Karakteristik Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Islam Holistik Integratif Bervisi Pemajuan Peradaban

6 berperadaban yang mampu menjadi hamba Allah ‗abdullah dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi. 11 Jadi, sistem pendidikan Islam harus bervisi pemajuan peradaban kemanusiaan, bukan sekadar menyiapkan lulusan professional yang siap bekerja atau menjadi pekerja, karena pendidikan Islam bukan pabrik, tetapi sistem, institusi, dan komponen utama pembangun peradaban. Hal ini tentu berbeda dengan perspektif Barat yang cenderung melihat pendidikan sebagai intrumen atau ―mesin‖ untuk memenuhi kepentingan pembangunan. Menurut Tahir Abdurrahman Abubakar, et.al., ―The western education system considers education as an engine of development. It sees education as the instrument of life and believed for education as a means for individual and national development. It viewed education as an element as continuous and harmonious human existence and wellbeing just as the case of Islamic world view. ‖ 12 Karena itu, pendidikan Islam itu bervisi rahmatan li al- ‘âlamîn, berdimensi duniawi- ukhrawi, dan berorientasi pembangunan dan pemajuan peradaban Islam, bukan sekadar menyiapkan lulusan yang bisa bekerja dan diterima oleh dunia kerja, sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia.

C. Karakteristik Pendidikan Islam

Jika dibandingkan dangan pemikiran pendidikan Barat yang cenderung sekuler dan materialistik, akibat pemisahan agama dari ilmu, sistem pendidikan Islam memiliki beberapa karakteristik khashâish yang perlu dijadikan sebagai visi, misi, orientasi, dan aktualisasi pengembangan sistem pendidikan Islam ke depan. Karakteristik dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan Islam itu bersifat rabbâni, bersumber dari dan bermuara kepada sistem nilai ketuhanan. Sumber utamanya adalah wahyu, yaitu: al-Quran dan as-Sunnah. 13 Sistem pendidikan Islam juga berorientasi kepada nilai-nilai transendental dan spiritual, tidak hanya berupa mewujudkan fi al-dunya hasanah kebahagiaan duniawi, jangka pendek, tetapi juga fi al-âkhirati hasanah kebahagiaan ukhrawi, jangka panjang sekaligus waqina adzaba al-nâr QS al-Baqarah [2]: 201. Jadi, pendidikan Islam itu berbasis tauhid, akidah yang benar dan lurus, dan spirit ibadah yang ikhlas karena Allah SWT semata. 11 Roudlatul Firdaus Binti Fatah Yasin dan Mohd. Shah Jani, ―Islamic Education: The Philoshophy, Aim, and Main Feature‖, dalam International Journal of Education and Research,Vol. 1 No. 10, October 2013, h. 1. 12 Tahir Abdurrahman Abubakar, et.al., ―Islamic Education and Implication of Educational Dualism‖, Journal of the Social Sciences , Vol. 11, No. 2, 2014, 2016, h. 156-163. 13 Abd al-Rahman ibn Zaid al-Zunaidî, Haqîqat al-Fikr al-Islâmi: Dirâsat Tashiliyyah li Mafhûm al- Fikr al-Islâmi wa Muqawwimatihi wa Khashaishihi, Riyâdh: Dâr al-Muslim 1995, h. 125 7 Pendidikan Islam juga memposisikan kehidupan dunia sebagai instrumen atau sarana, atau meminjam istilah Mâjid ‘Irsân al-Kailânî, pemikir pendidikan Islam asal Jordania, dalam Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyyah -nya sebagai laboratorium pendidikan — menuju kebahagiaan hidup tanpa batas di akhirat. 14 Karena itu, pendidikan Islam tidak seharusnya berorientasi kekinian dan kedisinian jangka pendek semata, melainkan juga harus berorientasikan jauh ke depan dan bervisi keabadian perenial. Allah swt. berfirman: Wa lal- âkhiratu khairul laka minal ûla . Artinya: Orientasi kehidupan masa depan [akhirat] itu sungguh lebih baik daripada orientasi masa kini kehidupan dunia QS ad-Dhuhâ [93]: 4. Selain itu, pendidikan Islam dibangun di atas fondasi tauhid ajaran tentang keesaan Allah, kesatuan sumber ajaran, kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan tujuan hidup. Kesatuan akidah tauhid inilah yang merupakan faktor pemersatu uniting factor berbagai upaya pengembangan sistem pendidikan Islam menuju kamajuan dan kesejahteraan umat manusia. Penelitian serius yang dilakukan oleh peneliti dan pemikir Muslim dalam rangka mengungkap rahasia dan hukum-hukum alam tidak lain karena didasari oleh semangat dedikasi atau pengabdian hanya untuk memperoleh cinta dan ridha perkenan, restu Allah swt. dan sekaligus untuk mengokohkan iman yang ada dalam diri pemikir, peneliti, dan siapa saja yang membaca dan memahami pemikirannya. 15 Kedua , pendidikan Islam bersifat insâniyyah berwawasan kemanusiaan, humanistik. Produk pendidikan Islam hendaknya berorientasi kepada proses humanisasi, pemanusiaan manusia, dengan mengedepankan pencerahan, pemberdayaan, pencerdasan, kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Karena itu, pendidikan Islam memprioritaskan pemberlakukan nilai-nilai moral yang luhur dalam berinteraksi dengan kitab suci maupun dalam mengembangkan wacana keilmuan. Sistem pendidikan Islam tidak berwujud teori- teori yang tidak membumi, melainkan seharusnya mewujudkan sistem sosial, ekonomi, politik, budaya daalam kehidupan masyarakat yang lebih beradab, adil, dan sejahtera. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu melayani kepentingan dan kemaslahatan manusia sesuai dengan norma-norma syariah dan nilai-nilai al-akhlâq al-karîmah akhlak mulia. Ketiga, pendidikan Islam itu bersifat syumûliyyah wa mutakâmilah, komprehensif dan integratif, meliputi segala bidang keilmuan, keterampilan bahasa, sosial, hidup berorientasi dunia-akhirat masa kini dan mendatang. Pendidikan Islam tidak hanya mengkaji masalah metafisika –seperti yang digeluti oleh filosof dan teolog—tetapi juga mencakup seluruh 14 Lihat Mâjid Irsân al-Kailânî, Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyyah. Jeddah: Maktabah al-Manârah, 1987. 15 al-Difâ Ali Abdullah, Min Rawaî al-Hadhârah al-Arabiyyah al-Islâmiyyah fi al-Ulûm. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1998, h. 21 8 bidang dan aspek kehidupan manusia. Komprehensivitas pendidikan Islam juga tidak terletak pada tema kajian, melainkan juga meliputi sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan dalam pendidikan Islam tidak terbatas pada logika, rasio rasionalisme dan pengalaman empiris empirisme, melainkan juga bersumber dari wahyu dan intuisi hati [hadas; gnostik, marifah ]. Demikian pula, metode yang digunakan dalam memproduksi pemikiran sistem pendidikan Islam tidaklah semata-mata deduksi-induksi, melainkan juga merupakan perpaduan antara taaqquli-taammuli, penalaran logis dan kontemplatif, bayâni penjelasan elaboratif, burhâni demonstratif, jadalî dialektik dan hadasi intuitif. 16 Pemikiran rasional tidak cukup untuk memahami realitas metafisika dan fisika. Pengetahuan gnostik marifah atau pendekatan sufistik, seperti pernah dialami oleh al-Ghazzali w. 1111 juga dapat mengantarkan dirinya menuju mukâsyafah penyingkapan tabir dan rahasia Ilahi dan marifatullah , maqam station tertinggi dalam dunia tasawuf akhlaqi yang ditekuninya. Keempat, pendidikan Islam itu bersifat al-hadafiyyah al-sâmiyah bercita-cita dan bertujuan luhurmulia. Pendidikan Islam tidak menganut paham pemikiran untuk pemikiran ‖, ilmu untuk ilmu, atau ―seni untuk seni‖, tetapi pendidikan Islam dikembangkan untuk merealisasikan cita-cita mulia dan luhur, yaitu: ‗ibadat Allah ibadah dan dedikasi yang tulus kepada Allah Swt dan ‘imâratul al-ardh membangun peradaban di muka bumi 17 . Karena itu, sistem pendidikan Islam menghendaki formulasi konsep yang utuh, sekaligus implementasi yang efektif dan efisien, mulai dari desain kurikulum, proses pembelajaran, pendayagunaan sumber belajar, penciptaan lingkungan, hingga evaluasi pendidikan. Pemikiran, ilmu, gerakan, dan amal merupakan satu kesatuan menuju kebaikan dan kesalehan sosial, termasuk kesalehan lingkungan. Keluhuran tujuan pendidikan Islam juga terletak pada kesadaran pemikirnya terhadap tuntutan realitas dan petunjuk syariah. 18 Jadi, pemikiran pendidikan Islam bukan semata-mata retorika wacana tanpa makna dan fakta, melainkan merupakan produk intelektualisme yang mengejawantah dalam realitas dan dunia pendidikan Islam secara konkret dari masa ke masa. Hanya saja, ketika wacana pendidikan Islam itu hendak diaplikasikan dalam realitas empirik, visi dan cita-cita luhur pemikiran pendidikan Islam terkadang mengalami 16 Lihat Muhammad Âbid al-Jâbirî, Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Muâshirah fi Turatsina al-Falsafi. Casablanca: al-Markaz al-Tsaqâfi al-Arabi, 1986, Cet. V. 17 Kata ―Imârat al-ardhi‖ secara leksikal bukan hanya berarti membangun bumi secara fisik, sehingga mengantarkan kepada kemakmuran, tetapi juga membangun mental spiritual dan sosial menuju kemajuan peradaban. Karena itu, Ibn Khaldun 1332-1402 M dalam Muqaddimah nya menyebut ‗Ilm al-Umran ilmu peradaban sebagai ilmu yang berkaitan dengan pembangunan peradaban umat manusia. Baca Abdurrahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun fi Diwan al- Mubtada’ wa al-Khabar fi Tarikh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi al-Sya’n al-Akbar, Ditahqiq Khalil Syahadah, Maktabah Syamilah Edisi 2014. 18 Abd al-Rahman ibn Zaid al-Zunaidî, Haqîqat al-Fikr al-Islâmi ..., h. 127 9 disorientasi dan distorsi. Gerakan pemikiran salafisme, misalnya, yang mencoba mengembalikan persoalan umat kepada figur dan model ulama salaf dalam memahami dan mengamalkan Islam, justeru terjebak pada realitas historis masa lalu yang aktualisasinya tidak cukup aktual dan relevan dengan persoalan masa kini. Kelima, pendidikan Islam memiliki karakteristik al-wudhûh kejelasan, evidensi. Pendidikan Islam itu jelas, tidak hanya dari segi sumber acuan dan metodenya, tetapi juga jelas dari segi orientasi, kerangka berikut prosedur kerja dan implementasinya. Pendidikan Islam tidak bertolak dari mitos dan khayalan. Pendidikan Islam bersumber dari dan berinteraksi dengan ajaran Tuhan transendental untuk dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Pendidikan Islam seharusnya juga jelas dimaksudkan untuk memenuhi fitrah potensi dasar, kecerdasan dan kebutuhan manusia, dan bukan sekadar untuk mengabdi kepada rezim dan kekuasaan. 19 Kejelasan konsep, desain, dan formulasi pendidikan Islam itu menjadi sangat penting untuk aktualisasi visi dan misi dari pendidikan Islam itu sendiri, sekaligus cetak biru blue print pemajuan peradaban Islam melalui proses pendidikan Islam yang holistik integratif.

D. Sistem Pendidikan Islam Holistik Integratif