Characterization of Physicochemical Properties of Nanocalcium Extracted from Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANOKALSIUM
HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN NILA
(Oreochromis niloticus)

VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Sifat Fisikokimia
Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.


Bogor, April 2013
Vanessa N J Lekahena
NIM F251090041

RINGKASAN
VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA. Karakterisasi Sifat Fisikokimia
Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, DIDAH NUR FARIDAH dan
ROSMAWATY PERANGINANGIN.
Pemanfaatan tulang ikan sebagai sumber mineral seperti kalsium dan fosfor
merupakan upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tulang itu
sendiri. Kalsium dan fosfor adalah senyawa penting yang berperan penting dalam
proses metabolisme serta manfaat bagi kesehatan. Kalsium umumnya tersedia
dalam ukuran mikro (µm) yang dalam sistem metabolisme tubuh penyerapannya
hanya mencapai 50% dari total kalsium yang dikonsumsi sehingga alternatif
terbaik untuk meningkatkan penyerapannya yaitu dengan memperkecil ukuran
dalam nano (nm) menjadi nano kalsium dan salah satu cara untuk memperkecil
ukuran dengan menggunakan milling.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan
nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut

yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari
karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.
Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan utama yaitu 1) persiapan bahan
baku; 2) ekstraksi nanokalsium dari tulang ikan dan 3) karakterisasi sifat
fisikokimia sampel nanokalsium.
Proses persiapan bahan baku dilakukan dalam beberapa tahapan proses
seperti pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran, selanjutnya
dilakukan proses ekstraksi untuk melunakkan dan merubah struktur tulang
sehingga memudahkan proses milling. Proses ekstraksi dilakukan dengan 4
metode ekstraksi, yaitu akuades (sampel A), NaOH (sampel B), NaOH dilanjutkan
dengan HCl (sampel C) dan HCl (sampel D), yang dilanjutkan dengan proses
milling menjadi nanokalsium sebelum dikarakterisasi, dengan menggunakan
bahan baku (sampel BB) sebagai kontrol. Karakteristik fisikokimia yang
dilakukan meliputi: rendemen, derajat putih, ukuran partikel, proksimat, kalsium
dan fosfor, serta gugus fungsi, morfologi permukaan dan struktur kristal sampel.
Hasil analisis fisikokimia sampel menunjukkan bahwa sampel dengan sifat
fisikokimia yang terbaik adalah sampel C, karena memiliki ukuran partikel kecil
(145.50 nm) dan derajat putih (93.72%) atau memenuhi standar derajat putih
kalsium komersil, dan rendah akan kadar air, protein dan lemak, tetapi tinggi
kadar abu, kalsium dan fosfor dengan rasio Ca/P = 1.87. Hasil yang diperoleh

adalah sifat kalsium yang mendekati sifat hidroksiapatit, sehingga jika
diaplikasikan dalam bahan pangan memiliki sifat kelarutan dan bioavailabilitas
yang baik.
Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared)
mengindikasi adanya gugus fosfat (PO43-) sampel dalam bentuk vibrasi simetris
strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching, dan vibrasi
asimetris bending, sedangkan pita absorpsi apatit karbonat (CO32-) dalam bentuk
tipe AKA (Apatit Karbonat A) dan AKB (Apatit Karbonat B).

Analisis menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan
adanya perubahan morfologi pada sampel hasil ekstraksi sebagai akibat dari
proses ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi dengan larutan asam
mengakibatkan morfologi sampel menjadi lebih berporos dan tajam, sedangkan
ekstraksi menggunakan larutan basa mengakibatkan permukaan sampel menjadi
lebih datar, dan ekstraksi menggunakan air tidak mempengaruhi morfologi
permukaan bubuk tulang ikan nila.
Hasil analisis menggunakan EDS (Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy)
menunjukkan terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C),
oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca). Jenis pelarut mempengaruhi persen
massa unsur sampel. Ekstraksi dengan larutan asam mengakibatkan meningkatnya

persen massa fosfor dan menurunkan persen massa karbon dan kalsium.
Analisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan fasa kristal
dalam sampel dalam bentuk apatit karbonat baik tipe A maupun B dan
hidroksiapatit dengan rumus kimia [Ca5(PO4)3(OH)]. Sampel berada dalam fasa
kristalin dan amorf yang ditunjukkan dengan derajat kristalinitas 71.4-78.4% dan
ukuran kristal yang terbentuk pada sudut 2 ≤ 25.92 berkisar antara 156.44430.69 nm.

SUMMARY
VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA. Characterization of Physicochemical
Properties of Nanocalcium Extracted from Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone.
Under direction of RIZAL SYARIEF, DIDAH NUR FARIDAH and
ROSMAWATY PERANGINANGIN.
The utilization of fish bone as minerals source such as calcium and
phosphorus is an effort to increase the economic value of waste fish bones.
Calcium and phosphorus are essential compounds which play an important role in
metabolic processes as well as health benefits. Generally, calcium is available in
micro size, which is absorbed in the metabolic system at 50% of total calcium
intake then the best alternative to improve absorption is reducing the size in nano
(nm) so become nanocalcium, by milling process.
The research aimed to perform the extraction of nanocalcium from tilapia

(Oreochromis niloticus) bones by using different types of solvents, followed by
milling process and study the characterization of physicochemical changes.
The research was conducted in three main phases: 1) raw material
preparation, 2) the extraction of nanocalcium from fish bones and 3)
characterization of physicochemical nanocalcium sample.
There are some process stages to prepare raw material: washing, boiling,
drying and size reduction, then performed extraction to soften and change the
bone structure to be milled easily. The extractions were done as follow: water
(sample A), NaOH (sample B), NaOH followed by HCl (sample C) and HCl
(sample D) which is followed by milling process to become nanocalsium before
characterized, using raw materials (sample BB) as a control. Physicochemical
characteristics that observed are include yield, whiteness degree, particle size,
proximate, calcium and phosphorus, functional groups, morphology surface and
crystal structure of the sample.
Physicochemical analyzed that sample C is the sample with best character
because has smaller particle size (145.50 nm) and the whiteness degree (93.72%)
close to commercial standards of whiteness calcium as well as low of moisture,
protein and fat content while ash, calcium and phosphorus content are high with
ratio of Ca/P = 1.87. Calcium obtained is close to the hydroxyapatite characteristic
so aplicate it in food has good properties mainly related to its solubility and

bioavailability.
Absorption peaks of sample revealed by FTIR (Fourier Transform Infrared)
identified that phosphate (PO43-) group indicated as the symmetric bending,
symmetric stretching, asymmetric stretching, and asymmetric bending vibrations.
Absorption band of carbonate (CO32-) group indicated the apatite carbonate type A
and B.
Morphological analysis using SEM (Scanning Electron Microscopy)
showed that surface of sample is change as result of the extraction process and the
type of used solvent. Extraction using acid solution made sample becomes more
porous and sharper, while extraction using alkaline solution made sample surface

flatter, while extraction using water did not change the surface morphology of
tilapia bone powder.
The result of EDS (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy) analysis showed
that sample consist of 4 main elements such as carbon (C), oxygen (O),
phosphorus (P) and calcium (Ca). The type of solvent affects the mass percent of
there elements. Extraction using acid solution was increased mass percent of
phosphorus and decreased mass percent of carbon and calcium.
XRD (X-Ray Diffraction) analysis showed crystalline phase in the sample
form carbonate apatite either type A or B and hydroxyapatite [Ca5(PO4)3(OH)].

Samples performed crystalline and amorphous phase that indicated by the degree
of crystallinity about 71.4-78.4% and the size of the formed crystals at 2 ≤
25.92 its range between 156.44-430.69 nm.
Keyword: extraction, nanocalcium, physicochemical characterization

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANOKALSIUM
HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN NILA
(Oreochromis niloticus)

VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Sc

Judul
Nama
NIM

: Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari
Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
: Vanessa Natalie Jane Lekahena
: F251090041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS
Ketua

Dr Ir Didah Nur Faridah, M.Si
Anggota


Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 12 April 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan, kasih dan

karunia-Nya, termasuk kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S-2
di PS Ilmu Pangan dengan tesis berjudul “Karakterisasi Sifat Fisikokimia
Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)”.
Satu artikel terkait dengan penelitian ini yang telah dikirim untuk publikasi ke
Jurnal Teknologi dan Ilmu Pangan dengan judul “Karakterisasi Fisikokimia
Nanokalsium Hasil Ekstraksi Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Menggunakan Metode Basa dan Asam”
Awal masa perkuliahan, penelitian hingga tahap penyelesaian studi dilewati
atas bimbingan, bantuan, perhatian dan dukungan yang telah diberikan maka
patutlah penulis mengucapkan terima kasih dan perhargaan kepada yang
terhormat:
1. Ketua komisis pembimbing: Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS.
2. Anggota komisi pembimbing: Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si dan Prof. (R)
Dr. Ir. Rosmawaty Peranginangin, MS.
3. Ketua PS Ilmu Pangan: Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional –
Beasiswa BPPS.
5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, atas kesempatan dan
rekomendasi yang diberikan untuk melanjutkan studi, serta bantuan biaya

studi.
6. Pimpinan dan staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, khususnya kepada Ir.
Murniyati, M.Si yang memberikan kesempatan untuk ikut dalam proyek
penelitian pemanfaatan limbah hasil perikanan.
7. Teman-teman kuliah di PS Ilmu Pangan khususnya IPN 2009.
8. Papa Atjab (alm) dan mama Cici (alm) yang tak sempat melihat dan merasakan
kebahagian ini. Ketiga adik terkasih, Maggyo Giovedy Lekahena, Aretha
Viona Passal/Lekahena dan Mirella Patricia Tamaela/Lekahena, beserta dengan
keluarga, yang telah memberikan bantuan moril maupun material.
Tesis ini masih jauh dari kata sempurna tetapi penulis berharap karya ilmiah
ini dapat bermanfaat terutama dalam memahami proses ekstraksi dan karakterisasi
nanokalsium.
Bogor, April 2013
Vanessa N J Lekahena

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
2. TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila
Tulang Ikan
Kalsium
Ekstraksi Kalsium
Teknologi Nano
Keunggulan dan Manfaat Teknologi Nano
3. METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode Penelitian
Analisis Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Bahan Baku
Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan Nila
Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku dan Nanokalsium
Rendemen
Derajat Putih
Ukuran Partikel
Analisis Proksimat
Analisis Kalsium dan Fosfor
Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR
Analisis Morfologi Menggunakan SEM/EDS
Karakterisasi Kristal Menggunakan XRD
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
xii
xiii
1
3
3
3
5
7
7
13
15
15
17
17
17
25
27
27
29
29
30
31
32
34
35
37
39
43
43
45
51

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Komposisi proksimat dan total kalori 5 jenis ikan nila
Komposisi mineral dan total kalori 5 jenis ikan nila
Komposisi proksimat, energi dan mineral tepung tulang ikan nila
Pangan sumber kalsium dan bioavaibilitasnya
Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur
Kode sampel
Data limbah dan perubahannya selama proses persiapan bahan baku
Hasil analisis fisik sampel
Komposisi proksimat nanokalsium tulang ikan nila, kalsium tulang
ikan cod dan salmon
Kadar kalsium dan fosfor sampel
Peta absorpsi FTIR sampel
Hasil analisis unsur sampel menggunakan EDS
Puncak-puncak profil XRD sampe
Derajat kristalinitas dan ukuran kristal sampel

6
6
7
8
10
21
27
30
32
34
36
39
40
41

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Diagram alir tahapan penelitian
Diagram alir persiapan bahan baku
Diagram alir ekstraksi dan karakterisasi nano kalsium
Spektrum FTIR sampel
Mikrograf SEM sampel
Difraktogram XRD sampel

18
19
20
37
38
42

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.

Data limbah dan perubahannya
Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Kondisi limbah tulang ikan nila
Proses perebusan limbah tulang ikan nila
Kondisi bahan baku tulang ikan nila
Metode ekstraksi kalsium
Hasil pengukuran partikel bahan baku
Hasil pengukuran partikel sampel A
Hasil pengukuran partikel sampel B
Hasil pengukuran partikel sampel C
Hasil pengukuran partikel sampel D
Hasil analisis proksimat dan mineral sampel
Hasil uji one-way ANOVA derajat putih sampel
Hasil uji one-way ANOVA kadar air sampel
Hasil uji one-way ANOVA kadar abu sampel
Hasil uji one-way ANOVA kadar protein sampel
Hasil uji one-way ANOVA kadar lemak sampel
Hasil uji one-way ANOVA kalsium
Hasil uji one-way ANOVA fosfor
Spektrum FTIR bahan baku
Spektrum FTIR sampel A
Spektrum FTIR sampel B
Spektrum FTIR sampel C
Spektrum FTIR sampel D
Mikrograf SEM bahan baku
Analisis EDS bahan baku
Mikrograf SEM sampel A
Analisis EDS sampel A
Mikrograf SEM sampel B
Analisis EDS sampel B
Mikrograf SEM sampel C
Analisis EDS sampel C
Mikrograf SEM sampel D
Analisis EDS sampel D
Profil difraktogram bahan baku
Profil difraktogram sampel A
Profil difraktogram sampel B
Profil difraktogram sampel C
Profil difraktogram sampel D

51
51
51
52
52
53
53
54
54
55
55
56
56
56
56
56
57
57
57
57
58
58
59
59
60
60
61
61
62
62
63
63
64
64
65
65
66
66
67

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penanganan limbah industri pengolahan hasil ikan merupakan salah satu
permasalahan dalam industri pengolahan perikanan. Masalah limbah ini harus
ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya
yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan.
Produksi tahunan ikan nila dunia adalah sekitar 1 500 000 ton atau senilai
1.8 miliar dolar US, hampir sama dengan total nilai produksi tahunan ikan salmon
dan trout (Hemung 2013). Pengolahan ikan nila dalam bentuk fillet ikan yang
dilakukan oleh P.T. Aqua Farm di Semarang, Jawa Tengah, menghasilkan limbah
tulang ikan sebanyak 4500 kg per hari (10% dari total produksi harian sebesar 45
ton)1 dan belum dapat diolah serta dimanfaatkan untuk menjadi produk yang
bernilai ekonomis.
Pemanfaatan tulang ikan nila sebagai sumber mineral terutama kalsium dan
fosfor merupakan upaya peningkatan nilai ekonomis limbah tulang ikan, karena
selama ini pemanfaatan tulang ikan tersebut masih terbatas pada pembuatan
tepung tulang untuk pakan ternak atau dibuang sehingga menimbulkan masalah
lingkungan, padahal tulang ikan nila memiliki kandungan mineral seperti kalsium
dan fosfor yang bermanfaat.
Fraksi limbah padatan tulang ikan berkisar 10-15% dari berat ikan secara
keseluruhan tidak termasuk kulit, dan merupakan sumber protein yang potensial,
asam lemak tak jenuh esensial, vitamin, antioksidan, asam amino dan mineral (6070%) dalam bentuk garam anorganik terutama kalsium fosfat, kreatin fosfat dan
hidroksiapatit (Kim dan Mendis 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011).
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak dalam tubuh yaitu > 99%
dari tubuh manusia atau sekitar 1000-1200 g mengandung kalsium yang
terkonsentrasi pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat dan hidroksiapatit
[Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril. Selain
berperan penting dalam kekakuan dan kekuatan tulang, kalsium juga berperan
penting dalam sebagian besar proses metabolisme, termasuk proses pembekuan
darah, adhesi sel, kontraksi otot, sistem hormon, pelepasan neurotransmitter dan
metabolisme glikogen, serta proliferasi dan diferensiasi sel (WHO 2006; Malde et
al. 2010; Huang et al. 2011).
Beberapa kajian mengenai pemanfaatan tulang ikan dan potensi aplikasinya
sebagai sumber kalsium alami telah dilakukan, diantaranya kalsium dalam tulang
ikan cakalang dapat diekstrasi dengan teknik deproteinasi (Murtiningrum 1997);
limbah tulang ikan patin sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi
kering (Mulia 2004); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai sumber
kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit (Kaya et al. 2007); limbah tulang
ikan tuna sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein (Trilaksani et
al. 2006); tepung tulang ikan kakap merah dalam susu kedelai (Dongoran et al.
2008), dari hasil kajian-kajian tersebut diketahui bahwa limbah tulang ikan
1

Komunikasi pribadi dengan Kepala Unit Produksi PT Aqua Farm, Semarang bulan Juli 2012

2

berpotensi sebagai sumber kalsium alami yang dapat difortifikasi pada produk
pangan untuk mencukupi asupan kalsium harian.
Produk pangan yang difortifikasikan dengan kalsium tulang akan
menghasilkan produk yang kaya kalsium, untuk itu kalsium pada tulang harus
diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna melalui perubahan struktur matriks
tulang dengan proses pelunakan yang dapat dilakukan dengan menggunakan
metode ekstraksi dengan air panas dan larutan asam panas (Kim dan Mendis
2006). Penggunaan larutan asam (HCl, asam asetat, asam sitrat) dalam ekstraksi
nanokalsium (Suptijah et al. 2010b) dan ekstraksi menggunakan NaOH 3% dalam
pembuatan tepung tulang ayam sebagai sumber kalsium (Sittikulwitit et al. 2004).
Penentuan efesiensi dan efektifitas keberhasilan fortifikasi kalsium dalam bahan
pangan terhadap proses penyerapannya maka dilakukan analisis bioavailabilitas
kalsium baik secara in vitro dan in vivo.
Analisis bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan proses
fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium
dalam tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk
menjalankan fungsi metabolisme (Trilaksani et al. 2006). Bioavailabilitas
merupakan pertimbangan penting untuk mengembangkan strategi guna mencegah
defisiensi kalsium melalui peningkatan ketersedian kalsium dalam bahan pangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, bentuk kalsium yang
digunakan untuk fortifikasi dan suplemen, serta metode yang digunakan untuk
menjelaskan dan menilai bioavailabilitas kalsium, merupakan gambaran fortifikasi
dan alternatif pemanfaatan kalsium untuk pemenuhan kebutuhannya (FairweatherTait dan Teucher 2002).
Pengujian bioavailabilitas kalsium tulang ikan yang dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya antara lain, kalsium tulang ikan salmon 21.9%, cod
22.5% dan dibandingkan dengan suplemen kalsium (CaCO3) 27.4% sebagai
kontrol (Malde et al. 2010), sedangkan bioavaibilitas kalsium hasil ektraksi dari
tulang ikan lele, salmon dan kakap yang difortifikasi pada roti tawar putih
menggunakan metode in vitro adalah 34.5-35.7% (Luu dan Nguyen 2009).
Kalsium dalam bentuk tepung tulang ikan tuna memiliki penyerapan sebesar
0.86% atau 337.46 mg/100 g tepung tulang ikan (Trilaksani et al. 2006),
sedangkan bioavailabilitas kalsium tulang ikan nila yaitu 9.38% atau 116.56
mgL-1, dikatakan pula bahwa penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan
kalsium kontrol tetapi dapat meningkatkan aktifitas transglutaminase (tTGase)
dalam proses metabolisme (Hemung 2013).
Mineral kalsium umumnya tersedia dalam bentuk mikro, yang diduga dalam
proses metabolisme tubuh terserap hanya mencapai 50% dari total kalsium yang
dikonsumsi (Guyton 1987), sehingga alternatif terbaik untuk meningkatkan
penyerapan kalsium secara maksimal adalah dengan membentuk nanokalsium
(Suptijah et al. 2012). Nanokalsium merupakan mineral predigestif yang sangat
efiesien dalam memasuki sel tubuh karena ukuran yang super kecil menyebabkan
mudah memasuki reseptor sehingga dapat terabsorpsi secara cepat dan sempurna
ke dalam tubuh (Park et al. 2007).
Bioavailabilitas nanokalsium yang diuji pada tikus yang diberi pakan
nanokalsium memiliki buangan kalsium yang rendah pada feses dan urin
dibandingkan tikus yg diberi pakan mikrokalsium (Gao et al. 2007), selain itu

3

Park et al. (2007) menjelaskan bahwa penggunaan nanokalsium sebagai suplemen
dalam susu yang diujikan pada tikus, lebih efektif dalam meningkatkan
metabolisme kalsium dan massa tulang tikus tersebut, hal ini membuktikan bahwa
ukuran partikel kalsium mempengaruhi tingkat penyerapannya, seperti yang
dijelaskan oleh Chen et al. (2010) bahwa ukuran partikel merupakan faktor
penting yang menjadi pertimbangan dalam ilmu formulasi ketika berhubungan
dengan formulasi sistem disperse pangan.
Sintesis nanomaterial dapat dilakukan secara top down dan bottom up. Top
down merupakan pembuatan struktur nano dengan memperkecil ukuran material,
sedangkan bottom-up adalah dengan cara merangkai atom atau molekul dan
menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk membentuk nano struktur
(Greiner 2009). Metode top down adalah penggerusan dengan alat milling,
sedangkan teknologi bottom up yaitu menggunakan teknik sol-gel, presipitasi
kimia, dan aglomerasi fasa gas (Dutta dan Hofmann 2005) dan penelitian ini
menggunakan metode top down melalui proses penepungan.
Pemanfaatan teknologi nano untuk menghasilkan nanokalsium yang
dilakukan oleh Suptijah et al. (2010a) dengan mengisolasi dan karakterisasi
mineral crustacea sebagai sumber potensial nanokalsium dengan perlakuan lama
waktu perendaman, tahapan ekstraksi dengan berbagai konsentrasi HCl dan lama
waktu ekstraksi menjelaskan bahwa kondisi perendaman selama 1 hari,
menggunakan konsentrasi HCl 1.0 N dan waktu ekstraksi 60 menit merupakan
tahapan proses yang paling efisien dalam pembuatan nanokalsium dengan
rendemen 61.7%. Nanokalsium dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk dan
fortifikasi pangan sebagai bentuk pangan fungsional yang bermanfaat untuk
kesehatan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan
nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut
yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari
karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.

Manfaat Penelitian
1.
2.

3.

Sumber informasi pemanfaatan limbah hasil produksi perikanan khususnya
limbah tulang ikan nila sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis.
Kandungan kalsium tulang ikan nila dapat dimanfaatkan sebagai sumber
kalsium alami untuk memenuhi kebutuhan asupan kalsium harian karena
memiliki potensi sumber daya yang besar dan bioavailabilitas yang baik.
Kalsium tulang ikan dalam bentuk nanokalsium mampu meningkatkan
penyerapan kalsium sehingga pemanfaatannya sebagai fortifikan pada bahan
pangan lebih efektif dan efisien.

4

Hipotesis
Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda akan
menghasilkan nanokalsium yang berbeda karakteristik fisikokimia dibandingkan
dengan kalsium pada tulang ikan yang belum diekstraksi.

TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar
dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih
kehitaman. Ikan nila adalah jenis ikan ekonomis penting dalam ekologi daerah
tropis dan sub tropis termasuk Mesir. Ikan ini berasal dari Sungai Nil dan danaudanau sekitarnya dan merupakan spesies yang paling populer dari ikan bertulang
di Afrika. Hal ini disebabkan ikan ini memiliki beberapa sifat yang
menguntungkan yaitu mampu bertoleransi terhadap kualitas air yang buruk,
berbagai macam makanan, plastisitas dalam pertumbuhan, daging ikan yang tebal
dan rasa yang enak dan mampu untuk mengubah sampah organik dan domestik
menjadi protein kualitas tinggi. Sifat yang menguntungkan lainnya yaitu waktu
pemijahan yang panjang dan biologi reproduksi dengan waktu generasi pendek
(Kariman et al. 2008).
Saat ini ikan nila telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang
beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan
nila tidak dapat hidup baik (Priatman 2000). Bibit ikan didatangkan ke Indonesia
secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah
melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada
petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh
Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan.
Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut:
Kelas
: Osteichthyes
Sub-kelas
: Acanthoptherigii
Crdo
: Percomorphi
Sub-ordo
: Percoidea
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus.
Ciri-ciri nila adalah bentuk badan pipih kesamping memanjang; mempunyai
garis vertikal sepanjang tubuh 9-11 buah; garis-garis pada sirip ekor berwana
merah sejumlah 6-12 buah; pada sirip pungung terdapat garis-garis miring; dan
mata tampak menonjol dan besar, tepi mata berwarna putih. Nila merupakan ikan
sungai atau danau yang cocok dipelihara di perairan tawar yang tenang, kolam
dapat berkembang pesat pada perairan payau misalnya tambak.
Produksi perikanan budidaya ikan nila meningkat sebesar 23.96% per tahun
dimana produksi pada tahun 2004 sebesar 7116 ton menjadi 220 900 ton pada
tahun 2008. Pada tingkat dunia Indonesia berada pada peringkat empat negara
produsen nila terbesar setelah Cina, Mesir dan Filipina (DKP 2009).
Secara umum ikan dan kandungan nutrisinya memiliki peran penting dalam
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, tetapi sedikit yang diketahui
tentang nutrisi ikan yang dapat dikonsumsi baik segar atau diawetkan.
Pengetahuan yang lebih baik dari nutrisi ikan, yang berhubungan erat dengan

6

spesies ikan dan memberikan kontribusi untuk pemahaman variabilitas dalam
kualitas daging dari spesies yang berbeda (Elagba et al. 2010).
Komponen zat gizi ikan air tawar berbeda antara spesies, jenis kelamin,
ukuran, musim pemijahan, dan sebaran geografis (Zenebe et al. 1998). Selain itu,
proses pasca panen dan pengolahan akan mempengaruhi umur simpan ikan
(Clement dan Lovelli 1994). Pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan komposisi
proksimat dan komposisi mineral 5 species ikan nila.
Tabel 1

Komposisi Proksimat (g/100g berat kering) dan total kalori dari 5 jenis
ikan nila yang komersil (Elagba et al. 2010)

Parameter

L. niloticus

B. Bayad

O. niloticus

S. schall

T. lineatus

Total lipid (TL)
6.8
13.2
5.3
17.3
1.8
Total protein (TP)
77.9
77
78.4
59.8
79.1
Moisture (M)
75
76
76
73
80
TL:M *
9.1
13.6
6.6
23.7
2.3
TL:TP **
8.8
13.4
6.4
28.8
2.3
Total kalori (Kj/100g)
396.9
424.8
382.6
413.7
356.5
* Persentasi konsentrasi TL terhadap M ** Rasio konsentrasi TL terhadap konsentrasi protein
(100 g, bk)

Kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus
biologis dan bagian tubuh yang dianalisis. Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor
ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu
dan salinitas air juga mempengaruhi kandungan mineral (Martinez et al. 1998).
Umumnya hampir sama berbagai spesies ikan dibandingkan dengan makro nutrien
yang mempunyai variabilitas yang lebih besar (Tee et al. 1989).
Tabel 2 Komposisi mineral (ppm, µg/g berat kering) dan rasio (%) dari 5 jenis
ikan nila komersil (Elagba et al. 2010)
Mineral

L. niloticus

B. Bayad

O. niloticus

S. schall

T. lineatus

Potassium
Phosphorous
Selenium
Calcium
Sodium
Magnesium
Zinc
Iron
Copper
Total mineral

11550 (40)
7270 (25)
4565 (16)
2305 (8)
2395 (8)
705 (2)
62
26
0.9
28870

12100 (41)
7730 (26)
3610 (12)
2920 (10)
2360 (8)
748 (3)
51
17
1.0
29537

9545 (37)
9350 (36)
3610 (14)
1075 (4)
1800 (7)
687 (3)
46
26
1.0
26161

10175 (36)
7370 (26)
4328 (15)
3113 (11)
2805 (10)
696 (2)
53
60
1.4
28641

9990 (33)
7885 (26)
3925 (13
5880 (19)
2035(6.6)
751 (2)
88
48
1.3
30664.3

Kandungan kalsium (Ca) ikan adalah sekitar 20-35 mg, fosfor (P) sekitar
190 mg dan zat besi (Fe) 1.0 mg. Sementara konsentrasi natrium (Na) untuk
hampir semua jenis ikan adalah 20-50 mg dan kalium (K) 250-300 mg (Tee et al.
1989).

7

Tulang Ikan
Tulang umumnya terdiri dari air, materi anorganik dan anorganik, masingmasing diperkirakan 15, 55 dan 30% (Aiko 1991). Total dari susunan tubuh ikan
10% adalah limbah tulang ikan yang memiliki kadar kalsium yang tinggi sekitar
14% dalam bentuk kalsium fosfat (Subasinghe 1996). Unsur utama dari tulang
ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah
kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat
(Halver 1989). Abu dari tulang ikan terdiri dari kalsium sebanyak 34-36% dalam
bentuk kalsium fosfat (Hamada et al. 1995). Beberapa mineral pada ikan
merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik.
Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0.1-1% dengan rasio
kalsium dan fosfor adalah 1.6:0.7 (Lovell 1989).
Tabel 3 Komposisi proksimat (g/100 g), energi (Kcal/100 g) dan mineral (mg/100
g) tepung tulang ikan nila (Petenuci et al 2008)
Komposisi Proksimata

Tepung
tulang ikan

Kadar
Air

Proteinb

Lemak

Kadar
Abu

Energi

14.2

40.8

25.3

18.3

1636/391

Mineral
Zat
Kalsium
Fosfor
Besi
(Ca)
(P)
(Fe)
2715.9

1.3

1132.7

a nilai rata-rata dan SD dengan 3 kali ulangan; b kandungan nitrogen (N x 6.25)

Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang
dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan
penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler
terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam
pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam
penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral
mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor,
sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium dan
flour (Winarno 2008).

Kalsium
Kalsium merupakan makro elemen yang banyak terdapat pada kerangka dan
gigi (99%), sisanya (1%) pada syaraf, otot dan darah. Sebagai komponen
struktural, kalsium dan fosfor pada tubuh memiliki peranan dalam pembentukan
dan perkembangan tulang dan gigi dan sebagai komponen metabolik, proses
biokimia dan fisiologis termasuk fungsi normal otot, pembekuan darah, transfer
ion anorganik melintasi membran, sekresi hormon, pelepasan enzim pada sistem
selular, transduksi signal, dan fungsi reproduksi (Gaman dan Sherrington 1990;
Sittikulwitit et al. 2004).
Kalsium pada struktur tulang berupa kalsium fosfat dan hidroksiapatit
[Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril

8

(Phiraphinyo et al. 2006). Ion kalsium pada permukaan tulang dapat berinteraksi
dengan ion pada cairan tubuh sehingga berperan sebagai proses pertukaan ion.
Sifat penting ini berhubungan peranan tulang sebagai sumber pertukaran kalsium
untuk membantu mempertahankan konsentrasi konstan kalsium dalam darah
(Gurr 1999).
Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang
terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam
keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil
lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca2+), dan (3) Kalsium
kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan
Djojosoebagio 2006).
Pangan Sumber Kalsium
Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan
yang dikonsumsi dengan tulang, termasuk ikan kering serta tepung ikan yang
dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya merupakan sumber
kalsium yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacangkacangan seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang
baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat
menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002;
(Guthrie 1975). Bahan pangan yang mengadung kalsium seperti pada Tabel 3.
Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan
fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Tulang ikan tinggi
kandungan kalsium atau sekitar 2% (20 g/kg berat kering) dari berat total ikan
(Malde et al. 2010). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap
dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982).
Tabel 4 Pangan sumber kalsium dan bioavailabilitasnya
Pangan
Susu
(1 gelas yogurt atau
150 g keju)
Kacang-kacangan
Brokoli
Kol
Bayam
Tahu

Ukuran
sajian
(g)
240

Kadar
kalsium
(mg)
300

Fraksi
terabsorpsi

Sajian = 1
gelas susu

32.1

Kemampuan
terabsorpsi /
mg sajian
96.3

177
71
85
90
126

50
35
79
122
258

15.6
61.3
52.7
5.1
31.0

7.8
21.5
41.6
6.2
80

12.3
4.5
2.3
15.5
1.2

1.0

Sumber : Weaver dan Heany (1999)

Defisiensi Kalsium
Asupan kalsium harian umumnya diduga lebih rendah dibandingkan dengan
yang direkomendasikan ketika asupan susu dan produk susu rendah. Hampir
sebagian negara industri maju pemenuhan kebutuhan kalsium sebesar 50-80%
berasal dari produk susu, sisanya 25% berasal tanaman. Kandungan kalsium dari

9

sumber pangan lainnya umumnya relatif kecil. Efisiensi penyerapan kalsium
meningkat jika diet yang dilakukan rendah kalsium. Penyerapan kalsium secara
homeostatik bersamaan dengan penyerapan vitamin D. Inhibitor penyerapan
kalsium dalam diet adalah oksalat dan asam fitat (WHO 2006).
Kemampuan penyerapan kalsium pada manusia akan menurun seiring
bertambahnya usia karena itu sangatlah penting memiliki asupan kalsium yang
cukup pada proses penuaan. Kebutuhan kalsium pada setiap individu dan
kelompok tertentu bervariasi, kurangnya asupan kalsium diakibatkan karena pola
makan dan kebiasan mengkonsumsi makanan tertentu (Gerstner 2003).
Kurangnya asupan kalsium dari makanan merupakan salah satu faktor dalam
penyebab penyakit tertentu (Sittikulwitit et al. 2004). Konsumsi kalsium yang
rendah bisa menyebabkan defisiensi dan bila berlanjut dapat mengakibatkan
rickets, tetany, osteomalacia (tulang rapuh), dan osteoporosis yaitu kegagalan
pertumbuhan tulang (Mervyn 1989).
Osteoporosis telah menjadi penyakit degeneratif penting di dunia terutama
di Asia. Patah tulang akibat osteoporosis dapat terjadi pada salah satu tulang akan
tetapi umumnya akan terjadi pada pinggul, tulang belakang tulang belakang, dan
pergelangan tangan (NIH 2001). Patah tulang pinggul merupakan masalah
kesehatan utama pada masyarakat di Asia bahkan diperkirakan pada abad
berikutnya, 50% dari kasus patah tulang pinggul di dunia akan terjadi di Asia
(Sittikulwitit et al. 2004). Peluang terjadi patah tulang pinggul pada usia 50 tahun
dengan persentasi 14% pada wanita dan 5-6% pada pria. Masalah patah tulang
menjadi masalah bagi wanita pada usia diakhir 70an hingga 80an. 80% wanita
akan mengalami masalah patah tulang dan pengapuran pada usia diatas 75 tahun
(NIH 2001).
Rekomendasi Asupan Kalsium
Referensi diet asupan kalsium seperti terlihat pada Tabel 3. ditentukan
dengan mempertimbangkan penelitian terbaru dalam pencegahan osteoporosis.
Rekomendasi ini ditetapkan pada tingkat yang dipercaya dapat memberikan
manfaat maksimal untuk optimalisasi kepadatan tulang. Meskipun penting untuk
mengkonsumsi kalsium yang cukup untuk memenuhi rekomendasi yang
ditetapkan akan tetapi konsumsi kalsium yang berlebihan dapat membahayakan
organ tubuh. Asupan kalsium yang direkomendasikan pada table tersebut
merupakan toleransi konsumsi maksimum. Tujuan rekomendasi tersebut bukan
untuk asupan, melainkan merupakan jumlah yang terbaik untuk menjaga
kesehatan tulang (Digitale et al. 2008).
Asupan kalsium selama pertumbuhan sangat penting untuk pencapaian
massa tulang yang dapat mengurangi risiko osteoporosis. Selain itu, asupan
kalsium yang cukup telah dikaitkan dengan mengurangi risiko hipertensi dan
kanker usus besar (Sittikulwitit et al. 2004). Meningkatkan komsumsi kalsium
dapat menurunkan kolesterol dan kolesterol LDL pada tikus jantan (Malekzadeh
et al. 2007).
Upaya mencegah kekurangan kalsium yaitu dengan meningkatkan asupan
kalsium harian dengan pola makan yang berimbang dengan mengkonsumsi
makanan yang kaya akan kalsium seperti susu, produk susu dan beberapa jenis

10

sayuran (brokoli, kol dan polong-polongan), tahu yang di proses dengan kalsium
sulfat, ikan serta merubah pola konsumsi yang rendah kalsium. Alternatif lainnya
yaitu menggunakan suplemen kalsium atau dengan mengkonsumsi produk pangan
yang difortifikasi dengan kalsium sebagai suatu nilai tambah. Untuk pemenuhan
sumber kalsium dan ketersediannya dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu bentuk
garam anorganik (kalsium karbonat dan kalsium fosfat) dan bentuk garam organik
seperti kalsium sitrat, kalsium laktat dan kalsium glukonat (Gerstner 2003;
Digitale et al. 2008).
Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari karena dapat
mengakibatkan hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan hiperkalsiuria
yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari. Kelebihan
kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat
menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi
akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi
suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2002). Rekomendasi
asupan kalsium harian berdasarkan kelompok umur seperti terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur
Kel. Umur, Ibu Hamil dan
Rekomendasi Asupan
Toleransi Tingkat
Ibu Menyusui
Kalsium / hari
Maksimum Asupan / hari
(mg)
(mg)
Bayi
0-6 bln
210
Tidak ditetapkan
7-12 bln
270
Tidak ditetapkan
Anak
1-3 thn
500
2 500
4-8 thn
800
2 500
Remaja
9-13 thn
1 300
2 500
14-18 thn
1 300
2 500
Dewasa
19-30 thn
1 000
2 500
31-50 thn
1 000
2 500
51-70 thn
1 200
2 500
>70 thn
1 200
2 500
Ibu Hamil
≤ 18 thn
1 300
2 500
19-50 thn
1 000
2 500
Ibu
≤ 18 thn
1 300
2 500
Menyusui
19-50 thn
1 000
2 500
Sumber : Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food
and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1997.

Beberapa studi menunjukkan adanya persentasi yang signifikan terhadap
kegagalan akan asupan sehingga dibuatlah rekomendasi sehubungan dengan
ukuran asupan kalsium untuk melawan kekurangan kalsium dan mengurangi
resiko terjadinya osteoporosis. Untuk hal itu maka US National Institute of Health
(NIH) akhirnya meningkatkan jumlah optimal asupan harian kalsium dan
menentukan nilai yang spesifik untuk setiap kelompok usia dalam populasi.
Contohnya asupan kalsium harian untuk usia dewasa (25-65 tahun) yaitu 1000
mg/hari dan 1500 mg/hari untuk usia diatas 65 tahun. Sementara rekomendasi

11

asupan harian kalsium oleh Scientific Committee on Food adalah 800 mg/hari
(Gerstner 2003).
Bioavailabilitas Kalsium
Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari
penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal
organisme serta proses-proses fisiknya (Fox 1988). Bioavailabilitas kalsium dari
produk nabati dipengaruhi adanya oksalat dan fitat. Asam oksalat ditemukan
dalam jumlah tinggi dalam makanan nabati seperti bayam, coklat atau kakao dan
dalam jumlah yang lebih rendah dalam kacang kering, ubi jalar, teh, gandum,
kangkung dan kedelai produk (Heaney dan Weaver 1990).
Persentase penyerapan kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama
masa pertumbuhan, namun pada orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium
dalam jumlah yang cukup, penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara
normal penyerapan kalsium berkisar 30% (Allen dan Wood 1994).
Bioavailabilitas adalah kunci penentuan dalam suksesnya fortifikasi.
Prioritas bioavailabilitas bukan terhadap identifikasi bentuk kalsium pada
perubahan organoleptik produk pangan, tetapi kemampuan penyerapan dan proses
homeostatik normal. Pemilihan produk pangan adalah hal yang sama pentingnya
untuk keberlangsungan fortifikasi selama dalam kondisi diet yang
menguntungkan. Umumnya, kalsium yang digunakan untuk fortifikasi atau
suplemen memiliki penyerapan yang baik selama tidak terdapat inhibitor dan
strategi nutrisi adalah untuk target utama dalam meningkatkan asupan total
kalsium dibandingkan dengan masalah bioavailabilitas (Fairweather-Tait dan
Teucher 2002). Agar nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi
tersebut harus dapat diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal
sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorbsi tubuh. Hal ini dikarenakan
penyerapan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
Zat Organik
Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk
garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan
asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak dapat larut,
yaitu kalsium oksalat (Winarno 2008), sehingga mengendap di dalam rongga usus
dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006).
Vitamin D
Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli
ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi
pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D meningkatkan absorpsi pada
mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium
(Almatsier 2002).

12

Serat Pangan
Serat pangan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh
enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel
tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida
intraseluler seperti gum dan musilage (Spiller 2001). Selanjutnya menurut
Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat
mengurangi penyerapan kalsium. Serat pangan membatasi bioavailabilitas mineral
dengan cara mengikat, mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan
atau memperpendek waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) menyatakan bahwa
jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika
dibandingkan dengan jenisnya. Serat tidak larut air menghalangi lebih banyak
kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit bahan pangan selama di
usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium (Blaney et al. 1996).
Protein
Protein bersama-sama dengan lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan
yang memiliki pengaruh pada bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga
mempengaruhi penyerapan kalsium (Allen dan Wood 1994). Protein makanan
juga dapat berpengaruh negatif terhadap ketersediaan biologis mineral jika
mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap
proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral protein-fitat yang tidak
tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Greger 1999).
Namun, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa
usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau
dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin berperan sebagai protein
transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal.
Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 2001).
pH
Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut.
Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak
mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002).
Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh terhadap proses
absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di atas 6,5 dan baik
diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat dikontrol dengan
cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium. Kelarutan merupakan salah satu
syarat dalam penyerapan kalsium. Kelarutan kalsium meningkat dalam
lingkungan asam pada lambung, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali
kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati
netral (Allen dan Wood 1994).

13

Fosfor
Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini
dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua
makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses kontraksi
otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas sekretosis. Disamping itu
fosfor memegang peranan penting dalam pembentukan fosfat yang sangat
diperlukan dalam transformasi energi. Penyebaran fosfor di dalam tubuh
dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular
fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh usus beragam bergantung kepada makanan
yang digunakan. Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau
senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini
dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan
terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Proses absorpsi, fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Proses
absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1
sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan
Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan
menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan
menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu rakhitis (Sediaoetama 2006).
Jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan
kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal (Allen dan
Wood 1994). Sementara Almatsier (2002) menyatakan bahwa bukti terhadap
anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada
umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.

Ekstraksi Kalsium
Limbah tulang ikan hasil dari proses pengolahan ikan memiliki potensi yang
untuk digunakan sebagai sumber kalsium mengingat akan kuantitas dari kalsium
yang dihasilkan akan tetapi tulang terlalu keras dan tajam untuk dikonsumsi
langsung sehingga perlu adanya upaya untuk menghasilkan kalsium dari tulang
ikan sebagai bahan fortifikasi dalam bahan pangan, maka kalsium pada tulang
ikan harus diubah bentuknya menjadi bentuk yang dapat dicerna dengan cara
pelunakan struktur tulang. Beberapa metode yang digunakan pada penelitian
sebelumnya yaitu ekstraksi menggunakan NaOH dengan pemanasan pada suhu
dan tekanan tinggi untuk menghilangkan protein, jaringan pengikat dan lemak
(Techochatchawal 2009), atau ekstraksi menggunakan air panas dan larutan asam
panas (Kim dan Mendis 2006), atau ekstraksi menggunakan metode pemasakan
superheated untuk mengurangi hilangnya komponen yang dapat larutdari jaringan
tulang dan menghasilkan recovery yang baik dalam waktu singkat (Sittikulwitit et
al. 2004), sedangkan untuk ekstraksi kalsium dari tulang ikan salmon dan cod
oleh Malde et al. (2010) menggunakan enzim protease dengan pemanasan pada
suhu tinggi.
Proses ekstraksi kalsium dari tulang ikan kakap merah menggunakan
metode perebusan dengan akuades pada suhu 100 C, selama 4 jam dapat

14

menurunkan kadar protein dalam tulang hal ini ditunjukkan pada ekstraksi
pertama kadar protein tulang ikan 26.20% dan pada ekstraksi keempat menjadi
18.16%, rendemen tepung tulang ikan sebesar 38.7% (Dongoran et al. 2007).
Penggunaan larutan basa juga merupakan salah satu cara yang umumnya
digunakan untuk ekstraksi kalsium seperti pada penelitian Peranginangin dan
Nurhayati (2011) menggunakan teknik ekstraksi yaitu perlakuan perendaman
sampel pada larutan NaOH 0.5 N, 50 C hingga terbentuk ossein, dengan
penggantian larutan NaOH selang waktu 6 jam hingga tulang menjadi lunak dan
kemudian dinetralisasi menggunakan akuades hingga pH netral. Sampel tulang
dihaluskan, kemudian dikeringkan pada suhu 50 C hingga kering, selanjutnya
proses pengayakan sehingga diperoleh rendemen kalsium 26.60%, dengan kadar
kalsium 8.01% dan fosfat 22.21%. Penggunaan NaOH 3% sebagai pengekstrak
juga dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ayam, yang kemudian dinetralkan
dan dikeringkan pada 100 C dan dihaluskan (Sittikulwitit et al. 2004), sementara
Murtiningrum (1997) menggunakan NaOH untuk deproteinasi dalam proses
ekstraksi kalsium dari tulang ikan cakalang. Dimana dijelaskan bahwa
peningkatan konsentrasi larutan pengekstrak dan lamanya proses ekstraksi
cenderung menurunkan rendemen, kondisi ekstraksi terbaik yaitu dengan
menggunakan NaOH 1.5 N dengan waktu 20 Jam menghasilkan rendemen
24.27%.
Penelitian tentang “Alternatives in Shrimp Biowaste Processing” yang
dilakukan oleh Steven et al. (1998), dimana cangkang udang digunakan untuk
pembuatan chitin dan chitosan. Tahap pertama dilakukan proses deproteinasi
yaitu cangkang udang dihidrolisis dengan NaOH 4% pada suhu yang tinggi (70120 C) sehingga protein pada cangkang udang terlepas, penambahan natrium
borohidrida (NaBH4) untuk menghindari terjadinya oksidasi produk. Hasil dari
proses ini menghasilkan hidrolisat protein yang dapat dimanfaatkan sebagai bubuk
protein yang dapat digunakan dalam pembuatan kue dan suplemen protein
selanjutnya fraksi pad