Resensi Buku Kena Gempur

Steinbeck diterjemahkan Chairil
John Ernst Steinbeck dilahirkan di Salinas, California, pada
27 Pebruari 1902. Dia merupakan sastrawan Amerika berkaliber internasional yang tulisan-tulisannya banyak bercerita,
mengulas, dan memihak pada kaum proletar; buruh dan
pekerja imigran. Steinbeck telah menulis dua puluh lima
buku, termasuk enam belas novel, enam buku non-iksi, dan
beberapa buku antologi cerita
pendek.
Buku Of Mice And Men (1937;
terjemahan bahasa Indonesia
dikerjakan oleh Pramudya
Ananta Toer dan diterbitkan
Lentera Dipantara; diilmkan
1939 dan 1999) dan The Grapes
of Wrath (1939; terjemahan bahasa Indonesia dikerjakan Sapardi Djoko Damono; diilmkan
1940), adalah dua karya yang
membuatnya masuk dalam peta
dunia sastra. Sebagai salah satu
buah dari kerja sastrawinya,
Steinbeck dianugerahi Pulitzer
Prize (1940) dan Nobel Kesusastraan (1962).

Selepas sekolah menengah (1919) ia melanjutkan belajar di
Universitas Stanford. Kemudian ia hengkang tanpa ijazah
(1925) dari kehidupan kampus yang dirasa tidak cocok bagi

dirinya dan coba menjadi penulis lepas di New York. Impian menjadi seorang penulis terkenal masih harus ia simpan
sembari terus menjalani kerja serabutan. Kegagalan membuatnya pulang kampung, dan terus menulis hingga akhirnya
terbit Cup of Gold (1929), The Pastures of Heaven (1932),
To a God Unknown (1933), dan terutama Tortilla Flat (1935;
diilmkan 1942) yang menandai karier kepengarangannya di
tahap awal.
Selama perang Dunia II berlangsung ia menjadi wartawan perang
New York Herald Tribun serta
memfokuskan diri pada penggarapan ilm. Salah satu skenario yang
dibuatnya adalah Viva Zapata!
(1952). Sebuah buku laporan saksi
mata berjudul Travels with Charley
in Search of America (1962) menjadi tulisan terakhir yang dibukukan
semasa hidupnya. Serangan jantung
dicatat sebagai penyebab kepergiannya di akhir Desember 1968.
Sesuai keinginannya, jenazahnya kemudian dikremasi dan

abunya ditempatkan bersama-sama keluarganya. Ia meninggalkan naskah cerita berjudul The Acts of King Arthur and
His Noble Knights (1976) yang belum sempat diselesaikan dan diterbitkan secara apa adanya. National Steinbeck
Center menjadi satu-satunya museum di California yang
didedikasikan khusus untuk mengenang sepak terjang kepengarangannya. Di akhir 2007, Gubernur California, Arnold
Schwarzenegger, mengabadikan nama John Steinbeck pada
hall of fame California.

***
The Raid atau Kena Gempur adalah cerita karangan John
Steinbeck yang cukup menarik jika dijadikan pengantar sebelum membaca karyanya yang lain. Terjemahan ini merupakan
hasil usaha yang dilakukan oleh Chairil Anwar yang dimuat
di Pantja Raja (Feb 1947) dan kemudian diterbitkan oleh
Balai Pustaka (1951). The Raid yang kemudian diterjemahkan
menjadi Kena Gempur adalah
cerita tentang dua orang aktivis bawah tanah berideologi
kiri yang sedang menyiapkan
sebuah pertemuan rahasia.
Selama menunggu pelaksanaan pertemuan itulah cerita ini
mengalir.
Suasana tegang yang dirasakan dua orang aktivis tersebut

(Dick dan Root) berhasil dilukiskan dengan cara yang begitu memikat (cepat dan tepat)
sehingga ketegangan mengalir
juga keluar dari teks dan merasuk ke dalam kalbu pembaca
(setidaknya saya). Citraan tergambar sampai ke renik detil
dan subtil, seperti tampak pada bagian awal cerita, “Kedua
lelaki itu kira-kira sama besar, tapi yang satu jauh lebih tua
dari yang lain. Rambutnya pangkas pendek, mereka berpakaian biru. Yang tua pakai peajacket sedang yang muda sebuah
turtle neck sweater biru. Ketika mereka melenggang ke jalan
gelap itu, tapak kaki mereka dengan lantang bergema dari

rumah-rumah kayu di situ. Yang muda mulai bersiul: Come
to Me, My Melancholy Baby.” (hlm.1).
Jika kita perhatikan sekali lagi, akan jelaslah pada penggalan
dari paragraf dua yang dikutip di atas bahwa efektivitas dalam
berbahasa dan kepadatannya meninggalkan keindahan yang
alami. Gambaran isik tokoh, usia, potongan rambut, pilihan
pakaian, dan latar yang hidup dan ilmis dinyatakan dengan
elok dalam detil yang realistis.
Saat membacanya saya merasa dimanjakan dan serasa sedang
dalam penjelajahan psikologis yang penuh hasrat, cemas,

gelisah, tekad, dan harapan melalui dialog yang padu berjalin dengan latar dan suasana yang melingkunginya. Riak
ketegangan terus menggelombang ketika waktu pelaksanaan
pertemuan yang sudah dijadwalkan lewat tanpa penjelasan,
“Apa kaukira mereka akan datang? Berapa lama kita akan
menunggu, jika mereka tidak ada?” (hlm. 11). Bunga-bunga
konlik kemudian menggenapkan ketegangan yang sudah
lebih dulu dibangun oleh suasana yang terus memadat.
“Jalan belajar adalah mengerjakannya, kau tidak bisa belajar
dengan sebenarnya dari buku.” (hlm. 2). Sebuah pasase yang
seolah ingin kembali mengingatkan arti penting pengalaman.
Buku atau alat belajar lainnya hanyalah media. Ya, sebagaimana juga Steinbeck, tokoh Dick dalam Kena Gempur
menunjukkan bahwa pengalaman jauh lebih berharga, dibandingkan tumpukan buku yang berisi rumusan dan berbagai
ilmu pengetahuan. Cara belajar, yang utama, adalah dengan
melakukannya sendiri. Menyatakannya dalam tindakan; dalam laku.
Atas dasar itu pulalah sehingga Root dan Dick terus me-

nyetiai apa yang telah diyakininya. Mereka percaya bahwa
gesekan dengan kerikil dan pasir jalanan adalah jaminan agar
seseorang tetap berjalan tegap mengalami kehidupan. Kerahasiaan rencana yang mereka susun bocor ke telinga aparat,
“Mendatang derap kaki maju. Pintu-pintu pecah terbuka.

Segerombolan laki-laki bersesak masuk, laki-laki berbadan
kasar, pakai topi hitam. Mereka membawa tongkat dan pukulan di tangan. Dick dan Root berdiri lurus, dagu maju, mata
ke bawah dan hampir tertutup.” (hlm. 22). Peristiwa selanjutnya akan dengan mudah tertebak. Serangkaian tindakan
biadab yang disulut dengan sebuah perintah, ”Bunuh tikustikus merah itu!” Dua aktivis kiri digulung dengan sewenangwenang. Root, yang lebih muda, maju dan berkata, ”Kawankawan,” teriaknya, ”kamu adalah orang seperti kami. Kita
bersaudara semua ....” (hlm.22) dan setelah ucapan itu sebuah
tongkat lepas memukul dan mengenai kepalanya.
Setelah puas memukuli Root dan Dick, para aparat meninggalkan mereka yang terluka. Dick yang lebih tua seperti ingin
menasihati Root yang keadaannya sangatlah parah, “Tentu,
Nak. Itulah yang kukatakan padamu. Bukanlah mereka. Tapi
sistemnya. Jangan kau mendendam mereka. Mereka tidak
tahu yang lebih benar.” Sepenggal ujaran yang secara tersurat
mengapungkan permaafan atas penyiksaan yang baru saja
dialami oleh mereka. “Bukanlah mereka” melainkan “sistemnya”. Root yang dinasihati menanggapinya dengan serius,
”Kau ingat yang tertera dalam Injil, Dick, katanya kira-kira,
’Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang dilakukan?’” (hlm.26).
Kepiawaian Steinbeck menghidupkan latar dalam berbagai
dimensinya menjadi bagian penting yang menjadikan ceritaceritanya berasa mantab di jalur realisme dan berkesan sine-

matik, sebagai contoh baiklah kita perhatikan bagian mula
cerita:

Hari sudah gelap di satu kota California kecil, ketika dua
orang laki-laki meninggalkan lunch car di situ, lalu melenggang dengan lagak masuk ke gang-gang pedalaman. Udara
manis berbau buah-buahan yang diragikan di gudang tempat
mengepak. Jauh atas pojok-pojok cahaya biru berayun di
angin menebar bayangan kawat-kawat telepon yang bergerakgerak di tanah. Gedung-gedung kayu tua pada berdiam, mengasoh. Tingkap-tingkap kotor dengan muram membalikkan
cahaya lampu-lampu di jalan (hlm.1).
Saya pikir dapatlah ditamsilkan bahwa membaca Kena Gempur berarti juga mengalami dan menjalani avonturisme rohani. Sudah menjadi hal yang alami saat kita berpihak pada
mereka yang teraniaya dan atau terpinggirkan. Usaha Chairil
Anwar menerjermahkan The Raid menjadi Kena Gempur sangatlah berarti bagi saya. Cerita Steinbeck ini menyentuh rasa
haru. Lalu apa setelah terharu? Akhirnya, perasaan senang
semacam bahagia meruap dari hati saya seusai membaca
buku cerita terjemahan ini. Bukan sebuah kebetulan kalau
The Raid yang diterjemahkan menjadi Kena Gempur menjadi
buku cerita penting hari ini. Setidaknya saya jadi semakin
yakin: perjuangan menegakkan kemanusiaan memang harus
terus dikobarkan. Bakar!!!

Mirza Ahmad | 3:30 WIB | 26 January 2010

Bahan Bacaan:

Steinbeck, John Dataran Tortila (Cet. 2, terj. Djoko Lelono,
Pustaka Jaya 2009)
Steinbeck, John Tikus dan Manusia (Cet.2, Terj. Pramudya
Ananta Toer, Lentera Dipantara, 2002)
Steinbeck, John “Lari” dalam 3 Cerita Negeri Dollar (Terj.
Mochtar Lubis, Balai Pustaka, 1949)
Kurnia, Anton Ensiklopedi Sastra Dunia (Cet. 1, I:boekoe,
2006)
wikipedia.org