ABSTRAK GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT JAWA PERANTAU (Studi Tentang Marginalisasi Makna Gotong Royong Pada Masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

(1)

JAVANESE SOCIETY MIGRANT

(A Study about Marginalization of Social Cooperation Meaning in Society of Bandar Agung Village of Terusan Nunyai Sub District in Lampung Tengah)

By

Nurul Panji Kesuma Wardana

The objective of this research is to analyze meaning and process of marginalization of meaning of social cooperation (gotong royong) in society of Bandar Agung village of Terusan Nunyai sub district in Lampung Tengah regency. The Javanese society exercise social interactions to exhibit friendliness amongst others by doing social cooperation (gotong royong). Social cooperation (gotong royong) meaning should be parallel with its implementation in the society. There are some factors that make meaning of social cooperation is marginalized. Besides, social cooperation (gotong royong) activity in society has been loosening. Theories produced in this research were reciprocity theory, symbolic interaction theory, and marginalization theory. This research used qualitative method. Samples (informant) were selected using purposive sampling and snow ball technique; they were coming from families of ex transmigrated people. Data were collected using deep interview, observation and documentation. The results of this research showed that the trans-migrant (migrated people) had marginalized the meaning of social cooperation (gotong royong) by inserting money element. Besides, most trans-migrant people were likely to go making living than joining social cooperation (gotong royong). The results of this research also proved that the researcher supported the marginalization theory suggesting that a marginalized social process causing changes in society was influenced by particular factors, and this is supported by the prove in the members of society prefer to prioritize their individual interests such as working and playing than joining social activity like social cooperation (gotong royong). In the point of view of symbolic theory, suggesting that people move based on meaning attributed to people, things, and events, the researcher saw that a member of society made social cooperation (gotong royong) as a symbol to publish him/herself to other members of society that he/she has conducted his/her duty as a member of society. Besides, he/she prevented him/herself being gossiped by not


(2)

interest, because there was no reciprocity in conducting such social cooperation. It was proven that the Javanese philosophy suggesting Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih (sincerity and voluntary in social working without expecting individual benefit) had turned into Sepi Ing Gawe, Rame Ing Pamrih (every work should be induced by individual benefit). Sense of togetherness without expecting benefit had turned into desire to expect something without sincerity and willingness. Keywords: Social Cooperation (Gotong Royong), Trans-migration,


(3)

Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

Oleh

Nurul Panji Kesuma Wardana

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna dan proses marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah. Masyarakat Jawa melakukan sebuah interaksi sosial untuk menunjukkan keakraban satu sama lain ditunjukkan dengan gotong royong dalam masyarakat. Gotong royong dalam pemahaman maknanya harus sejajar dengan impelementasi di dalam masyarakat. Adanya faktor-faktor yang muncul, membuat makna gotong royong menjadi termarginalisasi. Selain itu, aktifitas gotong royong dalam masyarakat menjadi berkurang. Teori yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah teori resiprositas, teori interaksi simbolik dan teori marginalisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penentuan informan dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) dan (snow ball), yaitu para keluarga mantan transmigran.Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa para transmigran sudah memarginalkan makna gotong royong dengan cara dimasukkan unsur uang. Selain itu, sebagian besar transmigran lebih memilih bekerja untuk mencari uang dibandingkan mengikuti gotong royong. Hasil dari penelitian ini juga membuktikan bahwa peneliti mendukung teori marginalisasi yang menyatakan bahwa sebuah proses sosial yang menyebabkan adanya perubahan dalam masyarakat dan menjadi termaginalkan dengan dipengaruhi adanya faktor-faktor tertentu, hal ini didukung dengan bukti bahwa masyarakat saat ini lebih mengutamakan kepentingan pribadi seperti bekerja, bermain daripada melakukan kegiatan sosial seperti gotong royong. Adapun dengan teori interaksi simbolik, yang menyatakan bahwa “orang bergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan pada orang, benda, dan peristiwa”. Disini peneliti melihat bahwa, warga menjadikan gotong royong sebagai simbol untuk mempublikasikan kepada warga lainnya bahwa Ia sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang warga. Selain itu, tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain apabila tidak mengikuti gotong royong. Adapun dengan teori resiprositas, rasa timbal balik untuk kepentingan bersama tidak ada dan berbeda dengan kepentingan individu, sehingga seseorang semakin


(4)

sudah bergeser menjadi timbul adanya keinginan mendapat sesuatu tanpa rasa ikhlas.

Kata kunci : Gotong Royong, Transmigrasi, Marginalisasi, Interaksi Simbolik, Resiprositas


(5)

(Studi Tentang Marginalisasi Makna Gotong Royong Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

Oleh

NURUL PANJI KESUMA WARDANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(6)

Pada Masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

Nama Mahasiswa : Nurul Panji Kesuma Wardana No. Pokok Mahasiswa : 0816011008

Jurusan : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Drs. Susetyo, M.Si. Dr. Bartoven Vivit Nurdin, S.Sos, M.Si NIP. 19581004 198902 1 001 NIP. 19770401200501 2 002

2. Ketua Jurusan Sosiologi

Drs. Susetyo, M.Si.


(7)

Ketua :Drs. Susetyo, M.Si. ...

Penguji Utama :Dr. Bartoven Vivit

Nurdin, S.Sos, M.Si ...

2. Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik

Drs. H. Agus Hadiawan, M.Si NIP. 19580109 198603 1 003


(8)

Penulis bernama Nurul Panji Kesuma Wardana dilahirkan di Bandar Jaya, 13 September 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Dwiyono dan Ibu Rosnani.

Jenjang pendidikan formal yang telah penulis tempuh antara lain Taman Kanak-kanak (TK) Islam Terpadu Bustanul Ulum Lampung Tengah pada tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) Islam Terpadu Bustanul Ulum Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 3 Terusan Nunyai dan lulus pada tahun 2005, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Terbanggi Besar dan lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur PKAB. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2011 di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Simpang Pematang Kabupaten Mesuji.


(9)

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Magister/Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun di perguruan lain. 2. Karya tulis ini murni gagasan, perumusan, dan penelitian saya

sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, Juli 2012 Yang Membuat Pernyataan,

Nurul Panji Kesuma Wardana NPM : 0816011008


(10)

Barangsiapa yang datang dengan perbuatan baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat, dan barang siapa yang datang dengan kejahatan maka dia tidak dibalas melainkan seumpamanya dan mereka

tidak akan dianiaya (dirugikan)(Al AN’AAM : 160)

Kesalahan yang sebenarnya adalah punya kesalahan dan tak memperbaikinya

Confusius

Kemenangan terbesar kita bukan terletak pada tidak pernah gagalnya kita, tetapi pada kemampuan kita untuk bangkit lebih tinggi lagi setiap


(11)

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat yang tak henti-hentinya kepada umat-Nya. Solawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya kelak. Ku persembahkan skripsi sederhana ini kepada :

• Sang Pencipta Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

• Bapak dan Ibu tersayang, terima kasih atas semua doa dan kasih sayang yang telah diberikan. Tak ada yang bisa menggantikan pengorbanan kalian, semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan kesehatan pada kalian.

• Semua keluarga ku yang telah memberikan nasehat-nasehatnya demi kelancaran skripsi ini. Untuk adikku Duta Akbar Puja Kesuma.

• Semua teman-teman Sosiologi 2008, terima kasih atas perhatian, bantuan, dan dukungan kalian semoga Allah melancarkan usaha kita semua.


(12)

Alhamdulilah segala puji bagi Bagi allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan syarat mencapai gelar sarjana sosiologi. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Gotong Royong Pada Masyarakat Jawa Perantau” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosiologi di Universitas Lampung. Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak lepas dari peran, bantuan, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati dan keyakinan bahwa Allah SWT yang bisa membalasnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Effendi, M.M. selaku Dekan I FISIP Universitas Lampung.

3. Ibu Dra. Anita Damayanti, M.H. selaku Sekertaris Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung.


(13)

yang sifatnya membangun. Serta saya ucapkan terima kasih juga untuk setiap waktu yang telah bapak luangkan untuk membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Bartoven Vivit Nurdin, S.Sos, M.Si. selaku Dosen Pembahas, saya ucapkan terima kasih untuk semua ilmu, saran, dan kritik yang sifatnya membangun untuk lebih baik lagi. Semoga ilmu yang yang diberikan ibu selama ini, bisa menjadi bekal hidup saya kelak.

6. Ibu Dra. Erna Rochana, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik, saya ucapkan terima kasih untuk semua bantuannya baik berupa ilmu, motivasi, saran dan waktunya.

7. Ibu Endri Fatimaningsih, S.Sos,M.Si selaku dosen Sosiologi. Saya ucapkan terima kasih atas motivasi-motivasi yang diberikan kepada saya serta ilmu yang telah diberikan dalam proses pembelajaran. 8. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sosiologi yang penulis tidak dapat

sebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas ilmu pengetahuan yang diberikan kepada saya.

9. Bapak Ikhlas Transada selaku Kepala Desa Bandar Agung yang telah memberikan izin sebagai tempat untuk dilakukan penelitian. 10. Ayuk Yana Sekeluarga di Asrama Imanuel, selaku keluarga kedua


(14)

11. Kedua orang tuaku, terima kasih atas semua yang telah kalian berikan padaku. Apapun yang kulakukan tidak akan mungkin bisa menggantikan seluruh doa serta pengorbanan kalian. Semoga Allah SWT melindungi dan memberikan kebahagian pada kalian.

12. Saya ucapkan terima kasih kepada sahabatku Rahmat, Sutikno, Mijwad (Ayo bang, cepetan lagi nyusun lah lo itu), Arfani, Supendi, Yunari Setiawan(tolenk), Hendi, Agus, Fitra (Semangat Fit!!,maju terus pantang mundur) dan Sebastian. Terima kasih atas waktu, dukungan, dan kebersamaan kita sejak awal hingga sekarang ini. Susah dan senang banyak kita lalui bersama semoga kita bisa menjadi sahabat sampai kapanpun dan menjadi orang yang sukses. Serta buruan kerjain skripsinya ya, pasti bisa kok, semangat ya!!.

13. Buat Zikri, Yan, Irsad, Arwin, Saputra, Saddam, Rio, Anisa, Eka, Triyani,Sukma, Lova, Elizha, Anita, Ambar, Putri, Novita, Helena, Icha, Kristin, Chia, Grace (Mbak yu) dan lain-lain, terima kasih untuk waktu, dukungan, serta kebersamaan dari awal hingga sekarang ini. Penulis akan merindukan kalian semua. Buat temen-temen yang belum ngajuin proposalnya, cepetan diajuin ya…jangan putus asa. Sabar, berdoa, dan berusaha itu kunci suksesnya ya…


(15)

Albert, Darma, Jaya, Rohim, dan Kiki. Terima kasih untuk kebersamaan kalian selama tiga tahun ini. Saya mendapatkan sebuah keluarga yang besar dengan berbeda-beda karakter, susah senang sering kita rasakan bersama-sama. Semoga kalian tidak melupakan saya ya..

15. Untuk semua rekan-rekan mahasiswa sosiologi FISIP UNILA, terima kasih atas kebersamaan kalian yang telah menggoreskan tinta emas dalam hidupku.

Penulis hanya bisa mendoakan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2012 Penulis


(16)

Halaman

ABSTRAK ... i

JUDUL ... v

HALAMAN PERSETUJUAN ... vi

HALAMAN PENGESAHAN... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

SURAT PERNYATAAN ... ix

MOTTO ... x

PERSEMBAHAN... xi

SAN WACANA ... xii

DAFTAR ISI... xvi

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR... xx

DAFTAR BAGAN... xxi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Gotong Royong... 9

2.1.1 Pengertian Gotong Royong ... 9

2.1.2 Jenis-Jenis Gotong Royong... 10

2.1.3 Konsep Resiprositas (Timbal Balik) dalam Gotong Royong ... 12

2.1.4 Konsep Marginalisasi... 18

2.1.5 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Makna Gotong Royong Termarginalisasi ... 19 2.2 Konsep Interaksi Simbolik Gotong Royong Pada Masyarakat


(17)

B. Transmigrasi ... 34

C. Motivasi dan Tujuan Trasmigran ... 38

2.5 Kerangka Pikir ... 40

III. METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 42

3.2 Fokus Penelitian ... 43

3.3 Lokasi Penelitian... 44

3.4 Penentuan Informan ... 44

3.5 Sumber Data... 44

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.7 Teknik Analisis Data... 46

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Lokasi Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai ... 48

4.2 Potensi dan Sumber Pendapatan Desa ... 49

4.3 Potensi Sumber Daya Manusia ... 50

4.3.1 Jumlah Warga... 50

4.3.2 Pendidikan... 50

4.3.3 Agama ... 51

4.4 Potensi Kelembagaan ... 53

4.4.1 Lembaga Kemasyarakatan ... 53

4.4.2 Kelembagaan Ekonomi ... 54

4.5 Prasarana Kesehatan ... 55

4.6 Aset EkonomiMasyarakat ... 56

4.7 Lembaga Pendidikan ... 57

4.8 Transmigrasi... 58

4.9 Observasi Lokasi Penelitian ... 59

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Wawancara ... 63

5.1 Profil Informan... 63

5.2 Intinya Kebersamaan Warga ... 64

5.3 Mengenal Gotong Royong dari Orang Tua... 65 5.4 Rapat Warga dan “Kentongan” Tiang Listril PLN


(18)

5.7 Anak Muda Belum Waktunya ... 71

5.8 PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Mandiri): Menguntungkan Bagi Warga dan Sangat “Menguntungkan” Bagi Panitia ... 72

5.9 Tidak Ikut Gotong Royong LewatSMS (Short Massage Service ) AjaBisa... 77

5.10 Sanksi Keras Tidak Ada, Hanya Teguran, Uang dan Makanan Seikhlasnya... 79

5.11 Malu!!! Perasaan Itu Yang Kami Rasakan ... 81

B. Pembahasan... 82

1. Pemahaman Makna Gotong Royong ... 83

2. Proses Marginalisasi Makna Gotong Royong... 85

3. Marginalisasi Makna Gotong Royong ... 89

3.1 Konsep Resiprositas ... 89

3.2 Interaksi Simbolik Gotong Royong ... 91

3.3 Konsep Marginalisasi dan Proses Marginalisasi Makna Gotong Royong ... 93

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 97

B. Saran... 100 DAFTAR PUSTAKA


(19)

Tabel Halaman

Tabel 1. Sumber Pendapatan Desa... 49

Tabel 2. Jumlah Warga Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

Tabel 3.Tingkat Pendidikan Penduduk ... 51

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Agama... 52

Tabel 5. Sarana Peribadatan... 52

Tabel 6. Jumlah Lembaga Kemasyarakatan... 53

Tabel 7. Jumlah Kelembagaan Ekonomi ... 54

Tabel 8. Jumlah Prasarana Kesehatan ... 55

Tabel 9. Jumlah Aset Ekonomi Masyarakat ... 56

Tabel 10. Jumlah Lembaga Pendidikan ... 57

Tabel 11. Data Transmigrasi ... 58


(20)

Gambar Halaman Gambar 1. Monumen Transmigrasi Angkatan Darat (TRANSAD) ... 59 Gambar 2. Kondisi Salah Satu Jalan di Desa Bandar Agung ... 60 Gambar 3. Bangunan Balai Desa Bandar Agung yang tidak terawat ... 61 Gambar 4. Drainase merupakan salah satu bentuk PNPM untuk Masyarakat Desa Bandar Agung ... 61 Gambar 5. Kondisi Salah Satu Jembatan di Desa Bandar Agung yang tidak layak ... 62 Gambar 6. Jembatan Swadaya Murni ... 62 Gambar 7. Rapat Warga di Salah satu Lingkungan RT di Desa Bandar

Agung... 67 Gambar 8. Kegiatan Gotong Royong memperbaiki jalan di salah satu

Lingkungan RT di Desa Bandar Agung... 70 Gambar 9. Logo PNPM ... 71 Gambar 10. Jembatan, salah satu bentuk PNPM yang ada di Desa Bandar Agung... 74 Gambar 11. Bentuk ikut serta Gotong Royong dalam bentuk


(21)

Bagan Halaman Bagan 1.Skema Kerangka Pikir ... 41


(22)

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Pada permulaan abad kedua puluh kemiskinan sedang meningkat di Pulau Jawa dikarenakan kepadatan penduduk yang semakin meningkat dari masa ke masa. Hal ini menarik perhatian Hindia Belanda yang pada masa itu sebagai bangsa penjajah yang cukup lama menguasai Pulau Jawa. Mengingat pertumbuhan penduduk di Jawa sangat pesat dan sulitnya pekerjaan mengakibatkan banyak pengangguran, diperkirakan dapat membahayakan keamanan, di samping itu perusahaan milik pengusaha Belanda di luar Jawa yang bergerak di bidang perkebunan sangat membutuhkan tenaga kerja murah. Hal ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk menyelenggarakan perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa (Lestari, 2009).

Keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menyelenggarakan perpindahan penduduk tersebut atas usulan Van deventer. Van deventer membuat suatu rumusan pokok yang mana akhirnya pada tahun 1905 dikenal dengan nama kebijakan Ethische Politiek yaitu educatie, irrigatie, dan emigaratie (Utomo dan Ahmad, 1997:53). Adapun kata lainnya, pemerintah Belanda melaksanakan pembangunan sekolah-sekolah bagi rakyat yang dijajah, perbaikan kondisi bahan pangan dengan membangun irigasi, serta mengadakan perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lainnya. Pimpinan pertama penyelenggaraan


(23)

perpindahan penduduk tersebut adalah H.G Heyting yang pada saat itu menjabat sebagai asisten residen Sukabumi. Setelah kemerdekaan, program tersebut diteruskan oleh pemerintah Indonesia tetapi namanya diganti menjadi transmigrasi (Joan, 1982:3).

Transmigrasi adalah peristiwa perpindahan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduknya ke wilayah pulau lain yang penduduknya masih jarang atau belum ada penduduknya sama sekali. Program transmigrasi ini biasanya diatur dan didanai oleh pemerintah kepada warga yang umumnya golongan menengah ke bawah dengan program yang diikuti adalah transmigrasi umum. Sesampainya di tempat transmigrasi para transmigran akan diberikan sebidang tanah, rumah sederhana dan perangkat lain untuk menunjang hidup di lokasi tempat tinggal yang baru (Swasono dan Singarimbun, 1986:276).

Adapun tujuan transmigrasi adalah untuk meratakan persebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia, untuk pertahanan dan keamanan/pertahanan keamanan lokal nasional, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan memberikan kesempatan merubah nasib. Dalam hubungan ini, transmigrasi akan membantu dan merangsang peningkatan pembangunan di daerah-daerah yang relatif masih terbelakang, sehingga menjamin adanya keserasian dalam laju pertumbuhan antar daerah (Lestari, 2009).

Pelaksana dari transmigrasi biasanya disebut transmigran, akan tetapi peneliti menyebutnya sebagai perantau. Masyarakat Jawa perantau merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang mau melakukan transmigrasi selain Bali, dan Lombok pada tahun 1905 ke Lampung sebanyak 155 Kepala Keluarga. Adapun tujuan dari


(24)

perantau ini adalah untuk menyukseskan program pemerintah yang tujuannya untuk mengurangi kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Dapat dikatakan masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang taat dalam mengikuti program pemerintah dikarenakan masyarakat Jawa perantau pada saat melakukan transmigrasi membawa segala apapun yang dikenalnya dari Pulau Jawa ke daerah barunya. Mulai dari nama tempat sampai terapan kebudayaan sehari-hari dalam masyarakat dipakai pula di daerah rantau.

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kekompakan yang sangat besar, dan itu dapat di lihat dalam segala bidang kehidupan. Terlebih dalam bidang kehidupan sosial, apapun yang menjadi masalah bersama dikerjakan secara bergotong royong. Ada filosofi Jawa yang menyatakan “rame ing gawe, sepi ing pamrih”, adapun makna dari pernyataan tersebut bahwa sebuah kegiatan sosial dilakukaan bersama dan tidak ada pamrih dalam pelaksanaannya. Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi sosial antar sesamanya. Menurut Satria (2011) pada dasarnya, manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri melainkan membutuhkan pertolongan orang lain. Adapun di dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya kerjasama dan sikap gotong royong dalam menyelesaikan segala permasalahan.

Perbedaan kelompok dan kualitas individu yang ada dalam masyarakat tersebut, mengakibatkan munculnya ketertiban, keselarasan dan rasa solidaritas diantara sesama. Solidaritas merupakan bangunan masyarakat yang didalamnya terdapat saling pengertian antar berbagai individu dan kelompok yang berbeda-beda karena saling pengertian itu bisa dibangun satu kekuatan yang saling membantu dan bahu


(25)

membahu dalam menghadapi berbagai persoalan (Geovanie, 2011). Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal. Setiap individu yang terikat dalam suatu ikatan solidaritas kelompok masyarakat, memiliki kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu dan dimiliki bersama. Kesadaran kolektif dipicu dan didorong oleh suatu fakta bahwa di mana-mana ternyata banyak orang yang merasakan hal yang sama, dan melakukan hal yang sama pula (Jejak Leuser, 2012).

Aktivitas gotong royong sering dijumpai disetiap daerah yang masing-masing memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Jawa pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa sebagian besar berdasarkan sistem gotong royong, walaupun gotong royong tidak terbatas pada hubungan keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat desa di Jawa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan antarwarga (Abdillah, 2011).

Hukum adat di Jawa menuntut setiap laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat menciptakan pondasi yang kuat dan mendasar pada sistem kebudayaan tersebut (Abdillah, 2011).


(26)

Interaksi yang terjadi karena adanya pergaulan, pada dasarnya dapat dilihat apabila terjadi hubungan-hubungan kerjasama antara individu-individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok sesuai dengan status dan peranannya yang mungkin terjadi dalam peristiwa bertemu, berbicara, makan bersama dalam pekerjaan, upacara dan sebagainya. Semua itu dapat terwujud apabila adanya rasa solidaritas yang tinggi antar warga di lingkungan tersebut. Desa Bandar Agung merupakan salah satu tempat penempatan transmigran dari Pulau Jawa di propinsi Lampung. Desa Bandar Agung dibuka pada tahun 22 Februari 1973 sebagai penempatan transmigran TNI-AD (TRANSAD). Jika dilihat pada kelompok masyarakat Jawa perantauan di Desa Bandar Agung hubungan sosial kelompok masyarakatnya tampak dalam aktivitas sosial maupun dalam aktivitas keagamaan. Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Desa Bandar Agung ini memiliki hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini tidak hanya ada karena ikatan darah ataupun perkawinan tetapi juga karena pernah saling bertetangga dan menjadi sangat akrab sehingga mereka mengaku bersaudara.

Gotong royong menjadi cara kerja sama antar warga yang sangat efektif baik yang konteks pengerjaannya untuk kepentingan individu maupun kepentingan bersama, contohnya hubungan yang merasa antar warga saling mempunyai kedekatan satu sama lain ini akan membuat mereka akan segera datang menghadiri apabila ada yang mengadakan pesta ataupun membuat jembatan untuk kepentingan bersama. Adapun dengan seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa perantau mengalami perubahan dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari masyarakat.


(27)

Faktor-faktor tersebut dalam prosesnya dipelajari oleh para perantau sehingga terbentuk sebuah karakter masyarakat yang berbeda daripada ketika para perantau tersebut pada awal hijrah ke Desa Bandar Agung. Adapun yang menjadi permasalahan adalah paradigma makna gotong royong yang dipahami oleh masyarakat Jawa perantau mengalami marginalisasi.

Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Desa Bandar Agung mayoritas bekerja sebagai pensiunan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), petani, pedagang, karyawan pabrik, dan pegawai negeri sipil. Adanya perbedaan pekerjaan kemudian berpengaruh terhadap pada status sosial ekonomi seorang warga, masuknya kemajuan teknologi modern pun menjadikan masyarakat Jawa perantau di Desa Bandar Agung memaknai gotong royong menjadi lebih pintar dalam mengambil sikap untuk mengikuti atau tidak mengikuti sebuah gotong royong. Keberadaan gotong royong di Desa Bandar Agung pada sampai saat ini masih ada, akan tetapi keaktifannya sudah berkurang.

Berdasarkan pengamatan peneliti, perubahan dan termarginalkannya makna gotong royong yang pada umumnya melekat erat pada masyarakat terlihat dalam berbagai aktivitas gotong royong yang mulai berkurang, contohnya terlihat pada aktivitas gotong royong di Desa Bandar Agung seperti mendirikan/memperbaiki rumah (sambatan), kerja bakti memperbaiki jalan desa saat ini sudah mengalami marginalisasi, ini terbukti dikarenakan warga yang saat ini semakin sibuk dengan kepentingan masing-masing dan kepentingan bersama tidak lagi menjadi prioritas utama. Adapun pada tahun 1980-an masyarakat yang mayoritas besar dari Jawa tersebut mengenal kegiatan sambatan secara baik.


(28)

Adapun diterapkannya studi tentang marginalisasi makna gotong royong di desa Bandar Agung maka masyarakat Jawa akan memperoleh kesempatan lebih besar untuk meningkatkan solidaritas atau kekerabatan antarwarga. Penelitian ini dilakukan di Desa Bandar Agung mengingat bahwa di desa tersebut rasa solidaritas masyarakat mulai berkurang dikarenakan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dimana masing-masing warga saat ini lebih mementingkan kepentingan individu daripada kepentingan bersama. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT JAWA PERANTAU (studi tentang marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah).

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan, maka pokok permasalahan yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana makna gotong royong pada masyarakat Jawa perantau di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah?

b. Bagaimana proses marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat Jawa perantau di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah?


(29)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

a. Menganalisis makna gotong royong pada masyarakat Jawa perantau di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah.

b. Menganalisis proses marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah. 1.4Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan secara sosial pada khususnya sosiologi kebudayaan berkaitan dengan gotong royong dalam masyarakat.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat Desa Bandar Agung khususnya, agar kegiatan gotong royong dapat terus dilestarikan keberadaannya serta sebagai masukan pemikiran bagi instansi terkait agar dapat membantu dalam memberikan sosialisasi pentingnya kegiatan gotong royong di Indonesia.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Gotong Royong

2.1.1. Pengertian Gotong Royong

Kata gotong royong dalam masyarakat terlihat hidup dalam mata pencaharian sebagai petani tradisional. Ketika petani menggarap tanah, mereka memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk mencangkul tanah, menanam benih, mengatur saluran air, memupuk tanaman dan menyiangi tanaman. Demikian juga pada saat musim panen tiba. Warga masyarakat bergotong royong memetik padi, mengeringkannya, dan memasukkannya ke dalam lumbung (Abdillah, 2011).

Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa, atau setidaknya mempunyai nuansa Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat, sebagai contoh ada pohon yang besar roboh menghalangi jalan di suatu desa. Masyarakat mengangkatnya bersama-sama untuk memindahkan kayu itu ke pinggir jalan. Orang desa menyebutnya dengan nggotong atau menggotong (Abdillah, 2011).

Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Dalam bahasa Jawa kata saiyeg saeko proyo atau satu gerak satu kesatuan usaha memiliki makna yang amat dekat untuk melukiskan kata royong ini. Ibarat burung kuntul berwarna putih terbang bersama-sama, dengan kepak sayapnya yang seirama,


(31)

menuju satu arah bersama-sama, dan orang kemudian menyebutnya dengan holopis kuntul baris (Abdillah, 2011).

Adapun demikian gotong royong memiliki pengertian bahwa setiap individu dalam kondisi seperti apapun harus ada kemauan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap obyek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak disekeliling hidupnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan atau skill, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan (Abdillah, 2011).

Bagi mereka yang masih belum mampu melakukan salah satu dari alternatif bantuan diatas, maka mereka cukup dengan berdiam diri dan tidak berbuat apapun yang bisa merusak situasi dan kondisi yang berlaku saat itu. Berdiam diri dan tidak membuat keruh situasipun sudah merupakan implementasi gotong royong yang paling minimal (Abdillah, 2011).

2.1.2. Jenis-Jenis Gotong Royong

Sistem tolong-menolong dalam kehidupan masyarakat desa yang di dalam bahasa Indonesia disebut sistem gotong royong, menunjukkan perbedaan-perbedaan mengenai sifat lebih atau kurang rela dalam hubungan dengan beberapa macam lapangan aktivitas lapangan sosial. Berhubungan dengan hal tersebut dapat dibedakan adanya beberapa macam tolong-menolong, ialah misalnya:


(32)

2. Tolong-menolong dalam aktivitas-aktivitas sekitar rumah tangga. 3. Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara. 4. Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana dan kematian

(Koentjaraningrat, 1985:168).

Tolong-menolong dalam aktivitas pertanian, orang bisa mengalami musim-musim sibuk ketika masa bercocok tanam. dalam musim-musim-musim-musim sibuk itu kalau tenaga keluarga batih atau keluarga luas tidak cukup lagi untuk menyelesaikan sendiri segala pekerjaan di ladang atau di sawah, maka orang bisa menyewa tenaga tambahan atau bisa meminta bantuan tenaga dari sesama warga komunitasnya. Sistem ini bersifat universal dalam semua masyarakat di dunia yang berbentuk komunitas kecil, kompensasi untuk jasa yang disumbangkan itu bukan upah melainkan tenaga bantuan juga (Koentjaraningrat, 1985:168).

Pada aktivitas-aktivitas sekitar rumah tangga, ialah kalau misalnya orang memperbaiki atap rumahnya, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari tikus, menggali sumur di pekarangan. Pada masyarakat desa, warga sering meminta pertolongan dari tetangganya, dengan begitu seorang individu harus memperhatikan segala peraturan sopan santun dan adat istiadat yang biasanya bersangkut paut dengan aktivitas serupa. Adapun sikap tuan rumah juga menjamu para warga yang sudah membantu dengan menyajikan makanan, di samping kewajiban untuk membalas jasa kepada semua tetangga yang datang tersebut pada saat mereka masing-masing memerlukan tenaga bantuan dalam aktivitas sekitar rumah tangga mereka. Sifat kompleks dari sistem


(33)

tolong-menolong dalam sektor rumah tangga sering mengurangi rasa kesadaran dari dalam diri seorang warga (Koentjaraningrat, 1985:167).

Adapun tolong-menolong dalam aktivitas mempersiapkan pesta dan upacara biasanya berjalan dengan rasa kesadaran diri yang besar, karena warga yang ikut membantu dapat langsung menikmati makanan enak di acara pesta, merayakan pesta dan ikut merasakan suasana gembira. Pada sikap tolong-menolong pada peristiwa-peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat kecelakaan didasari oleh rasa belasungkawa yang universal dalam jiwa makhluk manusia (Koentjaraningrat, 1985:167).

2.1.3. Konsep Resiprositas (Timbal Balik) dalam Gotong Royong

Terjadinya sebuah resiprositas dalam sebuah komunitas kecil, contoh masyarakat di desa disebabkan adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung, contohnya adalah dalam waktu yang sama dan di sebuah lingkungan yang sama terdapat dua orang yang mengadakan selamatan, namun salah satunya punya kedudukan lebih tinggi dalam stratifikasi sosial di masyarakat. Adapun dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda. Mereka sejajar sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai warga desa


(34)

mereka mempunyai derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang (Pandupitoyo, 2010).

Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interksi antar pelaku kerjasama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin mudah muncul (Pandupitoyo, 2010). Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses jual beli biasanya terjadi dalam waktu yang sangat pendek, misalnya jual beli barang di pasar.Kalau pembeli telah menawar barang dan mampu membayar kontan, maka kalau barang telah dibayar berarti proses jual beli tersebut berakhir. Proses pertukaran resiprositas ada yang relatif pendek,namun juga ada yang panjang. Adapun dikatakan pendek, kalau proses tukar menukar barang atau jasa dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun, misalnya tolong menolang antar petani dalam mengerjakan tanah. Tolong menolong ini dapat berlangsung hanya dalam satu musim tanam,dan kalau kedua belah pihak telah memberikan bantuan dan menerima kembali bantuan yang diberikan,maka proses resiprositas tersebut dapat dikatakan telah berakhir (Pandupitoyo, 2010).


(35)

Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampai lebih dari satu tahun ,misalnya sumbang-menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Tidak setiap rumah tangga yang membudayakan tradisi sumbang menyumbang. Dalam kenyataannya,proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Seorang petani,misalnya, sejak kecil dia mewakili orang tuanya ikut gotong-royong dengan tetangganya serta keturunam mereka. Situasi seperti ini dapat terjadi karena komunitas tempat hidup petani tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan (Pandupitoyo, 2010). Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti,misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan , popularitas ,sanjungan ,dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerjasama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada (Pandupitoyo, 2010).

Keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh struktur masyarakat yang egaliter yaitu suatu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuasaan politik relatif terdistribusi merata dikalangan warganya. Struktur masayarakat yang egaliter ini memberikan kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas (Pandupitoyo, 2010).


(36)

Menurut Sahlins (1974) dalam Pandupitoyo (2010),ada tiga macam resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas negatif. Resiprositas yang terakhir ini sebenarnya kata lain dari pertukaran pasar atau jual beli dan lebih tepat dibicarakan diluar kesempatan ini. Secara umum dapatdikatakan bahwa jenis-jenis resiprositas tersebut berhubungan dengan pola-pola organisasi sosial ,ukuran kekayaan ,dan tipe barang yang dipertukarkan (Pandupitoyo, 2010).

Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hukum –hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar .Orang yang melanggar kerjasma resiprositas ini bisa mendapat tekanan moral dari “masyarakat” atau “kelompok”yang mungkin berupa umpatan, peringatan lisan,atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya (Pandupitoyo, 2010).

Sistem resiprositas umum dapat menjamin individu-individu terpenuhi kebutuhannya pada waktu mereka tidak mampu ”membayar” atau mengembalikan atas apa yang mereka terima dan pakai . Sejak lahir manusia telah tergantung dari orang lain ,misal ibunya. Manusia membutuhkan teman untuk berbagi rasa dalam memecahkan masalah hidup dan menikmati kebahagiaan (Pandupitoyo, 2010).

Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat industri yang relatif baik membuat corak resiprositas umum menjauh dari fungsi pemenuhan kebutuhan pokok.


(37)

Masyarakat nampaknya menempatkan resiprositas ini sebagai sarana maupun produk dan simbol dari hubungan kesetiakawanan atau cinta kasih. Bentuk resiprositas yang cocok untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah resiprositas simbolik (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas simbolik sebagai salah satu bentuk resiprositas umum merupakan suatu adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai sarana untuk menjalin hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam masyarakat sederhana, resiprositas umum cenderung memusat dikalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Dalam masyarakat desa agraris, meskipun struktur keluarga yang berlaku misalnya keluarga kecil, namun resiprositas di kalangan keluarga dekat nampak lebih kuat dibanding masyarakat kota (Pandupitoyo, 2010).

Golongan masyarakat yang nafkahnya dekat dengan batas substansi seringkali melembagakan resiprositas umum sebagai mekanisme untuk mengatasi kondisi tersebut.Dalam masyarakat ini,orang memberi nilai tinggi terhadap teman dan kerabat. Saling memberi hasil buruan merupakan kebiasaan yang lazim dalam masyarakat pemburu. Kebiasaan tersebut dapat berfungsi sebagai alat untuk distribusi pangan yang merata. Namun demikian, kebiasaan tersebut dapat memacu aktivitas kegiatan berburu dan meramu di kalangan kelompok pemburu (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas sebanding menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding.kecuali itu dalam pertukaran tersebut disertai


(38)

pula dengan kapan pertukaran itu berlangsung. Dalam pertukaran ini, masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari pertnernya, namun masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan denganyang akan diterima. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok yang melakukan transaksi bukan sebagai satu unit-unit sosial, melainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas sebanding berada di tengah-tengah antara resiprositas umum dengan resiprositas negatif, kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum, maka hubungan sosial yang terjadi mengarah ke hubungan kesetiakawanan dan ke arah hubungan yang lebih intim, sebaliknya kalau bergerak ke arah resiprositas negatif maka hubungan sosial yang terjadi bersifat tidak setia kawan yakni masing-masing pihak mencoba untuk mengambil keuntungan dari lawannya (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas negatif, transformasi ekonomi di bidang system pertukaran yang terjadi dinegara berkembang merupakan suatu proses yang terus berjalan. Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar.Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran tradisional diganti oleh bentuk pertukaran modern. Kedua, adalah munculnya dualisme pertukaran. Dengan berkembangnya uang sebagaia alat ukar, maka barang dan jasa akan kehilangan nilsi simbolik yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standart obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Hal inilah yang disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telahada. Tingkat gotong royongpun sekarang semakin berkurang karena


(39)

kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai nilai keikhlasan untuk saling membantupun berkurang (Pandupitoyo, 2010).

2.1.4 Konsep Marginalisasi

Menurut Horton (1993) dalam Putra (2011) menyebutkan marginal sebagai keadaan menjadi sebuah bagian suatu budaya atau masyarakat yang tidak utuh. Definisi ini lebih menekankan pada sudut pandang sosial budaya, yang mana sebuah kelompok terpinggirkan karena kondisi budaya yang belum ter internalisasi secara utuh. Termarginalkan atau terpinggirkan juga merupakan suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang karena sesuatu sebab tertentu seperti akibat norma sosial ekonomi tertentu, hubungan ekonomi, keterpencilan geografis, perbedaan budaya dan lain-lain menjadi terpinggirkan secara ekonomi dan sosial.

Adapun menurut Pablo Gonzales Casanova dalam Kurnia (2011), marginalisasi adalah fenomena pedesaan yang menimbulkan kemelaratan dan ciri kebudayaan pribumi tertentu yang biasanya tertahan yang menunjukan fenomena integral dalam masyarakat artinya peminggiran oleh sekelompok orang.

Pada khasanah ilmu sosial, ada beberapa definisi dan penjelasan teoritis mengenai marginalisasi. Menurut Mullaly (2007) dalam Kurnia (2011), marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan.


(40)

Marginalisasi memiliki atau mempunyai aspek terkait pada bidang sosiologi, ekonomi dan politik. Adapun dimana marginalisasi sebenarnya telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk yang sangat familiar di mata penduduk di dunia ini, misalnya budaya, struktur keluarga hingga spektrum yang negatif pada masyarakat (Opini Power). Menurut Aditya Anupkumar (2009) dalam Hardin (2011)

“Marginalisasi merupakan sebuah proses sosial untuk menjadi terpinggirkan, tersudutkan, terjadinya kesenjangan ekonomi dan terintermidasinya sebuah kelompok dalam masyarakat ketentuan marginalisasi sesungguhnya dapat di deskripsikan sebagai reaksi yang berlebihan atau kecenderungan dari sosial masyarakat yang menjadi tidak berfungsi dari sistem yang lazim dari bentuk perlindungan dan pengintegrasian, yang bertujuan untuk membatasi kesempatan untuk bertahan hidup dengan baik (Hardin, 2011).” Adapun kesimpulan dari penjelasan mengenai konsep marginalisasi di atas yang dimaksud dengan marginalisasi makna gotong royong merupakan sebuah proses sosial yang membuat makna solidaritas kekerabatan dalam gotong royong menjadi terpinggirkan, baik terjadi secara alami maupun dikreasikan oleh masyarakat.

2.1.5 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Makna Gotong Royong Termarginalisasi

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan sebuah kegiatan gotong royong mengalami marginalisasi diakibatkan oleh adanya perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh faktor-faktor, diantaranya:


(41)

1. Perubahan Penduduk

Perubahan penduduk berarti bertambah atau berkurangnya penduduk dalam suatu masyarakat. Hal itu bisa disebabkan oleh adanya kelahiran dan kematian, namun juga bisa karena adanya perpindahan penduduk, baik transmigrasi maupun urbanisasi. Transmigrasi dan urbanisasi dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk daerah yang dituju, serta berkurangnya jumlah penduduk daerah yang ditinggalkan. Akibatnya terjadi perubahan dalam struktur masyarakat, seperti munculnya berbagai profesi dan kelas sosial (Alfin, 2010).

2. Penemuan-Penemuan Baru

Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia akan barang dan jasa semakin bertambah kompleks. Oleh karena itu berbagai penemuan baru diciptakan oleh manusia untuk membantu atau memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Penemuan baru yang menyebabkan perubahan pada masyarakat meliputi proses discovery, invention, dan inovasi.

a. Discovery , yaitu suatu penemuan unsur kebudayaan baru oleh individu atau kelompok dalam suatu masyarakat. Unsur baru itu dapat berupa alat-alat baru ataupun ide ide baru.

b. Invention, yaitu bentuk pengembangan dari suatu discovery, sehingga penemuan baru itu mendapatkan bentuk yang dapat diterapkan atau difungsikan. Discovery baru menjadi invention


(42)

apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru ini dalam kehidupan nyata di masyarakat.

c. Inovasi atau proses pembaruan, yaitu proses panjang yang meliputi suatu penemuan unsur baru serta jalannya unsur baru dari diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai oleh sebagian besar warga masyarakat (Alfin, 2010).

Suatu penemuan baru, baik kebudayaan rohaniah (imaterial) maupun jasmaniah (material) mempunyai pengaruh bermacam-macam. Biasanya pengaruh itu mempunyai pola sebagai berikut.

1. Suatu penemuan baru menyebabkan perubahan dalam bidang tertentu, namun akibatnya memancar ke bidang lainnya. Adapun contohnya yaitu penemuan handphone yang menyebabkan perubahan di bidang komunikasi, interaksi sosial, status sosial, dan lain-lain.

2. Suatu penemuan baru menyebabkan perubahan yang menjalar dari satu lembaga ke lembaga yang lain. Adapun contohnya yaitu penemuan internet yang membawa akibat pada perubahan terhadap pengetahuan, pola pikir, dan tindakan masyarakat (Alfin, 2010). 3. Apabila terjadi hubungan primer, maka akan terjadi pengaruh

timbal balik atau saling mempengaruhi.

4. Apabila kontak kebudayaan terjadi melalui sarana komunikasi massa (massmedia), seperti radio, TV, film, surat kabar atau


(43)

majalah, yang terjadi adalah pengaruh sepihak, yaitu pengaruh dari masyarakat yang menguasai sarana komunikasi massa tersebut.

2.2Konsep Interaksi Simbolik Gotong Royong Pada Masyarakat Jawa

Perantau

Pada tanggal 1 juni 1945 Bung Karno dalam pidatonya mengenai dasar negara pada sidang BPUPKI ternyata tidak hanya menawarkan kelima sila yang kini menjadi dasar Negara diantaranya adalah (1) kebangsaan, (2) internasionalisme, (3) mufakat, (4) kesejahteraan dan (5) ketuhanan, dan lima bilangan tersebut dinamakan Pancasila, namun beliau juga merangkumnya untuk memberikan alternatif untuk peserta sidang yang tidak menyukai bilangan lima. Sehingga Bung Karno memeras kelima sila tersebut menjadi Tri Sila bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila :

“…Atau barang kali ada saudara - saudara yang tidak suka bilangan lima itu?saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.Saudara - saudara Tanya pada saya apakah “perasaan” yang tiga itu? Berpuluh – puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar – dasarnya Indonesia Merdeka/ Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, Kebangsaan dan internasionalisme, Kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu : itulah yang dahulu saya namakan socio – nationalism…”

“…Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke – democratie dengan socialerechtvaardigheid : inilah yang dahulu saya namakan socio-democratie…”

“…Tinggal lagi ke-Tuhaan yang menghormati satu sama lain.jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga :socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan.kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.tetapi barang kali tidak semua tuan – tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu.Apakah yang satu itu?...”


(44)

“…Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia,yang kita semua harus mendukungnya. semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, Bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia,bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia-semua buat semua!. Jikalau saya peras kelima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong – royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong – royong”(Penaaksi, 2011).

Dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah:

a. Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong, yaitu ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran; bukan ketuhanan yang saling menyerang, merusak dan mengucilkan.

b. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong, yakni yang berperikemanusian dan berperikeadilan; bukan menjajah dan eksploitatif. c. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong yakni mampu

mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”; bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. d. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan

musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi).

e. Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat

kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme , yaitu suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan (Sudarsa, 2011).


(45)

Dari kutipan pidato bung Karno sangatlah jelas dasar dari kesemua sila tersebut adalah sifat gotong royong . Jiwa gotong royong sudah sangat mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia.kita harus menjiwai kelima sila yang menjadi dasar negara saat ini dengan jiwa gotong – royong.

Memahami “Ke-Tuhanan yang Maha Esa” dengan jiwa gotong – royong. bukan ke-Tuhanan yang saling menyerang atau menjatuhkan. Bukan kemanusiaan yang bandel dan biadab.bukan persekutuan Indonesia.bukan juga keadilan sosial yang memihak.

Sekali lagi perlu dipahami bahwa jiwa gotong – royong haruslah ada dalam setiap diri rakyat Indonesia. Adapun karena ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam memaknai nilai-nilai Pancasila, dikarenakan gotong – royong merupakan jati diri bangsa Indonesia yang murni. Sehingga diperlukan sesuatu yang murni untuk membangun negara yang mandiri dan kuat pada era globalisasi. Gotong royong merupakan paham dinamis, maksud dari paham dinamis adalah paham kekeluargaan dalam kebersamaan untuk membangun Indonesia yang lebih maju berdasar landasan dasar Negara yaitu pancasila. Gotong royong, menurut Harjono (2011), telah tumbuh dan berkembang dalam diri masyarakat Indonesia, dan Pancasila bukan merupakan pandangan hidup yang diimpor dari luar.

”..pancasila atau gotong royong tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh berkembangnya bangsa Indonesia”.

Budaya gotong royong pada masyarakat Jawa, tidak hanya dimaknai sekedar saling bantu-membantu antar-sesama, lebih dari itu juga bahwa gotong royong dimaknai sebagai kegiatan warisan dari nenek moyang yang harus dipertahankan.


(46)

Terkait hal tersebut, masyarakat Jawa dalam membangun hubungan sosial selalu mendahulukan kepentingan umum dibandingkan kepentingan individu tanpa membandingkan dari segi apapun, baik suku dan agama. Demikian yang melatarbelakangi masyarakat Jawa menjadikan budaya gotong royong sebagai simbol dalam kehidupan bermasyarakat (Harjono, 2011).

Menurut keberadaan kegiatan gotong royong pada masyarakat Jawa telah dijadikan sebagai budaya oleh masyarakat Jawa dengan makna simbolik diantaranya menjadikan hubungan kekerabatan antar warga menjadi lebih erat. Pada ilmu antropologi, kajian tentang makna digawangi oleh paradigma antropologi simbolik. Simbol selalu berkaitan dengan makna, karena pada dasarnya paradigma simbol mempelajari signifikansi makna bagi kehidupan manusia.

Geertz (1992) dalam Prasetijo (2008) secara jelas mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Adapun alasannya karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.


(47)

Geertz (1992) menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Adapun dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz, 1992:3).

2.3Tinjauan Masyarakat Jawa

Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi terdapat juga di provinsi Jawa Barat, Banten dan di Jakarta (Apvalentine, 2010).

Adapun sebagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat yang dijalankan oleh Majalah Tempo pada awal dekad 1990-an menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% daripada orang-orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertuturan harian. Sekitar 18% menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa


(48)

Indonesia, dengan yang lain menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa utama mereka (Apvalentine, 2010).

Menurut konsepsi orang Jawa mengenai pelapisan sosial dalam masyarakatnya, penduduk desa termasuk lapisan paling rendah, lapisan wong cilik, atau “orang kecil”. Adapun wong cilik di kota-kota adalah mereka yang melakukan pekerjaan tangan dan pertukangan. Mereka yang menganggap diri mereka termasuk lapisan masyarakat yang lebih tinggi adalah golongan pegawai atau priyayi (Koentjaraningrat, 1984:279).

Suatu pembagian lain dari masyarakat Jawa, berbeda daripada pembedaan menurut lapisan-lapisan, adalah pembagian vertikal ke dalam abangan dan santri. Abangan adalah orang-orang yang tidak mentaati pelajaran-pelajaran agama Islam, terutama mengenai salat lima kali sehari, berpuasa dalam bulan Puasa, dan memakan makanan yang diharamkan. Santri adalah orang-orang yang taat menuruti pelajaran Islam. Adapun pengecualian perbedaan lahir mengenai ketaatan kepada pelajaran-pelajaran agama Islam tersebut di atas, perbedaan antara abangan dan santri terletak juga kepada hal-hal yang lebih mendalam, ialah kepada perbedaan dalam hal gaya hidup dan pandangan hidup (Koentajaraningrat, 1984:279).

Menurut Geertz (1992) dalam Sentosa (2010) pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pendangan hidup di antara masyarakat Jawa. Subtradisi abangan yang menurut Geertz (1992) dalam Sentosa (2010) diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional, serta kepercayaan kepada mahluk halus dan kekuatan gaib itu terkait


(49)

pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Budha prokolonial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok elite kerah putih (white collar elite) yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Adapun dengan demikian Geertz (1992) dalam Sentosa (2010) melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini abangan, santri, dan priayi dengan tiga lingkungan desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan.

Perkampungan masyarakat Jawa pun mempunyai keunikan tersendiri, dengan bentuk rumah desa yang berbentuk persegi yang berukuran kira-kira empat kali lima meter. Rangka rumah terdiri atas suatu sistem tiang-tiang kayu beserta alat-alat penahannya, tembok-temboknya adalah bidang –bidang anyaman bambu, dan atapnya adalah lapisan-lapisan daun kelapa kering, yang diikat dengan tali temali bambu pada kerangka atap. Bagian dalam rumah terdiri atas bagian-bagian kecil, yang masing-masing dipisahkan oleh dinding-dinding bambu yang dapat dipindahkan. Pintu-pintunya adalah pintu seret; jendela-jendela tidak ada dan sinar matahari masuk melalui lubang-lubang besar di bagian atas dari dinding-dinding samping (Koentjaraningrat, 1984:281).

Pada kehidupan masyarakat Jawa sangat beragam, seperti pada kebiasaan sehari-hari masyarakat Jawa yang bekerja sebagai petani. Sesuatu hal yang sangat diinginkan oleh keluarga tani Jawa, ialah keadaan selamat, yaitu keadaan aman tenteram, dengan tidak ada kejadian-kejadian yang menganggu ketenteraman


(50)

tersebut. Keadaan tegang seolah-olah menarik dan mendatangkan bahaya, kecelakaan, penyakit, ataupun maut. Suatu jalan yang sangat penting untuk mengatasi rasa takut akan bencana-bencana tersebut adalah jalan berlaku prihatin. Keadaan prihatin dapat dikuatkan dengan memperhatikan pantangan –pantangan dan dengan menjalankan upacara-upacara selamatan, yang bertujuan untuk memperoleh keadaan selamat (Koentjaraningrat, 1984:284-285).

Geertz (1992) dalam Koentjaraningrat (1984:285) selamatan merupakan upacara yang utama dalam kehidupan seorang petani Jawa terdiri atas suatu upacara makan makanan suci bersama, yang tergantung kepada pentingnya perayaan, dapat diadakan dengan cara sederhana ataupun dengan sangat luas. Sebuah selamatan yang diselenggarakan oleh suatu rumah tangga, biasanya hanya dihadiri oleh tetangga –tetangga yang paling dekat dan ada juga yang tidak mengundang tamu-tamu sama sekali, akan tetapi mengirimkan makanan kepada para tetangga yang telah didoakan.

Suatu keluarga petani Jawa berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga–tetangga dekat, akan tetapi juga dengan keluarga –keluarga tetangga lainnya. Hubungan baik ini dinyatakan oleh mereka dengan berbagai sistemtolong-menolong. Menurut tatacara Jawa, jiwa tolong-menolong harus dinyatakan dalam berbagai kewajiban terhadap tetangga yang harus diperhatikan oleh setiap kepala keluarga. Seseorang berkewajiban untuk mengundang seorang tetangga pada waktu mengadakan selamatan; pada peristiwa sakit, kecelakaan, dan kematian seseorang wajib memberi pertolongannya (Koentjaraningrat, 1984:292).


(51)

Pada peristiwa kematian, semua tetangga berkewajiban untuk mengerjakan semua pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan untuk pemakaman, sehingga keluarga yang sedang berduka tidak perlu memikirkan segalanya. Adapun di samping memberi pertolongan, tetangga-tetangga sering juga menyumbangkan uang bersama-sama untuk meringankan biaya pemakaman, atau memberikan makanan untuk selamatan untuk dihidangkan kepada tamu-tamu. Pertolongan semacam ini biasanya mereka berikan sengan sukarela, dengan tidak mengharapkan apa-apa atas jasa-jasa mereka. Seringkali tetangga memerlukan pertolongan untuk bermacam-macam pekerjaan, antara lain untuk memperbaiki rumah, mengganti dinding bambu, mengusir tikus, dan menggali sumur di kebun serta kegiatan lainnya yang membutuhkan tenaga masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:292).

Permintaan untuk pertolongan seperti di atas, apabila dilakukan dengan sauatu tatacara yang sopan, yaitu nyambat, tidak boleh ditolak. Seorang warga desa yang diminta pertolongannya untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan bagi tetangganya, mencatat dalam ingatannya bahwa tetangganya berhutang pekerjaan kepadanya dan hutang pekerjaan semacam ini tidak akan dilupakannya dan akan diperhitungkan dengan seksama (Koentjaraningrat, 1984:293).

2.4 Sejarah Transmigrasi Orang Jawa di Lampung

A. Sejarah Transmigrasi

Sejarah transmigrasi di Indonesia sudah mencapai satu abad, yang dimulai dilaksanakan sekitar tahun 1950 pada masa penjajahan Hindia Belanda. Adapun pada saat itu nama yang digunakan adalah kolonisasi. Pemerintah


(52)

hindia Belanda mengadakan kolonisasi ini didasarkan atas semakin meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa dan perlunya tenaga kerja sektor perkebunan di luar Pulau Jawa.

Peningkatan jumlah penduduk di pulau Jawa tersebut menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mencari suatu cara untuk melaksanakan pemindahan penduduk secara besar-besaran dari Pulau Jawa ke pulau lain yang penduduknya masih jarang di Indonesia, dengan efisiensi yang tinggi dan biaya yang dapat ditanggung oleh Negara.

Swasono dan Singarimbun (1986:8) mengungkapkan bahwa,

Transmigrasi di jaman kolonial Belanda di mulai sejak pertengahan abad ke-19 yang dikenal dengan Ethiesche Politiek ”.

Belanda mulai membuat percobaan, sebelum program ini dilaksanakan Pemerintah Belanda menugaskan seorang Assisten Resident bernama H.G Heyting untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau yang kurang penduduknya dengan tanah yang belum digarap masih sangat luas (Swasono dan Singarimbun, 1986:8)

H.G Heyting dalam Swasono dan Singarimbun (1986:9) mengusulkan suatu sistem yang akan digunakan dalam kolonisasi kepada pemerintah Belanda, yaitu:

1) Membangun desa-desa inti (kern desa’s) dengan jumlah penduduk 500 KK setiap desa inti.


(53)

2) Penduduk desa diberi bantuan secukupnya agar tingkat ekonomi mereka menguat, dengan harapan bahwa desa-desa inti itu akan menjadi basis bagi koloni-koloni untuk membuka daerah disekitarnya. Gagasan dari H.G. Heijting diterima oleh pemerintah Belanda dan pada tahun 1905 transmigrasi dilaksanakan dengan daerah tujuannya Gedong Tataan Lampung. Swasono dan Singarimbun (1986:11) mengemukakan mengenai periode transmigrasi,

“…yaitu terdiri atas periode awal transmigrasi, periode tahun 1927-1930, periode tahun 1930-1935 dan periode sesudah pengakuan kemerdekaan”. Transmigrasi merupakan salah satu unsur utama rencana pembangunan Indonesia. Tujuan sosial transmigrasi adalah menolong rakyat Indonesia yang termiskin, yaitu petani tanpa lahan, penganggur di kota dan gelandangan. Transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum diolah, mengubah tanah yang belum digarap menjadi tanah yang lebih produktif (Levang, 2003:7).

Program transmigrasi telah dimulai sejak Indonesia masih dibawah pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada Fase Percobaan (1905-1931). Pada masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti yang terdiri atas 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga tersebut mendapat jaminan selama satu tahun pertama. Setiap keluarga juga diberi subsidi yang mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu migrasi spontan (Levang, 2003:9-10).


(54)

Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941). Tahun 1931 terjadi krisis pada sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa (Levang, 2003:10). Fase Pemecahan Masalah Pascaperang. Pada fase ini pemimpin Republik Indonesia tetap menerapkan cara dan pola yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tetapi tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri. Kondisi ini terus berlangsung, dan tahun 1983 transmigrasi sepenuhnya dibawah Departemen Transmigrasi (Levang, 2003:11).

Pelita I yang dimulai pada tahun 1969 terutama menciptakan stabilitas nasional. Tujuan utamanya adalah mencapai swasembada beras yang berarti meningkatkan produksi sebesar 50% dalam jangka waktu lima tahun. Untuk mencapai hal itu, para perencana dapat menempuh dua jalur, yakni:

1. Intensifikasi pembudidayaan padi, berkat program Revolusi Hijau; 2. Perluasan lahan garapan, berkat program transmigrasi (Levang, 2003:12). Pelaksanaan kedua Pelita pertama ditandai oleh pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Di Lingkungan aparatur Negara, korps insinyur dari Departemen Pekerjaan Umum yang sangat terstruktur memegang peran yang sangat menentukan. Ambisi dari insinyur tersebut adalah menyulap dataran rendah Sumatra dan Kalimantan menjadi lumbung padi (Levang, 2003:12).


(55)

Pelita III dan IV merupakan masa target. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah memutuskan untuk membagi tugas kepada departemen-departemen terkait. Departemen pekerjaan umum bertugas mempersiapkan lokasi, departemen transmigrasi bertugas merekrut, memindahkan, dan membina para transmigran. Departemen pertanian mengurus masalah pertanian, departemen agama mengurus masalah tempat ibadah dan departemen kesehatan mengurus masalah puskesmas. Untuk memecahkan masalah koordinasi antar dinas dari departemen-departemen ersebut, maka pemerintah menciptakan instansi baru yang dinamakan Badan Koordinasi Transmigrasi (Bakortrans). Pada Pelita IV (1984-1989), pemerintah memindahkan 750 ribu kepala keluarga. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena lama kelamaan penduduk asli menjadi minoritas di daerahnya sendiri (Levang, 2003:13).

Pada Pelita V kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi ditangani oleh satu departemen yaitu departemen transmigrasi. Pola usaha pertanian tetap dilanjutkan, tetapi lebih ditingkatkan pada pola-pola perkebunan, perikanan, dan perindustrian. Pada Pelita VI, kebijaksanaan pembangunan transmigrasi diarahkan pada kawasan Indonesia Timur, mendukung pembangunan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan menggalakkan Transmigrasi Swakarsa Mandiri.

B. Transmigrasi

Transmigrasi dalam bahasa latin yaitu transmigrates, dalam bahasa Inggris menjadi transmigration yang artinya perpindahan. Kata transmigrasi sendiri


(56)

kemudian diadaptasi di Indonesia atas jasa Bung Karno dan Bung Hatta. Beliau menggunakan kata tersebut, sebagai cara pengertian kepada masyarakat mengenai program pemerintah memindahkan penduduk melewati laut, atau dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya.

Transmigrasi menurut bahasa berasal dari dua kata, trans dan migrasi. Kata trans berarti pindah atau perpindahan dan migrasi adalah perpindahan penduduk. Adapun dengan kata lain transmigrasi adalah perpindahan atau perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam hal ini perpindahan dari pulau yang padat penduduknya ke pulau yang jarang penduduknya. Menurut UU Nomor 2 tahun 1972 transmigrasi adalah perpindahan penduduk atau perpindahan dari suatu daerah untuk menetap ke daerah lain, yang ditetapkan dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan Negara atas alasan yang dianggap perlu oleh pemerintah. Adapun secara mendasar pengertian transmigrasi tetaplah sama, yaitu memindahkan penduduk dari sebuah pulau ke pulau lain dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, program pemindahan penduduk tersebut difasilitasi dan dibiayai oleh Negara.

Transmigrasi diyakini sebagai salah satu solusi bagi masalah peningkatan jumlah penduduk khususnya di Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Pada situasi di tengah-tengah krisis ekonomi dan meningkatnya pengangguran, kebutuhan untuk memindahkan penduduk menjadi lebih besar dari sebelumnya karena kelangkaan lapangan kerja, kemiskinan meningkat, dan adanya urbanisasi. Terkait kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang


(57)

transmigrasi dan menjadi dasar transmigrasi di Indonesia menurut keputusan menteri transmigrasi Republik Indonesia (RI) tahun 1984 tentang ketransmigrasian bahwa yang disebut transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman.

Terdapat bermacam-macam transmigrasi yang dikenal di Indonesia. Berdasarkan jenis bantuan yang diberikan oleh pemerintah, transmigrasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, diantaranya :

1. Transmigrasi Umum

Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang pembiayaannya dari pemberangkatan sampai penempatan dalam jangka waktu tertentu biaya sebagian besar ditanggung oleh pemerintah pusat.

2. Transmigrasi Swakarya

Transmigrasi swakarya adalah transmigrasi yang diselenggarakan oleh departemen transmigrasi dengan jaminan hidup beberapa tahun, selanjutnya diberikan tanah kepada transmigran untuk dikerjakan.

3. Transmigrasi Swakarsa atau Spontan

Transmigrasi swakarsa atau spontan adalah transmigrasi yang diselenggarakan atas biaya sendiri dengan bimbingan dan fasilitas dari pemerintah. Tipe transmigrasi swakarsa/ spontan adalah transmigrasi yang


(58)

dilaksanakan atas dasar dorongan sendiri dengan kemauan sendiri. Tipe transmigrasi swakarsa adalah sebagai berikut:

a. Transmigrasi swakarsa/spontan dilaksanakan oleh pemerintah terdiri atas:

1) Transmigrasi swakarsa/spontan DBB (Dengan Bantuan Biaya). 2) Transmigrasi swakarsa/spontan TBB (Tanpa Bantuan Biaya) yaitu

trasmigrasi swakarsa/spontan atas dasar sendiri tanpa bantuan dari pemerintah tetapi memperoleh pembinaan dan pengawasan.

b. Transmigrasi swakarsa/spontan murni yaitu transmigrasi spontan di luar kontrol pemerintah.

4. Transmigrasi Keluarga

Transmigrasi keluarga adalah transmigrasi yang pembiayaannya ditanggung oleh keluarga yang telah berada di daerah transmigrasi. Transmigrasi ini dilakukan atas dasar kemauan sendiri oleh pihak keluarga yang sudah terlebih dahulu menempati daerah transmigrasi. Orang-orang yang dipindahkan merupakan kerabat dari transmigran yang berada di daerah transmigrasi. Transmigrasi keluarga dilaksanakan jika keluarga yang terlebih dahulu menempati daerah transmigran telah sukses di daerah tersebut.


(59)

5. Transmigrasi lokal

Transmigrasi lokal adalah transmigrasi dari suatu Provinsi lain, dan biaya ditanggung oleh departemen transmigrasi. Berbeda dengan transmigrasi umum, transmigrasi lokal seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah daerah baik daerah asal maupun daerah yang menjadi tujuan transmigrasi dan bekerjasama dengan departemen transmigrasi.

6. Transmigrasi Sektoral

Transmigrasi sektoral adalah transmigrasi yang pembiayaan diurus bersama-sama, sedangkan transmigrasi bedol desa adalah transmigrasi seluruh penduduk dari sebuah desa beserta aparatur pemerintahannya, karena desa tersebut terkena rencana proyek pemerintah (Ilmi, 2010).

C. Motivasi dan Tujuan Transmigran

Adapun untuk sebagian kecil transmigran, ikut bertransmigrasi berarti paling tidak terjamin perumahan dan pangan selama dua belas bulan. Jaminan hidup sepenuhnya (beras, ikan asin, garam, gula, minyak goreng, selain itu juga minyak lampu dan sabun) yang disetujui Departemen Transmigrasi (Deptrans) selama dua belas sampai delapan belas bulan sesuai dengan jenis proyeknya, cukup untuk menarik minat sejumlah calon (Levang, 2003:66).

Sebagian besar transmigran mengejar taraf hidup yang lebih tinggi daripada sekadar mempertahankan hidup dari hari ke hari. Hampir semua transmigran memiliki semangat untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonominya dari


(60)

kegiatan usaha tani. Hampir semuanya ingin menetap selamanya di daerah tujuan. Tidak seorang pun berangan-angan dapat memperkaya diri dengan cepat dari kegiatan usaha tani (Levang, 2003:67).

Adapun demikian, tidaklah akan mengherankan bahwa menjadi pemilik tanah dan menjamin masa depan anak merupakan motivasi yang paling sering dinyatakan oleh transmigran. Meskipun demikian, masa depan anak yang menjadi pikiran banyak transmigran, tidak selalu dibidang pertanian. Memperoleh hak milik tanah bukan merupakan tujuannya, tetapi cenderung merupakan sarana penjamin pendidikan yang baik bagi anak-anak transmigran. Jika perlu, petani tidak segan - segan menjual tanah warisannya agar anaknya dapat diterima menjadi pegawai negeri (Levang, 2003:67-68). “Kehilangan muka” juga merupakan alasan untuk bertransmigrasi. Hal itu disebabkan oleh terbongkarnya pengelolaan keuangan yang meragukan, kalah judi dalam jumlah besar, atau dapat pula disebabkan oleh masalah rumah tangga. Bagi mereka yang “kehilangan muka”, transmigrasi merupakan satu-satunya kesempatan untuk membangun hidup baru, satu-satu-satunya alternatif untuk membebaskan diri dari pengucilan (Levang, 2003:68).


(61)

2.5 Kerangka Pikir

Gotong royong royong memiliki pengertian bahwa setiap individu dalam kondisi seperti apapun harus ada kemauan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap obyek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak disekeliling hidupnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan atau skill, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.

Masyarakat Jawa yang menjadi transmigran di Desa Bandar Agung, menjalankan kehidupan dengan gotong royong satu sama lain. Akan tetapi seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, mengakibatkan gotong royong dalam masyarakat Bandar Agung menjadi termarginalkan atau terpinggirkan.


(62)

Bagan 1. Skema Kerangka Pikir

Keterangan :

: Masuknya Faktor-Faktor

: Marginalisasi/Proses Peminggiran Gotong Royong masyarakat Jawa

perantau di Desa Bandar Agung mengalami marginalisasi makna

 Hubungan Primer,  Terjadi Kontak

Kebudayaan

Intensitas pelaksanaan gotong royong menjadi berkurang

Gotong Royong =

Kebersamaan

 Faktor Perubahan

Penduduk (ex: Transmigrasi, Urbanisasai)  Penemuan-Penemuan Baru (Discovery, Invention, Inovasi)

Teori Marginalisasi

Teori Resiprositas

Teori Interaksi

Simbolik

Gotong Royong di identikkan dapat diganti

dengan uang tidak lagi berdasarkan kebersamaan

 Lebih memprioritaskan bekerja untuk mendapatkan uang daripada bergotong royong.  Generasi ketiga

memprioritaskan bermain daripada bergotong royong


(63)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab V ini penulis akan memaparkan hasil dari proses wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan dengan informan-informan yang telah dikumpulkan dan diolah secara sistematis menurut kaidah penulisan yang sesuai dengan panduan dalam metode penelitian. Setelah diadakan penelitian terhadap sepuluh orang yang menjadi objek kajian penelitian, yang bertempat tinggal di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai. Berikut ini akan dideskripsikan hasil dari penelitian yang berisi tentang profil dan pembahasan mengenai marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai.

A. Hasil Wawancara 5.1. Profil Informan Tabel 12. Profil Informan

NAMA

INFORMAN USIA AGAMA PEKERJAAN PENDIDIKAN TERAKHIR

Sp 46 tahun Islam Guru SD Sarjana Ms 46 tahun Islam Petani SMA Tb 50 tahun Islam Petani SMA Sn 58 tahun Islam Pensiunan perusahaan SMA Sm 52 tahun Islam Petani SMA Sr 86 tahun Katholik Pensiunan TNI AD SMA Sw 65 tahun Islam Pensiun PNS Sarjana Ma 45 tahun Islam Wiraswasta SMA Ad 17 tahun Islam Pelajar SMP Gr 18 tahun Islam Pelajar SMP


(1)

100

sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan. Adapun yang peneliti ketahui di sini bukanlah kedudukan masyarakatnya namun kedudukan makna gotong royong yang ada dalam masyarakat Jawa perantau di Desa Bandar Agung. Adapun yang menyebabkan kedudukan makna gotong royong ini termarginalisasi dikarenakan oleh faktor-faktor yang terjadi di masyarakat.

6.2Saran

Dari kesimpulan di atas, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlu kesadaran bagi sebagian warga di Desa Bandar Agung terhadap

pentingnya menjaga kebersamaan antar warga karena dari gotong royong merupakan dari warga, dilakukan oleh warga dan hasilnya juga akan dinikmati oleh warga itu sendiri.

2. Perlunya sikap saling peduli antar warga khususnya seluruh warga di desa Bandar Agung agar masing-masing merasa saling memiliki satu sama lain, tidak ada lagi perasaan acuh tak acuh dan bersikap egois. Karena dengan bersikap mengalah belum tentu kalah, akan tetapi bersatu untuk menciptakan masyarakat yang sesuai harapan.

3. Peneliti mengharapkan agar instansi terkait agar dapat menjadi kontrol sosial terhadap peristiwa kecurangan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Desa Bandar Agung.


(2)

(3)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedung Meneng, Rajabasa, Bandar Lampung

PEDOMAN WAWANCARA

(Pedoman wawancara ini hanya sebagai penuntun di lapangan penelitian, karena pertanyaan bersifat terbuka dan dinamis sesuai dengan perkembangan di lapangan penelitian)

Judul Penelitian:

Gotong Royong Pada Masyarakat Jawa Perantau

(Studi tentang marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai )

Oleh

Nurul Panji Kesuma Wardana

I. Identitas Informan

Nama Lengkap :

Tempat, Tanggal Lahir :

Alamat Rumah :

Umur :

Pekerjaan :

Pendidikan Terakhir :


(4)

II. Makna tentang Gotong Royong

1. Pemahaman Anda tentang Gotong Royong

2. Mengetahui Cara Bergotong Royong Dari Mana dan Sejak Kapan 3. Apa pendapat Anda mengenai adanya Gotong Royong di Desa Anda

4. Cara Untuk Mengundang Warga Untuk Ikut Serta dalam Gotong Royong di Desa Bandar Agung

5. Apa saja jenis-Jenis Gotong royong yang pernah Anda ikuti 6. Kesan ketika melakukan gotong royong

7. Apa landasan Anda mengikuti melakukan gotong royong III.Proses marginalisasi makna gotong royong

1. Bagaimana pandangan Anda dengan warga yang tidak dapat mengikuti gotong royong

2. Apa penyebab dari ketidakhadiran warga dalam gotong royong

3. Perasaan Anda apabila tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong

4. Apa sanksi yang diberikan kepada warga apabila tidak mengikuti gotong royong

Proses marginalisasi makna gotong royong dilihat dari beberapa faktor A. Faktor Intern

1. Bagaimana menurut Anda jika ada warga yang lebih memilih bekerja daripada melakukan gotong royong

2. Bagaimana menurut Anda tentang generasi muda Desa Bandar Agung saat ini dengan kegiatan gotong royong

B. Faktor Ekstern

1. Bagaimana menurut Anda mengenai gotong royong di Desa Bandar Agung saat ini

2. Apakah Anda mempunyai harapan setiap melakukan gotong royong, jelaskan 3. Bagaimana menurut Anda mengenai semakin berkurang semangat gotong

royong dengan digantikannya tenaga upah

4. Apa kiat-kiat Anda untuk menghidupkan kembali rasa gotong royong dalam kehidupan masyarakat


(5)

(6)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojo Negoro No.1 Gedung Meneng, Rajabasa, Bandar Lampung

Bandar Lampung, 7 Maret 2012

Nomor : /UN.26/6/DT/2012

Perihal :Surat Izin Riset

Kepada Yth.

Cq. Kepala Desa Bandar Agung Kec. Terusan Nunyai Di

Tempat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung dengan ini, mengharapkan bantuan saudara agar mahasiswa FISIP Universitas Lampung ;

Nama : Nurul Panji Kesuma Wardana

NPM : 0816011008

Semester : VIII

Jurusan : Sosiologi

Agar dapat diberikan izin untuk melakukan riset di Desa Bandar Agung Kec. Terusan Nunyai Kab. Lampung Tengah dalam rangka penyusunan Tugas Akhir yang berjudul:

Gotong Royong Pada Masyarakat Jawa Perantau

(Studi Tentang Marginalisasi Makna Gotong Royong Pada Masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai)

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studinya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Demikianlah surat ini dibuat, atas perhatian dan bantuan Saudara, kami ucapkan terima kasih. a.n. Dekan FISIP Unila

Pembantu Dekan I FISIP Unila

Drs. A. Efendi, M.M. NIP. 195909 198803 1 011