Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau

(1)

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

Judul Tesis : Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau Nama : M. Fakhru Rozi

NIM : A155030181

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D. S Priyarsono, M.S. Ir. Said Rusli, M.A. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(4)

(5)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan terutama pada saat Ujian tesis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007


(6)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

M. Fakhru Rozi NIM A155030181


(7)

Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(9)

ABSTRAK

M. FAKHRU ROZI. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketuadan SAID RUSLI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) .

Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau karena menjadi wilayah yang mempunyai pendapatan daerah yang cukup besar. Pembangunan infrastruktur, pendidikan dan pengurangan kemiskinan mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menganalisis dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan di Provinsi Riau. Metode analisis yang digunakan adalah analisis ekonometrik.

Secara umum kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau mengalami perbaikan, bahkan IPM Provinsi Riau merupakan yang tertinggi di Sumatera. Otonomi daerah mampu meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah.

Kata kunci : otonomi daerah, desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan, kemiskinan


(10)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 27 Pebruari 1979 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Drs H. Khaidiri Kadir (Ayah) dan Mastiari S.Pd (Ibu). Penulis menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan lanjutan atas di Riau dan lulus Sekolah Menengah Umum pada tahun 1997.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor dan diterima pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan kuliah S1 pada tahun 2003. Kemudian penulis diterima di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2003. Selama masa kuliahnya, penulis aktif diberbagai organisasi intra dan ekstra kampus diantaranya di forum Wacana IPB, Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMPAS) IPB dan beberapa organisasi yang memberikan pelayanan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi diri penuli untuk memahami hidup dan menjalankannya seuai dengan arahan dan pentunjuk sang Pencipta.


(11)

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(13)

Judul Tesis : Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau Nama : M. Fakhru Rozi

NIM : A155030181

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D. S Priyarsono, M.S. Ir. Said Rusli, M.A. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(14)

(15)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan terutama pada saat Ujian tesis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007


(16)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

M. Fakhru Rozi NIM A155030181


(17)

Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(18)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(19)

ABSTRAK

M. FAKHRU ROZI. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketuadan SAID RUSLI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) .

Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau karena menjadi wilayah yang mempunyai pendapatan daerah yang cukup besar. Pembangunan infrastruktur, pendidikan dan pengurangan kemiskinan mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menganalisis dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan di Provinsi Riau. Metode analisis yang digunakan adalah analisis ekonometrik.

Secara umum kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau mengalami perbaikan, bahkan IPM Provinsi Riau merupakan yang tertinggi di Sumatera. Otonomi daerah mampu meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah.

Kata kunci : otonomi daerah, desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan, kemiskinan


(20)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 27 Pebruari 1979 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Drs H. Khaidiri Kadir (Ayah) dan Mastiari S.Pd (Ibu). Penulis menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan lanjutan atas di Riau dan lulus Sekolah Menengah Umum pada tahun 1997.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor dan diterima pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan kuliah S1 pada tahun 2003. Kemudian penulis diterima di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2003. Selama masa kuliahnya, penulis aktif diberbagai organisasi intra dan ekstra kampus diantaranya di forum Wacana IPB, Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMPAS) IPB dan beberapa organisasi yang memberikan pelayanan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi diri penuli untuk memahami hidup dan menjalankannya seuai dengan arahan dan pentunjuk sang Pencipta.


(21)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi dan Prof. Isang Gonarsyah Ph.D yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

M. Fakhru Rozi


(22)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi DAFTAR LAMPIRAN ... vii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 5 1.3. Tujuan ... 7 1.4. Ruang Lingkup ... 8 1.5. Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9 2.1. Konsep Kemiskinan ... 9 2.2. Konsep Kesejahteraan ... 12 2.3. Penyebab Kemiskinan ... 16 2.4. Ukuran Kemiskinan... 18 2.5. Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan ... 22 2.6. Pengembangan Wilayah ... 25 2.7. Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan ... 30 2.8. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi ... 32 2.9. Kaitan antara Transfer Fiskal dan Pengurangan Kemiskinan .... 34 2.10. Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 38 2.11. Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan... 41

III. METODOLOGI ... 55 3.1. Kerangka Pemikiran ... 55 3.2. Metode Penelitian ... 60 3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 60 3.2.2. Sumber Data ... 60 3.2.3. Gambaran Kesejahteraan Daerah ... 60


(23)

iii

3.2.4. Perumusan Model Ekonometrika ... 61 3.2.4.1. Blok Penerimaan Daerah ... 62 3.2.4.2. Blok Pengeluaran Daerah ... 64 3.2.4.3. Blok Makro Ekonomi Daerah ... 66 3.2.4.4. Blok Tingkat Kemiskinan ... 67 3.2.5. Prosedur Analisis ... 70 3.2.5.1 Identifikasi Model ... 70 3.2.5.2. Metode Pendugaan Model ... 72

3.2.5.3. Validasi Model ... 73 3.2.5.4. Simulasi Model ... 73 3.2.5.5. Simulasi Kebijakan ... 74

IV. GAMBARAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DI PROVINSI RIAU ... 76 4.1. Kondisi Fisik Wilayah ... 76 4.1.1. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ... 78 4.2. Kondisi Kesejahteraan Masyarakat ... 79 4.2.1. Kondisi Sumber Daya Manusia ... 81 4.2.2. Ketenagakerjaan ... 85 4.2.3. Kemiskinan ... 87

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

KEMISKINAN ... 92 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika ... 92 5.2. Keragaan Penerimaan Daerah ... 93 5.3. Keragaan Pengeluaran Daerah ... 98 5.4. Keragaan Perekonomian Daerah ... 106 5.5. Tingkat Kemiskinan ... 109


(24)

VI. DAMPAK DESENTRALISASI TERHADAP PENGURANGAN

KEMISKINAN ... 111 6.1. Hasil Validasi Model ... 111

6.2. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengurangan

Jumlah Penduduk Miskin ... 113 6.2.1. Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU)

Naik 20 % ... 115 6.2.2. Peningkatan Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya

Alam Sebesar 10 % ... 117 6.2.3. Simulasi Peningkatan Penerimaan Pendapatan

Asli Daerah sebesar 20 % ... 119 6.2.4. Peningkatan Pengeluaran Sektor pendidikan dan

Kesehatan dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum

Masing-masing Sebesar 20 % ... 120 6.2.5. Peningkatan Pengeluaran Pertanian 20 % dan

Infrastruktur sebesar 10 %... 121 6.2.6. Simulasi Peningkatan Pengeluaran Pendidikan

dan Kesehatan 10 %, Infrastruktur 5 % dan Sektor

Pelayanan Umum 10 % dan sektor Pertanian 10 %... 123 6.2.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan Desentralisasi

Terhadap Pengurangan Kemiskinan ……… 123 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127 7.1. Kesimpulan ... 127 7.2. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130 LAMPIRAN ...135


(25)

v

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran ... 18 2. Jarak antara Ibukota Provinsi dengan ibukota Kabupaten/Kota... 78 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Riau, 1980-2005... 81 4. PerkembanganTingkat pendidikan di Provinsi Riau, 1996-2005... 82 5. Perkembangan Tingkat Kesehatan di Provinsi Riau, 1996-2005... 84 6. Perkembangan Tingkat Tenaga Kerja Provinsi Riau,1996-2005 ... 86 7. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan di Provinsi Riau,1996-2005... 87 8. Jumlah, Persentase, Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di

Provinsi Riau, 1996-2005... 88 9. Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Riau, 1996-2005 ... 70 10. Tingkat Daya Beli Masyarakat di Provinsi Riau,1996-2005 ... 71 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam... 94 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Gaji,

Pengeluaran Rutin non Gaji, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor non Pertanian, Pengeluaran Infrastruktur,

Pengeluaran Pelayanan Sosial dan Pengeluaran Pelayanan Umum ... 100 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Daerah, Ekspor Daerah,

Impor Daerah, Peroduksi Sektor Pertanian dan Produksi Sektor non Pertanian ……… 107 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin

Perkotaan dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan ... 110 15. Hasil validasi Model Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal

di Provinsi Riau, 1996-2004 ... 112 16. Hasil simulasi berbagai skenario ... 115 17. Besarnya Dana yang Diperoleh untuk Simulasi Berbagai Skenario ... 124 18. Anggaran yang Dibutuhkan dalam Simulasi Berbagai Skenario …….. 125


(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kaitan Konseptual Antara Desentralisasi dan Pengurangan

Kemiskinan ... 35 2. Kerangka pemikiran analisis dampak otonomi daerah terhadap

pengurangan kemiskinan ... 59 3. Hubungan antar peubah dalam penelitian ... 75


(27)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan

Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 135 2. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Kuantan Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 136 3. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau 2001-2003 ... 137 4. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten

Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 138 5. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 139 6. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau 2001-2003 ... 140 7. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri

Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 141 8. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Siak

Sri Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 142 9. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau 2001-2003 ... 143 10. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan

Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 144 11. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 145 12. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau 2001-2003 ... 146 13. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun


(28)

14. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Karimun Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 148 15. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Karimun Provinsi Riau 2001-2003 ... 149 16. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna

Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 150 17. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Natuna Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 151 18. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten

Natuna Provinsi Riau 2001-2003 ... 152 19. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau

Tahun 2001-2003 ... 153 20. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kota Dumai

Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 154 21. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kota Dumai Provinsi Riau 2001-2003 ... 155 22. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Riau ... 156 23. Program SAS ver.6.1. Model ekonometrika Dampak Otonomi

Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan ... 157 24. Program SAS ver.6.1. Validasi dan Simulasi Model Dampak

Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan ... 160 25. Model Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan

Kemiskinan ... 163 26. Notasi Variabel yang digunakan dalam Model ... 164


(29)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan (otoritas) yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional kepada daerah. Hal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, yaitu: demokrasi (democratization), peran serta masyarakat (community participation), memperhatikan keanekaragaman daerah, pemerataan dan keadilan serta terkelolanya potensi sumberdaya di daerah secara efisien dan efektif.

Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu menurut McCulloch dan Suharnoko (2003), salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mayoritas penduduknya masih terjerat pada kondisi miskin dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakan-kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita secara khusus peduli dengan kemiskinan, maka hal terpenting dan menjadi kunci adalah melihat bagaimana dampak desentralisasi pada distribusi sumberdaya di


(30)

dalam wilayah tersebut (intra-regional), dan bukan pada efisiensi alokasi sumberdaya antar-wilayah (inter-regional).

Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu, dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan, desentralisasi dapat menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan.

Kemiskinan menjadi isu utama pembangunan karena tingkat kemiskinan menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan proses pembangunan. Selain itu, kemiskinan menunjukkan ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya distribusi pendapatan. Pada prioritas pembangunan yang termuat di dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas, pemerintah menegaskan akan mengurangi jumlah penduduk miskin absolut 4 persen dalam jangka waktu 5 tahun.

Pengurangan derajat kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah dalam tiga dekade terakhir dengan program bantuan kredit, pemberdayaan dan pendampingan. Tetapi hasilnya masih memiliki banyak kelemahan, di antaranya masih berorientasi pada pertumbuhan makro, kebijakan yang terpusat, lebih bersifat karikatif, memposisikan masyarakat sebagai objek, hanya memperhatikan sisi ekonomi dan kurang memperhatikan spesifikasi dan karakteristik kemiskinan


(31)

3

pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal ini menyebabkan kerentanan kemiskinan atas perubahan politik, ekonomi dan sosial serta bencana alam sehingga perlu dikoreksi secara menyeluruh dan mendasar.

Isu penanggulangan kemiskinan dewasa ini dihadapkan pada kenyataan tantangan dan isu yang berkembang berupa desentralisasi dan otonomi daerah yang mengembangkan potensi daerah sesuai dengan kondisi daerahnya, tuntutan pengelolaan pemerintahan yang baik dan penolakan terhadap segala bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tuntutan globalisasi yang memberikan kompetisi yang kadang memarjinalkan masyarakat lemah dan miskin.

Provinsi Riau merupakan Provinsi yang mengalami berbagai perubahan dengan desentralisasi. Pendapatan Daerah Regional Bruto yang cukup besar sebesar 29,884 triliyun rupiah dan ditambah dari minyak dan gas seharusnya mampu mengangkat derajat masyarakat ke tingkat kesejahtaraan yang tinggi. Angka kemiskinan berdasarkan Susenas tahun 2002, yang diukur menurut kebutuhan makanan sebesar 2100 kalori per kapita, pada tahun 1999 adalah 14,00 persen dari total penduduk menurun menjadi 13,12 persen pada tahun 2005, lebih rendah dibandingkan dengan angka kemiskinan rata-rata Nasional. Menurut Hasil Pendataan Penduduk/Keluarga Miskin Provinsi Riau tahun 2004 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, diketahui persentase rumah tangga dan penduduk miskin yang relatif tinggi terdapat pada 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kabupaten Kuantan Singingi. Persentase rumah tangga dan penduduk miskin paling rendah terdapat di Kota Pekanbaru yang mencapai 10,91 persen. Riau dan dengan karakteristik penduduk yang heterogen dan wilayah yang terdiri dari


(32)

daratan dan kepulauan menghadapi permasalahan-permasalahan diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, infrastruktur yang terbatas, laju pertumbuhan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 3,65 persen dan banyaknya penduduk/rumah tangga miskin, menuntut kerja keras pemerintah dan masyarakat Riau dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Peningkatan kesejahteraan sudah mulai terlihat diantaranya peningkatan IPM propinsi Riau dari 69,0 tahun 2002 menjadi 73,6 ditahun 2005. Begitu juga terjadi peningkatan pada indikator pendidikan dari tahun ke tahun seperti angka melek huruf dan lama sekolah, dimana tahun 2005 angka melek huruf di Provinsi Riau menjadi 98,8 dari sebelumnya 96,5 di tahun 2002 dan lama sekolah dari 8,30 tahun (2002) menjadi sebesar 8,98 tahun (2005).

Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau di mana pengelolaan pembangunan diserahkan kepada pemerintahan daerah. Riau menjadi wilayah yang mempunyai PDRB yang cukup besar terutama dari dana bagi hasil migas yang mencapai Rp 68 triliun (15 persen) di mana pendapatan non migas sebesar Rp 29 triliun dan menjadi Provinsi tertinggi kedua pendapatannya setelah Provinsi Kalimantan Timur. Dengan penerimaan daerah yang cukup besar ini Provinsi Riau melakukan pembangunan di segala sektor. Pembangunan-pembangunan mega proyek dan infrastruktur mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tetapi dalam hal ini perlu dipertimbangkan apakah pembangunan mega proyek ini benar-benar dibutuhkan dan meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat Riau umumnya atau hanya akan dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja atau hanya sebagai proyek mercu suar. Oleh sebab itu diperlukan penilaian dan evaluasi yang komprehensif agar setiap pembangunan yang


(33)

5

dilakukan tidak sia-sia dan benar-benar dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama masyarakat miskin.

1.2. Perumusan Masalah

Kemiskinan dengan segala dimensinya mempunyai karakteristik dan kecendrungan tersendiri sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Sangat penting untuk mengetahui faktor penentu dari kemiskinan dari suatu wilayah yang sangat membantu dalam usaha pengentasan kemiskinan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui karakteristik kelompok sasaran (target groups) dan metode apa yang dipilih sebagai solusinya. Di sini diperlukan peran dan keberpihakan pemerintah yang sungguh-sungguh yang diwujudkan dengan program pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin.

Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan kronis saat ini. Karena hal tersebut, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Misalnya dari dimensi pendidikan, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor-faktor seperti kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penti ng yang menentukan tingkat


(34)

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.

Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen pengelolaan sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan desentralisasi menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan.

Di era otonomi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, ternyata berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan.


(35)

7

Dengan adanya otonomi daerah, banyak kemudahan-kemudahan yang diharapkan akan memberikan banyak prakarsa penanganan kemiskinan terutama dari pemerintah daerah. Kebijakan penanganan yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada:

1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya, terutama yang dikuasai oleh kelompok miskin.

2) Pengembangan aksesibilitas kelompok miskin terhadap tanah, modal, infrastruktur dan input-input produktif lainnya

3) Pengembangan struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat, khususnya kelompok miskin, dalam mengatasi masalah secara mandiri.

Dengan permasalahan di atas penelitian ini diarahkan pada pertanyaan mendasar yaitu: (1) Bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau setelah dilaksanakannya otonomi daerah dan (2) Apakah desentralisasi cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.

1.3. Tujuan

Adapun penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau.

2. Mengetahui dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau.


(36)

1.4. Ruang Lingkup

Lingkup penelitian adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di Provinsi Riau yang terdiri dari 2 Kota dan 9 Kabupaten.

2. Analisis terhadap Provinsi dan kabupaten/kota yang baru terbentuk masih digabungkan dengan penamaan daerah sebelumnya.

3. Analisis ini dilakukan di tingkat kota/kabupaten dengan melihat efektifitas penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan.

4. Analisis ini melihat dari sisi penerimaan daerah, pengeluaran daerah, makro ekonomi daerah dan sisi kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.

1.5. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dan masukan agar kebijakan, kegiatan dan program pembangunan yang dilakukan memiliki dampak yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin. Selain itu hasil penelitian ini bisa menjadi pertimbangan dalam arah kebijakan penanganan masalah kemiskinan serta dapat berma nfaat bagi peneliti dan akademisi guna penelitian lanjutan.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemiskinan

Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, di antaranya adalah: Bappenas (1993) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Faturochman dan Molo (1994) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sedangkan me nurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial dan politik.

Friedman (2002) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: aset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.

Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota


(38)

masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, yang terdiri dari 5 unsur yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan.

Perbedaaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini bukan karena data, dan metode penelitian yang berbeda, tetapi justru terletak pada latar belakang ideologisnya. Ideologi bukan saja menentukan macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah secara sosial ekonomis dan bagaimana masalah ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masaalah sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya tekait denga n idiologi yang melandasinya.

Untuk memahami idiologi tersebut ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yait kulturalis dan strukturalis. Kulturalis cenderung menyalahkan kaum miskin. Meskipun kesempatan ada pada mereka, tetapi mereka gagal memanfaatkannya karena mereka terjebak pada budaya kemiskinan. Strukuturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan periodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural seperti


(39)

11

pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit, memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep strukturalis perlu dilakukan pengubahan struktur seperti lembaga ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.

Kultural dan Struktur merupakan konsep abstrak yang mengacu pada fenomena yang menggambarkan adanya interaksi yang berkesinambungan satu sama lain. Hubungan keduanya bersifat dualistik, kultur secara berkesinambungan merupakan satu produk interaksi sosial dan satu faktor dalam perubahan sosial dan kultural. Karena itu, memadukan berbagai sudut pandang tersebut dalam totalitas berfikir akan memberikan gambaran yang utuh tentang kemiskinan. Konsep-konsep ini akan saling melengkapi untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di mana secara struktural terjadi perbaikan dan penguatan lembaga dengan peran aktif pemerintah dan program-program pemberdayaan masyarakat, di sisi lain terjadi penguatan terhadap kultur yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, kreatif sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada dan memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya.

Adapun studi ini menitikberatkan pada peran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dengan memilih program-program penguatan kapasitas manusia seperti perhatian pada sektor pendidikan dan kesehatan, pembukaan akses pelayanan bagi masyarakat terhadap pasar, sumber keuangan, jaringan sosial dan sumberdaya dengan peningkatan pelayanan umum serta pembukaan keterisoliran dan keterkaitan ekonomi dan sosial dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik, koran dan jaringan telpon serta terbukanya dan majunya struktur lembaga sosial. Jika program-perogram ini berjalan dengan baik, diiringi dengan perubahan budaya dan paradigma ingin untuk lebih maju dan


(40)

terberdayanya masyarakat dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, tanggap dan terbuka terhadap informasi, akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

2.2. Konsep Kesejahteraan

Secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Tapi definisi kesejahteraan dapat juga merupakan tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses produksi dan ia memperoleh imbalan bayaran (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri. Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas di mana pun diletakkan.

Pada dasarnya pembangunan kesejahteraan rakyat haruslah ditujukan untuk membangun kehidupan penduduk yang bermartabat, berkualitas secara berkelanjutan, antara lain menyangkut akses penduduk khususnya penduduk miskin terhadap pemenuhan hak dasar atas pangan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, air bersih, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, perlindungan hak atas tanah, rasa aman, serta kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan. Selain itu,


(41)

13

pemenuhan hak dasar penduduk dimaksud juga dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah yaitu untuk percepatan pembangunan perdesaan, revitalisasi pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir serta percepatan pembangunan daerah tertinggal (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2005).

Dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan rakyat, masyarakat Indonesia mempunyai keanekaragaman geografi, budaya, sosial, agama dan ekonomi sehingga apabila tidak dikelola dan diatur keterwakilannya secara proporsional, sinergis dan emansipatoris dapat menjadi kendala di kemudian hari. Aspirasi masyarakat dari negara maju terhadap isu-isu anti diskriminasi di berbagai bidang, kesamaan persamaan hak, serta demokratisasi telah menjadi tuntutan masyarakat global yang harus diakomodasi secara bijaksana.

Oleh karena itu, dalam kemajuan kebudayaan yang semakin meningkat intensitas dan ekstensitasnya karena proses globalisasi, maka penanganan solusi masalah kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat haruslah berbasis kepada ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi. Untuk itu pemilikan pengetahuan dan kemampuan mengaplikasikan dalam urusan kehidupan sehari-hari secara tepat dan benar melalui berbagai lembaga pendidikan dan mengoptimalkan pranata-pranata sosial dan keagamaan perlu dilakukan untuk mengantisipasi kepentingan bangsa di masa depan menjadi bangsa yang tangguh, yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sedangkan untuk membangun kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan potensi-potensi masyarakat, maka realitas kehidupan berbudaya dan beragama masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput perlu diberdayakan dan didukung dengan upaya yang serius, sehingga menjadi


(42)

lebih produktif dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, termasuk untuk mengurangi kemiskinan agar tidak menjadi rawan untuk diprovokasi berbagai kepentingan kelompok yang dapat menimbulkan konflik.

Beberapa kejadian menunjukkan suatu kondisi yang nampak baik, tiba-tiba mengalami kejadian yang menyebabkan statusnya menjadi buruk, seperti munculnya kejadian polio, flu burung, malaria, busung lapar, demam berdarah, yang baru-baru ini terjadi di masyarakat yang disebabkan antara lain lemahnya jaringan pelayanan kesehatan masyarakat seperti tidak aktifnya kegiatan Posyandu, PKK, ketidaksiapan aparat pemerintah, keterbatasan sarana dan prasarana ( Bappenas, 2006).

Beberapa indikator menunjukkan masih rendahnya kesejahteraan rakyat serta faktor-faktor yang memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat, antara lain dapat diungkap secara garis besarnya adalah :

1. Tingkat pendapatan yang masih rendah; 2. Pengangguran yang masih tinggi;

3. Biaya hidup yang tinggi dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit dipenuhi oleh masyarakat lapisan bawah;

4. Kurangnya penghayatan, pengamalan, pengembangan nilai keagamaan; 5. Kurangnya pema haman etos berkarya;

6. Lambatnya pembangunan sumberdaya manusia;

7. Lemahnya kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia termasuk aparatur negara;

8. Lemahnya daya dorong perekonomian; 9. Tingginya kesenjangan antar daerah;


(43)

15

10. Menurunnya penyediaan infrastruktur;

11. Lemahnya kelembagaan sosial baik formal maupun non formal;

12. Menipisnya sumberdaya alam dan menurunnya daya dukung lingkungan; 13. Gangguan keamanan, konflik sosial, dan bencana alam, serta kondisi

perekonomian yang masih belum stabil. (Menkokesra, 2005).

Salah satu indikator kesejahteraan adalah mengukur indeks pembangunan manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP sejak tahun 1990 melalui Human Development Report. IPM mempunyai 3 komponen inti yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak. Komponen lama hidup diukur dengan angka harapan hidup sedangkan pengetahuan diukur berdasarkan kombinasi indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah dari penduduk dewasa. Komponen ketiga standar hidup layak diukur dengan menggunakan konsumsi riil perkapita.

Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi tingkat status pembangunan manusia menjadi 3 golongan yaitu rendah (< 50), menengah kebawah (50<IPM<66), menengah keatas (66<IPM<80) dan tinggi (> 80). IPM biasa digunakan untuk mengkaji manusia kedalam dua aspek. Aspek pertama yaitu perbandingan antar wilayah yang memperlihatkan posisi suatu wilayah relatif terhadap wilayah yang lain berdasarkan IPM yang disusun dari peringkat kemajuan pembangunan manusia dipelbagai wilayah dalam kawasan yang sama. Sedangkan aspek kedua adalah memperhatikan tingkat pencapaian setiap tahun menuju IPM ideal. Karena itu kajian tentang pencapaian upaya pembangunan manusia perlu dilakukan dalam suatu periode tertentu, untuk mengkaji dampak dari program peningkatan kapasitas dasar penduduk.


(44)

Pengukuran pembangunan manusia lainnya dapat diukur dengan indeks kemiskinan manusia (IKM). Indeks ini menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses sumberdaya publik, dan sumberdaya privat. IKM menggunakan variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, dan persentase anak berumur 5 tahun ke bawah dengan berat badan rendah atau kurang gizi. (BPS, 2002)

2.3. Penyebab Kemiskinan

Penelitian yang dilakukan Ajakaiye (2002) di Negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah: (1) Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah, (2) Kegagalan kebijakan dan goncangan makro ekonomi, (3) Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah, (4) Migrasi, (5) Pengangguran dan setengah pengangguran, (6) Pengembangan sumberdaya manusia.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan secara mikro dalam rumah tangga adalah: (1) umur dan pendidikan anggota rumah tangga khususnya kepala rumah tangga, (2) jumlah anggota rumah tangga yang mempunyai pekerjaan, (3) komposisi dan besaran rumah tangga, (4) aset yang dimiliki oleh rumah tangga, (5) akses pada jasa pelayanan sosial dasar, (6) jenis kelamin kepala rumah tangga, (7) variabel lokasi, (8) sektor lapangan kerja dan lain sebagainya.


(45)

17

Kemiskinan bisa menjadi suatu budaya komunitas, di mana tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya (Sumardjan, 1993). Menurut Seymour (1993), beberapa ciri budaya kemiskinan adalah: 1) fatalisme, 2) rendahnya tingkat aspirasi, 3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, 4) kurang melihat kemajuan pribadi, 5) perasaan ketidakberdayaan/ketidakmampuan, 6) perasaan untuk selalu gagal, 7) perasaan menilai diri sendiri negatif, 8) pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan 9) tingkat kompromis yang menyedihkan.

Kemiskinan ada pula yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Kemiskinan struktural menurut Sumardjan (1993) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Beberapa ciri dari kemiskinan struktural adalah: 1) tidak adanya atau lambannya mobilitas sosial, 2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya dan 3) struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan ini akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku diubah secara mendasar (Alfian, 1980).


(46)

2.4. Ukuran Kemiskinan

Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin umumnya dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan (poverty line). Garis ini ditetapkan berdasarkan suatu tingkat pendapatan per kapita per tahun atau per kapita per bulan. Misalnya Bank Dunia pada mulanya menetapkan tingkat pendapatan per kapita per tahun serendah US$ 75 untuk daerah perkotaan dan US$ 50 untuk daerah perdesaan sebagai garis kemiskinan dan kemudian sebagian negara meningkatkan standar terendahnya menjadi US$ 2 per kapita per harinya. Sajogyo (1994) menggunakan kriteria tingkat pengeluaran sebagai pendekatan terhadap pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan sebagaimana tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran No Kategori

Kemiskinan

Batas tingkat pengeluaran (Setara beras per kapita per tahun) Perkotaan Perdesaan

1 Miskin 480 kg 320 kg

2 Miskin Sekali 360 kg 240 kg

3 Paling Miskin 270 kg 180 kg

Sumber: BPS (2004)

Kemiskinan yang diukur melalui garis kemiskinan (poverty line) berdasarkan pada pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah karakteristik ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need) yang dihitung dari persentase penduduk dengan pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah karakteristik yang memberikan gambaran relatif ketidakmampuan penduduk


(47)

19

memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Indikator kemiskinan menurut BPS adalah di antaranya tidak memenuhi :

a. Luas lantai perkapita < 8 m2 b. Lantai tanah

c. Tidak memiliki jamban d. Tidak ada akses air bersih e. Konsumsi lauk tidak bervariasi f. Tidak memiliki akses produktif

g. Tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun h. Tidak berpartisipasi dalam kegiatan komunitas

Van de Walle (2000) dalam Usman (2006) menganalisis kemiskinan di Vietnam dengan memasukkan variabel-variabel infrastruktur seperti : ketersediaan infrastruktur fisik (jalan, kendaraan, listrik, air, kantor pos, SMP, SMU, dan klinik), air minum, sanitasi dan saluran air, sumber energi, dan transportasi. Dengan menggunakan data Podes variabel-variabel tersebut bisa diperoleh. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai. (Bappenas, 2005)


(48)

Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan provinsi di Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional). Klasifikasi kota dan desa pada pendataan didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, dan akses terhadap fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, jalan aspal, telpon, dan sebagainya. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:

1. Biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari; dan

2. Biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.

Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di bawah US$ 2 per hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi kalori per hari yaitu sebanyak 2.100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di


(49)

21

plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan. (Kelompok Kerja Propenas, 2002)

Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlah ukuran agregat kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia telah mengembangkan ukuran kemiskinan (poverty measures), di antaranya yang terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Tokoh-tokoh ini telah mempelopori usaha-usaha untuk memperbaiki indeks kemiskinan yang konsisten menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT Indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut:

 −  =

α α

z y z n

P 1 ( i) ………. (1)

dengan, n = jumlah penduduk; yi= pendapatan/pengeluaran perkapita penduduk miskin ke-i ; z = garis kemiskinan.

FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika α=0; akan menjadi Poverty Gap Index (PGI) jika α=1; Poverty Severity Index atau Square Poverty Gap(SPgap) jika α=2. (BPS, 2004)

Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersama-sama (Ikhsan, 1999). HCI menggambarkan besarnya persentase dari penduduk


(50)

yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang miskin yang menjelaskan tingkat keparahan.

Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatan/pengeluaran. Umumnya hal ini memerlukan informasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya) maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, di lain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan didefinisikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenangi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran ketimpangan dapat dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsumsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel kontinyu lainnya.

Pengukuran kemiskinan tidak lagi dihitung berdasarkan level rumah tangga tetapi pada level kabupaten. Hal ini tetap dapat dilakukan sebab dalam formula

FGT di atas,

 −  α z

y z i) (

merupakan nilai agregasi untuk level kabupaten.

2.5. Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan

Upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran, secara umum, membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut tidak saja perlu memadai besarannya, namun juga tidak bias ke arah golongan masyarakat dan


(51)

23

wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang cocok dengan kondisi aktual.

Model pembangunan ekonomi banyak diterapkan di negara-negara berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap (dual sector), yang pertama sekali diusulkan Lewis (1954). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa banyak negara berkembang yang memiliki perekonomian rangkap, yakni sektor pertanian yang bersifat tradisional dan sektor industri/manufaktur yang bersifat modern. Sektor pertanian tradisional diasumsikan sebagai bersifat subsistence dan dikarakteristikkan dengan produktivitas rendah, pendapatan rendah, tabungan rendah dan underemployment atau surplus tenaga kerja yang cukup besar dan berada dikawasan perdesaan. Sektor manufaktur diasumsikan memiliki teknologi maju, investasi tinggi, dan berada dikawasan perkotaan.

Dalam model ini, sektor manufaktur akan menarik surplus tenagakerja dari pertanian di perdesaan. Perusahaan manufaktur, apakah milik probadi atau BHMN, bisa menawarkan gaji yang akan menjamin mutu hidup yang lebih tinggi dibanding upah yang didapatkannya di perdesaan. Tingkat produktivitas buruh sangat rendah di area pertanian tradisional, sehingga pekerja yang meninggalkan area perdesaan hampir tidak memberikan dampak pada output pertanian sebelumnya. Tanpa disadari, jumlah pangan yang tersedia untuk orang desa akan meningkat akibat penduduk yang lebih sedikit (karena sudah bekerja, diserap oleh sektor manufaktur di perkotaan). Surplus produksi pangan yang diperoleh bisa sebagian mereka jual untuk menambah pendapatan.

Orang yang berpindah dari desa ke kota akan mendapat peningkatan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan tabungan. Kunci untuk


(52)

membangun menurut model Lewis ialah meningkatkan tabungan yang pada gilirannya diikuti dengan peningkatan investasi, yakni pada sektor manufaktur modern. Migrasi dari perdesaan yang miskin ke wilayah perkotaan/manufaktur yang lebih kaya akan memberi para pekerja peluang untuk mendapat pendapatan yang lebih tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi. Pertumbuhan di sektor industri akan dengan sendirinya menghasilkan permintaan tenagakerja dan juga akan menyediakan dana untuk investasi. Pendapatan yang dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down ke setiap aktivitas ekonomi.

Schelkle (1996) mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan dalam model pembangunan dualistic Lewis. Menurutnya, suatu ekonomi yang bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi terutama karena adanya proteksi dan perfect capital controls. Dalam ekonomi tertutup, Capital flight akan menyebabkan tidak produktif atau pemakaian lahan berkurang. Hal ini akan mengurangi pendapatan petani ke depan. Bila kemudian terjadi inflasi, pemerintah akan memakai tabungan rumah tangga sebagai alternatif aset keuangan domestik. Pengurangan tabungan selanjutnya mengurangi investasi, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan. Disamping model dual, terdapat model-model pembangunan ekonomi lain di mana intinya ialah memberikan peran pada pemerintah untuk mengarahkan jalannya pertumbuhan ekonomi. Diantaranya planned economy dengan pola Growth First than Distribution. Rostow (1980) menyatakan bahwa setiap negara yang akan melakukan pembangunan ekonomi dengan baik disarankan melewati lima tahap pembangunan ekonomi, yang meliputi, : Tahap Traditional Society, Transitional, Take off, Drive to Maturity,


(53)

25

dan High Mass Consumtion. Tahap model pembangunan ini terlihat dalam tahapan pembangunan Indonesia sejak tahun 1970.

Kenyataan yang terjadi adalah tahapan-tahapan pembangunan yang dipaparkan diatas ternyata tidak berjalan secara kontinu. Tahapan-tahapan itu terputus oleh krisis ekonomi 1997-1998. Industrialisasi yang sedianya diharapkan menjadi motor tranformasi struktural yang menyerap surplus tenaga kerja di perdesaan ternyata terpuruk, sehingga justru menimbulkan pengangguran. Sebagian dari para penganggur ini diserap kembali oleh sektor pertanian atau aktifitas ekonomi perdesaan maupun perkotaan berskala makro dan mikro.

Dalam kondisi di mana perekonomian sektor industri belum sepenuhnya pulih dari krisis, pembangunan kembali sektor pertanian maupun aktivitas-aktivitas ekonomi perdesaan lainnya menjadi semakin penting. Seperti yang dikemukakan oleh Ghatak dan Ingersent (1987) dalam Yudhoyono (2004), upaya-upaya mewujudkan peran sektor pertanian, yakni antara lain sebagai penyedia lapangan kerja, pemasok bahan baku industri, sumber devisa ne gara,dan pasar bagi produk-produk industri, secara menyeluruh akan mendorong perkembangan perekonomian. Pembangunan kembali (revitalisasi) pertanian dan perdesaan, dengan demikian, perlu dilakukan.

2.6. Pengembangan Wilayah

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintah dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap


(54)

lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas. (Rustiadi, 2005)

Menurut Akil (2003) dalam Pranoto (2005) pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produktif serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban) adalah saling tergantung dalam konteks perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja. Keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan begitu penting di mana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.

Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada waktu lalu, cara pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan hanya pada pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh Djajadiningrat (1997). Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan


(55)

27

kerusakan lingkungan dalam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh.

Menurut Shukla (2002) dalam Rustiadi (2005), melalui perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan dan berkelanjutan dengan :

1. Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumberdaya fisik serta teknologi.

2. Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan di mana akan mengisi kebutuhan lokal.

3. Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang kurang berimbang antar dan dalam wilayah.

Untuk menghindari masalah-masalah pembangunan, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan yang berimbang secara spasial karena secara makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Menurut Rustiadi (2005), pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: 1) mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. 2) Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Pembangunan daerah di era otonomi perlu dilaksanakan dengan


(56)

pendekatan pengembangan wilayah yang terkoordinir dan terintegrasi, bukan lagi pendekatan sektoral sebagai mana dilakukan pada masa lalu.

Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus globalisasi. Menurut Rondinelli (1985) ada tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: 1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole), 2) integrasi fungsi (functional integration), dan 3) pendekatan pedesentralisasian wilayah (decentralized territorial approaches)

Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negara-negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: 1) industrialisasi dengan teknologi modern dapat di desentralisasikan manfaatnya pada daerah perdesaan, 2) keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional.

Di Indonesia diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antarsektoral, antarspasial (keruangan), serta antarpelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Hal ini penting dilakukan


(57)

29

dalam setiap program pembangunan sektoral dalam kerangka pembangunan wilayah.

Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga telah bermunculan ke permukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego antarpemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan.

Tinjauan spasial menyangkut dimensi sosial ekonomi dalam konteks tata ruang adalah upaya menciptakan keseimbangan spasial. Penataan ruang harus menjadi bagian dari proses menciptakan keseimbangan antarwilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Oleh karenanya perlu dibangun struktur keterkaitan antarwilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik.

Menurut Rustiadi (2005) pendekatan penataan ruang di era otonomi daerah harus berbasis pada:

1. Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan.

2. Menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah.

3. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan)

4. Disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun


(58)

2.7. Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan faktor penting untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Kerangka empirik untuk menganalisis pertumbuhan dapat diperoleh dari model pertumbuhan neoklasik yang diperluas, yang secara ringkas dapat ditunjukkan oleh suatu persamaan sederhana di bawah ini.

Dy = F(y, y*) ……….. (2) Dimana : Dy adalah laju pertumbuhan output per kapita

y adalah tingkat output per kapita sekarang

y* adalah tingkat target output per kapita atau tingkat output per kapita jangka panjang

Dalam model meoklasik, kenaikan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns) pada akumulasi modal mengimplikasikan adanya suatu laju pertumbuhan ekonomi (Dy) yang berhubungan secara berbalikan (inverse) dengan tingkat pertumbuhan (y). Hubungan tersebut berlaku untuk nilai y* tertentu. Indikator suatu pertumbuhan ekonomi mencakup modal sumberdaya manusia (human capital) dan perubahan teknologi. Variabel y digeneralisasikan dari tingkat produk per kapita yang dipengaruhi oleh kapital fisik, human capital dan input-input lainnya termasuk teknologi yang digunakan dalam proses produksi.

Nilai y* dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, jumlah penduduk dan lain sebagainya. Sebagai contoh, adanya kebijakan pemberlakuan hak-hak kepemilikan property rights dan kebijakan yang mengarah kepada berkurangnya distorsi pasar akan menaikkan y*. Misalnya jika seorang bekerja dengan alasan akan menabungkan sebagian dari pendapatannya, maka secara teoritis y* akan meningkat, akhirnya Dy naik.


(59)

31

Suatu kebijakan pemerintah berpotensi menaikkan laju pertumbuhan (Dy), yang kemudian akan secara berangsur-angsur menaikkan tingkat output per kapita (y). Ketika output naik, laju pertumbuhan (Dy) meningkat, dan peningkatan tersebut mengalami diminishing returns. Pada jangka panjang, dampak dari kebijakan ini hanya berpengaruh pada peningkatan output per kapita, sedangkan dampak terhadap laju pertumbuhan semakin mengecil sehingga sama dengan nol.

Penelitian tentang pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Barro (1997) melihat pengaruh langsung dari sejumlah kebijakan pemerintah dan variabel lainnya. Penelitian ini mengambil sampel 100 negara mulai tahun 1960 sampai 1995. Dengan metode regresi panel terlihat bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita dipengaruhi oleh tingkat PDB per kapita, tingkat pendidikan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, indeks kepastian hukum, tingkat keterbukaan terhadap dunia internasional, laju inflasi, laju fertilitas total, rasio investasi terhdap PDB, laju pertumbuhan nilai tukar perdagangan. Pengaruh rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB yang menggambarkan kebijakan fiskal, tidak nyata di kelompok negara maju, namun berpengaruh nyata dengan arah negatif di kelompok negara miskin.

Di kelompok negara miskin ini, variabel penjelas yang berpengaruh nyata dan positif terhadap laju pertumbuhan PDB per kapita adalah tingkat pendidikan, indeks kepastian hukum, keterbukaan terhadap pasar internasional, dan laju pertumbuhan nilai tukar perdagangan.


(60)

2.8. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi

Kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan salah satu kebijakan makroekonomi, yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan fiskal atau atau anggaran memiliki fungsi-fungsi yaitu: 1) fungsi-fungsi alokasi, yaitu fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penyediaan barang-barang sosial (social goods), atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat dan barang sosial dan kombinasi barang sosial yang dipilih, 2) fungsi distribusi adalah fungsi kebijakan fiskal atau anggaran yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di dalam masyarakat, dan 3) fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan mempertahankan tingkat pengerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, yang dapat berpengaruh atau berakibat pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave, 1984).

Adapun instrumen dari kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluran pemerintah dan transfer payment, artinya dalam melaksanakan kebijakan fiskal tersebut, maka variabel-variabel itu yang diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat kebijakan. Sebagai contoh, apabila pembuat kebijakan ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal akan diusahakan untuk menjadi kontraktif, di mana pengeluaran pemerintah (G) akan diturunkan atau pajak (T) dinaikkan. Dengan begitu, maka permi ntaan agrerat di dalam perekonomian akan turun dan hal ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Sebaliknya, kalau pemerintah atau pembuat


(61)

33

kebijakan ingin meningkatkan tingkat pengerjaan (employment) dalam rangka untuk mengurangi tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal yang dilakukan akan cenderung bersifat ekspansif, di mana pengeluaran pemerintah akan dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat di dalam perekonomian dan akan terjadi ekspansi dalam perekonomian.

Menurut Jhingan (1993) kebijakan fiskal memainkan peranan penting dinamis di negara-negara berkembang. Kebijakan ini diperlukan secara luas bagi pembangunan ekonomi, khususnya dalam peranannya dalam menghadapi problem pembentukan modal. Pendapatan dan tabungan per kapita rendah, sementara orang yang kaya justru suka mengkonsumsi barang mewah. Sebagian besar dari tabungan disalurkan pada jalur-jalur tidak produktif seperti perumahan, penimbunan, spekulasi dan sebagainya. Kebijakan fiskal mengalihkan semua itu ke saluran yang produktif.

Beberapa tujuan kebijakan fiskal, sebagai sarana menggalakkan pembangunan, antara lain :

1. Meningkatkan laju investasi di sektor swasta dan sektor pemerintah. Hal ini dapat dicapai dengan mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial melalui peningkatan rasio tabungan marjinal (marginal propensity to saving). Kebijakan fiskal juga harus digunakan untuk mendorong atau memperkuat bentuk investasi tertentu. Dalam rangka meningkatkan laju investasi, pemerintah harus menetapkan kebijakan investasi berencana di sektor publik. Tindakan ini akan berdampak meningkatkan volume investasi di sektor swasta.


(1)

162

e 0 - 150609 e 1 0 . 4 e 2 0 . 1 4 6 e 3 0. 99 e 4 22. 69 e 5 307412 f 0 - 957227 f 1 4 . 7 f 2 0. 65 f 3 1. 2 5 f 4 335785

g0 - 34750 g1 0. 0 25 g2 0. 3 5 g3 49865 g 4 0 . 06 h0 - 30808 h1 0. 0 58 h2 0. 1 6 h3 108104 h4 - 0. 0045 i 0 - 107391 i 1 0. 187 i 2 0. 00004 i 3 6. 0

j 0 - 271895 j 1 2 . 7 j 2 1108. 37 j 3 3. 34 j 4 4. 37 j 5 0. 18 k0 - 958683 k1 10. 4 k2 0. 37 k 3 0 . 7 k4 - 531437 k5 0. 055 l 0 - 34006126 l 1 190. 65 l 2 55. 82 l 3 - 270. 73 l 4 - 11340105 m0 - 91729230 m1 0. 9 m2 10704 m3 0. 0 38

n0 84912420 n1 - 0. 5 6 n 2 0 . 64 n3 0. 1 3 o0 36107802 o 1 - 105. 4 o2 46. 9 o3 9170293

p0 - 88295295 p1 109. 97 p2 0. 99 p 3 - 0. 221276 p4- 8824538

q0 2 1 2 . 8 q 1 - 0. 000005 q2 0. 00002 q3 - 0 . 0000127 q4 0. 000005 q5 - 0. 00016 q6 - 100. 8 r 0 415. 36 r 1 0. 000039 r 2 - 0. 000017 r 3 - 0. 000021 r 4 0. 000037 r 5 - 0. 0000177 r 6 - 0. 00017 r 7 - 368

*bl ok pe ne r i ma a n da e r a h;

TAXD = a 0 + a 1*TEXP + a 2*KONM + a 3*DDF + a 4*LTAXD ; RETRD = b0 + b1*PDRB + b2*TEXP + b3*DDF ;

PAD = TAXD + RETRD + LABUD;

DAU = c 0 + c 1*TEXP + c 2*AKED + c 3*POP + c 4*BHPESDA + c 5*DDF ; BHTAXD = d0 + d1*PAD + d2*PESE + d3*DDF;

TPED = PAD + DAU + DAK + BHTAXD + BHPESDA + PELA + SAPBDTS; *bl ok pe nge l ua r a n da e r a h;

PERGA = e 0 + e 1*PAD + e 2*DAU + e 3*DAK + e 4*J PGO + e 5*DDF ; PERNGA = f 0 + f 1*PAD + f 2*SAPBDTS + f 3*POP + f 4*DDF; PERDA = PERGA + PERNGA;

PESPER = g0 + g1*TPED + g2*PTKP + g3*DDF + g4*LPESPER ; PESNPER = h0 + h1*TPED + h2*PTKNP + h3*DDF ;

PEI NF = i 0 + i 1*TPED + i 2*PDRB + i 3*LWI L ;

PEPSO = j 0 + j 1*PAD + j 2*J DEKE + j 3*PDDK + j 4*KSHT + j 5*LPEPSO ; PEPUM = k0 + k1*PAD + k2*SAPBDTS + k3*POP + k4*DDF + k5*LPEPUM ; PESE = PESPER + PESNPER + PEI NF;

PEPSU = PEPSO + PEPUM ; TEXP = PERDA + PESE + PEPSU; *bl ok ma kr o e konomi da e r a h;

I NVD = l 0 + l 1*UMR + l 2*PAD + l 3*RETRD + l 4*DDF ; EXPRD = m0 + m1*PDRB + m2*EXR + m3*LEXPRD;

I MPRD = n0 + n1*PDRB + n2*EXPRD + n3*LI MPRD ; PDRB = KONM + I NVD + TEXP + EXPRD - I MPRD ; BOT = EXPRD - I MPRD;

PRSP = o0 + o1*UPSP + o2*POP + o3*DDF ;

PRSNP = p 0 + p1*UPSNP + p2*TPSEK + p3 *PDGN + p4*DDF ; TPSEK = PRSP + PRSNP;

MI SKT = q0 + q1*DAU + q2*POP + q3*UPS NP + q4*PEPSU + q5*PTKNP + q6*DDF ;

MI SDS = r 0 + r 1*PESE + r 2*BHPESDA + r 3*DAU + r 4*PEPSO + r 5*POP + r 6*PTKP + r 7*DDF ; MI STOT = MI SKT + MI SDS;

Run;

Lampiran 25. Model Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan

1. Blok Penerimaan Daerah

TAXD = 36801 + 0.0180 * TEXP + 0.000069 * KONM -23565 * DDF + 22.0484 *LTAXD + u1

RETRD = 14014 - 0.0000032 * PDRB + 0.0056* TEXP + 10841*DDF + u2

PAD = TAXD + RETRD + LABUD


(2)

+ 348073*DDF + u3

BHTAXD = -26701 + 1.4930 * PAD + 0.3020 * PESE -170301 * DDF +u4

TPED = PAD+DAU+DAK+BHTAXD+ BHPESDA +PELA+ SAPBDTS 2. Blok Pengeluaran Daerah

PERGA = -150609 + 0.3838 * PAD + 0.1513*DAU +0.9931* DAK +22.0484*JPGO + 306035 * DDF +u5

PERNGA = -957227+4.8268* PAD + 0.6438 * SAPBDTS + 1.2700 * POP + 389767*DDF + u6

PERDA = PERGA + PERNGA

PESPER = -34750+ 0.0254* TPED + 0.3550 * PTKP +49899* DDF + 0.0610 * LPESPER + u7

PESNPER = -30808 +0.058 * TPED +0.1567 * PTKNP +108565 * DDF 0.0046*PDGN+ u8

PEINF = -107391 + 0.1873 * TPED +0.000038* PDRB +6.069 * LWIL + u9

PEPS0 = -271895 + 2.7244 * PAD + 108.3774 * JDEKE + 3.3477 * PDDK + 4.373 *KSHT + 0.1808 * LPEPSO + u10

PEPUM = -958683 + 10.4145 *PAD + 0.3729 * SAPBDTS +0.7068 *POP -531437 * DDF + 0.0559 * LPEPUM + u11

3. Blok Makro Ekonomi Daerah

INVD = -34006126 + 190.6517 * UMR +55.8232*PAD + -270.7309*RETRD -11340105 *DDF + u12

EXPRD = -91729230 + 0.9003 * PDRB + 11308 * EXR + 0.0561 * LEXPRD + u13

IMPRD = 84912420– 0.5638 *PDRB + 0.6454 * EXPRD + 0.1370*LIMPRD + u14

PRSP = 36107802 -105.4220 * UPSP +46.9056 * POP + 9170293* DDF + u15

PRSNP = -88295195 +109.9722 * UPSNP + 0.9979* TPSEK- 8824538* DDF + u16 4. Blok Kemiskinan

MISKT = 212.8263 + 0.000005*DAU + 0.000022*POP - 0.00012*UPSP + 0.000005*PEPSU - 0.00016*PTKNP 100.8763 *DDF + u17

MISDS = 415.3604 +0.000039 *PESE - 0.000017 *BHPJSDA - 0.000021 * DAU + 0.000037*POP - 0.000177 * PTKP + -368.005*DDF + u18

Lampiran 26. Notasi Variabel yang digunakan dalam Model

Keterangan :

AKED = angkatan kerja (orang)

BHPJSDA = Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (juta Rp) BHTAXD = bagi hasil pajak (juta Rp)

BOT = balance of trade (juta Rp) CONRT = konsumsi Rumah Tangga (juta Rp)

DAK = dana alokasi khusus (juta Rp) DAU = dana alokasi umum (juta Rp) DDF = dummy desentralisasi fiskal

EXPRD = ekspor daerah (juta Rp) EXR = exchange rate (ribu Rp/US$)


(3)

164 IMPRD = impor daerah (juta Rp)

INVD = investasi daerah (juta Rp) JDEKE = jumlah desa dan kelurahan (buah) JPGO = jumlah pegawai otonomi (orang) KONM = konsumsi masyarakat (juta Rp) KPDK = kepadatan penduduk (orang/km2) KSHT = pengeluaran bidang Kesehatan (Juta Rp) LWIL = luas wilayah (Km2)

LABUD = laba badan usaha daerah (juta Rp) LDAU = lag dana alokasi umum (juta Rp) LEXPRD = lag EXPRD (juta Rp)

LPEPSO = lag pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp) LPESPER = lag pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) LPESNPER= lag pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp) LPEPUM = lag pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) LPRSNP = lag produksi sektor non pertanian (juta Rp) LTAXD = lag pajak daerah (juta RP)

MISKT = penduduk miskin perkotaan MISDS = penduduk miskin perdesaan

MISTOT = penduduk miskin total (kota dan desa) PAD = pendapatan asli daerah (juta Rp) PDDK = pengeluaran bidang pendidikan (juta Rp) PDRB = produk domestik regional bruto (juta Rp) PELA = penerimaan lain-lain (juta Rp)

PERGA = pengeluaran rutin gaji (juta Rp) PERNGA = pengeluaran rutin non gaji (juta Rp) PEINF = pengeluaran infrastruktur (juta Rp) PESPER = pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) PESNPER = pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp) PERDA = pengeluaran rutin daerah (juta Rp) PEPSO = pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp) PEPUM = pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) PESE = pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp) PEPSU = pengeluaran pelayanan sosial-umum (juta Rp) POP = jumlah penduduk (orang)

PPDDMIS = persentase Jumlah Penduduk Miskin PRSP = produksi sektor pertanian (juta Rp) PRSNP = produksi sektor non pertanian (juta Rp) PTKP = penyerapan tenaga kerja pertanian (juta Rp) PTKNP = penyerapan tenaga kerja non pertanian (juta Rp) RETRD = retribusi daerah (juta Rp)

SAPBDTS = sisa anggaran tahun sebelumnya (juta Rp) SBK = Suku Bunga (%)

TAXD = pajak daerah (juta Rp)

TEXP = total pengeluaran pemerintah (juta Rp) TPED = total pendapatan daerah (juta Rp) TPSEK = Total pengeluaran sektoral (juta Rp) UMR = upah minimum regional (Ribu Rp)

UPSP = upah tenaga kerja pertanian (juta Rp) UPSNP = Upah tenaga kerja non pertanian (juta Rp)


(4)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya tingkat pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), menurunnya Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dan penurunan tingkat kemiskinan.

2. Otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung dengan rakyat miskin seperti pembukaan lapangan kerja untuk menarik tenaga kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang di berikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

3. Hasil simulasi model dari sisi peningkatan penerimaan daerah, peningkatan DAU, berpengaruh lebih besar dan efektif dalam mengurangi jumlah penduduk miskin karena dialokasikan pada program-program yang bersentuhan dengan masyarakat. BHPJSDA dan PAD merupakan penerimaan potensial untuk ditingkatkan, yang jika dialokasikan dengan tepat mampu mengurangi jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun di perdesaan. 4. Hasil simulasi model dari pengeluaran pemerintah, menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor infrastruktur dan sektor pertanian berpengaruh


(5)

128 paling besar dalam menurunakan jumlah penduduk miskin. Selain itu sektor pendidikan dan kesehatan serta pelayanan umum juga penting untuk kesejahteraan rakyat karena sektor-sektor ini menjadi basis peningkatan kualitas manusia dan peningkatan aktivitas ekonomi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat serta memiliki keterkaitan yang besar terhadap sektor lain mulai dari bagian hulu sampai hilir. Peningkatan pengeluaran di sektor Pendidikan dan Kesehatan serta infrastruktur pengaruhnya dapat dirasakan pada jangka panjang. Dengan meningkatkan sumberdaya manusia pada masa datang akan melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan.

7.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi (saran) kebijakan sebagai berikut :

1. Kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengelola keuangan pada saat desentralisasi digulirkan, perlu diimbangi oleh sumberdaya manusia yang handal baik dalam alokasi, maupun pengawasan anggaran daerah. Kebijakan yang tepat akan meningkatkan perekonomian daerah, pemerataan dan penurunan tingkat kemiskinan.

2. Sektor pertanian perlu diberikan perhatian dalam meningkatkan ekonomi perdesaan. Peningkatan aktifitas ekonomi perdesaan akan mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat urbanisasi. Investasi bidang pertanian dan perhatian terhadap bidang pertanian akan menjaga ketahanan pangan daerah,


(6)

mensejahterakan masyarakat pedesaan dan menghidupkan ekonomi di pedesaan.

3. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah secara berkesinambungan untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang handal sehingga mampu mengelola daerahnya ke depan, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mampu membangun daerahnya menjadi daerah yang mandiri dan sejahtera. Sehingga pemerintah perlu memperhatikan sektor ini dengan lebih serius.

4. Anggaran infrastruktur dasar perlu ditingkatkan seperti jalan di perdesaan untuk meningkatkan akses masyarakat, infrastruktur pertanian, listrik dan sekolah sehingga memacu aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat lebih baik. 5. Diperlukan kelembagaan khusus yang secara langsung menangani

permasalahan kemiskinan secara konsisten sesuai dengan karakteristik penduduk dan wilayahnya sehingga program yang dijalankan efektif untuk mengurangi kemiskinan.