Mengubah atau Menjual Harta Wakaf

MENGUBAH ATAU MENJUAL HARTA WAKAF

Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bagian Pendidikan Dasar dan Menengah Baturetno, Daerah
Wonogiri, Jawa Tengah,
ditandatangani oleh Bapak Soekardi selaku Sekretaris
dan Bapak Kasidi selaku Ketua
Pertanyaan:
1. Anggota Muhammadiyah Cabang Baturetno, Daerah Wonogiri, bergotong-royong mengumpulkan
uang untuk membeli tanah dengan dalih diwakafkan kepada Muhammadiyah, untuk
pengembangan sekolah. Ini merupakan kegiatan tahap pertama. Tahap kedua, bergotong-royong
mengumpulkan uang lagi untuk mendirikan gedungnya.
2. Belum sampai dapat mendirikan gedungnya, alhamdulillah Muhammadiyah menerima wakaf dari
almarhumah sesepuh Aisyiyah Cabang Baturetno juga dengan maksud untuk pengembangan
pendidikan. Karena tempatnya lebih strategis, maka di tanah wakaf yang kedua inilah yang
didirikan bangunan sekolah dengan biaya yang sudah lebih dahulu terkumpul, sekalipun masih
jauh lebih banyak kekurangannya.
3. Daripada Muhammadiyah menanggung risiko, karena belum dapat memanfaatkan tanah wakaf
yang pertama, apakah boleh tanah wakaf tersebut dijual yang hasilnya untuk menyelesaikan
bangunan sekolah yang dibangun di atas tanah wakaf yang kedua, yang hingga kini belum
selesai? Atau dengan kata lain: wakaf tanah diganti dengan wakaf gedung.

Jawaban:
Pada dasarnya dibolehkan mewakafkan benda tetap seperti tanah dan benda bergerak
seperti rumah, buku, alat-alat perang dan lain-lain. Dasar hukum wakaf benda tetap adalah hadis
dari Ibnu Umar:

‫أص ع ر ب يْبر أ ْْض فأت ل ّب ّي صلّ ه عليْهِ ََهلّ فاه‬
ّ ‫أصبْت أرْ ض ل ْ أصبْ م ا ق‬
‫ط أ ْنفس م ِْ فكيْف تأْمرني بِ؟ قه‬
‫ ف صه ّ َ ع هر أنّهِ ا َبه‬. ‫إ ْ ش ْت حبسْت أصْ له َتص ّ ْقت به‬
]68 : َ ‫لوص‬
‫ [رَ لب ر ك‬...
‫َور‬
ْ ‫َوهب َا‬
ْ ‫أصْ له َا‬
Artinya: “Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kenudian dia menghadap Nabi
saw untuk berkonsultasi tentang tanah itu, maka katanya: Saya mendapatkan sebidang tanah (di
Khaibar) di mana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya,
maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku, sehubungan dengannya? Sabda
Rasulullah: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Maka


Umar pun menyedekahkan manfaatnya dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan.” [HR. al-Bukhari, kitab al-Wasaya]
Adapun dasar hukum wakaf benda bergerak adalah hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari:

ّ ّ ‫ل ّب ّي صل‬
‫ه عليِْ ََلّ أ ّم خ ل فا حْ بس أ ْ ر عِ ف‬
ّ ‫َبيل‬
‫ه‬
]101 : ‫لجه‬

‫ق‬

‫[رَ لب ر ك‬

Artinya: “Berkata Nabi saw, adapun Khalid ia telah mewakafkan baju-baju perangnya di jalan
Allah.” [HR. al-Bukhari, kitab al-Jihad]
Apabila kita mencermati hadis tentang wakaf Umar di atas, bahwa harta wakaf itu tidak
boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan. Namun yang menjadi persoalan, apabila harta wakaf
menjadi berkurang atau rusak atau tidak memenuhi fungsinya sebagai harta wakaf untuk tujuan
tertentu, apakah benda tersebut harus dipertahankan? Sebab apabila ketentuan tidak boleh dijual

itu dipertahankan secara mutlak, bisa berakibat harta tersebut tidak berfungsi sama sekali
sehingga tujuan wakafpun tidak tercapai.
Amalan wakaf sangat tergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan
sesuai dengan tujuannya. Bahwa pahala wakaf yang akan terus menerus mengalir sampai pun orang yang berwakaf itu telah meninggal dunia, adalah wakaf yang bisa dimanfaatkan
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw:

َ‫ْْ ْنس ْناطع ع لِ إ ّا م ْن ثَث إ ّا م ْن ص ق ج ر‬
ِ‫َع ْل َ ْ فع بِ ََل ص لح َ ْ عو ل‬
]11 : ‫لوصي‬

‫إ م‬

‫ ك‬، ‫[رَ مسل‬

Artinya: “Apabila manusia mati terus terputus amal darinya, kecuali dari tiga hal: sadaqah
jariyab, atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang mendoakan kepadanya.” [HR.
Muslim, kitab al-Wasyiyah]
Oleh karena itu harta wakaf yang menjadi berkurang, rusak atau tidak dapat memenuhi
fungsinya sebagaimana yang dituju, harus dicarikan jalan bagaimana agar harta wakaf itu
berfungsi.

Di dalam fiqh Islam dikenal prinsip maslahah (memberikan kemanfaatan dan menghindari
hal-hal yang merugikan). Dengan menggunakan pendekatan istihsan akan memberikan jalan
keluar dari hukum harta wakaf yang tidak boleh dijual itu (sebagaimana hadis riwayat Ibnu
Umar) dipalingkan dari ketentuan hukumnya karena ada alasan-alasan yang mendesak, seperti
letak lahan yang tidak strategis, jauh dari pemukiman, ada lahan lain yang lebih strategis dan
para wakif setuju jika tanah yang tidak strategis itu dijual, maka berdasarkan alasan ini bisa saja
tanah itu dijual, kemudian harga penjualannya dibelikan atau digunakan untuk menyelesaikan

gedung sekolah di lahan tanah yang lebih strategis dan lebih mendatangkan kemanfaatan sesuai
dengan tujuan wakaf, sehingga benda penggantinya itu berkedudukan sebagai harta wakaf
(uraian senada bisa dibaca dalam Azhar Basyir, MA, Hukum Islam tentang Wakaf, Syirkah,
Ijarah, halaman 19, Muhammad Abu Zahroh, Muhadarat fi al-Waqaf hlm 392, M. Syarbini alKhatib, Mughni al-Muhtaj, III: 392).
Selanjutnya persoalan yang berkaitan dengan pergantian harta wakaf ada dua macam.
Pertama, penggantian karena kebutuhan. sebagai contoh adalah tanah wakaf yang ada di wilayah
Bapak (Baturetno) karena letaknya yang tidak strategis jika akan dibangun sekolahan, sementara
sudah dapat ganti tanah wakaf yang lebih strategis, maka tanah itu boleh dijual dan hasil
penjualannya dipergunakan untuk membangun sekolahan sebagaimana tujuan wakaf semula.
Kedua, penggantian karena kepentingan yang lebih kuat. Misalnya, membangun masjid untuk
mengganti yang lebih layak bagi penduduk kampung, maka masjid yang pertama (yang juga
berasal dari wakaf) dijual dan hasilnya untuk mendirikan masjid yang baru di tempat yang baru.

Hal ini sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab memindahkan masjid Kufah yang
lama ke tempat yang baru dan tempat yang lama itu dijadikan pasar bagi para penjual tamar (asSayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III: 386).
Masalah penggantian ini pernah juga dilakukan oleh Pimpinan Muhammadiyah Bidang
Wakaf Cabang Kotagede, Yogyakarta, yaitu sebuah mushalla yang pemanfaatannya kurang
efektif, sementara sudah ada masjid di sekitarnya, maka Pimpinan Muhammadiyah meminta izin
kepada ahli waris wakif, setelah diizinkan akhirnya tanah tempat mushalla itu berdiri dijual dan
hasilnya diperuntukkan membangun gedung SD.
§ SM No. 12 Tahun Ke-84/1999
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com