ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh Dita Nofa Diniati

Aspek pembuktian keabsahan alat bukti elektronik dalam kejahatan pencucian uang ini juga cukup menarik untuk dikupas, karena ternyata Undang-Undang Anti Pencucian Uang Indonesia telah membuat beberapa terobosan baru yang agak berbeda dari hukum acara pidana pada umumnya, yakni di antaranya dengan diperkenalkannya alat bukti baru di luar KUHAP. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, klasifikasi dan tabulasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa tingkat keabsahan alat bukti elektronik sebagai alat bukti sama dengan tingkat keabsahan alat bukti yang ada di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dengan demikian alat bukti elektronik dipandang sebagai suatu alat bukti di persidangan. UU TPPU mengenal beberapa ketentuan khusus yang menyimpang dari Hukum Acara Pidana pada umumnya. Hukum acara pidana yang diatur di luar KUHAP telah dapat mengakomodir upaya untuk menilai keabsahan alat bukti elektronik dalam tindak pidana pencucian uang, bahkan hukum acara yang diatur dalam UU TPPU telah menempatkan alat bukti elektronik sejajar dengan 5 alat bukti lain yang sebelumnya dikenal dalam KUHAP. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, antara lain faktor hukum, yaitu berkaitan dengan ketentuan hukum mana yang akan dipakai dalam persidangan dan pengadilan mana yang kompeten mengadili tindak pidana pencucian uang


(2)

ini,faktor aparat penegak hukum,yaitu aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala,serta faktor masyarakat,yaitu masih banyak masyarakat yang belum memahami seluk beluk tindak pidana pencucian uang.

Saran dalam penelitian ini yaitu selama peraturan yang ada masih dapat mengatur dan mengisi kekosongan hukum, haruslah dipergunakan secara maksimal oleh polisi, jaksa maupun hakim,hendaknya pemerintah (pembentuk undang-undang) merevisi ketentuan yang masih kabur dalam UU TPPU,serta masyarakat hendaknya bersama-sama berperan aktif membantu upaya pemerintah dan rezim anti pencucian uang Indonesia dengan melaporkan setiap bentuk transaksi keuangan mencurigakan dan modus-modus baru dalam pencucian uang yang menggunakan teknologi informasi.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, mengatakan bahwa Teknologi Informasi semakin dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dan oleh karena itu katanya “you have to married with IT”, yang menggambarkan betapa sangat berartinya IT dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi informasi trersebut sangat pesat dan telah membawa banyak perubahan. Perubahan pola kehidupan tersebut terjadi hampir di semua bidang, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun bidang lainnya (Edmon Makarim, 2005 : 239).

Perubahan tersebut antara lain dengan berkembangnya penggunaan teknologi internet (telematika) yang merupakan salah satu bagian dari perkembangan teknologi informasi. Salah satu perubahan yang sangat besar akibat berkembangnya teknologi informasi adalah dalam bidang ekonomi. Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem digital ini memungkinkan dunia usaha melakukan suatu transaksi dengan menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi. Oleh karena itu, tidak mengherankan, bukan saja di negara-negara maju, di Indonesia-pun pemanfaatan internet yang berbasis e-commerce, e-business, dan


(4)

lain sebagainya berkembang dengan cepat. Pada saat ini dunia perbankan nasional telah banyak yang memanfaatkan fasilitas ini untuk memberikan kemudahan pelayanan dalam melakukan kegiatan perbankan bagi nasabahnya dengan menggunakan e-banking atau internet banking.

Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain. (Yenti Garnarsih, 2003: 8)

Berdasarkan data tersebut, dapat dibayangkan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan melalui proses peradilan. Tidak jarang suatu kasus pidana membutuhkan tiga sampai enam tahun untuk mendapatkan putusan. Permasalahannya tidak berhenti sampai di sini, meskipun putusan telah didapatkan kemungkinan besar para pihak yang merasa tidak puas atas putusan tersebut mengajukan upaya hukum lainnya seperti banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Apabila dijumlahkan, maka total waktu yang dibutuhkan sampai dengan suatu putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah lima belas hingga dua puluh tahun.


(5)

3

Berbagai kemajuan teknologi ini kemudian diantisipasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya ditulis UU ITE . Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ITE. Secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

Ancaman penggunaan teknologi informasi dalam mendorong pencucian uang telah disadari oleh banyak kalangan. Guru Besar Teknologi Informasi Universitas Paramadina, Marsudi W. Kisworo menandaskan bahwa saat ini dunia sedang berusaha memerangi pencucian uang lewat media internet bahkan kejahatan terbesar di internet adalah money laundering dengan persentase sekitar lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari kejahatan cyber (cybercrime) lainnya. (www.balipost.com).

Kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi (cybercrime) semakin memperburuk pencitraan negara, khususnya di bidang pelayanan jasa internet di mata dunia. Terlebih lagi bagi Indonesia yang dinyatakan sebagai negara terparah kedua setelah Ukraina dalam hal kejahatan teknologi (cybercrime) (www.fajarmakasar.com).


(6)

Teknologi tinggi seringkali dapat menyokong ke arah pembaharuan pengaturan dan penegakan hukum di negara-negara maju di era teknologi informasi. Namun bagi negara-negara yang sedang berkembang, teknologi tinggi dapat menjadi suatu bumerang yang membuka banyak celah baru bagi para pelaku kriminal dalam melaksanakan tindakan melawan hukum.

Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan India telah memiliki cyberlaw yang berlaku positif di negaranya masing-masing (ius constitutum) dan untuk saat ini Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan ditetapkannya Undang-Undang tersebut, maka pengaturan tindak pidana di dunia cyber ini, tentu ini menjadi wahana baru dalam memerangi kejahatan yang menggunakan teknologi informasi, yang di dalamnya seringkali ada indikasi kejahatan pencucian uang.

Aspek pembuktian dalam kejahatan pencucian uang ini juga cukup menarik untuk dikupas, karena ternyata di dalam Pasal 38 butir b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah membuat beberapa terobosan baru yang agak berbeda dari hukum acara pidana pada umumnya, yakni di antaranya dengan diperkenalkannya alat bukti baru di luar KUHAP, sistem pembuktian terbalik dan sistem pembuktian dalam persidangan in absentia. Pasal 38 butir b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berbunyi : “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”.


(7)

5

Dengan melihat penjelasan di atas, maka penulis ingin membuat suatu penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

b. Apa saja faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11


(8)

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara jelas tentang :

a. Keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum mengenai keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang


(9)

7

Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti (Soerjono Soekanto, 1984:125).

Untuk menjawab permasalahan yang ada, teori yang digunakan adalah menggunakan pendapat ahli hukum tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat digunakan penulis sebagai acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum pidana di Indonesia menggunakan istilah berbeda-beda untuk menyebutkan kata “Tindak Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau delik. Menurut Jonkers, tindak pidana adalah suatu


(10)

kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan. (Bambang Poernomo, 1997: 86)

Moeljatno berpendapat, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan, larangan mana disertai ancaman (sanksi), berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Sudarto, 1990: 42).

R. Subekti (1987: 7), berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang diketemukan dalam suatu persengketaan. Di dalam mencapai kebenaran materiil tersebut tidak cukup hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, melainkan juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Sebab walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, tetapi apabila Hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya, maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, (2008: 253), menyatakan bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasa, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.


(11)

9

UU TPPU juga mengenal beberapa ketentuan khusus mengenai aspek pembuktian tindak pidana. Misalnya dalam hal perlu tidaknya dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebelum dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan kejahatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana asal, juga alat-alat bukti baru di luar KUHAP yang diperkenalkan oleh UU TPPU. Selain itu dikenal pula sistem pembuktian terbalik, dan kekuatan pembuktian dalam persidangan in absentia yang dianut oleh UU TPPU.

Macam-macam alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain : a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Selanjutnya, di dalam UU ITE tidak mengatur secara jelas mengenai sistem pembuktian, akan tetapi di Pasal 44 UU ITE dijelaskan mengenai alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).


(12)

Alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE yaitu berupa informasi elektronik. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sedangkan alat bukti sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 4, yaitu dokumen elektronik. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Lebih lanjut, alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE adalah :

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.


(13)

11

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto (2007: 8), bahwa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto (1984: 124), kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.


(14)

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Analisis yuridis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan menurut hukum (Surayin, 2007 : 17).

b. Keabsahan yaitu sesuatu yang mempunyai sifat yang sah (Surayin, 2007 : 1). c. Alat bukti adalah alat yang sudah ditentukan didalam hukum formal, yang

dapat digunakan sebagai pembuktian didalam acara persidangan, hal ini berarti bahwa diluar dari ketentuan tersebut tidak apat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah (www.kamushukum@online.com).

d. Elektronik adalah alat-alat yang dikendalikan atau mempunyai sifat-sifat dektron (listrik) (Surayin, 2007 : 131).

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).

f. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan


(15)

13

maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU TPPU).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian pencucian uang, pengertian tindak pidana pencucian uang, sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana, pengertian alat bukti serta faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan


(16)

masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pencucian Uang

Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai terminologi kejahatan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an dimana istilah ini merujuk pada perbuatan mafia dalam memproses uang hasil kejahatannya untuk dicampur dengan bisnis yang sah dengan tujuan agar uang kotor tersebut menjadi bersih atau terlihat sebagai uang dari hasil usaha yang sah (Ronal K. Noble dan CE Golumbic, dikutip oleh Yenti Garnasih, 2003: 45).

Istilah money laundering sendiri konon dipakai karena para mafia membeli perusahaan pencucian pakaian (laundromat) sebagai tempat mereka menginvestasikan dan mencampur hasil kejahatan mereka yang amat besar yang berasal dari hasil pemerasan, penjualan minuman keras ilegal, perjudian maupun pelacuran (Yenti Ginarsih, 2003: 45).Namun nampaknya tidak semua setuju dengan asal muasal istilah money laundering yang dikaitkan dengan cerita mafia tersebut. Menurut Jeffrey Robinson, mitos mafia tersebut hanya karangan belaka, sedangkan istilah money laundering sendiri dipakai karena istilah tersebut secara tepat mendeskripsikan proses yang terjadi, yakni uang tidak sah (kotor) ditempatkan melalui siklus transaksi-transaksi (dicuci), sehingga hasil yang keluar menjadi uang sah (bersih) (Jeffrey Robinson, 2004: 6).


(18)

Pencucian uang sendiri bukan merupakan kejahatan tunggal, akan tetapi termasuk kejahatan ganda (dual crime) yang selalu berkaitan dengan kejahatan asal/core crime/predicate crime/predicate offence-nya. Pencucian uang merupakan follow up crime atau kejahatan lanjutan (Yenti Garnasih, 2003: 48). Di Australia, kejahatan pencucian uang disebut sebagai proceed of crime act yakni tindakan kejahatan atas hasil kekayaan yang diperoleh dari kejahatan (Yenti Garnasih, 2003: 94).

Menurut Pasal 1 angka 1 UU TPPU, dipaparkan definisi pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

B. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Tindak Pidana Pencucian Uang dirumuskan didalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7

Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja : a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patutdiduganya

merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atasnama pihak lain;


(19)

17

b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinyaatau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya.

dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).


(20)

Pasal 6 ayat (1), berbunyi : “Setiap orang yang menerima atau menguasai : a. penempatan;

b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran.

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 15 (lima belas)tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 7 disebutkan bahwa : “Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau Korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Subyek hukum dari Pasal 7 adalah :

a. Setiap Warga Negara Indonesia (WNI), b. Korporasi Indonesia.


(21)

19

Tetapi disyaratkan yang berada di luar wilayah Negara RI. Sedang maksudnya berada barangkali termasuk bertempat tinggal atau berusaha (bisnis) di luar negeri. Pasal ini hanya mengatur subyek hukum TPPU bagi WNI dan Korporasi Indonesia saja, dengan demikian TPPU menurut Undang-Undang ini tidak mengatur subyek hukum bagi WNA dan Korporasi Asing. Sedangkan TPPU adalah kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah negara (transnasional). Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional bukan tidak mungkin pelakunya adalah WNA atau Korporasi Asing, tetapi tidak menjadi subyek hukum, dengan demikian mereka tidak terjangkau oleh undang-undang ini.

Pasal 7 ini hanya berkaitan dengan Pasal 3 saja, sekali lagi untuk WNA atau Korporasi Asing yang ada di luar negeri apabila menempatkan atau mentransfer Harta Kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana ke wilayah Negara RI tidak merupakan TPPU.

2. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan TPPU

a. Pasal 8

Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

b. Pasal 9

Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang


(22)

nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara

Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah). c. Pasal 10

PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 39 ayat 1 (satu) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.

d. Pasal 10A

(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh Dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan Dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini.

(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.

(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.


(23)

21

(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

e. Pasal 11

(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.

C. Sistem Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana

R. Subekti (1987: 7), berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang diketemukan dalam suatu persengketaan. Di dalam mencapai kebenaran materiil tersebut tidak cukup hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, melainkan juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Sebab walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, tetapi apabila Hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya, maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

Pada dasarnya dalam proses pembuktian dikenal adanya tiga sistem pembuktian, yaitu :

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie).


(24)

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk).

3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee) (Andi Hamzah, 2008: 247).

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie)

Menurut D. Simons dalam Andi Hamzah (2008: 247), mendefinisikan bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.

Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori).


(25)

23

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk)

Menurut Andi Hamzah (2008: 250), HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 2008: 253) berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (laconviction raisonnee).


(26)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyaninan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Hukum Acara Pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, dalam arti pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundangan dan pada keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di dalam sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang ini ada hubungan yang erat antara keyakinan Hakim dan alat-alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang. Keyakinan Hakim dapat diperoleh atau ditimbulkan dari adanya alat-alat pembuktian yang sah, begitu juga sebaliknya alat-alat pembuktian tersebut harus dapat memberikan keyakinan pada Hakim. Misalnya, walaupun ada sejumlah saksi, maka Hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala hukuman, sebab bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa saksi-saksi tersebut adalah orang-orang yang dibayar untuk menjerumuskan terdakwa.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah (2008: 253) bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan


(27)

25

berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

D. Sistem Pembuktian Menurut UU TPPU dan UU ITE

UU TPPU juga mengenal beberapa ketentuan khusus mengenai aspek pembuktian tindak pidana. Misalnya dalam hal perlu tidaknya dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebelum dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan kejahatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana asal, juga alat-alat bukti baru di luar KUHAP yang diperkenalkan oleh UU TPPU. Selain itu dikenal pula sistem pembuktian terbalik, dan kekuatan pembuktian dalam persidangan in absentia yang dianut oleh UU TPPU.

Persidangan in absentia merupakan kekhususan dalam UU TPPU dimana apabila terdakwa tidak hadir, setelah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah, maka dengan putusan sela dari majelis hakim, pemeriksaan dapat diteruskan tanpa kehadiran terdakwa. Apabila dalam sidang berikutnya terdakwa hadir, maka segala pemeriksaan sebelumnya yang tidak ia hadiri ialah sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila si terdakwa hadir sejak semula. Putusan peradilan yang dilaksanakan secara in absentia selain diumumkan di papan pengumuman pengadilan juga wajib diumumkan dalam minimal 2 surat kabar


(28)

yang beredar secara nasional, dalam jangka waktu 3 hari atau 3 kali penerbitan berturut-turut.

Selanjutnya, di dalam UU ITE tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai sistem pembuktian perkara pidana. Akan tetapi, apabila dilihat mengenai alat bukti yang dapat dipakai yaitu di dalam Pasal 44 huruf a yang menyatakan bahwa alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembuktian di dalam UU ITE yaitu berdasarkan pada pembuktian sebagaimana yang dimaksud dalam perundang-undangan yang berlaku khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

E. Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Menurut kamus hukum, alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan atau gugatan. (Sumarsono, hlm 650)

Menurut Pasal 39 (1) KUHAP dapat diketahui jenis-jenis barang bukti, yakni sebagai berikut :

1. Benda berwujud yang berupa :

a. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

b. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan.


(29)

27

d. Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan dilakukannya tindak pidana masuk dalam bagian ini ialah benda yang dihasilkan suatu tindak pidana.

2. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 183 KUHAP diatur pada ketentuan Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa macam-macam alat bukti adalah sebagai berikut :

1. Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa : “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Artinya kecuali pemeriksaan cepat, untuk mendukung keyakinan hakim diperlukan alat bukti lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Setelah alat bukti tersedia perlu segera dilakukan penanggulangan lebih lanjut, jangan sampai penanggulangan tindak pidana dilakukan jauh setelah peristiwa itu terjadi sehingga mengakibatkan alat bukti menjadi hilang.


(30)

Menurut Pasal 184 KUHAP di atas telah disebutkan bahwa ada lima macam alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, maka untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut :

1. Keterangan saksi

Keterangan saksi adalah keterangan yang merupakan hal-hal yang dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi tidak boleh berupa pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain. Keterangan saksi harus diberikan oleh orang yang kompeten, yaitu orang yang mampu secara hukum. Orang disebut kompeten apabila tidak di bawah umur, sadar dan tidak di dalam pengampuan, misalnya sakit jiwa.

Selanjutnya, saksi yang memberikan keterangan di muka sidang harus disumpah, sebab keterangan yang diberikan oleh seorang saksi yang tidak disumpah, bukan merupakan alat bukti, tetapi dapat dijadikan sebagai bahan tambahan atau sebagai bahan pertimbangan dari adanya alat bukti yang sah. Apabila seorang saksi tidak bersedia untuk disumpah maka ia harus mengucapkan janji. Penyumpahan atau janji ini dimaksudkan agar ia memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Kemudian apabila keterangan saksi itu palsu, maka setelah diperingatkan oleh Hakim, ia tetap pada keterangannya maka ia dapat ditahan dan dituntut memberikan sumpah palsu sesuai dengan ketentuan Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 242 ayat (21) dan ayat (2) KUHP. Adapun bunyi selengkapnya ketentuan Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut :


(31)

29

(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. (2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena

jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

Sedangkan bunyi dari ketentuan Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) KUHP adalah sebagai berikut :

(1) Barangsiapa yang dalah hal-hal di mana Undang-Undang menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan tersebut, dengan sengaja memberikan keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau dengan surat oleh dia sendiri atau oleh wakilnya yang ditunjuk untuk itu pada khususnya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Kalau keterangan palsu atau sumpah itu diberikan dalam suatu perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau tersangka, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama sembilan tahun.

Dalam hal saksi ada yang diperkecualikan tidak wajib menjadi saksi, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 168 sampai dengan Pasal 171 KUHAP sebagai berikut :


(32)

Pasal 168 KUHAP, berbunyi :

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Pasal 169 KUHAP, berbunyi :

(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.

Pasal 170 KUHAP, berbunyi :

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.


(33)

31

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Pasal 171 KUHAP, berbunyi :

Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

2. Keterangan ahli

Selain saksi di atas, ada orang lain yang diperlukan keterangannya di depan sidang pengadilan bukan sebagai saksi, artinya bukan mengenai apa yang didengar, dilihat dan dialaminya tetapi yang diperlukan adalah tentang pendapatnya menurut keahliannya. Keterangan dari orang ini disebut keterangan ahli dan orangnya dapat disebut sebagai saksi ahli.

3. Surat

Surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Surat menurut bentuknya diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu surat akta dan bukan surat akta. Surat akta adalah surat yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang digunakan untuk pembuktian. Surat akta diklasifikasikan lagi menjadi 2 yaitu surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (di bawah tangan).


(34)

4. Petunjuk

Petunjuk di sini dapat diidentikkan dengan suatu pemeriksaan di tempat kejadian perkara. Pemeriksaan di tempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu oleh panitera. Dalam melakukan pemeriksaan di tempat, panitera membuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dan panitera yang bersangkutan. Dengan melakukan pemeriksaan di tempat, hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang dikemukakan di persidangan. Hasil pemeriksaan di tempat yang dituangkan dalam berita acara itu merupakan bahan resmi, sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang tepat.

5. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa atau sering dikenal dengan istilah lain yaitu pengakuan terdakwa. Pengakuan yang diucapkan di muka sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dikuasakan untuk itu.

Pengakuan yang diucapkan di persidangan dapat berupa pengakuan lisan dan dapat pula pengakuan tertulis yang dibacakan di persidangan. Pengakuan sifatnya membenarkan seluruh atau salah satu hak atau hubungan hukum yang dikemukakan oleh penggugat. Pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan yang berhubungan dengan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak itu sendiri.


(35)

33

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam Pasal 184 KUHAP inilah menyebutkan suatu alat-alat bukti yang sah dalam acara pemeriksaan, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP ini ada perubahan yang sebelumnya terdapat dalam HIR. Perubahan mana dapat dilihat bahwa untuk KUHAP yang diperbaharui yaitu adanya keterangan ahli yang dalam HIR tidak disebutkan dan perubahan lain tentang keterangan terdakwa di mana dalam HIR disebut dengan pengakuan terdakwa.

F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah bagian dari seluruh akitivitas kehidupan yang pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama dalam suatu peraturan yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pengaturan bersama secara tertulis yang tertuang dalam suatu produk perundang-undangan dimaksudkan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih tertib dan berkepastian hukum.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor :

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang serta


(36)

ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet, dilancarkan.

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kelima faktor yang telah disebutkan mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. Mungkin pengaruhnya adalah


(37)

35

positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, di antara semua faktor tersebut, maka faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal itu disebabkan, oleh karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang. Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986: 15).

Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasai hukum dan efektifitas hukum.


(39)

37

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data pada penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama (Soerjono Soekanto, 1984:12). Dengan demikian data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Kepolisian Daerah Lampung dan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan,

Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


(40)

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini terdiri dari peraturan pemerintah, Keppres, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari literatur-literatur, mass media dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1987: 152). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi yaitu Aparat Kepolisian Daerah Lampung dan Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi, penulis


(41)

39

melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan Metode Proporsional Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel (Irawan Suhartono, 1999: 89). Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kepala Bagian Analisis Polda Lampung = 1 orang

b. Anggota Analisis Polda Lampung = 1 orang

c. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang = 2 orang Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

Yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan hukum primer berupa undang-undang dan peraturan pemerintah maupun dari bahan hukum skunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur yang berhubungan dengan penulisan ini.


(42)

b. Studi Lapangan

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode wawancara.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir


(43)

41

yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus, yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.


(44)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

1. Nama : Ahmad Yani Eko Putra, S.H Umur : 42 tahun

Jabatan : Kabag Analisis Polda Lampung Pendidikan : Sarjana (S1)

2. Nama : Faizun Javsal Z., S.Kom Umur : 29 tahun

Jabatan : Staf Analisis Polda Lampung Pendidikan : Sarjana (S1)

3. Nama : Itong Isnaeni Hidayat, S.H., M.H. Umur : 43 tahun

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Pendidikan : S2

4. Nama : Sri Senaningsih, S.H. Umur : 45 tahun

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Pendidikan : S1


(45)

43

B. Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Cakupan tindak pidana pencucian uang dalam tulisan ini menggunakan teknologi informasi, oleh karena itu dirasa perlu untuk membuka problematika khusus mengenai kedudukan alat bukti elektronik dalam peradilan di Indonesia. Mengenai alat bukti elektronik sendiri di dalam UU TPPU telah ditempatkan sejajar dengan alat bukti yang limitatif menurut KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa). Tidak seperti dalam UU Tipikor, bukti elektronik tidak lagi hanya sebagai sumber bagi alat bukti petunjuk, namun telah berdiri sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan yang sama dengan alat bukti yang sah lainnya (dalam KUHAP).

UU TPPU menempatkan alat bukti di luar KUHAP yakni alat bukti dokumen dan alat bukti elektronik (Pasal 38 butir b UU TPPU). Sebenarnya dalam upaya pembuktian, kedua ini tidak benar-benar baru, namun posisi dua alat bukti ini didudukkan sejajar dengan 5 alat bukti dalam KUHAP sebagai alat bukti yang sah inilah yang baru. Sebelum ada UU TPPU, posisi kedua sarana pembuktian ini tidak sejajar, dan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah lainnya. Perubahan posisi ini akan berpengaruh terhadap prinsip minimum pembuktian, di mana untuk kejahatan pencucian uang yang merupakan serious dan sophisticated crime ini dapat lebih dimudahkan pembuktiannya. Misalnya dengan alat bukti elektronik ditambah dengan keterangan ahli sudah dapat memenuhi prinsip minimum pembuktian. Tidak lagi tergantung penuh pada alat bukti tradisional


(46)

yang dikenal dalam KUHAP lainnya yang mungkin sulit untuk didapat mengingat kekhususan dari kejahatan pencucian uang itu sendiri.

Menurut UU TPPU alat bukti elektronik didefinisikan sebagai alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Perumusan dan kedudukannya yang baru sebagai alat bukti yang sah ini identik dengan alat bukti yang dirumuskan dalam Pasal 27 huruf b UU Terorisme.

Tindak pidana yang berkaitan dengan sistem elektronik, dapat dilakukan pembedaan antara barang bukti elektronik hasil tindakan penyitaan (misalnya yang berupa komputer, printer atau hard disk), dengan alat bukti elektronik yang berupa informasi yang dihadikan dalam persidangan. Informasi elektronik ini berguna untuk menerangkan perihal tindak pidana tersebut benar-benar telah terjadi dan informasi tersebut menunjukkan siapa pelaku dari tindak pidana tersebut. Selain itu, alat bukti elektronik inipun perlu dibedakan dengan alat bukti dokumen yang juga dapat terekam dalam bentuk elektronik. Contoh penerapannya alat bukti elektronik ialah tanda tangan digital yang menggunakan teknik penyandian (enskripsi).

Alat bukti dokumen dalam UU TPPU bukan lagi merupakan sumber dari alat bukti petunjuk. Penggunaan alat bukti petunjuk sangat tergantung pada penilaian hakim dan atas dasar adanya keadaan tertentu, sehingga kurang menguntungkan untuk upaya pembuktian. Alat bukti dokumen dalam UU TPPU telah disejajarkan dengan 5 alat bukti KUHAP lainnya.


(47)

45

Dokumen adalah data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

1) Tulisan, suara atau gambar;

2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;

3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Rumusan Pasal 1 angka 9 UU TPPU tersebut di atas dan posisi yang diberikan kepada dokumen sebagai alat bukti di persidangan, identik dengan yang diatur dalam Pasal 27 huruf c UU Terorisme. Dokumen dapat tertuang dalam berbagai bentuk, dalam hal ini salah satu bentuknya ialah dokumen elektronik.

Pembuktian menurut M. Yahya Harahap (2002 : 273) ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan dalam KUHAP dinyatakan bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.


(48)

Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin menurut Ahmad Itong Isnaeni Hidayat, bahwa hakim berdasarkan pengalaman dan keadaan telah terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan. Dibutuhkan baik alat bukti yang sah maupun keyakinan hakim, yang merupakan dua komponen utama, yang mutlak ada dalam pembuktian. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana adalah upaya meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara dengan menggunakan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan pembuktian, hakim dapat menjadi yakin bahwa memang benar telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa terdakwalah yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.

Pembuktian tindak pidana pencucian uang, menurut Itong Isnaeni Hidayat lebih lanjut menjelaskan bahwa diperlukan adanya suatu beban pembuktian. Beban pembuktian yang dimaksud yaitu suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan. Beban pembuktian ini didasarkan pada sistem hukum yang dianut dan tindak pidana yang dilakukan. Beban pembuktian dapat dibedakan menjadi :

a. Beban pembuktian biasa

Beban pembuktian dimana jaksa penuntut umum (JPU)lah yang berkewajiban membuktikan dakwaan yang telah disusunnya dalam surat dakwaan.


(49)

47

JPU mendapatkan kewenangan yang diberikan oleh negara sebagai abdi rakyat yang mengemban kepentingan umum untuk mengajukan tuntutan/dakwaan kepada mereka yang diduga melanggar kepentingan umum (karena melakukan tindak pidana pencucian uang).Dalam hal ini JPU wajib membuktikan dalil-dalil, yang dikemukakan dalam dakwaannya tersebut sesuai dengan fakta-fakta yang ada.

b. Beban pembuktian terbalik (pembalikan beban pembuktian)

1) Pembuktian terbalik murni

Pembuktian terbalik murni ialah membebankan pembuktian sepenuhnya pada si terdakwa. Si terdakwa yang dituduh melakukan tindak pidana pencucian uang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dengan berbagai cara. Hal tersebut dilakukan karena terdapat keyakinan dalam masyarakat bahwa orang yang tidak bersalah pasti dilindungi.

2) Pembuktian terbalik terbatas/berimbang

Beban pembuktian terbalik terbatas, JPU tetap berkewajiban membuktikan surat dakwaan yang telah disusunnya, namun di sisi lain kepada terdakwa dibebankan pula kewajiban (dan juga kesempatan) untuk membuktikan ketidakbersalahannya atas tindak pidana pencucian uang yang dituduhkan kepadanya. Beban pembuktian ini dikenal pula sebagai pembuktian terbalik berimbang karena terdapat pembagian porsi yang berimbang antara JPU maupun terdakwa dalam proses pembuktian di pengadilan. Hal ini dapat sedikit meringankan tugas JPU


(50)

dalam perkara yang cukup sulit pembuktiannya. Beban pembuktian yang dianut hukum acara dalam UU TPPU ialah beban pembuktian terbalik sebagai berikut : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa beban pembuktian terbalik ini dibebankan kepada terdakwa sebatas pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jadi tidak pada tahap penyelidikan maupun penyidikan. Sedangkan yang wajib dibuktikan oleh si terdakwa di persidangan ialah mengenai perihal aset yang terdakwa transaksikan. Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut berasal dari sumber pendapatan yang sah (bukan berasal dari tindak pidana). Sehingga dapat disimpulkan bahwa beban pembuktian terbalik ini bersifat terbatas.

Beban pembuktian terbalik dikenal pula dalam Pasal 37 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Bedanya, pembalikan beban pembuktian dalam UU Tipikor ini sifatnya fakultatif, sedangkan dalam UU TPPU sifatnya wajib (compulsory).

Alat bukti ialah sarana utama dalam proses pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam undang-undang. Sri Senaningsih menyatakan bahwa dalam persidangan diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara pidana (prinsip minimum pembuktian). Sedangkan bagi hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.


(51)

49

Alat bukti yang dipakai dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tindak pidana pencucian uang ialah alat bukti menurut KUHAP, alat bukti elektronik dan alat bukti dokumen (Pasal 38 UU TPPU).

Menurut Sri Senaningsih, bahwa di dalam UU ITE telah memuat perluasan dari alat bukti yaitu mengenai alat bukti berupa surat. Selain itu juga, lingkup berlakunya UU ITE yaitu secara universal, maksudnya tidak hanya berlaku pada tempat (locus delicti).

a. Alat bukti menurut KUHAP

Alat bukti yang sah menurut ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain terdiri dari :

1) Alat bukti keterangan saksi 2) Keterangan ahli

3) Surat 4) Petunjuk

5) Keterangan terdakwa 1) Alat bukti keterangan saksi

Definisi saksi dan keterangan saksi di dalam KUHAP terdapat pada Pasal 1 butir 26, Pasal 1 butir 27 dan Pasal 185 ayat (1). Yang dikategorikan sebagai saksi ialah sebagai berikut : Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.


(52)

Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti keterangan saksi di dalam Pasal 1 butir 27 ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Bila dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, maka semakin jelaslah batasan pengertian mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada urgensi seseorang dipanggil sebagai saksi dan memberikan pernyataannya di depan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pencucian uang dan hal ini dipandang sebagai syarat materiil bagi seorang saksi, yakni ia diharapkan dapat memberi keterangan berdasarkan : a) Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang

lain. Harus langsung secara pribadi didengar oleh saksi sendiri tentang peristiwa pidana yang bersangkutan.

b) Yang ia lihat sendiri, berarti pada waktu kejadian ataupun rentetan kejadian peristiwa pidana yang terjadi, sungguh-sungguh disaksikan oleh mata kepala sendiri. Kemungkinan besar memang tak ada dijumpai seorang saksi yang dapat melihat secara utuh keseluruhan peristiwa mulai dari awal sampai akhir, namun tetap tidak mengurangi arti bahwa saksi yang dipanggil dan diperiksa sekurang-kurangnya melihat dengan mata kepala sendiri rentetan atau fragmentasi peristiwa pidana yang diperiksa.


(53)

51

c) Yang ia alami sendiri, biasanya yang seperti ini adalah orang yang menjadi korban peristiwa pidana tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan.

d) Didukung oleh alasan dari pengetahuannya itu, yakni harus memiliki sumber pengetahuan yang logis dan masuk akal. Setiap unsur keterangan harus diuji dengan sumber pengetahuan saksi apa benar terdapat ketepatan antar keterangan yang masuk akal. Antara keterangan saksi dan sumber pengetahuannya harus benar-benar konsisten antara satu dengan yang lain.

Menurut penjelasan Ahmad Yani Eko Putra, bahwa dalam tindak pidana dengan menggunakan komputer (internet),sering ditemui kendala dalam menghadirkan saksi yang memenuhi syarat materiil “melihat, mendengar dan mengalai sendiri suatu tindak pidana”, karena umumnya kejahatan dengan media internet ini cenderung dilakukan si pelaku kejahatan secara menyendiri dan dirahasiakan. Keterangan yang akan diberikan oleh saksi atas peristiwa cybercrime yang terjadi akan banyak diperoleh secara tidak langsung. Karena itu, kesaksian hearsay atau testimonium de auditu perlu dipergunakan mengingat karakteristik unik dari tindak pidana pencucian uang dengan teknologi informasi ini.

Menurut KUHAP, kesaksian tidak langsung ini memang tidak diperkenankan untuk dijadikan sebagai alat bukti, namun tidak berarti harus dikesampingkan begitu saja. Hearsay evidence ini dapat dan perlu didengar oleh hakim untuk memperkuat keyakinannya. Hearsay ini harus pula memiliki keterkaitan dengan alat bukti sah lain sehingga dapat mendukung alat bukti yang sah yang dihadirkan


(54)

di persidangan tersebut. Contoh hearsay ini dapat diperoleh misalnya dari seorang atau beberapa pengguna internet (user) yang mengenai si tersangka/ terdakwa karena sering berhubungan melalui mailing list, email, atau dalam internet chat.

2) Alat bukti keterangan ahli

Syarat materiil bagi seseorang untuk memberikan keterangan ahli dalam persidangan ialah ia haruslah memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP). Sedangkan syarat formil yang harus dipenuhi yakni bahwa ia harus disumpah, dimana isi sumpahnya berbeda dengan seorang saksi namun tata cara sumpahnya sama dengan seorang saksi. Isi sumpah/ janji ahli ialah bahwa ia akan memberi keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya.

Ahmad Yani Eko Putra menyatakan bahwa alat bukti keterangan ahli merupakan alat bukti yang digunakan dalam banyak hukum acara pidana modern di berbagai negara. Dalam kejahatan yang rumit dan canggih termasuk di dalamnya kejahatan pencucian uang atau kejahatan yang menggunakan teknologi informasi ataupun gabungan dari keduanya seperti dalam internet money laundering, peranan ahli mengambil posisi yang penting untuk menjembatani intellectual gap antara aparat penegak hukum dengan si penjahat “cerdas” ini. Dengan minimnya aparat (polisi, hakim, jaksa) yang melek teknologi maka keterangan ahli memainkan peranan yang penting dalam penyelesaian kasus-kasus yang rumit ini.


(55)

53

Pentingnya peranan ahli ini dipaparkan oleh Rodnay Hay dan Andreas Sagita dalam Emmy Yuhassarie (2005: 233), bahwa setiap kali sebuah file dibuka, dipindahkan atau disalin di komputer, properties dari file tersebut akan berubah. Dalam propreties ini termasuk tanggal pembuatan file, tanggal file terakhir kali diakses, dimodifikasi, nama penulis dan lain-lain. Metode yang digunakan seorang ahli forensik komputer dalam menganalisa barang bukti elektronik, ialah dengan memeriksa isi dari komputer tanpa merubah data yang terkandung di dalamnya. Ketika komputer digunakan untuk kejahatan yang serius, seorang penyelidik dapat berkonsultasi dengan ahli forensik komputer sebelum melakukan pemeriksaan.

3) Alat bukti surat

Menurut Pasal 187 KUHAP, dikenal macam alat bukti surat yang dapat dihadirkan di persidangan, yakni yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, diantaranya :

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;


(56)

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Ditambahkan oleh Faizun Javzal Z., bahwa dalam kasus-kasus pidana pencurian uang yang berhubungan dengan perbankan, data nasabah berikut laporan keuangannya dihadirkan sebagai alat bukti surat. Padahal yang dimaksud sebenarnya ialah cetakan (print out) laporan keuangan dalam bentuk aslinya yang merupakan file elektronik, karena prosedur perbankan modern saat ini seluruhnya menggunakan komputer sebagai petugas yang secara otomatis mendebet rekening nasabah (jika ada pengambilan ATM), menambahkan bunga atas dana nasabah dan sebagainya. Dan sebagai perbandingan dalam ius constituendum Pasal 207 RUU KUHP telah diterima pengertian surat secara elektronik, yaitu surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain.

4) Alat bukti petunjuk

Pasal 188 ayat (1) KUHAP memaparkan pengertian alat bukti petunjuk, bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.


(57)

55

Lebih lanjut, Ahmad Yani Eko Putra menjelaskan bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian petunjuk dilakukan oleh hakim secara arif bijaksana setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya. Sedangkan dalam Pasal 31 UU TPPU sempat disebut-sebut istilah petunjuk namun pengertian ini bukanlah alat bukti petunjuk yang dimaksudkan sebagai salah satu alat bukti sah dalam KUHAP, melainkan petunjuk yang mengarah kepada dugaan telah terjadi transaksi keuangan mencurigakan.

5) Alat bukti keterangan terdakwa

Terdakwa dalam memberikan keterangan di persidangan tidak diambil sumpah/ janji karena ia mempunyai hak ingkar, yakni hak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan bagi dirinya sendiri. Pengakuan terdakwa saja tidak meniadakan upaya pembuktian dengan alat bukti lainnya. Walaupun terdakwa telah mengaku, proses pembuktian tetap harus dilanjutkan karena tujuan hukum pidana ialah mencari kebenaran materiil. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah ialah yang ia nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Yang diterangkan terdakwa saat pemeriksaan pendahuluan (di luar sidang) bukanlah alat bukti yang sah, dan hanya dapat digunakan untuk membantu bukti di sidang pengadilan dan hanya dapat digunakan terhadap terdakwa sendiri. Keterangan yang diberikan terdakwa di persidangan dapat berupa pengakuan, dapat juga berupa penyangkalan/penolakan terhadap dakwaan.


(58)

Dalam perkembangannya, alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP tidak lagi mampu mengakomodir perkembangan dinamika masyarakat dan dunia peradilan. Rumusan pasal mengenai alat bukti dalam UU TPPU ditujukan sebagai inovasi agar alat bukti dapat menjangkau TPPU yang merupakan sophisticated crime (Yenti Garnasih, 2003 : 188).

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa untuk menilai keabsahan alat bukti elektronik dalam tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dengan proses pembuktian alat bukti tersebut. Adapun pembuktian yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat berupa beban pembuktian biasa dan beban pembuktian terbalik. Tingkat keabsahan alat bukti elektronik sebagai alat bukti sama dengan tingkat keabsahan alat bukti yang ada di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dengan demikian alat bukti elektronik dipandang sebagai suatu alat bukti di persidangan.

C. Faktor Penghambat dalam Mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Faktor Hukum

Salah satu masalah dari kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan internet menurut Itong Isnaeni Hidayat ialah yurisdiksi. Beberapa kalangan berpendapat bahwa tidak ada yurisdiksi yang dapat mengatur kegiatan yang dilakukan internet, sehingga dalam hal terjadi kejahatan dengan menggunakan internet, maka tidak ada yurisdiksi yang berwenang campur tangan, dan seolah-olah menjadi pembenaran bagi para pelaku kejahatan internet bagi tindakan menyimpangnya.


(1)

segi pengetahuan aparat mengenai kejahatan ekonomi khususnya pencucian uang ini. Sehingga dalam hal ini, perlu sosialisasi lebih lanjut kepada aparat untuk memahami kejahatan ekonomi khususnya pencucian uang, serta dari pemahaman tersebut diharapkan aparat dapat menggunakan instrumen UU TPPU yang relatif lebih maju, terutama dalam aspek pembuktian.

Ditinjau dari segi penerapan teknologi, khususnya pengetahuan mengenai alat bukti elektronik di persidangan, menurut Yayan Sopiyan bahwa alat bukti elektronik belum terbiasa untuk dipakai oleh aparat penegak hukum, karena secara umum bukti elektronik masih merupakan hal yang aneh. Dalam hal ini, aparat penegak hukum mengalami ketertinggalan kelembagaan, perlu upgrade yang lebih keras dalam memahami permasalahan teknologi ini. Dalam hal ini juga perlu diadakan pembinaan baik secara berkala dalam lingkup internal kelembagaan maupun dalam berbagai kesempatan yang dapat dipergunakan.

Yang terakhir ialah integritas aparat penegakan hukum. Penegakan hukum mustahil tanpa aparat yang berintegritas. Efektivitas peraturan yang telah ada pun tidak dapat diharapkan bila kualitas aparat rendah. Undang-undang yang baik tanpa didukung oleh penegakan oleh aparat hanya akan menjadi macan di atas kertas dan akan mencoreng kewibawaan hukum di mata masyarakat.

3. Faktor Masyarakat

Faktor masyarakat,yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.Contohnya,masyarakat tidak mengetahuiakan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya;tidak berdaya untuk


(2)

60

memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan,psikis,sosial atau politik,dan lain sebagainya. Selain hal tersebut,masih banyak masyarakat yang belum memahami dan mengetahui tentang seluk beluk tindak pidana pencucian uang atau dengan kata lain, hal ini juga disebabkan kurang maksimalnya sosialisasi dan penyuluhan hukum mengenai pencucian uang.


(3)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab terakhir ini akan disimpulkan analisis yang telah dilakukan atas keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun kesimpulan yang dapat diambil ialah :

1. Tingkat keabsahan alat bukti elektronik sebagai alat bukti sama dengan tingkat keabsahan alat bukti yang ada di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dengan demikian alat bukti elektronik dipandang sebagai suatu alat bukti di persidangan. UU TPPU mengenal beberapa ketentuan khusus yang menyimpang dari Hukum Acara Pidana pada umumnya. Hukum acara pidana yang diatur di luar KUHAP telah dapat mengakomodir upaya untuk menilai keabsahan alat bukti elektronik dalam tindak pidana pencucian uang, bahkan hukum acara yang diatur dalam UU TPPU telah menempatkan alat bukti elektronik sejajar dengan 5 alat bukti lain yang sebelumnya dikenal dalam KUHAP. Pembalikan beban pembuktian, kekuatan pembuktian dalam persidangan yang diatur dalam UU TPPU juga akan semakin memudahkan proses pembuktian tindak pidana pencucian uang, terlebih yang semakin rumit dan sulit pembuktiannya.Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Informasi


(4)

64

dan Transaksi Elektronik, maka alat bukti yang sah sebagaimana dikenal dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP dan setelah lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik maka alat bukti untuk kejahatan cyber ditambah dengan alat bukti elektronik dan alat bukti dokumen.

2. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, antara lain :

a. Faktor hukum, dalam hal ini yaitu berkaitan dengan ketentuan hukum mana yang akan dipakai dalam persidangan dan pengadilan mana yang kompeten mengadili tindak pidana pencucian uang ini. Masalah pencucian uang sendiri sebenarnya bersifat internasional. Ketentuan hukum pidana Indonesia telah mengatur prinsip-prinsip yurisdiksi yang bersumber dari ketentuan hukum publik internasional. Namun dalam penerapannya tidak dapat melangkahi kedaulatan negara lain dalam menegakkan ketentuan hukum.

b. Faktor aparat penegak hukum, dimana aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala, baik dari segi pemahamannya tentang UU TPPU, teknologi informasi maupun dari segi integritas pelaksanaan tugas.

c. Faktor masyarakat, dimana masih banyak masyarakat yang belum memahami dan mengetahui tentang seluk beluk tindak pidana pencucian


(5)

uang atau dengan kata lain, pengetahuan masyarakat akan tindak pidana pencucian uang masih sangat rendah.

B. Saran

1. Hukum acara pidana Indonesia dalam KUHAP dan UU TPPU telah mengatur beberapa hal yang cukup baik terutama untuk mengupayakan pembuktian pencucian uang di era teknologi informasi. Sehingga selama peraturan yang ada masih dapat mengatur dan mengisi kekosongan hukum, haruslah dipergunakan secara maksimal oleh polisi, jaksa maupun hakim. Permintaan akan tersedianya pengaturan yang lebih dan lebih spesifik lagi, seharusnya tidak menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk terus melakukan penundaan yang tidak pada tempatnya.

2. Hendaknya pemerintah (pembentuk undang-undang) merevisi ketentuan yang masih kabur dalam UU TPPU, seperti dalam Pasal 35 UU TPPU menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian adalah kewajiban bagi terdakwa, sedangkan dalam penjelasan pasalnya dipandang sebagai kesempatan bagi terdakwa. Kemudian Pasal 17A UU TPPU mengenai anti tipping off tidak secara tegas dijelaskan bentuknya sebagai kejahatan sebagaimana rumusan pasal lainnya dalam Bab II dan Bab II UU TPPU yang telah ditegaskan sebagai kejahatan melalui Pasal 12 UU TPPU.

3. Bagi masyarakat hendaknya bersama-sama berperan aktif membantu upaya pemerintah dan rezim anti pencucian uang Indonesia dengan melaporkan setiap bentuk transaksi keuangan mencurigakan dan modus-modus baru dalam


(6)

64

pencucian uang yang menggunakan teknologi informasi. Terlebih kini dengan telah disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban pada 18 Juli 2006 yang diharapkan memberikan jaminan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana pencucian uang.


Dokumen yang terkait

Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang(Moneylaundering)...

0 33 4

Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 25...

0 19 3

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG UNDA

0 7 47

ANALISIS YURIDIS RUMUSAN DELIK TENTANG TINDAK PIDANA CYBER TERRORISM DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

0 3 107

.UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL KEJAHATAN NARKOTIKA MELALUI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

0 2 14

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 24

STRUKTURISASI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003

0 0 57

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang JURNAL ILMIAH

0 0 35