Ulumul Quran (3)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.

Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitabyang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang-undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah ayat-ayat muhtasyabih.


(2)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mutasyabihat

Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminologi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya. Contoh: Q.S. Thaahaa ayat 5,











 









Artinya: (Allah) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy’

1. Macam-macam Ayat Mutasyabihat

Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:1

a. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, atau kecuali Allah SWT. Contohnya seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifatNya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghaib lainnya. Seperti keterangan surah Al-An’am ayat 59:

















 



Artinya: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghoib: tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri.

Dan seperti isi Surah luqman ayat 34:

1 H.A, Abdul Djalal, Ulumul Quran, ( Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h.


(3)















































































Artinya:

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”

b. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui maksudnya oleh semua orang. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.

Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, menqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:





 



















 

 



























































 







 



Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau


(4)

budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepadanya tidak berbuat aniaya.

Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:2

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.”

c. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan semua orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya tipe yang ketiga ini lebih menspesifikkan lagi. Ia menyatakan maksudnya ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.

Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 7:



















































































































 























 



















Artinya:

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,

2 Ahmad, Syadali, dkk, Ulumul Quran I, ( Bandung: Pustaka setia, 2000), h..207


(5)

padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Dalam pengertian yang sama, Al-Raghib Al-Ashfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut beliau, ayat-ayat mutasyabihat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui manusia seperti lafal-lafal yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah yang disyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:3

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.”

2. Pendapat Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabih

Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatar belakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 7.

Subhi Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:4 a. Madzab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani

ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT dari pengertian-pengertian lahir. diantara ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik, bagi Allah SWT dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa; ia menjawab: Istiwa itu maklum, sedangkan caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.

Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan

3 Ahmad, Syadali, dkk, Ulumul Quran I, (Bandung:Pustaka setia,2000), h.208


(6)

para pemuka fiqih. Kepada mazhab ini pulalah, para imam dan pemuka Hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini.5

b. Mazhab Khalaf

Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah.6 Dalam memahami surah. Ali-Imran : 7 mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya. Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.

Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasyabih yang menjadikan perbedaan pendapat antara mazhab Salaf dan mazhab Khalaf:

a). Lafal “Ístawa” pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:











 





Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Ars.”

Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy. Menurut mazhab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas Arsy (tahta). Namun tata cara tidak kita ketahui dan diharuskan bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah sendiri. Pernah ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’, maka beliau menjawab:

Artinya: “Istiwa’ itu ma’lum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah (mengada-ada). Saya kira engkau ini adalah orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.”

5 Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh

Nashirul haq dkk, ( Jakarta: Al-Huda), 1427.h. 265

6 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ilmu-ilmu Ulumul Al Quran,


(7)

Ibnu Kasir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang paling selamat mengenai hal ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf karena hal ini sepenuhnya adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak dibenarkan sama sekali makhluk campur tangan.7

Sedangkan mazhab Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.8

b). Lafal “yadun” pada Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 10. Allah berfirman:



























Artinya:

”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka.”

Pada ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkah ulama Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.

c). Lafal Ainun pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 39. Allah berfirman :



 













 



































































 

Artinya:

7 Bustami A Gani, dkk., Alqur’an dan Tafsirnya, (Semarang:

Citra Effhar, 1993). h. 124.

8 Ahmad syadali,dkk.Ulumul Quran I.( Bandung: Pustaka setia,2000), h.


(8)

Yaitu: 'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir`aun) musuh-Ku dan musuhnya'. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.

Lafal aini yang asal katanya Ainun dari segi lafdziyyah mempunyai arti mata. Menurut mazhab khalaf, lafal Ainun dalam ayat di atas bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil pada masa Raja Fir’aun.

Adapun contoh yang lain terdapat dalam : Surah Al-An’am : 61,



 



 













































 





Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat-malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.

Surah Al-Rahman : 27











 

 













Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Surah Ali-Imran: 28.









































 




















































(9)

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).

Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata “di atas”, “wajah”, dan “diri” yang dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama khalaf memaknai kata-kata tersebut sebagai: “kedatangan perintah-Nya”

3. Hikmah Keberadaaan Ayat Mutasyabih Dalam al- Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:

a). Memperlihatkan kelemahan akal manusia.

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.9

Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.10 Menurut penulis disini keimanan kita di uji apakah kita percaya atau tidak terhadap ayat-ayat mutasyabih, karena ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang memang masih samar-samar sehingga keimanan kita di uji kembali. Jika seluruh ayat al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.

9 Rosihon Anwar, Ulumul Qur’anI, cet II, ( Bandung: CV. Pustaka Setia,

2004), h.142.


(10)

b). Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan11. Menurut penulis adanya muhkam dan mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad SAW, tetapi produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah SWT memberikan penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan Allah SWT di atas tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa memahami secara tekstual tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan mereka.


(11)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari definisi-definisi tentang mutasyabih adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.

Adapun penyebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an adalah ketersembunyian dalam makna dan lafal. Sedangkan macam-macam ayat mutasyabih ada tiga; ayat yang tidak dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah, ayat yang dapat diketahui artinya dengan jalan pembahasan, dan ayat yang dapat diketahui artinya oleh ulama tertentu.

Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’anI, cet II,Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004 Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq

dkk, Jakarta: Al-huda

Djalal, H.A, Abdul , Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu. 2000

Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Ilmu-ilmu Ulumul Al Quran, Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2002

Syadali, Ahmad, dkk, Ulumul Quran I, Bandung: Pustaka setia. 2000


(1)

Ibnu Kasir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang paling selamat mengenai hal ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf karena hal ini sepenuhnya adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak dibenarkan sama sekali makhluk campur tangan.7

Sedangkan mazhab Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.8

b). Lafal “yadun” pada Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 10. Allah berfirman:



























Artinya:

”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka.”

Pada ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkah ulama Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.

c). Lafal Ainun pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 39. Allah berfirman :



 













 







































































Artinya:

7 Bustami A Gani, dkk., Alqur’an dan Tafsirnya, (Semarang:

Citra Effhar, 1993). h. 124.

8 Ahmad syadali,dkk.Ulumul Quran I.( Bandung: Pustaka setia,2000), h.


(2)

Yaitu: 'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir`aun) musuh-Ku dan musuhnya'. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.

Lafal aini yang asal katanya Ainun dari segi lafdziyyah mempunyai arti mata. Menurut mazhab khalaf, lafal Ainun dalam ayat di atas bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil pada masa Raja Fir’aun.

Adapun contoh yang lain terdapat dalam : Surah Al-An’am : 61,



























































Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat-malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.

Surah Al-Rahman : 27











 

 













Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Surah Ali-Imran: 28.









































 




















































(3)

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).

Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata “di atas”, “wajah”, dan “diri” yang dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama khalaf memaknai kata-kata tersebut sebagai: “kedatangan perintah-Nya”

3. Hikmah Keberadaaan Ayat Mutasyabih Dalam al- Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:

a). Memperlihatkan kelemahan akal manusia.

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.9

Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.10 Menurut penulis disini keimanan kita di

uji apakah kita percaya atau tidak terhadap ayat-ayat mutasyabih, karena ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang memang masih samar-samar sehingga keimanan kita di uji kembali. Jika seluruh ayat al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.

9 Rosihon Anwar, Ulumul Qur’anI, cet II, ( Bandung: CV. Pustaka Setia,

2004), h.142.


(4)

b). Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan11. Menurut penulis adanya

muhkam dan mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad SAW, tetapi produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah SWT memberikan penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan Allah SWT di atas tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa memahami secara tekstual tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan mereka.


(5)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari definisi-definisi tentang mutasyabih adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.

Adapun penyebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an adalah ketersembunyian dalam makna dan lafal. Sedangkan macam-macam ayat mutasyabih ada tiga; ayat yang tidak dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah, ayat yang dapat diketahui artinya dengan jalan pembahasan, dan ayat yang dapat diketahui artinya oleh ulama tertentu.

Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’anI, cet II,Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004 Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq

dkk, Jakarta: Al-huda

Djalal, H.A, Abdul , Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu. 2000

Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Ilmu-ilmu Ulumul Al Quran, Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2002

Syadali, Ahmad, dkk, Ulumul Quran I, Bandung: Pustaka setia. 2000