ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh Dita Nofa Diniati

Aspek pembuktian keabsahan alat bukti elektronik dalam kejahatan pencucian uang ini juga cukup menarik untuk dikupas, karena ternyata Undang-Undang Anti Pencucian Uang Indonesia telah membuat beberapa terobosan baru yang agak berbeda dari hukum acara pidana pada umumnya, yakni di antaranya dengan diperkenalkannya alat bukti baru di luar KUHAP. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, klasifikasi dan tabulasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa tingkat keabsahan alat bukti elektronik sebagai alat bukti sama dengan tingkat keabsahan alat bukti yang ada di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dengan demikian alat bukti elektronik dipandang sebagai suatu alat bukti di persidangan. UU TPPU mengenal beberapa ketentuan khusus yang menyimpang dari Hukum Acara Pidana pada umumnya. Hukum acara pidana yang diatur di luar KUHAP telah dapat mengakomodir upaya untuk menilai keabsahan alat bukti elektronik dalam tindak pidana pencucian uang, bahkan hukum acara yang diatur dalam UU TPPU telah menempatkan alat bukti elektronik sejajar dengan 5 alat bukti lain yang sebelumnya dikenal dalam KUHAP. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, antara lain faktor hukum, yaitu berkaitan dengan ketentuan hukum mana yang akan dipakai dalam persidangan dan pengadilan mana yang kompeten mengadili tindak pidana pencucian uang


(2)

ini,faktor aparat penegak hukum,yaitu aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala,serta faktor masyarakat,yaitu masih banyak masyarakat yang belum memahami seluk beluk tindak pidana pencucian uang.

Saran dalam penelitian ini yaitu selama peraturan yang ada masih dapat mengatur dan mengisi kekosongan hukum, haruslah dipergunakan secara maksimal oleh polisi, jaksa maupun hakim,hendaknya pemerintah (pembentuk undang-undang) merevisi ketentuan yang masih kabur dalam UU TPPU,serta masyarakat hendaknya bersama-sama berperan aktif membantu upaya pemerintah dan rezim anti pencucian uang Indonesia dengan melaporkan setiap bentuk transaksi keuangan mencurigakan dan modus-modus baru dalam pencucian uang yang menggunakan teknologi informasi.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, mengatakan bahwa Teknologi Informasi semakin dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dan oleh karena itu katanya “you have to married with IT”, yang menggambarkan betapa sangat berartinya IT dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi informasi trersebut sangat pesat dan telah membawa banyak perubahan. Perubahan pola kehidupan tersebut terjadi hampir di semua bidang, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun bidang lainnya (Edmon Makarim, 2005 : 239).

Perubahan tersebut antara lain dengan berkembangnya penggunaan teknologi internet (telematika) yang merupakan salah satu bagian dari perkembangan teknologi informasi. Salah satu perubahan yang sangat besar akibat berkembangnya teknologi informasi adalah dalam bidang ekonomi. Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem digital ini memungkinkan dunia usaha melakukan suatu transaksi dengan menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi. Oleh karena itu, tidak mengherankan, bukan saja di negara-negara maju, di Indonesia-pun pemanfaatan internet yang berbasis e-commerce, e-business, dan


(4)

lain sebagainya berkembang dengan cepat. Pada saat ini dunia perbankan nasional telah banyak yang memanfaatkan fasilitas ini untuk memberikan kemudahan pelayanan dalam melakukan kegiatan perbankan bagi nasabahnya dengan menggunakan e-banking atau internet banking.

Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain. (Yenti Garnarsih, 2003: 8)

Berdasarkan data tersebut, dapat dibayangkan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan melalui proses peradilan. Tidak jarang suatu kasus pidana membutuhkan tiga sampai enam tahun untuk mendapatkan putusan. Permasalahannya tidak berhenti sampai di sini, meskipun putusan telah didapatkan kemungkinan besar para pihak yang merasa tidak puas atas putusan tersebut mengajukan upaya hukum lainnya seperti banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Apabila dijumlahkan, maka total waktu yang dibutuhkan sampai dengan suatu putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah lima belas hingga dua puluh tahun.


(5)

Berbagai kemajuan teknologi ini kemudian diantisipasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya ditulis UU ITE . Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ITE. Secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

Ancaman penggunaan teknologi informasi dalam mendorong pencucian uang telah disadari oleh banyak kalangan. Guru Besar Teknologi Informasi Universitas Paramadina, Marsudi W. Kisworo menandaskan bahwa saat ini dunia sedang berusaha memerangi pencucian uang lewat media internet bahkan kejahatan terbesar di internet adalah money laundering dengan persentase sekitar lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari kejahatan cyber (cybercrime) lainnya. (www.balipost.com).

Kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi (cybercrime) semakin memperburuk pencitraan negara, khususnya di bidang pelayanan jasa internet di mata dunia. Terlebih lagi bagi Indonesia yang dinyatakan sebagai negara terparah kedua setelah Ukraina dalam hal kejahatan teknologi (cybercrime) (www.fajarmakasar.com).


(6)

Teknologi tinggi seringkali dapat menyokong ke arah pembaharuan pengaturan dan penegakan hukum di negara-negara maju di era teknologi informasi. Namun bagi negara-negara yang sedang berkembang, teknologi tinggi dapat menjadi suatu bumerang yang membuka banyak celah baru bagi para pelaku kriminal dalam melaksanakan tindakan melawan hukum.

Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan India telah memiliki cyberlaw yang berlaku positif di negaranya masing-masing (ius constitutum) dan untuk saat ini Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan ditetapkannya Undang-Undang tersebut, maka pengaturan tindak pidana di dunia cyber ini, tentu ini menjadi wahana baru dalam memerangi kejahatan yang menggunakan teknologi informasi, yang di dalamnya seringkali ada indikasi kejahatan pencucian uang.

Aspek pembuktian dalam kejahatan pencucian uang ini juga cukup menarik untuk dikupas, karena ternyata di dalam Pasal 38 butir b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah membuat beberapa terobosan baru yang agak berbeda dari hukum acara pidana pada umumnya, yakni di antaranya dengan diperkenalkannya alat bukti baru di luar KUHAP, sistem pembuktian terbalik dan sistem pembuktian dalam persidangan in absentia. Pasal 38 butir b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berbunyi : “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”.


(7)

Dengan melihat penjelasan di atas, maka penulis ingin membuat suatu penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

b. Apa saja faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11


(8)

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara jelas tentang :

a. Keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum mengenai keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang


(9)

Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti (Soerjono Soekanto, 1984:125).

Untuk menjawab permasalahan yang ada, teori yang digunakan adalah menggunakan pendapat ahli hukum tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat digunakan penulis sebagai acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum pidana di Indonesia menggunakan istilah berbeda-beda untuk menyebutkan kata “Tindak Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau delik. Menurut Jonkers, tindak pidana adalah suatu


(10)

kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan. (Bambang Poernomo, 1997: 86)

Moeljatno berpendapat, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan, larangan mana disertai ancaman (sanksi), berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Sudarto, 1990: 42).

R. Subekti (1987: 7), berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang diketemukan dalam suatu persengketaan. Di dalam mencapai kebenaran materiil tersebut tidak cukup hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, melainkan juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Sebab walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, tetapi apabila Hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya, maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, (2008: 253), menyatakan bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasa, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.


(11)

UU TPPU juga mengenal beberapa ketentuan khusus mengenai aspek pembuktian tindak pidana. Misalnya dalam hal perlu tidaknya dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebelum dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan kejahatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana asal, juga alat-alat bukti baru di luar KUHAP yang diperkenalkan oleh UU TPPU. Selain itu dikenal pula sistem pembuktian terbalik, dan kekuatan pembuktian dalam persidangan in absentia yang dianut oleh UU TPPU.

Macam-macam alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain : a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Selanjutnya, di dalam UU ITE tidak mengatur secara jelas mengenai sistem pembuktian, akan tetapi di Pasal 44 UU ITE dijelaskan mengenai alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).


(12)

Alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE yaitu berupa informasi elektronik. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sedangkan alat bukti sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 4, yaitu dokumen elektronik. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Lebih lanjut, alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE adalah :

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.


(13)

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto (2007: 8), bahwa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto (1984: 124), kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.


(14)

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Analisis yuridis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan menurut hukum (Surayin, 2007 : 17).

b. Keabsahan yaitu sesuatu yang mempunyai sifat yang sah (Surayin, 2007 : 1). c. Alat bukti adalah alat yang sudah ditentukan didalam hukum formal, yang

dapat digunakan sebagai pembuktian didalam acara persidangan, hal ini berarti bahwa diluar dari ketentuan tersebut tidak apat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah (www.kamushukum@online.com).

d. Elektronik adalah alat-alat yang dikendalikan atau mempunyai sifat-sifat dektron (listrik) (Surayin, 2007 : 131).

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).

f. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan


(15)

maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU TPPU).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian pencucian uang, pengertian tindak pidana pencucian uang, sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana, pengertian alat bukti serta faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan


(16)

masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(17)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab terakhir ini akan disimpulkan analisis yang telah dilakukan atas keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun kesimpulan yang dapat diambil ialah :

1. Tingkat keabsahan alat bukti elektronik sebagai alat bukti sama dengan tingkat keabsahan alat bukti yang ada di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dengan demikian alat bukti elektronik dipandang sebagai suatu alat bukti di persidangan. UU TPPU mengenal beberapa ketentuan khusus yang menyimpang dari Hukum Acara Pidana pada umumnya. Hukum acara pidana yang diatur di luar KUHAP telah dapat mengakomodir upaya untuk menilai keabsahan alat bukti elektronik dalam tindak pidana pencucian uang, bahkan hukum acara yang diatur dalam UU TPPU telah menempatkan alat bukti elektronik sejajar dengan 5 alat bukti lain yang sebelumnya dikenal dalam KUHAP. Pembalikan beban pembuktian, kekuatan pembuktian dalam persidangan yang diatur dalam UU TPPU juga akan semakin memudahkan proses pembuktian tindak pidana pencucian uang, terlebih yang semakin rumit dan sulit pembuktiannya.Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Informasi


(18)

dan Transaksi Elektronik, maka alat bukti yang sah sebagaimana dikenal dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP dan setelah lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik maka alat bukti untuk kejahatan cyber ditambah dengan alat bukti elektronik dan alat bukti dokumen.

2. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, antara lain :

a. Faktor hukum, dalam hal ini yaitu berkaitan dengan ketentuan hukum mana yang akan dipakai dalam persidangan dan pengadilan mana yang kompeten mengadili tindak pidana pencucian uang ini. Masalah pencucian uang sendiri sebenarnya bersifat internasional. Ketentuan hukum pidana Indonesia telah mengatur prinsip-prinsip yurisdiksi yang bersumber dari ketentuan hukum publik internasional. Namun dalam penerapannya tidak dapat melangkahi kedaulatan negara lain dalam menegakkan ketentuan hukum.

b. Faktor aparat penegak hukum, dimana aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala, baik dari segi pemahamannya tentang UU TPPU, teknologi informasi maupun dari segi integritas pelaksanaan tugas.

c. Faktor masyarakat, dimana masih banyak masyarakat yang belum memahami dan mengetahui tentang seluk beluk tindak pidana pencucian


(19)

uang atau dengan kata lain, pengetahuan masyarakat akan tindak pidana pencucian uang masih sangat rendah.

B. Saran

1. Hukum acara pidana Indonesia dalam KUHAP dan UU TPPU telah mengatur beberapa hal yang cukup baik terutama untuk mengupayakan pembuktian pencucian uang di era teknologi informasi. Sehingga selama peraturan yang ada masih dapat mengatur dan mengisi kekosongan hukum, haruslah dipergunakan secara maksimal oleh polisi, jaksa maupun hakim. Permintaan akan tersedianya pengaturan yang lebih dan lebih spesifik lagi, seharusnya tidak menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk terus melakukan penundaan yang tidak pada tempatnya.

2. Hendaknya pemerintah (pembentuk undang-undang) merevisi ketentuan yang masih kabur dalam UU TPPU, seperti dalam Pasal 35 UU TPPU menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian adalah kewajiban bagi terdakwa, sedangkan dalam penjelasan pasalnya dipandang sebagai kesempatan bagi terdakwa. Kemudian Pasal 17A UU TPPU mengenai anti tipping off tidak secara tegas dijelaskan bentuknya sebagai kejahatan sebagaimana rumusan pasal lainnya dalam Bab II dan Bab II UU TPPU yang telah ditegaskan sebagai kejahatan melalui Pasal 12 UU TPPU.

3. Bagi masyarakat hendaknya bersama-sama berperan aktif membantu upaya pemerintah dan rezim anti pencucian uang Indonesia dengan melaporkan setiap bentuk transaksi keuangan mencurigakan dan modus-modus baru dalam


(20)

pencucian uang yang menggunakan teknologi informasi. Terlebih kini dengan telah disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban pada 18 Juli 2006 yang diharapkan memberikan jaminan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana pencucian uang.


(1)

maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU TPPU).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian pencucian uang, pengertian tindak pidana pencucian uang, sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana, pengertian alat bukti serta faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan


(2)

14

masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(3)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab terakhir ini akan disimpulkan analisis yang telah dilakukan atas keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun kesimpulan yang dapat diambil ialah :

1. Tingkat keabsahan alat bukti elektronik sebagai alat bukti sama dengan tingkat keabsahan alat bukti yang ada di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dengan demikian alat bukti elektronik dipandang sebagai suatu alat bukti di persidangan. UU TPPU mengenal beberapa ketentuan khusus yang menyimpang dari Hukum Acara Pidana pada umumnya. Hukum acara pidana yang diatur di luar KUHAP telah dapat mengakomodir upaya untuk menilai keabsahan alat bukti elektronik dalam tindak pidana pencucian uang, bahkan hukum acara yang diatur dalam UU TPPU telah menempatkan alat bukti elektronik sejajar dengan 5 alat bukti lain yang sebelumnya dikenal dalam KUHAP. Pembalikan beban pembuktian, kekuatan pembuktian dalam persidangan yang diatur dalam UU TPPU juga akan semakin memudahkan proses pembuktian tindak pidana pencucian uang, terlebih yang semakin rumit dan sulit pembuktiannya.Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Informasi


(4)

64

dan Transaksi Elektronik, maka alat bukti yang sah sebagaimana dikenal dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP dan setelah lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik maka alat bukti untuk kejahatan cyber ditambah dengan alat bukti elektronik dan alat bukti dokumen.

2. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, antara lain :

a. Faktor hukum, dalam hal ini yaitu berkaitan dengan ketentuan hukum mana yang akan dipakai dalam persidangan dan pengadilan mana yang kompeten mengadili tindak pidana pencucian uang ini. Masalah pencucian uang sendiri sebenarnya bersifat internasional. Ketentuan hukum pidana Indonesia telah mengatur prinsip-prinsip yurisdiksi yang bersumber dari ketentuan hukum publik internasional. Namun dalam penerapannya tidak dapat melangkahi kedaulatan negara lain dalam menegakkan ketentuan hukum.

b. Faktor aparat penegak hukum, dimana aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala, baik dari segi pemahamannya tentang UU TPPU, teknologi informasi maupun dari segi integritas pelaksanaan tugas.

c. Faktor masyarakat, dimana masih banyak masyarakat yang belum memahami dan mengetahui tentang seluk beluk tindak pidana pencucian


(5)

uang atau dengan kata lain, pengetahuan masyarakat akan tindak pidana pencucian uang masih sangat rendah.

B. Saran

1. Hukum acara pidana Indonesia dalam KUHAP dan UU TPPU telah mengatur beberapa hal yang cukup baik terutama untuk mengupayakan pembuktian pencucian uang di era teknologi informasi. Sehingga selama peraturan yang ada masih dapat mengatur dan mengisi kekosongan hukum, haruslah dipergunakan secara maksimal oleh polisi, jaksa maupun hakim. Permintaan akan tersedianya pengaturan yang lebih dan lebih spesifik lagi, seharusnya tidak menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk terus melakukan penundaan yang tidak pada tempatnya.

2. Hendaknya pemerintah (pembentuk undang-undang) merevisi ketentuan yang masih kabur dalam UU TPPU, seperti dalam Pasal 35 UU TPPU menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian adalah kewajiban bagi terdakwa, sedangkan dalam penjelasan pasalnya dipandang sebagai kesempatan bagi terdakwa. Kemudian Pasal 17A UU TPPU mengenai anti tipping off tidak secara tegas dijelaskan bentuknya sebagai kejahatan sebagaimana rumusan pasal lainnya dalam Bab II dan Bab II UU TPPU yang telah ditegaskan sebagai kejahatan melalui Pasal 12 UU TPPU.

3. Bagi masyarakat hendaknya bersama-sama berperan aktif membantu upaya pemerintah dan rezim anti pencucian uang Indonesia dengan melaporkan setiap bentuk transaksi keuangan mencurigakan dan modus-modus baru dalam


(6)

64

pencucian uang yang menggunakan teknologi informasi. Terlebih kini dengan telah disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban pada 18 Juli 2006 yang diharapkan memberikan jaminan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana pencucian uang.


Dokumen yang terkait

Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang(Moneylaundering)...

0 33 4

Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 25...

0 19 3

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG UNDA

0 7 47

ANALISIS YURIDIS RUMUSAN DELIK TENTANG TINDAK PIDANA CYBER TERRORISM DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

0 3 107

.UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL KEJAHATAN NARKOTIKA MELALUI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

0 2 14

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 24

STRUKTURISASI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003

0 0 57

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang JURNAL ILMIAH

0 0 35