2.4.  Ukuran Kemiskinan
Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin umumnya dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan poverty line.
Garis ini ditetapkan berdasarkan suatu  tingkat pendapatan per kapita per tahun atau per kapita per bulan.  Misalnya Bank Dunia  pada mulanya  menetapkan
tingkat pendapatan per kapita per tahun serendah US 75 untuk daerah perkotaan dan US 50 untuk daerah perdesaan sebagai garis kemiskinan  dan kemudian
sebagian negara meningkatkan standar terendahnya menjadi US 2 per kapita per harinya.  Sajogyo  1994  menggunakan  kriteria tingkat pengeluaran sebagai
pendekatan  terhadap pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Tabel 1.  Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran
No Kategori
Kemiskinan Batas tingkat pengeluaran
Setara beras per kapita per tahun
Perkotaan Perdesaan
1 Miskin
480 kg 320 kg
2 Miskin Sekali
360 kg 240 kg
3 Paling Miskin
270 kg 180 kg
Sumber: BPS 2004 Kemiskinan yang diukur melalui garis kemiskinan poverty line
berdasarkan pada pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.  Kemiskinan absolut adalah
karakteristik ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya basic need
yang dihitung dari  persentase penduduk dengan pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan.  Sedangkan kemiskinan relatif adalah
karakteristik yang memberikan gambaran  relatif  ketidakmampuan penduduk
memenuhi kebutuhan untuk hidup layak.  Indikator kemiskinan menurut BPS adalah di antaranya tidak memenuhi :
a.  Luas lantai perkapita  8 m2 b.  Lantai tanah
c.  Tidak memiliki jamban d.  Tidak ada akses air bersih
e.  Konsumsi lauk tidak bervariasi f.  Tidak memiliki akses produktif
g.  Tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun h.  Tidak berpartisipasi dalam kegiatan komunitas
Van de Walle 2000  dalam  Usman 2006  menganalisis kemiskinan di Vietnam dengan memasukkan variabel-variabel infrastruktur seperti : ketersediaan
infrastruktur fisik jalan, kendaraan, listrik, air, kantor pos, SMP, SMU, dan klinik, air minum, sanitasi dan saluran air, sumber energi, dan transportasi.
Dengan menggunakan data Podes  variabel-variabel tersebut bisa  diperoleh. Kemiskinan  merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi
dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan
permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin
itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai. Bappenas, 2005
Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik BPS membuat perkiraan jumlah penduduk miskin dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan provinsi di
Indonesia dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data Susenas  Survey  Sosial Ekonomi Nasional.  Klasifikasi kota dan desa pada
pendataan didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, dan akses terhadap
fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, jalan aspal, telpon, dan sebagainya.  Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan
pokok, yang terdiri  dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara
layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan.
Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:
1. Biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2.100 kalori per
kapita per hari; dan 2.
Biaya  untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.
Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di
bawah  US 2  per  hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran  konsumsi kalori per hari yaitu sebanyak 2.100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu
pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di
plester berlantaikan tanah sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu
adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan. Kelompok Kerja Propenas, 2002
Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang
cukup untuk meringkas agregat kemiskinan.  Ada sejumlah ukuran agregat kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia
telah mengembangkan ukuran kemiskinan poverty measures, di  antaranya yang terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah  Foster,
Greer dan Thorbecke 1984.  Tokoh-tokoh ini telah mempelopori usaha-usaha untuk memperbaiki indeks  kemiskinan yang konsisten menurut teori ekonomi dan
dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT  Indeks.  Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut:
∑
 
  −
=
α α
z y
z n
P
i
1
………………………………………………. 1
dengan, n = jumlah penduduk; y
i
= pendapatanpengeluaran perkapita penduduk miskin ke-i ; z = garis kemiskinan.
FGT indeks akan menjadi Head-Count Index HCI jika
α =0; akan menjadi
Poverty Gap Index PGI  jika
α =1;  Poverty Severity Index  atau  Square Poverty
Gap
SPgap jika
α =2. BPS, 2004
Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersama- sama Ikhsan, 1999. HCI menggambarkan besarnya  persentase dari penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap  menggambarkan distribusi pendapatan orang
miskin yang menjelaskan tingkat keparahan. Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga
yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatanpengeluaran. Umumnya hal ini memerlukan informasi baik tentang rata-rata pendapatan pengeluarannya
maupun distribusinya pada posisi terendah. Ketimpangan, di  lain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan
didefinisikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak
bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenangi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran
ketimpangan dapat  dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsumsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel
kontinyu lainnya. Pengukuran kemiskinan tidak lagi dihitung berdasarkan level rumah tangga
tetapi pada level kabupaten. Hal ini tetap dapat dilakukan sebab dalam formula
FGT di atas,
∑
 
  −
α
z y
z
i
merupakan nilai agregasi untuk level kabupaten.
2.5.  Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan