembelian dilakukan, konsumen mungkin akan menggunakan satu atau beberapa pendekatan untuk mengurangi dissonance yang dirasakannya (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Contohnya bila seseorang sudah membeli gadget dengan merek Samsung dan mengalami dissonance maka konsumen tersebut akan mencoba meningkatkan kesukaannya pada merek tersebut dibandingkan dengan merek Apple. Selain itu konsumen juga


(21)

mengurangi rasa suka terhadap alternatif yang ditolak. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan dalam wawancara singkat dengan S (23 tahun):

“Siap dibeli enggakmau dipikirin kalila baju tadi.. walaupun itu bahannya lebih bagus, toh yang ini modelnya gak kalah cantik daripada yang tadi terus harganya juga lebih murah bisa dipake santai bisa dipake kerja kalo baju yang itukan kesannya formal kali.. ” (Wawancara personal April, 2013)

Kecemasan dan keragu-raguan yang dirasakan tidak sama tingkatannya pada semua konsumen. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan kepribadian yang dimiliki masing-masing konsumen. Kepribadian merupakan faktor internal yang cukup berperan dalam kemunculan postpurchase dissonance yang dirasakan konsumen selain faktor eksternal (Kardes, 2002). Hawkins, Mothersbaught, dan Best (2007) berpendapat bahwa kepribadian merupakan kecenderungan respon karakteristik yang dimiliki individu dalam situasi serupa. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan ciri-ciri sifat dan watak yang khusus yang menentukan perbedaan perilaku dari tiap-tiap individu dan yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.

Carl Jung merupakan salah satu tokoh yang menggolongkan kepribadian menjadi beberapa dimensi. Dua dimensi utama yang dikemukakannya adalah introvert dan ekstrovert. Menurut Jung (dalam Suryabrata, 1982) aktifitas psikis seseorang dapat mengarah keluar atau kedalam, demikian pula arah orientasi manusia. Apabila orientasi terhadap segala sesuatu ditentukan oleh faktor luar yang objektif, maka orang itu dikatakan ekstrovert. Sebaliknya orang yang mempunyai tipe orientasi ditentukan oleh faktor subjektif yakni faktor yang berasal dari batin sendiri, dikatakan dengan tipe orientasi introvert. Kedua sikap


(22)

ini saling bertentangan, namun, salah satu cenderung menjadi dominan dan memerintah, sedangkan kepribadian yang lain cenderung ditekan dan tidak sadar.

Introvert biasanya dijelaskan dengan istilah "penyendiri", "pendiam," "mandiri", "pribadi" yakni kata-kata yang menunjukkan parsimoni emosional dan pribadi yang sempit. Tetapi pada pria terkadang tipe kepribadian introvert diasumsikan sebagai pria yang tangguh dan kuat. Namun pada kalangan tertentu, terutama di Midwest, wanita tipe kepribadian introvert tampaknya kehilangan alternatif untuk terlihat lebih baik dan sering dianggap sebagai pemalu, suka menarik diri atau angkuh (Rauch, 2003).

Selain itu, dalam melakukan pembelian juga, wanita berbeda dengan pria. Banyak penelitian yang telah membuktikan hal itu, contoh sederhana saja, wanita suka berlama-lama berbelanja hanya untuk mencari satu produk, sedangkan pria biasanya langsung pada tujuan produk yang akan dibeli dan tidak suka membuang waktu berlama-lama dalam belanja. Bakshi (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa wanita dan pria berbeda dalam seluruh proses pembelian baik dari information search hingga postpurchase process. Hasilnya didapatkan bahwa disonansi ditemukan lebih besar pada wanita dari pada pria.

Dari hasil penelitian Sitorus (2007) ditemukan bahwa tipe kepribadian introvert cenderung akan merasakan postpurchase yang lebih besar dari pada tipe kepribadian ekstrovert. Hal ini karena tipe kepribadian introvert cenderung untuk membuat keputusan yang voluntary (bebas), karena tipe kepribadian ini sangat berorientasi pada dirinya sendiri. Maka pengaruh kepribadian memiliki andil besar dalam keputusan pembelian.


(23)

Engel, Blackwell dan Miniard (2004) menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan konsumen, terdapat beberapa tahapannya. Dalam tahap pencarian informasi, apabila konsumen tidak dapat menemukan solusi dari pencarian internal, maka ia kerap mencari sumber external. Dimana salah satunya ialah mencari opini dan sikap dari kelompok acuan seperti keluarga, teman, atau kenalan. Hal berbeda ditemukan dalam potongan wawancara bersama C (21 tahun) yang pernah mengikuti tes kepribadian Big five dengan hasil kepribadian introvert.

“aku kalo beli sesuatu itu gak mikir-mikir panjang, enggak suka tanya sana-sini, jadi asal cocok dimata, keliatan lucu dan aku suka langsung beli aja gitu, waktu udah sampe rumah aku mikir sendiri kenapa aku beli ini ya” (Wawancara personal, Maret 2013)

Dapat dilihat pada potongan wawancara diatas, bahwa pencarian infromasi yang melibatkan opini dan sikap dari sumber external tidak begitu disukai oleh konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Hal ini terkait dengan tipe kepribadian introvert yang mengakibatkannya cenderung berfokus pada inner-selfnya. Tipe kepribadian introvert akan mempengaruhi proses membeli, yang mengakibatkannya cenderung merasakan disonansi.

Tipe kepribadian Introvert dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur untuk melihat tipe orientasi seseorang. Selain Bigfive, alat ukur lain yang dapat digunakan untuk melihat tipe kepribadian adalah MBTI. MBTI adalah psikotes yang dirancang untuk mengukur preferensi psikologis seseorang dalam melihat dunia dan keputusan. Psikotes ini dirancang untuk mengukur kecerdasan individu, bakat dan tipe kepribadian seseorang (Briggs & Myers, 1976). Dalam penelitian ini pengertian Introvert yang mangacu pada pengertian dari Jung mengarahkan


(24)

peneliti untuk menggunakan tes MBTI (Myerss Briggs Type Indicator). Dengan alat ukur ini dapat diketahui sampel yang memiliki tipe kpribadian introvert, agar benar-benar diperoleh sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat postpurchase dissonance pada wanita dengan tipe kepribadian introvert.

Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) menyatakan bahwa dissonance dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu emotional yang berupa ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan membeli. Kedua adalah wisdom of purchase, yakni ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai. Dan yang terakhir concern over deal yaitu ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana mereka bertanya – tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka. Dari ketiga dimensi, dua dimensi ditemukan pada C, seorang konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert yang menceritakan pengalamannya yang pernah membeli produk laptop bersama dengan ibunya.

”Kemaren aku beli laptop, sama mama.. mama bilang suruh beli merk lain .. aku bilang aku mau sama yang ini aja.. aku udah suka sama yang putih ini, menurutku lebih bagus lebih prestige aja.. tapi memang kayaknya kalo kualitas bagus yang dipilihkan mama.. lebih tahan lama.. kayaknya sih lebih bagusla.. tapi aku gak suka modelnya.. udah suka yang ini gimana ya.. yaudah terus aku bilang enggak.. aku mau yang ini aja ma.. (Wawancara personal, Mei 2014)

Introvert adalah tipe kepribadian yang ditandai dengan ketertutupan yang berorientasi terhadap pengalaman subyektif, ia cenderung untuk berfokus pada batin, dunia pribadi di mana realitas direpresentasikan sebagaimana hal itu


(25)

dirasakannya, introspektif, sibuk dengan sendiri, dan urusan internal mereka (Jung dalam Hall 1985). Pada kasus C, tipe kepribadianya cenderung menuntunnya untuk berorientasi pada pengalamannya sendiri, sehingga mengabaikan pendapat orang lain dan memenangkan keputusannya sendiri.

”Udah pas lah ya yang kubeli ini.. ragu-ragu sih.. dipikirin lagi belinya itu memang bukan karena modelnya ajakan atau takutnya malah sebaliknya.. tapi nguatkan dirinya gitu.. ah udah pas lah ini yang kubeli gitu-gitu haha.. soalnya itu seingatnya aku gak lama-lama kali mutusin itunya.. beli apa enggaknya gitu..” (Wawancara personal, Mei 2014)

Dapat dilihat dalam potongan wawancara diatas C merasakan keragu-raguan setelah transaksi pembelian. Sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan mengenai keputusan yang telah diambilnya. Hal ini menggambarkan aspek wisdom of purchase yang dirasakan C. Tidak berhenti sampai disitu, perasaan keragu-raguan C diiringi pula dengan kecemasan akan kualitas produk yang telah dibelinya.

”.. Ini bener gak ya yang aku beli.. ada rasa-rasa insecure sama yang aku beli ini.. udah pas gak ya.. pas liat yang lain aku takut-takut kalo yang kubeli ini punya kualitas yang.. rendah gitu soalnya gak begitu ngerti juga” (Wawancara personal, Mei 2014)

Saat seseorang merasakan keadaan yang tidak nyaman secara psikologis setelah membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance (Sweeney, Hausknecht, and Soutar, 2000). Keadaan yang dipaparkan C merupakan kecemasan yang memicu dimensi emotional yang dirasakan C setelah melakukan pembelian.


(26)

Kejadian yang mirip juga terjadi pada FR. FR merupakan salah seorang konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Sebelumnya FR diberikan alat ukur MBTI dengan hasil INFJ yang berarti ia tergolong tipe kepribadian introvert dengan tingkat moderate. FR menceritakan mengenai pengalamannya dalam membeli produk sepatu croccs. Dalam melakukan pembelian FR mempercayai evaluasi produk yang dibuatnya sendiri dan mengabaikan saran yang diberikan oleh teman belanjanya.

”.. kata mama udah beli yang nomer 8 aja biasanya juga beli kan nomer 8 .. kekgitu terus aku bilang tapi yang 8 kegedean aku gak suka pake sepatu yang gede-gede lebih .. terus mama bilangkan kak itu kekecilan lo.. Terus kubilang alah sepatu-sepatu kekgini paling kalo keseringan gede sendiri nanti dia.. (Wawancara personal, Maret 2014)

Dari potongan wawancara diatas dapat dilihat beberapa ciri-ciri kepribadian introvert yang dikemukakan oleh Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) yakni tipe kepribadian introvert merupakan individu yang cenderung berpusat pada diri mereka sendiri, terdapat pada FR. Hal ini membuat FR lebih mempercayai dirinya sendiri dan cenderung membuat keputusan yang bebas (mandiri). Namun setelah pembelian dilakukan FR merasa cemas dan ragu. Ia mulai mengevaluasi kembali keputusan membelinya dan bertanya-tanya apakah sudah membeli produk yang tepat.

”terus pas pulang.. Waktu dijalan itu sedikit sedikit aku liatin kotaknya.. cobak lagi liat kotaknya coba lagi.. kubilang sama mama ah bisanya itu ma.. padahal dalem hati aduh ini nomornya udah sesuai gak ya sama aku.. gimana ya.. gimana ya..” (Wawancara personal, Maret, 2014)


(27)

Kecemasan dan keraguan yang dirasakan FR merupakan bentuk postpurchase dissonance sesuai pengertian Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007). Setelah pembelian, tipe kepribadian introvert juga berperan dalam munculnya postpurchase dissonance. Tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan akan keberfokusan pada batin serta menjadi introspektif (Jung dalam Hall, 1985). Hal ini membuat FR menyimpan sendiri dilema yang dialaminya pasca pembelian, sehingga berkontribusi menambah kecemasan (emotional) yang dirasakannya.

Selain FR, RP juga merupakan salah seorang responden yang menggunakan MBTI sebagai alat ukur untuk melihat orientasi kepribadiannya. Hasil MBTI yang didapatkan RP adalah INFJ yang berarti ia termasuk dalam tipe kepribadian introvert. Namun tidak seperti FR, RP mendapatkan hasil introvert dalam tingkat slight (ringan). RP merasakan postpurchase dissonance pada pembelian handphone. Sebelum memutuskan membeli, RP mencari informasi mengenai produk dari berbagai media yaitu internet, dan beberapa kali juga bertanya pada orang lain yang sudah memiliki pengalaman terhadap produk yang ingin dibelinya. Namun saat produk yang diinginkan RP tidak tersedia, ia memutuskan untuk membeli produk yang lain. Hal ini mengakibatkan RP tidak begitu mengetahui produk baru yang akan dibelinya.

”Alhasil sony gaada, samsung juga barangnya mengecewakan. Disitu aku udah bingung.. yah udah gajadi beli nih kayaknya.. padahal nyarinya udah capek dari pagi sampe sore. Aku sempet duduk diem mikir, yaudah deh belinya yang lain aja selain yang dari awal diincar (Wawancara personal, Desember 2013)


(28)

Setelah membeli, RP tidak dapat berhenti memikirkan pembelian yang baru saja dilakukannya. RP merasa ragu terhadap produk yang dipilihnya sebab ia belum begitu mengenal produk tersebut. Akibatnya RP menghindari toko yang menjual produk handphone untuk mengurangi pengalaman dissonance yang dirasakannya setelah membeli.

”Kupikirin aja sih kak, kayak orang… kata kakakku ”kau kok stress kali dari tadi kenapa kau salah beli ya yang tadi” terus besoknya aku ke toko-toko lagi aku jadi melewatkan toko handphone kak hhaha biar gak ngeliat lagi..” (Wawancara personal, Desember 2013)

Pada beberapa konsumen dissonance dirasakan sangat besar dan mengganggu. Namun terdapat beberapa konsumen yang tidak terlalu merasakan dissonance. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan F (21 tahun). Hal berbeda ditunjukkan dari wawancara ini, meski dalam tes kepribadian Big Five ia termasuk wanita berkepribadian introvert dan mengalami postpurchase dissonance, namun ia tidak terlalu merasakan sesuatu yang mengganggu,

“Sebenarnya enggak gimana-gimana kali, tapi yah paling ada kepikiran bentar aja apa yang dibeli ini udah tepat apa gimana, apa mestinya beli yang gede aja.. abis itu udah biasa-biasa aja gakmau dipikirin kali” (Wawancara personal, Maret 2013 )

F tidak terlalu merasakan kecemasan meski ia kurang puas dengan pembelian yang dilakukannya. Sangat menarik melihat bagaimana perilaku konsumen dengan kepribadian introvert dapat sangat mempengaruhi proses pembelian hingga mengakibatkan pospurchase dissonance.

Kepribadian introvert pada wanita mengakibatnya cenderung merasakan postpurchase dissonance yang lebih besar dari pada tipe kepribadian lain. Selain


(29)

itu faktor gender “feminism” dari wanita juga mendukung disonansi yang terjadi pada mereka (Bakshi, 2012). Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi para produsen karena disonansi yang terjadi akan mengakibatkan konsumen memberi evaluasi negatif terhadap produk. Maka penting untuk marketers mengetahui bagaimana pengalaman seorang wanita introvert hingga merasakan postpurchase dissonance.

Untuk hal itu kita harus mengetahui proses pembelian yang dilakukan wanita introvert terlebih dahulu hingga ia mengalami postpurchase dissonance. Disonansi yang dirasakan konsumen sangat beragam karena pada saat proses pembuatan keputusan dalam membeli berbeda-beda. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan akan menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat memahami proses pembuatan keputusan oleh wanita dengan kepribadian introvert, hingga ia mengalami postpurchase dissonance sebagaimana individu yang mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri individu dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan (Bogdan & Taylor, dalam Moloeng, 2005). Selain itu penelitian sebelumnya telah mendukung gagasan bahwa tipe kepribadian introvert cenderung merasakan disonansi yang lebih besar. Oleh karena itu, bagaimana dinamika postpurchase dissonance yang dialami oleh wanita dengan tipe kepribadian introvert, cukup penting untuk ditelusuri secara kualitatif.

Berdasarkan asumsi diatas peneliti tertarik untuk melihat dinamika mengenai postpurhase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert.


(30)

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui bagaimana gambaran postpurchase dissonance pada seorang wanita dengan tipe kepribadian introvert.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu : D.1. Manfaat teoritis

Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama pada bidang psikologi industri dan organisasi, tentang Dinamika postpurhase dissonance pada konsumen dengan tipe kepribadian introvert.

D.2. Manfaat praktis

a. Menjadi sumber informasi bagi pembaca agar dapat menangani permasalahan yang terjadi pada wilayah marketing khususnya pada perilaku konsumen setelah pembelian

b. Sebagai sumber informasi bagi konsumen khususnya wanita dengan tipe kepribadian introvert, agar dapat lebih memahami proses yang terjadi dalam pembelian sehingga dapat mengurangi kecenderungan mengalami


(31)

postpurchase dissonance.

c. Sebagai rujukan bagi marketers agar lebih memahami proses pembelian yang dilakukan oleh wanita introvert hingga mengalami postpurchase dissonance.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur

dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

BAB V : Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini, serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Postpurchase Dissonance

A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance

Setelah pembelian, terdapat konsumen yang memiliki perasaan tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung untuk memecahkannya dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman dan Kanuk, 1997). Contohnya, ketika konsumen telah membuat suatu komitmen memberi uang muka untuk memesan sebuah produk, terutama sekali produk mahal seperti kendaraan bermotor atau gadget. Disonansi kognitif sering mulai dirasakan ketika berfikir tentang keunikan dan kualitas positif dari merek yang tidak dipilihnya (Kartika, 2009). Menurut Festinger (dalam Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000) cognitive dissonance merupakan suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang mendorong seseorang untuk mengurangi keraguan (disonansi) atas keputusan yang telah terjadi. Disini, Festinger menyebutkan postpurchase dissonance dengan istilah cognitive dissonance.

Dalam penelitian ini, pengertian postpurchase dissonance merujuk pada definisi yang dikembangkan oleh Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) yang menyatakan postpurchase dissonance adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen. (Hawkins , Mothersbaugh, & Best, 2007).


(33)

Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut berada dalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan dari alternatif lainnya yang tidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut. Oleh karena itu, kebanyakan pembuatan keputusan terbatas (limited decision making) tidak akan menghasilkan postpurchase dissonance. Hal ini karena konsumen tidak mempertimbangkan tampilan- tampilan yang menarik yang ada dalam merek atau produk yang tidak dipilih yang juga tidak ada dalam produk atau merek yang dipilih. (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

Disonansi kognitif sering mulai dirasakan ketika berfikir tentang keunikan dan kualitas positif dari merek yang tidak dipilihnya (Kartika, 2009). Menurut Simamora (dalam Bowo, 2010) keraguan muncul kalau ada pertentangan dalam diri seseorang tentang merek yang akan dibeli. Pertentangan ini melahirkan disonansi yang terjadi karena sikap terhadap alternatif pilihan sama atau hampir sama. Disonansi kognitif inilah yang disebut dengan postpurchase dissonance, yakni dimana konsumen memiliki perasaan yang tidak nyaman menegenai kepercayaan mereka.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa postpurchase dissonance adalah suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen yang kemudian mendorong seseorang untuk mengurangi disonansi tersebut dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka.


(34)

A.2. Dimensi Postpurchase Dissonance

Penelitian yang didisain oleh Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) menyatakan bahwa Dissonance dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu :

1. Emotional

Ketidaknyamanan psikologis yang dalami seseorang terhadap keputusan membeli. Saat seseorang merasakan keadaan yang tidak nyaman secara psikologis setelah membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance.

2. Wisdom of purchase

Ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai.

3. Concern over deal

Ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana mereka bertanya – tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk). Konsumen akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar dirinya, yang dapat membuatnya mengalami postpurchase dissonance.

Ketidaknyamanan yang berupa keraguan dan kecemasan seseorang setelah melakukan suatu proses keputusan membeli tidak sama tingkatannya antara satu


(35)

orang dan lain orang. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan kepribadian yang dimiliki masing-masing konsumen. Sebagai tambahan, kepribadian juga merupakan faktor internal yang cukup berperan dalam kemunculan postpurchase dissonance yang dirasakan konsumen selain faktor eksternal (Kardes, 2002).

B. Kepribadian

Kepribadian adalah pola sifat individu yang dapat menentukan tanggapan untuk bertingkah laku. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan ciri-ciri sifat dan watak yang khusus yang menentukan perbedaan perilaku dari tiap-tiap individu dan berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain (Sunyoto, 2012).

Menurut Sujanto dkk (2004), kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik. Schultz & Schultz (1994) mengatakan bahwa kepribadian adalah aspek- aspek internal dan eksternal yang unik dan relatif menetap dari karakter seseorang yang mempengaruhi tingkah laku dalam berbagai situasi yang berbeda.

Dalam penelitian ini defenisi kepribadian mengacu pada defenisi yang dikemukakan oleh Carl Jung (dalam Hall dkk, 1985) yang mendefinisikan kepribadian sebagai berikut:

Personality is the supreme realization of the innate idiosyncrasy of a living being, it is an act of high courage flung in the face of life, the absolute affirmation of all that constitutes the individual, the most successful adaptation to the universal conditions of existence couple with the greatest possible freedom for self-determination.


(36)

“Kepribadian adalah realisasi tertinggi dari penggabungan antara keistimewaan yang dibawa sejak lahir, keberanian dalam menghadapi kehidupan, penguatan dari konstitusi tubuh, keberhasilan beradaptasi terhadap kondisi ingkungan, dan tekad diri yang besar”.

Sementara Eysenck (dalam Hall dkk, 1985) mendefinisikan kepribadian sebagai keseluruhan pola perilaku yang potensial dari suatu organisme yang ditentukan oleh faktor bawaan (hereditas) dan lingkungan, yang berasal dan berkembang melalui interaksi fungsional dari 4 sektor utama dimana pola-pola tingkah laku tersebut diorganisasikan; sektor kognitif (inteligensi), konatif (karakter), afektif (temperamen), dan somatis (konstitusi). Dari semua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah semua tingkah laku ciri yang dibawa sejak lahir serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang membedakan seseorang sebagai individu dengan individu lainnya.

B.1. Tipe Kepribadian

Eysenck (dalam Hall dkk, 1985) menggolongkan kepribadian menjadi 3 tipe besar kepribadian yakni: introversion-extraversion (introvert- ekstrovert), neuroticism (neurosis), dan psychoticism (psikosis). Eysenk menjelaskan bahwa suatu traits dapat ada pada setiap manusia. Traits ini tidak aktif setiap waktu akan tetapi selalu ada dan mempunyai ambang yang rendah sehingga dapat muncul apabila terdapat suatu stimulus tertentu.

Penelitian ini merujuk pada tipe kepribadian yang dikemukakan oleh Carl Jung. Menurut Jung (dalam Suryabrata, 1982) aktifitas psikis seseorang dapat


(37)

mengarah keluar atau kedalam, demikian pula arah orientasi manusia. Apabila orientasi terhadap segala sesuatu ditentukan oleh faktor-faktor luar yang objektif, maka orang itu dikatakan ekstrovert. Sebaliknya orang-orang yang mempunyai tipe orientasi ditentukan oleh faktor-faktor subjektif yakni faktor yang berasal dari batin sendiri, dikatakan dengan tipe orientasi introvert.

Individu yang tergolong introvert akan lebih berorientasi pada stimulus internal dibandingkan dengan individu yang ekstrovert. Hal ini membuat individu yang tergolong introvert cenderung lebih pemalu, memiliki kontrol diri yang kuat, dan memiliki keterpakuan terhadap hal-hal yang terjadi dalam diri mereka. Selain itu individu introvert ini selalu berusaha untuk mawas diri, tampak pendiam, tidak ramah, lebih suka menyendiri, dan mengalami hambatan pada kualitas tingkah laku yang ditampilkan. Individu yang tergolong introvert akan cenderung untuk menghindar dari sumber stimulus eksternal, yang selalu dicari oleh individu yang tergolong ekstrovert.

B.2. Tipe Kepribadian Introvert

Introvert adalah tipe kepribadian yang ditandai dengan ketertutupan yang berorientasi terhadap pengalaman subyektif, ia cenderung untuk berfokus pada batin, dunia pribadi di mana realitas direpresentasikan sebagaimana hal itu dirasakannya, introspektif, sibuk dengan sendiri, dan urusan internal mereka, mereka sering muncul menyendiri, pendiam, bahkan unsocial (Jung dalam Hall 1985).


(38)

Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) menambahkan ciri-ciri orang dengan tipe kepribadian introvert adalah memiliki sifat pemalu, tidak banyak bicara dan cenderung berpusat pada diri mereka sendiri.

Setiap individu tidak ada yang murni memiliki tipe kepribadian ekstrovert atau murni dengan tipe kepribadian introvert, bisa saja individu lebih cenderung pada kutub ekstrovert tetapi memilki ciri introvert atau lebih cenderung berada di kutub Introvert tetapi memiliki ciri ekstrovert. Individu yang dipilih dalam penelitian ini adalah yang dikelompokkan dalam tipe kepribadian Introvert.

C. Perilaku membeli pada Konsumen Wanita

Menurut Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) perilaku konsumen adalah studi yang mempelajari tentang individu, kelompok atau organisasi dan proses yang digunakan untuk menyeleksi, menjamin, menggunakan, dan mengkonsumsi produk, jasa, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhan dan dampak proses tersebut pada konsumen dan masyarakat. Perilaku konsumen didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktifitas fisik individu yang terlibat saat mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mendapatkan barang dan jasa (Loudon & Bitta, 1993).

Telah banyak penelitian membuktikan bahwa perilaku membeli pada wanita berbeda dengan perilaku membeli pada pria. Contohnya perbedaan ditemukan pada penelitian (Fischer & Arnold, 1990) pada penelitian ini wanita dilaporkan lebih menikmati berbelanja daripada pria, serta wanita lebih terlibat dalam kegiatan belanja. Hasil penelitian lain menemukan bahwa, 78% responden


(39)

dari survei tentang belanja pada saat natal adalah wanita (Laroche, Saad, Browne, Cleveland, & Kim, 2000) dan 73% responden dari survei mengenai berbelanja makanan juga wanita (International Mass Retail Association, dalam Kruger & Byker, 2009). Ketika berbelanja, pria akan lebih cenderung ingin mendapatkan apa yang dibutuhkannya dan kembali secepat mungkin, karena bagi pria tidak penting berlama-lama menghabiskan waktu setelah mendapatkan apa yang ingin dibelinya (Kruger & Byker, 2009). Brennan (2009) menguatkan hasil penelitian dengan meneliti beberapa perbedaan cara pandang wanita dan pria dalam perilaku membeli. Wanita cenderung berfokus pada produk apa yang paling menyenangkannya, sedangkan pada pria produk yang paling membuat dia senang adalah bagaimana cara produk bekerja. Selain itu wanita juga lebih memfokuskan pada hal-hal detail, sedangkan pria lebih memfokuskan pada hal-hal yang teknis dan bersifat sportif.

Hal ini akan mempengaruhi seluruh proses keputusan membeli. Bakshi (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa wanita dan pria berbeda dalam seluruh proses pembelian baik dari information search hingga postpurchase process. Hasilnya didapatkan bahwa disonansi pada pria cenderung moderate namun pada wanita disonansi berada pada level high.

Pengaruh perbedaan perilaku konsumen atau keputusan membeli tidak hanya dapat dipandang dari segi gender, menurut Kotler (1997) faktor lain yang mempengaruhi adalah budaya, sosal, psikologis dan juga pribadi (perbedaan individu).


(40)

D. Dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert

Dalam melakukan pembelian, konsumen dapat dibedakan dari beberapa aspek. Salah satu aspek yang membedakan konsumen dalam pembelian yaitu gender. Telah banyak penelitian membuktikan bahwa perilaku membeli pada pria berbeda dengan wanita. Dalam membeli, wanita dilaporkan lebih menikmati berbelanja daripada pria, serta wanita lebih terlibat dalam kegiatan belanja (Fischer & Arnold, 1990). Salah satu contoh penelitian lain adalah penelitian Bakshi (2012) yang meneliti perbedaan proses pembelian konsumen berdasarkan gender, dari awal mula proses problem recognition hingga proses setelah pembelian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa disonansi setelah pembelian lebih tinggi dirasakan oleh konsumen wanita. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, yakni wanita lebih menggunakan internally focused dimana mereka cenderung berbicara untuk berhubungan dengan orang lain, mempercayai kedalaman pencarian informasi, lebih subjektif dan mempercaya diri saat mengambil keputusan, lebih menilai hubungan emosionalnya dengan pembelian, dan juga cenderung melihat pembelian sebagai keputusan jangka panjang atau long term decision.

Dalam melakukan pembelian wanita juga dipengaruhi beberapa faktor salah satunya adalah faktor kepribadian. Menurut Kardes (2002) kepribadian merupakan faktor internal yang cukup berperan dalam kemunculan postpurchase dissonance yang dirasakan konsumen selain faktor eksternal.


(41)

Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang dapat mempengaruhi seseorang untuk bertingkah laku. Menurut Carl Jung (dalam Hall, 1985) kepribadian adalah realisasi tertinggi dari penggabungan antara keistimewaan yang dibawa sejak lahir, keberanian dalam menghadapi kehidupan, penguatan dari konstitusi tubuh, keberhasilan beradaptasi terhadap kondisi ingkungan, dan tekad diri yang besar. Jung merupakan salah satu ahli yang menggolongkan tipe kepribadian dalam ekstrovert dan introvert.

Tipe kepribadian introvert cenderung untuk membuat keputusan yang voluntary (bebas), karena tipe kepribadian ini sangat berorientasi pada dirinya sendiri. Hal ini dikuatkan dalam potongan wawancara bersama C (21 tahun) yang pernah mengikuti tes kepribadian Big five dengan hasil kepribadian introvert. Sehingga setelah membeli, kosumen dengan tipe kepribadian introvert lebih cenderung merasakan postpurchase dissonance.

“aku kalo beli sesuatu itu gak mikir-mikir panjang, enggak suka tanya sana-sini, jadi asal cocok dimata, keliatan lucu dan aku suka langsung beli aja gitu, waktu udah sampe rumah aku mikir sendiri kenapa aku beli ini ya” ( Wawancara personal, Maret 2013 )

Postpurchase dissonance adalah suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Dalam mengetahui dissonansi seseorang dapat dilihat dari tiga dimensi postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000). Dimensi pertama merupakan emotional. Emotional merupakan ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan membeli. Saat konsumen merasa keputusan yang sudah diambilnya ternyata tidak memiliki pertimbangan yang matang, maka


(42)

ia akan merasakan postpurchase dissonance. Salah satu ciri dari wanita dengan tipe kepribadian introvert adalah sibuk dengan diri sendiri dan urusan internalnya (Jung dalam Hall, 1985). Hal ini membuat kerap kali wanita dengan tipe kepribadian introvert melakukan keputusan belanja dengan mandiri (Sitorus, 2007). Ciri lain seperti introspektif (Jung dalam Hall, 1985), membuat konsumen cenderung memikirkan kembali tindakannya setelah mengambil suatu keputusan. Sehingga saat merasakan kesalahan setelah melakukan pembelian maka konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert melakukan introspeksi pada dirinya sendiri dan tidak menyalahkan orang lain. Berikut potongan wawancara bersama RP :

”aku sendiri sih.. kan aku yang mutusin akhirnya.. ya cemana-cemanannya itu konsekuensi aku.. itupun karena aku uda bingung kali miliih dua itu.. kalo barang yang awalnya aku pengen itu ada kurasa aku gak bakal nelpon dia hahaha karena belinya udah lama kali kan..” (Wawancara personal, Maret 2014)

Berikutnya wisdom of purchase, yaitu ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian. Konsumen dengan tipe kepribadian introvert juga memiliki ciri pendiam Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) dan lebih suka menghabiskan waktunya sendiri (Briggs & Myers, 1976). Hal ini menyebabkan konsumen wanita dengan tipe kepribadian intorvert jarang sekali memiliki teman belanja dan pendapat kedua dalam membeli sesuatu. Sehingga ia cenderung untuk lebih mengikuti keinginannya sendiri.

”iya tergerak.. kadang juga gak kepikiran gitu minta ditemani.. lebih ee asik aja jalan-jalan sendiri ..” (Wawancara personal, Maret 2014)


(43)

Hal lain adalah terdapat kecenderungan untuk tidak begitu mudahnya percaya dengan saran yang diberikan orang lain dan lebih berorientasi pada pengalaman subyektif yang dimiliki oleh diri sendiri (Jung dalam Hall, 1985). Ketidakpercayaan pada orang lain, menyebabkan konsumen dengan tipe kepribadian introvert harus memilih sendiri produk yang sesuai dengan apa yang diinginkannya.

”Nanti kalo nanya lagi aku bingung.. aku kan gak gampang percaya juga kak jadi nanti takut tambah bingung.. gak jadi jadi beli ujungnya.. terus kan aku” (Wawancara personal, Maret 2014) ”... aku nanyanya kayak yang ngegeneral gitu kak.. tapi kalo misalnya orang yang aku tanyain itu uda sampe bilang kayak udah beli yang ini aja bagusan yang ini.. ah udalah.. berarti emang dia lebih suka sama produknya yang itu makanya dibagus-bagusin kelebihannya kekgitu.. aku mikirnya kekgitu.. aku uda gak percaya.. haha” (Wawancara personal, Maret 2014)

Hal ini membuat konsumen introvert lebih berkemungkinan untuk mengalami kesulitan dalam memilih suatu produk. Sebab ia harus memilih sendiri produk yang diinginkannya. Akibatnya setelah belanja kerap timbul pertanyaan-pertanyaan mengenai kebijakan keputusan yang telah dibuat.

Terakhir adalah concern over deal, ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah pembelian dimana mereka bertanya-tanya apakah telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka. Mengingat berbagai ciri yang dimiliki konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert (Jung dalam Hall, 1985), dimensi concern over

deal berpeluang untuk tidak begitu memiliki pengaruh dalam kegiatan belanja

wanita introvert. Salah satu ciri tipe kepribadian introvert yang pemalu dan tidak banyak bicara (Jung dalam Schultz & Schultz, 1994) membuat wanita dengan tipe


(44)

kepribadian introvert lebih menyempitkan wilayah pencarian informasi pada orang-orang tertentu saja. Hal ini membuat informasi yang didapatkan mengenai suatu produk lebih tidak beragam. Selain itu, kecenderungan untuk berfokus pada dirinya sendiri dan introspektif (Jung dalam Hall, 1985) memungkinkan konsumen dengan tipe kepribadian introvert melakukan penyaringan informasi yang didapatkan dari luar untuk dicocokkan kembali dengan value yang dimilikinya. Namun hal tidak menutup kemungkinan bila konsumen dengan tipe kepribadian intorvert dapat pula merasakan concern over deal.

Tiga dimensi disonansi tersebut dapat menggambarkan bagaimana bentuk disonansi yang dirasakan wanita dengan tipe kepribadian introvert. Sangat menarik melihat bagaimana perilaku konsumen pada wanita dengan kepribadian introvert dapat sangat mempengaruhi proses pembelian hingga mengakibatkan pospurchase dissonance. Maka berdasarkan penjelasan diatas peneliti lebih tertarik melihat dinamika postpurchase dissonance yang dirasakan oleh wanita dengan tipe kepribadian introvert.


(45)

KERANGKA BERFIKIR


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003).

A. Pendekatan Kualitatif

Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari perilaku seseorang (Poerwandari, 2007). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif-studi kasus. Diharapkan dengan menggunakan metode ini akan tampak dinamika postpurchase dissonance dari hasil temuan di lapangan dalam konteks yang sesungguhnya serta dapat mempelajari dengan lebih mendalam mengenai pembelian pada wanita dengan tipe kepribadian introvert.

Penelitian kualitatif dianggap lebih sesuai untuk mengetahui dinamika postpurchase dissonance pada tipe kepribadian introvert. Sebab setiap individu merasakan pengalaman yang beragam mengenai tipe dissonance serta lamanya dissonance yang dirasakan. Selain itu kadar introvert yang dimiliki setiap orang juga berbeda-beda pula sehingga menjadi alasan peneliti memilih metode penelitian kualitatif. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Poerwandari (2007)


(47)

bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah penelitian kualitatif.

B. Responden Penelitian B.1. Karakteristik responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah :

a. Wanita.

Alasan diambil responden wanita pada penelitian ini karena wanita merupakan konsumen yang memiliki kecenderungan merasakan dissonance lebih besar dari pada konsumen pria.

b. Memiliki tipe kepribadian introvert (pernah mengikuti tes standard mengukur tipe kepribadian ekstrovert – introvert MBTI).

Peneliti lebih tertarik melihat dissonance yang dirasakan responden dari tipe kepribadian introvert karena kecenderungan untuk mengalami dissonance lebih besar daripada tipe kepribadian lain.

c. Pernah mengalami dissonance setelah melakukan pembelian.

Alasan diambil responden ini dilakukan karena peneliti ingin mengetahui dinamika terjadinya dissonance, jadi harus mengambil responden yang sedang atau sudah pernah mengalami dissonance setelah pembelian.


(48)

B.2 Jumlah responden

Dalam penelitian kualitatif, untuk tujuan generalisasi jumlah sampel dan cara pengambilannya mendapat perhatian serius. Metode sampling dan karakteristik sampel berperan terhadap sejauh mana penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi. Menurut Banister dkk (dalam Poerwandari, 2007), dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Satu kasus tunggalpun dapat dipakai bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti memperoleh kasus lebih banyak. Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007). Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan 2 orang sampel.

B.3 Prosedur pengambilan responden

Patton menguraikan pedoman pengambilan sampel pada penelitian kualitatif, yang harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Maka dalam penelitian ini peneliti ingin memakai prosedur pengambilan responden dengan purposive yang terstratifikasi. Melalui pendekatan ini, peneliti mengambil kasus-kasus yang menjelaskan kondisi rata-rata (serupa dengan pendekatan pengambilan kasus tipikal), tetapi juga kasus-kasus yang menjelaskan kondisi diatas rata-rata dari suatu fenomena (variasi maksimum).


(49)

Dengan strategi ini peneliti tidak berfokus pada upaya mengidentifikasi masalah-masalah mendasar, melainkan pada upaya menangkap variasi-variasi besar dari responden (Patton dalam Poerwandari, 1998).

Dalam memilih sampel digunakan dasar teori yang dikemukakan oleh Jung mengenai tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan cara memberikan tes MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang berasal dari pendekatan Jung. Sehingga didapatkan dinamika yang tepat mengenai postpurchase dissonance yang benar-benar dirasakan oleh wanita dengan kepribadian introvert. Namun karena keterbatasan peneliti, dalam penelitian ini hanya mendapatkan dua variasi sampel yakni kepribadian introvert yang tergolong light (rendah) dan middle (sedang) sementara variasi tipe kepribadian introvert yang tergolong high (tinggi) tidak didapatkan.

C. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini direncanakan menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan terentu (Poerwandari, 2007). Wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh pendekatan lain (Banister dkk., dalam Poerwandari, 2007).

Responden diwawancarai untuk memperoleh gambaran tentang


(50)

setiap responden. Pendekatan dasar wawancara yang digunakan untuk memperoleh data kualitatif adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman partisipan. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam (Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa harus menentukan urutan pertanyaan eskplisit. Wawancara juga berbentuk open-ended question yakni mencoba mendorong subjek untuk berbicara lebih lanjut tentang topik yang dibahas tanpa membuat responden merasa diarahkan.

Selain itu observasi juga akan digunakan dalam penelitian ini yang berguna sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati (Poerwandari, 2007). Hal–hal yang akan diobservasi selama wawancara adalah setting serta lingkungan fisik dimana wawancara akan dilakukan, penampilan fisik subjek, sikap subjek


(51)

selama wawancara dilakukan, hal-hal yang mengganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara.

D. Alat bantu pengumpulan data

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Pedoman wawancara

Menurut Poerwandari (2007) penggunaan pedoman wawancara berfungsi untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan pedoman umum wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek dari topik yang harus dibahas, serta menjadi alat pengecek apakah semua pertanyaan yang berkenaan dengan topik sudah ditanyakan atau dibahas.

b. Alat perekam

Dalam penelitian ini peneliti merasa perlu menggunakan alat perekam agar peneliti dapat mengulang kembali hasil rekaman wawancara. Tujuannya agar peneliti dapat melakukan cross-check ulang mengenai pertanyaan yang belum lengkap ataupun belum jelas. Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Penggunaan alat rekam ini digunakan dengan meminta izin atau persetujuan dari subjek terlebih dahulu.


(52)

c. Alat Tulis

Alat tulis digunakan untuk mencatat hal-hal penting terkait dengan wawancara serta sebagai data kontrol jalannya wawancara dan observasi. Hal ini dilakukan sebagai pedukung data yang terekam dalam alat perekam.

E. Kredibititas dan validitas penelitian

Dalam pendekatan kualitatif, konsep validitas digantikan dengan istilah kredibilitas. Menurut Poerwandari (2007) kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan bagaimana dinamika postpurchase dissonance pada wanita dengan tipe kepribadian introvert.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, yaitu dengan:

1. Melakukan pemilihan responden yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert yang mengalami postpurchase dissonance.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori postpurchase dissonance dari Hawkins, Best & Motherbaugh (2007) dan Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) tentang faktor-faktor dan dimensi yang mengarah kepada munculnya postpurchase dissonance.


(53)

3. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan kritik dan masukan mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya.

5. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

F. Prosedur Penelitian

Rencana prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : F.1. Tahap persiapan penelitian

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan teori postpurchase dissonance, pembelian pada wanita, dan tipe kepribadian introvert.

b. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun pedoman wawancara berdasarkan kerangka teori. Kemudian disusun butir-butir pertanyaan untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara. Setelah disusun, peneliti melakukan professional judgment dengan dosen pembimbing serta beberapa ahli yang berkaitan


(54)

dengan proses wawancara untuk menilai efektifitas pedoman wawancara serta mengecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. c. Membuat informed consent

Informed consent adalah pernyataan pemberian izin oleh subjek. Dalam pemberian informed consent peneliti juga menjelaskan mengenai penelitian serta tujuan dan manfaat penelitian. Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa subjek telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa ada paksaan dari siapapun.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat – alat yang dipersiapkan adalah alat perekam, pedoman wawancara serta alat tulis yang berguna sebagai pendukung proses pengumpulan data.

e. Persiapan pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, kemudian peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan meminta kesediaannya untuk menjadi responden.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport sekaligus melakukan informed consent dimana peneliti menjelaskan penelitian secara umum meliputi tujuan dan manfaat penelitian serta


(55)

aktivitas dan peran reponden dalam penelitian ini, apa yang diharapkan dari responden dan disampaikan bahwa informasi yang mereka berikan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian serta identitas responden terjamin kerahasiaannya. Setelah itu peneliti dan responden mengadakan kesepakatan tentang pertemuan pelaksanaan penelitian selanjutnya yang meliputi waktu dan lokasi wawancara.

F.2. Tahap pelaksanaan penelitian

a. Melakukan konfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara, peneliti melakukan konfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara yang sebelumnya telah disepakati oleh responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan dua puluh empat hingga lima jam sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan partisipan dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara. Setelah ada kesepakatan waktu dan tempat, peneliti melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses


(56)

Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi, dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan, kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan


(57)

data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

F.3. Tahap pencatatan data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari hasil rekaman kemudian akan ditranskripkan secara verbatim untuk dianalisa.

G. Teknik dan Prosedur Analisa Data

Menurut Poerwandari (2007) proses analisa data meliputi: a. Organisasi data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, menjadi kewajiban peneliti untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang dilakukan, serta menyimpan data. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi yang kronologis mengenai pengumpulan pengumpulan data dan analisis.


(58)

b. Koding dan analisa

Sebelum analisis dilakukan langkah penting yang pertama harus dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan medetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian pada gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak (bertanggung jawab) memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang dikumpulkannya. Langkah awal koding dapat dilakukan dengan menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu. Kemudian peneliti melakukan penomoran pada baris-baris transkrip secara urut dan kontinyu. Terakhir peneliti memberikan memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu (Poerwandari, 2007).

a. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang adalah juga kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari data, peneliti mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan untuk meyakini temuannya. Peneliti juga perlu mencari data yang memberikan


(59)

gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut (Poerwandari, 2007).

d. Strategi analisa

Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri maupun konsep yang dkembangkan atau dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis (Poerwandari, 2007).

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena (Poerwandari, 2007).

a. Tahapan Interpretasi

Kemudian peneliti melakukan interpretasi data. Interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam (Kvale, dalam Poerwandari 2007). Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan


(60)

struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkripsi wawancara).


(61)

BAB IV

HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami postpurchase dissonance pada wanita dengan tipe kepribadian introvert, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per responden. Dalam bab ini akan digunakan kode-kode yang memudahkan melihat hasil wawancara yang terdapat pada lampiran. Contoh kode yang digunakan seperti W1/R1/ab,1/b.70-73/h.3 yang berarti pernyataan tersebut terdapat pada wawancara pertama untuk responden pertama, koding pada aspek pertama poin dua, temuan 1 yang terdapat pada baris ke 70 sampai 73, dan berada pada halaman ke 3.

A. Responden I (FR)

A.1. Gambaran pembelian Responden I a. Pembelian Produk Sweater A

Dalam pembelian sweater A, responden melakukan kegiatan belanja sendiri untuk membeli produk sweater A karena ia merasa lebih senang bila membeli produk sendirian. Kesulitan dalam menemukan alternatif yang dicari membuatnya menghabiskan waktu berjam-jam dalam mencari produk yang diinginkan. Saat menemukan produk, tidak ditemukan alternatif lain yang menjadi pertimbangan pilihan produk. Akhirnya karena sudah merasa kelelahan berbelanja responden memutuskan untuk membeli produk tersebut tanpa mencobanya.


(62)

Kecemasan dirasakan setelah responden selesai melakukan pembelian dan mengevaluasi kembali produk yang telah dibelinya. Responden yang merasa model produk kurang sesuai merasa cemas apakah produk akan cocok bila digunakan untuk dirinya pada dengan digunakannya produk karena merasa produk tidak sesuai dengan dirinya.

Skema 2. Gambaran pembelian produk sweater A

b. Pembelian Produk Dress

Pada pembelian produk dress responden juga melakukan kegiatan pembelian sendirian saat ia sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Pembelian dress dilakukan tanpa perencanaan sebelumnya. Awalnya muncul keraguan apakah harus membeli produk atau tidak. Namun responden merasa takut akan menyesal bila produk tidak jadi dibeli, maka pembelian pun dilakukan.


(1)

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan tentang kesimpulan, diskusi dan saran yang berhubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian. Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan di Bab I yaitu bagaimana dinamika terjadinya postpurchase dissonance pada konsumen wanita dengan tipe kepribadian introvert. Maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Dan akhir bab ini juga dikemukakan saran-saran praktis dan metodologis yang berguna bagi penelitian dengan tema postpurchase dissonance.

A. Kesimpulan A.1. Responden I

Responden I (FR) mengalami beberapa pembelian yang berakhir dengan bentuk kecemasan psikologis atau disonansi kognitif atau disebut dengan postpurchase dissonance. Responden I mengalami postpurchase dissonance pada pembelian produk HP, dress, sepatu flat, sepatu crocss, laptop, sweater A dan sweater B. Ketidaknyaman psikologis yang dialami responden I setelah melakukan kegiatan pembelian diwujudkan dalam bentuk kecemasan, dan terkadang menyalahkan diri sendiri karena merasa telah membeli produk yang salah. Selain itu responden juga merasakan beberapa dari keputusan yang dibuatnya tidak tepat guna dan kurang sesuai. Hal ini dipicu oleh pembelian yang tidak memiliki pertimbangan yang matang dan hanya untuk menuruti perasaan senang semata serta karena kesulitan memilih antara alternatif yang tersedia.


(2)

Akibatnya, setelah membeli, timbul pertanyaan-pertanyaan terhadap kebijaksanaan keputusan membeli yang merupakan bentuk wisdom of purchase. Sementara concern over deal tidak ditemukan pada responden I sebab responden I lebih senang melakukan kegiatan belanjanya sendiri. Selain itu bentuk orientasi diri yang besar dan kepercayaan responden terhadap pengalaman subjektifnya, mengakibatkan responden sulit untuk menerima saran orang lain mengenai pembelian produk dan kerap kali menolak saran penjual saat pembelian.

A.2. Responden II

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa responden II mengalami postpurchase dissonance di dalam kegiatan belanjanya. Responden II mengalami keraguan dan kecemasan terhadap hasil keputusan pembelian yang telah dilakukannya yang tidak dapat diganti atau diubah. Bentuk kecemasan ataupun keragu-raguan setelah membeli dirasakan responden II pada pembelian produk lipbalm, laptop, tas, dan handphone.

Responden II merasakan dissonance yang terjadi setelah melakukan pembelian berupa kecemasan saat kepercayaan dan perilakunya tidak sejalan. Munculnya kecemasan karena kekhawatiran terhadap kualitas produk yang telah dibelinya. Karena sebelumnya tidak begitu mengetahui produk. Selain itu kecemasan juga terjadi akibat sulitnya menentukan keputusan dalam memilih antara alteratif yang ada. Akhirnya responden merasa kesal dan menyalahkan diri sendiri setelah melakukan pembelian. Responden II juga pernah merasakan keputusannya tidak bijak sehingga timbul keragu-raguan akan kepentingan produk


(3)

saat ini. Sulitnya pemilihan keputusan membuat responden II terus terbayang-bayang akan produk yang ditolaknya dan mengalami keragu-raguan terhadap keputusan membeli yang sudah diambilnya. Rasa dissonansi setelah berbelanja akibat pengaruh orang lain, tidak ditemukan pada responden II. Saat merasakan disonansi, responden II hanya menyalahkan diri sendiri meski saat membeli ia meminta pendapat orang lain. Hal ini karena responden II merasa keputusan yang diambilnya, tetaplah keputusannya dan bukan karena pengaruh orang lain.

B. Saran

B.1. Saran Praktis

a. Bagi responden I, sebaiknya lebih membuka diri untuk melakukan pencarian informasi sedetail mungkin sebelum melakukan pembelian agar kecenderungan merasakan postpurchase dissonance semakin kecil. Serta melakukan pertimbangan dengan matang dan mau untuk mempertimbangkan rekomendasi orang lain terlebih dahulu sebelum pembelian.

b. Bagi responden II, sebaiknya lebih mengembangkan keyakinan kepada diri sendiri terhadap keputusan pembelian yang sudah dilakukan. Mau lebih membuka diri untuk menerima rekomendasi orang lain dan menjalankan pembelian sesuai dengan rencana yang sudah dipersiapkan

c. Proses setelah pembelian dapat sangat mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk dimasa depan. Maka bagi marketers, pentingnya untuk lebih peka terhadap ragam konsumen dengan berbagai tipe agar dapat menyesuaikan pemberian


(4)

informasi mengenai produk untuk mengurangi kecenderungan evaluasi negatif konsumen terhadap pembelian yang tidak memuaskan.

B.2. Saran Penelitian Selanjutnya

a. Bagi penelitian selanjutnya, dapat mengembangkan ragam sampel penelitian dengan menambahkan responden dengan tipe kepribadian yang memiliki tingkat introvert yang lebih tinggi atau dengan mengggunakan responden dari tipe kepribadian yang lain, misalnya berdasarkan locus of control. Agar didapatkan gambaran yang jelas mengenai perbedaan postpurchase dissonance dari berbagai kadar ataupun tipe kepribadian yang dimiliki konsumen.

b. Penelitian selanjutnya disarankan agar tidak cuma menggunakan metode wawancara namun juga dengan metode observasi agar didapatkan hasil data yang lebih akurat lagi.

c. Penelitian selanjutnya dapat melihat tentang bagaimana pengaruh kadar/tingkat introvert dalam memicu postpurchase dissonance.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bakshi, S. 2012. Impact of gender on consumer purchase behaviour. Abhinav National Monthly Refereed Journal of Research in Commerce & Management. 1(9), 1-8

Bowo L.F. 2010. Penentuan strategi pemasaran terhadap perilaku konsumen. Jurnal Manajemen Pemasaran. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Brennan, B. 2009. Why she buys: The new strategy for reaching the world’s most powerful consumers, 1st edition. New York: Crown Business

Briggs, K. C., & Myers, I. B. 1976. Myers-briggs type indicator: Form F. Palo Alto: Consulting Psychologists Press.

Engel, J.F; Blackwell, R.D & Miniard, P.W. 2004. Perilaku konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara

Fischer, E, & Arnold, S.J. 1990. More than a labor of love: Gender roles and christmas gift shopping. Journal of Consumer Research. 17,333-344. Hadi, S. 2000. Metodologi research, Jilid 1-4. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada

Hall, C; Lindzey, G; Loehlin, J.C; Sevtis, M.M. 1985. Introduction to theories of personality. New York: Jhon Wiley & Sons

Hawkins, D.I; Mothersbaugh, D.L & Best, R.J. 2007. Consumer behavior: Building marketing strategy. United States: Mc Graw Hill

Hoyer, W.D; Maclnnis, D.J; Pieters, R. 2008. Consumer behavior. USA: Cengage Learning

Kardes, FR. 2002. Consumer behavior and managerial decision making 2nd edition. New Delhi: Prentice Hall

Kartika, E. 2009. Analisis faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan membeli mobil toyota avanza dan daihatsu xenia di medan. Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara

Kotler, P. 1997. Marketing management: Analysis, planning,implementation and control, 9th edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc


(6)

Kruger, D & Byker, D. 2009. Evolved foraging psychology underlies sex differences In shopping experiences and behavior. Journal of Social, Evolutionary and Cultural Psychology. University of Michigan

Laroche, M; Saad, G; Browne, E; Cleveland, M & Kim, C. 2000. Determinants of in store information search strategies pertaining to a Christmas gift purchase. Canadian Journal of Administrative Sciences. 17, 1-19

Loudon, D.L. & Bitta, A.J.D. 1993. Consumer behaviour: Concept and aplications, 4th edition. USA: McGraw Hill Inc

Moleong, 2005. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: Fakultas Psikologi UI

Rauch, J. 2003. Caring for your introvert

Schiffman, L.G & Kanuk, Leslie. 1997. Consumer behavior. Jakarta: Prentice Hall International Inc

Schultz, D & Schultz S.E. 1994. Theories of personality, 5th Edition. California: Brooks/Core

Simamora, B. 2003. Panduan riset perilaku konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Sitorus, T.F. 2007. Perbedaan postpurchase dissonance antara konsumen dengan tipe kepribadian ektrovert dan Introvert. Jurnal Psikologi Industri Organisasi. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Sugiyono. 2010. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujanto, A dkk. 2004. Psikologi kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara.

Sunyoto, D. 2012. Konsep dasar riset pemasaran dan perilaku konsumen. Yogyakarta : CAPS.

Suryabrata, S. 1982. Psikologi kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Sweeney, J.C; Hauscknecht, D & Soutar, G.N. 2000. Cognitive dissonance purchase: A multidimensional scal psychology and marketing. Journal of Australian marketing. 17, 369-385