Imunopatogenesis Dermatitis Atopik Gambaran Dermatitis Atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008.

dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test SAFT atau double blind placebo food challenge test DBPFCT Boediardja, 2006. 3. Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada 90 lesi DA dan hanya pada 5 populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan 10 7 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin Staphylococcal enterotoin A,B,C,D - SEA- SEB-SEC-SED yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF- α oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit Soebaryo, 2009. c. Lingkungan Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara nitrogen dioksida, sufur dioksida, walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan heater pemanas ruangan. Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB Boediardja, 2006.

2.4. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik

a. Imunitas bawaan innate Sistem imunitas innate bawaan dapat segera bereaksi terhadap berbagai macam kolonisasi mikroba atau alergen atau iritan, serta berperan terhadap awitan mekanisme imunitas adaptive didapat. Sel epitel kulit yang merupakan sel yang Universitas Sumatera Utara membatasi tubuh dengan lingkungan merupakan mekanisme pertahanan pertama pada sistem imunitas innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk pengenalan, disebut sebagai reseptor pattern recognition PRR, misalnya reseptor toll-like TLR. Dikenal lebih dari 10 macam pada manusia, dapat berikatan secara spesifik dengan dinding sel bakteri, jamur atau DNA-RNA virus. TLR dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba karena adanya molekul permukaan pathogen-associated molecular pattern PAMP. Terikatnya produk mikroba pada permukaan sel epitel akan menyebabkan aktivitas selular dengan mengeluarkan molekul dengan aktivitas antimikroba, disebut sebagai anti- microbial peptideprotein AMP. Pada DA, AMP jumlahnya kurang sehingga menyebabkan pasien dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes Soebaryo, 2009. b. Imunitas didapat acquired Peran sel T dan konsep Th1Th2 merupakan hal penting pada dermatitis atopik. Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia diterima sebagai patogenesis atopik. Sitokin yang diproduksi sel Th2, misalnya IL-4, IL-5 dan IL- 13 dapat dideteksi pada fase akut penyakit, baik pada lesi kulit maupun non lesi. IL-4 dan IL-13 terkait dengan awitan jaringan inflamasi dan memicu ekspresi molekul adhesi di sel endotel. IL-5 terkait dengan keberadaan eosinofil . Eosinofilia sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein ECP terjadi sesuai dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik fase kronik terjadi peningkatan kadar IFN- γ, IL-12, IL-5 dan GM–CSF yang merupakan karakteristik dominasi sel Th1Th0. Kronisitas dermatitis atopik terkait dengan produksi sitokin oleh sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11 dan transforming growth factor TGF- β1. Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, dimulai dengan fase akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan dengan fase kronik terkait dengan sel Th1 Soebaryo, 2009. c. Sel dendritik Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang professional dan selanjutnya menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan sekunder. Universitas Sumatera Utara Ada 2 tipe sel dendritik dermatitis atopik yaitu myeloid dendritik mDC dan sel plasmasitoid dendritik pDC. Pada lesi dermatitis atopik keduanya ditemukan, tetapi pDC lebih sedikit dibandingkan mDC. Pada kulit yang mengalami inflamasi terdapat sel inflamasi dendritik epidermal inflammatory dendritic epidermal cell – IDEC. Sel Langerhans dan IDEC termasuk mDC dan mengekspresikan reseptor IgE berafinitas tinggi FcεRI pada lesi dermatitis atopik . Sel Langerhans dan IDEC berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1Th2. FcεRI pada Sel Langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi penyakit atopik lai n, misalnya asma atau rinitis, sedangkan FcεRI IDEC ditemukan pada kulit berlesi. Sel Langerhans berperan aktif pada perkembangan sel T menjadi sel Th2, sedangkan rangsangan FcεRI pada IDEC akan memicu ke arah respons sel Th1 alergik Bieber, 2008; Akdis, 2003 dalam Soebaryo 2009; Oppel, et al., 2000 dalam Soebaryo 2009. pDC mengekspresikan FcεRI secara alami dan mengalami peningkatan pada dermatitis atopik, penting untuk penanggulangan infeksi virus dengan cara mengeluarkan interferon Soebaryo, 2009. d. Faktor yang berpengaruh pada diferensiasi sel T helper Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian reaksi selanjutnya bergantung pada berbagai faktor, termasuk lingkungan sitokin setempat, latar belakang genetik pejamu, faktor farmakologik, dan penanda tambahan terkait dengan aktivasi sel T Soebaryo, 2009. Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh IL-12 yang diproduksi makrofag dan sel dendritik. IL-4 menghambat nonlensi dan lesi akut sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5 dan IL-13, namun sedikit IFN- γ. Lingkungan sitokin tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 dan mengurangi produksi sel Th1. Faktor genetik juga berpengaruh pada diferensiasi sel T helper. Perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi terjadinya dermatitis atopik Soebaryo, 2009. Faktor farmakologis juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel T helper. Leukosit pasien dermatitis atopik mempunyai peningkatan aktivitas enzim Universitas Sumatera Utara cyclic adenosine monophosphate cAMP-phosphodiesterase PDE. Hal tersebut mempengaruhi peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T pada dermatitis atopik Soebaryo, 2009. e. Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi Dermatitis Atopik Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada umur lesi kulit. Pada inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik terutama terlihat ekspresi IL-5 dan IFN- γ. IL-12 berperan pada perkembangan sel Th1 dan pada lesi kronik ekspresinya pada eosinofil dan makrofag memicu diferensiasi sel T CD4+ ke arah lesi akut dan GM-CSF meningkatkan ketahanan hidup sel eosinofil dan makrofag pada lesi kronik Soebaryo, 2009. Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan alergen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut. Sedangkan ekspresi IFN- γ tidak ditemukan dalam 24 jam setelah terpajan alergen, namun terlihat ekspresi berlebihan 48-72 jam setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai dengan temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola utama sitokin sel atopi didahului ekspresi puncak IL-12, membuktikan peran IL- 12 pada perkembangan respons Th1. Peningkatan ekspresi IL-12 bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang mengekspresikan IL-12. Hal tersebut diatas menggambarkan bahwa fase awal dermatitis atopik dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel Th2, sedangkan pada respons inflamasi kronik didominasi oleh respons sel Th1 yang dipicu pula oleh keberadaan makrofag dan eosinofil yang mengekspresikan IL-12 Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo, 2009. f. Respons sel Th2 terhadap kulit pada Dermatitis Atopik Rinitis alergik dan asma terjadi pada 80 anak dengan dermatitis atopik dan pada banyak pasien DA terjadi perburukan bila mengalami alergi saluran nafas. Hal tersebut sesuai konsep bahwa ekspresi klinis penyakit alergi Universitas Sumatera Utara ditentukan sebagian oleh sensitisasi alergen di jaringan lokal dan respons imun di kulit dibandingkan dengan mukosa saluran napas. Karena penyakit alergi terkait respons inflamasi yang spesifik pada organ, maka sel T akan bermigrasi ke berbagai jaringan. Sel T yang bermigrasi tersebut, disebut sebagai sel T-homing, terutama diatur oleh interaksi antara reseptor sel T-homing dengan antigen permukaan sel endotel vaskular yang pada manusia disebut cutaneous lymphocyte-associated antigen CLA dan pasangan reseptornya yaitu E-selectin Soebaryo, 2009. Ekspresi sel T yang dipicu oleh CLA diatur oleh berbagai sitokin. Transforming growth factor TGFβ, IL-12 dan IL-6 meningkatkan ekspresi CLA, tetapi tidak IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7 dan IFN- γ Soebaryo, 2009. g. Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik IgE berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentasi alergen oleh sel Langerhans penyandang IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan autoreaktivitas IgE terhadap protein manusia Soebaryo, 2009. Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh alergen terkait dengan respons bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mast penyandang IgE mediator ke jaringan setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar setelah pruritus dan eritema akut. Tiga sampai 4 jam kemudian, setelah reaksi akut menghilang akan terjadi reaksi lambat late phase reaction-LPR. Reaksi ditandai dengan ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler, diikuti infiltrasi eosinofil, neutrofil dan infiltrat mononuklear sekitar 24-48 jam setelah awitan LPR. Infiltrat tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas sel Th2 Soebaryo, 2009. Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi DA menyandang IgE. Terdapat 2 macam reseptor IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi dan yang berafinitas rendah. Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi, sedangkan reseptor IgE pada makrofag berafinitas rendah. Sebagian besar pasien Universitas Sumatera Utara DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi terhadap protein manusia. Respons imun IgE diawali oleh alergen lingkungan dan inflamasi dipertahankan oleh alergen endogen manusia tersebut Soebaryo, 2009. Pruritus akut pada dermatitis atopik dipicu oleh pelepasan berbagai macam mediator ke kulit setelah terpajan alergen, meski perkembangan lesi eksematosa bergantung pada trauma kulit akibat garukan Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo 2009. Akan terjadi proses inflamasi sebagai akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi sebagai akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara lain IL-1, TNF- γ, IL-4 dan CC kemokin yang mampu mengarahkan limfosit, eosinofil dan makrofag ke tempat terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang menginfiltrasi akan mengeluarkan sitokin dan mediator yang akan mempertahan inflamasi. Dermatitis atopik merupakan hasil kombinasi antara berbagai mekanisme selular spesifik maupun nonspesifik yang bertugas memicu dan mempertahankan inflamasi Soebaryo, 2009.

2.5. Gejala Klinis